Quantcast
Channel: Sastra-Indonesia.com
Viewing all 2226 articles
Browse latest View live

IJEN BONDOWOSO

$
0
0


Masuki M. Astro

“Ngupahi” (istilah di Madura yang maknanya memberi hadiah) pada anak-anak di masa tidak boleh kemana-mana. Dua remajaku, sejak sebelum Ramadhan sudah pulang dari pondok dan kemudian lebih banyak di rumah. Kebetulan, tempat-tempat wisata di Bondowoso mulai dibuka, setelah beberapa bulan ditutup karena pandemi COVID-19. Kemarin, Ahad (12/7) kami berangkat menjelajahi daerah-daerah ketinggian di Bondowoso, di wilayah Kecamatan Ijen (dulu bernama Sempol). Masya Allah, indahnya ciptaan Allah. Meskipun jalanya naik turun melewati gundukan batu-batu, hingga tangan kemeng menahan setir, akhirnya terbayar lunas dengan ketakjuban memandangi indahnya alam.

Jalurnya memang hanya bisa dilalui roda dua. Tujuan pertama ke puncak Megasari. Di tempat pemberangkatan olahraga paralayang ini, kami bisa menikmati alam wilayah Ijen di bawah sana. Cukup beberapa saat di Megasari, kami naik lagi melewati perkebunan kopi di Blawan. Melewati lokasi pemandian air panas, kami masih naik lagi ke Kaligedang dan kemudian petualangan dimulai saat melewati jalanan tak beraspal, penuh debu, kadang batu-batu. Ada beberapa yang jatuh dari motor, termasuk si Embun Pagi dan istri. Maklum, kami menggunakan motor standar, yang mestinya lebih pas menggunakan motor jenis trail. Sekitar 10 menit sebelum nyampai di Taman Galuh, wilayah di sebelah Kawah Ijen yang dikenal ke mancanegara dengan fenomena api birunya, beberapa rombongan sudah enggan melanjutkan perjalanan. Saya, istri dan anak-anak maksa terus naik. Dan, memang lelah itu terbayar. Masya Allah, pemandangan bukit dengan lapisan rumput hijau ditingkahi kelebatan awan putih membawa kami seolah-olah melihat gambar yang biasa dijadikan wallpaper.

Meskipun penuh takjub, tapi kami satu suara, bahwa tidak mau lagi pergi ke tempat itu untuk kedua kali, jika kondisi jalannya masih seperti itu. Untuk “ngupahi” badan yang letih dan yang jelas penuh debu, terakhir kami mampir di pemandian air panas di Blawan. Kami merendam diri beberapa lama. Habis maghrib kami pulang dan ngeri-ngeri sedap juga menembus hutan lebat yang konon banyak menghadirkan cerita-cerita mistis bagi mereka yang melintasi wilayah itu.


***


LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (8-12)

$
0
0

Sunu Wasono

LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (8)

Kalau awak boleh berterus terang, bagian ini awak tulis dengan susah payah. Kenapa menulis begini saja prosesnya susah seperti menulis karya agung saja. “Cerita begini tak lebih dari cerita biasa saja, malah terkesan terlalu didramatisasi. Tak heran kalau akhirnya memang menjadi cerita melodrama. Untuk menulis cerita begini, menyambung cerita sebelumnya, apa susahnya.” Begitulah kurang lebih ujar Raden Harya Sengkuni alias Tri Gantal Pati, salah satu tokoh cerita “Lenga Tala” yang sedang awak tulis ini. “Cepat lanjutkan,” desaknya.

Memang ini cerita biasa. Cerita pop saja, bukan karya sastra dengan S besar. Awak setuju. Tapi proses penulisannya bagi awak butuh perjuangan tersendiri. Kalau saja tak ada campur tangan Lik Mukidi, awak tak pantas bilang “prosesnya butuh perjuangan tersendiri.” Di situ poinnya. Lik Mukidi senantiasa mengintip dan mengawasi awak. Seperti yang sudah awak bilang di bagian sebelumnya, dia kadang-kadang nenempatkan diri sebagai kritikus, kadang sebagai editor pula. Dengan peran itu dia “menghajar” awak. Akibatnya, penulisan seperti berjalan di tempat. Tak maju-maju. Keruan saja Dewi Wilutama ikut kesal. “Cepat selesaikan bagian cerita yang di situ ada aku. Jangan ditunda lagi. Aku ingin segera kembali ke kahyangan untuk berkumpul dengan keluarga. Ibu-ibu di kahyangan sudah masak tongseng khusus untuk menyambut kehadiranku lagi sebagai bidadari. Kalau aku kelamaan di sini, gawat. Si Bambang Kumbayana itu maunya mengajak begituan saja. Sekali dikasih, jadi ketagihan dia,” ujar Dewi Wilutama kesal.

Jadi, sejujurnya awak mendapat tekanan dari mana-mana ketika hendak melanjutkan cerita ini. Bukan hanya dari Lik Mukidi. Tokoh pun ikut menekan. Belum lagi urusan lain. Selagi enak-enaknya menulis, diminta anak mengantarkan ke stasiun. Lagi menggarap bagian yang seru, teman-teman mengajak rapat secara daring. Ambyar semua. Pernah cerita di bagian ini hampir awak akhiri. Tapi tiba-tiba Lik Mukidi menyetop. “Tak bisa begini,” katanya.

“Memang kenapa, Lik? Apanya yang salah?”

Lik Mukidi tak langsung menjawab. Ia malah minta awak untuk membuatkan kopi. Setelah itu, baru awak dikuliahinya. Tak perlu awak ceritakan apa isi kuliahnya sebab akan menambah kesal saja. Semua yang dia katakan berkaitan dengan teori menulis. Kalau sudah bicara tentang teori, dia bisa lupa segalanya. Apalagi kalau ditunjang dengan kopi dan rondo royal. Hadeeuh.

Sampai sebegitu panjang dan lamanya ia bicara, tak satu pun ada kalimat atau penjelasan tentang kenapa awak harus berhenti menulis dan kenapa tulisan yang hampir selesai itu harus dihapus. Akhirnya, awak potong saja pembicaraannya, lalu awak minta dia untuk menjawabnya dengan singkat. Alamak dia hanya bilang bahwa tulisan awak belum ada warna mukidinya. Awak tak minta ia untuk menjelaskan apa itu warna mukidi sebab kalau itu terjadi, bisa panjang lebar lagi dia bicara. Karena itu, awak akui saja agar awak bisa melanjutkan cerita “Lenga Tala” ini.

Nah, cerita yang akan sampeyan baca ini–kalau masih sanggup membaca–cerita yang sudah lolos sensor Lik Mukidi.

LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (9)

Tak ada api tak ada asap. Segala sesuatu, kejadian apa pun macamnya, pasti ada sebab-musababnya. Tak mungkin tak ada angin tak ada petir tiba-tiba Dewi Wilutama dikutuk. Ia pasti telah membuat kesalahan besar sehingga mendapat kutukan dari Batara Guru. Nah, pertanyaannya: apa kesalahan dia? Lagi-lagi untuk mengungkap kesalahan dia, kata betis harus disebut. Betis Dewi Wilutamalah pemicu dari semua peristiwa yang sudah dan akan terjadi. Bagaimana konkretnya perkara itu bisa disimak dalam kisah berikut.

Bahwasanya Dewi Wilutama adalah bidadari tercantik di kahyangan telah diketahui para dewa, baik yang masih lajang maupun yang sudah berkeluarga. Semua anggota tubuh dan yang menempel pada tubuh Dewi Wilutama tak ada yang tak menarik. Semua: bibir, leher, jari, alis, mata, rambut, kuku, lengan, pinnggul, cara bicara, apa saja di tubuh Dewi Wilutama, punya pesona, punya energi birahi yang bisa menyihir laki-laki, termasuk laki-laki lugu dan alim sekalipun.Tapi di antara sekian banyak yang menarik itu tampaknya betislah yang paling menimbulkan getaran bagi laki-laki. Dewa yang telanjur pernah melihat–sedikit saja–betis Dewi Wilutama besar kemungkinan akan mendadak insomnia. Betis itu akan terus membayang di benaknya sehingga susah tidur.

Kecantikan, keramahtamahan, kecerdasan dan kelebihan-kelebihan lain Dewi Wilutama, termasuk betis yang indah itu, kiranya membuat hampir setiap bidadara yang mengenalnya–semua pasti mengenal–ingin dekat dan menjadi pacar dia. Dasar Dewi Wilutama juga supel, ramah, dan tidak angkuh. Ke mana saja dia berjalan atau pergi, ada saja laki-laki yang mengikutinya. Semua berebut untuk menemani. Saking dengan siapa saja dia bisa bergaul, dekat dan akrab, Dewi Wilutama jadi terkesan bebas hidupnya. Mau ke mana saja ada saja yang menerima. Tak pelak, ia terlibat dalam pergaulan bebas. Keadaan demikian membuat dia khilaf. Lalu dia lupa daratan, lupa akan etiket dan norma-norma sosial.

Singkat cerita, ia telah melakukan hubungan seks layaknya suami-istri dengan laki-laki bukan mukrimnya.Siapa laki-laki itu? Tak lain adalah Batara Wrahatpati. Ternyata di tatanan kadewatan juga ada larangan bagi dewa untuk berhubungan badan sebelum nikah secara resmi. Nah, dalam konteks itu, Dewi Wilutama kena pasal perzinahan. Atas kesalahannya itu ia dikutuk Batara Guru menjadi kuda. (Sayang tak dijelaskan apakah laki-lakinya juga mendapat hadiah kutukan. Jika tidak dikutuk, rasanya tidak adil.) Ia baru bisa menjadi bidadari lagi kalau sudah bertemu dan berhubungan badan dengan makhluk arcapada (manusia). Rupanya manusia yang “beruntung” memperoleh kesempatan untuk mendewakan kembali Dewi Wilutama adalah Bambang Kumbayana. Seperti yang sudah diceritakan di bagian sebelumnya, kuda sembrani itu akhirnya badar (berubah) menjadi Dewi Wilutama setelah bersetubuh dengan Bambang Kumbayana.

Kini Dewi Wilutama sudah terbebas dari kutukan Batara Guri, tapi wajahnya masih terlihat murung. Sebaliknya, Bambang Kumbayana terlihat semringah. Ia tak menyangka bahwa pengembaraannya berbuah manis. Andaikata aku waktu itu tak minggat dari Atas Angin, aku tak akan pernah kawin dengan bidadari. Melihat Dewi Wilutama murung, sementara dirinya senang, lama-lama ia tak enak sendiri.

“Wahai Embun pagiku, kenapa kau murung. Bukankah kau sudah bertemu laki-laki ganteng, putra tunggal raja pula. Apa lagi yang kaupikirkan? Aku kaya dan punya masa depan yang cerah. Aku kuat, laki-laki sejati. Bagaimana aku mahir bercinta kau sudah tahu dan mengalami sendiri. Kurang apa, ayo.”

Dewi Wilutama malah menangis terisak-isak.

“Eladala, kenapa kau, Dewiku. Katakan sejujurnya. Jangan ada dusta di antara kita,” ujar Bambang Kumbayana.

“Mas, perutku sakit. Aku hamil, Mas.”

“Hamil? Berarti aku tok cer. Buktinya kau langsung isi. Jadi, baru sebulan isi.”

“Sudah 9 bulan, Mas.”

“Astaganaga. Mana mungkin.”

“Ini yang ada di perutku ini bibitnya Batara Wrahatpati, Mas. Bukan bibitmu. Aduh, perutku kruwes-kruwes. Aku melahirkan, Mas.”

Bambang Kumbayana tak membuang waktu. Dewi Wilutama dibopongnya ke tempat yang lebih aman. Begitu tubuhnya diletakkan, tak pakai pembukaan satu, dua, dan tiga, lahirlah jabang bayi laki-laki. Bukan main girangnya Bambang Kumbayana. Dia sibuk mengurus bayinya dan sebentar-sebentar mencium bayi itu. Sebentar sebentar mencium ibunya. “Meskipun bayi ini bukan bibitku, aku tetap punya andil, setidak-tidaknya membantu memperlancar kelahiran. Apa yang aku lakukan, sperma yang kusemburkan itu melicinkan jalannya bayi. Buktinya tanpa pembukaan, bayi langsung lahir ceprot,” katanya entah ditujukan kepada siapa.

Bambang Kumbayana kini senang. Punya istri bidadari dan kawin sebentar saja sudah punya anak laki-laki. Ia ingin segera pulang ke Atas Angin untuk menunjukkan “prestasinya” ke hadapan ayahnya. Tapi–kalau dia tahu garis takdirya–dia tak akan mungkin punya angan-angan atau pikiran seperti itu. Justru perkawinannya dengan Dewi Wilutama ini baru titik awal baginya untuk melanjutkan perjalanan jauh lagi yang penuh dengan ujian. Ke manakah Bambang Kumbayana setelah ini? Sanggupkah ia menghadapi ujian itu?

LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (10)

Baru saja Bambang Kumbayana mau menyampaikan hasratnya untuk memboyong Dewi Wilutama ke Atas Angin guna diperkenalkan ayahnya dan dipamerkan kepada seisi istana, Dewi Wilutama keburu menyampaikan hasratnya kepada Bambang Kumbayana. “Meskipun anak ini bukan bibit Mas Bambang Kumbayana, kuharap sampeyan sudi mengakui bahwa ia anak kita. Karena itu, kuharap sampeyan berkenan memberi nama,” pintanya kepada Bambang Kumbayana.

“Oh, tentu. Aku tak memasalahkan anak ini bibitnya siapa. Aku juga tak memasalahkan masa lalumu, keperawananmu. Buat aku, yang sudah lewat biarlah lewat. Mari kita tatap masa depan kita. Cintalah yang utama. Yang penting kau sekarang mencintaiku sebagaimana aku mencintaimu. Soal nama, itu persoalan teknis belaka. Sekarang juga bisa. Kalau kita paroan bagaimana. Kau kasih satu nama, aku menambahkan,” tawar Bambang Kumbayana.

“Kuserahkan saja semuanya pada Kangmas,” balas Dewi Wilutama.

“Baiklah. Kalau begitu, kuberi nama dia Bambang Haswatama.”

Jagat seisinya menjadi saksi. “Terima kasih, Kangmas,” ujar Dewi Wilutama seraya menyerahkan Bambang Haswatama kepada Bambang Kumbayana. Sesaat kemudian, “Kangmas, aku sekarang punya satu permintaan lagi. Mohon permintaan ini tidak ditolak.”

“Jangankan cuma satu, seribu permintaan pun akan kukabulkan. Katakan apa permintaanmu,” tantang Bambang Kumbayana.

“Tidak, Kangmas. Satu saja. Sekarang anak kita sudah ada di tanganmu. Silakan rawat, asuh, dan didik dia hingga kelak menjadi anak yang dibanggakan dan membanggakan orang tua. Aku pamit pulang. Aku tak bisa lama-lama di sini. Aku harus kembali ke kahyangan.”

Bagai disambar geluduk, Bambang Kumbayana kaget sekaligus sedih. “Kenapa kautinggalkan aku, Dewi. Kenapa harus?” Ujar Bambang Kumbayana sambil terisak. Untung anak di tangannya tidak terlepas.

“Oh, Dewi Dewi. Kenapa kau setega itu. Lalu anak kita bagaimana?”

Sesaat tak ada percakapan di antara mereka. Seekor burung kutilang di atas daun aren terus berdendang. Dewi Wilutama tak kuasa juga menahan tangis. Tapi bayi di tangan Bambang Kumbayana terlihat anteng. Setelah sedikit menguasai perasaannya, Bambang Kumbayana membuka percakapan lagi.

“Salahku apa, Dewiku. Kenapa kita harus berpisah.”

“Tidak ada yang salah, Kangmas. Kita berpisah karena takdir kita harus berpisah.”

“Apa kita tak bisa melawan takdir, Dewi?”

“Tidak bisa. Coba pikir, kenapa kita dipertemukan di sini. Waktu Kangmas minggat dari Atas Angin apakah direncanakan? Tidak kan? Kenapa ayahanda memaksa kangmas kawin, kenapa Kangmas menolak, kenapa aku dikutuk jadi kuda, kenapa kita bertemu di tepi bengawan, dan masih banyak lagi kenapa-kenapa lainnya. Nyatanya kita tak bisa menjawab. Kita hanya wayang, Kangmas. Semua itu terjadi karena takdir. Kita tak kuasa melawannya. Karena itu, bila kini kita harus berpisah, maka semata-mata karena takdir, Kangmas.”

Air mata Bambang Kumbayana membanjir lagi. “Lalu bagaimana dengan nasib anak kita?”

“Sudah takdirnya harus hidup bersama ayahnya, Kangmas.”

“Alamak, apa aku bisa mengasuhnya? Oh, dewa dewa. Kenapa tak kaucabut saja nyawaku.”

“Jangan begitu. Tak boleh kita menyerah. Aku punya saran untuk Kangmas dan kebaikan anak kita.”

“Apa itu?” sambar Bambang Kumbayana.

“Kangmas harus menikah lagi agar anak kita ada yang mengasuh.”

“Menikah dengan siapa. Adakah yang mau menikah dengan laki-laki yang di tangannya ada anak yang belum bisa apa-apa begini, Dewi.”

“Percayalah pada takdir, Kangmas. Mengalir saja. Pada waktunya akan ada jalan untuk meraih keberuntungan dan kebahagiaan. Kalau kangmas masih mencintaiku, harus percaya kepadaku.”

Bambang Kumbayana tak berusaha lagi mencari dalih agar Dewi Wilutama mengurungkan niatnya. Ia tak bisa tidak harus percaya kepada Dewi Wilutama. Bagaimanapun Dewi Wilutama itu dewa, sedangkan dirinya itu titah (umat manusia). Pastilah yang dikatakan dewa tak salah. Setelah dirasa agak tenang, Dewi Wilutama memberi petunjuk agar Bambang Kumbayana pergi ke suatu negara. Ia pun menunjuk arah yang harus dituju Bambang Kumbayana. “Percayalah, di sana Kangmas akan menemukan perempuan yang akan menjadi jodohmu, dan dia akan menjadi ibu Haswatama, anak kita.”

Akhirnya, Bambang Kumbayana melepas kepergian Dewi Wilutama dengan sedih. Namun, air matanya telah kering. Karena itu, tak ada lagi titik air mata yang jatuh. Dewi Wilutama mengecup kening suami dan anaknya. Setelah itu ia melesat ke kahyangan.

LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (11)

Sebetulnya awak masih punya semangat untuk melanjutkan cerita “Lenga Tala” yang sudah tayang 10 kali. Tapi awak mendadak berpikir lagi setelah mendengar komentar Lik Mukidi siang tadi. Saat bersilaturahim via WA siang tadi, awak bertanya, “Setelah cerita ‘Lenga Tala’ 10 kali saya posting di FB, apa komentar Lik Mukidi?”

“No kamen,” jawabnya singkat.

“Jangan begitu, Lik. Saya butuh tanggapan. Sewaktu awal saya mau menulis cerita ini, Lik Mukidilah yang menggebu-gebu. Ingat, kata-kata Lik Mukidi terekam di bagian awal cerita ini, lho. Ada jejaknya. Lik Mukidi tak bisa mengelak.”

Lik Mukidi tak langsung memberi tanggapan. Lama awak tunggui. Jangan-jangan tertidur dia, batin awak. Karena lama tak ada jawaban, awak nulis lagi di WA. “Lik Mukidi harus ikut bertanggung jawab atas cerita ini dan kelanjutannya. Apa komentar Lik Mukidi. Plis, Lik. Ditunggu.”

Alhamdililah, akhirnya dia menjawab meskipun jawabannya tak mengenakkan. Katanya, “Komentarku tidak ada komentar.”

“Masa tidak ada sepatah kata pun, Lik. Pelit amat, Lik.”

“Coba kau simak lagi dengan baik kata-kataku. Ada berapa patah kata di situ. Katanya penulis. Menghitung kata saja tak bisa,” jawab Lik Mukidi ketus.

Hadeuh. Puyeng menghadapi Lik Mukidi. Pasti “sajen” yang disiapkan Bu Lik kurang lengkap. Coba Lik Mukidi main ke rumah, awak servis sebaik-baiknya. Awak sediakan seteko kopi giling dan sepiring rondo royal. Pasti beres. Tak akan begini. Kalau masih macam-macam, awak suplai lagi. Kasih singkong kaniyem rebus. Masih kurang? Tambah lagi pisang tanduk rebus. Kalau belum kenyang, ganjal dengan ubi madu bakar.

“Jadi, bagaimana, Lik.” Awak mencoba sabar dan tabah. Tak mau buru-buru menyerah.

“Apanya yang bagaimana? Sudah jelas, kan. Komentarku tak ada komentar.”

Ah, begitu lagi begitu lagi. Oke. Awak tak mau membuang-buang waktu. Peduli amat dengan komentar Lik Mukidi. Baru mau bilang terima kasih dan selamat malam, eh Lik Mukidi menyusulkan keterangan. “Kalau aku komentari sekarang, aku jamin kau tak punya hasrat lagi untuk merampungkan cerita yang sudah kau tulis. Lanjutkan saja. Komentarku nanti saja setelah cerita yang kautulis secara serampangan dan dangkal itu selesai.”

Mak jleb. Terasa di ulu hati komentar Lik Mukidi. Awak tak bisa membayangkan bagaimana komentar panjang dia setelah cerita “Lenga Tala” ini nanti selesai. Tapi tak jadi masalah. Ini awak anggap risiko punya seorang paman macam Lik Mukidi. Sekarang jelas apa yang harus awak lakukan, yaitu melanjutkan cerita “Lenga Tala” ini sampai selesai. Bismilah. Niat ingsun menyambung cerita “Lenga Tala”.

LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (12)

Tinggallah kini Bambang Kumbayana dengan putranya yang masih dalam gendongan. Meski suara hewan di hutan ramai sekali, bagi Bambang Kumbayana dirasakan sepi. Ia meragukan kemampuan dirinya. Ia tak yakin bisa merawat putranya. Tak terpikir di benaknya bahwa ia harus menjadi seorang ayah sekaligus ibu bagi anaknya. Kalau ingat pada masa-masa sebelumnya, ketika masih di istana, ia malu dan menyesal. “Kenapa waktu itu aku begitu angkuh. Dinasihati baik-baik sama patih di kerajaannya, tak pernah ia bilang iya. Selalu saja membantah, bahkan ia berani membentaknya. Juga saat diminta ayahnya untuk menikah dan siap-siap menggantikan takhta orang tuanya, jawabannya tak enak didengar siapa pun. “Tak ada yang bisa mengatur hidupku. Bahkan dewa sekalipun,” ujarnya ketika ayahnya sedikit menekan dia agar mau menikah. Jawaban itulah yang membuat ayahnya naik pitam dan mengusirnya dari istana.

Kalau ia ingat pada peristiwa itu, hatinya sedih. Tanpa disadarinya, menitiklah air matanya. “Aku ini sungguh anak durhaka. Tak terbayangkan betapa besar dosaku,” ujarnya entah kepada siapa. Dalam kondisi seperti itu, dia pun teringat pada kedugalannya, pada kelakuannnya yang serba tak terpuji. “Kenapa untuk kesalahan sekecil itu–kalau tepat disebut kesalahan–aku menghajar pemuda itu sampai babak belur. Sungguh tak pantas itu dilakukan oleh seorang ksatria, putra raja agung binatara pula,” katanya dalam hati.

Ucapannya itu terkait dengan tindakan dia terhadap anak muda, Ekalawya, di masa lalu, yang tak mau menepi ketika dirinya melintas di sebuah jalan di tepi hutan. Di kalangan masyarakat luas, Bambang Kumbayana memang dikenal sebagai ksatria yang gemar berkuda, blusukan ke medan-medan sulit, masuk ke hutan sekalian berburu. Tentu saja karena dia putra raja, ke mana pun pergi selalu ada pengawal yang mengikutinya. Pernah ketika ia menghajar salah seorang pemuda, pengawalnya melerai dan mengingatkan agar penyiksaan segera disudahi. Apa tanggapan dia? Pengawalnya malah disaduk ulu hatinya. Mentang-mentang anak raja, ia berbuat semena-mena pada siapa saja yang tak disukainya. “Sapa sira sapa ingsun” (siapa kamu siapa aku) kiranya telah menjadi landasan baginya dalam berhadapan dengan orang lain.

Apa yang pernah dilakukannya di masa lalu itu kini seakan menjelma gambar nyata di hadapannya. Dan ia harus melihatnya kembali. Maka rasa penyesalan berkali-kali ia ucapkan meskipun tak ada yang mendengarkan. “Kalau sudah begini, dengan anak yang belum bisa apa-apa, aku bisa apa? Oh, Haswatama, anakku. Kalau akhirnya kau mati sia-sia, maafkan ayahmu yang berlumur dosa ini,” ujar Bambang Kumbayana seraya meratap.

Bersamaan dengan itu terdengar kicau Kutilang. Burung Kutilang terus saja berdendang. Bambang Kumbayana yang semula acuh tak acuh terhadap burung itu kini tergerak untuk memperhatikannya. Kenapa burung itu berkicau terus, lalu seperti ada suara lain yang menyambutnya. Apa dia mau mengejekku. Awas saja. Kupanah mati kau, ujarnya dalam hati. Lama Bambang Kumbayana memperhatikan Kutilang di rerimbun pohon ketapang.

Ahai, kini ia tahu bahwa Kutilang itu sedang menyuapi piyeknya. Tapi kenapa dia mengerjakannya sendiri, mana induknya? Ia induknya atau pejantannya? Peduli amat. Jantan atau betina tak penting. Bukan itu yang penting, tapi kesendiriannya itu. Ia–burung itu–kelihatannya santai saja keketika menyuapi anak-anaknya yang masih kecil, baru bisa menggerak-gerakkan sayapnya. Bambang Kumbayana tersadar dan bilang pada dirinya sendiri, “Kutilang itu sendirian bisa menyuapi anak-anaknya, kenapa aku mengeluh. Kenapa aku tak yakin pada kemampuanku? Aku harus bisa!”
***

Awak selingi puisi sebelum bagian (13) “Lenga Tala” hadir. Buat yang suka begadang atau yang tak berniat begadang, tapi susah tidur, keadaan seperti yang terlukis dalam puisi ini–kalau pantas disebut puisi–sudah biasa (tak asing lagi).

WAKTU

Tahu-tahu sudah jam satu dinihari. Apa yang terjadi? Ah, pertanyaan basa-basi. Satu hal pasti: matamu belum mengatup. Dan penyebabnya adalah huruf-huruf itu, baris-baris kata itu, yang entah sejak kapan, telah membawamu ke dunia entah-berentah.

Tak perlu kukatakan betapa sepinya di luar.
Seperti biasa, kau pun tahu bahwa pada detik
-detik begini, embun sudah mulai turun, sementara kabut telah bergerak di antara celah-celah daun. Tapi tunggu sebentar, lihat ke ujung sana, ke dekat rumah kosong itu. Agaknya seseorang sedang menabun. Tak perlu kauperiksa, apakah yang sedang bergerak menembus pohonan itu kabut atau asap. Yang penting bagimu kini adalah rebah.
Ya, rebahkan tubuhmu yang kian tambun itu
agar pergerakan malam ke pagi tak terusik
oleh ulah jari-jari dan kedap-kedip matamu.

Sesungguhnya kalau malam bisa bicara, ia ingin mengatakan kepadamu bahwa dirinya
tak perlu kautemani, atas nama apa pun. Waktu selamanya tak membutuhkan keberadaanmu.
Sebaliknya, kaulah yang membutuhkan kehadiran waktu, seperti yang terjadi pada malam ini, saat kauputuskan matamu harus mengatup.

Waktu tak pernah ikut campur tangan. Ia akan mengalir begitu saja tanpa kawalan siapa pun. Kalau kau sudah tahu bahwa subjeknya kau, bukan waktu, kuharap kau sekarang bisa memutuskan: rebah atau terus berjaga bersama waktu yang sesungguhnya tak pernah peduli pada kehadiranmu.

Baiklah. Kalau begitu, kau ikut aku. Jangan lupa ucapkan salam kepada waktu, sampai jumpa esok hari sebelum subuh tiba.
***

(bersambung)

Pemberontakan Pattimura di Mata Orang Belanda

$
0
0

Teriakan Kakatua Putih; Pemberontakan Pattimura di Maluku


Mahamuda *

Johan Fabricius mengarang sebuah novel bahasa Belanda: “De Schreeuw van de Witte Kakatoe”, diterjemahkan H.B. Jassin ke dalam bahasa Indonesia: “Teriakan Kakatua Putih; Pemberontakan Pattimura di Maluku”, Penerbit Djambatan, cetak pertama tahun 1980, dan kedua 1984, termasuk buku tipis di masa kekinian, 81 halaman. Di sampul depan terdapat stempel melingkar warna biru masih jelas: “Departemen Pendidikan dan Kebudayaan SMP 3 Sidoarjo.” Bukunya seperti jarang mendapat sentuhan dan lirikan mata di perpustakaan sekolah, berdebu serta kusam, ‘ber-uang’ jika dikiloan ke toko buku bekas. Ada sebuah peringatan pada bukunya, tertulis dengan huruf kapital: “Milik Departeman Pendidikan dan Kebudayaan, Tidak Diperdagangkan.” Tapi dijual ke pembaca dengan harga 60 ribu (entah sudah lewat tangan yang keberapa). Pembaca beranggapan sesuka hati, buku dilarang keras diperdagangkan, tetapi boleh diperjualbelikan, begitu kira-kira di Indonesia.

Di halaman pertama paragraf kedua, kita dibuat bingung, tertulis: “Nyanyian berirama orang-orang di atas orembai; mereka sedang memanggil angin; atau memanggil angin yang akan mengembangkan layar, sehingga mereka tidak usah memakai dayung dan dapat meluruskan badan di bawah naungan layar…” Di mana-mana, orembai menggunakan dayung. Sebuah orembai atau perahu layar, membutuhkan kemudi, agar tetap berlayar sesuai arah tujuan. Dayung, salah satu alat yang digunakan mengemudi. Ah! Pengarang dan penerjemah terlanjur memperlihatkan diri, kalau mereka belum pernah naik orembai, tetapi sudah mabuk laut.

Kembali lagi ke sampul depan, terlihat seekor burung kakatua putih memiliki jambul kuning sedang mengepakkan sayap mendekati sebuah batang bercabang, ada juga daun-daun hijau. Wah! Indah sekali dipandang mata. Konon, burung Kakatua pernah membakar rumah warga dengan menggunakan kakinya. Waduh! Ternyata nakal juga ini burung. Marilah kita tengok burung kakatua putih peliharaan Yonathan, pembantu di rumah residen. Inilah kutipkannya:

“Sebagai kawan serumah, di rumahku ada pula seekor kakatua, burung yang banyak terdapat di daerah ini. Yonathan mengambilnya sewaktu masih kecil dari sarangnya, dan mengajarinya bicara: ‘kakatua’, ‘selamat pagi, tuan!’ dan beberapa patah lagi, ‘ada ujan! Ada ujan! teriaknya kalau hujan turun. Dia indah sekali, apabila menundukkan kepala ke depan, meminta dielus tengkuknya, dan sementara itu mengembangkan jambulnya yang kuning lembut dari dalam…”
***

Pembaca jangan terburu-buru menyimpulkan isi cerita novel ketika baca judul besar yang tertulis disampulnya. Sebab di lembaran-lembaran selanjutnya, penulis tidak lagi berkisah mengenai kakatua putih milik Yonathan. Kita baca halaman demi halaman sambil menduga-duga, siapakah teriakan kakatua putih? Apakah Belanda? Dengan alasan sederhana, mereka dahulu, senang berpakaian serba putih, dan mendapat sebutan orang kulit putih dari pribumi. Tunggu! Kita perlu melihat gambar Kapitan Pattimura. Lihat! Kapitan sedang mengenakan pakaian putih sambil memegang parang lengket di dadanya dengan gagah berani dan melawan. Kita menduga lagi, apakah teriakan itu milik Pattimura? Pembaca berani berkesimpulan, setelah mengikuti jalan kisahnya sampai tamat. Suara teriakan itu milik Thomas Matulesia yang lantang meneriaki penjajah Belanda yang rakus dan tidak adil kepada rakyat kepulauan rempah-rempah.

Apa yang paling membekas dalam ingatan setiap orang Maluku dan penjajah, ketika mendengar nama Saparua? Tidak lain adalah pemberontakan Pattimura. Buku-buku yang menceritakan hal pemberotakan Kapitan Pattimura sudah banyak diterbitkan. Johan Fabricius bercerita sama, tapi dengan sugguhan kisah berbeda. Pengarang berangkat dari kacamata korban pemberontakan yakni Belanda.

Jan, nama tokoh utamanya, anak seorang residen. Setelah bertahun-tahun dan terhitung abad, ianya balik datang ke Maluku, bertempat tinggal sementara di sebuah pavilyun milik Residen Doornbos, dan nyonya Eveline di Saparua. Setiap orang melihat dirinya, selalu berkata penuh belas kasihan kepadanya. Mereka masih merawat baik ingatan pada kejadian yang mengerikan itu. Berkatalah mereka, “Itulah orang yang ketika masih kecil dapat lolos dari pembunuhan di pulau Maluku. Dan ialah satu-satunya anak kecil! Masih kelihatan di mata kanannya, bekas retakan Kelewang, umurnya waktu itu baru lima tahun, keluarganya di bunuh di benteng…”

Kedua orang tuanya serta kedua adiknya, laki-laki dan perempuan, mati di dalam benteng Duursetede saat terjadinya pemberontakan. Jan selamat dari maut atas bantuan perempuan Maluku bernama Hanna dan Magdalena, yang merawat luka-luka ditubuhnya. Waktu berganti, kedatangan Jan ke Saparua, salah satunya ingin berjumpa Hanna dan Magdalena. Namun kedua perempuan Maluku tersebut tidak lagi tinggal di Saparua. Hanna kini tinggal di Tuhaha, sedang Magdalena di Kailolo pulau Oma, sebelah Barat Honimoa. Niat ingin berjumpa telah mendarah daging membuatnya terus berusah mencari jalan rindu, agar bisa bertemu kembali dengan kedua perempuan hebat dalam hidupnya. Jan tumbuh besar, dan berumah tangga di Belanda. Ia selalu merasa hidupnya tak sempurna, jika tak balik menengok Saparua, sebelum maut menghampiri.
***

Masa-masa silam kembali dikenang lewat tutur Yosef Latupersia, saksi mata pemberontakan Pattimura. Diceritakan dengan sangat hati-hati kepada Jan. Bagaimana awal mulanya terjadi pemberontakan yang memakan banyak korban. Beberapa orang yang pernah ditemuinya juga memberi sebuah pengakuan atas kesetiaan Thomas Matulesia, sebagai jemaat gereja Protestan Kalvinis. Belanda-lah yang membawa aliran kepercayaan Kalvinis ke Maluku. Sebelumnya di masa Portugis, sebagian penduduknya telah memeluk kepercayaan Katholik. Kemudian masuk Belanda dengan cara halus, mengajak penduduk untuk memeluk kepercayaan yang dibawanya. Seiring berjalannya waktu, Thomas Matulesia melihat sikap Belanda kepada rakyat Maluku melenceng dari ajaran kepercayaan. Ia mengatakan, Belanda-lah yang dimaksud orang fasik dalam Mazmur 17. Mereka yang harus kita lawan, dan perlawanan terus terang dilakukan Thomas Matulesia, sampai berakhir pada penangkapannya dan dijatuhi hukuman gantung.

Detik-detik menghadapi hukuman gantung, Thomas Matulesia masih sempat berkata-kata tanpa rasa takut sedikitpun! “Selamat tinggal tuan-tuan!” Kata Thomas Matulesia kepada tuan-tuan Belanda. Membuat tuan-tuan Belanda geger dan merasa dipermalukan di depan orang banyak. Selain Matulesia, disebutkan juga beberapa nama yang juga dijatuhkan hukuman gantung, di antaranya: Anthonius Rhebok, Philippus Latumahina, dan Sayad Printa.
***

Novel ini juga menyinggung peperangan di Teluk Wai Asil, yang dimenangkan pasukan Thomas Matulesia. Di akhiran cerita, pengarang menggambarkan seorang perempuan yang melawan, Martha Kristina. Anak dari raja tua perkampungan Abubu di Nusa Laut, bernama Paulus Triago. Di usia yang sangat muda, membantu ayah dalam pertempuran di Nusa Laut yang berakhir dengan kekalahan Paulus Trigo. Martha kemudian menjadi tawanan. Di kapal Reigersbergen, dirinya menjemput kematiannya dengan cara menolak makan dan minum yang diberikan kepadanya, lalu jasadnya di buang ke tengah laut. Penulis melukiskan sosok Martha Kristina dengan sangat indah, demikian kutipannya:

Dialah ikan, yang terbang jauh mencecah laut/ Kristina Martha/ Dialah camar, yang turun di atas gelombang setelah lesu berkelana/ Kristina Martha/ Dialah duyung, yang menghimbau menghiba-hiba di malam hari/ Kristina Martha/ Dialah hempasan gelombang, yang mendesir membasuh pantai/ Dialah taman lautan, ikan macan bergerombol-gerombol di dalamnya/ Kristina Martha/ Dialah yang tiada kelihatan, yang mengumpulkan bunga karang di dalam taman/ Kendaraannya penyu laut. Rambutnya ganggang menari/ Kristina Martha/ Dialah nafas panas gemetar di permukaan laut/ Di situ dia kadang kelihatan, kemudian menghilang/ Kristina Martha/ Dialah gempa laut, yang meruntuhkan rumah-rumah/ Menumbangkan pohon-pohon/ Memeluk manusia dan binatang dengan lengannya basah dalam pelukan maut/ Itulah dia: Kristina Martha… Kristina Martha…
***

Buku ini mengajak pembaca melihat sebuah kejadian, yang tak hanya menggunakan satu sudut pandang. Dalam novel ini, pengarang tetap mempertahankan serta menampakkan sikap seorang Belanda yang dikutuk dan disumpahi se-Nusantara, melalui tuan residen dan nyonya Eveline. Selama ini, kita selalu pukul rata, kalau orang Belanda itu penjajah dan biadab, tetapi di kisah ini disodorkan, bahwa tidak semua orang Belanda ialah penjajah dan biadab. Di mata Maluku, Thomas Matulesia adalah penyelamat, di mata Belanda, Thomas Matulesia ialah pemberontak, dan di mata Indonesia, Thomas Matulesia sebagai Pahlawan Nasional.


_____________
*) Mahamuda adalah nama pena dari Mahyuddin M. Dahlan. Anak bungsu dari lima bersaudara, lahir di Wayaua, Bacan Timur Selatan, Halmahera Selatan, 3 Juli 1994, dari pasangan Mahmud Dahlan dan Srida Midjan. Penulis menyelesaikan pendidikan Madrasah Ibtidaiyah al-Khairaat Wayaua, dan SD Wayaua di tahun 2006. Merantau ke Sulawesi Tengah, dan belajar di MTs al-Khairaat Pusat Palu, tamatan tahun 2009, masuk Madrasah Aliyah al-Khairaat Pusat Palu, lulus 2012, kemudian merantau ke Tanah Jawa. Tahun 2013 menjadi mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, Jurusan Perbandingan Agama, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam di Yogyakarta. Pada semester V, memilih meninggalkan kampus, sibuk mencari uang untuk membeli buku-buku sambil menghibur diri belajar mengarang cerita dan lagu, disamping senang berpergian naik kapal..

Fenomena Cerita Cinta Terlarang Golan dan Mirah

$
0
0

Golan-Mirah, Sukorejo, Kabupaten Ponorogo


Sumani *

Di era yang serba modern, dimana suatu generasi mudah membaur, transformasi barang sangat cepat, masih sering muncul berbagai pertanyaan dari beberapa kalangan, terutama dari orang-orang di luar wilayah Kecamatan Sukorejo, Kabupaten Ponorogo, misalnya: Betulkah air dari desa Golan dan dari Mirah, tidak mau bercampur? Orang akan mengalami kebingungan, jika membawa benda atau barang dari Golan ke Mirah, dan sebaliknya? Orang Mirah tidak diperkenankan menanam kedelai? Orang Mirah tidak bisa membuat tempe? Orang Mirah dan orang Golan, jika bertemu di tempat orang hajatan di mana saja, jalannya hajatan akan mengalami gangguan? Tidak akan terjadi perkawinan, antara orang Golan dan orang Mirah? Dan sebagainya…

Dari berbagai pertanyaan yang sering muncul itulah, penulis coba telusuri cerita tersebut dengan mencari informasi kepada tokoh-tokoh masyarakat, yang penulis anggap lebih mengenal fenomena kekisahnya, serta membaca buku lakon yang telah ada, dan hasil penelusurannya sebagaimana berikut:
***

Pada jaman dahulu, di suatu tempat terdapat seorang tokoh terkenal dengan gagah berani, punya ilmu kesaktian tinggi, sehingga sangat disegani orang-orang sekitarnya. Beliau bersebut Ki Ageng Honggolono. Di samping sebagai orang pemberani dan sakti, juga bijaksana, dikarena itulah beliau mendapat sebutan Ki Bayu Kusuma. Karena daya kelebihan yang dimilikinya, diangkatlah sebagai Palang atau Kepala Desa.

Dalam cerita ini, Ki Ageng Honggolono mempunyai seorang anak laki-laki bernama Joko Lancur. Seperti halnya ayahnya, Joko Lancur juga terkenal gagah pemberani. Sebagai anak orang terpandang pada umumnya, hampir semua hajat keinginannya selalu terpenuhi. Salah satu kegemarannya bersabung ayam (adu jago). Ke mana pun pergi, tak pernah terpisah seekor ayam jantan (jago) yang menjadi kesayangannya.

Suatu hari dalam lawatannya menyabung ayam, melewati suatu tempat bernama Mirah. Di situlah, jago kesayangannya terlepas dari himpitannya. Maka sangatlah gundah benak Si Joko Lancur oleh peristiwa itu. Ia berusaha menangkap jago kesayangannya. Berbagai upaya dilakukan, tetapi belum jua berhasil. Telah lama kesana-kemari dicari jago itu, akhirnya masuk ke belakang rumah (dapur) Ki Ageng Mirah (Ki Honggojoyo), adik sepupu Ki Honggolono. Si Mirah Putri Ayu (Putri Ki Ageng Honggojoyo) yang sedang membatik, sangatlah terkejut melihat ada seekor ayam jantan memasuki rumahnya. Si Mirah Putri Ayu berhasil menangkap jago yang masuk ke rumahnya, dan betapa senang hatinya, karena jago yang telah ditangkapnya, ternyata sangatlah jinak.

Tak lama kemudian, datanglah pemuda tampan mencari seekor jago. Pemuda itu tiada lain Joko Lancur. Betapa kagetnya hati Joko, melihat jago yang lama dicarinya berada dalam bopongan seorang perawan cantik jelita, bak Bidadari turun dari Kahyangan. Orang-orang Mirah dan sekitarnya, menganggap Mirah Putri Ayu sebagai Bunga Desa, dan memanggil dengan julukan Putri Mirah Kencono Wungu. Si Joko Lancur tidak segera meminta jago kesayangannya, tapi menjadi gugup, karena melihat kecantikan Mirah Putri Ayu. Sebaliknya, Si Mirah Putri Ayu juga demikian sama, sangat terpesona ketampanan Joko Lancur. Keduanya saling curi pandang lantas perkenalan, berlanjut sampailah jatuh cinta pada pandangan pertama. Sama layaknya anak muda yang baru dapati kenalan, mereka saling bercanda tertawa bahagia. Di sela-sela candanya, Si Joko Lancur bertanya: “Mengapa pamannya, Ki Honggojoyo tidak pernah memperkenalkan putrinya yang cantik ini?” Ternyata, Si Mirah Putri Ayu gadis pingitan, dilarang bergaul dengan pria, dan tidak diperkenankan keluar rumah.

Karena asyiknya bercanda, keduanya sampai lupa waktu berganti. Betapa kaget mereka berdua, setelah mendengar Ki Ageng Mirah berada di luar rumah. Mirah Putri Ayu segera menyerahkan jago yang dibopongnya kepada Joko Lancur, dan dengan perasaan halus, meminta Joko Lancur segera pulang, sebab takut-kawatir, kalau nanti dimarahi ayahnya. Joko Lancur segera memenuhi permintaan Si Mirah Putri Ayu, dan segera beranjak pergi. Ketika keluar dari rumah Joko Lancur kepergok Ki Ageng Mirah. Joko menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya. Ki Ageng Mirah tak menerima apa yang disampaikan Joko. Joko Lancur dimarahi, dicaci maki tak karuan, dikatakan pemuda tak punya tata krama, tak memiliki sopan santun, masuk rumah orang lain tanpa permisi dan sebagainya.

Merasa bersalah, Joko Lancur meminta maaf kepada Ki Ageng Mirah dan menyesali perbuatnnya. Ki Ageng Mirah dengan suaranya yang seram, Joko Lancur dibentak agar segera meninggalkan dari hadapannya. Pulanglah Si Joko, dengan perasaan malu sekaligus cemas, tetapi di benaknya senantiasa teringat, paras kecantikan Si Mirah Putri Ayu.

Waktu terus berlalu, Joko Lancur tidak seperti biasanya kemana saja tak pernah pisah dengan jago kesayangannya, tetapi kini selalu mengurung diri di rumah. Sering melamun, karena dalam hatinya hanya ada Si Mirah Putri Ayu, wanita pujaannya. Keadaan seperti itu, akhirnya diketahui Ayahnya, Ki Ageng Honggolono. Ki Ageng bertanya kepada anaknya, tentang apa yang terjadi padanya. Semula Joko Lancur tak mau mengatakan yang sedang melanda dirinya. Tapi setiap hari Ki Ageng melihat putra kesayangannya bersikap lain dari biasanya; kerap melamun, termenung, menyendiri, sering tak makan, waktu malam-malam pun sering tak tidur, dan yang merisaukan, tidak mau mendekati si jago kesayangannya.

Maka terus didesaklah, apa yang sebenarnya terjadi pada Joko Lancur. Dengan desakan dari sang Ayah, akhirnya membuka mulut, Joko Lancur menyampaikan kepada sang ayah, bahwa dirinya sedang jatuh hati kepada seorang wanita jelita, yakni Si Mirah Putri Ayu, Putri dari Ki Ageng Mirah. Mendengar apa yang dialami putranya, Ki Ageng Honggolono terkaget. Karena Joko Lancur satu-satunya putra kinasih-nya, olehnya tidak merasa keberatan apa yang jadi keinginan puteranya itu. Segeralah Ki Ageng memerintahkan salah seorang muridnya untuk melamar Mirah Putri Ayu.

Berangkatlah utusan Ki Ageng Honggolono menuju Mirah, melamar Si Mirah Putri Ayu. Kedatangan utusan Ki Ageng Honggolono disambut muka ceria oleh Ki Ageng Mirah, meski di benaknya tidak sudi mempunyai calon menantu seorang penjudi sabung ayam. Ki Ageng Mirah berupaya tidak menerima lamaran Putra Ki Ageng Honggolono, tapi dengan cara halus, agar tidak menusuk perasaan keluarga si pelamar, dan tidak menimbulkan pertikaian kemudian hari. Maka lamaran Joko Lancur diterima, tetapi ada syarat atau serahan yang harus dipenuhi oleh keluarga Ki Ageng Honggolono. Adapun syarat-syaratnya antara lain:

1. Supaya dibuatkan bendungan sungai untuk mengairi sawah-sawah di Mirah.
2. Serahan berupa padi satu lumbung yang tidak boleh diantar oleh siapa pun, dalam arti lumbung itu berjalan sendiri.

Itulah siasat Ki Ageng Mirah didalam upaya menggagalkan lamaran Joko Lancur, dengan syarat diluar batas kemampuan manusia biasa. Dan lantas segera pulanglah utusan Ki Ageng Honggolono. Sekembalinya dari Mirah, segera mengabarkan yang disyaratkan Ki Ageng Mirah untuk diterima lamarannya kepada Ki Ageng Honggolono. Honggolono sebenarnya telah mengerti apa yang dimaksud Ki Ageng Mirah, atas rupa-rupa persyaratan seperti itu. Dengan muka garang sambil terkekeh-kekeh, setelah mendengar laporan dari utusannya, Ki Ageng Honggolono tetap menyanggupi apa yang dipersyaratkan Ki Ageng Mirah.

Dengan niat kesanggupan Ki Ageng Honggolono memenuhi persyaratan tersebut, merasa khawatir dan takut perasaan Ki Ageng Mirah, jangan-jangan nantinya Ki Ageng Honggolono bisa memenuhi persyaratannya. Untuk mengantisipasi hal itu, Ki ageng Mirah berusaha keras menggagalkan pembuatan bendungan, serta menggagalkan pengumpulan padi yang dilakukan Ki Ageng Honggolono untuk mengisi lumbung.

Sementara Ki Ageng Honggolono berusaha sungguh dengan bantuan para muridnya didalam membangun bendungan dan mengumpulkan pepadian yang sangat banyak untuk mengisi lumbung serahan. Berkat kerja kerasnya, apa yang diniatkan Honggolono dalam waktu singkat mendekati keberhasilan. Pembuatan bendungan berjalan terus, pengumpulan padi pun lancar.

Melihat apa yang dilakoni Ki Ageng Honggolono, bagaimana Ki Ageng Mirah? Ki Ageng Mirah menemukan strategi untuk menggagalkan apa yang dikerjakan Ki Ageng Honggolono. Ki Ageng Mirah meminta bantuan kepada sahabat karibnya berwujud Genderuwo, agar mengganggu pembuatan bendungan, dan mencuri padi yang telah dikumpulkan di lumbung, sehingga apa yang dikerjakan Honggolono mengalami kegagalan.

Apa yang diperbuat Genderuwo utusan Ki Ageng Mirah, kiranya diketahui Ki Ageng Honggolono. Maka dari itu, Ki Ageng Honggolono tak mau lagi mengisi lumbungnya dengan padi, lalu menyuruh para muridnya mencari damen (jerami) dan titen (kulit kedelai) untuk mengisi lumbungnya. Dengan kesaktian dimiliki, jerami dan kulit kedelai disabda menjelma padi.

Mengetahui isi lumbung yang sebenarnya, Genderuwo utusan Ki Ageng Mirah tak lagi mencuri padi yang ada dalam lumbung. Lalu apa yang dilakukan dalam menggagalkan usaha Honggolono. Genderuwo utusan Ki Ageng Mirah mengalihkan perhatiannya, lalu mengganggu pembuatan bendungan yang akan digunakan mengairi pesawahan di Mirah. Dengan gangguan Genderuwo, maka sering jebol bendungan yang telah dibuat oleh para murid Honggolono.

Rupanya, penyebab kegagalan dalam pembuatan bendungan pun diketahui Honggolono. Maka Ki Ageng Honggolono pun meminta bantuan kepada sahabatnya berupa buaya untuk membuat bendungan. Datanglah buaya-buaya, jumlahnya mencapai ratusan ekor. Kawanan buaya tersebut berjajaran membentuk bendungan, sehingga dapat mengalirkan air ke sawah-sawah di Mirah.

Genderuwo utusan Ki Ageng Mirah yang hendak gagalkan pembuatan bendungan, tertangkap kawanan buaya. Terjadilah peperangan hebat antara Genderuwo dan buaya-buaya. Dalam pertempuran, Genderuwo dapat ditakhlukkan, dan berjanji tidak akan mengganggu pembuatan bendungan lagi. Sejak itulah pembuatan bendungan jadi lancar dan segera selesai.

Semua yang dipersyaratkan Ki Ageng Mirah sebagai serahan sudah purna dipersiapkan, Ki Ageng Honggolono menyabda lumbung berisi padi berangkat sendiri. Maka, berangkatlah iring-iringan calon mempelai laki-laki, Joko Lancur diikuti murid-murid Ayahnya serta menuju Mirah.

Awal kedatangan calon mempelai laki-laki beserta para pengikutnya disambut baik oleh Ki Ageng Mirah. Namun Ki Ageng Mirah juga bukan orang sembarangan, yang memiliki kesaktian tinggi. Apa yang terjadi, Ki Ageng Mirah melihat sendiri, adanya lumbung berisi penuh padi bisa berjalan sendiri, yang sebenarnya isinya bukan padi, tapi berupa damen dan titen (jerami dan kulit kedelai).

Melihat hal tersebut, di hadapan para muridnya dan tetamu, Ki Ageng Mirah bersabda: Hai konco-konco kabeh, titenono ngisor, wiga-tek’no ndhuwur (lihatlah bawah dan tengoklah atas). Atas sabda itu, yang semula isi lumbung berupa padi, dengan seketika berubah menjelma jerami dan kulit kedelai.

Dengan terjadinya peristiwa ini, Ki Ageng Honggolono marah benar, karena rencana perkawinan putranya Joko Lancur dengan Mirah Putri Ayu, gagal. Maka terjadilah perang mulut antara Ki Ageng Mirah beserta pengikutnya, dengan Ki Ageng Hongglono beserta pengikutnya pula. Dan bukan hanya percekcokan saja, tetapi sampai adu fisik serta unjuk kesaktian.
***

Saat terjadinya peperangan itu, Joko Lancur mencari sang kekasihnya, Mirah Putri Ayu yang cantik jelita, karena tak sanggup menahan asmara. Di balik itu, mereka sudah tahu semua peristiwa yang tengah terjadi. Lantaran kegagalan cinta, mereka berdua mengambil keputusan lampus diri (bunuh diri).

Bersamaan terjadinya peperangan, bendungan yang dibuat oleh ratusan buaya ambrol, maka terjadilah air bah atau banjir bandang amat dahsyat. Ribuan manusia hanyut terbawa arus air yang menderas, dan di mana-mana bergelimpangan mayat, baunya menyengat hidung.

Usai peperangan, Ki Ageng Honggolono berhari-hari mencari putra kesayangannya, Joko Lancur. Lama dalam pencariannya dengan perasaan duka mendalam, karena putra kesayangannya didapati telah tewas bersama kekasihnya beserta ayam jagonya. Jasadnya dimakamkan bersama jago kesayangannya, dan makam itu diberi nama Kuburan Setono Wungu.

Memperhatikan semua peristiwa yang telah usai, di hadapan para pengikutnya yang masih hidup, dan para muridnya, Ki Ageng Honggolon bersabda:

1. Wong Golan lan wong Mirah turun-temurun, ora oleh jejodhohan (Orang Golan dan orang Mirah beserta keturunannya, tidak boleh diperjodohkan).
2. Isen-isene ndonyo soko Golan kang wujude kayu, watu, banyu lan sapanunggalane, ora biso digowo menyang Mirah (Segala sesuatu barang dari Golan yang wujudnya kayu, batu, air dan sebagainya, tidak bisa dibawa ke Mirah).
3. Barang-barange wong Golan lan Mirah, ora biso diwor dadi sidji. (Semua barang dari Golan dan Mirah, tidak bisa disatukan).
4. Wong Golan, ora oleh gawe iyup-iyup soko kawul. (Orang Golan, tidak boleh membuat atap dari jerami).
5. Wong Mirah ora oleh nandur, nyimpen, lan gawe panganan soko dele. (Orang Mirah dilarang menanam, menyimpan, dan membuat makanan dari kedelai).


Usai menyampaikan sabdanya, Ki Ageng Honggolono menandaskan: Sing sopo wonge nglanggar aturan iki, bakal ciloko (Siapa saja yang melanggar aturan ini, akan mendapati celaka). Dengan perasaan sebal dan cemas, Honggolono beserta para murid juga pengikutnya kembali ke Golan.
***

Semenjak kehilangan putra kesayangannya, Ki Ageng Honggolono sering merenung, di dalam hatinya selalu terbayang Joko Lancur. Di samping merenungi hidupnya yang tak pernah merasakan kebahagiaan lahir-batin, meski dari segi materi kaya raya, harta melimpah, dan mempunyai kesaktian tinggi. Ia merasa dalam menjalani hidup selama ini hanya menuruti nafsu duniawi serta tak dapat menahan emosi. Peperangan, perkelahian dan mencari lawan, jadi kebiasaan sehari-hari.

Dengan merenungi hidupnya seperti ini, akhirnya insyaf bertaubat membenahi jadi diri didalam menghabiskan sisa hayatnya, maka berangkatlah berguru kepada seorang Kyai. Hari demi hari mengabdikan diri, Ki Ageng Honggolono masuk Islam, beribadat dan mempelajari syariat agama.

Dipandang sudah cukup berguru mempelajari titah agama, segera pulanglah demi menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakatnya. Sebelum berpamitan, Ki Ageng Honggolono sempat menanyakan kepada Kyainya: Apakah ilmu-ilmu kesaktian yang diperoleh sebelum memeluk Agama Islam, masih perlu dipertahankan?

Dari pertanyaan yang diajukan, mendapati kesimpulan jawaban, bahwa ilmu kesaktian yang diperoleh sebelum masuk Islam, tidak perlu dipertahankan. Sekembalinya Ki Ageng Honggolono, penyebaran ajaran Islam berkembang pesat di kampung halamannya. Dengan begitu, tercapai cita-citanya bisa hidup tentram, aman, dan damai, melalui jalan yang benar menuju kebenaran.

Setelah wafat, jasad Ki Ageng Honggolono dimakamkan di Desa Golan, Sukorejo, Ponorogo (Surono, Riwayat Babat Desa Golan, 1997). Demikian juga Ki Ageng Mirah, seusai peperangan serta banyaknya para pengikutnya yang hanyut terbawa air bah saat terjadi peristiwa ambrolnya bendungan, beliau pun masuk Islam. Ki Ageng Mirah juga berguru kepada seorang Kyai. Karena keberhasilannya didalam mempelajari ajaran Islam, beliau pun menjadi seorang Kyai, dengan gelar Kyai Muslim, dan bahkan mendirikan pondok pesantren.
***

Bagaimana keaslian ceritanya? Dari fenomena kisah ini masih ada bekas-bekas yang memungkinkan, bahwa lakon tersebut mendekati peristiwa sebenarnya. Hal itu ditunjukkan adanya makam Ki Ageng Honggolono di Desa Golan, yang sampai kini oleh masyarakat setempat dianggap keramat. Dan di Desa Nambangrejo, Kecamatan Sukorejo, juga terdapat sebuah padukuhan bernama Dukuh Mirah, yang konon kabarnya juga keramat. Namun versi kebenarannya kurang didukung bukti kuat, tersebab banyak yang diceritakan dari mulut ke mulut. Seandainya ada yang tertulis, hanyalah amat sederhana.

Meski demikian, kepercayaan masyarakat dari kedua tempat tersebut terhadap cerita ini masih cukup tinggi. Sabda-sabda Ki Ageng Honggolono sangat dipercayai, meski tidak secara keseluruhan. Bahkan para birokrat tingkat kecamatan setempat yakin adanya kisah tersebut, dan banyak para peziarah datang ke tempat terjadinya lakon Golan Mirah.


*) Sumani, S. Pd., guru SD Negeri Lengkong. Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Dinamika PGRI Ponorogo. Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Dinamika PGRI Ponorogo, editor postingan oleh NJ. Dan sumber gambar dari penelusuran di google, terkait Golan-Mirah serta jathil cantik Ponorogo.

CERDAS BAHASA DAN SENI

$
0
0

Djoko Saryono

/1/
Psikologi pendidikan terutama psikologi pembelajaran berkembang sangat pesat. Pelbagai temuan, pandangan, konsep, teori, pendekatan, dan strategi baru tentang pembelajaran dan hal-hal yang terkait dengan pembelajaran dikemukakan dan dipublikasikan oleh pakar psikologi pembelajaran. Hubungan antara otak dan pembelajaran, gaya belajar siswa (baca: pembelajar), dan kecerdasan manusia merupakan beberapa temuan empiris yang sangat penting yang [mulai] mengubah pandangan, konsep, teori, pendekatan, dan strategi pembelajaran.

Sebagai contoh, pandangan dan teori tentang kecerdasan emosi, kecerdasan adversitas, kecerdasan spiritual, dan terutama kecerdasan majemuk terbukti telah menggoyahkan atau meruntuhkan keyakinan kita mengenai kecerdasan intelektual – yang kita anggap segala-galanya. Demikian juga pendekatan dan atau strategi pembelajaran [dan pengajaran] kuantum, pembelajaran dipercepat, pembelajaran investigatif, pembelajaran berbasis proyek, pembelajaran berbasis masalah, pembelajaran kooperatif, dan pembelajaran [dan pengajaran] kontekstual telah memudarkan berbagai pendekatan dan strategi behavioristis. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa telah terjadi suatu revolusi pembelajaran [ada sebuah buku pembelajaran yang berjudul Revolusi Pembelajaran!].

/2/
Dalam revolusi pembelajaran ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan oleh para tenaga kependidikan, pengambil kebijakan pendidikan [terutama pembelajaran], dan pelaksana pendidikan. Pertama,temuan dan pandangan baru tentang hubungan otak dengan pembelajaran. Kedua, pandangan dan teori baru tentang kecerdasan manusia. Ketiga, pendekatan dan strategi baru pembelajaran.

Temuan dan pandangan baru tentang hubungan otak dengan pembelajaran menyatakan bahwa pembelajaran sangat ditentukan oleh kondisi otak manusia. Pembelajaran menggunakan kedua belah otak manusia [otak belahan kiri dan otak belahan kanan]. Pembelajaran harus melibatkan seluruh lapisan otak [otak reptil, otak limbik, dan neokorteks]. Selanjutnya, kualitas pembelajaran sangat ditentukan oleh kenyamanan dan kebugaran kondisi otak manusia. Lebih jauh, pembelajaran harus mengembangkan semua kecerdasan manusia.

Temuan, pandangan, dan teori baru tentang kecerdasan manusia menunjukkan bahwa kecerdasan bukan berkenaan dengan aspek intelektual atau kognitif manusia saja. Kecerdasan manusia berkenaan dengan berbagai dimensi psikologis manusi. Kecerdasan manusia bermacam-macam, di antaranya kecerdasan intelektual, kecerdasan emosi, kecerdasan adversitas, kecerdasan spiritual, dan kecerdasan majemuk; semua kecerdasan manusia perlu dikembangkan dalam pembelajaran.

Pendekatan dan strategi baru [dalam] pembelajaran menyatakan bahwa pembelajaran harus bertumpu pada siswa [gaya belajar siswa], bermakna bagi siswa, kontekstual bagi kebutuhan siswa, dan harus berlangsung secara aktif, nyaman, senang, dan gembira. Pendekatan dan strategi pembelajaran mutakhir tampak selalu mempertimbangkan hal-hal tersebut.

/3/
Baik dalam temuan dan pandangan baru mengenai hubungan otak dengan pembelajaran, temuan dan teori baru tentang kecerdasan manusia maupun pendekatan dan strategi pembelajaran mutakhir, bahasa [bahasa apapun!] selalu hadir dan mengambil peranan. Status bahasa dalam tiga hal tersebut berubah-ubah dari waktu ke waktu. Pada masa lalu, status bahasa hanya sebagai unsur yang terdapat dalam fungsi-fungsi otak yang bekerja dalam proses pembelajaran, kemudian status bahasa sebagai unsur kecerdasan manusia, dan kemudian status bahasa [mengalami peningkatan] sebagai suatu kecerdasan [baca: kecerdasan bahasa, verbal/linguistic inteligence].

Sebagai contoh, dalam pandangan lama tentang hubungan otak dengan pembelajaran, bahasa dipandang hanya berurusan dengan otak belahan kiri. Sekarang bahasa dipandang berurusan dengan otak belahan kiri dan otak belahan kanan; bahasa menentukan kerja otak dalam proses belajar. Dalam teori kecerdasan intelektual (IQ), bahasa dipandang sebagai unsur utama kecerdasan selain logika dan matematika. Dalam teori kecerdasan emosi bahasa [dalam hal ini keterampilan berbahasa] dipandang sebagai satu unsur utama kecerdasan selain ketahanan emosi, kendali perasaan, dan lain-lain.

Selanjutnya, dalam teori kecerdasan adversitas, bahasa dipandang sebagai salah satu unsur kreatif dan produktif manusia yang menentukan ketahanan dan kemantapan diri seseorang untuk mengubah hambatan menjadi peluang. Kemudian dalam kecerdasan spiritual, bahasa dipandang sebagai katalisator sekaligus penentu makna dan pemaknaan hidup manusia. Lebih lanjut, dalam kecerdasan majemuk, bahasa telah dipandang sebagai salah satu kecerdasan [ingat: bukan sekadar keterampilan atau kecakapan!] selain kecerdasan logis-matematis, gambar-keruangan (spasial), kinestetik-tubuh, musikal, intrapribadi, antarpribadi, naturalis, dan eksistensial [spiritual].

Lebih jauh, dalam pembelajaran kuantum, pembelajaran dipercepat [akseleratif], dan pembelajaran kontekstual, bahasa [baca:kecakapan bebahasa] diperlakukan sebagai salah satu unsur penting yang dapat mendukung keberhasilan belajar. Ini semua menunjukkan bahwa bahasa, kecakapan bahasa, dan kecerdasan bahasa merupakan hal penting dalam pembelajaran karena keberadaan, kedudukan, peran, dan fungsinya yang strategis dalam proses dan hasil pembelajaran.

Dalam pembelajaran dengan menggunakan teori kecerdasan majemuk, kecerdasan bahasa berhubungan secara tak terpisahkan dengan delapan kecerdasan lain. Karena itu, kecerdasan bahasa dapat dijadikan jalan untuk meningkatkan delapan kecerdasan, yaitu kecerdasan logis-matematis, tubuh-kinestetis, gambar-keruangan, musikal, intrapribadi, antar-pribadi, naturalis, dan spiritual. Sementara itu, dalam pembelajaran kuantum dan pembelajaran dipercepat [akseleratif], kecakapan berbahasa dapat dijadikan komponen utama strategi pencapaian hasil yang optimal dan efektif.

Dalam pelbagai pandangan baru tentang pembelajaran malah acap dinyatakan bahwa kecakapan berbahasa merupakan terapi [wahana penyembuhan] pelbagai penyakit pikiran dan hati. Ini semua menunjukkan bahwa kecakapan membaca, menulis, mendengarkan, dan berbicara merupakan wujud kecerdasan manusia selain menentukan kualitas kecerdasan dan pikiran manusia. Oleh karena itu, kecerdasan bahasa yang dapat berupa kecakapan mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis perlu memperoleh perhatian dalam pembelajaran apa pun – bukan semata pembelajaran bahasa.
***

______________
*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd adalah Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.

CINTA DAN BENCI

$
0
0

Aprinus Salam *

Terdapat potongan adegan dalam sebuah film silat. Kurang lebih menggambarkan seorang pendekar wanita yang dipaksa membunuh seorang pendekar laki-laki yang sakti. Pendekar sakti itu telah tertodong pedang, karena memang sang pendekar tidak memberi perlawanan. Guru pendekar wanita berteriak, “Bunuh laki-laki itu, bunuh. Apa kau ingin melawan gurumu?”

Si wanita bingung dan kalap. Ia tahu dia mencintai pendekar sakti itu dan sebaliknya. Ia pun tahu gurunya membenci dan dendam yang demikian mendalam kepada sang pendekar sakti. Ia terjebak dalam cintanya kepada sang pendekar dan kepada gurunya (tentu dua jenis cinta yang berbeda), dan atas kebencian gurunya kepada kekasih hatinya.

Teriakan gurunya begitu tinggi menusuk perasaannya karena dia takut dianggap sebagai murid yang khianat. Akan tetapi, tangannya tak mungkin menusukkan pedangnya ke sang kekasih. Karena demikian panik dan limbung, sambil menutup mata dan berteriak histeris, pendekar wanita itu melentingkan badan dan tangannya. Si pendekar sakti tetap diam dan menerima, maka tertusuklah dadanya bagian kiri. Beberapa detik setelah si wanita tahu bahwa ia telah menusukkan pedang ke dada kekasihnya, ia pingsan.

Sebuah adegan mampu dengan baik bercerita, tetapi tidak mampu dan tidak bermaksud menjelaskan. Seharusnya, ilmu-ilmu sosial dan humaniora yang menjelaskan hal tersebut. Namun, ilmu sosial dan humaniora memiliki banyak keterbatasan untuk menjelaskan gejala-gejala yang tidak tampak, termasuk dalam hal ini persoalan cinta dan benci. Biasanya ilmu sosial dan humaniora hanya berusaha menjelaskan gejala-gejala empiriknya, yang kemudian dirasionalisasi lewat berbagai penafsiran dan pendekatan. Pertanyaannya, apa itu cinta dan benci? Bagaimana kedua hal tersebut menjadi ada? Bagaimana kita bisa mengetahui hal tersebut? Apa implikasi cinta dan benci dalam kehidupan?

Biasanya kita menyebut kedua hal tersebut hadir sebagai “representasi” perasaan. Akan tetapi, hal itu belum menjelaskan apa itu cinta dan benci yang muncul dalam perasaan. Saya ingin mengikuti taksonomi Freud bahwa dalam diri manusia itu ada yang disebut id, ego, dan superego. Namun, karena Freud yang mengikuti positivisme tidak masuk ke wilayah Ruh, saya akan meminjam terminologi kepercayaan (keyakinan) saya bahwa dalam diri manusia ada Ruh, bukan sekedar jiwa.

Id adalah segala hal gejala tubuh yang ingin dipuaskan, seperti lapar, haus, libido (syahwat), dan kepuasan empirik lainnya. Implikasinya, jika id tidak terpenuhi, maka akan muncul rasa tidak suka (benci) marah, kecewa, bahkan dendam (lihat Freud, 1991). Tubuh, lewat perasaan, akan melampiaskan rasa kecewa ini dengan mungkin mengumpat, memaki, atau melakukan tindakan-tindakan kekerasan untuk memenuhi rasa puas tersebut.

Sementara itu, superego bukan gejala tubuh. Superego terkait dengan beberapa pengertian terutama pengertian hati (nurani), suatu Nur dalam diri, suatu Ruh yang terintegrasi secara menyeluruh dalam eksistensi kemanusiaan. Superego tidak menuntut kepuasan, karena superego merupakan nilai dan substansi hakiki yang jika kemunculannya atas perasaan adalah perasaan cinta (lihat Fodor, 2013). Cinta bukan gejala tubuh, melainkan gejala Ruh. Implikasi keberadannya ada pada perasaan kasih-sayang dan ketulusan.

Ego adalah kesadaran dan ruang yang mengelola negosiasi id dan superego. Dalam beberapa hal, sangat mungkin ego dapat disejajarkan dengan pikiran (dalam berbagai terminologi lain disebut rasio, akal, dll). Akan tetapi, yang ingin saya tekankan di sini bahwa kesadaran (pikiran) ikut memainkan peran dalam negosiasi tersebut, walaupun pada akhirnya akal bisa larut dalam id atau superego (lihat Freud, 2018). Jika akal larut dalam id, maka yang muncul dalam tindakan adalah segala hal gejala tubuh. Namun, tidak tertutup kemungkinan pikiran bisa larut (tercelup) dalam nilai superego. Yang terjadi adalah cinta itu sendiri. Karena tidak menuntut kepuasan, tidak ada masalah dalam cinta. Cinta menyelesaikan semua masalah atas nama cinta itu sendiri.

Memang, kata cinta sering dipakai secara historis, politik, dan sosial: cinta orang tua kepada anak yang biasanya tanpa pamrih, cinta sesama jenis kelamin, cinta guru kepada muridnya, dan lain sebagainya. Sementara cinta kepada bangsa dan cinta pada kebenaran, itu lebih dekat dengan perasaan sayang. Sayang merupakan implikasi dan representasi dari cinta .

Di sinilah, keyakinan yang saya pegang adalah bahwa cinta autentik terjadi ketika hanya mencintai Diri-Nya. Pernyataan ini juga didukung oleh Quran yang berbunyi “adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah” (Surat Al-Baqarah, ayat 165).

Kembali ke kasus adegan silat di atas, maka yang terjadi adalah pertarungan antara rasa sayang dan benci. Terjadi pertarungan representasi tak langsung antara id dan superego. Dengan demikian, gejala sayang merupakan bentuk negosiasi antara id dan superego yang mencul dalam kesadaran (perasaan). Pingsan atau ketidaksadaran yang dialami si wanita adalah gejala tubuh. Adegan lebih lanjut dalam film tersebut menampakkan bahwa pendekar sakti laki-laki lebih dapat menyatukan dirinya dengan kehendak cinta murni ketika ia memberikan nyawa (jiwa) karena dia yakin bahwa cintanya kepada Sang Pencipta, melebihi kesukaannya pada dunia, termasuk pada kekasih duniawinya.

Kebalikan dengan cinta, seperti telah disinggung, benci adalah gejala tubuh. Benci terjadi karena ada hal yang sangat tidak disukai terjadi. Implikasi empiriknya pada ego dengan gejala marah, ngamuk, kecewa, sakit hati, atau dendam. Benci sebagai gejala tubuh berposisi untuk menguji keberadaan cinta dalam diri manusia. Manusia bukan Tuhan, walaupun beberapa ajaran meyakini bahwa secara kualitatif manusia mampu bersatu. Dalam kebatinan Jawa disebut “manunggaling kawulo gusti” (Zoetmoelder, 1991). Dalam tasawuf disebut sebagai tajalli (Izutsu, 1984:152).

Pertanyaannya, bagaimana dengan pernyataan-pernyataan atau kesan, bahwa Tuhan itu bisa marah atau cemburu kepada hambanya, dengan memberi hukuman kepada hamba yang melanggar syariah yang ditentukan oleh Tuhan? Saya berpendapat bahwa Tuhan tidak mungkin marah dan cemburu. Pengertian ini terlalu memanusiakan Tuhan. Terlalu berlebihan buat Tuhan jika memiliki perasan marah dan cemburu dalam pengertian yang manusiawi. Hal itu hanya bisa dikenai untuk karakter kemanusiaan. Yang terjadi adalah Tuhan membersihkan kotoran dan kesalahan dalam diri manusia untuk kembali bersatu bersama-Nya. Bahasa hukuman dari Tuhan terlalu keras buat saya. Saya yakin Tuhan tidak seperti itu, walaupun saya mengatakan itu dalam ketidaktahuan saya tentang Tuhan (Yang Nyata).

Cinta tidak bisa diwariskan, karena secara inheren cinta selalu ada dalam diri manusia. Namun, benci bisa diwariskan, bahkan bisa diwariskan atau bisa ditularkan secara kolektif. Narasi atau wacana-wacana tertentu yang bersifat ideologis, sebagai output gejala tubuh yang tersimpan dalam id dapat memunculkan ideologi seperti rasisme, sukuisme, fasisme, atau beberapa gejala yang diperlihatkan seperti hadirnya kelompok-kelompok ekstrim. Gejala ini terdapat hampir di semua negara.

Kebencian menjadi bahan bakar permusuhan dan konflik. Itulah sebabnya, negara sangat mungkin merupakan reprsentasi tubuh kolektif warganya. Itulah sebabnya, sebagai representasi tubuh warga, negara juga bernafsu untuk menguasai banyak hal. Negara menjadi berhadapan dengan negara lain, yang juga sebagai representasi warganya sendiri, baik sebagai kawan atau sebagai lawan. Ini juga terjadi dalam kehidupan antarmanusia. Negara bukan representasi cinta.

________________
*) Aprinus Salam, mengajar di Pascasarjana FIB UGM.

MACAN LUWE

$
0
0


Taufiq Wr. Hidayat *

Perempuan—kata orang Jawa, “lakune kaya macan luwe”. Langkah kakinya lembut gemulai, melenggok dengan bokong yang agung, tenang, memikat. Laki-laki terjerat. Ia bagai harimau yang sedang lapar mengincar. Sepenuh jiwa, waspada, menyimpan rahasia yang tak terduga. Naluri sebagai perempuan, menggerakkan. Wajah cantik dengan kecantikan yang tak terjelaskan, dada agung yang bergolak, tatapan mata yang nanar, kedalaman tak terpecahkan.

Memandang perempuan sebagai realitas, membawa pemahaman pada pesona. Pesona yang tak cuma kelancangan kelamin. Kenapa perempuan cantik yang tertangkap bugil di kamar hotel harus diarak di media sosial? Tak lain lantaran media membutuhkan “berita buruk” sebagai jualan yang laris, dengan tokoh yang benar-benar seksi. Orang gemar mengikuti berita buruk, ngeri-ngeri sedap. Tapi lebih gemar lagi, berita buruk dengan pemain yang sangat tidak buruk. Seorang kawan tiba-tiba memampang foto perempuan cantik yang sedang ramai terjerat kasus pelacuran yang gencar di media sosial. Meski maksudnya barangkali guyonan, tapi betapa kurang ajar menjadikan perempuan guyonan publik. Meski ia punya status sosial yang terpuji, namun pandangannya tak lebih dari sekadar pornografi. Seketika ia kehilangan sifat kesatria, kata orang Jawa. Lantaran sebagai laki-laki telah berbuat kurang ajar dan dengan nafsu hina-dina menelanjangi Drupadi di balairung istana Kurawa. Ketakmampuan mendapatkan perempuan jelita dengan hatinya, membuat para kesatria gombal itu memakai cara-cara kekuasaan yang tidak fair dengan menelanjangi seorang perempuan yang meneguhkan dirinya sebagai perempuan, sebagai seorang istri, dan ibu bagi anak-anaknya.

“Harimau lapar” yang memesona dan mendebarkan itu, menyimpan biografi panjang tentang tubuhnya. Tentang kenangan, tentang ibu, masa kecil, harapan dan impian indah seorang perempuan. Ada moral, agama, sosial, politik, budaya yang mengerangkeng tubuh itu. Jika tafsir pada tubuh hanya kelamin, ia telah menindas. Ia melecehkan makhluk Tuhan yang keindahannya tak pernah selesai dijelaskan oleh segala puisi. Sebagai teks, ia tak menghendakkan tafsir tunggal. Tafsir tunggal merupakan bentuk pengambilalihan posisi sang pencipta. Itu keingkaran! Memandang perempuan hanya seksualitas dan menyampahkan kompleksitas eksistensial dari realitasnya sebagai perempuan, tak lain adalah kekufuran. Pengingkaran dan kekurangajaran terhadap maha-kreatif-Nya yang maha-kaya.

“Harimau lapar” dalam terminologi orang Jawa itu, dapat menerkam seekor kambing jantan. Meskipun ia adalah sosok kesatria jantan yang gagah perkasa, tapi ia cuma seekor kambing jantan di hadapan harimau betina yang sedang lapar.

Tembokrejo, 2020

*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab IBlis” (PSBB, 2018), “Agama Para bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.

Asbabul Wurud

$
0
0

Kedung Darma Romansha *
Jawa Pos, 23 Okt 2016

TUBUH Karim mendadak diserang panas. Keringat membasahi seluruh tubuh dan tempat tidurnya. Napasnya berat, matanya memancarkan ketakutan yang dahsyat seolah-olah ia akan masuk neraka. Memang benar, ia akan masuk neraka. Kenapa bisa ia akan masuk neraka? Padahal seluruh hidupnya dihabiskan untuk beribadah. Sejak keluar sekolah dasar ia sudah nyantri di Tebuireng, Jombang, kemudian menginjak SMA ia lanjut mesantren ke Krapyak, Jogja. Semasa kuliah pun ia habiskan hidupnya di pesantren dengan mengabdi menjadi guru mengaji. Lengkap. Seluruh napasnya seakan-akan untuk Yang Memberinya Hidup. Tapi kenapa ia akan masuk neraka? Sementara Warjem, seorang PSK di kampungnya bisa masuk surga.

Sudah empat kali ini ia bermimpi masuk neraka. Mimpi itu seperti nyata. Ia masih ingat betul dengan sosok tubuh tinggi besar dengan wajah yang tak pernah terbayangkan sebelumnya memanggilnya di depan pintu neraka. Dan, ketika pintu itu terbuka, lantas ia terbangun oleh hawa api neraka yang menyambar seluruh tubuhnya, di dalam mimpinya. Ia merasakan seolah-olah tubuhnya mencair, lumer seperti margarin. Tulang-tulangnya linu seperti ingin terlepas, dan tubuhnya gemetar. Ia terengah-engah lalu meludah ke arah kiri sebanyak tiga kali sambil mengucap istighfar.

Ini kali pertama ia dicengkeram ketakutan yang amat. Ia belum pernah merasakan rasa takut selaknat ini. Mula-mula ia menduga kalau mimpi ini datangnya dari setan, sebab ia meyakini bahwa setiap mimpi buruk itu datangnya dari setan. Tapi ketika ia bermimpi berturut-turut sampai empat kali, ia mulai berpikir bahwa ini semacam ta’bir mimpi. Ia ingat cerita Nabi Yusuf dalam surat Yusuf: 6, bagaimana Tuhan menegurnya lewat mimpi. Artinya mimpi bisa jadi nyata. Ia pun mulai ketakutan, kenapa ia bisa mimpi seburuk itu. Kenapa ia masuk neraka, sementara seorang PSK bisa masuk surga.

Ia ingat cerita seorang PSK yang masuk surga hanya gara-gara memberi minum anjing yang kehausan, dan PSK tersebut merelakan dirinya menahan haus yang amat. Tapi apakah Tuhan memberi pelajaran dengan cerita yang sama? Maka ia mencari apa sebab perempuan itu bisa masuk surga di dalam mimpinya.

Ia bisa melihat wajah perempuan itu dengan jelas meskipun ia belum pernah bertemu dengannya sama sekali. Mulanya ia tidak meyakini wajah perempuan itu seperti dalam mimpinya, tapi rasa ingin tahunya besar. Maka ia cari nama Warjem di seluruh sosial media, tapi tak ada. Ia ingin menanyakannya pada Mang Kaslan, tapi ia malu. Maka malam itu ia iseng membuka dinding FB Mang Kaslan. Dengan teliti ia baca satu per satu. Betapa terkejutnya ketika ia melihat wajah perempuan yang sama di dalam mimpinya. Tapi anehnya namanya Si Cantik Nadira. Kemudian karena semakin penasaran ia membuka percakapan Mang Kaslan dengan perempuan tersebut. Dan betapa terperangah ia ketika membaca celotehan Mang Kaslan: wahhh Warjem udah ganti nama jadi Si Cantik Nadira niyeee… jangan lupa sawerannya buat masjid.

Sejak saat itu ia mulai berpikir bahwa mimpinya akan benar-benar terjadi. Setiap malam ia susah tidur. Ia takut mimpi itu akan kembali datang dalam tidurnya. Ia takut meninggal ketika tidur, dan mimpinya berubah menjadi nyata. Ia ingin bercerita, tapi siapa yang sanggup menjawab rahasia mimpinya. Sebab di kampungnya hanya dialah yang paling masyhur ilmu agamanya. Malah bisa jadi ia ditertawakan oleh ustad-ustad yang lain. Maka ia simpan sendiri gundah itu. Sempat terpikir ia akan menelepon kiainya di Krapyak. Tapi ia mengurungkannya, sebab secara adab itu kuranglah baik. Maka ia putuskan sowan ke Krapyak esok paginya. Ia akan naik kereta Fajar Utama dari Staskiun Jatibarang.

Mang Kaslan

Sejak hadirnya Ustad Karim di Masjid Baiturrahim, acara keagamaan di kampung kami benar-benar hidup. Dulu, Masjid Baiturrahman sepi. Hanya pada acara-acara peringatan hari besar keagamaan saja masjid itu nampak hidup. Selebihnya mati. Memang benar ada ustad-ustad lain di kampung kami, tapi semua disibukkan dengan agenda masing-masing. Seperti rencana membangun madrasah sendiri dengan mengirimkan proposal pengajuan dana ke pemda setempat. Bahkan ada yang ingin mendirikan pesantren. Padahal jujur saja, kalau dibanding dengan Ustad Karim keilmuan agama mereka sangat jauh. Saya tidak bermaksud menghina, tapi mestinya tahu diri dengan kemampuan yang dimiliki. Paling tidak memberdayakan apa yang ada, tidak bermimpi muluk-muluk.

Saya benar-benar tidka menduga Ustad Karim bersedia menjadi kemit masjid alias marbot. Ia yang mengurusi semua persoalan Masjid Baiturrahim. Mulai mencuci karpet, mengepel, mengelap kaca, sampai membersihkan kamar mandi. Ia juga yang menggagas madrasah di Masjid Baiturrahim. Sehingga setiap hari masjid ini tampak hidup. Semarak dan bergairah.

Saya tahu Ustad Karim seorang sarjana muda. Tapi saya tak habis pikir kenapa ia memilih jadi takmir masjid. Padahal untuk menjadi takmir masjid tak perlu sarjana. Tapi itulah pilihannya, tak terduga. Saya tahu, ia menjadi guru honorer di salah satu negeri di kampung kami. Jika lepas subuh, ia akan mengepel lantai masjid, membersihkan kamar mandi, dan menyirami tanaman di halaman masjid. Baru setelah itu ia mandi dan berangkat mengajar. Pulang mengajar pukul setengah satu, kemudian dilanjutkan mengajar madrasah pukul dua siang sampai pukul setengah lima sore. Lepas mengajar ia menggelar karpet untuk persiapan salat magrib berjamaah sampai selesai isak. Barulah setelahnya ia bisa bersantai dan mengobrol bersama kami, seorang tua yang menghabiskan sisa usia dengan salat berjamaah di masjid.

Tapi ada suatu hal yang membuat kami seperti terkena bogem tinju, yaitu ketika kami menghitung uang sumbangan masjid yang biasa dikerjakan usai Jumatan. Tidak biasanya Ustad Karim menanyakan nama-nama pemberi sedekah yang rutin setiap bulan. Beberapa nama yang ditanyakan kami jawab sesuai apa yang kami tahu. Hingga kemudian pada nama Warjem, seorang PSK yang bekerja di luar kota. Mendadak Ustad Karim terdiam. Seolah ia terheran-heran mendengar penjelasan kami.

”Sudah berapa lama Warjem menyumbang?“

”Sebelas tahun,“ jawab saya dengan ringan.

”Ustad Muslih, Ustad Mukhlis, Ustad Jakfar, tidak ada yang tahu kalau Warjem adalah seorang PSK?“

Kami menggeleng. Maksudnya kami tidak tahu apakah mereka tahu kalau Warjem seorang PSK.

”Mereka tidak pernah menanyakan hal itu,“ kata saya kemudian.
Ustad Karim terdiam. Kami pun diam.

”Kumpulkan semua uang yang disumbangkan Warjem dan kirimkan balik ke pemiliknya!“ ujarnya dengan tegas.
Kami diam.

”Haram! Masjid ini tidak akan berkarh! Kumpulkan uang itu, minggu depan saya sendiri yang akan mengirimkannya,“ lanjutnya kemudian. Lantas ia masuk ke dalam masjid meninggalkan kami di serambi. Kami masih terdiam. Sampai kami memutuskan pulang ke rmah masing-masing.

Sejak saat itulah saya melihat Ustad Karim suka termenung sendiri. Tidak seperti dulu, suka berbincang-bincang dengan kami. Ia terlihat murung. Seperti menyimpan sesuatu yang entah apa. Saya menduga karena sumbangan uang dari Warjem yang tak sepatutnya kami terima. Sumbangan itu secara turun-temurun belum pernah ada yang menolaknya. Maka kami pun meneruskan apa yang menjadi pendahulu kami. Tapi, kini, sedekah Warjem harus dihentikan. Seketika. Dan dalam seminggu ini semua uang Warjem selama sebelas tahun harus terkumpul. Sebelas tahun, ya, sebelas tahun.

Barangkali beberapa uang itu sudah menjadi pagar masjid dan kamar mandi yang tiga tahun lalu direhab. Atau barangkali bangku-bangku mengaji madrasah itu di antaranya adalah uang Warjem. Atau karpet masjid yang baru dibeli tiga bulan lalu. Kini Warjem menjadi persoalan kami. Persoalan Ustad Karim, yang membuatnya beberapa hari ini murung dan suka menyendiri.

Kami tidak tahu apakah ini salah takmir masjid atau siapa. Tapi, seakan-akan kami adalah penyebab kemurungan Ustad Karim. Ustad Karim yang dikenal periang dan energik, sekarang jadi pemurung dan loyo. Kami tidak tahu harus berbuat apa supaya Ustad Karim bisa kembali seperti semula. Yang jelas, sekarang kami tengah mengupayakan untuk mengupulkan uang Warjem dalam minggu ini. Uang haram itu.

Ustad Karim

Saya duduk lesehan setelah seorang pembantu mempersilahkan masuk. Cat dinding rumah Kiai Rifqi sudah tidak seperti dulu berwarna kuning, kini berwarna putih melati. Lebih terlihat luas dan seakan-akan saya seperti tidak di rumahnya saja. Barangkali karena memang saya sudah lama tidak sowan ke Krapyak, terutama ke Kiai Rifqi. Kadang saya merasa dia seperti ayah saya sendiri. Pernah dulu saya tidak punya uang sama sekali. Untuk naik angkutan ke kampus saja tidak ada. Waktu itu saya duduk-duduk sendiri di depan kamar asrama. Tiba-tiba Kiai Rifqi berhenti dan memanggil saya.

”Melu aku…,“ katanya dengan suaranya yang khas.

Saya beranjak dari duduk, mengambil peci dan menghampiri Kiai Rifqi. Kemudian kami pergi. Saya tidak tahu kami akan pergi ke mana. Saya tidak mau menanyakannya pada Kiai Rifqi. Saya segan. Tapi tak lama kemudian kendaraan kami berhenti.

”Di kamarmu ada bungkus rokok bekas?“

”Ada,“ jawab saya.

”Nah, sekarang kumpulin semua bungkus rokok yang ada di asramamu.’

“Nggih, Kiai.”

Dan, saya pun bergegas mengambil bungkus rokok yang ada di kamar-kamar asrama sambil berpikir sebenarnya buat apa bungkus rokok itu. Saya masuki kamar-kamar asrama satu per satu dan mengambil semua bungkus rokok. Beberapa kawan asrama membantu mengangkut bungkus-bungkus rokok itu, dan dapatlah dua kardus sedang. Kemudian kami kembali berkeliling ke kompleks pesantren untuk kembali mencari bungkus rokok, sampai-sampai motor kami tak cukup untuk menampung bungkus-bungkus rokok itu. Akhirnya kami menaruhnya terlebih dahulu ke rumah Kiai Rifqi, lalu kembali keliling asrama untuk mencari bungkus rokok lagi.

Tidak sampai dua jam akhirnya kami menyelesaikannya. Saya capek. Haus dan lapar. Kiai Rifqi malah terawa. Ia menyuruh saya duduk. Tak lama berselang seorang pembantu mengambilkan minuman dan makanan. ”Makan dulu, Rim,” ujar Kiai Rifqi dari dalam rumah.

Setelah saya selesai makan, Kiai Rifqi kembali keluar dengan membawa dua bungkus rokok kretek. ”Ngudud sik (Merokok dulu),” katanya sambil kemudian menyalakan rokok. Saya hanya tersenyum. Diam. Meskipun saya menahan rasa asam di mulut saya. ”Loh, kenapa malah diam? Ini satu bungkus buat kamu, Rim.“

Dengan canggung saya mengambil rokok itu dan menyulutnya sebatang.
”Setelah lulus jadi sarjana, kamu pulang ke kampung halamanmu. Pesantren yang sebenarnya itu ada di luar sana. Bukan di sini, Rim,“ ujarnya, seolah-olah ia seperti menasihati anaknya sendiri. ”Ini buatmu, hasil kerjamu tadi,“ lanjutnya sambil menyodorkan amplop putih. Tak lama kemudian azan dhuhur berkumandang, saya pamit. Saya tahu Kiai Rifqi akan bersiap-siap salat berjamaah di masjid.

Sesampai di kamar, ketika hendak membuka amplop putih itu, Bahri, teman saya, menepuk bahu saya. Kemudian ia menyodorkan uang duaratus ribu. ”Lunas ya, Rim.“ Saya mengambil uang itu dan amplop yang diberikan Kiai Rifqi tak jadi saya buka. Hingga sekarang amplop itu masih saya simpan. Dan belakangan saya ketahui kalau bungkus-bungkus rokok itu dijual oleh Kiai Rifqi dan uangnya digunakan untuk kegiatan salawatan di pesantren. Kebiasaan unik Kiai Rifqi itu dilakukannya sampai sekarang.

Saya masih menunggu Kiai Rifqi. Apakah beliau masih sama seperti dulu. Suaranya yang khas itu. senyumnya yang bersinar dan tangannya yang lembut. Kebiasaannya memanggil santri-santrinya lewat speaker hanya untuk mengumpulkan bungkus rokok yang hasil penjualannya digunakan untuk acara panggung selawatan.

”Saya kan sudah bilang, pesantren sebenarnya di masyarakat, Rim. Malah kamu bali lagi ke sini.“

”Saya mau matur, Kiai.“

”Matur opo?“

Saya ragu mau menceritakan mimpi saya. Saya takut. Saya tidak tahu perasaan apa ini. Jadi beberapa saat saya hanya mematung.

”Rim, kamu kan tahu apa itu asbabul wurud, to? Kalau belum tahu asbabul wurud, jangan bilang tahu. Itu rekayasa pikiranmu, su’udzon namanya. Bisa jadi fitnah. Ingat, sekarang kamu berada di pesantren yang sebenarnya. Sekarang kamu pulang!“

”Tapi, Kiai….“

Belum selesai bicara saya terbangun dari tidur. Saya tercenung sejenak. Mimpi seolah-olah nyata. Kiai Rifqi seolah tahu apa yang sedang saya hadapi. Asbabul wurud, fitnah, su’udzon. Tiga hal itu yang saya dari mimpi tadi. Barangkali ini memang tanda saya harus sowan kepadanya. Dan pagi ini saya memang berencana akan berangkat dari Stasiun Jatibarang. Makin mantap hati saya. Saya pikitr selepas salat subuh nanti saya mesti meneleponnya terlebih dahulu agar tidak terkesan mendadak. Barulah setelah Kiai Rifqi merestui, saya langsung berangkat.

Barangkali saya akan menginap tiga hari di Krapyak, sekaligus mengobati kerinduan saya dengan pesantren. Meskipun memang saya baru delapan bulan meninggalkan Krapyak tapi rindu itu seolah-olah memanggil-manggil dari peluit kereta masinis. Ah, iya, saya lupa menelepon Kiai Rifqi untuk mengabari bahwa saya akan sowan kepadanya. Tapi tak lama setelah saya berniat menelepon, HP saya berdering. Saya lihat Kiai Rifqi menelepon saya. Dengan rasa takjub dan keanehan yang merubungi kepala saya, saya angkat telepon itu.

”Assalamualaikum…”

Masih sama suaranya, khas. Saya masih bisa membayangkan senyumnya itu.

”Ustad Karim, bagaimana kabarnya?”

Ah, sekarang dia memanggil saya ustad. Saya merasa terharu. Pertama kalinya beliau memanggil saya ustad.

”Alhamdulillah, baik. Nyuwun sewu, Kiai, saya hari ini berencana sowan ke Panjenengan, saya akan berangkat naik kereta pagi ini.“

”Hehehe… tidak perlu, Karim. Buat apa menemui saya?“

Lama tidak ada suara dari dalam telepon itu. Kami diam. Akhirnya saya menceritakan apa yang saya alami. Meskipun awalnya saya ragu.

”Karim, coba kamu pikir, menurutmu iman seperti apa yang dimiliki perempuan itu? Padahal dia tahu uang yang dia sedekahkan itu tidak diterima oleh Allah. Tapi dia terus menerus mengulangi sedekah yang jelas-jelas tidak diterima oleh Allah. Pulanglah sekarang! Saya yakin kamu juga belum membuka amplop yang dulu saya kasih, kan? Pulanglah, Nak. Assalamualaikum…“

Saya terpaku sejenak. Iman seperti apa yang dimiliki perempuan itu? warjem. Saya beristighfar berkali-kali. Kemudian saya pulang. Langsung masuk kamar. Saya cari amplop yang dulu pernah diberikan Kiai Rifqi. Saya pandangi amplop itu. Pelan-pelan saya buka. Entah kenapa saya tiba-tiba menangis, tubuh saya bergetar, tak henti air mata saya mengalir. Tulisan di kertas itu adalah salawat yang setiap hari saya dengar. Tapi entah kenapa kali ini saya bergetar membacanya. Saya terus-menerus menangis di dalam kamar, seorang diri.

Jogja, 2016

Cerpen ini dedikasikan untuk almarhum Gus Kelik, Pondok Pesantren Krapyak, Jogjakarta.

*) Kedung Darma Romansha, lahir pada tanggal 25 Februari 1984 di Indramayu, Jawa Barat. Alumni jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY, 2009) serta pascasarjana Ilmu Sastra di Universitas Gajah Mada (UGM, 2017). Sebagai sastrawan, karya-karyanya dipublikasikan di pelbagai media massa, baik lokal maupun nasional serta antologi bersama. Ia juga aktif dalam seni peran, teater dan film. Pada Agustus 2018, bersama Saturday Acting Club diundang oleh Asia Theatre Directors Festival TOGA, Toyama, Jepang, membawakan “The Decision” karya Bertold Brecht. Novelnya “Kelir Slindet” merupakan buku pertama dari dwilogi Slindet/Telembuk (2014), dinobatkan karya terbaik Tabloid Nyata. Novel keduanya “Telembuk, Dangdut dan Kisah Cinta yang Keparat,” masuk short list Kusala Sastra Khatulistiwa 2017, serta menjadi buku yang direkomendasikan majalah Tempo kategori prosa, 2017. Novel itu juga salah satu yang terpilih dalam Market Focus, London Book Fair (Komite Buku Nasional, 2019). Dua buku puisinya, “Uterus” (2015), dan “masa lalu terjatuh ke dalam senyumanmu” (Rumah Buku, 2018). Yang segera terbit, buku kumcer perdananya “Rab(b)i”, dikonsep tidak seperti kumcer pada umumnya. Ia mengelola gerakan literasi di Indramayu, Jamiyah Telembukiyah, yang beberapa anggotanya terlibat dalam gerakan literasi jalanan, penyuluhan, dan pendataan terhadap Pekerja Seks Komersial di Indramayu. Anggota yang lain terlibat dalam gerakan sastra dan budaya di Indramayu. Program ini atas kerjasama dengan Universitas Wiralodra, telah mengundang beberapa sastrawan dalam negeri dan luar negeri, di antaranya Joko Pinurbo, Katrin Bandel, Afrizal Malna, Sosiawan Leak, dan Mubalmaddin Shaiddin dari Malaysia. Ia juga mengelola komunitas Rumah Kami/Rumah Buku di Yogyakarta.
https://klipingsastra.com/id/kumcer/2016/10/asbabul-wurud.html


JALAN SUNYI MUSASHI; Tentang Seorang Jagoan yang Tak Pernah Berdoa

$
0
0


S. Jai

KERAP KALI, perbincangan perihal kisah Miyamoto Musashi dalam novel yang ditulis Eiji Yoshikawa klimaknya berpusar pada pertarungannya dengan Kojiro. Selain karena hal ini adalah duel pamungkas yang dimenangkan Musashi juga tersebab Kojiro adalah lawan paling berat dan paling sempurna yang pernah dihadapinya.

Pun konon dalam sejarah,  dalam buku-buku biografi maupun pengakuan Musashi, kemenangannya, atau kekalahan Kojiro disebut-sebut titik balik dari ‘sejarah’ Musashi.

Demikianlah sastra dan sejarah, sastra sejarah, dan sejarah sastra.

Novel Musashi  mengisahkan perjalanan hidup Miyamoto Musashi, pasca perang Sekigahara Klan Toyotomi dan Klan Tokugawa (dalam catatan sejarah terjadi pada 21 Oktober 1600). Musashi berpihak pada Toyotomi—yang pada akhirnya mengalami kekalahan. Namun Musashi bersama sahabatnya Matahachi, selamat.

Musashi dikenal pemuda yang liar utamanya dalam hal membunuh orang. Hanya Pendeta Budhisme Zen, Takuan Soho, yang sanggup menundukkan keliaran Musashi. Bahkan sampai pada akhirnya Musashi menemukan pencerahannya, dan berlanjut memilih ‘Jalan Pedang’ sebagai jalan hidupnya.

Selanjutnya, novel ini menceritakan perjalanan dan pergulatan hidup Musashi di Jalan Pedang, kisah cintanya yang berliku dengan Otsu, permusuhannya yang pelik dengan Osugi—ibunda Matahachi—serta pertarungannya dengan puluhan Samurai (versi sejarah menyebut 60 kali tanpa terkalahkan). Diantaranya, dengan perguruan Yoshioka–Seijuro, Denshichiro, Genjiro—serta lawan pamungkasnya Sasaki Kojiro, samurai tak terkalahkan dengan senjata terkenalnya Galah Pengering.

Musashi menaklukkan Kojiro dengan senjata Dayung rusak tak berguna di sampan milik Sasuke.

Novel Musashi ditulis Eiji Yoshikawa—peraih penghargaan Budaya (Bunka Kunsho) dan Penghargaan Harta Berharga Zuihosho). Eiji banyak menulis novel bergenre sejarah Jepang. Selain Musashi, ada sejumlah yang sudah dalam bahasa Indonesia; Taiko, The Heike Story, Shin Suikoden, Minamoto no Yuritomo, Shinsu Tenma Kyo, Uesugi Kenshin, Naruto Hicho. Informasi dari JB Kristanto dalam pengantar Musashi (Gramedia, Cet 5, Juni 2006),  Eiji yang bernama asli Hidetsugu Yoshikawa sudah menulis saat usia 19 tahun. Karya pertamanya berupa Haiku—sajak pendek khas Jepang. Sebetulnya Eiji menulis dalam pelbagai genre. Hanya saja selepas tahun 1930 ia memantapkan genre sejarah.

Musashi tayang di koran Asahi Shimbun tahun 1935-1939 dalam 1009 nomor urutan serial. Terjemahan dalam bahasa Inggris sudah merupakan ringkasan dari naskah aslinya 26.000 halaman (?). Dalam terjemahan bahasa Indonesia dari bahasa Inggris, setebal 1247 halaman. Eiji juga menulis catatan perjalanan, terjemahan serta adaptasi kisah popular Cina, Batas Air, Kisah tentang Tiga Kerajaan. Eiji meninggal pada usia 70 tahun (7 September 1962) akibat kanker.

1. Ambiguitas, Pemberontakan

Tak seperti dalam catatan sejarah, novel itu sendiri dalam cerita paling ujung tak secara jelas mematikan Sasaki Kojiro—lawan tanding Musashi yang paling populer.  Pasca duel, pengarang  memberi penegasan; Kojiro tak kembali ke bumi, namun di waktu yang lain melalui jalan pikiran Musashi, dikatakannya musuh masih bisa terselamatkan.

“Kau kalah, Kojiro!”

“Apa?” Ganryu (Sasaki Kojiro Ganryu—penulis) kaget setengah mati.

“Pertarungan sudah selesai. Kau kalah, kataku.”

“Kau bicara apa?”

“Kalau kau bakal menang, kau takkan membuang sarung pedangmu. Kau telah membuang masa depanmu, hidupmu.” (Hlm.1246)
….

Sasaki Kojiro Ganryu tidak kembali ke dunia orang hidup. Ia terbaring tertelungkup dengan tangan masih mencengkeram pedang. Ketangguhan masih tampak pada sosoknya. Pada wajahnya tak ada tanda-tanda penderitaan. Tiada lain kecuali kepuasan, karena telah menjalani perkelahian yang baik, dan tak ada sedikit pun bayangan penyesalan. (Hlm. 1247).
….

Ia letakkan tangan kirinya ke dekat lubang hidung Kojiro, dan ia rasakan masih ada jejak napas. “Dengan perawatan yang tepat, dia masih bisa pulih,” kata Musashi pada diri sendiri. Ia ingin mempercayai kata-katanya itu, dan ia ingin mempercayai juga, bahwa orang yang paling gagah berani di antara semua lawannya itu akan diselamatkan.

Terang ini sesuatu ikhtiar menghadirkan ambiguitas yang terhubung antara takdir, maut, keadaan, ketiadaan-kehampaan, dan tentu saja pandangan dunia sejarah dan sastra penulisnya. Termasuk di dalamnya spiritualitas Musashi sebagai tokoh sejarah.

Dikisahkan, sebelum bertarung melawan Kojiro, di kamar Tarozaemon –seorang pedagang yang menampungnya–, Musashi melakukan semedi bukan dalam rangka menghadapi Kojiro, melainkan mempersiapkan diri di hadapan kertas serta kuas dan peralatan tinta:  Musashi hendak melukis.  Sarapan yang disediakan Otsuru, putri pedagang Tarozaemon, yang jatuh cinta pada samurai itu, pun tak berlanjut kisahnya.

Musashi menutup kamar, dan menyelesaikan lukisan “Seekor burung bangau di bawah pohon dedalu.”  Berlanjut dengan rencana menggoreskan tinta pada kertas kosong untuk lukisan kedua.

Proses melukis baginya adalah upaya menempatkan pikiran secara benar atas nama imajinasi dan teknik. Sedangkan kertas putih adalah semesta kehampaan-kekosongan-ketiadaan.  Kehadiran, tepatnya kehadiran hati, bergantung pada goresan kehendaknya tempat hatinya berdiam, dan terus bernapas sesudah sang pelukis menyelesaikan lukisannya, tiada, dan lalu meninggalkannya.

Tubuh manusia melayu, tapi tinta hidup terus. (Hlm. 1231)

Apa yang dialami Musashi sesungguhnya perihal kehampaan-kekosongan-ketiadaan.   Pikiran itu menghambat dan kekosongan baginya adalah ketika hati berbicara sendiri, bebas dari ego serta sentuhan tangannya. Suatu keadaan saat;

..menanti suasana mulia, saat hatinya dapat berbicara dalam kesatuan dengan alam semesta, tidak mementingkan diri sendiri dan tidak pula terhalangi. (Hlm. 1231)

Suatu suasana sunyi yang hanya bisa ditempuh dalam kesendirian. Suatu jalan sunyi sesunyi-sunyinya oleh karena tiada orang lain yang sama yang menempuhnya. Jalan Seni dan Jalan Samurai. Mengingatkan pandangan seorang nihilis tentang seni.

“Tak ada seniman yang dapat menerima kenyataan,” kata Nietzsche. Yang dilengkapi Albert Camus; Seni adalah aktivitas pengagungan dan sekaligus pengingkaran.  Tak ada seniman yang bisa terus melangkah di luar kenyataan. Karya seni adalah suatu tuntutan akan kesatuan dengan dan penolakan terhadap dunia. (Camus 468)

Pada diri Musashi ada semacam jalan penyatuan antara kehadiran dan pelarian.

‘Nabi’ modern Nietzsche mengonstruksi filsafat pemberontakan, dan Albert Camus merumuskannya.[1]

Barangkali ada secuil kesamaan antara nihilisme dan kekosongan. Tapi kekosongan bukan nihilisme. Sebagai suatu gagasan dia jauh lebih tua—ide tentang kekosongan dituangkan Musashi dalam Kitab 5 Cincin ditulis pada 1643 oleh Miyamoto Musashi.[2]  Kesamaan itu ada pada Jalan Sunyinya. Kesunyiannya. Kenabiannya.  Nietzsche tidak pernah berpikir kecuali dalam terma-terma kewahyuan, –sebagai  penolakan dan mengubahnya menjadi renaisans.[3]  Dalam bahasa Musashi; Orang akan mengetahui kehampaan yang nyata, yaitu suatu keadaan dimana tidak ada lagi ketidakjelasan dan kabut kebingungan telah hilang sama sekali.”[4]

Akhirnya, Musashi menyelesaikan lukisan kedua. Sebuah lukisan pemandangan yang tampak seperti awan yang tidak jelas bentuknya. Dua lukisan itu kemudian diberikannya pada Tarozaemon dan Sasuke—pendayung sampan. Bangau dan Awan. Kembara dan ketinggian. Perjalanan dan ketenangan. Lukisan kehadiran dirinya menumpahkan segenap pikiran dan hatinya.

Seluruh pikirannya telah ia tumpahkan ke tinta hitam dalam lukisan pemandangan…Sekarang ke Funashima. Ia berangkat dengan tenang, seakan-akan perjalanan ini sama dengan perjalanan lain. (Hlm. 1234)

Maka selepas menumbangkan Kojiro, awan pulalah sesuatu yang kali pertama dilihat Musashi.

Ketika itulah jiwanya kembali ke tubuhnya, dan baru waktu itulah ia melihat beda antara awan dan dirinya, antara tubuhnya dan alam semesta.(Hlm.1246)

Jika pemberontakan sebagai suatu jalan sunyi, sebagaimana setiap jalan sunyi adalah suatu pemberontakan, maka kesunyian Musashi lebih lengkap dari sekadar kesunyian seorang lelaki kecil yang di tengah keluarga broken home. Ia punya nama kecil Takezo. Ayah ibunya bercerai. Seorang anak yang mencintai ibunya, tetapi ibunya minggat dan ayahnya memaksanya tinggal bersamanya. Maka menjadi pelarian bagi Takezo adalah kitabnya, selain menjadi pemberontak pada Shinmen Munisai—seorang samurai yang tak lain adalah ayahnya.

Pemberontakan Musashi tak cuma didasari kesepiannya, melainkan juga mengkritik kemampuan dan cara ayahnya menggunakan jitte—senjata kebanggaan sang ayah—yang diajarkan padanya.  Takezo tumbuh menjadi pemuda yang bandel, kurang ajar, pemberang. Klimaknya, sepeninggal Ibunya, Takezo yang masih belasan tahun demikian tak terkendali.

Kematian itu berakibat berubahnya Takezo dari seorang anak pendiam dan pemurung menjadi anak kampung yang jail. Munisai pun akhirnya menjadi takut. Ketika ia mendatangi anak itu dengan pentung, anak itu menantangnya dengan tongkat kayu. (Hlm. 34)

Dengan kata lain, lelaki itu liar, kejam, sadis, brutal, ditakuti, diasingkan, yang semua ini melengkapi kesepian dan kesendiriannya. Pun sepeninggalan ayahnya, tak membuatnya berhenti sebagai pemberontak, justru kian menjadi-jadi.  Satu-satunya rasa kasih sayangnya tak lain hanya pada kakak perempuannya Ogin, dan karena tak tahan melihat air mata kakaknya, biasanya ia pun melakukan apa saja yang diminta kakaknya.

Sejak usia tujuh tahun, Musashi diasuh oleh pamannya, Dorinbo, seorang biksu di Kuil Shoreian. Dorinbo dan Tasumi, pamannya yang lain, mengajari dia agama Buddha dan pendidikan dasar seperti menulis dan membaca,[5]   yang kelak kemudian menentukan kematangan  ‘Jalan Kesendirian’ Takezo baik dalam Jalan Pedang maupun pemikiran dan seni kepenulisan.

2. Kehampaan dan Nihilisme

Barangkali dari dua lukisan Musashi itu; lukisan pemandangan ‘yang tampak seperti awan yang tidak jelas bentuknya,’ itu diperuntukkan pendayung Sasuke. Tak dijelaskan apakah lukisan itu telah diterima dari Otsuru ataukah belum, sebelum bersampan berdua dengan Musashi menuju Pulau Funajima di Selat Kanmon yang membatasi Honshu dan Kyushu—tempat Kojiro menanti.

Sasukelah orang yang melihat Musashi, menurut pendapat Sasuke, seperti awan putih yang mengapung di langit (Hlm. 1239). Sasukelah salah satu orang yang gelisah—dari sekian banyak tokoh dari novel ini baik yang lebih dekat dengan Musashi, maupun Kojiro dan para pendukungnya, selain tentu saja para politisi yang menangguk keuntungannya. Pilihan Musashi tinggal di kediaman Tarozaemon dan menolak tawaran Sado, tak lain juga karena Musashi tak ingin memperuncing rivalitas antara Nagaoka Sado dan Yang Dipertuan Tadatoshi—yang ada di balik pelayanan Kojiro.

Sebaliknya, Musashi telah mencapai ketenangan yang sempurna.   Hidup, kehidupan, bahkan kematian dirinya telah mengutuhkan diri baik dalam buih air laut,   sepotong dayung bekas yang kemudian dijadikannya pedang pengganti, juga awan.

Hidup dan maut kelihatan mirip sekali dengan buih…Apabila setiap pori dalam tubuh maupun pikirannya sudah lena, tak adalah yang tertinggal di alam dirinya, kecuali air dan awan. (Hlm. 1240)

Dalam Buku Kitab Lima Cincin, karangan Musashi, pada Gulungan Kehampaan—gulungan terakhir dari buku tersebut,  barangkali dimaksudkan semacam pencerahan atau makrifat dari empat gulungan sebelumnya—Gulungan  Tanah,  Air,  Api,  Angin—Musashi pendek saja memberikan penjelasan.  Cuma tujuh paragraf dalam terjemahan Thomas Cleary yang di Indonesiakan Fransiskus Ransus.  Dalam puncak keilmuannya-penutup buku tersebut, Musashi menerangkan perihal pelepasan segala prinsip yang selama ini telah dicapainya. Pelepasan akan menumbuhkan kebebasan yang spontan; menuju sesuatu pengalaman yang luar biasa. Kebingungan dalam pikiran disingkirkan. Ketidakjelasan dihilangkan. Ketajaman pikiran, semangat, mata dan perhatian lenyap. “Dalam kehampaan ada kebajikan, tetapi di sana tidak ada kejahatan. Kebijaksanaan ada, logika ada, jalan itu ada, dan pikiran kosong.” [6]

Uniknya, dalam pengakuannya di buku itu, Musashi mengatakan tak memiliki guru dalam hal apapun—seni, pedang, maupun kepenulisan.  Tak pernah mengutip cerita-cerita, pepatah-pepatah tua Budhisme maupun Konfusianisme.[7]  Namun demikian Novel Eiji Yoshikawa menyingkap bagaimana mendalam hubungannya dengan  Sun Tzu, biksu Zen Takuan Soho, Pendeta Gudo dari Myoshinji, Yagyu Munenori—samurai pendahulunya dari kalangan elit yang hampir sezaman dengannya (1571-1646), prajurit professional pada masanya, mendapat pelatihan seni perang dari ayahnya dan Kemudian menjadi guru  Tokugawa.  Dialah pencipta aliran “Bayangan Biru”.yang kelak menuliskan Kitab Tradisi Keluarga Tentang Seni Perang.

Kembali ke perihal ‘kehampaan’ sebagai semacam makrifat jalan pedang, Musashi.

Seperti diketahui, dalam Budhisme Zen—dan ini yang membedakannya dengan Budhisme lainnya—mengenal Satori, atau pencerahan yang dapat datang secara iluminasi (penerangan) seketika. Pencerahan mencakup kembali kepada hakikat asali dan hubungan asali dengan dunia. Hanya saja satori tak bisa diraih dengan asketisme yang keras, dan tak bisa diperoleh lewat konsep (pemikiran).  Cirinya ialah “tidak adanya karakter” dan tidak adanya pikiran. Hakikat Budha ada dalam semua orang. Semua dapat menjadi Budha. Pikiran-Budha ada dimana mana. Apapun dapat mewujudkan pikiran-budha kapan saja. Pencerahan dapat digapai dalam kehidupan sehari-hari.[8]

Hakikat Tunggal dalam Budhisme Zen tak membicarakan Tuhan. Tepatnya menghilangkan kepercayaan pada Tuhan yang bersifat personal. Adanya yang tunggal, yang lain hanyalah manifestasi sementara darinya.  Inilah kehampaan-kekosongan, yang tak tertangkap indra,  yang tak terbayangkan.  Pikiran kosong yang dimaksud adalah apabila sebetulnya dalam keadaan demikian—yang sebetulnya menyimpan potensinya tanpa batas.

Inilah yang membedakannya dengan nihilisme/ketiadaan Nietzsche yang melakukan penyangkalan terhadap semua hal, barangkali termasuk Tuhan dengan mematikannya. Apalagi cuma pengetahuan—segala ajaran, doktrin.  Barangkali  tidak bermaksud untuk tak percaya adanya Tuhan.  Bahkan, dia sedang tak sekadar membicarakan keadaan Tuhan, dengan apa yang disebutnya “manusia luhur” itu. Manusia luhur itu pada dasarnya jelmaan kehendak-untuk-berkuasa.[9]   Ia mengambil kata kebebasan berpikir dalam pengertiannya yang paling ekstrem: sifat ketuhanan yang ada dalam pikiran manusia.[10]

Singkat kata, pada titik tertentu Nietzsche mengakui kejahatan dan memerangi belas kasih dan kelemahan manusia atas nama pendisiplinan manusia unggul—hal  yang ditolak “Jalan Alamiah” postulat Budhisme Zen.  Budhisme Zen mewartakan “kesadaran mendadak”, pemahaman kebenaran. Bahkan pencapaian pencerahan Budhisme Zen dengan menolak jalan kesederhanan, kejujuran, dan kerelaan berkorban. Ketiadaan karakter dan kekosongan pikiranlah syaratnya.

Lantas pertanyaannya, bagaimana dengan asketisme Musashi?  Bagaimana pemberontakan samurai itu?  Bisakah disebut asketisme?  Jika pemberontakan Musashi dan Nietzsche sama dimana persamaanya? Jika berbeda,  apakah perbedaanya?

Boleh jadi akan sedikit benderang, apabila kita menelisik lebih mendalam bagaimana “Jalan Pedang,” “Jalan Sunyi,” dan juga “Jalan Kesendirian” Musashi.

“Hmm.” Takuan berpikir. la merasa kasihan akan sifat gigih bercampur keras kepala yang khas anak yatim. Tapi ia pun sadar akan kehampaan yang ada dalam hati mereka yang tegar itu. Menurutnya hati itu sudah ditakdirkan untuk mati-matian merindukan apa yang tidak bisa diperolehnya, merindukan cinta orangtua yang tidak pernah mereka kenyam. (Hlm. 91)

“Bagaimana kayunya?”

“Habis. Tak dapat saya menampilkan bentuk bodhisatwa itu.” Ia meletakkan tangan di belakang kepala, dan baru merasa dirinya kembali ke bumi, sesudah tergantung-gantung di antara khayal dan pencerahan dalam jangka waktu tak menentu. “Betul-betul tidak bagus. Sudah waktunya melupakan dan bersemedi.”

Ia berbaring menelentang, memejamkan mata, dan gangguan-gangguan terasa menyingkir, digantikan oleh kabut yang membutakan. Lambat laun pikirannya terisi oleh gagasan tunggal tentang kehampaan tak terbatas. (Hlm. 927)

Hidup mereka berdua sama-sama terserap ke dalam pertarungan mematikan itu, dan keduanya sama-sama kosong dari pikiran sadar…

Di sini harapan, doa, dan dewa-dewa tak mampu membantu, tidak juga kesempatan. Yang ada hanya kekosongan tidak berpribadi dan sepenuhnya tidak memihak….

Apakah kekosongan ini, yang demikian sukar dicapai oleh orang hidup, merupakan ekspresi jiwa yang sempurna, yang telah berhasil mengatasi pikiran dan gagasan-gagasan yang lebih mulia? (Hlm. 1244)

Di puncak novel,  ketika baik Kojiro maupun Musashi sudah sama-sama dalam keadaan kosong, hampa, , maka kemenangan Musashi bukanlah tersebab buah dari keterampilannya, atau bantuan para Dewa.  Melainkan oleh karena sesuatu  yang Musashi sendiri tak bisa ungkapkan dalam kata. Yang jelas sesuatu itu lebih penting dari sekadar kekuatan, sejenis keterampilan,  bahkan pertolongan dewa sekalipun. Sesuatu itu adalah spiritual sifatnya.

3. Mengendalikan Takdir,  meneguhkan Integritas Individual

Musashi diasingkan. Musashi melarikan diri. Musashi asosial dalam pengertian pemberontak doktrin-doktrin sosial. Musashi pemimpi,  merindukan apa yang tidak diperolehnya. Ayahnya, Munisai, samurai yang dulu mengabdi pada yang Dipertuan Shimmen dari Iga, kemudian setelah kehilangan status, menjadi miskin. Kemiskinan tentu saja satu hal yang lain baginya ketika awal-awal era Tokugawa…

Sikap menantang pada ayahnya boleh dikata cikal bakal pemberontakannya pada doktrin ‘jiwa Samurai’ atau bushidu terkait dengan kepatuhannya pada orang tua.[11] Yang kelak menyebabkan kesempurnaan pilihannya sebagai Ronin—samurai tanpa Tuan. Betapa sebagai pembangkang, pengacau, orang yang selalu berada di luar, dari hari ke hari ia memilih memusatkan pada dunia diri, personal dan batiniah. Dengan kata lain kesombongan, keangkuhan. Semua yang ada di luar dirinya adalah musuhnya. Yang dalam bahasa Nietzsche; “Musuh-musuhku adalah mereka yang ingin merusak tanpa menciptakan diri mereka sendiri.”[12]

Barangkali jiwa inilah yang menempatkan dirinya ketika terjadi peperangan Klan Toyotomi dan Klan Tokugawa (tahun 1600), ia berada di pihak yang berseberangan: Klan Toyotomi, dan kalah. Yang menyebabkan perburuan padanya.  Di kisahkan dalam novel, perburuan ini sampai ke kampung halamannya. Ia pun menjadi pelarian bagi warga kampungnya—yang terlebih dulu terintimidasi para pendukung Takugawa.

“Tidak. Saya lari ke luar untuk menanyai Takezo, tapi ketika saya memanggil, dia melompat seperti kelinci ketakutan. (Hlm. 60)

“Saya dengar Takezo itu tidak begitu disukai di kampung ini.” (Hlm. 63)

“Kenapa semua orang kampung memusuhiku?” tanyanya. “Begitu melihatku, langsung mereka lapor pada pengawal di gunung. Dan cara mereka lari waktu melihatku itu, seperti aku ini orang gila saja.” (Hlm. 66)

Dalam bahasa Takuan Soho—pendeta pengembara yang singgah di Kuil Shippoji, kuil dekat rumah peninggalan bapaknya–, Takezo  adalah lambang kekacauan, orang di luar hukum, binatang liar, yang tidak menggunakan otaknya.  Dia memilih membunuh yang merintanginya pada siang hari daripada menyamar di malam hari.

“Dia harus terus membunuh untuk melindungi hidupnya sendiri. Tapi dialah yang memulai. Seluruh keadaan yang tak menguntungkan itu akibat satu hal saja: Takezo sama sekali tak punya akal sehat.” (Hlm. 86)

Setelah berhari-hari sembunyi di Pegunungan Sanumo, dan selepas kegagalan garnisun Tokugawa menangkapnya, lalu pasrah pada Takuan Soho, akhirnya Takezo bisa dibekuk oleh pendeta yang lebih suka mengembara di pedesaan seperti pengemis, hanya berteman kutu-kutunya dan disebut-sebut agak sinting itu. Uniknya, Sebagai pendeta, pengembara Takuan mengaku memahami Sun-tzu ketimbang kapten garnisun. Takuan menantang Takezo:

“… Kalau kau akan ditangkap, apa tidak lebih baik kalau kau diikat dengan ikatan Hukum Budha? Peraturan daimyo itu hukum dan Hukum Budha pun hukum, tapi dari antara dua itu, ikatan Budha-lah yang lebih lembut dan berperi- kemanusiaan.” (Hlm.95)

Dalam bahasa yang lain, tantangan Takuan ini semacam rasa kagum pada kekuatan kehendak; menguji daya lawan atas besarnya derita dan siksaan yang dapat dipikulnya. Bahwa kehidupan pada suatu hari bisa menjadi lebih buruk dan lebih penuh derita daripada yang pernah terjadi. Akhirnya, Takezo pasrah dinaikkan ke sebuah pohon bercecabang, sekitar sepuluh meter tingginya dari tanah, dan diikat erat. Dalam keadaan terikat, ia lebih mirip boneka jerami besar daripada seorang manusia hidup.
***

Mengikat Takezo di reranting pohon agak sulit diterima sebagai ikatan jalan Budha.  Terlebih jikapun Takuan memberi  jaminan alasan lebih berperikemanusiaan.  Seolah Takuan benar-benar bermaksud membunuhnya.  Sebuah pertanyaan bisa diajukan—apakah ia memilih membunuhnya daripada  Takezo dibunuh oleh  tentara garnisun?  Apakah sesungguhnya Takuan sedang menantang takdir Takezo di depan Tuhan? Ataukah sesungguhnya  justru Takuan meletakkan kepasrahannya serendah-rendah di hadapan Tuhan?   Tentu saja waktulah yang menjawabnya.  Waktu yang dalam kata-kata Takuan menjadi demikian imajiner—yang tak bisa diulang seperti kematian yang tak bisa dua kali. Takuan memberi imajinasi Takezolah yang mengikat dirinya di pohon bercecabang itu.

“Tentu saja aku kasihan padamu, tapi aku tak dapat melepaskan tali itu, karena bukan aku yang mengikatkannya. Kau sendirilah yang mengikatkannya.” (Hlm. 115)

Nyatanya, buhul dari Hukum budha, Hukum Alam dan Waktu-Takdir yang dimaksudkan Takuan pada titik ini ternyata kata kuncinya ada pada gadis Otsu—gadis cantik pujaan hampir semua lelaki, seorang tunangan sahabat Takezo yang ternyata kelak jatuh cinta pada Takezo, meski bermula dari perasaan ‘tak sampai hati’ melihat penderitaan Takezo dalam ikatan di reranting pohon.  Suatu sudut lain perikemanusiaan yang berbeda dari kemanusiaan atas nama Budha dari lelaki Takuan. Kali ini rasa kasihan dari makluk mungil perempuan yang tak pernah ada dalam sejarah nabi-nabi.  Meski tidak benar rasa kasihanlah satu-satunya yang mendorong Otsu melarikan Takezo.

“Lari? Kau akan melepas ikatanku dan membebaskan aku?”

“Ya. Aku juga tak tahan lagi diam di kampung ini. Kalau aku tinggal di sini… oh, aku tak ingin lagi memikirkan itu. Aku punya alasan sendiri. Aku cuma mau keluar dari tempat yang bodoh dan kejam ini…” (Hlm. 116)

Tampaknya misteri Hukum budha, Hukum Alam dan Waktu-Takdir yang dimaksudkan Takuan terkuak. Betapa keyakinan Takuan pada tangan-tangan segala hukum itu. Bahwa sekalipun Takuan berpikir tentang mati atas diri Takezo,  ‘matilah dengan layak, dengan wajah damai!’ Otsu menyelamatkannya. Barangkali Takuan mengerti betul gadis itu takdir lain hidup Takezo. Hal ini dibuktikannya, selepas dalam pelariannya lantas saling jumpa lagi, Takuan punya rencana lain untuk Takezo. Baik Takuan maupun Takezo seakan melupakan apapun; ikatan Budha di reranting pohon itu, juga pelariannya.

Takuan membawa Takezo ke Puri Bangau Putih dan menyerahkannya pada Yang Dipertuan di Puri Itu, Ikeda Terumasa. Kedua sahabat yang seperti saudara ini lantas sepakat menghukum Takezo dengan menempatkannya di sebuah kamar sempit, tertutup berhantu dan dalam keadaan serba kurang. Dengan lampu minyak penerangan yang kecil, namun di kamar itu ada koleksi buku-buku dari perpustakaan; buku-buku berbahasa Jepang dan Cina,  Buku-buku tentang Zen, dan berjilid-jilid tentang sejarah Jepang. Selebihnya Takuan hanya meninggalkan nasihat:

“Anggaplah kamar ini sebagai rahim ibumu dan bersiaplah untuk lahir kembali. Kalau kau melihatnya hanya dengan matamu, tak akan kau melihat apa-apa kecuali sel yang tak berlampu dan tertutup. Tapi pandanglah lebih saksama. Lihatlah dengan akalmu dan berpikirlah. Kamar ini dapat menjadi sumber pencerahan, pancuran pengetahuan yang ditemukan dan diperkaya oleh orang-orang bijak di masa lalu. Terserah padamu, apakah kamar ini menjadi kamar kegelapan, ataukah kamar penuh cahaya.” (Hlm. 133)

Di kamar inilah kawah Candradimuka bagi Takezo.  Selama kuranglebih 3 tahun lamanya, sampai kemudian ia benar-benar mendapatkan pencerahan. Sekaligus Takezo bisa meredam dendam nenek moyangnya, orang-orang Akamatsu, yang darahnya tercurah di kamar itu. Takezo membawa pergi kebangkitan dirinya dan kebangkitan kembali arwah nenek moyangnya yang telah menguasai begitu banyak wilayah namun akhirnya binasa.

Semenjak itu sebelum melakukan pengembaraan, Takezo menyandang nama baru Miyamoto Musashi. Sebuah nama sebagai petanda kelahirannya kembali dari sesuatu kematiannya.

“Hari ini kau boleh meninggalkan tempat ini. Dan kalau kau pergi, peluklah dengan erat pencerahan yang telah kaubayar mahal.” (Hlm. 134)

Jika Nietzsche menggunakan istilah renaissance  untuk mengubah penolakannya ‘puji-pujian’ atas wahyu-wahyu yang ada padanya, maka pencerahan adalah perayaan kelahiran kembalinya Musashi. Keduanya sama dalam hal keinginannya membuat nilai-nilai manusia yang khas dan baru tanpa bergantung pada kekuasaan Adi Kodrati, Tuhan, Dewa-Dewa. Jika Nietzsche percaya dunialah satu-satunya  kebenaran tempat manusia bersetia diri dalam penyelamatan, maka pengembaraan Musashi keluar dari kawah candradimuka Puri Bangau Putih meneguhkan prinsip diri dan hukum alam. Pendeknya, harmoni manusia di hadapan lima unsur Budhisme-Zen; bumi, air, api, angin dan kehampaan.

Dewa-dewa ada, tetapi Musashi tak menginginkan turut campur dalam mengendalikan takdirnya.[13]

Tuhan ada tetapi dimatikannya.

Dalam novel ditunjukkan bagaimana Musashi mendaki Gunung Rajawali, yang baginya congkak itu menyinggung perasaannya—seperti kesombongan guru samurai Yagyu Sekishusai. Setelah berada di puncak gunung, dirasakannya pikirannya sejernih Kristal.

“Tak ada apa pun lagi di atasku!” teriaknya. “Aku sekarang berdiri di atas kepala rajawali!” (Hlm. 394)

Jika kita mengenalinya dengan nilai moral ‘keikhlasan,’  Musashi melakoni jalan hidup dengan ‘tanpa penyesalan.’  Barangkali rasa katanya berbeda.  Bila dalam ‘keikhlasan’ lebih terkandung kepercayaan sesuatu yang tinggi pada Adi Kodrati yang mengerdilkan diri,  namun ‘tanpa penyesalan’ adalah suatu tugas sebagai manusia baru dalam kelahirannya kembali—menghapus masa lalu sekaligus sumpah meneguhkan cita-cita.

…berjuang untuk mencapai tingkat di mana tak ada tindakannya yang akan menimbulkan penyesalan merupakan jalan yang harus ia tempuh. “Pada suatu hari nanti aku akan mencapai cita-cita itu!” demikian sumpahnya. (Hlm. 457)

Inilah ejawantah dari unsur air dalam kepercayaan kuno. Hampir semua kepercayaan kuno—Yunani, Hindu, Budhisme, Tiongkok—mengimani hal ini. Dalam bahasa Musashi yang menyebutnya Gulungan Air; Memandang air sebagai acuan dasar membuat pikiran seseorang menjadi cair. Kejernihan air.[14]

Novel ini berusaha memperlihatkan cita-cita jalan hidup Musashi terkait dengan kelahirannya kembali.

Musashi bertanya-tanya pada diri sendiri, berapa banyak orang yang pada malam itu dapat mengatakan, “Aku benar. Aku sudah melakukan apa yang harus kulakukan. Aku tidak menyesal.” (Hlm. 456)

Dalam novel Musashi beberapa kali menulis kalimat demi menyelami arti dan untuk tujuan melegakan hatinya:  “Aku takkan menyesali apa pun,” “Aku takkan menyesali perbuatan-perbuatanku,” “Aku takkan melakukan sesuatu yang akan kusesali.” (Hlm. 457)

Bahkan telah menjadi doa dalam pengertian Budhisme Zen bagi orang-orang dekatnya, orang-orang yang mencintai jalan hidup Musashi; “Pergilah tanpa penyesalan.” (Hlm. 1237)

“…Sekarang saya dapat menghadapi maut tanpa penyesalan, dan terjun dalam pertarungan dengan semangat yang bebas dan hati tak terusik.” (Hlm. 1235)

Dengan kata lain, melenyapkan penyesalan adalah jalan yang harus ditempuh oleh karena terkait dengan masa lalu, kebebasan dan juga ketetapan hati. Sama halnya dengan minum teh.  Dalam sebuah dialog antara Musashi, biarawati Myoshu serta anaknya Hon’ami Koetsu[15]—si  estetikus dan seniman terkemuka itu—diungkap, tak ada bedanya antara minum teh dan Jalan Pedang. Dan kata kuncinya adalah tak lain, ketetapan hati.

“Tingkah laku itu bukan soal peraturan, tapi berasal dari hati. Sama dengan ilmu pedang, kan?”

“Kalau Ibu nyatakan demikian, memang ya.”

“Kalau engkau terlalu memikirkan cara yang benar untuk minum, kau takkan menikmati teh itu. Ketika menggunakan pedang, kau tak bisa membiarkan tubuhmu terlalu tegang. Itu akan mematahkan keselarasan antara pedang dan semangatmu. Betul begitu?” (Hlm. 503)

Hal ini mengingatkan pengetahuan Musashi pada seorang samurai bernama Yagyu—tukang kebun yang mengabdi di puri Keluarga Tokugawa. Bahwa taraf ilmunya lebih tinggi hanya dilihat dari bagaimana ia memotong dan meninggalkan goresan pada batang bunga peoni putih.

Dalam menemukan keberadaan dan ketakberadaan dirinya sendiri, digambarkan secara memukau dalam novel ini ketika Musashi berhadapan dengan musuh yang memiliki teknik dan gaya tinggi; Denshichiro—adik dari Yoshioka Seijuro dari Perguruan Yoshioka.

Diam kini bagai kuburan. Salju menumpuk di atas rambut Musashi, dan di atas bahu Denshichiro. Musashi tidak lagi melihat batu besar di hadapannya. Ia sendiri tidak lagi hadir sebagai manusia tersendiri. Keinginan menang telah terlupakan. ia memandang putihnya salju yang jatuh di antara dirinya dan lawannya. Semangat salju itu sama ringan dengan semangatnya sendiri. Ruang di antaranya kini terasa bagai perpanjangan tubuhnya sendiri. Ia telah menjadi alam semesta, atau alam semesta menjadi dirinya. Ia ada di sana, namun tak ada di sana. (Hlm. 583)

Lain dari itu, pertemuan pertama—atau keduanya—Musashi dengan Kojiro juga memperlihatkan secara kocak namun tanpa mengurangi makna mendalam perihal ‘kesendirian’  terungkap sebagaimana kutipan berikut;

“Nah, jadi begitulah keadaannya. Apa engkau betul-betul bermaksud pergi sendiri, atau barangkali engkau punya pendukung yang datang lewat jalan lain?”

“Aku punya seorang teman.”

“Oh? Di mana dia sekarang?”

“Di tempat ini juga!” Musashi menuding bayangannya sendiri. Karena tertawa, giginya berkilau disinari bulan.

Kojiro meremang bulu tengkuknya. “Ini bukan bahan tertawaan.”

“Dan aku juga tidak menganggapnya lelucon.”

“Oh? Kedengarannya seperti engkau menertawakan nasihatku.” (Hlm. 649-651)

Meski demikian pengembaraan Musashi  dengan apa yang disebut ‘memeluk erat pencerahan,’ untuk tujuan mendapat kemajuan dalam pengetahuan dan penyempurnaan diri yang sedang dicarinya, bukanlah tanpa kontroversi, kontradiksi, bahkan paradoks.

Ketika membunuh Genjiro–anak tertua Yoshioka Genzaemon, paman Seijuro, yang menjadi kepala baru Keluarga Yoshioka—Musashi panen hujatan dan penghinaan. Musashi membunuh anak muda yang masih di bawah umur dan dalam ketakutan itu. Musashi membantah tuduhan itu dengan diam, namun demi melindungi keyakinannya, bahwa hal itu dilakukan karena orang-orang Yoshioka menggunakan Genjiro sebagai pembawa panji-panji mereka, tidak ada pilihan lain kecuali membunuhnya.

“Apa pun yang mereka katakan, aku yang benar,”… Dialah jenderal mereka. Selama ia masih hidup, Perguruan Yoshioka akan tetap belum dikalahkan Dengan membunuh anak itu lebih dulu, Musashi menjadi pemenang, sekalipun misalnya kemudian ia terbunuh dalam pertempuran…  (Hlm. 687)

Dalam hal menyoal kebenaran, hal ini mengingatkan pada mula pertama munculnya nihilisme juga memicu terjadinya pembunuhan. Nihilisme untuk kali pertama muncul dalam novel Turgenev (Fathers and Children, 1862) yang menunjuk pada suatu gerakan perubahan tak terencana di Rusia yang puncaknya membantai sejumlah pejabat Rusia. Termasuk Tsar Alexander II.  Penyangkalan mutlak dasar kebenaran apapun yang objektif dan real.  Semua pengetahuan adalah ilusi, tidak bermakna, tidak bermanfaat, nisbi.

Lalu, jikapun benar yang dialami Musashi adalah suatu pencerahan, maka jelaslah yang dimaksud bukanlah satori dalam Budhisme Zen.   Suatu pemahaman kebenaran-kesadaran mendadak yang mensyaratkan “tidak adanya karakter” dan tidak adanya pikiran.  Sedangkan pencerahan Musashi ditempuh dengan asketisme yang keras, kedisiplinan yang tinggi, kesederhanaan atau moralitas tertentu.  Bahkan  menempuh ‘tirakat’ selain melalui ‘kawah candradimuka’ yang diterapkan oleh Takuan; sebuah jalan yang  bertentangan dengan salah satu postulat Budhisme Zen; Jalan Alamiah.

MUSASHI terus mengembara di pedesaan, menghabiskan waktu dengan berlatih hidup secara kekurangan, menghukum tubuhnya untuk menyempurnakan jiwa. Lebih dari sebelumnya, ia bertekad untuk menempuh semua itu sendirian. Kalau itu berarti ia mesti menanggung lapar, hidup di udara terbuka, di tengah udara dingin dan hujan, serta berkeliling dengan pakaian compang-camping dan kotor, ia biarkan saja. (Hlm. 832)

Walaupun sangat mungkin pengarang menafsirkan lain ‘Jalan Alamiah’ dalam postulat Budhisme Zen sebagai ‘berguru pada alam’ sebagai suatu prinsip dalam Jalan Pedang. Dengan kata lain, pada satu sisi menolak ketergantungan pada pedang, di sisi lain penyatuan diri pada potensi dan ritme alam.  Sebagaimana diakui sendiri oleh Musashi dalam Kitabnya;

“Saya telah berhasil menang dan menang dalam semua pertempuran bukan karena pencapaian yan sempurna dalam seni perang. Mungkin semua itu karena saya mempunyai keterampilan bawaan dalam hubungan dengan ilmu seni perang dan saya tidak menyalahi prinsip-prinsip alam atau prinsip kodrati.” [16]

Inilah narasi absurditas yang dibangun pengarang, jika absurditas mengandung pengertian kontradiksi di dalam dirinya. Novel ini ditulis Eiji Yoshikawa  pada sekitar tahun 1930-an dan dipublikasikan 1935-1939.  Suatu masa yang secara politis dan militer dibayang-bayangi karut marut dengan kecamuk peperangan versus Cina yang bisa terjadi secara tiba-tiba.  Suatu keadaan yang berlanjut hingga perang dunia kedua.  Selain di bawah bayang-bayang perubahan besar (pembaratan) sejak modernisasi Restorasi Meizi yang sudah barangtentu berdampak pada dunia pemikiran, gagasan dan filsafat di Jepang.

Tersebab itu gagasan pencerahan Budhisme Zen baik dalam pengertian satori maupun jalan pedang Musashi yang semula berpusar pada individu orang biasa, berkembang menjadi pendekatan baru ke arah sosial–orang banyak, meski buhul dari gagasan ini tetaplah berpusar pada Alam. Artinya, mengembangkan nilai-nilai tradisional, seperti halnya dalam Shinto, kesuburan (alam) merupakan hal yang menjadi perhatian paling utama.[17]    Hal ini terungkap dalam salah satu kutipan berikut.

Salju turun lagi, dan mencair. Air keruh mengalir pelan di atas dataran. Tapi Musashi telah mengembangkan pendekatan yang baru, sehingga ladangnya pun dapat bertahan.

“Hukum macam itu berlaku juga dalam mengatur orang banyak,” katanya pada diri sendiri. Dalam buku catatannya ia menulis, jangan mencoba melawan jalannya alam semesta. Tapi pertama-tama yakinkan dirimu bahwa engkau mengenal jalan alam semesta. (Hlm. 851)

Bandingkan dengan pernyataan Albert Camus; Dalam pengalaman absurd, derita itu bersifat individual. Tetapi saat pemberontakan mulai, penderitaan dilihat sebagai sesuatu penyelamatan kolekstif.[18]

Musashi juga menulis pada sebuah papan di gerbang desa;

Beberapa menit kemudian, ia berhenti di depan gerbang kepala desa. Di situ tergantung sebuah papan yang masih baru, dengan tulisan tinta mengilap, Peringatan untuk Penduduk Desa: Bajakmu adalah Pedangmu. Pedangmu adalah Bajakmu. Selagi kerja di ladang, jangan lupa serbuan luar. Selagi memikirkan serbuan luar, jangan lupa ladangmu. Segala hal mesti berimbang dan terpadu. Yang paling penting, jangan melawan Jalan Pergantian Generasi.

“Hmm. Siapa yang menulis ini?”

Kepala desa akhirnya keluar, dan kini membungkuk ke tanah di depan Sado. “Musashi,” jawabnya. (Hlm. 865)

Bandingkan pula dengan dua elemen paling utama seluruh tradisi strategis seni perang kuno dalam kitab yang ditulis Musashi;

Menjaga ketenangan batin yang luar biasa bahkan ketika sedang berada di tengah-tengah situasai chaos yang sadis.

Tidak melupakan kemungkinan terjadinya kekacauan pada masa-masa aman dan tenang. [19]

Kontroversi, kontradiksi, paradoks boleh jadi memperlihatkan kerumitan jalur-jalur akar tradisi dan spiritualias masyarakat di Jepang yang tergambar dalam novel (teks), terkait dengan era kepenulisan pengarangnya (konteks).  Dalam sebuah penelitian, misalnya yang dilakukan S. S. Eli RostinahS. S. Syahrur MartaS. S. M.Hum Ida Nurul Chasanah, membagi novel ke dalam dua bagian yang masing-masing Judul Episode 1 sampai Episode 4 novel Musashi merupakan teks transformasi dari unsur-unsur alam yang terkait dengan ajaran Zen Budhisme. Sedangkan Episode 5 sampai Episode 7, yang masing-masing berjudul Langit; Matahari dan Bulan; dan Cahaya Sempurna lebih merefleksikan ajaran Shinto.[20]

Shinto memang agama resmi yang berlaku di Jepang sejak Restorasi Meizi pada saat pengarang menulis novel ini. Namun demikian Kitab-kitab yang ditulis Musashi—yang tentu saja sebagai sumber utama penulisan–meneguhkan sebagai penganut Budhisme Zen yang tidak memberi ruang pemujaan pada dewa-dewa ke ranah publik; bahkan cenderung menihilkannya; hal yang bukan spirit dari agama Shinto dengan ratusan bahkan ribuan dewa-dewanya–“delapan miliun dewa”.  Agama Shinto menaruh kepercayaan yang tinggi pada “kami”– benda-benda dan seseorang, keluarga, suku, raja-raja, alam raya menimbulkan kepercayaan kepada dewa-dewa. Bahkan hingga menjelang ajalnya, kepada Budha dan para dewa perwujudan sikap yang ditunjukkannya adalah menghormatinya tanpa mengharapkan bantuannya.[21]

Selain itu, sebagai penegasan, konteks sejarah Musashi, sebagaimana diuraikan Robert N Bellah, dalam Religi Tokugawa mengungkap;  menjelang masa-masa Tokugawa, orang dapat saja menyatukan beberapa elemen yang umum terdapat di semua religi kemudian memberinya label “religi Jepang.” Konfusianisme dan Shinto banyak meminjam atau mengambil metafisika dan psikologi Budhisme; Budhisme dan Shinto telah meminjam etika Konfusius; sedangkan Konfusianisme dan Budhisme telah pula sepenuhnya dijepangkan.[22]

Konsep dasarnya, Yang pertama adalah tuhan sebagai suatu entitas lebih tinggi yang memelihara, memberikan perlindungan dan cinta. Contoh-contoh untuk ini mencakup dewa-dewa langit dan Bumi dari penganut Konfusius, Amida dan Budha-Budha yang lain, dewa-dewa Shinto, selain para dewa pelindung local dan para nenek moyang (Sikap hormat, syukur, membalas rahmat).[23]   Kedua,  mungkin rumusan yang tepat adalah bahwa dia merupakan dasar dari segala yang ada atau inti terdalam dari realitas.  Contoh-contoh untuk ini adalah Tao Cina; li dari neo Konfusius yang serint diterjemahkan sebagai nalar, dan hsin, hati atau pikiran, kalau dikaitkan dengan li; konsep Budha tentang hakikat Budha dan istilah kami dalam Shinto dalam pengertian yang paling filosofis.[24]
***

Paradoks lainnya, Koetsu, seniman itu,  menilai Musashi bukanlah orang biasa, dalam arti orang yang luar biasa—orang yang tak puas dengan hanya mengandalkan diri pada ‘pemberian alam.’ Sementara di luar dirinya hal itu disebut-sebut sebagai ‘bakat pemberian dewa.’  Hal ini berarti, demikian narasi novel ini menegaskan; cara orang yang tidak tekun berlatih menyenangkan diri. (Hlm. 1189)

Kesenian sebagai jalan sunyi, juga diambil Musashi. Musashi memuja lukisan Liang-K’ai, lukisan-lukisan Cina dinasti Sung, ahli Zen Jepang abad 15, dari aliran Kano; Kano Sanraku dan Kaiho Yusho.  Sapuan kuas Liang-K’ai yang berani dan jantan itu, menurut penglihatan seorang pemain pedang, adalah karya memukau dan mengungkapkan kekuatan besar seorang raksasa. Kaiho Yusho menjadi panutan Musashi karena asal usulnya seorang samurai, pada umur tuanya mencapai taraf kemurnian sedemikian tinggi. Ia juga tertarik akan efek-efek spontan cahaya dalam karya-karya Shokado Shojo, pendeta pertapa dan seniman itu, yang lebih disukainya lagi kerena orang itu terkenal sebagai sahabat Takuan. (Hlm. 1080)

Selepas pengangkatan kedudukan resmi Musashi sebagai guru di keluarga Yang Dipertuan Hojo dibatalkan, ada satu pertanyaan yang terus melintas di benak Musashi “Apakah kebesaran terletak di dalam atau di luar pintu gerbang?”  Inilah yang menggetarkannya untuk melukis Dataran Musashino.  Di tengah tampak bulatan matahari terbit yang sangat besar berwarna merah menyala.  Matahari yang melambangkan keyakinan Musashi akan integritas sendiri.  Selebihnya dibuat dengan tinta, untuk menangkap rasa musim gugur di dataran ini.  1081 Sebuah lukisan yang menerbitkan pernyataan di benak Sakai Tadakatsu seorang Daimyo terkenal dan pejabat Shogun:, “Kita telah lepaskan seekor harimau ke dalam hutan belantara.”(Hlm. 1081)

Selain melukis, Musashi juga pembuat patung Kannon[25], dan menulis sajak. Salah sebuah sajaknya;

Kalau alam semesta ini
memang kebunku, maka
Manakala aku memandangnya,
Aku pun berdiri di pintu luar
Rumah yang namanya Dunia Maya (Hlm. 1085)

Perihal kesenian ini dalam uraiannya di buku Kitab 5 Cincin, Musashi menyebut sebagai salah satu dari empat jalan hidup; tiga lainnya Ksatria, Petani, dan Pedagang. Uniknya, pada uraian jalan hidup seniman Musashi merepresentasikannya dengan keahlian tukang kayu; mencakup penciptaan kreatif perbagai Peralatan, penguasaan alat, rancangan yang tepat, ukuran, ketekunan, ketangkasan. Seperti halnya seniman, seni perang (dan tentu saja jalan  hidup ksatria) juga dianalogikannya dengan jalan hidup seorang tukang kayu.

Musashi menempatkan penjiwaan seni sebagai salah satu dari 9 aturan bagi yang belajar di jalan hidup ksatria, perang, kemiliteran.[26]
***

Dalam buku The Lone Samurai Kehidupan Miyamoto Musashi, karangan William Scott Wilson, menjelang usia senjanya Musashi meninggalkan semua ajarannya pada Terao Magonojo Katsunobu: Murid favorit Musashi dan penerima Kitab Lima Lingkaran pada saat kematian Musashi.  Sedangkan dalam novel ini, yang mengisahkan kehidupan masa muda Musashi ini, ada beberapa muridnya—atau setidaknya yang mengaku sebagai muridnya.

Mereka adalah Aoki Jotaro, Muso Gonnosuke, Misawa Iori.

Melalui kitab-kitabnya, memang bisa ditelisik dengan tepat bagaimana personality, ‘karakter’ Musashi terkait dengan jalan hidupnya. Misalnya, Hyoho Niten Ichi Ryu (teknik dua pedang), yang dihasilkan dari pengalaman hidupnya dalam pertempuran dan persepsi hidupnya yang mendalam berkembang selama puluhan tahun praktik dan pengamatan. Namun demikian pesan-pesan kepada muridnya, dalam novel ini patut dan tak kurang pentingnya untuk dicermati guna melengkapi persepsi tentang Musashi.

“Kau mesti belajar lebih banyak selain berlatih seni bela diri. Kau mesti belajar dari buku-buku. Dan biarpun kau mesti jadi orang pertama yang menolong orang jika diperlukan, kau mesti mencoba lebih rendah hati dari anak-anak lain.”

“Ya, Pak.”

“Dan jangan jatuh dalam perangkap rasa kasihan pada diri sendiri. Banyak anak macam kau, yang kehilangan ayah dan ibu, berbuat begitu. Kau tak dapat membayar kebaikan hati orang lain, kecuali jika kau juga hangat dan baik hati.”

“Ya, Pak.”

“Kau memang pandai sekali, Iori, tapi hati-hati. Jangan sampai pendidikan kasar inilah yang menguasaimu. Kendalikan dirimu baik-baik. Kau masih kanak-kanak, di hadapanmu terbentang hidup yang panjang.

Jagalah hidup itu baik-baik. Selamatkan dia, sebelum kau dapat mengarahkannya kepada hal yang sungguh-sungguh baik—kepada negerimu, kehormatanmu, kepada Jalan Samurai! Berpeganglah pada hidupmu, dan jadikan hidupmu itu tulus dan berani.” (Hlm. 1214)

“Selalu ada benih kebenaran dalam desas-desus yang seburuk-buruknya, Iori. Aku bisa saja berbuat kekeliruan, tapi sekarang… sesudah perkembangan sekian jauh, lari berarti meninggalkan Jalan Samurai. Itu akan mendatangkan aib tidak hanya bagi diriku, tapi juga bagi orang-orang lain.” (Hlm. 1215)

Bandingkan kalimat ‘jangan jatuh dalam perangkap rasa kasihan pada diri sendiri,’ dengan pernyataan Nietzsche yang dikutip Bertrand Russel berikut; Ia menganggap belas kasih sebagai kelemahan yang harus diperangi. “Tujuannya adalah memperoleh energi kehebatan yang sangat banyak yang dapat menjadi model manusia masa depan dengan cara pendisiplinan dan juga dengan cara pembasmian jutaaan orang ceroboh dan perusak…”[27]

4. Cinta yang Ingin Hidup 1000 Tahun

Novel ini memulai kata-kata cinta dalam pengertian yang sangat mendalam, bias dan mungkin juga klise diantara tiga tokoh utamanya Takuan, Takezo dan Otsu dalam metafora Tali Cinta (96). Pada satu sisi dalam pengertian Budhisme, tapi pada sisi lain bukan mustahil dalam pengertian cinta asmara, oleh karena sangat mungkin Takuan mengerti bakal ada hubungan asmara antara Takezo-Musashi dengan Otsu kelak kemudian hari.

Hubungan cinta yang diawali dengan pelarian diri, dan demikian selanjutnya cinta pun senantiasa dalam pelarian keduanya. Pada titik ini kegetiran hidup melanda keduanya. Mula-mula pelarian itu antara keduanya memiliki alasan masing-masing. Takezo memekikkan hasratnya untuk hidup. Sedangkan Otsu didorong keinginannya minggat dari kampung.

Dalam pelarian itulah Otsu kemudian menyatakan rasa cintanya pada Takezo.

Dengan pandangan menghunjam, Otsu menggenggam tangan Takezo. Wajah dan seluruh tubuhnya menyala oleh cinta. “Takezo,” mohonnya, “akan kukatakan padamu bagaimana perasaanku kemudian, kalau ada waktu, tapi kuminta jangan tinggalkan aku di sini sendiri! Bawa aku ke mana saja kau pergi!” “Tapi aku tak bisa!”
….

“Aku menunggu di Jembatan Hanada, di pinggiran Himeji. Kutunggu kau di sana, biar sampai seratus atau seribu hari.” (Hlm. 118)

Dan inilah kalimat pertama Otsu, selepas Takezo yang berganti nama Musashi, menjalani masa karantina di Puri Bangau Putih tiga tahun kemudian;

“Takezo, kau tidak lupa, kan? Kau tidak lupa nama jembatan ini? Apa kau lupa janjiku akan menanti di sini berapa pun lamanya?”

“Kau menanti di sini tiga tahun lamanya?” Musashi terpana. (Hlm. 138)

Aku mau membaktikan diriku pada latihan dan disiplin. Aku ingin memanfaatkan setiap saat dalam tiap hariku untuk bekerja memperbaiki diri. Aku sadar sekarang, betapa jauh jalan yang harus kutempuh. Kalau engkau memilih mengikatkan hidupmu padaku, engkau tak akan pernah bahagia. (Hlm. 141)

Jawaban Musashi itu menjadi penanda untuk waktu selanjutnya pelarian diri yang baru, juga kegetiran keduanya yang selalu mengalami babak baru.  Jarak tubuh yang selalu jauh ketika hasrat begitu sama-sama mendekat.  Demikian pula jiwa berkhianat  ketika jarak badan begitu dekat bahkan sedekat-dekatnya. Sebagaimana kutipan berikut;

Melihat Otsu mencucurkan air mata lagi, Musashi menyesali kata-katanya yang kasar.

“Sekarang aku mengerti, kenapa bertahun-tahun lamanya aku berbohong padamu, juga pada diri sendiri. Aku tidak bermaksud menipumu ketika kita lari dari desa, atau ketika aku melihatmu di Jembatan Hanada, tapi aku tolol menipumu-dengan berpura-pura dingin dan tak acuh. Padahal bukan itu perasaanku.

“Sebentar lagi aku mati. Yang akan kukatakan ini, itulah yang benar. Aku cinta padamu, Otsu. Akan kubuang segalanya jauh-jauh dan kuhabiskan umurku denganmu, sekiranya saja…” (Hlm. 658)

“Pedang adalah pelarianku. Setiap kali nafsu mengancam akan menguasaiku, kupaksa diriku kembali ke dunia pedang. Inilah nasibku, Otsu. Aku terbelah antara cinta dan disiplin diri. Rasanya aku meniti dua jalan sekaligus. Tetapi manakala kedua jalan itu menyimpang, aku selalu berhasil menempatkan diriku pada jalan yang benar. (Hlm. 659)

Salah satu dari puncak-pucak kegetiran hidup dan cinta antara Musashi dan Otsu adalah ketika terjadi persetubuhan. Tersebab begitu dekat sekaligus jauh jarak antara nyeri, ngeri, hasrat menyala dan gigil dingin, juga malu dan marah, manusia dan binatang, nafsu dan rindu.

Sebagaimana dinarasikan pengarang sebagai berikut;

Dengan hati berdebar, seperti hati burung layang-layang yang ketakutan, Otsu memperhatikan penderitaan Musashi itu dari balik pohon. Sadar bahwa ia telah melukainya dalam-dalam, ia ingin Musashi berada di sampingnya lagi, tapi betapa ingin pun ia berlari mendapatkan Musashi dan memohon maaf, tubuhnya tak hendak menurut. Untuk pertama kali ia sadar bahwa kekasih yang telah diserahi hatinya itu bukanlah pria penuh kebajikan seperti pernah dibayangkannya. Menemukan binatang yang telanjang itu, berupa daging, darah, dan nafsu, matanya suram oleh kesedihan dan ketakutan. (Hlm. 717)

Hasratnya akan Otsu mati pelan-pelan, karena hasrat itu bersaudara dekat dengan watak pemarahnya.

Tanpa watak itu, tak mungkin ia ikut Pertempuran Sekigahara atau melaksanakan satu pun dari segala prestasinya yang luar biasa. Tetapi bahayanya justru terletak pada kenyataan bahwa pada taraf tertentu, bertahun-tahun masa latihannya bisa menjadi tak berdaya menghadapi hasrat itu, dan menenggelamkannya kembali ke taraf binatang liar yang tidak berbudi. Dan melawan musuh seperti ini, musuh yang tak berbentuk dan tersembunyi, pedangnya sama sekali tak berguna. (Hlm. 718)

Sikap Musashi terhadap perempuan ada kemiripan dengan pandangan Nietzsche Dalam kitab kerasulan-semunya Thus Spake Zaratrustra, ia berkata bahwa wanita-wanita hingga kini tidak mampu bersahabat; mereka seperti kucing, atau burung atau paling banter sapi. “Lelaki harus dilatih untuk perang dan wanita untuk rekreasi prajurit. Semua hal lainnya adalah tolol.”[28]

Sebagai suatu kemiripan, sudah barangtentu ada kesamaan dan ada pula ketaksamaan.

Kepada Otsu, Musashi juga memperlihatkan kemiripan serupa dalam hasrat pada pencapaian keabadian seperti dalam puisi penyair pemuja eksistensialis  Chairil Anwar: “aku ingin hidup seribu tahun lagi.”

“Aku mengerti perasaanmu, Otsu, tapi kuminta jangan engkau mati seperti pengecut. Jangan karena kesedihan, kaubiarkan dirimu tenggelam dalam lembah maut dan tewas sebagai orang lemah…

“…Aku mau hidup terus sampai seratus atau seribu tahun, di hati bangsaku, di dalam semangat ilmu permainan pedang Jepang.” (Hlm. 661)

Dalam pelbagai sumber menyebut Musashi tidak pernah menikah. Musashi memiliki tiga orang anak angkat; Miyamoto Mikinosuke, Miyamoto Iori, dan Hirao  Yoemon.

Dalam novel Musashi, kisah cintanya dengan Otsu memang berakhir happy ending, namun perkawinan antar keduanya yang dimaksudkan dalam salah satu babnya yang pendek lebih bersifat metafisis—bukan perkawinan yang sebenarnya. Atau barangkali semacam ambiguitas yang dipasrahkannya kepada pembaca. Tampaknya pengarang hendak menunjukkan ‘cinta’  lebih sebagai pengertian ‘realitas jiwa’ dalam Budhisme Zen daripada ‘badan realitas.’

Artinya, sekaligus pengarang lebih meneguhkan salah satu dari dua konsep dasar religi Jepang; tuhan sebagai suatu entitas lebih tinggi yang memelihara, memberikan perlindungan dan cinta, dalam bentuk sikap hormat, syukur, membalas rahmat.[29] Hal ini lebih mengukuhkan ‘Jalan Alamiah’ ketimbang sabda Nietzsche;  “Mereka selalu merupakan kesenangan di sepanjang masa dan bagi jiwa pria yang berbobot,”[30] yang cenderung merendahkan perempuan.

Ada kesan penolakan satu terhadap lainnya. Ada pesan ‘kekerasan’ satu sisi dan ‘kehalusan’ di sisi lainnya. Ada semacam romantisme yang lebih dekat pada sentimentalism di sini. Boleh jadi masalah ‘cinta’ tak lain sebagai salah satu tanda garis simpang yang paling tampak dalam perjumpaan antara nihilisme barat dan konsep kehampaan, kekosongan ketiadaan menurut konsep Timur.

Silakan cermati kutipan berikut;

“Kalau di dalam hatimu kau mau menganggapku sebagai calon istrimu, cukuplah. Itulah kegembiraan dan berkat yang cuma dimiliki olehku,…..Dengan senang hati aku menyongsong hari kematianku. Hari itu akan seperti pagi yang indah ketika burung-burung menyanyi, dan aku akan pergi dengan bahagia, sebahagia kalau aku sedang menuju pesta perkawinanku.” (Hlm. 660).

“Kau begini kurus… begini kurus.” Musashi sadar benar bahwa napas Otsu bercampur demam. “Otsu, maafkan aku. Barangkali aku kelihatan tak berhati, tapi sebetulnya tidak, terutama yang menyangkut dirimu.”

“Aku… aku tahu.”

“Betul? Sungguh?”

“Ya, tapi kumohon ucapkan satu patah kata padaku. Satu patah saja. Katakan, aku istrimu.”

“Akan merusak segalanya kalau aku mengatakan apa yang sudah kauketahui.”

“Tapi… tapi…” Otsu tersedu-sedu dengan sekujur tubuhnya, tapi dengan ledakan kekuatannya ia tangkap tangan Musashi, dan teriaknya, “Katakan! Katakan aku istrimu sepanjang hidup ini!”

Musashi mengangguk, pelan-pelan, tanpa kata-kata. Kemudian satu-satu ia melepaskan jemari Otsu yang lembut dari tangannya, dan berdiri tegak. “Istri samurai tak boleh menangis dan lemah ketika suaminya pergi berperang. Tertawalah untukku, Otsu. Lepaskan aku dengan senyum. Ini barangkali keberangkatan terakhir suamimu.” (Hlm. 1236).

5. Tentang Spiritualitas Jalan Pedang

Suatu malam Musashi bertamu ke rumah Zushino Kosuke—seorang penggosok pedang, yang di papan depan rumahnya ditulisnya “Jiwa Digosok.”

Musashi berniat menggosok pedangnya. Lalu keduanya terlibat perbincangan menarik lantaran ternyata Kosuke adalah murid dari Hon’ami Koetsu, seniman besar yang tak lain juga guru Musashi dalam seni.

Keluarga Hon’ami mengabdi kepada para shogun Ashikaga. Mereka juga penggosok pedang-pedang kaisar.

Meski cukup singkat, namun dialog antar keduanya amat menarik menyingkap bagaimana pandangan mereka, guru mereka, dan orang Jepang terhadap pedang. Hampir pasti, bagian inilah boleh dikatakan inti dari ajaran Jalan Samurai atau Bushido.

“Anda lihat di situ, tak ada kata yang menyatakan menggosok pedang. Urusan saya menggosok jiwa-jiwa samurai yang datang ke sini, bukan pedangnya. Orang tak mengerti, tapi itulah yang diajarkan pada saya, ketika saya belajar menggosok pedang.” (Hlm. 884)

Dari kalimat Kosuke, Musashi mengerti hal itu adalah kata-kata Koetsu. Sebaliknya, Sosuke tahu dari kata-kata Musashi adalah pelajaran yang diajarkan Koetsu pada semua muridnya.

“…Koetsu selalu mengatakan bahwa pedang Jepang diciptakan bukan untuk membunuh atau melukai orang, tapi untuk mempertahankan kekuasaan kaisar dan melindungi bangsa, untuk menundukkan setan-setan dan mengusir kejahatan. Pedang adalah jiwa samurai. Samurai membawa pedang bukan untuk tujuan lain selain mempertahankan martabatnya sendiri. Pedang adalah peringatan yang selalu hadir bagi penguasa untuk berusaha mengikuti Jalan Hidup. Sudah sewajarnya kalau tukang yang menggosok pedang harus juga menggosok semangat pemain pedang.” (Hlm. 885)

Perjumpaan Musashi dan Kosuke menyingkap pengakuan keduanya. Kosuke mengaku meski telah menggosok pedang, namun selama ini belum menjumpai seorang pun para pemiliknya yang punya bayangan tentang makna sejati pedang. Aneh juga sebetulnya, pengakuan Kosuke, karena salah satu pedang yang digosoknya; Galah Pengering milik Sasaki Kojiro—samurai yang kelak kemudian hari berduel dengan Musashi. Namun diungkapnya pula padanya bukan Kojiro sendiri yang menyerahkan pedangnya, melainkan melalui tangan orang lain.

“Setiap orang bermulut manis tentang pedang,” kata Kosuke. “Siapa saja bicara bahwa pedang adalah jiwa samurai. Mereka mengatakan bahwa pedang adalah satu dari tiga kekayaan suci negeri ini. Tetapi cara orang-orang itu memperlakukan pedang sungguh memalukan. Yang saya maksud adalah para samurai dan pendeta, begitu juga orang kota….”  (Hlm. 887)

Sedangkan pengakuan Musashi yang selalu dibayangi di balik kata Kosuke adalah Koetsu, meski telah mengenal pedang sejak kanak-kanak, Musashi mengaku belum pernah memikirkan semangat yang bersemayam di dalamnya.

Maka tampaknya, Jalan Samurai dalam pandangan Koetsu Sang Estetikawan dan murid-muridnya; Kosuke dan Musashi menjadi lebih dinamis. Pada saatnya Jalan Pedang sendiri identik dengan Jalan Hidup Musashi.  Dalam bahasa Musashi sendiri “Zaman Baru.”  Yang dia maksudkan tak lain adalah Musashi sudah mustahil mengikuti zaman peperangan besar di era Oda Nobunaga, Ieyasu Tokugawa dan Hideyoshi yang puncaknya perang Sekigahara (Tahun 1600) yang melibatkan dirinya dan nyaris membuatnya hancur lebur itu.

Mulanya, bagi samurai zaman itu, yang terpenting di dunia ini adalah kehormatan.[31]

Sementara Dinamika Musashi adalah individual, pribadi, yang dalam penelitian Robert N. Bellah  Budhisme dan Konfusianisme telah menguatkan nilai-nilai dasar tentang prestasi dan partikularisme—yang dicontohkannya berupa kesetiaan dan ketaatan pada orang tua.[32]  Memang pada konteks ini Musashi punya dinamika yang lain karena dirinya seorang Ronin—tanpa tuan—sementara nilai-nilai Bushido telah terlembaga dalam hubungan samurai dengan pangeran.

Catatan Thomas Cleary dalam pengantar Kitab Lima Cincin yang ditulis Miyamoto Musashi pada 1643 menyebut Kelas samurai yang asli pada awalnya adalah para pelayan kaum bangsawan. Sedangkan pilihan jalan yang ditempuh Musashi disebutnya “jalan keprajuritan estetik.”

Sementara itu untuk hal Bushido yang berarti keinginan kuat untuk mati, dari uraian Robert N Bellah yang  mengutip  Hagakure (Satu Karya abad 17 tentang Bushido) sebagian telah disinggung di atas dan diterangkan di catatan kaki nomor 11.   Dari sumber doktrin yang sama, bisa dilengkapi di sini;

Jika pikiranmu selalu terpaku pada kematian, jalanmu sepanjang kehidupan akan selalu lurus dan bersahaja… [33]

Dengan bertekad untuk mati, kematian tidak akan menyakitkan.  Keakuan dihilangkan. Sikap-sikap semacam ini berkaitan dengan minat paa samurai yang besar terhadap Budhisme Zen.  Sebagai missal Takeda Shingen (1521-1573) salah satu prajurit utama dari abad 16 memperingatkan para pengikutnya untuk mempraktekkan Zen dengan baik dan menyitir untuk mereka ungkapan seperti “Tiada rahasia dalam praktek-praktek Zen, kecuali berdiri di ambang kehidupan dan kematian.” [34]

Pandangan pengarang melalui tokoh Musashi perihal kematian di Jalan Pedang tak kalah menariknya. Selain kematian dimaknai sebagai kehidupan bagi orang lain, juga kematian sebagai bahaya dari orang lain, sekaligus memaknai kematian yang bersifat Imajiner. Silakan dicermati kutipan ini;

Siapa pun yang menempuh Jalan Pedang, selamanya berada dalam bahaya dibunuh. Kalau ia lolos dari satu bencana maut, akan menyusul kemungkinan-kemungkinan baru. Dengan perbuatan itu, ia menciptakan musuh-musuh baru atau bencana baru. Bahaya merupakan batu gerinda yang dipakai pemain pedang untuk mengasah semangatnya. Musuh adalah guru yang menyamar.

Belajar waspada terhadap bahaya, biarpun sedang tidur, belajar dari musuh sepanjang waktu, menggunakan pedang sebagai alat untuk membiarkan orang lain hidup, menguasai alam, mencapai pencerahan, berbagi kegembiraan hidup dengan orang lain-semua itu tak terpisahkan dari Jalan Pedang. (Hal. 1153)

Inilah yang dikatakan Musashi pada lawannya, Yoshioka Denshichiro pada suatu ketika.

“Kau barangkali tidak memperhatikan, karena tak ada bekas luka pada badanmu, tapi kau sudah kukalahkan. Pasti.” (Hlm. 581)

Maka sedikit lebih terang, bahwa Jalan Pedang identik dengan Musashi tersebab dinamikanya, tepatnya spiritualitasnya, semangatnya, pemberontakannya baik dari teks-teks yang sudah ada maupun atas konteksnya.  Musashi tak berhenti pada apa yang disebutnya sendiri ‘zaman baru’ dari perang ke pemikiran, atau menuju pemberontakan demi pemberontakan tetapi juga kebaruan itu sendiri—kebaruan pada dirinya sendiri;  meletakkan pedang lalu menggarap ladang, mendalami  Zen, kaligrafi, seni minum teh, melukis, dan mengukir patung.

“…Semua itu bermanfaat untuk menyempurnakan ilmu pedang seseorang…Dengan mengubah tanah datar yang tidak ramah menjadi tanah pertanian, ia dapat memajukan kesejahteraan generasi masa depan.” (Hlm. 842)

Bahkan Musashi menggerakkan Jalan Pedang pada sesuatu yang sama sekali baru; dari personal ke sosial. Sebagaimana kutipan berikut ini;

Mulailah ia melihat Jalan Pedang secara baru….Ia ingin menaklukkan dirinya sendiri, membuat hidup itu sendiri takluk kepadanya, mendorong orang lain untuk hidup, dan bukan untuk mati. Jalan Pedang tidak boleh dipergunakan semata-mata untuk menyempurnakan diri. Ia harus menjadi sumber kekuatan untuk menguasai orang banyak, dan memimpin mereka ke arah perdamaian dan kebahagiaan.” (Hlm. 843)

Dengan demikian dapat dikatakan dalam novel ini pengarang meneguhkan bahwa ‘pencerahan’ mengandung pengertian; baik  dalam Budhisme Zen (Satori) bagi semua orang, maupun yang ditempuh  melalui asketisme yang keras, lewat konsep pemikiran yang menerbitkan “karakter khas” dan adanya pikiran yang kukuh. Pendeknya suatu “proses” di ruang dan waktu, teks dan konteks sebagai kelengkapan dua-duanya yang dalam bahasa Takuan;

“..Peluklah dengan erat pencerahan yang telah kaubayar mahal. Kau akan membutuhkannya apabila nanti memasuki dunia dan menggabungkan diri dengan sesamamu.” (Hlm. 134)

Yang dijawab dengan karakter-watak kerendahan hati Musashi;

“Saya takut masih belum matang, kurang bijaksana… jauh dari pencerahan. Semakin banyak saya mengadakan perjalanan, semakin panjang jalan itu. Saya merasa sedang mendaki jalan gunung yang tak ada ujungnya.” (Hlm. 983)

Menyebut beberapa diantara pencerahan yang dimaksud, bisa dicermati dalam novel ini, semisal ketika Musashi secara tiba-tiba mengaku melihat kebenaran bahwa teknik-teknik pedang bukanlah yang sedang dikejarnya. Musashi menilai jalan yang ditempuh Uesugi Kenshin dan Date Masamune terlalu bersifat militer, sehigga terlampau picik.

Yang ia cari adalah Jalan Pedang yang mencakup segalanya…

Untuk pertama kali, ia bertanya apakah mungkin seorang manusia biasa menyatu dengan alam semesta. (Hlm. 763)

Membandingkan  sarjana militer dengan Musashi adalah soal tanggapan naluriah. Yaitu tanggapan naluriah seorang sarjana militer mendasarkan diri pada prinsip-prinsip intelektual, sedangkan tanggapan orang yang mengikuti Jalan Pedang, yang mendasarkan diri pada hatinya.[35]

Pencerahan lainnya, saat mendapat ilham dari kedua tangan pemukul genderang di panggung pesta di sebuah kuil Di atas Gunung Mimuro yang suci (Kuil Mitsumine ?) ketika Musashi terkenang kembali akan masa kecilnya, akan pesta serupa malam hari di Kuil Sanumo di Miyamoto, tiba-tiba ilham datang seperti kilat. Keasyikan tangan pemukul gendering itu mengilhaminya Gaya Dua Pedang.

Ilham itu dirumuskan pengarang ke dalam kalimat;

Gaya dua-pedang itu harus bersifat demikian pula-sadar, tapi sekaligus otomatis, bagaikan refleks, sama sekali bebas dari batasan-batasan yang biasanya menyertai tindakan sadar.

Dua pemukul genderang, satu bunyi. Pemain genderang itu sadar akan kiri dan kanannya, kanan dan kirinya, tapi sekaligus tak sadar akan keduanya. Dan kini, di hadapan matanya, terpapar suasana Budha bagi berlangsungnya proses saling susup dan bebas. Musashi merasa mengalami pencerahan, mengalami pemuasan. (Hlm. 1020)

“Dua pedang sama dengan satu pedang. Satu pedang seperti dua pedang. Kedua tangan kita ini terpisah satu dari yang lain, tapi keduanya milik tubuh yang sama. Dalam segala hal, penalaran terakhir bukan bersifat ganda, tapi bersifat tunggal. Demikian pula pada semua gaya dan percabangannya….” (Hlm. 1157)

Musashi sendiri dalam awal pembuka buku Kitab Lima Cincin menyebut gaya dua pedang dengan Aliran Dua Langit atau Dua Pedang dalam Satu Pedang .  Penjelasan pendeknya; mempraktikkan ilmu memegang dan menggunakan pedang, dengan pedang panjang di tangan yang satu dan pedang pendek di tangan lainnya. Ketika nafas hidupmu menyatu dengan penggunaan kedua pedang tersebut, kamu pun ingin menggunakan seluruh peralatanmu.[36]

Kitab 5 Cincing adalah sebuah buku yang menurut penerjemah Thomas Cleary sarat dengan sintaksis-sintaksis kasar dan morfologi yang tidak enak dibaca. Ke dalam bahasa Indonesia, memang terkesan lebih banyak petunjuk praktis ketimbang uraian filosofisnya.

Berbeda dengan novel yang dikarang Eiji ini, terang lebih leluasa melambungkan narasi filosofis,sastrawi, bahkan ideologis.  Tentang Jalan Pedang, berikut adalah sejumlah tafsir Eiji yang bisa direnungi;

…Jalan Pedang mesti memiliki tujuan-tujuan khusus: menegakkan ketertiban, melindungi, dan menghaluskan semangat. (Hlm. 987)

Orang yang benar-benar berani adalah yang mencintai hidup dan mendambakannya sebagai harta kekayaan yang sekali hilang takkan dapat ditemukan kembali….

….Sungguh penting baginya hidup sebagai samurai dan mati sebagai samurai juga. Tak ada jalan kembali dalam menempuh jalan yang telah dipilihnya. (Hlm. 652)

“Pedang adalah jiwanya. Melatih seni pedang berarti menghaluskan dan mendisiplinkan semangat kita.“ (Hlm.  946)

“Jalan Pedang harus merupakan jalan yang tidak mengizinkan orang menjadi tua.” (Hlm. 1005)

“… Seorang samurai sejati, seorang pemain pedang murni, mempunyai hati yang mengandung belas kasihan. Dia mengerti kepekaan hidup.” (Hlm. 1015)
***

Bagi Musashi sosok Takuan Soho adalah pribadi yang otentik, yang unik. Bahkan disebutnya ia manusia sejati. Namun agak sulit ditangkap maksud Musashi di balik kekagumannya itu, ketika berhasrat untuk menunjukkan dirinya suatu ketika akan mencapai taraf yang lebih tinggi sebagai seseorang melalui Jalan Pedang daripada yang dapat dicapai dengan mempraktikkan Zen, kecuali meletakkannya dalam konteks manusia unggul yang tidak pernah bergantung pada dewa-dewa.

Barangkali sosok Takuan Soho adalah pembauran dari apa yang disebut Robert N Bellah ‘religi Jepang’; semua tradisi dari religi-religi.  Jika pun benar tampaknya, salah satu petunjuknya ketika dirinya mendapat ‘wangsit’ persembunyian Musashi di Gunung Takateru atau  padang rumput Itadori.[37]   Takuan menyebut wangsit itu didapat ketika membaca buku dalam dirinya; dalam hati, perut atau tempat lain. Juga melalui berpikir tentang letak tanah, penampilan air, dan keadaan langit. Bukankah ini semacam doa atau meditasi?

Kedengarannya agak unik. Dan novel ini memperlihatkan kehebatan Takuan dari keunikan-keunikan itu. Sederet keunikan menyebut Takuan seorang pendeta yang paham sekali dengan ilmu perang Sun-Tzu serta semua religi yang di-Jepangkan; Konfusianisme, Shinto, Budhisme, Zen, Amida, Tao. Selain unik, Takuan juga terlihat nyleneh, sinting, eksentrik dengan hanya berpakain kain pembalut. Takuan seorang pendeta yang diangkat menjadi pendeta tetap di Nansoji dan ditunjuk sebagai kepala biara Daitokuji dengan maklumat Kaisar, tapi melarikan diri dan  lebih suka mengembara seperti pengemis. Seorang pendeta yang menyukai perempuan ada di depan dan lelaki di belakang—yang dianggap biarawan bejat pada masanya.

“Dia begitu tolol. Salah seorang pendeta mengatakan, biarpun kelihatannya begitu, dia biarawan hebat.” (Hlm. 54)

Kemudian perihal spiritualitas Musashi sebagaimana dicatat Thomas Cleary, tidak ada indikasi kalau Musashi mempunyai devosi khusus—penyerahan diri sebagai perwujudan cinta kasih—terhadap  Kannon, Bodisatwa,  ikon termashur Budha.  Memang Musashi sering memahat patung suci itu dengan berbagai tujuan misalnya melatih ketangkasan tangan, sebagai ganti membayar uang makan di warung, biaya penginapan, termasuk ongkos penggosok pedang.

“Saya mendengar dari Koetsu bahwa Anda suka mengukir patung. Saya merasa mendapat kehormatan, kalau Anda dapat membuatkan saya patung Kannon. Cukuplah itu untuk pembayar pedang.” (Hlm. 887)

“Yah, kalau kujelaskan keadaanku, barangkali mereka mau menerima patung untuk pembayaran.” Yang disebutnya “patung” itu adalah patung Kannon yang telah dipahatnya dari kayu prem tua. (Hlm. 767)

Terkait dengan hubungan spiritualnya pada Kannon, Musashi bukan tak pernah mengalami krisis. Semisal, saat membuat patung Kannon untuk Kosuke sebagai pembayaran uang penginapan dan biaya pedang, Musashi nyaris gagal menyelesaikannya. Patung itu dibuat dari potongan kayu dari sebuah kuil abad delapan di kubur Pangeran Shotoku di Shinaga.[38]  Kosuke memperlakukan kayu itu seperti pusaka, semacam kepercayaan animisme-dinamisme di masanya.

“Potongan kayu itu tinggal seukuran ibu jari manusia. Kayu di sekitar kakinya bertebaran seperti saiju.

“Tidak bagus?”

“Tidak bagus.”

“Bagaimana kayunya?”

“Habis. Tak dapat saya menampilkan bentuk bodhisatwa itu.” (Hlm. 926-927)

Musashi juga mengalami krisis setelah membunuh Genjiro—pimpinan perguruan Yoshioka yang masih belia. Para pendeta menuduh Musashi melakukan pembantaian tak terampuni, penjahat, tak berbudi dan tak punya belas kasihan. Musashi dikatakannya tak dikehendaki oleh langit dan gunung Hiei sehingga para pendeta sepakat mengusirnya. Akibatnya, Musashi mengalami kejutan kejiwaan yang membuatnya nyaris berdoa—hal yang tak pernah terjadi, terlebih seperti yang selalu dilakukan Osugi (pengutuk Musashi) yang senantiasa meratap di depan Kannon.

Kutipan ini menggambarkan keadaan krisis Musashi;

Patung Kannon yang dibuat Musashi ini menjadi semacam doa untuk kebahagiaan Genjiro dalam kehidupan berikutnya, dan dalam makna tertentu juga merupakan permintaan maaf yang rendah hati untuk jiwanya sendiri. (Hlm. 688)

Krisis-krisis spiritual seperti itu hampir pasti tak pernah terjadi pada diri Musashi, bahkan ketika mengahadapi bencana sekalipun.  Saat menghadapi badai, contohnya, hujan deras, angin ribut yang menggila saat langit mengubah seluruh bumi menjadi samudera,  Musashi mengizinkan Iori—muridnya—membaca Bunga Rampai Kong-Hu-Cu. Namun ketika badai terjadi terus menerus, Musashi menghentikan pelajaran agama.

Banjir besar itu berlangsung dua hari lagi, dan selama itu tidak kelihatan tanah di mana pun.

Hari berikutnya masih juga turun hujan. Dengan gembira Iori mcengeluarkan bukunya lagi, katanya, “Kita mulai lagi?”

“Tidak hari ini. Cukup sudah kau membaca.”

“Kenapa?”

“Kalau kau cuma membaca, kamu tidak melihat kenyataan di sekitarmu…(Hlm. 848).

Di bagian terdahulu telah disinggung kecenderungan dalam novel ini yang menihilkan pemujaan pada dewa-dewa ke ranah publik; namun demikian bukan berarti tak ada ajaran Shinto di dalamnya.  Mencermati  kutipan berikut terang sekali bagaimana pengarang melalui tokoh Musashi menarasikan pengagungan dewa-dewa (hidupnya ruh di gunung) dan semesta.

Ia tertegun oleh kekecilannya sendiri, dan sedih memikirkan betapa tak berarti dirinya di tengah keluasan alam semesta….Hidupnya di bumi ini pendek, terbatas, tetapi keindahan dan kemegahan Gunung Fuji itu abadi….

Ada hal yang tak terhindarkan dalam cara alam itu menjulang dengan anggun dan garang di atas dirinya. Wajarlah bahwa ia ditakdirkan tetap berada di bawahnya. Maka ia berlutut di hadapan gunung itu, berharap agar kecongkakannya diampuni, lalu ia menangkupkan tangan untuk berdoa demi ketenangan abadi ibunya dan demi keselamatan Otsu dan Jotaro….

“Sebagai manusia,” katanya pada dirinya, “aku tidak begitu jauh dari dewa-dewa dan alam semesta. Aku dapat menyentuh mereka dengan pedang semeter yang kubawa ini. Tapi itu tak akan terjadi seandainya aku masih merasakan perbedaan yang begitu besar antara alam dan manusia. Dan seandainya aku tetap jauh dari dunia empu sejati, manusia yang berkembang penuh.” (Hlm. 746-747)

Perihal doa yang dinarasikan melalui Musashi dan oleh Musashi dalam novel ini terbilang sangat sedikit, mungkin hanya dua atau tiga. Dan dari dua atau tiga itu pun problematis. Kutipan ‘doa’ di atas misalnya, bagi Musashi sendiri justru menerbitkan pelbagai tanda tanya paradok—mempertentangkan diri—seperti; mengapa ia berpikir dirinya kecil? Bukankah kebesaran alam hanya apabila dicerminkan mata manusia? Tidakkah dewa-dewa ada hanya hanya apabila mereka mengadakan hubungan dengan hati makhluk hidup?[39]

Pendek kata, inilah pertanyaan khas eksistensialis—penciptaan diri secara aktif.

Sebagai perbincangan pamungkas ikhwal spiritual Musashi, sekaligus untuk mengutuhkan kembali ‘karakter’ dan tafsir pencerahan padanya, ada baiknya menyertakan kutiban narasi berikut;

Ia memang percaya secara tulus kepada dewa-dewa, tapi ia tidak menganggap mencari bantuan kepada dewa-dewa itu sebagai Jalan Samurai. Jalan Samurai adalah kebenaran tertinggi yang melebihi dewa-dewa dan para Budha. Ia mundur selangkah dan melipat tangan, bukannya meminta perlindungan, ia menyatakan terima kasih kepada dewa-dewa atas bantuan mereka yang datang tepat pada waktunya. (Hlm. 672)

6. Kebijaksanaan Lingkaran Tanpa Batas

Jelang di penghujung akhir novel Musashi, menyisakan sejumlah kejutan-kejutan penyelesaian (resolution).  Suatu narasi mendadak, tiba-tiba yang mendekati keanehan, kemustahilan sebagai suatu cerita realisme atau sastra sejarah. Namun demikian, bilamana penyelesaian (antiklimak?) tersebut dalam konteks kenyataan pencerahan tentu lain adanya, terlebih sebagai suatu kenyataan fiksi.

Osugi, seorang perempuan yang sangat keras kepala ibunda Matahachi, dari keluarga kelompok bangsawan Hon’iden, yang sepanjang cerita menaruh kebencian mendalam pada Otsu dan mendendam pada Musashi secara tiba-tiba terbuka mata hatinya. Sampai detik-detik terakhir Otsu yang membebaskan dan menyelamatkan nyawa nenek tua itu, masih berbalik menyiksanya. Osugi menyerang Otsu dengan kejam, membanting Otsu ke tanah, menginjak dan menendang.

Kemudian, tiba-tiba pada wajah Osugi muncul sebersit rasa terkejut, dan ia melepaskan rambut itu.

“Oh, apa yang kulakukan?” gagapnya ketakutan. “Otsu?” panggilnya kuatir, memandang sosok lemas yang tergeletak di kakinya.

“Otsu!” Sambil membungkuk ia tatap baik-baik wajah yang basah oleh hujan dan sedingin ikan mati itu. Gadis itu sepertinya sudah tidak bernapas. (Hlm. 1183)

Ketakutan Osugi yang mengira Otsu mati, menyebabkan secara cepat perempuan itu menenteramkan diri, lalu mendoakan—bentuk pencarian perlindungan diri dalam kesalehan. Termasuk dengan cara melepaskan kesedihan dalam tangis—air mata kedua sesudah kematian Paman Gon, menantunya yang setia mendampingi dendamnya pada Musashi.

Demikian pula terhadap Musashi. Dendam keluarga Osugi yang belum lunas apabila belum membunuh Musashi sepanjang cerita dengan pelbagai cara; trik, intrik, kasar, halus, kebencian, fitnah berakhir dengan permintaan maaf Osugi menjelang pertarungan Musashi dengan Kojiro.

“Kami datang buat melepas kepergianmu,” kata Osugi. “Dan aku datang untuk minta maaf padamu.”

“…Aku sudah melakukan begitu banyak hal yang jahat, sampai aku tak bisa berharap minta maaf atas semuanya itu. Semua itu… semua itu kekeliruanku yang mengerikan. Aku dibikin buta oleh cinta kepada anakku, tapi sekarang aku tahu mana yang benar. Maafkan aku.” (Hlm. 1235)

Di lain pihak dalam situasi pelik dan penuh intrik, Takuan Soho menyelamatkan Matahachi putra Osugi yang terlibat suatu kelompok rencana pembunuhan shogun. Sebelum ditangkap dan dihukum gantung, Takuan lebih dulu menangkapnya.  Maka pendeta cerdik itu memaksa  mengenakan pakaian jubah pendeta sehingga mendapatkan hukuman ringan—hukuman yang diminta Shogun dipasrahkan putusannya pada Takuan sendiri.

Lantas, Takuan memberi satu pilihan pada Matahachi untuk menjadi pendeta sungguhan dan bersedia menjadi muridnya.  Sayangnya, diceritakan Matahachi melarikan diri dari hukuman Takuan. Hampir bersamaan waktunya, Takuan juga membebaskan Musashi dari penjara akibat kesalahpahaman rencana pembunuhan tersebut yang menimpa  samurai itu.  Diceritakan pula shogun membatalkan pengangkatan kedudukan resmi Musashi ( meski atas usulan  Pendeta Takuan dan Yang Dipertuan Hojo dari Awa) akibat lebih percaya pada fitnahan Osugi.  Artinya, Musashi  gagal menjadi samurai yang mengabdi, dan tetap sebagai pengembara sepanjang masa.

“Aku harus belajar menjadi abdi yang rendah dari dua dewa, yaitu dewa pedang dan dewa pena.” (Hlm. 1083)

Selanjutnya, Musashi  terus memeluk pencerahan, sehabis menyumpahserapahi Pendeta Gudo yang menolak permintaan Musashi sebagai murid.  Berkali-kali pendeta itu mengatakan sudah tak punya “apa pun,” dan “Tidak ada apa-apa.”

Pendeta Gudo tetap menolak meski Musashi menjatuhkan diri, menundukkan kepala dan meminta, “Sepatah kata kebijaksanaan! Sepatah kata saja…!”

Bahkan Musashi sempat meneriakinya sebagai Pendeta Babi, setelah pendeta itu hanya bisa menggambar lingkaran di depannya dengan tongkatnya. Lalu meninggalkannya.

Secara mengejutkan, sepeninggalan pendeta itu, pikiran Musashi menjadi terbuka perihal gambar lingkaran di tanah itu.  Bahwa lingkaran itu bila diluaskan tanpa batas, akan menjadi alam semesta. Kalau dikerutkan, akan sama dengan titik kecil tempat jiwanya bersemayam. Jiwa itu bulat. Alam semesta ini bulat. Bukan dua. Satu! Satu ujud-dirinya dan alam semesta.

Lingkaran alam semesta ini tetap sama. Dengan tanda yang sama itu, ia sendiri tidak berubah. Hanya bayangannya yang berubah.

“Hanya bayangan,” pikirnya. “Bayangan itu bukan diriku yang sebenarnya.” Dinding tempat ia membenturkan kepalanya selama ini hanyalah bayangan, bayangan pikiran yang kacau.

Ia mengangkat kepalanya, dan pekik ganas pun meledak dari bibirnya. (Hlm. 1164)

Demikianlah, sudah sepantasnya tulisan ini diakhiri sebagai suatu bayangan kecil dari karya besar Eiji Yoshikawa. Tabik.[]

Ngimbang, Juli 2020
***

Bahan Bacaan:

Bagus, Lorens. 2005. Kamus Filsafat, Cet. 4.  Jakarta: Gramedia.
Bellah,Robert N. 1992. Religi Tokugawa. Terj. Wardah Hafidz, Drs Wiladi Budiharga. Jakarta: Gramedia.
Camus, Albert. 2000. Pemberontak. Terj. Max Arifin. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
Musashi, Miyamoto. 2007. Kitab Lima Cincin. Cet. Kedua Terj. Thomas Cleary. Terj. Indonesia Fransiskus Ransus, S.S. Yogyakarta: Penerbit Amara Book.
Russel, Bertrand. 2007. Sejarah Filsafat Barat. Terj. Agung Prihantoro, dkk, Cet. 3. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suryajaya, Martin.  2016. Sejarah Estetika, Era Klasik Sampai Kontemporer. Yogyakarta: Gang Kabel dan Indie Books Corner.
Wang, Andri. 2016. Dao De Jing, The Wisdom of Lao Zi. Cet. 7. Jakarta: Gramedia.
Wilson, William Scott. 2005. The Lone Samurai, Kehidupan Miyamoto Musashi. Jakarta: Gramedia.
Yoshikawa, Eiji. Musashi. 2006. Cet 5, Terj. Tim Kompas. Jakarta: Gramedia.
https://bandung.kompas.com/read/2018/06/13/23590011/biografi-tokoh-dunia–miyamoto-musashi-ahli-pedang-legendaris-jepang?page=all
***

[1] Lihat Albert Camus, Pemberontak, Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, 2000 Hal. 127
[2] Lihat Miyamoto Musashi, Kitab Lima Cincin, Terj. Thomas Cleary, Terj. Indonesia oleh Fransiskus Ransus, S.S. Penerbit Amara Book, Yogyakarta Cet. Kedua 2007, Hal. 13.
[3] Albert Camus, op. cit. Hal. 122.
[4] Miyamoto Musashi, op. cit. Hal. 109.
[5] Lihat https://bandung.kompas.com/read/2018/06/13/23590011/biografi-tokoh-dunia–miyamoto-musashi-ahli-pedang-legendaris-jepang?page=all
[6] Miyamoto Musashi, op. cit. Hal. 110
[7] Ibid, Hal. 24
[8] Tiga postulat Budhisme Zen  a). Hakikat tunggal Budha b). Hakikat tunggal seluruh ciptaan c). Jalan Alamiah.  Budhisme Zen mewartakan “kesadaran mendadak”, pemahaman kebenaran, Dalam Budhisme Zen—dan ini yang membedakannya dengan Budhisme lainnya—mengenal Satori, atau pencerahan yang dapat datang secara iluminasi (penerangan) seketika. Lihat,  Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Cet 4, 2005, Gramedia, Hal. 136.
[9] Lihat Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat, Terj. Agung Prihantoro, dkk, Cet 3 2007 Pustaka Pelajar, Hal. 997.
[10] Albert Camus, op. cit. Hal.  146.
[11] Bushido berarti keinginan kuat untuk mati. Lambang patriotism Bushido disusun pada awal abad 18 di kadipaten Nabeshima, provinsi Hizen, di Kyushu.  Robert N Bellah menelusurinya melalui Hagakure (Satu Karya abad 17 tentang Bushido).  Berikut kutipannya;  “Tidak pernah dalam hidupku aku menempatkan pikiranku sendiri di atas pikiran Pangeran dan junjunganku.  Dan aku tidak akan pernah melakukannya di sepanjang hari dalam hidupku.  Bahkan kalau aku mati, aku akan kembali hidup tujuh kali untuk menjaga rumah tinggal Pangeranku. Kita telah bersumpah untuk melakukan empat hal yaitu; 1) kita tidak akan kalah dibandingkan dengan siapa pun dalam pelaksanaan kewajiban kita. 2) Kita akan membuat diri kita berguna bagi Pangeran kita 3) Kita akan patuh kepada orang tua kita 4) Kita akan mencapai kejayaan dalam derma.”    Lihat Robert N. Bellah, Religi Tokugawa, Terj. Wardah Hafidz, Drs Wiladi Budiharga, 1992, Hal. 122-123.
[12] Albert Camus, op. cit. Hal. 13
[13] Inti dari keadaan ini termaktub dalam Kitab Dokkodo pasal 19.  Hormati Buddha dan para dewa tanpa berharap bantuan merekaDokk?d? adalah buku terakhir Miyamoto Musashi yang ditulis menjelang ajalnya tahun 1645.  Isinya betul-betul pendek;  21 sila. Berikut ke 21 sila tersebut; 1). Terima semuanya apa adanya. 2). Jangan mencari kesenangan untuk kepentingannya sendiri. 3). Jangan, dalam situasi apa pun, bergantung pada perasaan sesaat. 4). Pikirkan diri Anda secukupnya namun mendunia. 5). Terpisah dari nafsu-keinginan seumur hidup Anda. 6). Jangan menyesali apa yang telah Anda lakukan. 7). Jangan pernah cemburu. 8). Jangan pernah membiarkan dirimu sedih dengan perpisahan. 9). Kekesalan dan keluhan tidak pantas untuk diri sendiri atau orang lain. 10). Jangan biarkan diri Anda dibimbing oleh perasaan nafsu atau cinta. 11). Dalam semua hal tidak memiliki preferensi, ikatan tertentu. 12). Tidak peduli dengan tempat tinggal Anda. 13). Jangan mengejar rasa makanan enak. 14). Jangan berpegang pada harta yang tidak lagi Anda butuhkan. 15). Jangan bertindak mengikuti kepercayaan yang biasa. 16). Jangan mengumpulkan senjata atau berlatih dengan senjata di luar apa yang berguna. 17). Jangan takut mati. 18) 18. Jangan mencari untuk memiliki barang atau tanah untuk usia tua Anda. 19). Hormati Buddha dan para dewa tanpa mengandalkan bantuan mereka. 20). Anda dapat meninggalkan tubuh Anda sendiri tetapi Anda harus menjaga kehormatan Anda. 21). Jangan pernah menyimpang dari Jalan.  Sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/Dokk%C5%8Dd%C5%8D
[14] Miyamoto Musashi, op. cit.  Hal. 34
[15] Koetsu dikenal sebagai orang yang punya banyak bakat. Ia pelukis, ternama sebagai ahli keramik dan pembuat pernis, dan dianggap ahli seni. Ia sendiri beranggapan bahwa kekuatannya adalah dalam kaligrafi. Di bidang ini umumnya ia disejajarkan dengan ahli-ahli yang sudah diakui seperti Shokado Shojo, Karasumaru Mitsuhiro, dan Konoe Nobutada, pencipta Gaya Sammyakuin, yang demikian populer hari-hari itu. Lihat Eiji Yoshikawa, Musashi, 2006, Cet 5, alih bahasa Tim Kompas. Gramedia, Hal. 498
[16] Miyamoto Musashi, op. cit. Hal. 24
[17] Robert N. Bellah, op. cit. Hal. 85
[18] Albert Camus, op. cit. Hal. 37
[19] Miyamoto Musashi, op. cit. Hal. 18
[20] Refleksi Ajaran Shinto dalam Novel Musashi Karya Eiji Yoshikawa: Analisis Semiotik; https://www.semanticscholar.org/paper/REFLEKSI-AJARAN-SHINTO-DALAM-NOVEL-MUSASHI-KARYA-Rostinah-Marta/6d943bce53721e1461268d5fb087669bfc27101d
[21] Lihat catatan kaki no. 13
[22] Robert N. Bellah, op. cit. Hal. 79
[23] Ibid, Hal. 81.
[24] Ibid, Hlm. 82
[25] Kannon adalah salah satu ikon termasyur Budha, merepresentasikan karya kasih sayang universal.  Kannon tersebut menjadi ikon kuil di mana Musashi melakukan retreat.  Tidak ada indikasi kalau Musashi mempunyai devosi khusus terhadap Kannon tersebut.  Lihat catatan buku  Miyamoto Musashi, op. cit. Hal. 111.
[26] Ibid, Hal. 43
[27] Bertrand Russel, op. cit. Hlm. 993
[28] Ibid, Hlm. 994
[29] Lihat catatan kaki nomor 23
[30] Bertrand Russel, op. cit.  Hlm. 994,
[31] Eiji Yoshikawa, op. cit.  Hlm. 167
[32] Robert N. Bellah, op. cit.  Hlm. 113
[33] Ibid, Hlm. 123
[34] Ibid, Hlm. 124
[35] Eiji Yoshikawa, op. cit. Hlm. 984
[36] Miyamoto Musashi, op. cit. Hlm. 37
[37] Ibid, Hlm. 85
[38] Ibid, Hlm. 924.
[39] Ibid, Hlm. 747

Sajak-Sajak Imamuddin SA

$
0
0

MENULIS PUISI

sudah lama rasanya aku tak menulis puisi
kata-kata yang kemarin menemaniku
sekarang berselingkuh dan menikam pisau karat
di dadaku

sebercak darah muncrat
menodai lantai kamarku yang lusuh
yang belum sempat aku bersihkan karena waktu

ia bercerita tentang luka
yang telah melahirkannya dalam sepi
dalam denyut nadi sendiri

tiba-tiba aku menulis puisi
dari kesetiaan darahku yang pasi

Balun, 2018

MEMBUNUH WAKTU

di tepi pantai aku membunuh waktu
dengan pisau rindu
aku menikam jantungnya yang basah
dan darah pun muncrat menjadi kenangan

dengan sengal napasku
aku seret tubuhya yang lelah
dan menghanyutkannya bersama ombak
biar tak ada lagi jejak berserak

Balun, 2018

TASBIH AIR MATA

aku pungut suara itu dari dalam kamarku
sebait rengek bocah yang menasbihkan air mata
kepada ibunya untuk sebutir permen pelangi
setelah hujan sore tadi

aku yang terusik suara itu
bergegas ingin tahu
berlari membuka pintu
yang sejak tadi terkunci jantungku

entah apa yang terjadi
bocah itu tak pernah hadir di mataku
aku hanya menyapa diriku tengadah di bawah lampu
sembari menjilat permen yang tinggal separuh waktu

Balun, 2018

MENGGAMBAR PELANGI

anakku, aku akan menggambar pelangi
di bawah terik matahari
setelah reda hujan ini hari

gambar ini sengaja aku buat untukmu
sebagai kado ulang tahun yang belum sempat
aku ceritakan kepada siapapun
termasuk waktu dan jantungku

anakku, aku ingin sendiri
kau mewarna gambarku
agar kau mengerti batas garis cakrawalamu
agar kau tahu lengkung mana yang kau sentuh

anakku, aku ingin di wajah senjaku
kau mengajakku bermain dengan pelangi itu
bersama darahmu. Seperti ini hari
aku yang mengajakmu berlari-lari
mencari separuh tubuh pelangi yang selalu sepi

ah tidak, esok aku hanyalah ringkih dan tak perlu berlari kembali, cukup kau pangku aku di bawah teduh pelangi
sesekali menembang asmaradana sembari menghapus pelangiku lelah
menanti rembulan dengan lesung pipi memerah

Balun, 2018

PENCURI, MALAM, DAN GERIMIS

sebuah malam dan sedikit gerimis
bertamu ke rumahku
mereka mengajakku bercanda dalam sepi
setelah lelah mengusik siang tadi

tiba-tiba seklebat bayang menyapa sunyi
dan mata-mataku menangkapnya.
dengan menjinjing kaki, mengendap-endap membuka
pintu belakang rumah yang masih terkunci

rupanya dua bayang-bayang yang sama,
sama rentanya.
mereka mengambil sebuah kotak dari brankas kamarku

aku pun berpaling dari teman candaku
membiarkannya dingin bersama secangkir kopi beku.
aku hadang bayang-bayang itu
tepat di depan pintu

“astaga, rupanya mereka adalah bapak dan ibuku”

ada rasa takut tumbuh di kebun matanya yang sayu
di dekapnya kotak itu, erat, hangat, seerat dan sehangat peluknya kepadaku
perlahan mereka benamkan kotak itu di dada kirinya;
“sebuah kotak yang berisi senyum, waktu, dan rindu”

Balun, 2018

Imamuddin SA, nama aslinya Imam Syaiful Aziz, lahir di Lamongan 13 Maret 1986. Aktif di Kostela, PUstaka puJAngga, FSL, FP2L, dan Literacy Institut Lamongan. Karya-karyanya terpublikasi di: Majalah Gelanggang Unisda, Majalah Intervisi, Tabloid Telunjuk, Jurnal Kebudayaan The Sandour, Majalah Indupati, Warta Bromo, dan Radar Bojonegoro. Puisi-puisinya terantologi di: Lanskap Telunjuk, Absurditas Rindu, Memori Biru, Khianat Waktu, Kristal Bercahaya dari Surga, Gemuruh Ruh, Laki-Laki Tak Bernama, Kamasastra, Tabir Hujan, Sehelai Waktu, Kabar Debu, Tabir Hijau Bumi, Bineal Sastra Jawa Timur 2016, Pengembaraan Burung, Ini Hari Sebuah Masjid Tumbuh di Kepala, dan Serenada. Prosa-prosanya terpublikasi di: Mushaf Pengantin, antologi cerpen Bukit Kalam, Hikayat Pagi dan Sebuah Mimpi, Bocah Luar Pagar, Hikayat Daun Jatuh, dan Tadarus Sang Begawan. Pernah dinobatkan sebagai Juara 3 Mengulas Karya Sastra Tingkat Nasional tahun 2010, Harapan 2 Lomba Menulis Cerpen Tingkat Jawa Timur 2018, dan Juara 2 Lomba Menulis Puisi Se-Kabupaten Lamongan 2019. Nomor telepon 085731999259. Instagram: Imamuddinsa. FB: Imamuddin.

Sajak-Sajak Kedung Darma Romansha

$
0
0

Kedaulatan Rakyat, 30 Okto 2016

Pesan Suami Kepada Istrinya

di hidup yang sekali ini
aku tak ingin kau cemberut
nanti kucubit mulutmu
dengan mulutku
agar terbang rasa sakit
dan lapang hati yang sempit

di hidup yang sekala ini
kita mesti berdandan rapi dan wangi
agar jam tanganmu tak dicuri hari.

(tak ada yang boleh tahu isi kamar kita
kecuali kenangan yang menempel di dinding rumah kita)

cinta yang ganjil ini
digenapi sunyi
kita berharap tuhan datang setiap hari
menjenguk kita
mengajak kita bicara
agar hati tak diikat yang fana

di hidup yang sekali ini
aku tak ingin hari kita kusut
sebab kau tahu
tangan takdir lebih panjang dari nasib

jangan tergesa
toh di depan ada lampu merah menunggu
kita tunggu sampai lampu hijau menyala
agar perjalanan tak hilang di pos penjaga

di hidup yang sekali ini
aku tak ingin kau takut
gelap itu sebab
sementara etrang niscaya
mari kubawa kau
ke tempat anak-anak menunggu
anak-anak bandel dan lucu
yang akan mengajari kita tertawa
dan bertahan menjaga cinta.

Tembi, 2016

Suatu Ketika di Depan Hotel Kozi

di depan hotel
seperti kawanan domba
mobil-mobil diikat oleh waktu
seorang satpam tertidur di kursi
lalu terbangun
ia ingin meringkas malam
dan menonton film india di rumahnya
di seberang jalan
kawanan remaja tionghoa mengulur malam
mereka ingin memakai lipstik sampai gelap padam
sementara di belakang restaurant
di kabel-kabel telepon yang melengkung
seekor gagak berkoak minta bangkai
di depannya dua lelaki india menunggu matahari
yang menyeruak dari aroma babi panggang
malam aberjaga di bangku di resepsionis
tak ada telpon berdering
lampu-lampu menunggu cahaya
kamar penuh dan menyimpan rahasia

di luar, malam merelakan dirinya tak pernah utuh
seperti perempuan menyeret-nyeret masa lalu
dan menceritakan kecemasannya
pada lelaki di depannya

di depan hotel,
Engkau datang di sepertiga malam
menatapku tak penuh-penuh
tak sudah-sudah

Johor Baru, 2016

Cinta Yang Lupa Ingatan

ketika melihat matamu
lampu kota padam oleh soriot magismu
sebab senyummu
sanggup menjinakkan jalangnya kota ini
manakala setiap paha perempuan terbuat dari keju
dan gedung-gedung dibangun dari kosmetik eropa

tak ada yang lebih harum dari perangaimu
ketika tuhan cemburu pada wajahnya sendiri
aku cepat-cepat mencurinya darimu

aku ingin memakan keju
dengan selai bibirmu
dan buah apel dadamu yang montok

aku ingin tersesat di hatimu
dan sengaja kau hapus alamatnya

aku ingin kau memaksaku dengan kasar
masuk ke dalam rumahmu
dan membuang kuncinya

aku ingin hidup bukan untuk masa silammu
karena kau bukan takdir kenanganku

dan untuk terakhir kali
aku ingin kau membangunkanku
dari mimpi tolol ini

Yogya, 2016

Kedung Darma Romansha, lahir pada tanggal 25 Februari 1984 di Indramayu, Jawa Barat. Alumni jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY, 2009) serta pascasarjana Ilmu Sastra di Universitas Gajah Mada (UGM, 2017). Sebagai sastrawan, karya-karyanya dipublikasikan di pelbagai media massa, baik lokal maupun nasional serta antologi bersama. Ia juga aktif dalam seni peran, teater dan film. Pada Agustus 2018, bersama Saturday Acting Club diundang oleh Asia Theatre Directors Festival TOGA, Toyama, Jepang, membawakan “The Decision” karya Bertold Brecht. Novelnya “Kelir Slindet” merupakan buku pertama dari dwilogi Slindet/Telembuk (2014), dinobatkan karya terbaik Tabloid Nyata. Novel keduanya “Telembuk, Dangdut dan Kisah Cinta yang Keparat,” masuk short list Kusala Sastra Khatulistiwa 2017, serta menjadi buku yang direkomendasikan majalah Tempo kategori prosa, 2017. Novel itu juga salah satu yang terpilih dalam Market Focus, London Book Fair (Komite Buku Nasional, 2019). Dua buku puisinya, “Uterus” (2015), dan “masa lalu terjatuh ke dalam senyumanmu” (Rumah Buku, 2018). Yang segera terbit, buku kumcer perdananya “Rab(b)i”, dikonsep tidak seperti kumcer pada umumnya. Ia mengelola gerakan literasi di Indramayu, Jamiyah Telembukiyah, yang beberapa anggotanya terlibat dalam gerakan literasi jalanan, penyuluhan, dan pendataan terhadap Pekerja Seks Komersial di Indramayu. Anggota yang lain terlibat dalam gerakan sastra dan budaya di Indramayu. Program ini atas kerjasama dengan Universitas Wiralodra, telah mengundang beberapa sastrawan dalam negeri dan luar negeri, di antaranya Joko Pinurbo, Katrin Bandel, Afrizal Malna, Sosiawan Leak, dan Mubalmaddin Shaiddin dari Malaysia. Ia juga mengelola komunitas Rumah Kami/Rumah Buku di Yogyakarta.
https://klipingsastra.com/id/puisi/2016/10/pesan-suami-kepada-istrinya-suatu.html

Potret Pantura dalam Karya Sastra Telembuk

$
0
0


Judul Novel : TELEMBUK Dangdut dan Kisah Cinta yang Keparat
Penulis : Kedung Darma Romansha
Penyunting : Dian Dwi Anisa
Pemeriksa aksara : Maria Puspitasari
Cover : Nugroho Daru Cahyono
Penata letak : Azka Maula
Penerbit : Indie Book Corner
Cetakan : Pertama, Mei 2017
Tebal Buku : xiv + 414 hlm
Nomor ISBN : 978-602-3092-65-9
Peresensi : Faris Al Faisal

JARANG sekali ada karya sastra yang membicarakan Pantura apalagi Indramayu. Adalah Kedung Darma Romansha, penulis kelahiran Indramayu yang lama merantau ke Yogyakarta ini menulis sebuah novel yang memotret kehidupan masyarakat pantura Indramayu dengan judul TELEMBUK.

Entah dari mana sumbernya, konon selain dikenal sebagai kota mangga, Indramayu juga diketahui sebagai daerah penghasil telembuk terbanyak dan tercantik. Telembuk adalah istilah lokal Indramayu untuk menyebut perempuan Pekerja Seks Komersial (PSK) yang cenderung memiliki konotasi negatif seperti halnya lonte dan perek. Sesuatu yang tidak bisa ditutup-tutupi atau dibiarkan terbuka begitu saja. Kedung Darma Romansha dengan berani dan penuh perhitungan justru memberi judul Dwilogi Slindet yang keduanya setelah yang pertama Kelir Slindet yaitu TELEMBUK Dangdut dan Kisah Cinta yang Keparat. Lalu seperti apa jadinya bila telembuk diangkat ke dalam sebuah karya sastra?

Dalam Prolog, Kedung Darma Romansha menuliskan, “Bagi yang belum mendengar cerita “Kelir Slindet,” saya akan ceritakan sedikit di bawah ini. Dan bagi yang sudah mendengarnya, langsung saja buka “Telembuk”nya. (halaman ix).

Ini sebenarnya dengan sangat halus, penulis novel TELEMBUK ini mengajak pembacanya untuk mengetahui terlebih dahulu ringkasan atau bila mau membaca terlebih dahulu novel Kelir Slindet agar cerita yang dibaca akan saling berkelanjutan sehingga tidak ada yang terpotong.

Novel TELEMBUK Dangdut dan Kisah Cinta yang Keparat terdiri dari dua bagian. Bagian pertama, Kisah Cinta yang Tak Selesai dibagi menjadi 43 sub bab dan bagian kedua, Sepenggal Kabar dari Kota Mangga dibagi menjadi 29 sub bab. Kedua bagian novel itu, sub babnya ditulis dengan penomoran tanpa judul seperti ditemukan dalam novel Layar Terkembang karya St. Takdir Alisjahbana cetakan pertama, 1937 penerbit Balai Pustaka.

Ketika membuka paragraf awal, Kedung Darma Romansha sengaja mengawali dengan pembukaan latar tempat dan suasana yang melibatkan tokoh cerita dalam romantisme alam, walaupun kemudian ia menyatakan jika gaya seperti itu terlalu banyak dipakai dalam novel-novel. Hampir ratusan kali saya menemukan cerita dengan pembukaan semacam ini. Saya tidak menghina, itu hak siapa pun untuk menulis gaya semacam ini. Tapi sebagai anak muda bajingan seperti saya, cerita di atas bukanlah selera saya. (halaman 3).

Maka akan kita dapati, penuturan cerita yang benar-benar berbeda. Kontradiktif dengan sebagian selera pembaca misalnya, terutama penikmat novel yang menyukai genre romance. Beberapa percakapan atau dialog yang di antaranya menyelipkan umpatan, makian dan kata-kaka tidak senonoh yang memang tidak bisa dipungkiri masih begitu kental dalam percakapan-percakapan masyarakat Pantura seperti kirik, kopok, koplok dan lain sebagainya.

“Kirik! Diva terperanjat. Ia baru ingat kalau hari ini manggung di Organ Tunggal Langlang Buana pimpinan Mang Dasa dari desa Haurgeulis. (halaman 4).

Cerita bergulir. Semenjak kabur dari Cikedung, Safitri memilih menjadi seorang telembuk sekaligus penyanyi dangdut. Suara yang merdu, kecantikan wajah dan keseksian tubuhnya, ia menjadi bintang dangdut dengan nama Diva Fiesta. Dalam kehidupannya yang baru itu, ia kenal dengan Mak Dayem, seorang wanita tua mantan telembuk yang banyak mengajarinya. Ia juga dipertemukan dengan Mang Alek, seorang laki-laki yang menolong Safitri dan membuatnya jatuh hati tetapi tidak pernah mau bercinta dengan Safitri dan justru lebih memilih telembuk lain.

Dari sinilah kisah ini kemudian terus bergulir jauh, rahasia-rahasia Diva Fiesta dan kaitannya dengan menghilangnya Safitri perlahan mulai terungkap. Perjalan hidup Diva Fiesta, kisah pilu Safitri, cinta Govar yang lama terpendam, kenangan Aan akan gadis yang pernah dipujanya, Mukimin dan cintanya pada Safitri yang timbul tenggelam, perasaan-perasaan yang muncul di benak mereka masing-masing, semua berkelindan dan membentuk jalinan cerita yang kian kelam dan makin suram.

Aku buka perutku di hadapan semua orang dan aku teriak kalau aku memang hamil. Pasti kalian ingin tahu siapa yang menghamiliku. Kenapa kalian harus tahu? Sepenting itukah aku bagi kalian? Lalu ketika kalian tahu siapa yang menghamiliku, kalian akan merasa puas? (halaman 192).

Membaca novel TELEMBUK ini akan membawa kita mengenali dunia prostitusi, panggung dangdut yang seronok, pergaulan para pemabuk dan tukang kelahi. Sudah pasti adegan seks dan kata-kata kasar bertaburan sebagaimana bau asap rokok, wangi parfum murahan, alkohol, suara dangdut tarling, perkelahian dan segala hal yang memiliki kaitan dengan dunia telembuk. Semoga penggambaran ini bukan menjadi kekurangan dari novel TELEMBUK.

Novel ini juga memberikan pandangan bagi pembaca bahwa telembuk dan prostitusi, punya sisi lain yang kerap membuat orang tutup mata dan telinga. Tidak ingin melihat dan mendengar. Padahal tidak ada yang tahu alasan, kenapa Safitri memilih menjadi telembuk? Sringnya orang-orang terlalu mudah menghakimi dan tergesa-gesa memberikan kesimpulan akan sebuah penilaian kehidupan.

Gaya penceritaan penulis dalam novel ini sesungguhnya menjadi daya tarik tersendiri. Penulis menempatkan beberapa sudut pandang. Satu dari pencerita atau narator dan beberapa dari para tokohnya. Dari sisi pencerita atau narator, penulis menyajikan kisah dalam posisi netral. Tidak menghakimi ataupun membela para tokoh. Tidak ada penilaian moral apapun. Sedangkan dari sisi para tokohnya; Safitri, Sapitri, Saritem, Sukirman, Mukimin, Kaji Nasir, Abah Somad, Kiai Sadali, Kaji Darmawan, Kaji Warta, Sondak, Govar, Kriting, Casta, Carta, Mak Dayem, Mang Alex, Kartam, Beki dan Aan lebih pada pergulatan batin mereka sendiri. Yang paling menarik dari menarik adalah justru tokoh Aan adalah pencerita atau narator itu sendiri.

Menyelesaikan membaca novel ini pada akhirnya bukanlah untuk menghakimi Safitri, Mukimin, Carta, Mang Alex, Mak Dayem, Govar, Sini, Saritem, Sondak atau siapa pun juga. Pembaca akan masuk ke kisah panjang perjalanan seorang telembuk yang dikemas Kedung Darma Romansha dengan eksperimental namun berdasarkan riset lapangan yang tidak sebentar. Masuk berarti mencoba memahami, masuk berarti berusaha menjadikan rahasia dari kelok kehidupan Safitri sebagai pelajaran hidup. Pilihannya adalah menyimpannya untuk diri sendiri atau menyebarkan cerita ini kepada orang lain.
***

https://www.harianbhirawa.co.id/potret-pantura-dalam-karya-sastra-telembuk/

Memahami Sisi Lain Telembuk

$
0
0


Peresensi: Muhammad Abdul Aziz
Judul: Telembuk Dangdut dan Kisah Cinta yang Keparat
Penulis: Kedung Dharma Romansha
Penerbit: Indie Book Corner
Tahun Terbit: 2017
Tebal Buku: xiv + 414 hlm

Diva Fiesta, seorang penyanyi dangdut tarling dari grup organ tunggal Langlang Buana. Ia tak hanya bekerja sebagai penyanyi, tapi bekerja pula sebagai seorang telembuk. Telembuk sendiri memiliki arti pekerja seks komersial dalam bahasa Indramayu. Diva Fiesta menjadi idola tiga orang pemuda desa yaitu Aan, Govar dan Kriting.

Tak hanya menyoal Diva Fiesta. Kisah Aan, Govar dan Kriting terhubung dengan kisah Safitri. Safitri merupakan primadona Cikedung, yang juga seorang penyanyi qasidah. Safitri jatuh cinta dengan Mukimin, ustadz muda yang begitu mengidolakan Zainuddin MZ. Sayangnya, kisah cinta Mukimin dan Safitri kandas, sebab Safitri tiba-tiba menghilang dari Cikedung.

Beberapa tahun kemudian, Aan, Govar dan Kriting berhasil menemui Safitri kembali. Mereka berusaha mengajak Safitri untuk kembali ke Cikedung. Semenjak Safitri menghilang. Kondisi keluarga Safitri hancur. Ayahnya meninggal, ibunya sakit keras.

Selepas ditinggal Safitri, Cikedung banyak berubah. Mukimin, kini diceritakan sebagai anak yang nakal, meminum minuman keras, berjudi dan berganti perempuan. Kemunculan tokoh Pipit, janda beranak satu yang disukai Mukimin menimbulkan banyak pertanyaan pada pembaca. Aan, Govar dan Kriting mencurigai Pipit ialah Safitri yang juga Diva Fiesta. Tetapi, kecurigaan mereka tidak terjawab.

Telembuk menghadirkan fenomena dunia pekerja seks komersial daerah pantai utara (pantura). Kehidupan sosial masyarakat di daerah Kabupaten Indramayu, tepatnya di Kecamatan Cikedung menjadi latar yang diceritakan sepanjang novel. Mayoritas masyarakat Cikedung bekerja sebagai petani. Adanya pesta panen, tak lepas dari hiburan dangdut tarling. Cikedung juga tidak lepas dari kebiasaan nelembuk.

Kedung Darma menyajikan novel ini begitu lengkap tidak hanya kisah para tokohnya namun kondisi sosial, budaya hingga politik Cikedung disampaikan sesuai kondisi pada tahun-tahun itu. Bahasa lokal yang disajikan pada beberapa penggalan cerita menjadi bumbu pelengkap membawa pembaca seperti berada di Cikedung dan mengenali tokoh-tokoh begitu dekat. Namun kisah yang belum selesai ini memberikan kesan yang unik bagi pembaca karena pembaca dibawa semakin dekat dengan konflik dan menumbukan rasa simpati kepada tokoh-tokoh yang ada.

“Akeh lara ati ing wong, namun saking duriat” (Hati sering disakiti orang hanya karena asal usul dan derajat kita) —Sunan Gunung Jati.
***

https://isolapos.com/2018/03/memahami-sisi-lain-telembuk/
Link terkait: https://www.awanbyru.com/2017/08/telembuk-sebuah-kisah-yang-tak-pernah.html

MANIK DAN GUS MUH DALAM DEKAPAN ANDRE

$
0
0


Eddi Koben

Kenangan akan mengabadi jika diikat dengan tulisan. Sebaliknya, ia akan menguap dan terlupakan jika hanya diceritakan secara lisan. Itulah pentingnya sebuah tulisan. Tulisan akan mengabadi sepanjang bertemu dengan pembacanya. Demikian yang ingin disampaikan Andrenaline Katarsis lewat buku teranyarnya “Museum Kenangan: buku, cinta, dan karnaval kesedihan”.

Novel memoarnya ini menegaskan peran buku dalam mengubah jalan hidup seseorang. Bagaimana ia berpikir, bersikap, dan bertindak setelah akrab bergaul dengan buku. Dengan tulisan.

Novel setebal 200 halaman ini berkisah tentang kehidupan tokoh Aku yang berubah setelah berkenalan dengan buku. Ia semakin jatuh cinta pada buku setelah menikmati betul kebersamaannya dengan buku-buku. Rasa senang dan sedih dilalui tokoh Aku yang semakin mengintimi buku.

Kisah ketertarikan tokoh Aku pada buku dimulai ketika melakukan perjalanan ke Bali dalam rangka tugas Kuliah Kerja Lapangan (KKL) dari kampusnya. Dalam perjalanan di kereta ia memperhatikan seseorang yang menyuntuki buku.

Tokoh Aku merasa penasaran bagaimana orang itu bisa begitu larut dengan buku yang dibacanya. Padahal, bisa saja ia menikmati perjalanan di kereta sambil mengobrol dengan kawan di samping kiri atau kanan. Atau minimal menikmati pemandangan di sepanjang jalan yang dilalui.

Belakangan tokoh Aku mengenal sosok pria penggila buku itu bernama Ricky Manik. Ia mahasiswa yang lebih senior dari tokoh Aku. Selain seorang kutu buku, ia pun dikenal sebagai aktivis mahasiswa yang gemar berteriak-teriak di jalanan untuk menyuarakan ketidakadilan.

Ricky Maniklah yang menyeret tokoh Aku ke dalam pusaran buku. Ia begitu getol memberikan pengaruh kepada tokoh Aku akan pentingnya membaca buku. Ia tak jemu mengajak tokoh Aku terjun ke dunia aktivitas pergerakan mahasiswa. Diskusi, berorganisasi, berunjuk rasa adalah aktivitas-aktivitas yang menyeret tokoh Aku bersama Ricky Manik.

Dengan Ricky Manik tokoh Aku bisa mengenal dunia buku, dunia pergerakan mahasiswa , dan situasi politik dalam negeri. Dengan Manik tokoh Aku merasa memiliki eksistensi sebagai mahasiswa pergerakan. Namun, dengan Manik pula tokoh aku pernah berseteru dan sakit hati hingga sempat memintal lembaran dendam.
***

Jika boleh mendefinisikan tokoh Aku sebagai Andrenaline Katarsis, maka Andre tak memungkiri bahwa kecintaannya terhadap dunia buku berkat Ricky Manik. Jika tak pernah mengenal Manik, barangkali hingga saat ini Andre hanya menjadi manusia kebanyakan. Lulus kuliah, bekerja di perusahaan, menikah, dan menikmati hidup.

Andre telah memutuskan untuk memilih buku sebagai jalan hidupnya. Meski jalannya terlalu sunyi, Andre sangat menyukai. Sunyinya dunia buku bagi Andre sama halnya kesunyian di tengah hutan saat ia sedang mendaki gunung seorang diri.

Dengan gagah berani ia menggandeng buku sebagai kawan hidupnya. Membaca, menulis, berdiskusi, hingga membuat penerbitan sendiri ia lakukan sebagai wujud kecintaannya pada buku. Maka, ia sangat berterima kasih pada sosok Ricky Manik yang telah memperkenalkannya pada dunia buku. Jika Manik masih hidup, barangkali ia akan tersenyum bahagia melihat Andre yang asyik dengan dunia buku.

Jika Manik yang telah berjasa mendekatkan Andre pada buku, ada seseorang lagi yang berperan penting dalam dunia kepenulisan yang digeluti Andre. Dalam memoarnya ia mengaku terang-terangan mengidolakan sosok Muhidin M. Dahlan atau akrab disapa Gus Muh.

Andre sangat terobsesi untuk bisa seperti Gus Muh. Ia berusaha meniru gaya Gus Muh dalam menulis. Bahkan, memoar yang ditulisnya ini seakan-akan “copy the master” dari buku Gus Muh yang berjudul “Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta”. Coba sandingkan dengan judul kecil memoar ini, “Buku, Cinta, dan Karnaval Kesedihan”. Sangat mirip bukan?

Sah-sah saja jika seseorang meniru gaya tokoh idolanya dalam menulis. Namun, ada baiknya ia memiliki ciri khas tersendiri dalam menulis. Maka, ia akan tampil menjadi dirinya sendiri.

Pengaruh Manik dan Gus Muh dalam karir kepenulisan Andre memang sangat besar. Andre begitu kuat mendekap Manik dan Gus Muh dalam kehidupannya di dunia buku, dunia menulis. Dua sosok itulah yang berperan besar menjadikan Andre seperti sekarang ini.

Andre yang hobi naik gunung, Andre yang hobi membaca, menulis, berdiskusi, kini mantap mengibarkan bendera Katarsis Book sebagai penerbit indie yang diharapkan mampu menopang hidupnya. Selamat, Andrenaline Katarsis!

18 Juli 2020

Marie dan Jan untuk Sapardi

$
0
0


Patricia Pawestri *

“Kau sudah menyimpan satu fotonya?” tanya Jan ketika Marie melihat beranda dipenuhi berita duka cita.

“Belum. Lihat ini, Jan, foto beliau di akun Mahesa Ayu Jenar,” Marie mengarahkan layar mendekati lengan Jan. Di layar itu sebuah wajah bertopang dagu, seperti tidak pernah ada duka di kulit keriput yang cerah itu.

“Aku jadi teringat nenek,” lanjut Marie.

“Ya, mungkin mereka berdua bisa bertemu sekarang,” sahut Jan sambil menyambut tangan Marie yang menggenggam selular. Sejenak ia mengernyitkan dahi, lengan baju di pergelangan tangan Marie basah. “Kamu tadi nangis, ya?” Ia hapal kebiasaan Marie mengusap air mata dengan lengan baju.

Ditanya begitu, Marie menarik cepat-cepat tangannya lalu menyembunyikannya di saku.

“Ah, kau ini. Seolah para orang tua itu akan berpesta puisi di alam baka,” sergah Marie sambil mengerucutkan bibir dan pura-pura tidak memperhatikan kalimat terakhir Jan.

“Ah, kamu juga suka pura-pura tabah. Sini peluk.” Tangan Jan meraih bahu Marie, merapatkannya ke dada.

“Mungkin saja beliau sekarang sedang berpelukan dengan penyair-penyair lainnya, Jan, seperti Rendra, Chairil, dan aktor Djaduk.”

“Ya, dan sepertinya itu sangat menyenangkan,” sahut Jan.

Sejenak hujan rintik terdengar dari luar membuat rasa semakin syahdu, sepertinya kesedihan tidak hanya milik manusia di bumi Indonesia, tetapi langitnya juga turut serta.

Pat, 2020.

*) Patricia Pawestri, tinggal di Yogyakarta. Buku antologi tunggalnya “Metafora Goodnick Griffin.”


MANUSIA RENDAH HATI SAPARDI DJOKO DAMONO

$
0
0


Maman S. Mahayana *

Sebuah pesan WhatsApp datang pagi ini, Minggu, 19 Juli 2020, 10.00: “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Telah meninggal dunia sastrawan besar Indonesia, Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono di Eka Hospital BSD, Tangerang Selatan pada hari ini 19 Juli 2020, pukul 09.17 WIB. Mohon doa. Al Fatihah.”

Langit tiba-tiba mendung. Tidak ada hembusan angin. Alam tampak kelam. Matahari meredup seperti turut merasakan kedukaan mendalam. Pak Sapardi … orang hebat yang baik itu, kini benar-benar pergi. Duh …. Inilah tokoh besar yang sebenar-benarnya Manusia-Seniman sejati. Reputasinya yang menjulang tinggi, tak membuatnya arogan, pongah, dan besar kepala. Sejauh yang saya kenal, ia selalu berusaha menghindar ketika saya—atau siapa pun, membicarakan karyanya. “Biarlah masyarakat sebebasnya memperlakukan karya itu. Saya malu kalau membicarakan karya sendiri,” begitu ujarnya.

Tak pernah sekali pun ia membusungkan dada memamerkan karya atau reputasinya. Di mana pun, dalam forum apa pun, ia tetap menempatkan diri sebagai Manusia rendah hati. Sapardi Djoko Damono adalah cermin hidup, bagaimana puja-puji dan sanjungan yang menghujaninya, tidak membuatnya lupa daratan.
***

Sapardi Djoko Damono (SDD) bagi saya adalah kisah tentang humanisme. Ia lahir dari keluarga bangsawan Solo, tapi tak pernah memakai gelar kebangsawanannya. Terbuka, egaliter, well come, asyik, dan selalu santuy!

Suatu hari, awal tahun 1980-an, ketika saya perlu surat keterangan yang harus ditandatangani Pak Sapardi sebagai Wakil Dekan III, Bidang Kemahasiswaan, saya datang terlambat ke ruang kerjanya. Ia sudah pergi diantar sopirnya. Padahal, surat itu harus dikirim pada hari itu juga. Saya sudah hopeless. Memang salah saya juga. Saya datang agak sore. Dengan perasaan lunglai, saya berniat pulang.

Ketika saya berjalan menuju halte bus kota, melewati kantor pos di kompleks FSUI, saya melihat mobil Pak Sapardi hendak keluar kampus. Segera saya berlari, berdiri di tengah jalan menghentikan mobilnya. Si sopir seketika terpaksa berhenti. Saya mendekati mobilnya, dan Pak Sapardi membuka kaca mobilnya.

“Ada apa?” tanyanya.

“Maaf Pak, saya perlu tanda tangan Bapak,” ujar saya.

“Ah, kamu. Mengagetkan saja. Kalau kau ketabrak, saya yang repot!”

Saya minta maaf sambil menyerahkan surat itu. Pak Sapardi menerimanya, membaca sekilas, lalu katanya, “Sini pulpennya!”

Saya gelagapan, karena saya tak bawa pulpen. Untung si sopir buru-buru menyerahkan pulpennya pada Pak Sapardi. Sret … selesailah surat itu ditandatangan Pak Sapardi.

Saya berterima kasih, dan si sopir pun menjalankan lagi mobilnya.

Oh, Pak Sapardi. Tidak ada wajah kesal sedikit pun ketika saya menghentikan mobilnya. Tidak ada wajah kesal sedikit pun ketika dia tahu, saya tak membawa pulpen. Dan enteng saja ia menandatangani surat itu, lalu menyerahkannya pada saya.

Oh, Pak Sapardi … Terlalu banyak kenangan humanisme yang saya pelajari. Cermin hidup guru sejati. Cermin hidup seniman sejati. Cermin hidup manusia rendah hati.

Terima kasih Pak Sapardi ….
***

Ketika Pak Sapardi sakit, kami menjenguknya di Rumah Sakit Cipto. Seperti lazimnya orang membezoek, kami bertanya itu ini. Pada saat itu, datang dua orang suster. Salah seorang tampak memperhatikan nama yang tertera di ujung tempat tidur. Ia lalu bertanya kepada SDD, “Dok, Dokter praktik di mana?” Teman saya tampak menahan tawa. Pak SDD menjawabnya dengan baik. Katanya, “Saya bukan dokter. Saya penyair. Dosen di Fakultas Sastra.” Suster itu tampak malu-malu.

Selepas kedua suster itu keluar, teman saya meledak tawa. Saya tak ikut tertawa, masih terpesona oleh jawaban SDD tadi. Sama sekali, tidak ada kesan merendahkan. Tidak ada! Caranya memberi keterangan seperti ia menjelaskan sesuatu kepada mahasiswanya.

Dalam kesempatan yang lain, ketika kami—saya, SDD, dan Budi Darma—menjadi juri sayembara novel –DKJ dan Yayasan Buku Utama—SDD kadang menjadi pendengar yang baik dan kompromistis. Selalu, hasilnya adalah kesepakatan bersama. Tidak ada kesan pilihannya mesti jadi juara. Kami betul-betul saling bertukar pendapat. Saya sungguh-sungguh belajar, bagaimana jadi manusia rendah hati. Kerendahhatian SDD itu pula yang mengingatkan saya pada satu peristiwa bersamanya. Waktu itu ada kegiatan berkaitan dengan Seminar HISKI. Kami berdua di sekretariat panitia. Ketika masuk waktu magrib dan kami bermaksud sembahyang berjamaah, SDD mempersilakan saya menjadi imam. Tentu saja saya menolak. Tetapi apa yang dikatakannya: “Silakan Pak Maman jadi imam. Anda kan lebih Islam dari saya!” Kami kemudian sembahyang berjamaah. Saya imam, SDD makmum. Dan ketika sujud, saya menangis. Luar biasa orang ini! Orang hebat yang rendah hati!

Sampai sekarang, saya masih harus terus belajar, bagaimana jadi manusia rendah hati!

Terima kasih Pak Sapardi … Selamat jalan … Alfatihah ….
***

2 Capil F. Rahardi mengenang Sapardi Djoko Damono

$
0
0


AKU INGIN HUJAN BULAN JUNI

Di Indonesia, hanya puisi Aku Ingin dan Hujan Bulan Juni, yang sedemikian populernya, melebihi popularitas penyairnya. Puisi itu dikutip-kutip bahkan di undangan pernikahan, tanpa menyebut nama Sang Penyair. Dua puisi itu karya Penyair Sapardi Djoko Damono, kelahiran Surakarta, Jawa Tengah, 20 Maret 1940. Selain penyair, Sapardi juga dosen, bahkan Profesor di UI. Pernah menjadi Dekan FIB UI, redaktur Majalah Basis, kemudian Horison. Hari ini, Minggu 19 Juli, 2020, Penyair Terkemuka Indonesia itu berpulang, pada usia 80 tahun. Dengan wafatnya Sapardi, penyair terkemuka berusia di atas 75 tahun tinggal: Toeti Heraty (86), Taufiq Ismail (85), Rusli Marzuki Saria (84), Ajip Rosidi (82), Diah Hadaning (80), Sutardji Calzoum Bachri 79, Goenawan Mohamad 78.

MENGAPA SAPARDI BUKAN SUPARDI?

Penyair Sapardi Djoko Damono, wafat pada Minggu 19 Juli 2020, dalam usia 80 tahun. Mengapa namanya Sapardi, bukan Supardi? Padahal lazimnya nama Jawa diawali dengan SU yang artinya baik. Sukarno, Suharto, Susilo Bambang Yudhoyono. Tampaknya Mangoen Sedyoko, ayah Sapardi, punya pertimbangan lain. Hari Kamis Wage, 19 Maret 1940, saat puteranya lahir; pada Kalender Jawa tercantum tanggal 10 Sapar 1871. Maka nama yang ia berikan bukan Supardi seperti lazimnya orang Jawa, melainkan Sapardi, karena lahirnya pas bulan Sapar. Saparinah Sadli, psikolog yang saat ini berusia 93 tahun, lahir Rabu Pon, 24 Agustus 1927, 25 Sapar 1858. Maka oleh ayahnya diberi nama Saparinah. Bukan Suparinah.
***

Ayahanda dan Mahaguruku, Sapardi Djoko Damono

$
0
0

PADA SUATU HARI NANTI
Sapardi Djoko Damono

pada suatu hari nanti
jasadku tak akan ada lagi
tapi dalam bait-bait sajak ini
kau tak akan kurelakan sendiri

pada suatu hari nanti
suaraku tak terdengar lagi
tapi di antara larik-larik sajak ini
kau akan tetap kusiasati

pada suatu hari nanti
impianku pun tak dikenal lagi
namun di sela-sela huruf sajak ini
kau tak akan letih-letihnya kucari


***

Ayahanda dan Mahaguruku, Sapardi Djoko Damono

Ayahanda dan mahaguruku, siro muleh mula mula nira…. Kau kini pulang ke tempat asal kejadianmu. Selamat jalan Adam….huruf-huruf dan bait-bait yang sepanjang hidup kau tata begitu indah dan bermakna sekarang menjelma doa dan mengantarmu tiba di tujuan — Gusti kang akaryo jagat: Tuhan sang pencipta semesta alam. Mungkin kau tak menyana dan tetap bertanya-tanya, “Tuan Tuhan, bukan? Tunggu sebentar…”, tapi huruf-huruf dan sajak-sajakmu telah menyatu dengan sabda mula segala.

Djoko Saryono, 19 Juli 2020

Menjaga Mata Pisau Sapardi Djoko Damono

$
0
0

Yohanes Sehandi *
Pos Kupang, 4 Nov 2016

Mata Pisau
mata pisau itu tak berkejap menatapmu;
kau yang baru saja mengasahnya
berpikir: ia tajam untuk mengiris apel
yang tersedia di atas meja
sehabis makan malam;
ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu
(Sapardi Djoko Damono).

Marilah kita menikmati puisi “Mata Pisau” karya penyair Sapardi Djoko Damono. Sapardi dikenal sebagai penyair serius yang mengandalkan kekuatan kata-kata dalam membangun puisi-puisinya. Sehari-harinya sebagai dosen (guru besar) bidang sastra di FIB Universitas Indonesia. Puisi ini saya kutip dari buku kumpulan puisi lengkap Sapardi berjudul Hujan Bulan Juni (cetakan ke-7, Maret 2016, halaman 53). Puisi ini ditulis tahun 1971, dimuat pertama kali dalam buku kumpulan puisi Sapardi berjudul Mata Pisau (1974).

Puisi ini sangat sederhana. Disusun dalam satu bait, terdiri atas enam baris/larik. Kalau dihitung, jumlah kata dipakai penyair hanya 32 kata, semuanya ditulis dengan huruf kecil, semuanya juga mudah dimengerti. Ditambah dua kata pada judul, totalnya menjadi 34 kata. Kalau kita cermati penggunaan tanda baca, yakni tanda baca titik koma (;), puisi ini sebetulnya hanya terdiri atas tiga bagian, yang dipisahkan dengan tanda titik koma.

Bagian (1) //mata pisau itu tak berkejab menatapmu//, bagian (2) //kau yang baru saja mengasahnya berpikir: ia tajam untuk mengiris apel yang tersedia di atas meja sehabis makan malam//, bagian (3) //ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu//.

Setiap kita sebagai pembaca tentu memiliki penafsiran atas puisi pendek ini. Mungkin di antara kita ada penafsiran yang sama, mungkin mirip, mungkin pula berbeda. Semua itu sah saja, karena hakikat puisi bersifat multi tafsir, multi interpretasi. Bahkan menurut teori persepsi yang dikembangkan Wilhelm Wundt (1832-1920) dan teori resepsi yang dikembangkan Hans Robert Jauss (19211997) di mana kedua teori ini bersumber pada pendekatan pragmatik seturut kerangka teoretikus sastra M. H. Abrams, makna puisi hanya bisa ditentukan oleh persepsi dan resepsi pembaca. Sepuluh orang pembaca sebuah puisi, bisa jadi menghasilkan sepuluh penafsiran. Makin banyak penafsiran, makin baiklah puisi itu.

Menurut hemat saya, puisi “Mata Pisau” ini termasuk puisi baik dan berbobot literer. Puisi yang berbobot literer adalah puisi yang bernilai sastra. Puisi ini memancarkan nilai kehidupan, kalau kita mampu menguaknya. Nilai sastra puisi ini terletak pada bagian (1) dan bagian (3). Bagian (2) hanya sebagai pengantar melengkapi unsur intrinsik sebuah puisi.

Bagian (2) hanya berisi berita atau informasi, bahwa ada sebuah pisau tajam yang baru saja diasah yang akan dipakai untuk mengiris buah apel di atas meja sehabis makan malam. Ini yang dalam ilmu sastra disebut sebagai realitas faktual (fakta), sesuatu yang benar ada dan terjadi, dapat dibuktikan dengan pancaindra. Jadi, bagian (2) ini tidak bernilai sastra.

Bagian (1) dan (3) puisi ini yang bernilai sastra. Kita diajak penyair untuk memasuki dunia baru. Dunia baru inilah yang dalam ilmu sastra disebut sebagai realitas fiksi (realitas imajiner). Berkat imajinasi penyair yang tajam dan khas, realitas fiksi itu hadir dalam pikiran dan perasaan kita sebagai pembaca, seolah-olah ada dan terjadi, padahal sebetulnya tidak ada. Realitas fiksi (imajiner) dikaitkan dengan realitas faktual (fakta) dalam kehidupan sehari-hari, akan memunculkan berbagai nilai, menghadirkan pesan/amanat, memberi peringatan kepada kita semua sebagai pembaca, untuk sudi merenungkannya dalam hidup dan kehidupan ini.

Marilah kita membayangkan sebuah pisau beserta matanya yang tajam. Kita gunakan pisau untuk apa? Untuk membantu kita dalam berbagai keperluan: untuk iris buah apel dan mangga, kupas bawang, potong sayur dan daging, dan lain-lain. Makin tajam mata pisau itu, makin bagus dan mempercepat pekerjaan kita. Tetapi ingat, kalau kita salah menggunakan pisau tajam, kita akan terluka. Pisau yang tajam, bisa pula disalahgunakan, misalnya untuk bunuh diri atau bunuh orang lain. Bila digunakan dengan baik, pisau tajam sangat membantu kita memperlancar pekerjaan. Sebaliknya, bila pisau tajam tidak dijaga atau disalahgunakan, mata pisau yang tajam akan mendatangkan celaka bahkan malapetaka pada diri pemakainya.

Mata pisau ada dan selalu diperlukan di mana-mana dalam hidup keseharian kita. Mata pisau ada dan diperlukan dalam keluarga, di sekolah, di perguruan tinggi, di lembaga swasta, lembaga agama, di sebuah dinas atau SKPD, dan lain-lain.

Marilah kita ambil contoh mata pisau yang ada dalam sebuah dinas atau SKPD pemerintah. Kepala dinas tentu memiliki dan memerlukan banyak mata pisau untuk membantunya memperlancar berbagai pekerjaan kantor. Makanya ada mata pisau sebagai bendahara dinas untuk mengurus keuangan, ada mata pisau sekretaris mengurus administrasi, ada mata pisau kepala subdinas, ada mata pisau pimpro, ada pula mata pisau pejabat pembuat komitmen sebuah proyek, dan lain-lain. Sekian banyak mata pisau dalam sebuah dinas (SKPD) bukanlah benda mati, mereka berhitung dan mengawasi Anda sebagai kepala dinas. Bagian (1) puisi ini menggambarkan berbagai mata pisau yang terus berhitung dan mengawasi Anda sebagai kepala dinas: //mata pisau itu tak berkejab menatapmu//. Tak berkejab artinya tak berkedip. Mata pisau itu seolah-olah menjadi manusia, karena hanya manusialah yang bisa berkedip. Inilah yang disebut sebagai realitas fiksi dalam karya sastra.

Anda sebagai kepala dinas tentu harus bisa menjaga dan membangun kerja sama dengan berbagai mata pisau yang menduduki jabatan itu, untuk memperlancar kinerja Anda sebagai kepala dinas. Kalau Anda mampu menjaga dan mensinergikan kekuatan sejumlah mata pisau yang ada, maka kinerja Anda dan instansi Anda akan terangkat dan terpuji, sukses.

Sebaliknya, kalau Anda tidak mampu menjaga dan membangun kerja sama dengan berbagai mata pisau yang menduduki jabatan penting dalam dinas Anda, misalnya sering cekcok, bertengkar, berkelahi, saling mencurigai, memfitnah, saling menyikut dan menjegal satu sama lain, maka sebagai kepala dinas Anda siap menerima resiko, senjata makan tuan.

Kalau mata pisau bendahara salah menghitung uang kantor dan uang proyek, mata pisau sekretaris lalai menertibkan administrasi, mata pisau pimpro berkolusi dengan kontraktor nakal dan tamak, mata pisau tajam yang telah Anda asah akan berbalik menikam Anda. Berbalik menjerat Anda dalam kasus pidana dan kasus-kasus lain. Baris terakhir puisi ini menohok kesadaran kita, jantung kita seolah berhenti berdenyut, aliran darah terkesiap membanyangkan malapetaka: //ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu//.
***

*) Pengamat Sastra NTT dari Universitas Flores, Ende.
https://yohanessehandi.blogspot.com/2016/11/menjaga-mata-pisau.html

YOGYAKARTA KOTA IMPIAN

$
0
0

Aprinus Salam *

Kami pernah mendapat kesempatan untuk melakukan riset kecil-kecilan tentang Kota Yogyakarta. Sebagai kota seni budaya, kota seni budaya apa yang dapat diimpikan ke depan. Tentu ini menyangkut banyak hal, kenyataan sejarah, kondisi infrastruktur, situasi masyarakat, faktor kuliner dan ritual-ritual, keberadaan bahasa, seni dan sastra, kearifan lokal, berbagai praktik permainan dan olahraga tradisional, hingga berbagai kondisi lain seperti realitas politik, ekonomi, juga berbagai peraturan.

Tidak mudah membayangkan Kota Yogya 15 atau hingga 25 tahun ke depan. Saat ini, kota Yogya telah dipenuhi penduduk dan rumah-rumah yang berjejalan, jalan-jalan yang semakin padat, hotel dan mall berdiri dengan megah. Di berbagai sisi-sisinya, artefak-artefak, kraton, berbagai bangunan dan gedung tua, museum, dan peristiwa bersejarah terlihat menjadi jejak-jejak yang semakin nostalgis.

Masyarakat terfragmentasi ke dalam berbagai kecenderungan yang berbeda. Sejumlah masyarakat semakin bersemangat untuk kembali menjadi Jawa. Kembali ke masa keemasan Mataram Islam, baik pada masa Mataram Sultan Agung, dan terutama, khsususnya pada masa Hamengkubuwono I. Namun, tidak jarang ada juga yang coba mengusung Jawa sebelum masa pra Islam, yakni Mataram Hindu. Kontestasi tersebut masih terus berlangsung.

Yang membuat dinamis adalah ketika sejumlah komunitas Jawa merasa lebih Jawa dibanding komunitas lain. Artinya, referensi untuk kembali menjadi Jawa bukan masalah mudah untuk disepakati. Kecenderungan inilah yang kami sebut sebagai pos-Jawa, yakni ketika terjadi kontestasi sesama Jawa, dan tidak ada kesepahaman Jawa yang mana yang dapat dijadikan pedoman. Walaupun sebenarnya, jika melihat berbagai kebijakan atau pun peraturan Walikota, maka dapat dipastikan arahnya adalah Mataram Islam.

Namun, kondisi itu bukan berarti dengan mudah dapat menjadi pegangan dalam membangun kota impian seperti apa ke depan. Memang, kecenderungan untuk kembali ke “budaya asli” tersebut juga terjadi di berbagai kota lain di Indonesia. Persoalannya adalah bahwa saat ini, di mana pun, seperti halnya Yogyakarta, terdapat beberapa klasifikasi warga. Warga yang dari dulunya memang sudah tinggal di Yogya, warga Indonesia lain yang kebetulan menetap di Yogya, atau warga yang menempati Yogya dalam waktu berbatas.

Pendekatan lain yang juga kami gunakan dalam menganalisis masalah adalah pendekatan yang berbabau poskolonial. Dalam hal ini terutama konsep kota utopia dan distopia. Hal ini dengan mempertimbangkan bahwa yang menjadi warga Yogya tidak semuanya berasal dari Yogya. Banyak warga yang berasal dari luar Yogya membayangkan Yogya sebagai kota utopia tersendiri. Yogya yang nyeni, nyaman, ramah, penuh sejarah, dan nJawani.

Namun, kenyataannya, Yogya yang mereka temui adalah kota destopia. Memang ada situasi, kondisi, dan perasaan untuk ikut menjadi Yogya. Namun, tetap saja terdapat berbagai deskrimisasi dan perbedaan perlakuan karena perbedaan gaya bahasa, selera makan, atau berbagai kebiasaan lainnya yang berbeda. Yogya memang menyediakan ruang-ruang kecil untuk sekali-sekali merasakan suasana, seperti kuliner misalnya, seperti di kampung dari mana mereka datang. Namun, tetap saja tidak sama.

Dengan demikian, pertimbangan warga Indonesia yang di Yogya, perlu diperhitungkan sebagai kuatan besar bagi kota ke depan. Kita tahu bahwa banyak warga seperti ini telah memberikan kontribusi, misalnya dalam konteks seni dan budaya, bagi kota Yogya. Jika kekuatan dan kontribusi warga ini tidak dipertimbangkan, maka proses-proses osmosis ke depan akan berjalan canggung. Padahal, kenyataannya, proses osmosis sangat sulit dihindari.

Pendekatan lain yang coba kami terjemahkan adalah pendekatan karnaval. Yakni dengan membayangkan kota Yogya sebagai kota karnaval (carnival). Yogya diatur dan diorganisasikan sedemikian rupa secara luwes dengan hitungan per hari, per bulan, hingga per tahun dalam frame karnaval dalam arti sesungguhnya. Pendekatan ini membayangkan akan terjadi proses demokratisasi dan dialog, dan Yogya akan menjadi taman persemaian Indonesia plural dan multikultural.

Persoalannya kembali ke berbagai negosiasi lembut yang dapat kita coba tawarkan ke depan. Kalau melihat berbagai kebijakan dan peraturan di tingkat Propinsi yang diturunkan di tingkat Kota, maka arahnya jelas pertimbangan pertama di depan. Namun, politik, strategi, dan kebijakan itu harus berpegang teguh bahwa siapapun yang memiliki kartu tanda penduduk Yogya, maka dia orang Yogya.
***

__________________
*) Aprinus Salam, mengajar di Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya UGM. Waktu kuliah mengambil skripsi (tahun 1992), dan tesis (tahun 2002), tentang puisi. Sedang disertasi dokternya (tahun 2010) tentang novel. Tahun 2012-2016 menjadi anggota Senat Akademik UGM. Menjadi kepala pusat Studi Kebudayaan UGM sejak 2013. Kumpulan puisinya yang pertama Mantra Bumi, disusul Suluk Bagimu Negeri (tahun 2017). Kumpulan esainya Biarkan Dia Mati (2003) dan, Politik dan Budaya Kejahatan (2015).

Viewing all 2226 articles
Browse latest View live