Quantcast
Channel: Sastra-Indonesia.com
Viewing all 2226 articles
Browse latest View live

Penyair Agus R. Sarjono: Rilke adalah Penyair Apolitis

$
0
0

Diah Anggraeni Retnaningrum
www.satuharapan.com

Rainer Maria Rilke di mata penyair Agus R Sarjono adalah sosok penyair yang berbeda. Karya-karya Rilke tidak sarat dengan muatan politis dan sosial, namun lebih kepada keindahan alam, renungan, cinta, dan kematian.

“Dia penyair liris yang sangat halus, metrum, mendalam, tapi juga berlagu dan apolitis,” kata Agus Sarjono kepada satuharapan.com saat meluncurkan kumpulan puisi terjemahan karya Rilke yang bertajuk 10 Tahun Seri Puisi Jerman, Rainer Maria Rilke: Kedalaman, Terserah Padamu, di Goethe-Institut, Jakarta Pusat, Selasa (4/3) malam.

“Kesulitan saya dalam menerjemahkan karya-karya Rilke ini adalah mencari kata yang pas dalam bahasa Indonesia. Apalagi karya Rilke ini banyak sekali unsur metrum (satuan irama yang ditentukan oleh jumlah dan tekanan suku kata dalam sebuah puisi, Red). Karena saya berlatar belakang penyair, ketika menerjemahkan karya-karya Rilke, di situlah naluri saya berjalan,” kata Sarjono.

Dalam menerjemahkan karya Rilke, dia mengaku membutuhkan waktu satu tahun dan menyatakan kemungkinan karya-karya Rilke akan berpengaruh terhadap karyanya di kemudian hari.

Karya Rilke yang Mengandung SARA

Karya Rilke yang mengandung sentimen agama terdapat pada puisinya yang berjudul Penahbisan Muhammad. Di dalam puisi tersebut Rilke menyanjung Nabi Muhammad SAW dan cenderung memandang negatif kepada kekristenan, padahal Rilke dibesarkan oleh keluarga Katolik yang saleh.

Hal tersebut sempat menjadi dilema bagi Agus R Sarjono saat ingin menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Dengan pemikiran yang panjang, akhirnya Sarjono dan tim editor memutuskan untuk memuat tulisan tersebut.

“Saya kira puisi tersebut bisa kita jadikan referensi untuk merenung sebelum mengaum karena akhir-akhir ini bangsa Indonesia menjadi semakin sensitif dengan isu agama,” dia menambahkan.

Pemerintah Belum Maksimal Perhatikan Karya Sastra

Menurut Sarjono, pemerintah masih belum maksimal memperhatikan karya sastra. “Perhatian itu ada, namun sangat sedikit. Kita bisa lihat dengan jumlah perpustakaan di setiap daerah. Sangat sedikit dibandingkan dengan tempat hiburan atau pusat perbelanjaan,” kata dia.

Dia berharap di tahun pemilu ini, ada caleg atau calon pemimpin yang menghidupkan dan peduli pada karya sastra di Indonesia. Terkait dengan Indonesia menjadi “Tamu Kehormatan” di pameran buku terbesar di Frankfurt Book Fair, Jerman, Sarjono juga berharap bahwa peran pemerintah dalam ilmu pendidikan dan sastra tidak hanya sampai di situ saja, tapi bisa lebih berkembang dalam menghasilkan karya sastra yang baru.

Editor : Sotyati
dijumput dari http://www.satuharapan.com/read-detail/read/penyair-agus-r-sarjono-rilke-adalah-penyair-apolitis


Merah yang Bukan Kirmizi

$
0
0

Anton Kurnia *
Majalah Tempo, 10 Feb 2014

Dalam kata-kata Orhan Pamuk, novelis Turki pemenang Nobel Sastra 2006, melalui narator si warna merah dalam adikaryanya Benim Adim Kirmizi (1998) atau My Name Is Red, “Warna adalah sentuhan mata, musik bagi mereka yang tuli, sepatah kata yang dilahirkan kegelapan.”

Novel yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Atta Verin sebagai Namaku Merah Kirmizi (2006) ini menyatakan warna sebagai “kata yang dilahirkan kegelapan” dan tentu membutuhkan cara membedakan warna yang spesifik dan deskripsi yang akurat agar tak terjadi kekeliruan satu dengan yang lain, misalnya antara merah dan jambon.

Namun bahasa Indonesia memiliki kosakata warna yang amat terbatas jika dibandingkan dengan kosakata warna lebih rinci dari khazanah bahasa asing. Persoalan itu amat terasa, misalnya, dalam kerja penerjemahan teks sastra.

Salah satu jalan pintas adalah menyerap kata-kata asing. Kata “kirmizi” untuk judul terjemahan novel Pamuk ini diserap dari bahasa Arab (yang juga dicomot ke dalam bahasa Turki) untuk menamai warna merah gelap (serupa darah kering) sebagai padanan crimson (merah kelam dengan bias keunguan) dalam bahasa Inggris, demi membedakannya dengan vermillion (merah cerah berbias jingga), merah kesumba, merah marun, atau sekadar red (merah) yang bukan merah kirmizi. Kata crimson, menurut kamus digital Microsoft Encarta, ternyata diturunkan dari kata Spanyol, cremesin, yang diadaptasi dari kirmizi itu tadi sekitar abad ke-15, saat orang-orang muslim dari Jazirah Arabia (kaum “Moor”) menguasai Andalusia. Sedangkan vermillion diserap dari kata Prancis.

Kita menggunakan kata serapan dari bahasa Persia, “lazuardi” (sudah terkodifikasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia), untuk warna biru terang serupa langit cerah atau permata yang sepadan dengan istilah lapis lazuli dalam bahasa Inggris. Kata itu antara lain muncul dalam terjemahan novel Pamuk lainnya ke bahasa Indonesia, Di Balik Keheningan Salju (terjemahan Berliani Nugrahani, 2008). Selain itu, kita bisa jadi lebih akrab dengan kata “indigo” ketimbang “nila” untuk menyebut warna biru keunguan walaupun kita hafal rumus me-ji-ku-hi-bi-ni-u (merah-jingga-kuning-hijau-biru-nila-ungu) dalam spektrum warna saat pelajaran fisika pada masa lampau dan kerap membaca peribahasa klise “Karena nila setitik rusaklah susu sebelanga”.

Namun punyakah kita padanan atau kata serapan baku dalam bahasa Indonesia untuk warna beige, peach, dan ­burgundy?

Jika sudah kepepet, kita terpaksa membuat improvisasi darurat dengan membentuk istilah agak abstrak semacam “cokelat pucat” atau “cokelat muda semu kuning” untuk beige, “jingga kekuningan” untuk peach, atau “merah keunguan” untuk burgundy. Terkadang kita gunakan pula pemerian asosiatif semacam “biru laut”, “hijau zamrud”, atau “merah bata”. Kang Yayan, tukang bangunan profesional yang melabur dinding rumah kami, punya istilah yang menurut saya amat kreatif untuk membedakan beragam warna putih: “putih laguna” untuk menyebut cat putih bernuansa kebiruan di dinding dapur dan “putih apel” untuk menamai warna putih semu hijau di kamar tidur.

Serupa Orhan Pamuk, sang “pelukis gagal” yang banting setir menjadi penulis seperti diakuinya dalam memoar unik Istanbul: Kenangan Sebuah Kota (terjemahan Rahmani Astuti, 2009), yang akrab dengan alegori warna sebagai unsur penting dalam karya-karyanya (terutama dalam dua novel yang sudah disebut di muka dan Kara Kitap alias Buku Hitam), tak sedikit pengarang Indonesia yang menggunakan warna sebagai elemen simbolis yang dianggap perlu disebut secara khusus. Tengoklah judul-judul ini: Surat Kertas Hijau (Sitor Situmorang), Merahnya Merah dan “Lebih Hitam dari Hitam” (Iwan Simatupang), Cintaku di Kampus Biru (Ashadi Siregar), Kerudung Merah Kirmizi (Remy Sylado), serta “Dalam Hujan Hijau Friedenau” (Triyanto Triwikromo).

Namun, sesungguhnya, ada beragam warna dari khazanah budaya kita sendiri yang jarang digunakan dan potensial diberdayakan dalam karya sastra kita.

Contohnya kata “saga” untuk merah menyala serupa biji sejenis pohon berkhasiat obat (bernama Latin Adenanthera pavonina) dan “soga” untuk cokelat kekuningan serupa warna kain batik klasik yang pulasannya berasal dari pepagan tumbuhan bernama sama (aran Latinnya Peltophorum pterocarpum). Ada pula pasangan baku kata majemuk untuk mencandra warna yang kini mungkin terasa arkaik semisal “putih metah” atau “biru nirmala”, terutama jika itu diperbandingkan dengan pasangan kata semakna yang kurang mengesankan, tapi kerap diulang sehingga terasa membosankan, semacam “putih bersih” atau “biru cerah”.

Jika warna adalah “kata” (penamaan) yang dilahirkan dari “kegelapan” (ketiadaan) seperti yang dikemukakan Pamuk, ia niscaya memiliki makna penting sebagai elemen dalam teks sastra yang layak dieksplorasi lebih dalam dan secara lebih kreatif oleh para sastrawan kita sebagai garda depan pencipta bahasa-juga oleh para pengulik bahasa lainnya: penerjemah, penyunting, pengajar.

Dan saya percaya, dalam hal ini arena penjelajahan itu masih terbentang amat luas.

*) Penulis, penerjemah, dan editor

Kata yang Berkembang Biak

$
0
0

Samsudin Adlawi *
Majalah Tempo, 26 Agu 2013

DALAM urusan bahasa, masyarakat Indonesia termasuk yang paling kreatif. Di tangan orang Indonesia, satu kata bisa beranak-pinak. Meski secara fisik fonemik berbeda seratus persen dengan induknya, anak-anak kata baru tidak meninggalkan tali pertautan dengan induknya. Anak kata baru itu ada yang berasal dari serapan kata asing, dari padanan kata Indonesia sendiri, bahkan dari bahasa daerah.

Orang Inggris menyebut pregnant bagi wanita yang tengah hamil. Bangsa kita tidak puas hanya dengan satu kata untuk menerjemahkan pregnant, tapi menggunakan empat kata sekaligus: hamil, bunting, mengandung, dan berbadan dua.

Untuk menyebut orang yang sudah tidak bernyawa, bahasa Inggris hanya menggunakan kata die/dead. Tidak demikian dengan orang Indonesia. Di negeri ini setidaknya terdapat delapan kata yang semakna dengan die/dead, yakni mati, meninggal (dunia), tewas, mampus, wafat, gugur, (ber)pulang, dan mangkat.

Meski secara substansi maknanya sama, setiap kata itu memiliki konotasi yang berbeda. Sama makna, tapi beda peruntukan. Kata meninggal digunakan untuk orang yang mati dalam keadaan normal, orang yang baik dan dihor­mati. Misalnya, “Ibuku meninggal setahun yang lalu.” Beda lagi untuk penjahat. Kata yang cocok untuknya adalah mampus atau tewas. Maka kalimat yang pas baginya adalah (1) Perampok bengis itu tewas ditembak polisi, (2) Pembunuh sadis itu akhirnya mampus juga.

Sementara itu, untuk mewartakan tentara dan prajurit yang mati di medan juang atau orang yang mati saat menjalankan tugas negara, secara refleks orang akan menyebutnya dengan kata gugur. Juga jika ada pemimpin seperti raja, sultan, presiden, dan perdana menteri yang mati, sudah tersedia tiga kata untuk menghormatinya, yakni wafat, mangkat, dan berpulang. Ketiga kata itu juga diperuntukkan bagi para pemuka agama dan orang-orang terkasih. “Telah pulang ke Rumah Bapa di Surga pada hari¦,” begitu bunyi penggalan iklan berita duka yang sering menghiasi halaman media cetak.

Kreativitas berbahasa orang Indonesia juga tampak jelas dalam menamai buah berkarbohidrat yang menjadi konsumsi wajib sehari-hari. Orang Indonesia menyebut padi sebagai buah yang masih berada di batang tanamannya. Ketika sudah dirontokkan dari batangnya, nama padi ikut gugur dan menjelma jadi gabah. Lalu, setelah kulitnya terkelupas, berubah lagi namanya menjadi beras. Proses ganti nama tidak berhenti di situ. Beras yang sudah ditanak menyandang julukan baru: nasi. Orang Indonesia memang kreatif. Padi yang sudah hancur menjadi butiran kecil-kecil pun diberi nama. Orang biasa menyebutnya menir.

Bahasa Inggris tidak sekreatif bahasa Indonesia. Dalam Kamus Lengkap Inggris-Indonesia Indonesia Inggris (Prof Drs S. Wojowasito dan Drs Tito Wasito W.), kecuali menir yang diartikan sebagai groats, dari padi sampai jadi nasi penyebutannya tetap memakai kata rice. Sementara padi dibahasakan sebagai rice, gabahnya diterjemahkan menjadi unhulled rice. Sedangkan beras disebut hulled rice. Adapun nasi dipadankan dengan kata cooked rice.

Bahasa Arab tidak jauh berbeda dengan bahasa Inggris. Orang Arab menyebut padi, gabah, beras, dan nasi menggunakan kata ruz. Lema padi dalam Kamus Indonesia-Arab (Asad M. Alkalali, Penerbit Bulan Bintang) diartikan dengan ruz. Gabah dibahasaarabkan menjadi ruz ghair maqsyur. Lalu beras disebut ruz ghair mathbukh dan nasi disebut dengan kata ruz mathbukh. Sedangkan untuk menir, padanan katanya adalah barghal. Kamus Arab-Indonesia terlengkap, Al-Munawwir karangan A.W. Munawwir, edisi kedua, malah lebih praktis. Dalam kamus terbitan Pustaka Progresif itu, lema ruz (arruz) merupakan terjemahan padi, beras, dan nasi sekaligus. Fenomena penyebutan padi berikut anak-pinaknya dalam bahasa Inggris dan Arab yang kurang kreatif itu bisa dimaklumi. Sebab, padi memang bukan jenis tanaman yang bisa dan biasa ditanam di dua negara kerajaan tersebut.

Kreativitas berbahasa juga ditunjukkan masyarakat Madura. Untuk peristiwa jatuh saja, orang di Pulau Garam bisa membiakkannya menjadi 14 kata. Secara fonemik, bahasa Madura “jatuh dari atas” adalah gegger. Kalau jatuhnya ke belakang, sebutannya agentang/tagentang. Khusus bagi yang jatuh ke depan, tersedia tiga kata: nyonglet, tabrengka’, dan tajrungkep. Sedangkan jatuh yang sampai terlempar dibahasakan dengan ngalto’. Sementara itu, kata tapakpak untuk jatuh karena tersandung, tableccar untuk jatuh sambil meluncur, dan nyangsang untuk mengatakan jatuh tapi menyangkut.

Jika ada orang jatuh dan berguling-guling, orang Madura secara spontan akan menyebutnya dengan kata agulu’. Mereka akan mengatakan taroncet untuk orang yang jatuh dengan pantat mendarat lebih dulu. Beda lagi bagi orang yang jatuh dengan posisi pantat di atas. Peristiwa itu disebut labu nocceng. Adapun kata tacarbuk untuk kejadian jatuh ke tempat yang basah berlumpur dan tacellet untuk jatuh ke tempat becek tapi tak bisa bangkit lagi.

Tentu saja, kreativitas berbahasa yang terus berkembang di tengah masyarakat akan semakin menambah kekayaan (kosa-) kata bahasa Indonesia. Sebagaimana ilmu pengetahuan, bahasa memang harus terus berkembang mengiringinya. Itu sunatullah.

*) Wartawan Jawa Pos, sastrawan.
dijumput dari: https://rubrikbahasa.wordpress.com/2013/08/26/kata-yang-berkembang-biak/

Celoteh

$
0
0

Indra Tranggono *
Kompas, 13 Mei 2017

Celoteh atau ocehan kini mendapat istilah baru, yaitu cuitan atau kicauan (versi Twitter) dan status (versi Facebook). Celoteh atau ocehan merupakan istilah khas yang muncul dari praktik berbahasa dalam komunikasi konvensional alias tatap muka. Dalam dunia digital, komunikasi tatap muka sering disebut komunikasi luring, luar jaringan. Yakni, komunikasi langsung, nyata (lawan dari maya), dan autentik (lawan dari semu, palsu). Di sana pihak-pihak yang berkomunikasi hadir secara manusiawi, menyosok secara multidimensional, memiliki gagasan, berperasaan, berekspresi, dan beridentitas (bukan anonim).

Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat mengartikan celoteh atau ocehan dengan obrolan atau percakapan tak keruan atau dalam istilah bahasa Jawa ceblang-clebung. Namun, celoteh atau ocehan bukan berati tanpa makna. Adapun makna yang dikandung dalam celoteh atau ocehan adalah makna yang tidak penting, baik secara etika, logika, maupun estetika. Ocehan atau celoteh kadang-kadang justru menyimpang dari norma (secara etis); tidak punya penalaran, tak berstruktur, kacau (logika); dan tidak mengandung nilai keindahan (secara estetik). Ocehan atau celoteh sering dihukum dengan istilah ”bahasa sampah” dan ”ngawur”.

Akan tetapi, di dunia digital, banyak orang mengumbar celoteh atau ocehan melalui media sosial atau media arus bawah (istilah pakar komunikasi Ashadi Siregar). Melalui Facebook, Twitter mereka membagi (mengumumkan) status dan kicauan perihal dirinya, orang/pihak lain, dan isu-isu aktual. Munculnya status dan kicauan didorong oleh ”apa yang sedang dipikirkan dan dirasakan”. Pikiran dan perasaan yang dimaksud bisa apa saja: pendapat ”kritis”, makian, olok-olok, hinaan, sindiran, kebencian, pujian; atau rasa kecewa, marah, sedih, senang, takut, cemas, dan bahagia. Semuanya diekspresikan secara bebas, tanpa beban, dan tanpa mempertimbangkan perasaan orang atau pihak lain yang jadi sasaran komunikasi. Seolah-olah di sini berlaku prinsip, ”yang penting bukan kebenaran, tapi ketenaran”, ”eksistensi lebih penting dari esensi”, ”komentar dulu, ralat kemudian”, atau bagi pengidap penyakit jiwa kebencian: ”pukul dulu, urusan belakangan”.

Motivasi orang pun bisa bermacam-macam, dari keinginan untuk mengumbar narsisisme (memuji diri sendiri), pamer, mengkritik keadaan, mengomunikasikan gagasan, menawarkan sesuatu, mengumbar kebencian/permusuhan/sentimen etnis, sosial, agama, ekspresi politik partisan (layaknya yang dilakukan buzzer), sampai melakukan pembunuhan karakter. Orang-orang pun mengalami katarsis personal atau kolektif.

Dampaknya? Kekacauan komunikasi yang berpotensi memicu disintegrasi sosial bahkan bangsa. Tidak main-main. Namun, orang sering mengalami sesat pikir dengan menyebut budaya celoteh di media sosial sebagai bagian dari dinamika demokrasi.

Demokrasi memang dekat dengan kecerewetan, tapi bukan cerewet asal-asalan, melainkan keriuhan ide dan opini yang berargumentasi dan terukur (etik, logis, dan estetis). Demokrasi tidak bisa dibangun dengan celoteh, ocehan, atau kicauan yang bertaburan, tumpang tindih, silang sengkarut, dan tanpa makna.

Semoga status dan kicauan yang marak dalam media sosial bisa berkembang menjadi tuturan bermakna yang menyehatkan demokrasi. Dibutuhkan kedewasaan, kematangan, dan kearifan beropini sehingga kelak yang muncul adalah celoteh bijak dan inspiratif. Revolusi makna celoteh atau kicauan sangat mungkin diwujudkan.

* Cerpenis, Tinggal di Yogyakarta
https://rubrikbahasa.wordpress.com/2017/05/13/celoteh/

Deviasi Bahasa Puisi

$
0
0

Muhammad Husein Heikal *
Kompas, 8 Apr 2017

Bagi penyair, ada kewenangan istimewa dalam memperlakukan bahasa yang dikenal sebagai deviasi bahasa. Dalam Buku Praktis Bahasa Indonesia (Pusat Bahasa, 2003) dijelaskan bahwa pemahaman bahasa dalam konteks media puisi tidak sama dengan pemahaman terhadap bahasa yang hidup dalam pergaulan sehari-hari. Bahasa sastra berbeda dengan bahasa pidato, buku teks, atau karya ilmiah. Bahasa dalam puisi sering menyimpang dari kaidah atau ketetapan tata bahasa yang normal. Penyimpangan ini dalam linguistik disebut deviasi bahasa. Penyimpangan itu diperbolehkan demi visi puisi sang penyair kesampaian.

Beberapa pemanfaatan deviasi bahasa tersua pada struktur kalimat dalam larik (1) menepis sedih ia dalam kalut (menepis mendahului subjek dengan maksud untuk mengedepankan predikatnya; (2) biarkan bumi semakin bergesa (mestinya kata bergesa bertulis tergesa-gesa; (3) seribu api—tata urut frasa ini tampaknya ingin menjelaskan bahwa panasnya api itu beribu-ribu kali panasnya dari panas biasa; (4) di sayup-sayup embun—preposisi di seharusnya bergabung dengan nomina atau yang menyatakan tempat, tapi di di sini disandingkan dengan adjektiva, sayup-sayup; (5) seperti hujan yang jatuh remis–terjadi penyingkatan kata geremis menjadi remis yang dilakukan penyair.

Penyimpangan struktur kalimat, pembalikan tata urut kata, pelesapan unsur kata, atau penyingkatan kata dimaksudkan agar tercapai keindahan puisi yang diciptakan. Puisi mampu memanfaatkan bahasa secara leluasa karena penyusunan bahasa dalam karya sastra lebih dinamis (Tynjanov dalam Fokkema dan Kunne-Ibsch, 1977: 22). Karya sastra dianggap sebagai sebuah kerja kreatif-imajinatif yang memiliki kelebihan khusus: bahasa dalam kesusastraan tidak hanya sebagai media komunikasi. Bahasa dalam sastra memberi makna yang luas bagi hubungan antarmanusia. Kemampuan sastrawan mengeksploitasi bahasa dalam berbagai dimensi membuat bahasa sastra terkesan lebih memukau.

Bahasa sastra dicirikan memiliki karakteristik konotatif, simbolis, efek musikalitas, dan multitafsir. Yang terakhir disebut merupakan yang paling menonjol karena kesalahan tafsir bisa menimbulkan persepsi (pembaca) yang berbeda. Ini mengakibatkan adanya kesalahan komunikasi sehingga puisi itu tidak total dipahami pembaca yang salah menafsirkan.

Chairil Anwar menuliskan ini kali (dalam puisi ”Senja di Pelabuhan Kecil”). Bila mengikuti aturan tata bahasa, ini kali seharusnya ditulis kali ini. Ini kali bisa menimbulkan penafsiran ini sungai. Padahal, kali di sini adalah persoalan waktu. Namun, bila kata kali diganti menjadi saat atau sekarang tentu cita rasa puisi akan berbeda.

Dalam puisi ”Kenangan”, Chairil sengaja menyelang-seling bahasa. Kata-kata klise dengan bentuk yang justru baru atau belum dikenal. Kadang/Di antara jeriji itu-itu saja/Mereksmi memberi warna. Kata mereksmi sangat menarik perhatian dan terlihat istimewa, selain jeriji tentunya. Kata itu begitu asing di telinga kita. Ada kemungkinan mereksmi adalah bahasa prokem yang digunakan sebagai sarana komunikasi para remaja. Di balik bahasa itu terselubung sandi-sandi yang hanya dimengerti kalangan tertentu. Chairil menampakkan kebosanannya dengan kata itu-itu saja sehingga muncullah kata-kata baru yang segar sebagaimana yang telah dilakukannya dengan berbagai eksperimen dan inovasi.

Pada titik itulah keterlibatan penyair dalam menafsirkan puisinya sangat penting. Ada indikasi yang lebih kuat, terlepas dari kontroversi apakah puisi yang memberi dan menghadirkan makna kepada pembacanya, ataukah sebaliknya, pembaca itu sendiri yang menyajikan makna terhadap sajak. Di pihak lain apakah pembaca/penafsir harus semata-mata berhadapan dengan teks (puisi) sebagai sesuatu yang telah utuh ataukah keterlibatan penyair menjadi penting? Bagaimanapun, puisi terbuka untuk berbagai penafsiran selagi ia memberi argumentasi yang layak diterima; sementara penyair leluasa mengeksploitasi dan menyimpangkan bahasa atas nama deviasi bahasa.

* Juara I Lomba Debat Bahasa Indonesia, Balai Bahasa, Sumatera Utara (2016)
https://rubrikbahasa.wordpress.com/2017/04/08/deviasi-bahasa-puisi/

Bahasa Apa Namanya

$
0
0

Anindita S. Thayf *
Kompas, 24 Des 2016

Modernisasi di Indonesia yang melaju pesat pascareformasi dan ditopang oleh kemajuan teknologi informasi yang belum pernah terbayangkan sebelumnya telah melahirkan kelas menengah dalam jumlah melimpah di kota-kota besar. Sebagai generasi yang telah menginternasional, mereka berpatokan dalam menjalani kehidupan pada segala sesuatu yang berasal dari mancanegara, terutama Eropa dan Amerika Serikat. Mulai dari cara berpakaian, menata rumah, menentukan tempat dan cara berlibur, hingga selera makan. Mereka juga tak lagi canggung menggunakan bahasa Inggris dalam percakapan sehari-hari. Anak-anak sudah terbiasa memanggil ibu mereka dengan sebutan Mom dan bapak mereka dengan Dad sembari menyapa ”good morning” saban pagi.

Selain yang berkiblat ke Eropa dan Amerika, muncul pula kelas menengah yang menjadikan Timur Tengah sebagai kompas. Oleh kelas ini, bahasa Arab yang digunakan masyarakat Timur Tengah dipilih sebagai bahasa kedua. Jadilah bahasa Arab pesaing baru bahasa Inggris. Selain diajarkan di sekolah-sekolah, bahasa Arab juga mulai mewarnai percakapan sehari-hari, baik di dunia nyata maupun maya. Maka lahirlah anak-anak yang terbiasa memanggil ibunya dengan sebutan Ummi dan bapak dengan Abbi.

Ludwig Wittgenstein menyatakan bahasa serupa alat. Sebagai alat, bahasa bisa mengemban tugas yang tak terhitung jumlahnya. Tentang fungsi, itu bergantung pada apa yang hendak dituju si pengguna bahasa. Dengan demikian, latar belakang yang berbeda dari seorang pengguna bahasa akan menghasilkan pengertian yang tidak seragam untuk satu kata yang sama. Salah satu fungsi bahasa asing bukan semata-mata untuk berkomunikasi, tetapi juga untuk membedakan manusia kelas tersebut dengan manusia kelas lain di masyarakat, seperti buruh atau tani. Sebagai alat unjuk diri kelas, semakin sering seseorang menggunakan bahasa asing yang dicampur bahasa Indonesia semakin dianggap maju.

Bahasa asing yang sekarang sedang tren adalah Inggris dan Arab. Seorang anak yang belum tahu beda antara bahasa ibunya dan bahasa pengantar sekunder sering kali akan mencampurnya dalam percakapan. Maka, muncullah kalimat seperti, ”Ummi, aku mau banana.” Memang terkesan lucu bila kalimat itu diucapkan oleh anak-anak, tetapi bagaimana bila hal itu berlanjut hingga mereka dewasa? Masih pantaskah bahasa campur-aduk semacam itu disebut bahasa Indonesia?

Pertanyaannya sekarang adalah sampai kapan bahasa Indonesia mampu bertahan dari penggerusan bahasa-bahasa asing lewat gejala berbahasa seperti yang terjadi saat ini? Bila 10 kata dalam bahasa Indonesia diganti dengan 10 kata bahasa asing per hari, maka bagaimanakah nasib bahasa Indonesia sepuluh tahun ke depan—masih bisakah seutuh sekarang? Dan, apa pula jadinya bila modernisasi mendorong masyarakat menjadikan lebih banyak bahasa asing sebagai bahasa pengantar sekunder?

Saat ini masyarakat masih sanggup membedakan antara bahasa Indonesia dan bahasa bangsa lain, antara bahasa ibunya dan bahasa kedua. Namun, bagaimana dengan generasi masa depan yang sudah menggunakan ”bahasa (yang entah) apa namanya” itu sejak kecil?

Barangkali tidak lama lagi kalimat ungkapan kebanggaan ”Damn, ana cinta Indonesia!” akan menjadi jargon yang menasional dari para pemuda Indonesia yang mengaku patriotik. Namun, sebelum hari itu tiba, baiknya kita panjatkan doa semoga bahasa Indonesia diberi umur panjang sehingga kita tak perlu repot-repot mengubur sebagian isi Sumpah Pemuda hanya gara-gara satu bahasa (yang entah) apa namanya.

* Penulis Novel, Tinggal di Yogyakarta
https://rubrikbahasa.wordpress.com/2016/12/24/bahasa-apa-namanya/

Mata Hari dan Matahari

$
0
0

Seno Gumira Ajidarma *
Majalah Tempo, 27 Feb 2017

Saya bukan penggemar Paulo Coelho, jadi sempat cuek saja melihat The Spy (2016) terpampang di gerai buku-buku impor di bandar udara. Namun, karena selalu tertarik membaca soal spionase, pada penerbangan berikutnya saya mencari buku itu, dan ternyata habis. Setiap kali menjelang keberangkatan, saya tengok gerai buku-buku impor di bandara mana pun, The Spy tidak terlihat lagi. Artinya, ada percetakan entah di mana sibuk mengejar target.

Lantas muncul juga buku itu. Sebelumnya saya lakukan googling, dan seperti saya duga dari sampulnya, The Spy adalah buku tentang Mata Hari. Membawa buku itu masuk pesawat, tamat membacanya sewaktu mendarat dalam satu jam penerbangan, seingat saya tidak ada penjelasan tentang kata “mata” dan “hari” tersebut.

Mungkin diandaikan, pembaca dengan sendirinya mengerti: Mata Hari (1876-1917) adalah “nama komersial” penari Margaretha Geertruida Zelle, perempuan kelahiran Belanda yang pernah tinggal di Hindia Belanda dan dihukum mati di Prancis sebagai agen ganda yang juga bekerja untuk Jerman dalam Perang Dunia I. Dalam kenyataannya, perempuan ini hanyalah seorang penari erotis-eksotis dari dunia hiburan yang “rindu order” ketika menua. Ia menjalankan petualangan seksual sebagai gantinya, di antara para pejabat militer Prancis, yang memanfaatkannya untuk menggali informasi dari para pejabat militer Jerman.

Intelijen Jerman justru berhasil menipu intelijen Prancis, yang percaya Mata Hari berkhianat, sehingga Mata Hari, yang memburu upah di balik kesenangan seksual, yang secara romantis dibelokkan sebagai cinta, dihukum tembak. Kesialan ini menjadi tragedi romantis dalam berbagai biografi dan film komersial, yang berpuncak pada film berjudul Mata Hari (1931) yang dibintangi Greta Garbo, aktris film bisu tercantik dan terkenal sejagat waktu itu. Kini, semenjak arsip Mata Hari terbuka pada 1999, semakin banyak eksplorasi komersial atas kehidupannya. Coelho tidak akan menjadi yang terakhir.

Dari sudut pandang bahasa, kata “matahari” menarik karena sangat dikenal dalam makna yang sangat berbeda dengan arti kata itu: bintang yang disebut Matahari. Ucapkanlah “Matahari! Matahari!” keras-keras di Paris hari ini, maka tidak ada yang akan menengok ke atas, tapi sebagian orang sangat mungkin bertanya-tanya, mengapa nama perempuan bernasib malang itu disebut-sebut di jalanan.

Sebaliknya, bila “Matahari! Matahari!” diteriakkan di Pasar Genjing, Jakarta, tidak ada seorang pun yang akan menghubungkannya dengan penari yang mengaku menimba inspirasi tari striptease dari candi-candi di Jawa itu. Tidak berarti orang-orang di Pasar Genjing akan menengok ke atas, karena terdapat juga “matahari” lain yang sempat terdengar dominan, yakni jaringan gerai Matahari.

Kata “matahari” sebagai gabungan kata “mata” dan “hari” untuk menunjuk bintang Matahari juga unik, karena sekaligus simbolis: satu-satunya penerang bagi bumi, menjadikannya “mata” dari “hari”. Tidak aneh jika berdasarkan yang puitis inilah Margaretha memilih namanya, Mata Hari, dua kata terpisah, sebagai nama panggungnya. Bukan Matahari sebagai penanda bintang.

Meski hampir semua teks di luar buku Coelho menyebutkan asal-usul nama Mata Hari, hanyalah petualangannya yang menjadi memori kolektif pembaca atau penonton, yang tidak berbicara dalam bahasa Indonesia.

Suatu konsep bahasa terhubungkan dengan kenyataan ini: bahwa makna adalah produk relasi sistematis di antara berbagai elemen yang berbeda-beda. Meski sama-sama berbunyi “matahari”, dari sumber yang sama pula, yakni bahasa Melayu, relasi sistematis yang berbeda antara “matahari” di Paris dan “matahari” di Pasar Genjing membuat makna kata itu berbeda.

Makna “matahari” di Prancis dan Amerika Serikat (baca: Hollywood) pasca-Perang Dunia I, dalam dominasi wacana hiburan, hanyalah Mata Hari, perempuan yang kehadirannya dibentuk eksotisisme terhadap segala sesuatu yang “ketimur-timuran”. Memenuhi kebutuhan fantasi atas sesuatu “yang lain”, tapi yang tidak perlu menggoyang superioritas Eurosentrisme.

Sedangkan makna “matahari” di Pasar Genjing tidak akan segera menuju kepada perempuan yang ditembak mati di Vincennes, Prancis, pada pagi 15 Oktober 1917 itu, karena “matahari” bukan pula “mata” dari “hari”, melainkan hanya sumber kegerahan yang membuat manusia membutuhkan AC.

Namun konsep lain bahwa bahasa bukanlah sesuatu yang empiris, melainkan suatu kapasitas sosial, mendapatkan pembuktian. Kelompok sosial yang mengenal Mata Hari melalui majalah hiburan, novel Remy Sylado Namaku Mata Hari (2011), atau The Spy tadi mungkin terpikir juga akan Mata Hari ketika mendengar ada yang berseru, “Matahari! Matahari!” saat melewati Pasar Genjing.

* Penulis dan wartawan Panajournal.com
https://rubrikbahasa.wordpress.com/2017/02/27/mata-hari-dan-matahari/

Teks Suroboyoan

$
0
0

Beni Setia
Kompas, 9 Nov 2012

Catatan Rainy MP Hutabarat, ”Koaya Roaya” (Kompas, 7/9/2012), jernih menandai dua gejala berbahasa. Pertama, masuknya sisipan u di suku kata awal satu kata, yang secara lisan menandakan ada peningkatan level kuantitas serta kualitas makna (kata) awal.

Setahu saya, cara itu dipinjam dari tradisi berbahasa lisan di Surabaya, subdialek bahasa Jawa. Secara teknis, peningkatan makna (kata) enak dilakukan dengan menyisipkan partikel u ke suku kata pertama (vokal e) dan bukan suku kata berikutnya (nak). Hingga secara tekstual tertulis uenak, meski orang sering memakai versi transliterasi lisan uee-nak.

Pilihan meletakkan sisipan u sebelum vokal menyebabkan ba-nyak jadi bua-nyak, can-tik jadi cuan-tik, ka-ya jadi kua-ya. Sekaligus lu-ar (biasa) seharusnya tertulis luu-ar (biasa), meski pelafalan meleburkan u tambahan dan l jadi panjang.

Deskripsi itu sekaligus menandakan dua penyimpangan Rainy MP Hutabarat: (a) tak ada peningkatan makna dengan sisipan o karena yang baku itu u, dan (b) yang dipakai sebagai acuan penulisan itu bahasa Indonesia, bukan bahasa Jawa.

Menurut Pedoman Umum Ejaan Bahasa Jawa Huruf Latin yang Disempurnakan, Balai Bahasa Yogyakarta, 2011: apa yang tertulis a di suku kata berujung vokal terbuka harus dibaca o. Tresna jadi tresno. Dengan imbuhan jadi katresnan bukan katresnoan. Karena itu, a dari ka-ya jadi ko-yo—dan transliterasi lisan setelah mendapat sisipan partikel u menjadi kuoyo ruoyo, bukan kooyo rooyo, meski sama-sama tertulis kuaya ruaya.

Karena itu, kedua, Rainy menandai gejala peningkatan makna (kata) berdasar pola pemakaian ragam lisan berdasarkan transliterasi pelafalan bukan konsekuensi teks secara tertulis. Maknyus jadi mak-nyuss—bila diberi sisipan u hanya jadi muak-nyus. Atau top diperpekat maknanya jadi top markotop, dengan acuan kebiasaan orang Madura, yang menekankan laku identifikasi dengan menyingkat kata di suku kata terakhir, lantas mengulang seluruh kata, sehingga hitam jadi tam hitam. Meski top itu mendadak diberi partikel marko yang entah berasal dari mana.

Transliterasi yang mengandalkan pendengaran memicu anomali teks, padahal penulisan dengan acuan pedoman membuat transliterasi jadi baku. Meski orang Surabaya punya ekspresi berbahasa unik, yang tegas menandai komunitas Surabaya sebagai Suroboyoan. Acuan baku seharusnya Surabayan, dari Surabayaan, sebab ada peleburan a ganda. Sesuai sikap yang cenderung egaliter, tak mementingkan kesantunan berbahasa.

Kangen pun diapresiasi sebagai laku sengaja yang dikangeni, bukan perasaan rindu. Widodo Basuki menandainya deskripsi Suroboyoan dalam puisi ”Ketemu ing Surabaya”:

diamput, koen ketok lemu/ wis makmur, ya!/ gak matek, tah/ anakmu wis pira/ awak dewe isih kere, cuk (> sialan, kamu terlihat gemuk/ sudah sejahtera, ya!/ tak mampus, toh/ anakmu sudah berapa/ diriku masih kere, cuk).

Ekspresi sayang dihadirkan via makian. Perjumpaan diawali teriakan cuk dari dianc*k, meski terkadang jadi lembut dalam idiom lur, dari dulur—setara bro, dari brother.
Unik, sesuai laku egaliter suatu komunitas yang terbuka.

https://rubrikbahasa.wordpress.com/2012/11/09/teks-suroboyoan/


Mata Hari dan Matahari

$
0
0

Seno Gumira Ajidarma *
Majalah Tempo, 27 Feb 2017

Saya bukan penggemar Paulo Coelho, jadi sempat cuek saja melihat The Spy (2016) terpampang di gerai buku-buku impor di bandar udara. Namun, karena selalu tertarik membaca soal spionase, pada penerbangan berikutnya saya mencari buku itu, dan ternyata habis. Setiap kali menjelang keberangkatan, saya tengok gerai buku-buku impor di bandara mana pun, The Spy tidak terlihat lagi. Artinya, ada percetakan entah di mana sibuk mengejar target.

Lantas muncul juga buku itu. Sebelumnya saya lakukan googling, dan seperti saya duga dari sampulnya, The Spy adalah buku tentang Mata Hari. Membawa buku itu masuk pesawat, tamat membacanya sewaktu mendarat dalam satu jam penerbangan, seingat saya tidak ada penjelasan tentang kata “mata” dan “hari” tersebut.

Mungkin diandaikan, pembaca dengan sendirinya mengerti: Mata Hari (1876-1917) adalah “nama komersial” penari Margaretha Geertruida Zelle, perempuan kelahiran Belanda yang pernah tinggal di Hindia Belanda dan dihukum mati di Prancis sebagai agen ganda yang juga bekerja untuk Jerman dalam Perang Dunia I. Dalam kenyataannya, perempuan ini hanyalah seorang penari erotis-eksotis dari dunia hiburan yang “rindu order” ketika menua. Ia menjalankan petualangan seksual sebagai gantinya, di antara para pejabat militer Prancis, yang memanfaatkannya untuk menggali informasi dari para pejabat militer Jerman.

Intelijen Jerman justru berhasil menipu intelijen Prancis, yang percaya Mata Hari berkhianat, sehingga Mata Hari, yang memburu upah di balik kesenangan seksual, yang secara romantis dibelokkan sebagai cinta, dihukum tembak. Kesialan ini menjadi tragedi romantis dalam berbagai biografi dan film komersial, yang berpuncak pada film berjudul Mata Hari (1931) yang dibintangi Greta Garbo, aktris film bisu tercantik dan terkenal sejagat waktu itu. Kini, semenjak arsip Mata Hari terbuka pada 1999, semakin banyak eksplorasi komersial atas kehidupannya. Coelho tidak akan menjadi yang terakhir.

Dari sudut pandang bahasa, kata “matahari” menarik karena sangat dikenal dalam makna yang sangat berbeda dengan arti kata itu: bintang yang disebut Matahari. Ucapkanlah “Matahari! Matahari!” keras-keras di Paris hari ini, maka tidak ada yang akan menengok ke atas, tapi sebagian orang sangat mungkin bertanya-tanya, mengapa nama perempuan bernasib malang itu disebut-sebut di jalanan.

Sebaliknya, bila “Matahari! Matahari!” diteriakkan di Pasar Genjing, Jakarta, tidak ada seorang pun yang akan menghubungkannya dengan penari yang mengaku menimba inspirasi tari striptease dari candi-candi di Jawa itu. Tidak berarti orang-orang di Pasar Genjing akan menengok ke atas, karena terdapat juga “matahari” lain yang sempat terdengar dominan, yakni jaringan gerai Matahari.

Kata “matahari” sebagai gabungan kata “mata” dan “hari” untuk menunjuk bintang Matahari juga unik, karena sekaligus simbolis: satu-satunya penerang bagi bumi, menjadikannya “mata” dari “hari”. Tidak aneh jika berdasarkan yang puitis inilah Margaretha memilih namanya, Mata Hari, dua kata terpisah, sebagai nama panggungnya. Bukan Matahari sebagai penanda bintang.

Meski hampir semua teks di luar buku Coelho menyebutkan asal-usul nama Mata Hari, hanyalah petualangannya yang menjadi memori kolektif pembaca atau penonton, yang tidak berbicara dalam bahasa Indonesia.

Suatu konsep bahasa terhubungkan dengan kenyataan ini: bahwa makna adalah produk relasi sistematis di antara berbagai elemen yang berbeda-beda. Meski sama-sama berbunyi “matahari”, dari sumber yang sama pula, yakni bahasa Melayu, relasi sistematis yang berbeda antara “matahari” di Paris dan “matahari” di Pasar Genjing membuat makna kata itu berbeda.

Makna “matahari” di Prancis dan Amerika Serikat (baca: Hollywood) pasca-Perang Dunia I, dalam dominasi wacana hiburan, hanyalah Mata Hari, perempuan yang kehadirannya dibentuk eksotisisme terhadap segala sesuatu yang “ketimur-timuran”. Memenuhi kebutuhan fantasi atas sesuatu “yang lain”, tapi yang tidak perlu menggoyang superioritas Eurosentrisme.

Sedangkan makna “matahari” di Pasar Genjing tidak akan segera menuju kepada perempuan yang ditembak mati di Vincennes, Prancis, pada pagi 15 Oktober 1917 itu, karena “matahari” bukan pula “mata” dari “hari”, melainkan hanya sumber kegerahan yang membuat manusia membutuhkan AC.

Namun konsep lain bahwa bahasa bukanlah sesuatu yang empiris, melainkan suatu kapasitas sosial, mendapatkan pembuktian. Kelompok sosial yang mengenal Mata Hari melalui majalah hiburan, novel Remy Sylado Namaku Mata Hari (2011), atau The Spy tadi mungkin terpikir juga akan Mata Hari ketika mendengar ada yang berseru, “Matahari! Matahari!” saat melewati Pasar Genjing.

* Penulis dan wartawan Panajournal.com
Mata Hari dan Matahari

Semisal Resensi Ini-Itu Berthold Damshäuser

$
0
0

Nurel Javissyarqi

Sebenarnya ingin ngelenceki bukunya, namun belum ada kesempatan jauh, maka sekadarlah ucapan terima kasih, sebab bahasa Indonesia sudah diperkenalkan di Jerman dengan ketekunan penuh piawai, atau ini ikut-ikutan bijak seperti tulisannya; “Sebagai dosen bijaksana saya suka sekali kalau mahasiswa banyak bertanya.”

“Ini dan Itu Indonesia, Pandangan Seorang Jerman” buku karangan Berthold Damshäuser, dipengantari Agus R. Sarjono dan penutupnya Jamal D. Rahman, penerbit Komodo Books. Buku ini sangat ajaib, karena ada tulisannya yang dijumput dari Majalah Sastra Horison No.3/2016, hal. 13-17, padahal di buku itu adanya catatan Cetakan Pertama Mei 2015?

Saya tidak kenal pengarang ini, tapi bisa saja pernah bertemu di Jakarta, Jogja atau blas, tetapi-nya tiba-tiba ingin menulisnya, sebab dari bacaan terhadap bukunya, terbersitlah satu kata; kocak. Andai layang ini tak sampai tidak masalah, toh saya bisa kenal dapat akrab sangat dekat atau sok kenal sok akrab sok dekat, namun bukan. Saya tahu kelihaian Ibnu Khaldun, coraknya Hegel, wataknya Sartre, karekter Camus, nafsunya Nietzsche, perangainya Derrida, ketelitian Hassan Hanafi, ketampanan Goethe, kewibawaan Tagore dsb, padahal tidak pernah berjumpa belum sempat kenalan, namun rasanya lebih nyaman daripada guru bahasa Indonesia saya di bangku sekolah. Jadi bisalah mencantelkan ‘kocak’ di depan namanya; kocaknya Berthold Damshäuser. Ini bukan mensejajarkan pribadinya dengan para tokoh itu, hanya semata dari negara asing dengan nama asing pula terdengar di telinga.

Bahasa Indonesia-nya agak kocak, artinya mbanyol, lucu, menggelitik, menggelikan, jenaka, tapi tidak sampai keringkan bibir, dan kata ‘kocak’ jika digeser agak diselewengkan maknanya sebanding culun, tapi bukan di dalam kasusnya. Kocak juga bisa diartikan tidak seret sedikit kendor atau longgar menggelikan; biasanya dipakai dalam kejadian mur dan baut yang tidak erat berpelukan, keadaan renggang yang tidak sampai lepas keduanya.

Kata ‘kocak’ pernah dipopulerkan Radio Suzana Surabaya sekitar awal tahun 1990an; adanya acara; berita kocak, cerita kocak, bahasa mandari kocak, bahasa arab kocak, bahasa belanda kocak, bahasa jepang kocak, bahasa jerman kocak, dst. Kocak di situ maknanya lucu, karena di bukunya memiliki unsul hiburan, semisal sering mengawali tulisan dengan kata-kata; “Lapor! Sudah saatnya saya kembali melaporkan diskusi yang terjadi pada jam mata kuliah bahasa Indonesia di Universitas Bonn” dan mengakhirinya dengan kalimat “… saya meninggalkan kelas. Lonceng bel berbunyi” atau “Tiba-tiba lonceng berbunyi, jam kuliah sudah selesai. Alhamdulillah!” dan serupa-rupanya yang sebelumnya telah terbit di Majalah Tempo.

***

Sekecilnya ada empat nama besar yang tercatat ngincipi dataran bumi Nusantara; Tagore, Neruda, Hesse, Chamisso, dan kemungkinan ada belasan nama besar yang pernah singgah di tlatah Sumpah Palapa-nya Gajah Mada, namun tak ingin mencatatnya atau tidak mau dituliskan kejadiannya, barangkali dianggap kurang menarik ataupun menggelapkan proses perjalanan kreatifnya, maka di waktu sepertiga malam ini saya menujum orang asing itu.

Takdir memang bukan kita yang menuliskan, tapi dinaya tarik-menarik ketentuan serta ketetapan hidup, tidak lebih melalui prosesi panjang pergolakan batin antara condong menerima atau menolaknya, dan kecenderungan melapangkan perjalanan anak manusia menuju perjumpaan ajaib dirasa, tapi sangat akrab seolah baru kemarin bertemu atau ribuan tahun silam sudah mengenalnya, karena kelahiran serta kematian disegarkan embun waktu, diremajakan masa.

***

Menunggu lima tahun setelah terbitnya buku “Puisi Dunia, Gema Djiwa Slavia dan Latin;” Jilid I, disusun M. Taslim Ali, ia baru dilahirkan dunia, tepatnya di Wanne-Eickel (Jerman) 8 Februari 1957, tanah yang pernah menghadirkan filsuf tersohor yang pengaruhnya menggemparkan nalar, Nietzsche semacam Voltaire di lemah Prancis; satu mendorong Hitler memecahkan perang dunia ke II, satunya lagi menggerakkan kesadaran masyarakat merevolusi. Dan tatkala buku susunan M. Taslim Ali, “Puisi Dunia, Gema Djiwa Germania” terbit tahun 1953, tinggal 4 tahun alam menanti kehadirannya.

Barangkali usianya menginjak 11 tahun (1967) atau umur 17 (1973), ia sudah ber-papas-an dengan buku-bukunya M. Taslim Ali, bisa jadi mulai tertarik Pantun yang disebarkan oleh Chamisso, yang jelas di alam kemungkinan; deretan buku-buku pada perpustakaan keluarganya, sudah menyebarkan kabar keindahan tanah gemah ripah loh jinawi toto tentrem kerto raharjo ini, setidaknya tahun 1976 sudah mengenal nama Trisno Sumardjo disaat-saat mempersiapkan diri untuk perjalanan pertama kalinya ke Indonesia.

Pada umur 20 tahun itu, ia baca sebuah kumpulan cerpen Indonesia yang diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman, editornya Irene Hilgers-Hesse dan Mochtar Lubis, penerjemahnya Irene Hilgers-Hesse, Tübingen/Basel 1971 (lihat catatan kaki halaman 91). Enam tahun kemudian, ia merampungkan skripsi Master pada Jurusan Sastra Indonesia di Universitas Köln (“Trisno Sumardjo, Sang Sastrawan dan Karya-karyanya,” selengkapkan lihat catatan kaki selanjutnya). Saya tidak tahu persis apakah di antara tahun itu ia pernah keluyuran ke Indonesia? Apakah berjumpa Dami N. Toda di Hamburg atau tidak (1981)? Yang pasti setahun setelah kelulusannya dari Köln, ia menjadi mahasiswa tamu untuk program pascasarjana di Universitas Indonesia (1983) atau menginjak usianya ke 27. Berbeda perjalanan juga beda nasibnya, Neruda pada usia 23 (dalam tahun 1927) menginjakkan kaki di Kolombo (Sri Lanka), Batavia dan Singapura, sedangkan usianya Tagore 66 di tahun tersebut ke tanah Jawa.

Mengenai Dami, saya teringat penelitiannya yang belum matang sejenis kurang jeli, dan terlanjur cepat Allah menjemputnya. Kata-kata ‘belum matang kurang jeli’ bisa dibaca pada esainya yang bertitel “Kesibukan Hamba-Hamba Kebudayaan” lalu sejenis esai pertaubatannya yang dimuat Kompas 17 September 2006, yang berlabel “Pengakuan Anggota Waffen-SS” yang disebut juga oleh Afrizal Malna di Tempo 20 November 2006, dengan judul “Sejarah dalam Kulit Bawang,” lewat satu kunci perjalanan hidup pemenang Nobel Sastra 1999, Günter Grass.

Dan meski hanya sekali tatap muka di ruang kelas dengan Sapardi Djoko Damono, empat tahun berlalu dan ia putuskan balik ke Jerman (1986), mengabdi di Universitas Bonn, tepatnya mengajar bahasa dan sastra Indonesia pada Lembaga Kajian Asia, dan bersama Wolfgang Kubin menjadi editor Orientierungen. Di tahun 1987, untuk pertama kalinya menemui Ramadhan KH yang mendampingi istrinya berdinas sebagai diplomat di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Bonn, perjumpaan yang sangat berkesan. KH sekitar lima tahun berada di sono (Jerman), dan tujuh tahun dilewati ke tahun 1993, KH diminta olehnya sebagai anggota redaksi Orientierungen, Zeitschrift zur Kultur Asiens.

Namun, empat tahun sebelum itu, tepatnya 1989, kedua anak manusia ini telah merampungkan hasil-hasil ikhtiarnya dalam kerjasama menerjemahkan sekaligus menerbitkan “Antologi dwibahasa puisi Jerman, Selama delapanratus tahun” yang diberinya titel “Malam Biru di Berlin” dengan kerjasama Kedutaan Besar Republik Federal Jerman di Jakarta. Sungguh hasrat yang luar biasa bermanfaat, bagi wacana kesusastraan di Nusantara. Kecocokannya dengan KH, memberikan dampak merindu penuh jiwanya pada Tanah Air keduanya yakni Indonesia. Dan atas permintaannya, KH di tahun 1997 bersedia menjadi anggota Komisi Indonesia-Jerman untuk Bahasa dan Sastra.

Ada yang saya sayangkan di pengantar “Malam Biru di Berlin,” paragraf ke 2 tertulis: “Sebelum penerbitan buku ini, belum terdapat antologi sajak-sajak Jerman yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Karena itu kami berpendapat, bahwa antologi ini sebaiknya mencoba memberikan gambaran yang luas tentang puisi Jerman. Maka yang dikumpulkan di sini adalah sajak dari abad keduabelas sampai abad keduapuluh yang diciptakan oleh delapan puluh tujuh penyair. Titik berat terletak pada sajak yang ditulis pada abad sekarang.” Kalimat itu seakan-akan menghapus kerjanya M. Taslim Ali sebelumnya, atau apakah terlambat mengetahui? Lalu seperti terpaksa disusupkan pada tulisannya, lihat sambil pelajari kepiawaiannya merakit kata, halaman 67.

Tulisannya mengenai “Ramadhan KH, Arsitektur Jembatan antara Jerman dan Indonesia” dimuat di buku yang berjudul “Ramadhan KH, Tiga Perempat Abad” Pustaka Jaya 2002, halaman 130-136, editornya Ajib Rosidi, Ahmad Rivai, Hawe Setiawan. Tahun 1997, ia menjadi anggota Komisi Jerman-Indonesia untuk Bahasa dan Sastra, yang didirikan atas petunjuk Kanselir Jerman dan Presiden Republik Indonesia. Tahun 1998 mulai berhubungan dekat dengan penyair Hamid Jabbar; orang saling dekat karena sama frekuensinya, serasi sepadupadan seirama nada naik-turunnya batin yang diembankan hayatnya, lalu di tahun 2004 tulisannya kepada sahabatnya Hamid terbit, lantas yang berjudul “Hatur Nuhun, Kang Atun! In Memoriam Ramadhan KH” (2006) hadir di majalah yang sama; Horison.

Bersama Agus R. Sarjono menjadi editor Seri Puisi Jerman yang terbit sejak 2003, kemudian tahun 2007 keduanya bersama-sama mengeditori buku bertitel “Johan Wolfgang van Goethe, Satu dan Segalanya” jilid IV Seri Puisi Jerman, yang dipengantari Jamal D. Rahman, penerbit Horison. Tahun-tahun berlalu semakin menjelajah, kian akrablah dengan para sastrawan serta kaum kritukus sastra Indonesia. Tahun 2010 ia dipilih Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, menjabat Presidential Friend of Indonesia, dan sejak 2011 bergiat sebagai redaktur Jurnal Sajak. Tahun 2014 dan 2015 ia menjadi anggota Komite Nasional Indonesia, selaku Tamu Kehormatan Pekan Raya Buku Frankfurt. Dan oleh ketekunannya menerjemahkan puisi Jerman ke bahasa Indonesia, puisi Indonesia ke dalam bahasa Jerman, tahun 2017 seterusnya, ia bagai bintang timur yang selalu dinanti kedatangannya di Indonesia.

Dusun Pilang, Desa Tejoasri, Laren, Lamongan, daerah yang dikelilingi Bengawan Solo, 27/8/2017.

Kertas Gedog asal Ponorogo yang Mulai Dilirik Bangsa Asing

$
0
0

Ainul Fitriyah
news.unair.ac.id

Melestarikan budaya dan menjaga agar tetap menjadi identitas Nusantara adalah tugas bangsa Indonesia. Terlebih, bagi pemuda yang masih memiliki semangat serta jiwa patriotisme yang tinggi. Tidak mau kalah dengan pemuda lainnya, mahasisiwa Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga, peminatan Filologi, Minggu (21/5), mengadakan Praktik Kuliah Lapangan (PKL) di Desa Tegalsari, Kecamatan Jetis, Kabupaten Ponorogo. Mereka mempelajari khasanah budaya yang masih nampak di Jawa Timur yakni pembuatan kertas gedog.

Di Desa Tegalsari, tradisi pebuatan kertas gedog masih dengan sistem swadaya. Dalam artian, tidak ada lembaga yang menaungi. Menurut penuturan dari Cipto, selaku pihak yang masih melestarikan kebudayaan dari eyangnya, pembuatan kertas gedog sudah dimulai sejak tahun 1900-an. Eyangnya, Kyai Jaelani asal Tegalsari, ialah orang pertama yang mencetuskan ide pembuatan kertas daluang (gedog) dengan bahan dasar kulit pohon glugu.

“Pembuatan kertas gedog ini cukup mudah, yaitu hanya dengan mengambil kulit pohon glugu dengan ukuran lebar sesuai keinginan, lalu direndam semalaman. Setelah itu, kulit pohon ditumbuk pakai alat sampai benar-benar pipih. Penjemuran diletakkan di atas gedebog pisang agar hasilnya halus,” tutur Cipto menjelaskan proses pembuatan kertas gedog.

PKL ini telah menjadi agenda tahunan mahasiswa Sastra Indonesia yang mengambil mata kuliah Preservasi Naskah. Menurut Dr. Trisna Kumala Satya Dewi, M.S sebagai pengampu mata kuliah, kegiatan semacam ini sangat bermanfaat bagi mahasiswa sebagai generasi muda yang memiliki peran aktif menjaga kelestarian budaya di Nusantara.

Pihak Asing

Kepada UNAIR NEWS Trisna menuturkan, telah ada pihak asing yang mencoba merayu Cipto sebagai pewaris kertas gedog untuk menyerahkan beberapa naskah kuno peninggalan Kyai Jaelani yang kini di rawat di Tegalsari. Berbagai bujukan dengan imbalan besar sudah dilakukan.

Cipto membenarkan bahwa salah satu yayasan pencinta manuskrip asal Jepang telah mengirimkan utusan untuk mendatangi Cipto di kediamannya. Bahkan, beberapa manuskrip miliknya sempat ingin diganti dengan sebuah mobil.

“Saya pernah dirayu sama utusan Jepang. Katanya saya mau dibelikan mobil dengan menukar satu naskah ini,” tandas Cipto.

Melihat fenomena ini, maka sangat penting bagi mahasiswa untuk mengetahui bahwa Jawa Timur memiliki tradisi pembuatan kertas daluang, dan tradisi itu merupakan asli Indonesia.

Trisna juga sangat menyayangkan jika pembuatan kertas saat ini masih dengan cara swadaya. Padahal jika pembuatan ini dinaungi oleh sebuah instansi, tentu kekuatan untuk menjaga tradisi akan lebih besar jika dibandingkan dengan sistem swadaya.

Terlebih, alat pemukul pembuatan kertas gedog yang dimiliki Cipto hanya terdapat satu set saja. Ditambah, Cipto kurang memahami proses administrasi untuk mengajukan bantuan kepada instansi kebudayaan terkait sumbangan alat pemukul pembuatan kertas itu.

“Saya mengharapkan proses pembuatan kertas ini dapat dibantu serta dilindungi oleh pemerintah, agar generasi kita lebih mudah dalam mempelajari tradisi ini,” tutur Trisna.

Ada keterkaitan antara penuturan Cipto dengan pihak Museum Radya Pustaka, Surakarta. Selain mendatangi Cipto secara personal, pihak asing telah mendatangi museum bagian penyimpanan manuskrip. Keahliannya dalam memperkirakan umur naskah tidak dapat diragukan lagi. Pimpinan Yayasan Pecinta Manuskrip Jepang, Prof. Sakamoto, dapat membaca umur naskah hanya dengan meraba dan melihat garis kertas naskah.

“Apabila dibiarkan seperti ini, kita sebagai pemilik asli kertas daluang akan ketinggalan jauh dan bisa-bisa daluang dikuasai oleh Jepang,” tandas Trisna.

Kegiatan PKL ini diharapan dapat menumbuhkan rasa kepemilikan dalam jiwa mahasiswa Sastra Indonesia, bahwa kertas daluang harus dilestarikan dan dapat dipatenkan sebagai warisan Nusantara. (*)

Editor: Binti Q. Masruroh
http://news.unair.ac.id/2017/05/29/kertas-gedog-asal-ponorogo-yang-mulai-di-lirik-bangsa-asing/

Bahasa Pengantar di Lembaga Pendidikan

$
0
0

Ajip Rosidi *
Pikiran Rakyat, 27 Nov 2010

Pada 1951, UNESCO menganjurkan agar bahasa pengantar yang digunakan di lembaga-lembaga pendidikan seperti sekolah sebaiknya bahasa ibu anak-anak didik karena bahasa ibu lebih mesra dan lebih dikuasai oleh anak didik. Akan tetapi, pemerintah Republik Indonesia pada 1953 melalui Undang-Undang Pendidikan menetapkan bahwa di sekolah rakyat 6 tahun, yang sebelumnya menggunakan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar untuk semua mata pelajaran, hanya boleh digunakan sebagai bahasa pengantar di kelas I-III. Di kelas IV dan selanjutnya sampai sekolah menengah atas dan perguruan tinggi, bahasa pengantar yang digunakan harus bahasa nasional, bahasa Indonesia. Pada waktu itu memang ada anggapan bahwa segala sesuatu yang berbau daerah (bahasa ibu disebut juga bahasa daerah), membahayakan kenasionalan Indonesia, seakan-akan bahasa ibu atau bahasa daerah itu merupakan lawan dari bahasa nasional, bahasa Indonesia.

Untuk menanamkan rasa kebangsaan dalam diri anak didik diusahakan agar anak didik sejauh mungkin disingkirkan dari segala sesuatu yang berbau daerah. Mungkin karena masih ada ketakutan bahwa kesatuan Indonesia akan terpecah-belah menjadi negara-negara bagian seperti yang diinginkan oleh van Mook sehingga dalam KMB yang disepakati adalah negara RIS (Republik Indonesia Serikat) meskipun umurnya hanya beberapa bulan karena rakyat Indonesia menginginkan negara kesatuan.

Pada 1975, pemerintah Orde Baru menetapkan bahwa bahasa pengantar di semua jenjang sekolah, dari taman kanak-kanak sampai sekolah lanjutan atas (SLA) dan perguruan tinggi hanya boleh bahasa nasional. Bahasa ibu hanya boleh dijadikan mata pelajaran. Kemudian terjadilah keajaiban yang tak dapat dimengerti oleh akal yang sehat, anak-anak yang baru mengenal bahasa ibunya harus mempelajari bahasa ibunya itu dengan pengantar bahasa nasional yang belum dikuasainya. Yang lebih ajaib ialah tak ada anggota DPR atau ahli pendidikan yang mempersoalkan hal itu. Mungkin mereka tak mengerti akan masalahnya atau tidak tahu akan adanya anjuran UNESCO agar menggunakan bahasa ibu sebagai pengantar.

Pada masa setelah reformasi, lembaga pendidikan yang berupa sekolah menjadi lahan bisnis yang marak. Maklumlah, para pebisnis berpendapat bahwa di Indonesia hanya ada tiga ladang bisnis yang menjanjikan keuntungan cepat dan besar, yaitu bisnis makanan, bisnis kesehatan, dan bisnis pendidikan. Mereka berlomba-lomba mendirikan sekolah dari TK sampai universitas. Supaya menarik calon langganan, yaitu para orang tua murid, disebutlah bahwa sekolahnya “bertaraf internasional” yang antara lain menggaji guru dari luar negeri dan menjadikan bahasa Inggris (bahasa internasional) sebagai bahasa pengantar.

Dr. Daoed Joesoef, yang pernah menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, pernah bercerita bahwa beliau merasa kaget sekali ketika berkunjung ke salah satu sekolah internasional di Jakarta, ternyata murid-muridnya sama sekali tidak mengerti bahasa Indonesia.

Memang sejak awal kalau kita perhatikan, para ahli pendidikan dan para birokrat pengambil keputusan dalam bidang pendidikan pemerintah Republik Indonesia dalam menyusun kebijakan pendidikan yang diberlakukan di lembaga-lembaga pendidikan kita tidak pernah mementingkan anak didik. Barangkali tidak pernah kepentingan anak didik masuk ke dalam kepalanya ketika merencanakan kebijakan pendidikan. Yang selalu didahulukan ialah kepentingan nasional – entah apa pun artinya. Kemudian kehendak agar anak didik menjadi pancasilais, pernah agar menjadi manipolis sejati, pernah agar menjadi sosialis religius, dan entah apa lagi. Akan tetapi, tak pernah ada kehendak untuk membuat anak didik menjadi dirinya sendiri sesuai dengan kodrat dan bakat yang dipunyainya.

Yang menyedihkan ialah karena ternyata anak-anak lulusan lembaga pendidikan selama ini tidak mencapai tujuan seperti yang dikehendaki para pengambil kebijakan pendidikan itu. Sudah sejak lama ada keluhan bahwa anak-anak kita lulusan sekolah-sekolah itu luntur rasa nasionalismenya, rendah kemampuan berbahasanya, baik bahasa nasional maupun bahasa Inggris. Jangan disebut kemampuannya berbahasa ibu. Belum lagi kemampuannya dalam bidang-bidang ilmu yang diajarkan.

Sudah beberapa tahun timbul wacana tentang kegagalan pendidikan kita. Berbagai usaha untuk meningkatkan mutu pendidikan kita tidak juga ada hasilnya. Entah sudah berapa kali dibentuk komisi pendidikan yang anggota-anggotanya terdiri atas para ahli pendidikan, dan entah sudah berapa tebal saran-saran yang dihasilkannya, tetapi keadaan pendidikan kita tetap menyedihkan. Bahkan kian lama bukannya kian membaik, malah kian melorot.

Sangatlah menarik berita yang berjudul “Bahasa Asing Jangan Jadi Bahasa Pengantar” dengan judul tambahan “Bahasa Ibu Tentukan Keberhasilan MDG’s” (Kompas, 11 November 2010, hlm. 12). Di situ diberitakan bahwa dalam konferensi internasional MDG’s (Language, Education, and the Millenium Development Goals) yang diselenggarakan di Bangkok, Thailand, para pesertanya mengkhawatirkan pemakaian bahasa Inggris (asing) sebagai bahasa pengantar pendidikan malah bisa menyebabkan para siswa kebingungan dan tidak mengerti persoalan dan menimbulkan salah pengertian.

Para ahli peserta konferensi yang mempunyai pengalaman yang luas itu menyatakan bahwa penggunaan bahasa asing yang terlalu dini di taman bermain atau di taman kanak-kanak akan mengacaukan kemampuan berbahasa anak. Suzanne Romaine, ahli bahasa Inggris dari University of Oxford, Inggris, menyatakan,

“Ajarkan bahasa ibu dahulu. Baru seiring dengan itu, sedikit demi sedikit, ajarkan bahasa lain.”

Pernyataan itu barangkali dapat menyadarkan para ahli pendidikan kita, paling tidak merangsang pertanyaan dalam nuraninya, apakah kegagalan pendidikan yang kita alami sekarang ini bukan akibat dari kita tidak mempergunakan bahasa ibu di sekolah-sekolah kita? Bahasa Indonesia bagi anak-anak kita, terutama yang tinggal jauh di daerah, adalah bahasa baru.

*) Ajip Rosidi: Penulis, budayawan.
https://rubrikbahasa.wordpress.com/2010/11/27/bahasa-pengantar-di-lembaga-pendidikan/

Spiritualitas yang Hilang

$
0
0

Ayu Utami *
Majalah Tempo, 6 Okt 2014

Saya pernah berdebat dengan editor saya tentang suatu cara pengungkapan. Kami sedang menyiapkan novel Bilangan Fu. Satu kalimat dalam naskah saya berstruktur ini: padaku ada sesuatu. Mungkin agar pembaca mudah paham, editor ingin menyederhanakan kalimat itu dan menggantinya jadi: aku punya sesuatu. Kenapa harus pakai struktur yang rumit jika ada yang lebih jelas? Kenapa gunakan tata bahasa kuno jika ada yang modern?

Saya bertahan, sebab penyederhanaan itu mengubah makna. Sesungguhnya bukan cuma mengubah arti, melainkan mengganti paradigma berpikir-jika bukan berkesadaran. “Padaku ada sesuatu” dan “aku punya sesuatu” adalah dua kalimat yang berasal dari cara pikir yang berbeda. Dunia modern yang mencari kecepatan dan kesederhanaan mungkin menyukai yang kedua. Kalimat aktif, subjek-predikat-objek, jelas. Huh, Microsoft Office pun lebih suka kalimat aktif daripada pasif!

Tapi, perhatikanlah, kalimat kedua itu membuat perkara jadi sekadar relasi kepemilikan. Saya punya sesuatu. Katakanlah, saya punya roh. Atau saya punya nyawa. Saya punya suami. Saya punya anak. Sebaliknya, struktur kalimat yang pertama tidak melihat perkara dalam relasi kepunyaan. Pada saya ada roh. Pada saya ada nyawa. Pada saya ada istri. Pada saya ada suami. Pada saya ada anak. Struktur ini berasal dari kesadaran bahwa ada yang tidak berada dalam hubungan kepemilikan. Dan itu biasanya berhubungan dengan kemanusiaan atau kehidupan. Jika kita beranggapan bahwa sesuatu hidup karena memiliki roh atau spirit, cara pandang ini dekat dengan cara spiritual.

Tapi, bahkan jika Anda tidak mau bersikap spiritual, Anda tetap bisa menjadi seorang humanis (bahkan yang ateis) dan berpikir: apa betul anak, atau istri, atau suami adalah kepunyaan kita? Apakah kita bisa memiliki manusia? Apalagi jika Anda percaya bahwa ada roh pada manusia. Roh itu tidak bisa kita miliki.

Seorang teman-dia orang Cek yang telah lama mencintai Indonesia-juga berpendapat mirip dalam kasus lain. Katanya, “Kenapa sekarang orang Indonesia bilang ‘saya lahir di…’?” Ia menekankan bahwa makna lahir bukanlah kata kerja aktif. Orang tidak bisa lahir sendiri. Orang hanya bisa dilahirkan. Jadi, yang benar adalah “saya dilahirkan”.

Kita bisa berdebat panjang tentang ini dan melihat kompleksitas. Siapa yang aktif dalam proses kelahiran? Baiklah, seandainya si anak tidak aktif, sang ibu pun tak bisa dibilang pelaku aktif juga. Sebab, jika pun ia tidak mau melahirkan, ia tak bisa menahan jika bayinya keluar. Pun jika sang ibu berusaha, ia juga tak bisa memaksa seandainya bayi itu tak bisa keluar, seperti pada kasus sungsang dan sejenisnya. Zaman sekarang dokter yang akan “melahirkan”-nya lewat operasi caesar. Jadi, siapa yang sesungguhnya melahirkan?

Semantik kata “lahir” sebetulnya mengandung makna pasif. Atau setidaknya bukan aktif. Tak seorang pun sungguh-sungguh sepenuhnya melahirkan bayi. Dalam hal ini, bahasa Inggris lebih dekat dengan kesadaran itu. Seorang ibu gives birth to (membawakan/memberikan kelahiran) bagi anaknya. Atau seorang ibu delivers (mengantarkan) anaknya. Dalam beberapa bahasa Eropa yang lain, kata kerja sejenis itu tidak diikuti oleh objek penderita atau kasus akusatif, melainkan oleh kasus datif. Kira-kira, dalam tata bahasa Indonesia kasus datif setara dengan pelengkap penyerta atau objek tak langsung. “Lahir” adalah verba intransitif, bukan transitif.

Begitulah, ada kompleksitas yang kerap kita lupakan manakala kita berbahasa.

Dalam dua kasus yang disebut di atas, itu berhubungan dengan makna-makna kepemilikan, keaktifan, kesubjekan. Jika seseorang punya sesuatu, ia adalah subjek yang memiliki. Tapi, jika pada seseorang ada sesuatu, ia bukan memiliki, melainkan mendapatkan. Manakala kita bilang kita lahir ke dunia, sesungguhnya kita tidak pernah melahirkan diri sendiri. Kelahiran adalah kerja sama dari sedikitnya bayi dan ibu serta unsur ketiga yang bolehlah dinamai alam semesta atau yang belum diketahui sepenuhnya. Tidakkah, dari kontras bentuk-bentuk itu, kita melihat adanya perbedaan antara suatu model yang materialis-individualis dan yang spiritualis-kosmologis? Yang pertama mengedepankan subjek dan kepemilikan, yang kedua mengenangkan bahwa kita adalah bagian dari yang tak kita tentukan. Kita tahu juga, dunia semakin materialistis.

Tentu saja, tidak dengan sendirinya kata dan kalimat yang kita pakai memenjarakan cara pikir kita. Jangan terlampau percaya Neuro-Linguistic Programming. Banyak yang bilang itu pseudosains. Tapi pseudosains bisa diterima sebagai sains jika kita tidak pernah melakukan refleksi.

Ada baiknya kita merenungkan makna-makna yang bisa lenyap jika kita menghilangkan ungkapan yang terasa kuno dan kompleks hanya demi simplifikasi dan kejernihan palsu.

*) Penulis
https://rubrikbahasa.wordpress.com/2014/10/06/spiritualitas-yang-hilang/

Semua Kata Mendua

$
0
0

Putu Wijaya *
Majalah Tempo, 15 Nov 2010

Arti sebuah kata adalah hasil sebuah perjanjian. Kamus melakukan kodifikasi tapi selalu terlambat, karena praktik bahasa bisa membelot dan berkhianat dengan seenak perutnya. Tidak ada hukum suci yang bisa membatasi karier sebuah kata. Tata bahasa boleh menjadi pengawal yang kejam, tapi sebuah kata bagai seniman bebas yang petualangannya menyelusup dan berbelok tajam tak bisa diramal.

Sebuah kata sudah berubah artinya karena ditulis miring. Juga akan segera berbeda kalau diberikan dandanan tanda kutip, garis bawah, ditulis tebal, atau semua hurufnya kapital. Kata juga melakukan akrobatik karena lagu pengucapan, siapa yang mengucapkan, dalam keadaan bagaimana diucapkan, serta ucapan apa yang mendahului dan menguntitnya. Kata pun berganti arti ketika dikatakan dengan gerak, isyarat, atau rasa alias tidak dikatakan.

Sudah diberitahukan oleh para ahli bahasa bahwa ada politik dalam bahasa. Bahwa bahasa bisa dipakai oleh kekuasaan untuk mengawal dominasinya. Perbedaan tingkat bahasa yang kita jumpai di berbagai bahasa daerah adalah bagian dari siasat para bangsawan untuk mencengkeram rakyat jelata tanpa senjata. Kekuatan bahasa telah menjadi bagian dari arsitektur feodalisme.

Syukurlah, para perintis kemerdekaan telah memilih bahasa Melayu Pasar, yang tak diperalat politik bahasa, jadi bahasa nasional. Bukan saja kelompok minoritas tak merasa terancam, juga bahasa menjadi bagian pembelajaran demokrasi, yang membantu mengikis feodalisme. Namun tak berarti bahasa Indonesia sudah bebas dari ancaman. Dalam kata-kata, masih ada virus ganas yang selalu bisa menerkam kalau pemakainya memanfaatkan “kebebasannya”.

Kata kata lewat perjanjian gelap, perjanjian yang tidak tertulis, memiliki arti bayangan. Tidak hanya “mendua” seperti yang dituduhkan oleh bahasa Indonesia, tetapi juga “berwayuh” arti (bahasa Jawa, berwayuh berarti lebih dari satu, tidak hanya dua bisa banyak, Prof. Djojodigoeno).

Kata “bersih” adalah kata keadaan lawan dari kata “kotor”. Kebersihan dalam pengertian bersih mengandung kemungkinan bahwa kebersihan itu terjadi akibat tidak terkontaminasi. Artinya memang masih suci. Tapi kebersihan itu juga mengandung kemungkinan hasil dari pembersihan. Sebenarnya tidak suci, tetapi karena sudah disucikan jadi bersih. Bila tidak ada penjelasan, kata bersih itu jadi mendua.

Bersih tidak hanya mendua tapi juga berwayuh arti, ketika terjun dalam praktik. Seorang kepala desa memerintahkan warganya untuk melakukan kerja bakti agar kawasan hunian jadi bersih menjelang peringatan ulang tahun proklamasi. Warga lalu bertindak. Tapi, di telinga seorang gila, kata bersih berarti lain. Setelah warga beristirahat, karena seharian membersihkan kampung, malam malam dia bertindak. Esok harinya seluruh kampung kaget. Pohon pisang di sepanjang jalan yang merupakan sumber nafkah sampingan warga “bersih” ditebang.

Seperti kata bersih, dalam praktik, kata: amankan, tertibkan, atur, selesaikan, tuntaskan, pikirkan, selamatkan, atasi, pertimbangkan, manfaatkan, serta lain sebagainya, mengandung arti bayangan. Akibatnya, kata-kata selalu menjadi teka-teki. Kamus tak akan mampu menjadi polisi lalu lintas kata dalam bahasa Indonesia. Pemiliknyalah yang paling tahu apa yang dimaksudkannya atas sebuah kata. Kalau “pemilik” kata absen, dibutuhkan tafsir. Dan itu membuat artinya bisa terbang jauh bahkan menjadi kebalikan dari apa yang dimaksudkan semula, sehingga jadi perkara.

Kata cicak dan buaya sudah melahirkan sebuah peristiwa yang sangat ramai.

Ada pertanyaan lucu. Benarkah kata (bahkan juga bahasa) diciptakan oleh manusia? Atau pemakai kata (baca: bahasa) yang sebenarnya dipilih oleh bahasa itu. Apakah bayang-bayang dalam hampir setiap kata dalam bahasa Indonesia memang diciptakan oleh manusia Indonesia yang tidak suka adanya kepastian? Atau kemenduaan, keberwayuhan arti dalam kata kata bahasa Indonesia itulah yang telah memilih manusia Indonesia sebagai domisilinya.

Karena potensi mendua itulah, bahasa Indonesia “dituduh” STA tak pandai menjadi bahasa ilmiah. Barangkali itu juga sebabnya, setiap detik kata dengan berbagai kebangsaan dari seluruh dunia, tanpa visa bisa bebas keluar masuk di negeri ini. Serbuan kosakata asing itu tak hanya menunjukkan adanya krisis kebangsaan, tapi juga kepanikan. Orang baru merasa afdol bila kata-katanya bebas dari pembonceng gelap, kalau sepukul dua pukul pakai kata cas cis cus.

Dengan adanya bayangan arti dalam hampir semua kata, selalu dituntut penjelasan lanjut. Tidak cukup mencari arti sebuah kata lewat perjanjiannya dalam kamus. Kata-kata selalu asing, sampai dia berhasil diartikan. Tetapi, anehnya, pergaulan tak kacau karena kenyataan itu. Bahkan sastra Indonesia menikmatinya. Bayang-bayang kata justru memacu perkembangan sastra Indonesia. Majalah Tempo, yang menggabungkan jurnalisme dengan sastra, sempat menjadi salah satu majalah yang terbesar dan membawa kepeloporan dalam bahasa media di Indonesia pada 1970-an.

Yang kewalahan adalah politik, ekonomi, dan teknik. Karena ketiga teritorial itu tidak memanfaatkan sifat mendua kata. Ketiganya mengeluhkan sifat mendua itu sebagai kemiskinan bahasa Indonesia. Dan umumnya para pelakunya tak suka membaca sastra. Mereka tak melihat ada potensi luar biasa pada kata yang hakikatnya selalu mendua (rwa bhineda kearifan lokal Bali).

*) Putu Wijaya: Sastrawan dan dramawan.
https://rubrikbahasa.wordpress.com/2010/11/15/semua-kata-mendua/

Bahasa Indonesia dan Puisi

$
0
0

Berthold Damshauser *
Majalah Tempo, 18 Nov 2012.

Sudah saatnya saya melapor lagi tentang sebuah diskusi pada jam mata kuliah bahasa Indonesia di Universitas Bonn. Bayangkan! Di antara mahasiswa saya ada yang tertarik pada puisi Indonesia! Bahkan ada yang mencoba menerjemahkannya ke bahasa Jerman. Namun upaya itu mengakibatkan mereka frustrasi.

“Pak, susah sekali memahami teks berbagai puisi Indonesia. Kami bingung, lalu bertanya kepada teman kami, orang Indonesia, apa kiranya maksud kalimat-kalimat tertentu. Jawaban yang kami terima belum jelas juga karena teman-teman Indonesia memberi keterangan yang sangat berbeda, bahkan bertentangan.”

“Lho,” jawab saya, “puisi memang memungkinkan banyak tafsiran.”

“Kami tahu, Pak, tapi keterangan yang berbeda-beda itu tidak menyangkut interpretasi puisi secara menyeluruh, melainkan keterangan tentang maksud sebuah kalimat, katakanlah tentang narasinya. Sepertinya, penutur asli pun kesulitan mengetahui dengan pasti hubungan sintaktis-semantis di antara kata-kata, terutama jika terdapat enjambment atau saat penyair tidak pakai titik dan koma.”

“Mengapa heran?” tanya saya seraya menambahkan: “Tentang ketaksaan bahasa Indonesia sudah lama Anda tahu, kan? Ingat dong sila legendaris dalam Pancasila yang berbunyi ’Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan’. Untuk memahami kalimat demikian, diperlukan kepandaian berhermeneutika yang luar biasa. Puisi Indonesia juga begitu.”

“Tapi hal itu sangat mempersulit kami sebagai penerjemah. Kami kan mesti punya dasar semantika yang kukuh.”

“He-he…”, kata saya bergurau, “menerjemahkan bahasa Indonesia memang harus menjadi maestro. Kalau tidak, Anda akan mengalami penderitaan.”

“Pak, mohon serius, ya!” Sebuah suara tajam yang saya kenal, suara mahasiswa cerdas yang sering merepotkan saya, terdengar. “Bukankah Bapak sebagai penerjemah pun sering bingung menghadapi teks berbagai puisi Indonesia? Bapak pernah bercerita bahwa Bapak pernah bertanya langsung kepada seorang penyair senior Indonesia mengenai maksud sebuah larik atau kalimat yang tidak Bapak pahami. Lalu, begitu cerita Bapak, sang penyair melihat larik itu, lama merenung, kemudian bertanya kepada diri sendiri: ’Apa ya yang dulu kupikirkan?’”

“Ya Pak,” seorang mahasiswi menimpali, “saya ingat anekdot ini. Dan saat Bapak menyampaikannya kepada seorang penyair junior Indonesia, ia dengan keluguan yang menakjubkan mengaku bahwa ia pun kerap tidak ingat lagi apa yang dimaksud oleh kalimat tertentu dalam puisi-puisinya. Bukankah itu skandal, Pak?”

“Ah, itu manusiawi saja. Bagaimana orang sanggup ingat makna segala sesuatu yang pernah ditulisnya? Sebagian tentu sudah tenggelam dalam samudra masa nan silam, sirna-pudar tiada bersisa.” Wajah saya berseri, bangga oleh jawaban yang puitis itu, meski hati tak yakin arifkah sikap ini. Namun mahasiswa toh tak menggubrisnya. Mereka mencecar dengan pertanyaan lain.

“Pak, andai betul teks puisi Indonesia kerap susah dipahami, bahkan oleh penciptanya sendiri, mengapa hal itu tak pernah dipermasalahkan oleh kalangan sastra, khususnya kritikus sastra?”

“Untuk apa mereka mesti mengurus pengandaian mahasiswa Jerman?” saya menukas dengan dingin.

Mereka tidak terpengaruh. Bahkan suara yang saya kenal itu terdengar lagi: “Apa itu karena pembaca Indonesia, termasuk para kritikus, jarang bersedia mengadakan close­ reading, tak mau meneliti teks puisi secara mendalam, hingga tak menyadari jalan-tidaknya logika dalam teks yang mereka baca?”

Ini mulai kurang ajar, bisik hati saya. Saya menjawab, “Puisi sesuatu yang mesti dipahami dengan jiwa, mesti dirasakan bunyinya, iramanya, tentu juga kegelapannya.”

Desakan tidak berkurang. “Apakah puisi di Indonesia barangkali sesuatu yang ditulis dengan tujuan utama dideklamasikan, bahkan diteriakkan dengan penuh patos pada acara-acara meriah? Sesuatu yang suka didengarkan, bukan untuk dipahami, bukan untuk dibaca dengan sungguh-sungguh?”

“Begini,” saya berusaha untuk kembali memegang kendali, “kita patut menerima estetika berbeda, katakanlah estetika ketaksaan yang terdapat pada berbagai puisi Indonesia.”

“Andai ketaksaan disengaja oleh penyairnya, tentu kami terima, Pak! Dan satu hal kiranya perlu ditekankan berkaitan dengan ketaksaan itu. Menulis dalam bahasa yang sifatnya taksa mesti sangat hati-hati. Kalau tidak, akibatnya sudah bisa diduga.”

Kurang ajar, mereka mau menggurui orang. Saya hunus senjata pamungkas, yaitu nasihat: “Hindarilah kesombongan, janganlah tenggelam di lumbung orientalisme!”

Mereka terdiam, tapi cuma sebentar, lalu terkikik dan ngob­rol di antara mereka dengan bisingnya. Lonceng, sudilah berbunyi!

*) Berthold Damshauser, Kepala Program Studi Bahasa Indonesia Universitas Bonn, Pemimpin Redaksi Orientierungen, dan redaktur Jurnal Sajak
https://rubrikbahasa.wordpress.com/2012/11/18/bahasa-indonesia-dan-puisi/


Dan Fenomena Presiden Penyair Daerah sebagai Dagelan Populer?

$
0
0

Nurel Javissyarqi

Tentu kita tahu sebutan presiden penyair Indonesia tersemat dari-padanya Sutardji Calzoum Bachri. Kredonya yang fenomenal itu meluas mempengaruhi banyak penyair serta kritikus (… dengan kredonya yang terkenal itu, Sutardji memberikan suatu aksentuasi baru kepada daya cipta atau kreativitas, Ignas Kleden endosemen di buku Isyarat, lalu lihat buku Raja Mantra Presiden Penyair, 2007). Sehingga di puncak ketenarannya, SCB tidak segan-segan menyelewengkan ayat-ayat suci; Qs. Asy-Syu’ara, 224-227 (baca buku saya MTJK SCB, 2011). Sampailah, kita mendengar adanya presiden penyair Surabaya, presiden penyair Lampung, presiden penyair Cirebon dan sebangsanya. Dari sini terpancang jelas pengaruh Sutardji di belantika kepenyairan Tanah Air, atau dengan label presiden penyair memudahkan seseorang berbuat semaunya tanpa halangan berarti pun dari para kritikus; mereka tidak lagi obyektif mengkaji suatu karya, sebab tertutupi titel yang sudah terlanjur mentereng?

Dan saat penobatan dirinya sendiri kurang menguntungkan dalam perjalanannya sebagai sastrawan atau tidak memberikan angin segar sesuai harapannya, maka gelar yang sudah melekat ditanggalkan begitu saja sebagai kenang-kenangan atau masa lalu belaka. Seperti kisah baru saja saya ketahui pagi ini, saat hendak menyegarkan tulisan kembali, tiba-tiba menemukan artikel berjudul “Belajar dari Kisah Burung Botak” berikut kutipannya: Abdul Hadi Wiji Muthari, penyair yang pernah menobatkan dirinya sebagai wakil presiden penyair Indonesia itu, hanya tersenyum sejenak ketika diminta bercerita tentang kiprahnya sebagai penyair. “Ah, itu masa lalu saya yang tak perlu digembar-gemborkan lagi,” katanya merendah. (Dewi Sri Utami, Majalah Gatra, No: 41, 27 Agustus 2001). Lantas, apakah maknawi wewarna di atas dalam kaitannya dengan pribadi seorang penyair?

Penyair tulen merupakan sosok yang menyerap berbagai pengaruh, lalu mengolaborasikan dengan kualitas pribadinya atas pengelanaan sedari pencarian jati dirinya, lantas mengungkapkan kembali (berkarya) secara kreatif sekaligus mapan mempuni. Sekecilnya jika menjumput bahasa istilah Sutardji; melupa dan mengingat (Menulis adalah upaya untuk melupa dan mengingat, Pengantar Penulis buku Isyarat, SCB halaman ix). Ini semacam proses menghindari keterpengaruhan dari karya-karya lama, atau pada saat itu juga menghapusnya melalui kreativitas tersendiri dalam bentuk karya ‘yang bisa jadi lebih kokoh dari karya yang mempengaruhi?’ Itulah kedirian penyair, dinaya pada pergolakan hayatnya di kancah penerimaan pula penolakan (perlawanan)? Tapi alangkah sayang, keberhasilannya yang semu menumbuhkan tekat kelewat melunjak bertingkah ‘melupa dan mengingat’ dengan sangat ugal-ugalan menyulap “Kun Fayakun” dijelmakan (dirombaknya) membentuk kata-kata “Jadi, lantas jadilah!” dan “Jadi maka Jadilah!” ?

***

Berbeda dengan penyair agung, presiden penyair raja mantra palsu atau bahkan para epigon serta gerombolan pembebek, kerap kali mengungkapkan keterpengaruhannya dengan cara-cara serampangan dan mentah. Selama kreativitasnya sebatas menjiplak, sependek itulah greget karyanya; sekadar meniru tanpa berusaha mengolahnya lebih subur dengan kesabaran yang tangguh. Akibatnya, karya-karyanya mustahil menjadi karya menumental, sebab menempatkan dirinya di bawah bayang-bayang keagungan semu atau bersembunyi dalam ketiak plakat presiden penyair. Itu sekerdil-kerdilnya jiwa penyair; puas dengan julukannya, berbangga atas kekeliruannya, atau mereka sudah pada amnesia?

Dalam konteks kultural, kekerdilan tersebut representasi dari sosok pecundang yang nyaman oleh kelebatan bayangan yang diciptakannya sendiri. Dan munculnya presiden penyair daerah menguatkan cita-cita luhur-nya (pun mereka); meski tidak mampu menggapainya tetap gembira dengan embel-embel lokalitas yang menyertai yakni kata presiden penyair. Mereka berbahagia sebagai epigon, dan bukan pelopor walaupun sama kentir juga. Lalu yang merasa sebagai pelopor kian riang girang terkekeh, sehingga hasilnya tidak terbendung menyerupai bentuk-bentuk kesurupan pun jadi, lantaran menurutnya seorang penyair tidak harus bertanggungjawab pada karya-karyanya, maka lahirlah sulapan kelas pertama dalam perpuisian di Indonesia.

Ternyata dunia sastra Indonesia tidak lepas dari perihal lelucon. Ketika dilihatnya ada yang ‘sukses’ memakai umbul-umbul tertentu, lainnya ikut-ikutan, padahal nenek moyang kita pernah memberikan wejangan; ‘usaha bisa dicontoh, namun nasib tidaklah dapat’ atau semakin sial saja. Jika pencontekan tersebut terus berhembus kencang dalam wilayah intelektual kepenyairan di bumi pertiwi, cocoknya para pembebek dinamakan gerobak kosong yang bobrok. Lebih menggelikan lagi, mereka mengunyah betul kenyamanan hidup di bawah bayang-bayang. Padahal baju yang dipakainya tidak lain adalah kepecundangan, sebab yang ikut grubyuk mengklaim dirinya presiden penyair pun tidak melakukan pemberontakan, mungkin takut gagal seperti pendahulunya. Itu ekspresi mental kerdil yang cepat puas dengan menghirup nafas hidupnya dalam ruang seolah-olah. Saya kira itulah rupa-rupa pelepasan dari kepuasan konyol (putus-asa), karena para pecundang tidak mungkin melebihi pioner, apalagi hanya pioner-pioneran.

Seorang penyair seharusnya memiliki semangat membaja, membara senantiasa atau ketidakpuasan menjadikan bara api perjuangan yang selalu menyala. Ketika puas sedikit saja, mentalitas jiwanya dalam berkarya pastilah tergerus dan hilang amblas ditelan bumi dinaya kreativitasnya. Lebih tepat pamornya tidak sesegar (segarang) sedia kala, dikarena keterlenaan merasa sebagai ‘orang yang telah menjadi.’ Adalah niscaya presiden penyair bayangan, tidak mungkin berani memberontak kepada presiden penyair lainnya, sebab sama-sama anggota kelompok pelawak, namun tidak mungkin setenar Srimulat.

Kalau balada ayam sayur yang kumprung ini diteruskan jadi tradisi, tentu menyusul adanya wakil presiden penyair (lainnya), atau penggantian presiden penyair, tersebab masanya sudah habis dan seterusnya. Padahal wujud ini merupakan kamuflase sedari model birokrasi, sekadar gagah-gagahan ingin disebut penyair. Untuk menghentikan budaya yang tidak mendidik mentalitas berbangsa serta berbahasa (bersastra), kita seharusnya bersatupadu bikin paduan suara atau beramai-ramai tertawa. Saya rasa perasaan sungkan bisa menghentikan lelucon yang tidak mendidik tersebut, guna langkah mereka berbalik tidak menerima baju kebesaran semu. Lewat berkarya terus demi membuktian dirinya bisa hadir cemerlang, tanpa embel-embel pangkat presiden penyair daerah misalnya.

Saya raba-raba jika mengaku-ngaku saja, yang tidak tahu-menahu dunia tulis-menulis bisa menyebut dirinya Superman. Dan untuk mengaku presiden penyair daerah lebih gampang, daripada mengatakan dirinya Satria Baja Hitam ataupun Si Buta dari gua hantu. Itulah tubuh mentalitas yang bobrok, korengan sudah sangat parah yang harus diamputasi sebelum menjalar ke organ lainnya; ke jantung pengetahuan bersastra dan berbudaya di bumi Nusantara. Sungguh, bayangan kefrustrasian begitu kelam menguntit jasad-jasad rapuh mereka, serupa kayu arang melempem tersiram air hujan, tanpa hadirnya bara api dalam kelam. Seperti watak pembungkusan dari keterpengaruhan lugu, atau seorang anak kecil tersedot cerita Superhero berlarut-larut, lalu memakai baju impiannya, jadilah Super-ho-ho.

Manakala sikap kepenyairan diibaratkan sesosok kenabian, para epigon tidak bisa mengelak ketika dikutuk menjadi bebek yang keok-keok terperdaya ukuran profan, maka celakalah yang mengikuti pandangan sempit serta keblinger dari mereka. Apa gunanya yang dipetik dari pemilik jengger lebar, tidak lain keterbelengguan jiwa-jiwa yang membosankan. Saya bayangkan mereka berkarya, tidak berangkat dari kedirian murni paling dalam; dirinya memakai baju birokrat kepenyairan, lalu berusaha menulis sajak. Itulah awal penipuan yang bermula dari peniruan, sikap turunan yang tidak patut dijadikan teladan, atas apa pun yang terpantul darinya.

Jiwa-jiwa terbelenggu tidak mampu membebaskan dirinya sebagaimana kepompong menjelma kekupu, tidak sanggup menformulasikan pribadinya mengepakkan sayap-sayap pencerahan. Andai terlintas cahaya, hanya kerlap-kerlip lampu pesta tengah malam atau nafas-nafasnya kembang-kempis dirangsek sesuatu yang tidak membahagiakan (memerdekakan). Mending kunang-kunang tidak menganggap dirinya lintang, mendingan gemintang tidak mengaku sebagai rembulan. Jangan-jangan mereka tak bisa membedakan malam-siang, yang bukan bermakna peristiwa terbebasnya dari ruang-waktu, tapi ketololan menyukai satu keadaan yakni dekaden.

Tidakkah tindak mengamini itu cerminan dari pembonsaian diri? Tumbuh-tumbuhan begitu menarik diprekes jadi bonsai, tetapi sangat dagelan jika yang tertanam dalam ruh bernama watak. Pengerdilan ke-aku-an sama persis bunuh diri perlahan-lahan. Andai disuru meloncat dari ketinggian gedung kemandirian, tentunya tidak berani. Jiwa-jiwa nyaman di kamar sempit akan grogi keluar kandang, jika tidak menyelimuti tubuhnya atas mantel tebal atau jas hujan. Saya sebut orang-orang penakut menunggu redanya hujan, seperti menanti-nanti datangnya petir saat hendak berlari dalam lebatnya kegelapan malam.

Kepribadian yang takut gelap, tidak mungkin menghadirkan cahaya. Andai bertarung tentu beraninya main kroyokan, atau tidak mungkin jiwanya jadi pembalap dalam lintasan sirkuit pancaroba, mereka jera disuruh berjalan paling depan, sebab hayatnya telah membonsai. Fenomena ini boleh saja, namun bagi pemilik jiwa muda haruslah waspada terhadap mental-mental kepecundangan. Mental jago kandang, teriak lawan namun lempar batu sembunyi tangan, ini solokoto bin kumprung. Maka meskipun berdarah-darah, tidaklah realis di dalam menerjuni kehidupan yang lapang melintang secahaya kemanusiaan.

Hidup di awang-awang tiada kepastian turunnya hujan semisal awan keraguan, andai melangit tidak mampu, sebab kalbunya telah tercukupi bentuk-bentuk kepuasan. Atau hatinya tercerabut dari akar keyakinan, karena tidak menyunggui dirinya sebagai sosok pemampu memikul beban. Padahal salah satu ‘syarat kenabian’ di dunia kepenyairan ialah membelot, memberontak, mengkudeta hal-hal lapuk jahiliah yang tampak di depan mata yang mengungkungi anak jamannya. Maka sikap pembodohan (pengkerdilan) diri, bisa (secara) otomatis berimbas kepada masyarakat, karena kedunguan sama pengertiannya dengan penipuan, dan golongan tertipu persis kaum merugi di kancah jual beli nilai pengetahuan, atau dalam pertukarkan kasih damai kemerdekaan.

Jika ‘kerugian’ demi menyokong jalannya hikayat kebudayaan sebagai wujud peribadatan, tidaklah masalah, tetapi jikalau kebangkrutan berakar dari ketololan, maka sangat kumprung. Kalau diniatkan sekadar dagelan, mungkin berguna untuk mengendorkan urat-urat syaraf bagi yang sungguh-sungguh, sebab dalam kehidupan pun ada namanya banyolan. Namun bentuk mencontek tetaplah kegagalan, dan para presiden penyair gadungan adalah sosok-sosok pecundang, mengkarbit dirinya agar dikiranya matang. Sekali lagi berhati-hatilah memakan buah yang tidak masak dari tangkainya, bisa-bisa sakit perut berimbas keracunan. Atau jangan-jangan sebentar lagi terbit antologi puisi para presiden penyair serta wakil-wakilnya di Indonesia? Maka persiapkan tertawa…

Jakarta-Yogyakarta-Lamongan 18 November 2008 / 21 Agustus 2017.
http://pustakapujangga.com/2017/08/dan-fenomena-presiden-penyair-daerah-sebagai-dagelan-populer/

Penerjemah

$
0
0

Anton Kurnia *
Majalah Tempo, 17 Nov 2014

Dalam penutup tulisannya, “Terjemahan” (Tempo, 11-17 Agustus 2014), Goenawan Mohamad mengutip Sapardi Djoko Damono: “Tak ada penerjemahan yang salah; yang ada adalah karya (yang disebut ’terjemahan’) yang berhasil atau yang gagal menyentuh kita.”

Kerja penerjemahan memang bukan soal mudah. Menerjemahkan adalah pekerjaan serius yang menuntut kerja keras dan mengandung tanggung jawab berat, yakni kewajiban menepati makna teks asal dan keniscayaan agar teks hasil terjemahan terbaca dengan jelas dalam bahasa sasaran, sekaligus terjaga nuansanya—terutama pada teks sastra.

Maka sesungguhnya kerja seorang penerjemah adalah sebuah upaya luar biasa untuk mencapai kesempurnaan yang nyaris musykil: terbaca maknanya, indah nuansanya, serta sedapat-dapatnya setia pada teks ciptaan sang penulis—seraya berupaya menafsir dengan setepat-tepatnya.

“A translator is a traitor,” ujar sebuah adagium terkenal. Dalam konteks tertentu, pernyataan itu ada benarnya. Apa yang dilakukan Chairil Anwar sebagai penerjemah terhadap teks puisi Huesca karya John Conford dalam tulisan Goenawan di atas adalah contoh pengkhianatan yang indah.

Sejauh pengalaman saya yang tak terlalu panjang sebagai penerjemah—jika dibandingkan dengan “jam terbang” para penerjemah ulung, seperti Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, dan Ali Audah—sesungguhnya pengkhianatan penerjemah itu adalah keterpaksaan; semacam jalan keluar darurat kala jalan lain tak lagi terbuka.

Maka, sebenarnya, penerjemah adalah serupa kekasih yang ingin selalu setia walau pada ujungnya tak selalu bisa.

Persoalan klasik bagi penerjemah memang tak jauh dari soal itu, yakni keinginan bersetia di tengah kenyataan bahwa tak setiap kata bisa diterjemahkan secara akurat (dan selalu ada godaan untuk menyeleweng demi “estetika”) serta tantangan untuk rela bersusah-payah dalam segenap prosesnya demi mencapai hasil terbaik (walau itu tak selalu bisa dicapai dan acap tak dihargai).

Kita ambil contoh pengakuan Natasha Wimmer, penerjemah ulung dari bahasa Spanyol ke bahasa Inggris yang terutama dikenal lewat terjemahannya atas novel-novel Roberto Bolano (1953-2003), seperti The Savage Detectives dan 2666 (yang setebal bantal dan belum tuntas saya lahap). Sebelumnya, Wimmer menerjemahkan novel-novel Mario Vargas Llosa.

Dalam wawancara yang dimuat di situs Newsweek akhir Agustus lalu, Natasha Wimmer mengungkapkan betapa dia bergulat dengan proses berliku dan harus bersusah-payah dalam menerjemahkan The Savage Detectives yang berlatar Kota Meksiko tahun 1970-an. Dalam novel itu dikisahkan para penyair muda yang dibutakan oleh cinta pada kata mencuri buku-buku dan berdiskusi berbusa-busa tentang sastra di berbagai kafe dan restoran murahan di tengah kota.

Wimmer bekerja keras mencapai hasil sempurna, berupaya setia terhadap makna teks asal, sekaligus menyerap nuansa novel yang dia terjemahkan. Dia sengaja pindah ke Kota Meksiko hanya untuk menerjemahkan novel itu (sebetulnya dia punya apartemen nyaman di New York) dan menyewa sebuah tempat di dekat salah satu kafe favorit si tokoh protagonis. Dia juga bergaul dengan anak-anak muda kota itu untuk dapat memahami rasa bahasa dan slang mereka, serta berdiskusi dengan para mahasiswa penggemar mendiang Bolano. Saat telah mengerjakan tiga perempat novel itu, dia memutuskan mengulanginya dari awal karena tidak puas. Dia merasa kalimat-kalimatnya kurang mencerminkan “rasa bahasa Bolano”. Dalam waktu satu setengah tahun, dia bergulat menyelesaikan terjemahan novel itu hingga mencapai taraf “selesai”.

“Secara umum, menangkap irama kata-kata ke dalam bahasa yang baru (bahasa sasaran) adalah yang paling sulit dilakukan, padahal itulah yang paling penting. Kita tak akan bisa terbius oleh sebuah novel, kecuali kita terhanyut dalam aliran bahasanya,” ujar Natasha Wimmer.

Atau, mengutip kata-kata Orhan Pamuk tentang terjemahan, “Terjemahan yang baik tak hanya berhasil mengantarkan kesamaan makna, tapi juga bisa mengikuti irama kata-katanya dengan tepat.”

Namun rupanya kerja keras Wimmer terbayar. Pujian mengalir saat hasil terjemahannya terbit pada 2007. “Rasa nikmat para pembaca edisi terjemahan bahasa Inggris berutang pada bakat sang penerjemah, Natasha Wimmer, yang berulang-ulang berhasil menemukan solusi untuk menerjemahkan kalimat-kalimat dalam novel ini yang penuh slang dan ungkapan bahasa percakapan,” demikian resensi New York Times atas The Savage Detectives.

Buat saya, membaca novel terjemahan Wimmer ini terasa lebih nikmat ketimbang membaca cerpen-cerpen Bolano yang diterjemahkan Chris Andrews dalam The Return (2012). Padahal Andrews, yang ahli sastra, selama ini dianggap sebagai pakar Bolano dan telah menerjemahkan puluhan karyanya. Andrews bahkan baru menerbitkan buku telaah tentang sang pengarang Cile yang semakin termasyhur justru setelah mati, Roberto Bolano’s Fiction: An Expanding Universe (2014).

Walau tak berlatar akademis sekental Chris Andrews, Natasha Wimmer memiliki kelebihan—meminjam istilah Sapardi Djoko Damono—karena terjemahannya berhasil “menyentuh kita”.

Saya yakin itu bisa terjadi lantaran dia seorang penerjemah yang mau bersusah-payah menghanyutkan diri ke dalam semesta teks dengan segala konsekuensinya dan berupaya keras “menangkap irama kata-kata” demi mencapai hasil ter­baik.

*) Penulis dan penerjemah karya sastra
https://rubrikbahasa.wordpress.com/2014/11/17/penerjemah/

Taman Budaya Gerson Poyk

$
0
0

Yohanes Sehandi *
Pos Kupang (Kupang), 8 Mar 2017

Salah satu bentuk penghargaan dan rasa hormat Pemprov NTT terhadap sastrawan dan jurnalis senior Indonesia kelahiran NTT, Gerson Poyk, adalah dengan mengubah nama Taman Budaya NTT yang sudah ada, menjadi Taman Budaya Gerson Poyk. Pemberian nama itu, kata Gubernur NTT, Frans Lebu Raya, agar nama almarhum dikenang generasi ke generasi NTT bahwa Gerson Poyk adalah tokoh sastra Indonesia (Pos Kupang, 26/2/2017).

Sejak Gerson Poyk meninggal dunia di RS Hermina, Depok, Jawa Barat, pada Jumat (24/2/2017), beredar luas sebuah petisi yang sampai dengan Sabtu (25/2/2017) ditandatangani sekitar 200 tokoh NTT dari berbagai elemen masyarakat. Petisi berisi dua tuntutan menonjol, yakni (1) Gerson Poyk harus dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Dharmaloka, Kupang, (2) Pemprov NTT harus mendirikan Perpustakaan Gerson Poyk di Kupang.

Tuntutan yang pertama tidak terpenuhi saat ini oleh Pemprov NTT karena prosedur dan persyaratannya tidak sederhana. Yang bisa dilakukan Pemprov NTT adalah dengan memberi nama Taman Budaya Gerson Poyk. Sedangkan tuntutan kedua, yakni membangun Perpustakaan Gerson Poyk di Kupang, sampai kini belum mendapat jawaban Pemprov NTT.

Taman Budaya yang Hidup

Kita berterima kasih kepada Pemprov NTT yang telah memberi penghargaan dalam bentuk nama Taman Budaya Gerson Poyk setelah beliau meninggal dunia. Ini sebuah kemajuan cara pandang yang patut diapresiasi, meskipun terlambat. Sepanjang hidupnya, artinya sebelum Gerson Poyk meninggal dunia, belum pernah mendapat penghargaan apapun dari Pemerintah Daerah, baik dari Pemprov NTT maupun dari Pemkab/Pemkot di NTT.

Sikap Pemerintah Daerah di NTT itu disayangkan Fanny Jonathan Poyk, anak sulung Gerson Poyk yang selalu mendampingi beliau selama hidupnya (Pos Kupang, 27/2/2017). Fanny Jonathan tentu merasakan betul kesulitan biaya hidup dan biaya sakit ayahnya selama ini, akibat prinsip hidup Gerson Poyk yang teguh: menolak tunduk didikte oleh paham materialisme dan bekerja demi kemanusiaan. Kehidupan keluarga jadinya memang melarat.

Ya, mau bagaimana lagi. Meskipun terlambat, yang penting sudah ada perubahan cara pandang Pemprov NTT yang patut diapresiasi. Orang-orang NTT kini sudah tahu bahwa ada Taman Budaya Gerson Poyk. Yang kini harus dipikirkan bersama oleh berbagai elemen masyarakat NTT, terutama Pemprov NTT yang bertanggung jawab atas pengelolaan Taman Budaya Gerson Poyk ini, adalah bagaimana strategi pengelolaan yang dilakukan agar ke depan Taman Budaya Gerson Poyk ini hidup, bergairah, dan kreatif, tidak sebaliknya menjadi Taman Budaya Gerson Poyk yang mati atau setengah mati atau hidup enggan mati tak mau. Pola pengelolaan Taman Budaya NTT sebelumnya yang kurang kreatif, kini harus dirombak.

Gubernur Frans Lebu Raya perlu menempatkan seorang figur kuat yang cocok untuk memimpin UPT Taman Budaya Gerson Poyk. Pilihlah tokoh yang memiliki tingkat kecerdasan khusus, mempunyai semangat hidup, bergairah, kreatif, mau berkorban, tidak materialistik seperti sikap hidup Gerson Poyk, demi kemajuan peradaban di provinsi ini. Figur itu harus mampu menciptakan event-event (momen-momen) kegiatan seni sastra dan budaya yang menggairahkan generasi muda NTT.

Yang tidak kalah pentingnya adalah Pemprov NTT jangan menyamakan UPT Taman Budaya Gerson Poyk ini seperti UPT-UPT yang lain yang menjadi sumber pendapatan asli daerah (PAD). Lembaga kebudayaan dan lembaga agama (juga lembaga pendidikan) bukanlah sumber uang untuk PAD. Dana harus disiapkan dalam APBD Provinsi NTT atau dana dekonsentrasi. Lembaga-lembaga benteng penjaga nilai dan moral ini memiliki tugas khusus untuk memberi roh atau semangat hidup, menanamkan nilai-nlai kemanusiaan, membangun moral peradaban, dengan cara-cara yang etis, estetis, dan kreatif.

Syair lagu kebangsaan Indonesia Raya, “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya,” adalah syair lagu dengan pendasaran filosofis kuat membangun peradaban bangsa Indonesia agar menjadi bangsa yang beradab, dimulai dengan membangun jiwanya (pikiran, perasaan, dan kehendak) anak-anak bangsa, baru kemudian membangun badannya (sandang, pangan, papan, dan kebutuhan jasmani yang lain).

Lembaga kebudayaan dan lembaga agama (juga lembaga pendidikan) bertugas membangun jiwa anak bangsa, jangan dibebani mencari uang untuk PAD. Kalau lembaga kebudayaan dibebani mencari uang, yang dikembangkannya adalah produk budaya picisan, murahan, dan rongsokan, bukan produk budaya adiluhung bernilai tinggi. Demikianpun lembaga agama, kalau dibebani mencari uang, lembaga ini akan menjadi pedagang agama, ayat-ayat kitab suci diperdagangkan untuk mendapatkan uang. Kasus Pilkada DKI Jakarta adalah sebuah contoh, bagaimana agama diperdagangkan sesuai order untuk kepentingan mendapatkan uang oknum-oknum tertentu.

Pusat Dokumentasi Sastra NTT

Di dalam Taman Budaya Gerson Poyk perlu dibangun Pusat Dokumentasi Sastra NTT. Di sinilah semua karya sastra dan karya jurnalistik Gerson Poyk dipajang dan didokumentasikan untuk dipelajari berbagai kalangan. Dalam data dan koleksi pribadi saya, karya sastra Gerson Poyk yang sudah diterbitkan dalam bentuk buku minimal 29 judul buku, dengan perincian 13 judul buku novel, 14 judul buku kumpulan cerpen, satu judul buku kumpulan puisi, dan satu judul buku karya jurnalistik bergaya sastra. Sedangkan karya sastra Gerson Poyk yang belum dibukukan, berupa cerpen, puisi, naskah drama, esai sastra, kritik sastra, dan ulasan sastra, jumlahnya bisa mencapai ribuan judul, tersebar di puluhan bahkan ratusan media cetak di Indonesia. Beliau sendiri menyebut jumlahnya sekitar 2-3 karung.

Di gedung Pusat Dokumentasi Sastra NTT ini pula, karya-karya para sastrawan NTT atau karya-karya sastra tentang NTT dipajangkan dan didokumentasikan untuk dipelajari berbagai kalangan. Dalam data dan koleksi pribadi saya, sampai dengan pertengahan tahun 2016 lalu, para sastrawan NTT yang tersebar di NTT dan di luar NTT, minimal telah menerbitkan 157 judul buku sastra. Adapun perinciannya, 64 judul buku novel, 41 judul buku kumpulan cerpen, dan 52 judul buku kumpulan puisi. Di gedung ini pula orang-orang NTT atau luar NTT atau luar negeri dapat melakukan studi atau kajian terhadap karya-karya Gerson Poyk dan karya-karya para sastrawan NTT yang kini jumlahnya lebih dari 40 orang.

Upaya melakukan pendataan dan dokumentasikan karya-karya sastra NTT mendesak untuk dilakukan agar puluhan atau ratusan tahun ke depan, anak-anak NTT tidak perlu mencarinya di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin di Jakarta atau harus terbang ke Leiden, Belanda, untuk mempelajari karya-karya Gerson Poyk dan karya-karya para sastrawan NTT yang lain. Kalau hal itu sampai terjadi, yang dinilai gagal adalah generasi NTT yang ada sekarang. Hal itu tentu dapat dicegah dari sekarang ini. Oleh siapa? Oleh para pejabat kita yang bekerja di Provinsi NTT sekarang ini. Kepada mereka kita menaruh harapan besar. *

*) Pengamat Sastra NTT dari Universitas Flores, Ende
http://yohanessehandi.blogspot.co.id/2017/03/taman-budaya-gerson-poyk.html

Apa yang Kau Cari, Sastrawan?

$
0
0

Fakhrunnas MA Jabbar
http://www.riaupos.co

SUDAH tak terhitung berapa banyak acara pertemuan sastra di negeri ini. Hampir setiap bulan, ada saja kegiatan semacam itu digelar dan diprakarsai oleh institusi atau komunitas baik dari kalangan pemerintah maupun swasta –terutama kelompok sastra- di berbagai belahan kota dan kampung di Indonesia. Nama acara dan ruang lingkup peserta boleh saja berbeda-beda. Tapi banyak pula di antara acara tersebut bermiripan terkait tema, motif dan batasan sastrawan yang boleh ikut.

Setidaknya terdapat puluhan perhelatan sastra yang digelar pada tahun-tahun terakhir. Di antara pertemuan sastra itu ada yang terus berkelanjutan dan ada pula yang berlangsung hanya sekali. Sekadar mencatat, di antaranya: Jakarta International Literary Festival (Jilfest), Dialog Borneo, Puisi Negeri Poci (kini sudah yang ke-4 dimotori oleh Adri Darmaji dkk), Pertemuan Pengarang Indonesia (PPI- dimotori oeh Radhar Panca Dhana), Puisi Melawan Korupsi (PMK- Sosiawan Leak), Hari Puisi Indonesia –Rida K. Liamsi dan Sutardji Calzoum Bachri), Hari Sastra Indonesia – (Taufiq Ismail) , Temu Sastra Indonesia (TSI), The Ubud Writer Festival, Bobobudur Writer Festival, MPU 10 kota, dan masih banyak lagi.

Belum lagi, acara pertemuan sastra yang dilaksanakan komunitas-komunitas seperti Komunitas Sastra Indonesia (KSI), Utan Kayu, Syalihara, Forum Lingkar Pena, Taman Budaya, Badan Koordinasi Kesenian Indonesia (BKKI), Dewan Kesenian se Indonesia (dominan digelar oleh DKJ Jakarta).

Di masa lalu, bukannya tidak ada kegiatan-kegiatan sastra semacam itu. Bahkan banyak pula di antaranya yang hingga kini dikenang sebagai sejarah atau mitos seperti Baca Puisi 7 Kota (DKJ), Pertemuan Puisi Indonesia 1987, Sidang Sastra Indonesia’81, Cakrawala Sastra Indonesia, Penyair Mimbar Abad 21, Siswa Bertanya dan Sastrawa Bicara (SBSB. Namun, keberlanjutan kegiatan tersebut nyaris tak terdengar lagi sampai kini.

Ada kecenderungan, kajian-kajian mengenai tema aktual dalam kreativitas dan fenomena kesusastraan pada masa itu terasa lebih menonjol. Inilah yang kemudian mencuat ke permukaan dalam sastra Indonesia berupa isu sufisme, nilai-nilai lokalitas atau subkultur, eksperimentasi, mantra, post-modernisme dan masih banyak lagi. Sementara perhelatan sastra era masa kini lebih bergerak pada dampak perkembangan teknologi digital terhadap wujud dan tema karya sastra.

Sementara, aktivitas sastra masa kini terkait langsung dengan perkembangan teknologi komunikasi di era digital yang menyuburkan banyak media berkomunikas dan berkreasi sastra berupa e-sastra (cyber sastra), e-magazine, website dan blog dan tak kalah pentingnya peran media sosial seperti Blakcberry, Facebook, Twiter, Youtube, Skype dan sejenisnya. Realitas ini sangat mempermudah akses dan komunikasi di kalangan para sastrawan yang bermastautin dari pusat kota hingga pelosok kampung baik di tanah air maupun di tanah perantauan. Lihat saja kemunculan sastra eksil –para sastrawan Indonesia yang menetap bahkan sudah jadi warga negara lain karena alasan ideologi dan politik.

Selain itu, ada pula iven sastra yang melibatkan sejumlah negara serumpun cukup marak digelar dengan berpindah-pindah kota di negara masing-masing seperti MABIM, Mastera, Dialog Teluk Borneo, dan NUMERA (Nusantara Melayu Raya), Pertemuan Sastrawan Nusantara (PSN- kini sudah kali yang ke-17), Pertemuan Penyair Nusantara (PPN-kini yang ke-6), Dialog Borneo (Kalimantan, Brunei, Malaysia), Dialog Utara (Indonesia, Thailand, Malaysia), dan Dialog Selatan (Riau, Malaysia, Singapura), Selain itu, di negeri jiran sendiri sejak dulu bermunculan pula tradisi hampir sama seperti Hari Puisi, Hari Sastra dan lain-lain yang ditaja oleh Dewan Sastra, Gapena, Pena dan organisasi sastra di hampir semua negara bagian.

Ada fenomena menarik dalam perhelatan-perhelatan sastra masa kini bila dibanding masa lalu. Para sastrawan yang terlibat terlihat sangat beragam baik dari sisi media ekspresi yang bersifat konvergen (media cetak, elektronik dan cyber), tak membedakan usia (generasi lama, generasi baru), kemapanan dan pretasi berkarya (senior-yunior) atau sengkarut kriteria lain yang menjadi tembok pengkotakan kalangan sastrawan sendiri. Helat sastra semacam itu memang selalu dilandasi asas kreativitas dan karya. Namun selebihnya direkat oleh kerinduan bernostalgia dan silaturahim yang sudah lama terputus. Semua event sastra itu benar-benar jadi ‘rumah rindu’ para sastrawan.

Bila dicermati, para sastrawan yang hadir dalam pertemuan sastra itu memperlihatkan keragaman yang terjadi secara alamiah. Ada sastrawan-sastrawan generasi lama yang pernah punya nama besar melalui karya-karya yang dihasilkan selama karir sastranya. Namun tak sedikit pula sastrawan generasi muda yang tampil dengan keunikan dan egoisme atas karya-karya yang dihasilkan dalam memperkaya khasanah sastra Indonesia. Situasi ini benar-benar menghadapkan gara konvensional dengan gaya kontemporer yang kadangkala terkesan saling bertolak belakang. Bak lirik lagu Ari Wibowo dulu: …kau suka keju, kusuka singkong…

Namun, ada hal yang sangat dipujikan atas kehadiran para sastrawan itu –baik generasi lama atau baru. Mereka hadir dengan mengerahkan segala daya dan upaya secara mandiri terutama biaya transportasi. Bahkan di acara pertemuan sastra itu, sering pula mereka hanya menjadi “penggembira” karena tak mendapat peran apa-apa seoama kegiatan berlangsung. Artinya, tak ada pula honorarium yang bakal diterima sebagai penambah uang saku. Luar biasa, militansi para sastrawan dalam mengibarkan bendera kesusastraan agar tetap eksis dan dicintai di tanah airnya sendiri.

Pertanyaan yang muncul kemudian, sesungguhnya apa yang dicari para sastrawan saat menghadiri kegiatan pertemuan sastra itu? Tampaknya luahan hati untuk bernostalgia sambil mengenang masa-masa jaya berkarya di masa lalu kala bertemu temman-teman seangkatan, cukuplah jadi buaian kegairahan. Boleh jadi, pertemuam-pertemuan sastra di mana-mana menjadi ‘rumah rindu’ para sastrawan. Selalu ada dorongan untuk bisa hadir dan bersiaturahim agar sejarah sastra yang pernah diukir tak mudah terhapus oleh perubahan masa.***

*) Fakhrunnas MA Jabbar, adalah sastrawan, tinggal di Pekanbaru.
http://www.riaupos.co/3007-spesial-apa-yang-kau-cari,-sastrawan.html

Sastra Indonesia: “Krisis”

$
0
0

Alunk Estohank *
http://www.riaupos.co

Apa yang dikhawatirkan A.S Dharta dalam pidatonya pada simposium Fakultas Sastra, Jakarta, Januari 1956 tentang krisis yang melanda bangsa ini memang benar-benar terjadi pada saat ini. A.S Dharta mengatakan bahwa bangsa ini tengah mengalami krisis, baik itu krisis kepeminpinan, krisis ekonomi, krisis kemanusiaan, krisis ini, itu dan sebagainya. Bahkan juga tentang kesusastraan ada yang mengatakan tengah mengalami krisis.

Memang krisis dalam dunia sastra dewasa ini seringkali kita dengar, baik itu krisis penulis, krisis kritikus dan krisis kualitas. Semua itu tidak dapat kita pungkiri, krisis kesusastraan yang tengah melanda negeri ini memang tak lepas dari pengaruh perkembangan sastra itu sendiri. Di mana karya sastra berkembang dengan begitu pesatnya, sehingga karya sastra bukan lagi sabagai karya yang fenomental namun lebih kepada pasar, uang dan popularitas belaka. Apabila membincangkan popularitas maka yang terbentang adalah hamparan orientsi keuntungan dan indikasi kepentingan.

Perbincangan krisis ini biasanya berbarengan dengan apa yang kita kenal sebagai “kesadaran sejarah”. Di mana sejarah kesusastraan kita memang mempunyai sejarah yang bagus, dulu kita mengenal Pramoedya Ananta Toer yang fenomenal dengan tetraloginya, ada HB Jassin yang merelakan seluruh hidupnya hanya untuk sastra. Sekarang apa yang mesti kita kenang dari sastra Indonesia selain sebagai “krisis”.

Baiklah kita tinggalkan sejenak tentang “krisis” kesusastraan bangsa ini, marilah kita beranjak pada apa itu ‘kesadaran sejarah’. kesadaran sejarah dalam hal ini adalah bagaimana kita mengingat dan mempertautkan dengan masa sekarang, bahwa sebenarnya kita mempunyai sejarah yang bagus di ranah kesusastraan. Namun kemudian saya teringat perkataan Nirwan Dewanto: masih perlukah sejarah sastra? Pernyataan yang begitu ngeri menghantam ingatan saya. Sastra memang memiliki sejarah yang baik, sejarah nasionalisme, sejarah perjuangan, sejarah menemukan jatidiri dan sejarah-sejarah lainnya, baik semenjak balai pustaka atau sebelumnya hingga lahirlah angkatan demi angkatan, bukankah itu sejarah baik dari kesusastraan Indonesia?

Iya, itu sejarah baik. Dan sejarah itu pada pentas mutakhir ini sudah mulai mengkhawatirkan. Kekhwatiran-kekhawatiran itu muncul dari sikap tersendiri sastrawan mutakhir menyikapi kesusastraan itu sendiri. Sepertinya para sastrawan kita sudah mulai mengalihkan jalur murni sastra ke jalur diam-diam bisnis. Jembatan sastra ke jalur bisnis sudah mulai nampak saat percepatan akses dan teknolgi berkembang massif dan tak terkontrol. Kemajuan di bidang inilah kemudian oleh pihak tertentu di manfaatkan sebagai kecelakaan bertindak.

Tak jarang kita saksikan setiap tahunnya berapa buku yang terbit, berapa puisi yang terantologi, berapa karya sastra yang dibaca, tapi adakah yang berkesan untuk kita kenang? Kalau Nirwan Dewanto mengatakan: saya mengenang buku sastra yang terbit karena menghargai tanah kelahiran saya. Sebenarnya secara tidak langsung Nirwan ingin mengatakan tak ada yang patut dikenang untuk terbitan buku kesusastraan mutakhir kita.

Kesusastraan mutakhir saya kira memiliki orientasi aktual, tentunya orientasi orang-orang bermodal. Yaitu sistem kapitalisme dalam kesusastraan yang kini bukan omong belaka dan tulisan esai di media, tapi sudah benar nyata. Sekarang boleh kita simak realitasnya, penerbit buku sudah ada di mana-mana dan berlomba-lomba menerbitkan buku meskipun tidak bermutu.

Kemudian kenapa ada pernyataan “Negeri ini krisis kritikus sastra”. Alasannya saya kira cukup sederhana, karena tak ada karya sastra yang pantas kita baca dan dibicarakan. Karya sastra sekarang begitu mentah, tak ada dorongan magic atau setimulasi untuk menggelisahkan pembaca.

Lain perkara lagi jika kita sanding bandingkan karya sastra sekarang dengan zaman dulu: zaman Chairil Anwar, Rendra, Wiji Thukul yang memiliki suntikan besar terhadap perkembangan dan semangat bangsa.

Maka tak pelak lagi kalau sastra modern menjadi biang keladi atas segala “krisis” dalam dunia kesusastraan. Sastra modern didaulat telah mencemarkan nama baik kesusastraan dan mengubah paham yang ada dalam dunia sastra yang awalnya mempunyai spirit kebangsaan dan kemanusiaan menjadi hiburan tanpa isi. Hal ini menjadi racun paling ganas dalam dunia kesusastraan, di mana anak-anak muda saat ini hanya memiliki paham kalau sastra hanya berkisar pada persoalan cinta dan tetek bengik hiburan saja.

Di sinilah kita menemukan titik terang tentang apa yang kita sebut sebagai “krisis”. Oleh karena itu mari kita renungkan kembali meski sejenak: untuk apa karya sastra jika tidak memiliki pengaruh terhadap masyarakat luas? Setidaknya ada alasan yang lebih rasional selain melulu popularitas. Dititik ini, membaca teks sastra tidak hanya sebatas menikmati, tapi juga menyingkap makna tersembunyi hingga dapat dimengerti, dihayati, diinterpretasi sebagaimana juga ungkap Damhuri Muhammad.

Maka sebagai pembaca karya sastra saya tetap menempatkan diri sebagai penikmat, bukan kritikus dan bukan pula sastrawan. Barangkali saya salah dan mungkin juga benar berharap banyak tentang kesusastraan negeri ini, tidak sekedar mengejar uang dan popularisasi saja. Setidaknya harapan itu adalah keseriusan pihak tertentu dalam melihat perkembangan kesusastraan saat ini yang tengah mengalami “krisis”. ***

*) Alunk Estohank, esais tinggal di Yogyakarta.
http://www.riaupos.co/2794-spesial-sastra-indonesia-%E2%80%9Ckrisis%E2%80%9D-.html

Viewing all 2226 articles
Browse latest View live