Quantcast
Channel: Sastra-Indonesia.com
Viewing all 2226 articles
Browse latest View live

Dunia Sastra dan Keriuhan yang Menyenangkan

$
0
0

A.S. Laksana
https://www.jawapos.com

LIMA minggu belakangan saya berkutat dengan kritik sastra, dan masih akan membicarakannya sampai minggu kedelapan bersama Martin Suryajaya, di kelas yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Ini kali pertama DKJ menyelenggarakan kelas kritik sastra; para pengurus Komite Sastra DKJ menganggap kritik sastra adalah urusan yang penting dan kelas semacam ini perlu diadakan.

Saya memiliki anggapan yang sama bahwa kritik sastra adalah hal yang sangat penting, dan tampaknya semakin tidak menarik minat orang untuk mengerjakannya. Ia mensyaratkan orang untuk membaca buku banyak-banyak, dan sebagian besar orang Indonesia membaca buku sastra secara tekun akan sama beratnya dengan memikul kerbau.

Dan, urusan itu akan terasa semakin berat ketika kesastraan kita tidak banyak melahirkan karya yang berkualitas dan layak dibicarakan. Bagaimanapun, kritik adalah sebuah bentuk apresiasi terhadap karya yang dihasilkan penulis. Artinya, subjek bagi kritik sastra semestinya adalah karya-karya yang secara teknis penulisan sudah tidak mengandung masalah.

Di negara-negara yang memiliki tradisi kesastraan yang lebih panjang dan lebih tua jika dibandingkan dengan Indonesia, orang bisa mendapatkan bahan yang berlimpah untuk dikaji. Dan dengan kecakapan teknis para sastrawan untuk mengolah karya mereka, para kritikus memiliki banyak pilihan untuk dibahas.

Karya-karya yang jelek tidak layak dikaji, kecuali karya jelek itu ditulis oleh nama besar dalam dunia kesastraan. Tidak untuk membantainya, tetapi demi mewakili harapan publik bahwa sebuah nama besar dari dunia kesastraan semestinyalah mempertanggungjawabkan nama besarnya dengan menghasilkan karya bermutu. Itu juga sekadar harapan. Sebab, tidak pernah ada larangan untuk menulis karya buruk.

Tetapi, ada atau tidak ada karya bagus, saya selalu menyukai dunia sastra karena ia selalu meriah. Apa saja bisa menjadi percakapan panjang, dan mungkin perdebatan seru. Pernah suatu saat saya terlibat percakapan dengan seorang teman yang memiliki kekhawatiran menyala-nyala terhadap menyusupnya kapitalisme dalam sastra.

Saya mendengarkan saja dan kemudian menanyakan apakah prinsip pasar bebas yang menjadi tulang punggung kapitalisme, menurut dia, akan mengakibatkan kehancuran kesastraan atau mengganggu praktik-praktik kesastraan yang kita jalani. Atau, hal itu akan mengotori medan sastra yang kita andaikan suci hama dan terbebas dari pengaruh-pengaruh uang –sesuatu yang dalam agama sering dicurigai sebagai akar dari semua kejahatan.

Dia tetap ngotot tidak setuju kapitalisme mengotori dunia sastra dan memberikan alasan-alasan yang sulit saya cerna. Pertama, saya tidak mendalami kapitalisme. Kedua, dia mungkin juga sama tidak pahamnya dengan saya.

Akhirnya saya hanya bisa menyampaikan bahwa ketika tidak ada lagi karya sastra yang ditulis dengan kesetiaan untuk mengikuti garis partai, sesungguhnya kita bisa mengatakan bahwa sastra tumbuh mengikuti jalan hidup kapitalisme dan menemui publiknya melalui jalur pasar bebas.

Tidak ada lagi satu kekuatan politik yang mengendalikan kesastraan. Tidak ada kekuatan pemaksa yang menentukan bahwa karya sastra harus memiliki berbagai anasir yang diperlukan untuk membangun sebuah masyarakat ke arah mentalitas tertentu atau dikerjakan demi mendukung perjuangan ideologi tertentu.

Dalam hal ini, sastra adalah sebuah produk yang dilempar ke pasar bebas serupa dengan hasil bumi dan batu akik serta barang-barang keluaran pabrik yang ditawarkan dengan segala macam teknik promosi. Maka, demi alasan perdagangan, kita menjumpai puji-pujian di sampul belakang buku.

Dan, sebagaimana batu akik dan lain-lain, ada karya sastra yang laku dijual, ada yang tidak. Di antara yang laku, sebagian karena nama penulisnya. Jadi, di pasar kesusastraan cukup lazim terjadi bahwa orang membeli karena menaruh kepercayaan terhadap nama penulis. Tidak berbeda dengan kecenderungan pada masyarakat kuno: orang membeli kepercayaan terhadap dukun.

Dalam iklim di mana industri-industri yang menopang kesastraan, yakni industri buku dan media massa, memutuskan bahwa sastra dan berbagai produk pemikiran tidak sanggup memenuhi selera pasar, ia tidak layak diproduksi. Mereka memegang kuat-kuat asumsi bahwa selera pasar adalah raja, seolah-olah apa yang dirumuskan sebagai selera pasar adalah sesuatu yang sudah jadi begitu saja dan mereka menggunakannya sebagai dalih untuk membuat keputusan apakah sesuatu layak diterbitkan atau tidak.

Dalam wilayah sastra, korban pertama dari prinsip selera pasar mungkin adalah puisi dan naskah drama. Akan sulit sekali bagi para penyair dan penulis naskah drama untuk mendapatkan penerbit besar yang bersedia menerbitkan karya-karya mereka.

Meskipun selera pasar adalah sebuah kebohongan, karena dalam praktiknya ia adalah selera yang dibentuk kaum pedagang, di antaranya melalui iklan dan promosi gencar, kita tidak bisa berbuat apa-apa ketika para pelaku bisnis perbukuan menolak menerbitkan karya-karya yang mereka pikir tidak akan dibeli orang.

Kita juga tidak bisa mengutuk mereka atau meminta mereka ikut membangun selera pasar yang lebih baik. Urusan membangun selera pasar perbukuan, menciptakan masyarakat yang gemar membaca karya bermutu, semestinya adalah urusan negara –melalui institusi pendidikan– dan bukan urusan para pedagang.

Di bawah penindasan rezim selera pasar inilah para pelaku kesastraan bergiat dalam situasi yang serupa dengan kehidupan kaum-kaum tersisih yang berebut remah-remah untuk mempertahankan hidup. Sesekali kita mendengar teriakan yang mencoba menentang apa yang mereka sebut arus utama. Sesekali kita mendengar suara kuat untuk menolak otoritas dan menghendaki adanya demokratisasi dalam sastra dengan menyerahkan penilaian baik-buruk sebuah karya kepada masyarakat.

Artinya, sastra atau bukan sastra biarlah masyarakat yang menilai. Apa yang lebih diterima oleh masyarakat itulah yang bisa disebut sastra, atau biarkan masyarakat menentukan sendiri karya sastra seperti apa yang mereka butuhkan.

Pada satu sisi, ini gerakan tampak heroik karena tujuannya melawan dominasi figur-figur kuat dalam sastra. Namun, kasus Andrea Hirata, yang dulu pernah didebat secara riuh, membuktikan bahwa para pelaku sastra sendiri tetap tidak rela menyerahkan penilaian kepada publik.

Artinya, gerakan-gerakan demokratisasi sastra, suara-suara untuk melawan otoritasi figur-figur kuat di dalam kesastraan, juga rentan menghadapi konflik dalam diri sendiri. Dia juga rentan disusupi kepentingan lain yang menggunakan kekuatan uang untuk mengacak-acak situasi. Orang bisa menggunakan kekuatan uangnya untuk mendapatkan pengakuan dari figur-figur yang dianggap otoritatif untuk memuji apa yang dia tulis, untuk menginformasikan kepada publik bahwa karyanya adalah sebuah inovasi dalam kesastraan.

Kurang lebih sama dengan produsen obat cacing membayar Christiano Ronaldo atau Lionel Messi sebagai bintang iklan, dan dia juga bisa menggunakan uang untuk memobilisasi dukungan dari massa, sama dengan politikus menjalankan politik uang untuk membeli suara kontituen.

Kelas kritik sastra juga seriuh itu, bukan ketika kelas berlangsung, tetapi ketika kami ngobrol-ngobrol setelah kelas. Beberapa kali ucapan Roland Barthes dikutip, yakni bahwa pengarang sudah mati dan posisinya digantikan oleh pembaca yang memiliki hak penuh untuk menafsirkan makna pada tiap-tiap karya yang dia baca. Namun, ada beberapa kasus yang membuktikan pernyataan Barthes tidak berlaku. Beberapa pengarang menolak mati. Mereka tegak di depan karya, marah terhadap kritik, dan memutuskan hubungan pertemanan di media sosial.

Saya selalu menyukai dunia sastra dan keriuhan yang muncul di dalamnya serta berbagai karakter yang terlibat di dalamnya. Mereka sangat menghibur. (*)

https://www.jawapos.com/read/2016/09/04/48887/dunia-sastra-dan-keriuhan-yang-menyenangkan


Puisi Alam: Membangun Mitos Baru (Bagian Pertama)

$
0
0

Maman S Mahayana
http://riaupos.co

JAGAT Nusantara adalah kisah eksotisme manusia alam. Kebersatuan manusia Nusantara dengan alam itulah yang lalu menghasilkan kebudayaan, melahirkan kesenian, menciptakan puisi! Sebelum bangsa-bangsa asing datang ke Nusantara memperkenalkan kebudayaan mereka dengan segala sistem kepercayaannya, seperti Hindu, Buddha, dan Islam, lalu menyusul Kristen, dan di antara itu: konfusianisme, penduduk etnik di pelosok Nusantara ini sudah hidup semarak dengan sistem kepercayaannya sendiri. Dan puisi telah mereka lahirkan berdasarkan sistem kepercayaan itu sebagai bentuk penghormatan pada alam dan pengagungan pada sesuatu yang dianggap sebagai penghuni atau penguasa alam.

Kedatangan bangsa-bangsa asing adalah keniscayaan yang tidak dapat dihindari. Maka, segala kebudayaan atau apa pun yang datang dari luar, diterima begitu saja, tanpa resistensi ketika semuanya disampaikan secara baik-baik. Tetapi, kepercayaan yang sudah ada dan menjadi denyut kehidupan keseharian mereka, tetap terpelihara, dan tak hendak dicampakkan begitu saja. Atau, setidak-tidaknya, mereka berusaha mempertahankannya, meski tak terhindarkan lahir sebuah hibrida lewat proses akulturasi dan inkulturasi.

Begitulah, bangsa yang mendiami wilayah Nusantara ini, sudah terbiasa hidup dengan segala keberagaman, lantaran dalam dirinya sudah mendekam naluri budaya yang juga beragam. Heterogenitas, bagi masyarakat Nusantara, adalah keniscayaan, dan sekaligusnya juga seperti sudah sejak awalnya memang begitu: take for granted!

Lihatlah, bagaimana animisme, Hindu, dan Islam bersanding baik-baik saja, seperti yang kerap kita lihat pada ziarah kubur menjelang ramadhan atau seusai lebaran. Bagaimana pula dua “tuhan” disimbolkan pada dzat yang bernama Dewatalla –dewa dan Allahtaalla—. Dia tinggal di swargaloka bersama para bidadari yang kerap turun ke bumi. Dan para bidadari itu sengaja turun ke bumi sekadar hendak merasakan keindahan alam. Mereka iri pada manusia karena manusia, selain leluasa menikmati keindahan jagatnya, juga dapat merasakannya langsung benda-benda alam. Merasakan hangat matahari atau bisa bebas berkecimpung mandi di sungai. Maka, para bidadari pun coba pula mandi, menikmati dan merasakan langsung dinginnya sungai atau air telaga. Saat itulah alam akan memberinya isyarat kepada manusia. Terhamparlah di kaki langit garis melengkung warna-warni yang lalu disebutnya: pelangi! Itulah pertanda alam.
***

Puisi paling tua di Nusantara ini lahir dari ekspresi mereka hidup bersama alam. Mereka belajar pada tanda-tanda alam, dan alam mengajari mereka menciptakan bahasa yang penuh analogi, metafora, personifikasi, simbolisme, dan entah apa lagi. Jadi, jangan salah, leluhur kita sejak lama sudah menjadi penyair alam. Fenomena alam bagi mereka adalah isyarat kehidupan. Maka, perilaku mereka dalam menata kehidupan sosial, tak lepas dari alam sebagai cermin, sebagai pantulan, sebagai representasi penguasa alam memberi penyadaran pada manusia. Dari sanalah penghormatan, ketakjuban, dan sikap hidup wujud dalam bahasa manusia dengan alam sebagai simbolnya.

Majas analogi, metafora, personifikasi, atau simbolisme dalam bahasa manusia, tidak lain merupakan ekspresi mereka, yang –menurut manusia modern sebagai bahasa atau ungkapan puitik—diperlakukan sebagai substansi puisi. Bukankah puisi dibangun lewat kekuatan gaya bahasa semacam itu. Bukankah puisi menjadi lebih hidup lantaran di sana ada ‘penyelewengean’ bahasa denotatif yang berubah maknanya menjadi konotatif.

Siapakah dari leluhur kita yang mula sekali memperkenalkan metafora: “air tenang menghanyutkan”, “bagai air di pembuluh,” atau personifikasi ilmu padi: makin berisi, makin merunduk? Untuk mengatakan sisi negatif watak manusia, tak perlu pula caci-maki dan sumpah seranah disemburkan. Cukuplah dikatakan: “musang berbulu domba,” atau “ada udang di balik batu,” “pagar makan tanaman,” atau “kacang lupa kulitnya,” dan seterusnya.

Konon, pola persajakan seperti itulah yang disebut bidal. Ada pula yang menyebutnya, peribahasa. Itulah model bahasa puitik, seperti juga mantra, yang paling arkaik. Maka, jika kita mencermati bidal, atau peribahasa, lebih dari separohnya, dapat dipastikan di dalamnya ada pesan-pesan yang kerap berkaitan dengan benda-benda alam.

Peribahasa atau bidal yang dilahirkan masyarakat berbagai etnik di Nusantara itu tidak lain merupakan representasi kedekatan masyarakat dengan alam. Sebutlah misalnya, peribahasa, bagai katak dalam tempurung atau seperti ilmu padi, makin berisi makin merunduk. Bukankah ungkapan itu sebagai ekspresi metaforis, maknanya tidak ada kaitannya dengan katak dan padi.

Ada pula contoh lain yang bermakna negatif yang berkaitan dengan kehidupan sosial, seperti, antara lain, musuh dalam selimut, padi ditanam ilalang yang tumbuh, atau si pungguk merindukan bulan. Bagaimana pengkhianat disebut musuh dalam selimut, orang yang tak tahu berterima kasih dikatakan sebagai pagar makan tanaman atau padi ditanam ilalang yang tumbuh, dan orang yang mengharapkan sesuatu yang tak mungkin dapat diraihnya dikatakan pungguk merindukan bulan atau katak hendak menjadi lembu? Bukankah semua itu merupakan ekspresi metaforis? Mengatakan begini yang maksudnya begitu?

Di kalangan filsuf di Yunani sono, ada ungkapan sindrom buah apel—ada pula yang menyebutnya sindrom apel masam. Ungkapan itu ditujukan kepada seseorang yang gagal atau tidak dapat meraih sesuatu, lalu dikatakanlah, bahwa sesuatu itu tidak baik, jelek, dan seterusnya yang serbanegatif. Kini kita bertanya: siapakah orang Melayu yang pertama sekali memperkenalkan peribahasa: “Jangan karena tak mampu menjuluk, mangga manis dikatakan busuk.” Bukankah sindrom buah apel artinya sama dengan sindrom buah mangga? Itulah kekhasan sebuah peribahasa. Selalu ada warna lokal di sana, meski maknanya bisa berlaku universal.

Penciptaan bahasa seperti itu tidak lain, lantaran alam kerap menjadi cermin, menjadi bahan pertimbangan dalam perilaku sosial. Maka, kata-kata umpatan, caci-maki, dan sumpah seranah, sesungguhnya tidak perlu benar disampaikan secara verbalistik, sebab dalam hubungan manusia dengan alam, manusia sudah memanfaatkannya dengan sangat bijaksana. Bukankah buaya darat, muka badak, macan ompong, mulut harimau, lidah ular, otak udang—otak kerbau, kupu-kupu malam atau cinta monyet dan seterusnya, tidak lain adalah bentuk eufimisme untuk menyebut seseorang yang berperilaku negatif. Begitulah para binatang menjadi simbol. Maka, keburukan manusia cukup bercermin pada perilaku para binatang itu.

Selain para binatang, benda-benda alam pun dimanfaatkan untuk ‘bercermin’. Lahirlah benda-benda alam yang dilekatkan pada tubuh manusia. Sebut saja, misalnya, kepala batu, mulut jamban, lidah api, dan seterusnya. Itulah kreativitas manusia memanfaatkan alam untuk menciptakan bahasa dalam kehidupan sosial.
***

Kreativitas manusia tidak cuma berhenti sampai di sana. Di balik alam, bersembunyi makhluk lain yang mukim di sana. Bahkan juga yang mungkin menjadi penguasa alam. Kadang kala alam yang tidak ramah membuat manusia merasa perlu melakukan bujuk rayu atau meminta pertolongan makhluk lain untuk meredakan kemarahan alam. Dari sanalah muncul puja-puji, bujuk rayu, doa pengharapan dan keselamatan atau sekadar say hello hendak menyapa makhluk penghuni atau penguasa alam.

Segala puja-puji dan bujuk rayu itu tidak lain adalah ekspresi komunikasi antara manusia dan makhluk gaib. Itulah sebabnya, kita memahami, bahwa peristiwa komunikasi itu bukan dalam konteks hubungan sosial, melainkan hubungan dengan makhluk lain yang punya bahasanya sendiri, dunianya sendiri. Mengingat komunikasi itu ditujukan bagi makhluk gaib, maka hanya mereka saja yang memahami puja-puji dan bujuk rayu itu. Di dalam komunikasi seperti itu, peristiwa menjadi lebih penting daripada makna, suasana yang dihadirkan lebih penting daripada pesan. Demikian juga, kata-kata atau kalimat yang jumpalitan dan tak dapat ditangkap maknanya, tak menjadi soal, sebab yang penting di sana adalah penghadiran suasana magis. Di situlah pengulangan bunyi yang sama atau kata yang sebunyi atau repetisi, memainkan peranan agar tercipta jalinan komunikasi antara manusia dan makhluk gaib yang entah itu.

Perhatikanlah teks di bawah ini:

Deungdeuleu sima deuleu
Deungdeuleu malik katineung
Nénjo aing sia ceurik
Ceurik sia inget ka aing
Nya aing nu boga asihan neuleu.

Lihatlah-lihat sihir lihatlah
lihatlah-lihat berbalik rindu
pandang aku, kau menangis
tangismu ingat aku
karena akulah pemilik pengasih pandang

Itulah doa kemat atau asihan (mantra) dalam bahasa Sunda yang dalam bahasa etnik lain, juga dapat dengan mudah kita jumpai. Alam, jagat supranatural, kehidupan dunia gaib, kisah-kisah mitis jagat tidak kasat mata, telah mengajari leluhur kita menciptakan metafora, analogi, personifikasi, yang segalanya itu tanpa disadarinya, telah memperkaya bahasa, menghadirkan doa puja-puji, melantunkan puisi!
***

Apa kaitannya uraian panjang lebar tentang penyair alam dan doa puja-puji yang menjelma mantra dengan antologi puisi yang berjudul Olang 2 karya Dheni Kurnia? Di sinilah kehadiran antologi puisi Olang 2 karya Dheni Kurnia dalam peta perpuisian Indonesia menjadi khas, sangat unik, dan tentu saja penting. Pengalaman Dheni sebagai bagian dari kehidupan masyarakat Talang Mamak yang tinggal di wilayah Bukit Tigapuluh, Indragiri Hulu, Riau, telah menjadikan puisi-puisinya sebagai ekspresi gebalau batin dan sekaligus juga semacam gerak spiritualitas yang tidak dapat dibendungnya lagi untuk berkabar tentang dunia Talang Mamak. Sekian lama ia mengerami pengalaman hidup dengan masyarakat Talang Mamak, memendamnya lama, tiba-tiba seperti mencolot begitu saja. Maka, dapat dipahami jika penyair menempatkan puisinya sebagai realitas, sebagai fakta.

Jika menelusuri bagaimana para leluhur Nusantara ini menciptakan puisi, menjadikan dirinya sebagai penyair alam, maka Dheni Kurnia seperti begitu saja memadukan puisi alam dengan mantra; atau sebaliknya. Tentu saja di dalamnya, termasuk tradisi masyarakat. Lalu, dengan kesadaran sebagai penyair kotemporer, ia merasa perlu mengemasnya tidak sebagai mantra atau doa-doa an sich, melainkan sebagai puisi yang di sana, mantra dan jampi-jampi, menjadi ruh atau menjadi tubuh puisi; atau mantra dan jampi-jampi, lesap menjadi puisi kontemporer yang jejaknya dapat ditelusuri ke masa lalu. Di sana alam pun menjadi bagian penting yang tidak dapat diabaikannya begitu saja. Dengan demikian, tubuh puisi-puisi Dheni Kurnia, tidak lagi perlu berada dalam permainan tipografi atau penyusunan bait-bait, melainkan pada tuntutan puisi itu sendiri membangun tema melalui repetisi, persamaan bunyi pada larik atau antarlarik.

Kini kita coba membandingkan mantra Sunda tadi dengan dua bait terakhir puisi Dheni Kurnia yang berjudul “Bulian.”

Keramat menangkap ringgit
Hakikat adalah taburan ruh
Menghujat pelupuh dan gendam
Untuk mengisi ruang alam raya
Melalui gentong air biasa
Takluklah semua jin dan manusia

Adalah marah menjadi kenang
Adalah dendam menjadi rindu
Adalah hilang balek ke rumah
Adalah piutang takkan hilang
Adalah sayang tumpah ruah
Adalah rezeki bertambah tambah

Berdasarkan judulnya saja: “Bunian,” puisi ini mengisyaratkan pesan tentang peristiwa atau perkara atau dunia yang berkaitan dengan kehidupan makhluk halus: jin, siluman, hantu, tuyul, dan seterusnya. Mantra Sunda tadi adalah doa pengasihan, jampi-jampi pesona atau pengemat agar seseorang jatuh cinta kepada si pembaca mantra itu. Di Nusantara ini, begitu banyak mantra sejenis itu. Hampir semua etnik punya mantra demikian.

Nah, kini kita kembali pada puisi Dheni Kurnia. Perhatikan pesan dan cara membangun tubuh puisi itu. Pesannya seperti seseorang minta rezeki. Mungkin betul. Jadi, ada pula mantra minta rezeki dengan melibatkan peranan para makhluk halus, seperti seseorang yang memelihara tuyul, kecik, dan sebangsanya. Berdasarkan logika formal, pesan dalam puisi itu tampak seperti paradoksal. Bagaimana mungkin makhluk halus mengerti ringgit, rezeki, dan seterusnya. Bukankah urusan yang begituan hanya berada dalam dunia manusia?

Meskipun demikian, jangan lupa, bukankah dalam Islam pun, ada bermacam-macam doa untuk berbagai kepentingan, mulai urusan memasuki rumah-rumah agung sampai menuju tandas, mulai dari urusan pribadi sampai perkara publik, bahkan bangsa dan umat manusia secara keseluruhan. Begitulah, doa (dalam sistem kepercayaan mana pun) menjadi penting karena ia berkaitan dengan urusan iman, keyakinan, dan penciptaan harapan menghadapi kehidupan—yang dalam masyarakat tradisional dibangun lewat mitos-mitos. Mantra yang (dipercaya) dapat mendatangkan rezeki, sesungguhnya juga sekadar penciptaan harapan, tetapi tokh sering juga diperlakukan sebagai pembenaran rasional. Dengan begitu, rasionalitas dan irasionalitas cuma dibatasi garis tipis yang dalam beberapa kasus bisa bolak-balik menerabas garis tipis itu.

Di situlah, rasio, logika atau akal sehat, cenderung gagal menjelaskan peristiwa-peristiwa irasional dan gaib. Berbagai peristiwa gaib itu, hanya mungkin dapat dirasakan atau diyakini jika ada pengalaman batin atau pengalaman spiritual. Dheni Kurnia coba mengingatkan itu. Dan puisi yang menjadi salurannya, seperti memahami keterbatasan logika. Sering kali berbagai peristiwa gaib itu hanya dapat dirasakan, tetapi sulit dijelaskan. Puisi punya peluang menyimpan dan menyembunyikan berbagai peristiwa yang tidak dapat diungkapkan itu.

Dalam satu larik puisi, tersimpan begitu banyak peristiwa. Perhatikan lagi larik-larik pada bait terakhir puisi itu: /… marah menjadi kenang/ dendam menjadi rindu/ hilang balik ke rumah … mengingatkan kita pada salah satu ayat dalam surat Yassin: Kun faya kun! Jadi, maka jadilah. Oleh karena itu, marah menjadi kenang dan dendam menjadi rindu sesungguhnya, di belakangnya ada problem yang serius dan tak dapat diremehkan. Puncaknya dinyatakan dalam tiga larik terakhir: piutang takkan hilang/sayang tumpah ruah/ dan rezeki bertambah-tambah// Dengan demikian, puisi ini seperti hendak mengangkat nilai-nilai sakral sebuah mantra, dan sekaligus menjadikannya sebagai peristiwa profan lantaran yang diharapkan tidak lain persoalan duniawi yang dapat memberi kesenangan bagi manusia.

Sebagai sebuah teks puisi, secara tekstual kita dapat melusuri pesan atau makna yang tersebunyi di sana. Tetapi, jika teks itu ditempatkan sebagai sebuah peristiwa, maka kisah-kisah yang berada di balik fakta-fakta itu akan menjadi lebih hidup manakala ia berada dalam konteks peristiwa. Itulah yang saya maksud, peristiwa lebih penting daripada makna, karena di dalam peristiwa, kita sebenarnya dapat menangkap atau merasakan atau merasakan sendiri berbagai hal yang tidak terungkapkan itu. Di situlah keunikan puisi-puisi Dheni Kurnia dapat menjadi kisah besar dalam perjalanan perpuisian Indonesia.

Seperti disebutkan, batas peristiwa rasional dan irasional, dunia kasat mata dan alam gaib, atau fakta—fiksi, dapat dengan mudah dipertukarkan tempatnya. Kredo penyair: “Bagi saya, puisi adalah realitas—kenyataan” secara akademis memang masih dapat diperdebatkan. Meski begitu, jika kita lebih mencermati puisi-puisinya, maka kredo itu dapat kita pahami. Sebab, yang hendak ditekankan penyair adalah fakta peristiwa dan bukan makna teks. Dengan demikian, jika di antara sejumlah puisi Dheni Kurnia ini ada yang sulit dilacak maknanya, seperti juga sejumlah puisi Sutardji Calzoum Bachri dengan berbagai tipografinya, puisi-puisi yang demikian itu tidak termasuk kategori puisi gelap, sebab yang hendak diungkapkan di sana tidak lain adalah peristiwa (dalam) puisi, dan bukan makna puisi.

Tidak dapat dimungkiri, bahwa realitas masyarakat kita kerap berada dalam dua dunia: realitas faktual dan realitas fiksional. Atau, dunia yang ditandai garis demarkasi yang memisahkan rasionalitas dan irasionalitas. Tetapi itulah fakta dalam kehidupan masyarakat kita. Batas perkara rasionalitas dan irasionalitas bisa begitu tipis, atau bahkan kerap terjadi peristiwa tumpang tindih antara rasionalitas yang faktual, menjadi fiksional, sementara irasionalitas yang menabrak hukum logika, diperlakukan sebagai peristiwa faktual.

Untuk menegaskan, bahwa tarik-menarik dunia real dengan dunia gaib, kehidupan manusia dengan makhluk bunian dan sebangsanya, sebagai sebuah fakta penyair menampilkan pola mantra dengan permainan repetisinya. Dengan begitu, fakta-fiksi dalam puisi-puisi Dheni Kurnia bisa seenaknya saling bertukar tempat, sementara jejak mantra dapat dimanfaatkannya untuk menyampaikan berbagai kepentingan, baik yang berurusan dengan tema yang diangkat, maupun persajakan yang hendak dibangun.***

http://riaupos.co/3121-spesial-puisi-alam-membangun-mitos-baru.html

Puisi Alam: Membangun Mitos Baru (Bagian Kedua)

$
0
0

Maman S. Mahayana
http://riaupos.co

KESADARAN penyair bahwa ia menempatkan puisi sebagai fakta, sebagai realitas, menuntutnya pada pemahaman, bahwa ia mesti berjuang membangun puisinya tidak sebatas mengangkat puisi alam atau mantra sebagaimana adanya, tidak juga sekadar menawarkan bentuk tranformasi atau usaha melakukan revitalisasi. Dheni Kurnia menyadari benar pada kekuatan puisinya sebagai suara zamannya. Ia menawarkan puisi dengan mantra dan kekuatan puisi alam lesap ke dalam tubuh puisinya. Oleh karena itu, penghadiran suasana magis lewat repetisi dan kesamaan bunyi, berlaku ketika puisi itu menuntutnya demikian. Oleh karena itu juga, kita masih merasakan adanya bentuk puisi yang lazim atau bentuk lain dari sebuah puisi modern yang inspirasinya melayang jauh ke masa lalu.

Perhatikan puisi berikut ini:

MA’RIPAT

Hu
Alam, langit dan maya
Hu
Alam, karibam kus ripat maripat
Hu
Alam, bujang talang keritang
Kayalah!

Dengan kunyit kuning
Dengan sirih dan sadah
Dengan bubuk tempala halus
Dengan seratus empat puluh
Dengan mengoles setiap sudut
Dengan air bening dan nama ruh
Dengan keyakinan sembilan kali
Dengan mantra bukit tujuh puluh
Berkat lailahaillallah

Jadilah!

Airmolek, 90/12/16

Dheni Kurnia tampaknya menyadari benar pengalamannya yang kaya tentang mantra. Maka puisi itu pun dia kembangkan sebagai mantra atau mantra yang diolah menjadi puisi. Dengan begitu puisi—mantra atau mantra—puisi pada hakikatnya tidak berbeda, sebab penyair sejak awal memang menempatkan puisinya sebagai realitas. Dalam hal ini, tidak ada lagi jarak antara mantra yang sakral atau gaib dengan puisi yang profan dan real berada di sekeliling kita.

Sebagai teks, sebagiannya atau seluruhnya dapat dipahami atau tidak, tidaklah terlalu penting benar. Sebab, penyair memang hendak mengangkat mantra sebagai realitas, betapapun hakikatnya tidak lain adalah puisi. Meskipun begitu, ketika ia dihadirkan sebagai peristiwa, maka suasana magis sangat mungkin akan hadir begitu saja, lantaran pengulangan bunyi—apalagi jika diucapkan deras dan kencang—akan mengundang gema dan kegaiban. Repetisi yang muncul di awal, tengah atau akhir setiap larik adalah salah satu cara untuk menghadirkannya.

Puisi “Talang Perindu” juga tetap dengan mempertahankan pola repetisi. Yang menarik dari puisi ini adalah adanya hiponimi bambu. Dan proses kelahiran setiap bagian dari bambu itu selalu terjadi pada waktu dan suasana yang berbeda. Kita –lewat puisi itu—berhadapan dengan peristiwa alam yang memantul menjadi cermin kehidupan. Ada makna simbolik dalam proses kelahiran setiap bagian bambu itu yang mengingatkan kita pada bentuk bidal yang lebih arkaik.

Puisi yang cenderung mengungkapkan semacam biografi bambu ini menegaskan kedekatan penyair dengan alam. Repetisi dalam puisi itu tak lagi menyerupai mantra, tetapi lebih dekat pada puisi alam, sebagaimana leluhur kita menempatkan alam sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupannya sehari-hari. Bambu menjadi kisah besar tentang kehidupan manusia yang punya harapan. Maka bercerminlah pada bambu, maka manusia akan menemukan hakikat hidup yang punya harapan menatap masa depan. Puisi ini menjadi semacam mitos tentang dunia manusia yang menyatu dengan alam. Sebuah puisi yang sungguh unik dan khas, dan karena itu menjadi menarik tidak sekadar sebagai puisi an sich, melainkan sebagai penciptaan mitos baru.

TALANG PERINDU

Di panasnya cahaya tumbuhlah
betung
Di dinginnya embun lahirlah buluh
Di gelapnya dinihari terciptalah bilah
Di tingginya tebing kuatlah aur

Di diri bilah mengkajilah buluh
Di dalam buluh terpujilah bilah
Dari rebung membesarlah betung
Betung bertuah menjimat rebung

Tegar tebing membesar aur
Melengkung aur dibentuk tebing
Sakti tebing berjurai aur
Aur dan tebing melahirkan talang

Talang aku talang berhajat
Hajat aku karena talang
Talang perindu mengasih kau!

Airmolek, 20/1115

Demikianlah, puisi-puisi Dheni Kurnia dalam antologi ini pada akhirnya menegaskan bahwa penyair yang merasa menjadi bagian dari masyarakat Talang Mamak, terkesan hendak tampil sebagai ‘juru bicara’ tradisi kebudayaan masyarakat itu. Puisi-puisinya seperti merefleksikan pengalaman pribadinya sebagai individu, mewartakan pengalaman batin dan pengalaman spiritualnya sebagai pengalaman bersama yang mungkin pada suatu hari kelak, akan menjadi pengalaman kita juga.

Dalam konteks perpuisian Indonesia, puisi-puisi Dheni Kurni betul-betul lepas dari mainstream perpuisian kita yang cenderung berkutat pada problem aku lirik yang dikepung kehidupan masyarakat sekitarnya. Puisi-puisi Dheni Kurnia tegas hendak mengembalikan puisi alam yang lebih arkaik, sebagaimana yang dibangun para leluhur kita, tetapi sekaligus juga coba mengangkatnya sebagai bagian dari kehidupan kontemporer sebagai sebuah kenyataan kini. Dengan demikian, kredonya: “puisi sebagai realitas” dapat dimaknai, bahwa bangsa ini memang hidup dalam dua dunia: masa lalu yang jejaknya masih bertebaran di sana-sini dalam kehidupan sehari-hari masyarakat kita, dan masa kini yang memerlukan mitos baru untuk meraih harapan masa depan.

Antologi puisi Olang 2 karya Dheni Kurnia ini ibarat mitos baru bagi masyarakat kita kini yang ke belakang, jejaknya masih dapat ditelusuri, dan ke depan, perlu membangun harapan yang tidak lagi semata-mata bertumpu pada kemajuan dunia modern, melainkan juga pada kearifan lokal dalam memperlakukan alam sebagai cermin kehidupan. Maka, puisi sebagai realitas, mesti dimaknai sebagai pesan untuk menghadapi realitas dunia modern kini, dan realitas masa lalu leluhur kita yang menyimpan kearifan dalam memperlakukan alam.
***

Keseluruhannya, antologi puisi Olang 2 (Pekanbaru: Palagan Press, 2016, xxiii + 265 halaman) karya Dheni Kurnia ini menghimpun 153 puisi yang disusun ke dalam tiga bagian berdasarkan tarikh perjalanan kepenyairannya, yaitu 2006—2016 (memuat 46 puisi), 1995—2005 (21 puisi), dan 1984—1994 (86 puisi). Pembagian itu boleh jadi dimaksudkan sebagai pembabakan belaka. Mungkin juga untuk menegaskan perjalanan kepenyairannya.

Dengan asumsi itu, kita melihat, bagian periode 1984—1994, sebagai masa awal kepenyairannya, ia masih sangat dekat dengan pusat kebudayaan masyarakat yang melahirkan dan membesarkannya. Kita dapat menganalogikan pembabakan periode kepenyairannya Dheni Kurnia dengan teori gelombang. Ketika sebuah kerikil dilemparkan ke tengah kolam yang tenang, gelombang besar akan terjadi melingkari plung-nya kerikil. Lalu, gelombang air itu semakin jauh dari pusat plung, semakin lemah pula gerak gelombangnya. Jadi, periode awal kepenyairan Dheni Kurnia, masih tampak sangat kental mitos mantra, elang, dan Talang Mamak.

Pada periode kedua (1995—2005), keterbetotan Dheni Kurnia pada ibu budayanya, tidak lagi sekencang periode pertama. Ada usaha untuk melesapkan keterbetotannya pada pengalaman empiris berhadapan dengan masyarakat dunia. Dan ia menemukan dunia lain, aura lain manakala ia masuk dalam lingkaran religiusitas. Ia menemukan roh yang menakjubkan sesuai dengan keyakinan keimanannya. Dengan kesadaran itulah, memancar semacam pertobatan, lahir hasrat untuk membangun semangat baru dengan jiwa yang telah diguyur aur religiusitas. Periksa saja puisi-puisinya yang bertajuk “Selepas Kelam.” (hlm. 144—149).

Pada periode ketiga (2006—2016) lahir sudah dunia baru yang dibangun oleh kekayaan pengalaman batinnya. Maka, warna-warni puisinya lebih beragam, lebih kaya, dan lebih reflektif. Meskipun demikian, mantra, elang, dan Talang Mamak yang telah melahirkan, membentuk dan membesarkannya, tetap nemplok sebagai panggilan kebudayaan tanah leluhur. Lalu, disadari pula, ada aura baru yang kini ikut mencengkeramnya: kesadaran religius, keberimanan pada perkara keimanan, dan pengalaman hidup kini yang menggoncangkan keduanya. Dalam konteks itulah, ia mesti tegas bersikap. Maka, dapat kita pahami, jika ia menyebutkan puisinya sebagai realitas. Dalam hal ini, kita dapat menempatkannya sebagai isyarat, bahwa yang dimaksud realitas di sana tidak lain adalah pengalaman empiris penyair ketika penghormatan pada ibu budaya dan keberimananya berada dalam kepungan kebudayaan masyarakat yang lebih berbagai.

Gelombang pada pusat kebudayaan leluhur, memang semakin menjauh. Tetapi, kesadaran baru menuntutnya untuk menengok kembali kebudayaan tanah leluhur. Itulah yang terjadi pada puisi-puisi Dheni Kurnia periode ketiga: 2006—2016.
***

Perlu dicamkan, kebudayaan masyarakat itu punya jiwa, punya roh. Maka roh kebudayaan itu, tanpa atau dengan kesadarannya sebagai penyair, menggayuti dan mencolot begitu saja, lesap dalam tubuh puisi-puisinya. Oleh karena itu, puisi-puisi Dheni Kurnia juga seperti merefleksikan keyakinan spiritualnya yang menjelma laksana elan baru, spirit baru tentang mantra, elang, dan Talang Mamak yang melahirkannya. Dengan begitu, ia mesti menerima kenyataan, bahwa kini ia berhadapan dengan fakta sosial yang kerap menggoncangkan pengalaman masa lalunya. Meskipun demikian, ia juga tidak dapat begitu saja mengabaikan roh mantra dan simbol elang yang seolah-olah terus merayap mengikuti perjalanan hidupnya. Jadilah batas realitas masa lalu dan masa kini berkelindan saling menerkam-mencengkeram. Panggilan roh kebudayaan masa lalu dan realitas yang dihadapinya kini mewujud bukan sebagai hibrida, melainkan sebagai elan penyair dalam kehidupan berkebudayaan.

Mantra yang sejak sekian lama meresap ke dalam denyut batinnya, merayapi aliran darahnya, dan bertahta dalam benaknya itu, tiba-tiba seperti diterjang fakta sosial yang kini menuntutnya mesti bertindak rasional. Lalu, olang—elang, yang telah begitu kuat mendekam-mengeram dalam ingatan masa lalunya, tiada henti, terus saja melayang-layang tak mudah dienyahkan. Ia hidup bergentayangan sebagai representasi panggilan sosio-kultural yang telah membentuk dan membesarkannya. Di situlah, puisi-puisi Dheni Kurnia seperti menggambarkan ketidakberdayaannya melepaskan mantra dan elang menjadi simbol ingatan yang tak pernah punah dan tak akan lekang diterjang zaman, dan sekaligus sebagai penghormatan pada leluhur masyarakatnya: Talang Mamak.

Periksalah puisi-puisinya periode 2006—2016. Perjalanan dan pengelanaannya di belahan dunia mana pun, kerap dibayang-bayangi sang olang. Maka, ketakjubannya pada Menara Eiffel, justru malah menghadirkan pengagungan pada sang elang yang terbang melebihi ketinggian menara itu (“Elang di Pucuk Eiffel”), seperti dikatakannya: Ketinggian eiffel tak ada artinya bagi elang/ hanya serengkuh detik dia ada di puncaknya/Eiffel bagi elang hanya sebuah mainan// Atau, seekor burung bagiku hanyalah elang… elang adalah jelmaan talang mamak. Dengan demikian, bagi Dheni Kurnia, persoalan apa pun yang dihadapinya yang kemudian diangkatnya menjadi tema puisi-puisinya, tidak dapat begitu saja meninggalkan mantra, elang, dan Talang Mamak, yang hadir sebagai representasi kultur leluhur.

Cermatilah puisinya yang berjudul “Elang di Pucuk Eiffel” (hlm. 4) dan bandingkanlah dengan salah satu puisinya periode 1984—1994 yang judulnya diawali dengan “Qodam Elang” (hlm. 153—204). Betapa simbol sang elang mengeram dan melekat dalam jiwa-pikirannya. Ia menyatu, membentangkan spirit, menggelontorkan harapan yang bersumber dan berpijak pada masa lalu, pada simbolisasi elang, pada roh kebudayaan tanah leluhur.

QODAM ELANG

Bissmillah, kata pertama
Arrahman, membuka sekat
Arrahim, melindung kasih
Dari elang terbang tinggi,
lahirlah qodam
Dari elang menyifat badan,
suluklah qodam
Dari elang membuka hati,
bangunlah qodam
Dari elang menetak jantung,
jadilah qodam
Di tubuh elang bermukim qodam
Di qodam elang, menyifat tubuh

Pekanbaru, 90.12/16

Berikut ini saya kutip dua bait terakhir puisinya yang berjudul “Elang di Pucuk Eiffel”.

Di bukit tiga puluh rebung
menjadi menu utama
Tapi bagi alain ducasse, chef
ducasse, rebung dicampur nira
Airnya menyatu dengan warna anggur
Alunan tradisi talang mamak,
rentak bulian diubah ulang
Menjadi irama gypsi dan alunan
lembut eidith piaf
Sambil memandang kota paris
di ketinggian, rentak menyentak
Membuat kaki terpaku berlama-lama

Bagi elang, eiffil bukanlah apa-apa
Tak setinggi terbang ke arasy
Tak sebanding dengan desir angin
di belilas
Lembut seumpama simfoni,
orkestra arus di air molek
Tapi ketika elang di pucuk eiffil
Dia melihat tuhan tak adil
untuk negerinya
Elang pulang dengan tanda tanya!

Paris, 20.12/16

Kiranya jelas, bagaimana posisi elang dan kehadirannya dalam puisi-puisi Dheni Kurnia. Ia menempatkannya sebagai akar dan sumber yang menggerakkan cara berpikir dan bersikap dalam memandang kehidupan kini. Ia tidak berkhianat pada tradisi, tidak melupa dan mendelete peran leluhur sebagai penyair alam. Ia justru menghidupkannya kembali, menghadirkan model transformasi, menjelma elan spiritualitas, yang lalu mencelat begitu saja, nemplok-melekat dalam larik-larik puisinya. Dengan demikian, Dheni Kurnia telah secara sadar ‘belajar’ pada kepenyairan leluhur yang memperlakukan alam dan kehidupan dunia gaib sebagai perilaku dalam membangun kebudayaan. Itulah sikap kepenyairannya.

Semangatnya sejalan dengan sikap Seniman Gelanggang, sebagaimana yang tersurat pada Surat Kepercayaan Gelanggang, “… tidak ingat kepada melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu penghidupan kebudayaan baru yang sehat. Kebudayaan Indonesia ditetapkan oleh kesatuan berbagai-bagai rangsang suara yang disebabkan suara-suara yang dilontarkan kembali dalam bentuk suara sendiri. …” yang bagi sastrawan Angkatan 70-an, seperti yang dirumuskan Abdul Hadi WM, “Kembali ke Akar, Kembali ke Sumber.” Disadari atau tidak, Dheni Kurnia telah mengejawantahkannya dalam puisi-puisi yang disebutnya: “Mantra Puisi”!

Tema menjadi tidak penting lagi bagi Dheni Kurnia. Sebab, fenomena apa pun yang dihadapinya atau persoalan apa pun yang diangkatnya, mantra, elang, dan Talang Mamak, lindap dan lesap dalam puisi-puisinya. Maka, ingatan pada peristiwa budaya masa lalu, pada para leluhurnya sebagai penyair alam, disikapi Dheni Kurnia sebagai usahanya menjelmakan mitos baru. Sebuah sikap kepenyairan yang tegas tak hendak berkhianat pada ibu-budayanya.***

Bojonggede, 18 Juni 2016
http://riaupos.co/3129-spesial-puisi-alam-membangun-mitos-baru-(bagian-kedua).html

Bahasa Media Bahasa Kita

$
0
0

Bagja Hidayat *
Majalah Tempo, 7 Des 2015

Pada akhirnya bahasa Indonesia adalah himpunan berbagai bahasa daerah, bukan hanya bahasa Melayu yang menjadi akarnya ketika ditetapkan sebagai bahasa persatuan 87 tahun lalu. Jika dilihat dari jumlah penuturnya, bahasa Jawa dan Sunda paling banyak mempengaruhi bahasa Indonesia. Dari 6.000 lebih bahasa di dunia, jumlah penutur bahasa Jawa menempati urutan ke-11.

Media massa adalah biang utama fusi bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia. Setelah pidato-pidato pejabat tak lagi menguasai ruang publik, media massa mengambil alih peran itu dengan mempengaruhi cara bertutur dan menulis para pengguna bahasa Indonesia. Dengan sifatnya yang populer, para wartawan menulis dengan bahasa yang sedekat mungkin dengan pembacanya.

Akibatnya pula, kosakata bahasa Jawa dan Sunda kian lazim dipakai dalam percakapan dan bahasa tulis populer. Para penulis dan wartawan berupaya mendekatkan istilah dan bahasa asing dengan padanan yang terdengar lebih lokal. Pada 1970-an, para wartawan kesulitan mencari padanan relax, kecuali memakai jurus mudah dengan menyerapnya menjadi “rileks”. Adalah Bur Rasuanto, penanggung jawab rubrik ekonomi majalah Tempo ketika itu, yang memperkenalkan kata “santai” sebagai padanan relax.

Pada 1971, Tempo menurunkan liputan gaya kerja eksekutif perusahaan negara yang tak mesti datang ke kantor untuk mengendalikan perusahaannya. Mereka menetap di Bogor, padahal memimpin perusahaan gula di Medan. Wartawan Tempo melukiskan, “Di antara para direktur-direktur perusahaan negara, direktur pabrik gula yang paling bisa santai relaks.”

Menurut Goenawan Mohamad, pemimpin redaksi Tempo waktu itu, “santai” adalah bahasa Komering di Sumatera Selatan, kampung halaman Bur Rasuanto. Ketika itu, ia meminta para penulis mencari padanan kata asing yang populer karena sering diucapkan pejabat dan bintang film. Relax tak terlalu enak diucapkan dan bagi sebagian pembaca Tempo terdengar asing. Maka, demikianlah, relax pelan-pelan menghilang digantikan “santai”, apalagi setelah Rhoma Irama membuat dan menyanyikan lagunya enam tahun kemudian.

“Betot” istilah baru di sekitar penemuan kata “santai” pada 1971 yang dipopulerkan Benjamin Sueb, penyanyi Betawi paling tenar. Dalam lagu “Main Pandjat-pandjatan”, ia menyebut kata itu sebagai variasi “menarik” dengan makna yang lebih spesifik. Benjamin ingin menggambarkan adegan seseorang ditarik lengannya oleh orang lain hingga terjatuh. “Betot” diterima sebagai bahasa lumrah ketika kata itu kian banyak dijumpai dalam cerita-cerita pendek Putu Wijaya, sutradara teater yang juga wartawan Tempo. Tak ada penolakan berarti dari khalayak karena, selain dijumpai di Betawi, kata ini umum di kalangan orang Sunda.

“Cuek” kini juga menjadi lumrah sebagai bahasa pergaulan variasi dari “acuh tak acuh” yang terdengar lebih formal. Tempo pertama kali menuliskannya pada 1987, mengutip penyanyi Henny Purwonegoro di rubrik “Pokok & Tokoh” tentang ketidakpeduliannya dianggap aneh bernyanyi sambil menggendong drum. Kata ini “seangkatan” dengan “ngeceng” sebagai padanan “jual tampang” dan “nongkrong” yang umum dipakai anak-anak muda Jakarta yang hobi “mejeng” di lintas Melawai, Jakarta Selatan.

“Kabar burung” istilah yang lebih tua dari itu. Pencetusnya Oey Kim Tiang, penulis cerita silat 1950-an yang tinggal di Tangerang. “Burung” di sana tak merujuk pada unggas, melainkan sebuah kata Sunda yang berarti “gila”, “sumir”, atau “tak jadi tumbuh”. Maka “kabar burung” adalah gosip, berita yang belum jelas kebenarannya.

Setelah itu, kian banyak kata bahasa Sunda yang menjadi umum dan diterima sebagai lema baru kamus bahasa Indonesia. Kini tak ada yang tak tahu arti “ngabuburit” karena peran televisi yang mengkapitalisasi Ramadan. Ngabuburit berasal dari kata burit yang artinya “sore/petang/senja”. Awalan “nga” sama dengan “me” dalam bahasa Indonesia yang berarti “menjadikan”. Pengulangan “bu” menjamakkan kata dasarnya dengan merujuk pada kegiatan yang dilakukan secara massal. Maka “ngabuburit” adalah kegiatan bersama-sama ketika menunggu berbuka puasa.

“Mudik” sudah menjadi kata dasar yang dicomot dari kata “udik” yang berasal dari Betawi—barangkali karena Jakarta sebagai ibu kota diidentikkan dengan perantauan. Arti sebenarnya adalah selatan, berlawanan dengan “ilir” (utara) atau “hilir” yang menjadi muara sungai, karena laut adanya di utara Jakarta. Mungkin karena daerah selatan Jakarta dulu adalah perkampungan. “Mengudik” pelan-pelan meluluh menjadi “mudik”.

“Jangkung”, “buru-buru”, “boro-boro”, “kabur, “lumrah”, “tapak”, “baheula”, “keukeuh”, “tanjakan”, “tawuran”, “gering”, hingga “amburadul”, yang sudah dipakai orang Sunda jauh sebelum penyanyi Ruth Sahanaya mempopulerkannya, kini lumrah sebagai bahasa Indonesia. Sebentar lagi “blusukan” mungkin akan masuk kamus karena sudah diterima dan menjadi umum sejak Joko Widodo menjadi tokoh yang paling banyak diberitakan dalam pemilihan Gubernur Jakarta pada 2012. Setelah menjadi presiden, ia “mematenkan”-nya menjadi e-blusukan, pertemuan virtualnya dengan masyarakat di banyak tempat.

* Wartawan Tempo
https://rubrikbahasa.wordpress.com/2015/12/07/bahasa-media-bahasa-kita/

Ben Anderson dan Perkara Ejaan

$
0
0

Joss Wibisono *
Majalah Tempo, 28 Des 2015

Pada obituari Benedict Anderson, yang wafat di Indonesia, Tempo menyinggung berulang kali bahwa, dalam menulis, Indonesianis terkemuka ini selalu menggunakan Edjaan Suwandi (1947-1972). Oleh majalah ini, ejaan yang digunakan Ben Anderson tersebut dianggap ciri khas Ben, dan sayang tidak dikupas lebih jauh. Sesungguhnya Tempo edisi akhir tahun 2001 (halaman 82-83) telah memuat kolomnya yang ditulis dalam ejaan pra-Orba, berjudul “Beberapa Usul demi Pembebasan Bahasa Indonesia”. Bahkan bisa dikatakan, bagi Ben, EYD (Ejaan Yang Disempurnakan) itu tidak ada, sampai saat-saat terakhir ia tetap menggunakan Edjaan Suwandi.

Apakah dengan begitu Ben tidak pernah menggunakan EYD? Apakah dari awal dia sudah berpendapat bahwa EYD cuma akal bulus Orde Baru dalam rangka membutakan orang Indonesia, terutama generasi muda, dari sejarah mereka sendiri? Pertanyaan-pertanyaan ini layak diajukan karena dalam mencari jawabannya akan terlihat beberapa perubahan pada pemikiran Ben, juga dalam masalah bahasa dan ejaan.

Jawaban yang hendak saya ajukan adalah bahwa sikap Ben Anderson terhadap ejaan sebanding dengan jaraknya pada Indonesia. Ketika ia terpaksa menjauh secara geografis dari negeri yang dicintainya, sikapnya terhadap ejaan bahasa Indonesia melunak. Tapi, tatkala dekat atau berada di Indonesia, sikapnya mengeras karena melihat sendiri dampak perubahan ejaan bagi masyarakat, terutama generasi muda. Begini uraiannya.

Dalam buku Language and Power (1990) tertera bahwa Ben Anderson pertama kali tiba di Jakarta pada Desember 1961 untuk melakukan penelitian jenjang S-3. Lantaran inflasi yang melangit, ia bisa tinggal di Indonesia sampai April 1964. Ini artinya Ben belajar bahasa Indonesia yang saat itu tengah berlaku, yakni Edjaan Suwandi. Ia masih menulis “tjukup” (bukan “tjoekoep” karena itu Edjaan Van Ophuijsen pada zaman kolonial, tapi juga bukan “cukup” yang EYD) dan “radjin” (bukan rajin).

Apakah Ben berpegang teguh pada Edjaan Suwandi ini? Benarkah dia menolak perubahan ejaan?

Kalau Language and Power kita buka-buka lebih lanjut, akan terbaca bahwa Ben Anderson pernah menggunakan EYD.

Di halaman 139 tertera “rakyat”; halaman 140 “perjuangan”; “jatuh ke kasur” bisa ditemui di halaman 144; serta “rakyat itu bodoh” tertulis di halaman 145. Lebih dari itu, dan ini mungkin yang rada gawat, Ben Anderson mengaku telah mengubah ejaan pidato Presiden Sukarno. Pada catatan kaki halaman 83, dia berterus terang bahwa perubahan ejaan dilakukannya untuk “conform to current official usage”, artinya “menyesuaikan dengan ejaan resmi sekarang”. Ini aneh. Bagaimana mungkin Ben berani mengubah ejaan pidato Presiden Sukarno, yang selama hidupnya tidak mengenal EYD? Melihat keteguhan Ben dalam menggunakan Edjaan Suwandi, langkahnya ini seperti sebuah inkonsistensi dan tidak lebih dari mendurhakai pendirian sendiri.

Tapi, sebelum sejauh itu, dari beberapa contoh tadi kita bisa menyimpulkan bahwa Ben Anderson sebenarnya pernah menggunakan EYD. Itu terjadi pada 1980-an dan 1990-an, pada saat rezim Orde Baru mencekal Ben Anderson sehingga ia tak bisa masuk ke Indonesia untuk waktu yang lama. Agak berpisah dari Indonesia, tampaknya Ben menganggap perubahan ejaan sebagai sesuatu yang normal. Bukankah ini juga terjadi pada bahasa-bahasa lain?

Pendirian ini kembali berubah ketika Orde Baru tersingkir dan Ben Anderson bisa berkunjung ke Indonesia.

Itu terjadi pada 4 Maret 1999, ketika Ben hadir pada ulang tahun Tempo yang ke-28 untuk berpidato tentang nasionalisme, beberapa bulan setelah Tempo kembali terbit akibat pembredelan Orde Baru. Maka Ben Anderson kembali berhubungan erat dengan Indonesia. Ia berada lagi di negeri yang dicintainya.

Di sinilah ia menemukan dampak buruk EYD; betapa efektif perubahan ejaan itu bagi ingatan publik dan kreativitas generasi muda. Baginya, peralihan Edjaan Suwandi ke EYD telah merupakan batas tegas antara apa yang ditulis pada zaman Orde Baru dan zaman sebelumnya. Tidak ada kelanjutan antara zaman sebelum EYD dan zaman EYD. Generasi muda yang tidak kreatif dan hanya mengulang-ulang bahasa Orde Baru itu disebutnya telah kena penghapusan sejarah.

Pada titik itu, Ben meninggalkan EYD dan kembali menulis dalam Edjaan Suwandi. Sebagai orang yang belajar bahasa Indonesia dalam ejaan itu, langkah ini jelas perkara gampang, seperti balik asal. Tapi, dengan menghidupkan apa yang dicibirkan oleh Orde Baru sebagai ejaan lama itu, Ben Anderson ingin kembali ke zaman ketika orang Indonesia lebih mandiri dan kreatif dalam berbahasa. Bahasa Indonesia saat itu juga lebih beragam, tidak seragam seperti bahasa Orde Baru.

Sampai di mana upaya Ben Anderson akan berhasil tidak lagi bergantung padanya, tapi sepenuhnya pada diri kita sendiri, orang Indonesia, sebagai pemilik bahasa. Akankah kita lanjutkan gagasannya dengan terus membebaskan bahasa kita dari kekakuan dan kemunafikan Orde Baru atau justru bahasa Indonesia kita telantarkan saja?

* Peneliti dan pemerhati bahasa
https://rubrikbahasa.wordpress.com/2015/12/28/ben-anderson-dan-perkara-ejaan/

SEKUNTUM BUNGA SOFI DARI DAHAN MAFIA THREE IN ONE

$
0
0

Awalludin GD Mualif *

NOVEL sebagai bagian dari karya sastra, mempunyai bentuk dan proses penceritaanya sendiri yang terikat dalam hukum-hukumny sendiri. Proses dan bentuk yang menghasilkan kecemasan, ketakutan serta harapan, sebab akibat, penyampaian gagasan, nilai dan pesan-pesan dalam frame dan dunia yang diciptakan penulisnya. Seperti Tuhan yang menciptakan semesta, sebagai latar bagi manusia, demikian juga manusia (penulis) mencipta karya sastra, dimana unsur sastra menjadi latar bagi para tokoh-tokoh yang digambarkan oleh penulis.

Sang penulis dan tokoh

Tentu saja penulis boleh membuat alur cerita sesuai dengan gagasan yang akan disampaikan tanpa harus terhubung dengan alam dan Tuhan. Latar, alur, tema masuk ke dalam sebuah novel, dan sosok tokoh yang dihadirkan dalam balutan cerita. Tanpa tokoh yang bergerak di latar, alur dan tema, maka novel hanya menjadi karya sastra yang membisu bagi pembaca. Karena kehadiran tokoh dapat membentuk jalinan makna bagi pembaca. Disitulah sebuah novel akan bertaruh dengan kedalaman jiwa sang tokoh. Entah tokoh itu diangkat dari sebuah kisah nyata maupun fiksi belaka.

Sebagaimana Tuhan yang menciptakan semesta, bumi langit seisinya yang beriringan dengan garis Takdir perjalanan penghuni (mahluk) di dalamnya yang telah ditentukan-Nya. Sang penulis pun mempunyai peranan yang sama seperti peran Tuhan, Tokoh yang diciptakan dalam karya novel menjadi bagian terpenting, sebagaimana Tuhan menciptakan manusia dengan berbagai karakteristiknya, bersuku-suku, berbangsa-bangsa demi memimpin seluruh karya ciptaan-Nya yang agung berupa semesta. Penulis dalam novel pun mempunyai peranan yang sama. Menjadi sutradara besar dalam menentukan latar, alur, tema serta karakteristik tokoh yang dihadirkan.

Santri dala(M)afia untuk Siapa?

Pesantren mempunyai dunianya sendiri dalam melihat, menghayati, dan mengamalkan jalan hidup berdasarkan nilai-nilai ajaran ke Ilahiaan yang turun merasuk ke setiap sendi-sendi kehidupan di dunia melalui para utusan-Nya. Seorang Kyai sebagai sumber mata air keilmuan tak akan surut termakan jaman, meski beribu-ribu santri menimbanya hingga jutaan liter. Sebagaiamana kehidupan sosial bermasyarakat dengan beragam mozaik-mozaik yang melingkupinya, di Pesantren pun terjadi pola-pola hidup yang sama pula. Santri bak masyarakat, mempunyai cara pandang tersendiri dalam melakoni hidupnya. Tuntutan menggali ilmu pengetahuan seluas-luasnya tidak lantas menjadikan pola hidup keseharian mereka berjalan linier/monoton. Bahkan sebaliknya, kehidupan santri di pesantren berjalan begitu dinamis.

Novel “Mafia Three In One” karya Muhammad Mahrus dengan tokoh utama bernama “Sofi” mensiratkan pelbagai bentuk hikmah dan peristiwa yang sejatinya pun dialami di dunia luar Pesantren. Pemilihan nama tokoh “Sofi” sebagai penggerak bagi keberlangsungan tradisi pesantren yang telah turun-temurun dan mengakar di kalangan santri menjadi sebuah “tanda tanya” tersendiri dalam novel ini. Sebagaiamana dalam dunia Islam kita mengenal para Sufi yang memperkenalkan ketauhidtan pada umat dengan cara-cara yang bagi sebagian kalangan dianggap “nyeleneh” teringat satu maqolah “Takhallak bihulkil illah” berperangailah perangai Tuhan. Ketika seorang manusia berperangai Tuhan, maka nalar logika akan terputus untuk mengikutinya, sebab cakupannya lebih pada naluria. Para Sufi-sufi besar dalam tradisi dunia Islam telah menggoreskan tinta emasnya dalam sejarah perjalanan Islam dari waktu ke waktu. “Seakan-akan” apa yang dilakukan oleh para Sufi kontradiktif dengan nilai-nilai ajaran agama, tetapi pada hakikatnya TIDAK. Dalam skala yang kecil tokoh Sofi dihadirkan guna memberikan sebuah pilihan dalam melakoni tholabul ilmi di Pesantren. Ia dihadapkan dengan peraturan-peraturan, dihadapkan dengan kebijakan-kebijakan dan tradisi-tradisi yang secara esensisal dalam pandangan tokoh Sofi bukan hanya sebatas itu.

Bersama Imron, Rohim dan Abdul. Sofi memberikan pilihan-pilihan cara pandang berbeda yang tidak lazim bagi kalangan pesantren. Meski terkadang terasa kontroversi bahkan radikal tetapi luapan-luapan ide yang terlontarkan masih dalam koridor nilai-nilai ajaran Islam, walaupun terkadang tidak selaras dengan peraturan pesantren. Dengan apik novel ini menggambarkan intrik yang dalam kehidupan sehari-hari dirasakan oleh setiap orang dalam bermasyarakat.

Tokoh Sofi dihadirkan sebagai representasi dari pengalaman-pengalaman seorang santri yang menuntut ilmu di pesantren. Daya nalar kritis serta panggilan nurani membawa Sofi beserta genknya memasuki alam-alam yang “seakan-akan” dianggap “tabu”. Tanpa ragu ia akan mengatakan tempe jika itu adalah tempe, ia akan mengatakan tahu jika itu memang tahu. Keresahan demi keresahan yang terus menerus ia rasakan hingga “memaksa” atau “dipaksa” oleh keadaan guna melahirkan sebuah “pembaharuan” dalam memandang pola kehidupan di pesantren. Meski gagasan-gagasan yang ia lontarkan menjadikannya menerima pelbagai hujatan dan makian. Gerak-gerik cultural Sofi dan genknya berujung pada peraduan manis, hingga ia duduk di ranah organisasi pesantren struktural. Kepuasaan masih belum didapat, ia masih berjalan di padang sahara mendamba oase berada tepat di pelupuk matannya. Hingga badan lahir terpisah dari pesantren.

Cinta, Rasa-merasa

Seseorang berhak mengungkapkan rasa cinta dengan caranya masing-masing. Sebagaimana sholawat sebagai bentuk ungkapan rasa cinta umat Islam kepada junjungannya Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Seorang laki-laki menghadiahkan sekuntum bunga pada perempuan pujaan dll. “Innal muhibbah lima yuhibbaul muthi’”sesungguhnya manusia akan diperbudak oleh apa yang dia cintai. Begitu pun Sofi, seluruh gerak-gerik dirinya dan genknya adalah wujud ungkapan rasa cinta terhadap keberlengsungan pesantren. Apapun yang dilakukan oleh Sofi beserta genknya hingga mendapatkan cap “MAFIA” tak lain, tak bukan adalah sebuah wujud ungkapan dari rasa cintanya terhadap dunia pesantren.

Rasa cinta itu mewujud kedalam kebebasan imajinasi, berfikir, berexpresi yang tak terbatas oleh ruang dan waktu, dari keresahan-keresahan yang dirasakannya, ia terus bergerak liar menjangkau dunia. Menjadi tandingan dunia dalam bingkai kata-kata. Tempat dimana manusia dapat memetik pelajaran, hikmah, pengalaman darinya, lalu dihempaskan kembali ke dalam pesantren. Novel Mafia Three in one karya Muhammad Mahrus ini mampu masuk ke alam pikiran pembaca. isi kisah yang tertuang di alur cerita menempuh jalan berliku, dipenuhi oleh peristiwa, renungan, dan khayalan bahkan pengharapan dari seorang santri, pada dan atau untuk teman seperjuangan hingga naik pada kandungan saraf-saraf otak para pemangku kebijakan di dalam pesantren, dan berujung pada “dunia”.

Salam hangat, Matur Nuwun Novelnya

*) Awalludin GD. Mualif
Yogyakarta 22 Januari 2015 (Sastra Sewu, Yogyakarta) Kopi Hitam.

SASTRA DALAM NOVEL GRAFIS

$
0
0

Arif ‘Minke’ Setiawan
pawonsastra.com

Material yang saya tuliskan berikut ini hanya didasari ingatan – yang mana saya sadar sangat fana dan temporal sifatnya – sehingga bila ada terjadi kekeliruan penyebutan data dan fakta, dengan rendah hati saya mohon luasnya pemakluman dan lubernya permohonan maaf pembaca sekalian.

Novel grafis selama ini dimaknai sebagai varian cerita bergambar yang mengusung tema berat, alur cerita kompleks, serta disampaikan dengan bahasa sastrawi. Ini untuk membedakan dengan varian cerita gambar lainnya semisal komik yang cenderung bertema sederhana serta disampaikan dengan gaya bahasa ringan. Acapkali dianggap komik adalah bacaan untuk anak-anak, sedangkan novel grafis diperuntukkan untuk pasar penyuka cerita gambar berusia dewasa.

Koskow sebagai pembicara pertama, lebih banyak membahas novel grafis dari sisi grafik/ gambarnya. Sebagai akademisi seni grafis, Koskow memaksimalkan kemampuan akademisnya dalam membedah karya-karya novel grafis. Novel grafis yang dikupasnya terutama adalah The Invention Of Hugo Cabret. Buku yang pernah juga diangkat ke layar lebar dengan judul sama itu bercerita tentang kehidupan seorang anak yatim piatu bernama Hugo Cabret yang hidup sendirian di stasiun kereta api di Paris. Nasib membawanya bertemu Georges Melies, seorang sutradara film andal di jamannya.

Novel grafis Hugo Cabret disebut Koskow sebagai seni melihat (the art of seeing) karena – berbeda dengan umumnya novel grafis dan komik yang menggabungkan rangkaian gambar dengan narasi dalam balon kata – buku ini memisahkan antara gambar dan narasinya. Beberapa halaman menyuguhkan gambar dalam format hitam putih arsiran, dan beberapa halaman selanjutnya berisi narasi. Dan ini disusun berganti-ganti. Koskow menyebut penyajian serupa ini memang disengaja penulisnya agar pembaca tertantang untuk mencari hubungan tiap-tiap penanda yang ada dalam gambar dan dalam narasi, karena keduanya bukanlah entitas terpisah namun menjalin satu kesatuan kesempurnaan cerita.

Pembicara kedua, Dwi Klik Santosa, adalah kreator novel grafis Abimanyu. Ia menulis narasi cerita, namun pengerjaan gambar diserahkan kepada pihak lain. Narasi Abimanyu dipilihnya karena cerita wayang – babon/ baku maupun carangan – selalu melekat dalam kenangannya. Dikisahkannya bagaimana sejak kecil ia diajak berkelana kakeknya menonton pertunjukan-pertunjukan wayang di daerah Wonogiri. Naik – turun gunung, jalan dari desa ke desa dilakoninya demi mendapat hiburan dan kaweruh dari setiap pertunjukan. Dan memori itulah yang terbawa sampai ia dewasa.

Dwi berani mengklaim karyanya sebagai novel grafis karena dalam narasinya ia menyelipkan rangkaian kata-kata berbobot sastra. Bahkan ada beberapa halaman yang khusus memuat puisi-puisinya, tanpa disertai satupun gambar ilustrasi. Pergaulannya dengan seniman/ sastrawan/ budayawan ternama ikut berperan membentuk idealisme sekaligus jiwa seninya. Berkali-kali ia menyebut kedekatannya dengan penyair Rendra dan pernah nyantrik di bengkel seninya.

Pembicara pamungkas, Gunawan Tri Atmojo, penulis asli Solo mendapat porsi membahas novel grafis dari sudut pandang ilmu sastra. Ia mengajukan 3 penulis novel grafis sebagai sampel dalam materi bahasannya: Will Eisner (trilogi Kontrak Dengan Tuhan), Marjane Satrapi (Persepolis, Bordir), Kim Dong Hwa (trilogi Warna, Sepeda Merah). Dalam pandangan Gunawan, Eisner benar memaksimalkan gambar sebagai media perlawanan terhadap ketertindasan yang terjadi di lingkungan sosialnya. Tak heran gambar-gambar Eisner cenderung murung, gelap, suram. Ini sejalan dengan idealisme sejumlah sastrawan bahwa karya sastra harus mampu memotret kejadian faktual di sekelilingnya, dan harus mampu pula mendorong pembacanya untuk berani membuat perubahan terhadap segala ketidakberesan sosial sekitarnya.

Sedangkan karya-karya Marjane disebutnya sebagai karya ceria. Marjane memandang kepedihan dan penderitaan masa kecilnya semasa Revolusi Iran dengan sudut pandang yang lebih humoris mengarah komikal. Ini membuat penderitaan yang dihadapinya itu menjadi lebih ringan untuk dijalani. Dan Kim Dong Hwa disebut Gunawan sebagai sintesa antara Eisner dan Marjane. Kim mampu meramu antara kejadian-kejadian muram dan momen bahagia secara proporsional, disampaikan dengan bahasa lembut feminin selayak seorang ibu yang sedang bercerita pada anaknya. Tak heran banyak pembaca awam yang belum familir dengannya terpeleset mengiranya sebagai perempuan.

Pada sesi tanya-jawab terungkap bahwa sebagian besar peserta masih kesulitan membedakan antara novel grafis dan komik. Ini berangkat dari menggantungnya definisi tentang novel grafis itu sendiri. Masing-masing pembicara menanggapinya dengan jawaban yang berbeda pula. Bahkan dengan ekstrem Gunawan menyebut pembedaan itu hanya ada dalam selera pembacanya. Selama pembaca menikmatinya sebagai novel grafis maka ia adalah novel grafis. Absurd!

Keracuan komik dan novel grafis sendiri sebenarnya juga dimanfaatkan sekaligus disuburkan oleh penerbit-penerbit yang berorientasi pasar. Hanya karena pasar sedang gandrung pada novel grafis, maka sembarang terbitan cergam dengan mudah diberi label novel grafis di sampulnya. Kasus ini mengingatkan pada masa ketika pasar sedang demam Che Guevara atau Kahlil Gibran atau Nietzsche maka di pasar buku membanjir tulisan-tulisan yang membahas Che Guevara atau Kahlil Gibran atau Nietzsche. Oplah pasar memang telah menjadi acuan dan didewakan industrialis buku. Apapun rela dilakukan demi lakunya sebuah buku, bahkan sekalipun itu berarti menipu. Esensi buku berhenti hanya pada sebuah produk/ komoditas, bukan lagi sarana pencerah kehidupan manusia.

Di akhir diskusi, Yudhi Herwibowo, aktivis Pawon, menutup dengan menyebut bahwa novel grafis muncul sebagai upaya pemberontakan terhadap industri komik. Format produksi komik yang seragam, dari format balon kata, ukuran lay out, sampai jumlah halaman, itu yang coba didobrak. Penulis-penulis yang menolak doktrin demikian berusaha merumuskan sebuah cerita gambar baru yang berbeda dengan komik-komik mainstream. Hingga lahirlah novel grafis.

Balai Soedjatmoko, Surakarta, Sabtu (22/06/2013)
Pelaksana Kegiatan: Komunitas Sastra Pawon
Pembicara : Koskow (akademisi dan pengamat novel grafis)
Dwi Klik Santosa (novelis grafis)
Gunawan Tri Atmojo (sastrawan)
Moderator : Ngadiyo

http://www.pawonsastra.com/2013/06/sastra-dalam-novel-grafis-hasil-diskusi.html

Menulis Sampul Buku

$
0
0

M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
satudaungraphic.wordpress.com

Di daratan Amerika Serikat, apresiasi terhadap desain buku juga menggeliat, sebagaimana terbaca saat pameran sampul New York Art Book Fair di Queens, New York, September lalu.
Berangkat dari napas apresiasi serupa, Merupa Buku ini merupakan buku langka yang mau menulis dunia perupaan buku, terutama untuk kasus Indonesia, khususnya Yogyakarta. Buku ini bukan karya utuh yang menelaah dunia rupa buku secara akademik dan ilmiah, namun ke-19 artikel di dalamnya seperti ditulis sebagaimana paper akademik. Koskow, demikian penulis buku ini biasa disapa, mampu “menginvestigasi” sepak terjang perancang sampul Tanah Air, memetakan aktivitas mereka secara geografis-historis, dan melakukan bedah estetik atas karya-karya mereka. Dan, dari sisi itu, buku ini tepat dipandang sebagai pertanggungjawaban atas keterlibatan Koskow di dunia perupaan buku.

Dunia rupa buku, bagi sang penulis yang juga pengajar di Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia Yogyakarta ini, merupakan media pengungkap isi buku. Karena itu, seorang perancang sampul membutuhkan kepekaan sosial, tidak sebatas kemampuan teknis menggambar. Karyanya merupakan kesatuan ide dengan isi buku yang menuliskan realitas. Logika normatif itulah yang mendasari Koskow dalam memeriksa kekuatan sampul buku penerbit alternatif di Yogyakarta pada 1990-an. Menurut dia, masuknya seni dalam perkembangan sampul buku, yang semula diterapkan Pustaka Jaya pada 1970-an, kembali dihadirkan penerbit ”kecil” Yogyakarta, seperti Bentang Budaya, Pustaka Pelajar, dan LKiS.

Sekalipun tak sampai menelusuri sejarah penerbitan buku Yogyakarta sebelum era 1990-an, buku ini cukup memberi percikan kronologis yang runtut. Pada era senjakala rezim Orde Baru itu, penerbit alternatif di Yogyakarta terkenal dengan sebutan ”penerbit rumahan”. Kebanyakan penerbit yang hidup kala itu bersandarkan pada ”manajemen pertemanan”, temasuk Bentang Budaya. Dalam proses kreatif perupaan buku, misalnya, Buldanul Khuri, pendiri yang kadang masih merancang sampul buku terbitan Bentang, kerap “memakai” jasa seniman yang dekat secara personal dengannya. Misalnya Agung Kurniawan, Tisna Sanjaya, Mella Jarsma, Heri Dono, Agus Suwage, Agus Kamal, Lucia Hartini, Sulasno.

Bersama Ong Hari Wahyu alias Si Ong, kecenderungan melibatkan seniman (lukis, grafis) dalam sampul buku Bentang tentu tak dapat dilepaskan dari pengalaman keduanya kala terlibat dalam dunia penerbitan, yakni Shalahuddin Press -—terlepas dari latar belakang keduanya yang pernah mengenyam pendidikan seni di Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Selain mereka, ada nama Haitamy el Jaid yang sering menjadi ilustrator dan perancang sampul LKiS. Mereka semua muncul sebagai sosok yang mulai menempatkan desain sampul buku sebagai ”wilayah meleburnya seni dan desain”. Mereka adalah ”seniman sampul buku”.

Nah, guna mendekatkan imaji pembaca pada bahasannya, Koskow tak luput menampilkan desain sampul beberapa buku beserta bedah estetiknya. Penulis bernama lengkap FX Widyatmoko ini terbilang tekun untuk hal yang satu ini. Mulai dari sampul nglawasi khas Si Ong, sampul yang menghadirkan karya cukil kayu kelompok Taring Padi, sampul Haitamy el Jaid yang terinspirasi seni lukis surealisme Agus Kamal, sampul dengan visual tiga dimensi Agus Suwage, juga sampul buku Pustaka Jaya dengan seni grafisnya Popo Iskandar.

Menurut penelusuran Koskow, penerbit Pustaka Jaya pada era 1970-an merupakan pelopor penerbitan yang menghadirkan karya seniman dalam dunia perupaan buku. Selain seni grafis (cetak saring) Popo Iskandar, ada nama lain seperti pelukis Nashar dan Wakidjan. “Pada masa itulah,” tulis Koskow, “seni grafis mulai memperlihatkan eksistensinya kembali.” Dan, dengan berpijak antara era Pustaka Jaya dan fenomena penerbit alternatif Yogyakarta era 1990- an, terbaca betapa dunia rupa buku kita mengalami kemandekan selama 20 tahun. Sayang, temuan historis ini hanya disebutkan sebagai percikan-percikan, terdapat dalam beberapa artikel awal — yang menurut saya artikel pokok, dan tak diperdalam secara kritis.

Barangkali, memang bukan di situ kapasitas Koskow dalam menganalisis desain sampul buku, melainkan bedah estetik. Itu tampak setidaknya dari lima artikel ini: “Nonton Indonesia Lewat Kover Buku”, “Cetak Ulang: Peluang Bermain Tafsir pada Desain Kover Buku”, “Kover Belakang Buku: Ruang Akrobat Beragam Kepentingan”, “Imaji Wayang dalam Kover Buku”, dan “Membaca Ilustrasi”. Kelima artikel itu melengkapi bahasan perihal sampul buku yang merupakan pokok tema buku ini. Di luar itu, terdapat beberapa judul artikel yang tidak fokus membahas sampul, tapi dunia perbukuan. Termasuk pula catatan atas pameran buku. Koskow di sini tak ingin melepas analisis sampul buku dari lingkaran wacana di sekelilingnya.

Tentu hal itu mudah dimengerti lantaran Koskow bukanlah “manajer dari pinggir lapangan” atau “dalang di luar panggung” di dunia perupaan buku. Ia terlibat langsung dalam ranah yang, andai luput memeriksa bagian akhir buku (Bab IV Penutup dan Pengalaman Pribadi), seperti berada dalam teropongan sang penulis belaka.

Sampai saat ini, Koskow masih dipercaya penerbit Grasindo sebagai perancang sampul buku. Pengalaman kali pertamanya merancang sampul dapat dilihat dari novel Beraja (Grasindo, 2002) karya Anjar, karib penulis sendiri. Semua novel Anjar selanjutnya selalu dipercayakan pada garapan tangan Koskow. Rancangan sampul, proses kreatif, dan bedah sampulnya dapat diteliti pembaca dalam buku ini.

Nah, umumnya buku bertema desain, terutama yang membutuhkan penonjolan visual yang kuat, seperti selalu ingin tampil eksklusif, penuh warna, sehingga berharga tinggi. Tapi buku setebal 247 halaman ini patut diacungi jempol karena berani terbit “hitam-putih”, sekalipun banyak menampilkan sampul buku (dan ulasan estetiknya). Walau masih terdapat buku yang tak disertai gambar sampul dari sekian banyak judul yang disinggung, itu pun rata-rata cuma sekotak 3×2 sentimeter; tapi dengan beginilah harga buku terbitan LKiS ini tetap terjangkau.

Pada akhirnya, “buku tentang buku” ini secara tematis mengumpulkan data yang melimpah perihal dunia rupa buku Yogyakarta. Dalam setiap artikel, tak hanya hasil amatan empiris yang ditulis, melainkan dilengkapi dengan alat bedah teoritis di sana-sini -— karena format buku yang merupakan kumpulan artikel.

Bagi para pengkaji desain, media, dan cultural studies, buku ini layak direkomendasikan supaya dapat dikembangkan dalam kajian yang lebih serius -—tentu terlepas dari adanya angle yang belum dikupas oleh penulis, seperti merebaknya e-book yang kerap menomorduakan sampul. Puncak kata, buku ini hendak menempatkan buku tak sekadar alat buat menyampaikan ide, karena buku itu sendiri adalah ide.

*) M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S., Pembaca buku tinggal di Bulaksumur Yogyakarta.
https://satudaungraphic.wordpress.com/2011/07/20/menulis-sampul-buku/


Membaca Fiksi dalam Tanda-tanda Nano

$
0
0

Judul: Sign Fiction :The Art Of Nano Warsono
Karya: Nano Warsono
Penerbit: Langgeng Gallery
Edisi: Pertama, April 2009 (500 exp)
Ukuran: 25cm x 21 cm
Tebal: 203 + xxviii
Genre: Buku Visual
Diana AV Sasa *
Kompas.com

Sign Fiction: The Art of Nano Warsono, begitu ia memberi tajuk monografnya. Nano Warsono, perupa asal “Kota Ukir, Jepara” yang sekarang menetap di Yogyakarta ini, bukan sekedar membuat sebuah album karya atau kronik rekam jejaknya berkesenian, tapi ia tengah memindahkan galeri dimana karya-karyanya pernah dipajang, ke dalam media yang lebih kecil: buku.

Melalui buku, Nano membawa pembacanya untuk berlama-lama menikmati dan menyelami setiap karyanya. Buku itu bisa dibaca berkali-kali tanpa terbatas waktu seperti bila pameran di galeri. Begitu buku dibuka, karya itu tergelar dan siap dinikmati dengan atmosfer yang berbeda-beda.

Dengan buku, Nano memberi kesempatan lebih banyak orang untuk ‘membaca’ karya senirupanya. Itu berarti juga membuka peluang lebih besar agar pesan-pesan dalam karya Nano turut pula menyebar meluas. Dan seperti umumnya karya seni, pesan-pesan itu tidak tersurat namun tersembunyi dibalik tanda-tanda yang tak nyata, fiksi.

Tanda-tanda fiksi itu disajikan Nano dalam serangkaian bab yang disebut Hendro Wiyanto dalam pengantarnya sebagai “panel-tunggal-fiksi-sejarah bergambar”. Maka Nano pun mengajak pembacanya untuk mencari tanda itu dengan mengamati perjalanannya di jagad senirupa melalui karya Drawing & Comic (gambar dan komik), Painting (Lukis), Mural, dan Sculpture (patung).

Meski ia menggunakan aneka media garapan untuk gambar, mural, patung, instalasi, sampai lukis, namun ada satu kesatuan yang utuh dalam karyanya. Dan itu hanya bisa dinikmati bila dibaca runtut. Tentu sangat memungkinkan bila karya ini ingin dinikmati secara acak. Seperti halnya karya yang dipajang di dinding galeri, ia bisa dinikmati dari mana saja, tidak mesti dimulai disatu titik dan diakhiri di titik tertentu pula.

Dalam bab Drawing&Comic yang menghabiskan 2/3 bagian dari seluruh halaman Sign Fiction, terlihat sekali tema-tema yang diangkat Nano melalui karyanya adalah semacam kegelisahan dan pemberontakan akan realitas yang ditemuinya semasa tahun 90an hingga awal 2000an. Masa dimana ia masih seorang mahasiswa Institut Seni Indonesia di Jogja, juga masa dimana Indonesia sedang mengalami transisi kepemimpinan nasional dan carut perekonomian. Masa ini terkesan suram dan berat dalam karya Nano. Ada kegelisahan dan pemberontakan yang demikian berat tersirat melalui garis hitam, karakter seram, dan kutipan-kutipan bernada satirnya.

Beragam sekali aspek yang ditampilkan Nano di bab ini. Nano seperti ingin menunjukkan bahwa masa pencarian yang ia lakoni bersama gambar dan komiknya adalah masa yang bukan saja rumit tapi juga berat. Ada paradoks antara apa yang ia baca dan ia lihat. Ada ketimpangan antara barat dan timur. Nano melihat efek sosial setelah budaya barat dan globalisasi merajai segala sendi kehidupan.

Nano membaca bagaimana ketika manusia semakin takhluk pada tehnologi, ketika informasi dikuasai tehnologi, ketika mesin mengalahkan manusia bahkan mendorong manusia menjadi mesin yang kehilangan naluri kemanusiaannya, Nano membaca itu sebagai realitas yang perlu dipertanyakan ulang maknanya.

Nano juga mempertanyakan kembali makna pahlawan ditengah serbuan tehnologi canggih. Maka kemudian muncul tokoh-tokoh superhero macam Batman yang menjadi Badman. Atau Osama bin Laden yang berada diatas seluruh superhero macam Superman, Spiderman, Heman, dan sebagainya. Ada pula superhero yang mejadi jahat dan penjahat yang digambarkan menjadi karakter baik.

Bab Drawing & Comic ini juga memperlihatkan bagaimana seorang Nano berproses dengan setiap pengalaman dan realitas dalam diri maupun diluar dirinya. Dengan menonjolkan obyek utama berupa botol, tubuh, dan pohon, Nano mengurai kegelisahan personalnya terkait teman, keluarga, kekasih, dan jati dirinya. Berbagai macam wacana yang ditemuinya bercampur dalam otaknya dan keluar mencari pemaknaan baru.

Kegelisahan akan wacana yang berkembang ini juga nampak dalam beberapa karya yang menonjolkan obyek-obyek seperti buku, simbol-simbol agama, nama-nama filsuf, ikon tehnologi, dan pola-pola gambar dengan karakter mind-mapping (peta pikiran). Juga terlihat pada petikan kalimat yang ia tulis dalam gambarnya, seperti “Dan memberontak adalah salah satu cara bertahan hidup yang tepat melawan kemapanan”, atau “Aku butuh sesuatu yang baru, bukan dogma-dogma yang kuno”.

Setelah menikmati gejolak kegelisahan dan perlawanan dengan nuansa hitam putih yang agak suram, pembaca akan diajak menilik karya Nano dalam wujud lukisan. Dalam karya ini, Nano terlihat seperti menemukan kecerahan dan keceriaan. Warna-warna mencolok dan berani membuat karakter lukisannya yang cenderung komikal semakin berkesan kuat dan keras. Disini Nano mulai menyatukan karyanya dalam satu tarikan tokoh komik yang ia pinjam untuk menyampaikan pesan pemberontakannya akan realitas masyarakat urban di sekitarnya.

7 halaman bab mengenai karya mural Nano, memberi pembaca sedikit gambaran kedalaman dan keluasan wacana dan wawasan seorang Nano, yang ketika itu diungkapkan pada media bebas semacam tembok, ternyata menghasilkan karya yang bukan hanya memiliki estetika tinggi namun juga pesan yang jelas. Karya mural Nano terjejak di Jepara, Jogja, dan Sanfransisco.

Meski tak terlampau banyak, Nano juga membuat patung. Karya patung yang dibuatnya sekira tahun 2001 masih menampakkan ornamen yang menunjukkan detil. Ini tak lepas dari latar belakang Nano yang dari Jepara dan dekat dengan tradisi ukir kayu. Setelah tahun 2006, patung yang dihasilkannya sudah mengikuti alur lukisannya: komikal dan berwarna mencolok. Dalam setiap karyanya, Nano seperti mengajak pembaca untuk berhenti sejenak, merenung dan menemukan tanda-tanda pesan yang ingin ia sampaikan.

Persembahan karya visual itu diakhiri dengan sebuah diskusi mengenai Nano dan karya-karyanya. Transkrip wawancara yang dilakukan Rain Rosidi (seorang kurator senirupa) ini memberi gambaran bagaimana Nano memandang suatu karya senirupa. Juga dapat diketahui dasar filosofi Nano dalam berkesenian. Pilihan Nano untuk masuk dunia senirupa professional, dan perkembangan/perubahan karya-karyanya tercakup pula disini. Ditambah sedikit profil dirinya, kita akan memahami mengapa dan bagaimana karya-karya Nano bernuansa komik dan cenderung detil.

Sedikit kekurangan pada Sign Fiction adalah penggunaan bahasa Inggris pada judul Bab dan bagian Profile yang tidak diterjemahkan ke Bahasa Indonesia. Memang tidak mengganggu, hanya tidak konsisten. Penggunaan bilingual (Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris) semakin memungkinkan Sign Fiction untuk diterima masyarakat senirupa secara lebih luas. Buku ini tepat bagi mereka yang menekuni seni rupa dan membutuhkan tambahan referensi visual. Namun juga bisa dijadikan alternatif lain para penggemar fiksi.

Seperti lazimnya sebuah buku, Sign Fiction juga menyertakan pengantar. Kali ini pengantar itu dituliskan FX Widyatmoko Koskow (seorang cover designer, dosen ISI, dan juga editor visual Sign Fiction) yang mengambil judul Wonderline, Garis Negosiatif, Hendro Wiyanto (Kurator) dengan Post-Colonial Pop, dan Arahmaiani dengan Dunia Komik Dalam Karya Nano Warsono.

Pengantar ini memang membantu pembaca untuk mendapat gambaran kesatuan pesan dalam karya Nano, namun sebagaimana karya seni/sastra maka akan lebih nikmat bila karya itu dinikmati tanpa derecoki pendapat dari penikmat yang lebih dulu membacanya. Mengabaikan pengantar-pengantar itu sama baiknya seperti mengabaikan endorsement di sampul belakang buku best seller.

Buka saja bagian karyanya, dan temukan setiap tanda-tanda dalam fiksi gambar yang ingin disampaikan Nano. Karena setelah ide terlahir menjadi karya (baca: buku), maka ia bebas menghadapi sidang pembacanya.

*) Diana AV Sasa- Penulis Buku “Monumen Ingatan: 100 Seniman Indonesia Membaca Baca Bacaan”
http://nasional.kompas.com/read/2009/11/24/18371216/membaca.fiksi.dalam.tanda-tanda.nano

Buku, Warisan Tak Lekang Zaman

$
0
0

Hendra Sugiantoro *
riaupos.co 1 Nov 2015

Buku, kata Guenther Weisenborn (1902-1969), adalah monumen paling berharga bagi manusia. Buku mengandung ilmu, wawasan, dan pengetahuan. Melalui buku, ujar Komaruddin Hidayat (2010), manusia dapat menelusuri titian-titian pemikiran, imajinasi, hingga kontemplasi manusia-manusia yang hidup dalam ruang dan waktu yang berbeda.

Banyak hal didapatkan dari buku sampai-sampai Barbara Tuchman (1912-1989) berani mengatakan bahwa buku adalah mesin perubahan, jendela dunia, dan mercusuar yang dipancangkan di samudera waktu. Buku mampu menjadikan manusia berpikiran maju dan memiliki cakrawala luas. Buku sebagai jendela dunia pun dibuka dan dihayati Immanuel Kant (1724-1804). Seumur hayatnya, filsuf asal Jerman itu konon belum pernah melihat gunung dan lautan. Tatapan mata Kant tak melampaui kota kecilnya di Konigsberg, Jerman. Hanya melihat dunia dari buku, konon Kant mampu memberikan kuliah-kuliah geografi dengan penggambaran yang begitu ‘hidup’. Para pendengarnya mampu memvisualisasikan tempat-tempat yang dipaparkan Kant.

Dengan buku, Soekarno (1901-1970), presiden pertama Indonesia, pun merasakan hiburan di dalam ilmu, di dalam pengetahuan, di dalam alamnya akal dan batin. “aku meninggalkan dunia yang fana ini masuk ke dalam dunia yang lebih abadi, lebih besar, lebih mulia, lebih berisi yaitu alamnya ilmu, alamnya akal, alamnya batin, alam yang oleh orang Inggris dinamakan the world of mind,” ujar Bung Karno menceritakan masa mudanya. Dengan membaca buku, beliau bisa bersua dengan tokoh-tokoh dunia yang jasadnya telah tiada. Dengan tokoh dunia yang masih hidup di zamannya, Bung Karno telah bersua lewat buku sebelum bersua secara fisik. Lewat buku, Bung Karno membaca sejarah hidup dan pemikiran tokoh-tokoh dunia dan merasa sebagai warga negara dunia (citizen of the world).

Melekatnya Bung Karno dengan buku tak pernah pudar sampai usia tua. Begitu pula dengan Mohammad Hatta (1902-1980), wakil presiden Indonesia pertama. Beliau seolah-olah tak bisa dipisahkan dari buku. Saat menempuh studi maupun diasingkan Belanda ke berbagai tempat, beliau senantiasa membawa peti-peti berisi buku. Ada sekitar 16 peti berisi buku yang dibawa Bung Hatta saat diasingkan ke Banda Neira dan kemudian ke Boven Digoel. Koleksi bukunya terus bertambah. Dari buku-buku yang dimiliki, kenang putrinya Meutia Hatta, semuanya dibaca. Karena menganggap buku lebih berharga sebagai tanda cinta, buku pun dijadikan Bung Hatta sebagai mas kawin saat menikahi Rahmi Rachim. Menurut Bung Hatta, buku lebih berharga sebagai tanda cinta ketimbang harta benda lainnya. Sutan Sjahrir, Mohammad Natsir, Tan Malaka, Buya HAMKA, Kartini, dan tokoh bangsa masa silam lainnya juga intim dengan buku.

Tak terkecuali dengan Rosihan Anwar (1922-2011). Dengan membaca buku, wartawan empat zaman itu bisa mempelajari berbagai hal secara otodidak. Azyumardi Azra yang dikenal sebagai salah satu sosok cendekiawan berpengaruh di Indonesia juga tak terlepas daridunia buku. Rak-rak berisi buku-buku terdapat di rumah maupun kantornya. Stephen R. Covey, penulis buku 7 Habits of Highly Effective People, juga tak letih membaca buku meskipun usianya 70 tahun lebih. Di rumah salah satu dari 25 tokoh berpengaruh di Amerika Serikat versi Majalah Time itu, tumpukan buku ada di mana-mana, bahkan di samping bak mandi (Kevin Hall: 2009). Begitu pula dengan A. Syafii Maarif yang tekun membaca buku. “Hanya kebiasaan membaca Ayah yang sampai setua ini telah saya warisi. Dengan hanya berbekal Sekolah Rakyat (SR), pengetahuan Ayah di atas rata-rata orang desa,” ujar beliau (2011).

Manfaat buku bagi manusia tak hanya menambah ilmu, wawasan, dan pengetahuan, tetapi juga manfaat lainnya. Ali Syariati pernah mengatakan, “Buku adalah makanan bagi jiwa dan pikiran. Buku juga bagaikan obat bagi penyakit yang mendera perasaan dan pikiran manusia.” Banyak manusia mendapatkan inspirasi untuk hidup lebih bergairah dan bermakna lewat berbagai buku yang diselaminya. Dengan membaca buku, manusia-manusia bisa meluaskan wawasan dan pemikirannya, sehingga tidak berpikiran dan berpandangan sempit. Buku bisa menciptakan perubahan-perubahan dan menggerakkan zaman.

Membaca buku tentu bukanlah laku untuk membuang-buang waktu, tetapi untuk mengisi waktu agar lebih bermanfaat. Benar kata Jaya Suprana (1997) bahwa yang utama adalah mengerti makna isi sebuah buku yang kemudian didayagunakan untuk suatu langkah karsa dan karya nyata produktif dan konstruktif. Buku yang berkualitas mampu membangun kehidupan lebih bermakna bagi manusia-manusia yang membacanya.

Buku bukanlah sekadar lembaran-lembaran kertas, tetapi sebuah khazanah yang akan memberi makanan bagi pikiran, emosi, dan spiritual kita. Menghargai buku berarti menghargai ilmu. Buku harus menggerakkan kita untuk memiliki karakter positif dan mampu berkontribusi bagi kehidupan. Kita perlu mencintai buku, begitu pula dengan anak-anak kita. Ajaklah anak-anak kita untuk mencintai buku sejak dini karena buku akan menjadi sayap kokoh untuk terbang mengarungi masa depan, seru Komaruddin Hidayat dalam buku 250 Wisdoms: Membuka Mata, Menangkap Makna (2010).

Maka, mari tumbuhkan minat membaca sejak dini kepada anak-anak. Kegemaran membaca itu harus dididik, harus ditanamkan kepada orang-orang sejak kecil, sejak mereka masih kanak-kanak, ketika masih duduk di sekolah, sejak dari taman kanak-kanak, sekolah dasar sampai sekolah lanjutan dan seterusnya. Kalau mereka tak dibiasakan gemar membaca sejak kecil, tidak dibiasakan akrab dengan buku, maka besar kemungkinan setelah dewasa pun tetap takkan gemar membaca (Ajip Rosidi; 1983).

Buku merupakan warisan berharga yang dapat turun-temurun memberikan ilmu, wawasan, pemikiran, pengetahuan, dan segala yang terkandung di dalamnya. Buku yang berkualitas menjadi penting untuk dimiliki dan kelak bisa diwariskan kepada generasi yang lahir kemudian. Kata-kata TS Eliot, ‘Sulit membangun peradaban tanpa budaya tulis dan buku’, menarik untuk direnungkan. Selamat Hari Buku Nasional, 17 Mei 2015.***

*) Hendra Sugiantoro, pegiat Pena Profetik Yogyakarta.
http://riaupos.co/2710-spesial-buku,-warisan-tak-lekang-zaman.html

Rumah Terakhir Sastrawan Gerson Poyk

$
0
0

Yohanes Sehandi *
Majalah Warta Flobamora (Surabaya), edisi: 50, Maret 2017

Ada sejumlah sastrawan Indonesia yang menggambarkan atau meramalkan tempat penguburan atau rumah terakhirnya jauh sebelum sang sastrawan tersebut meninggal dunia. Apakah kemudian pihak keluarga menguburkan sang sastrawan sesuai dengan yang digambarkan atau diramalkannya, itu urusan lain.

Sastrawan besar Indonesia W. S. Rendra, misalnya, jauh sebelum meninggal dunia pada 6 Agustus 2009 di Rumah Sakit Mitra Keluarga, Depok, telah menggambarkan rumah terakhirnya lewat puisi yang berjudul “Kenangan dan Kesepian.” Banyak pembaca yang mengartikan puisi itu sebagai gambaran penyair si burung merak Rendra tentang tempat penguburannya di TPU Bengkel Teater Rendra, Cipayung, Citayam, Depok, Jawa Barat.

Adapun bunyi puisi “Kenangan dan Kesepian” karya Rendra tersebut adalah: //Rumah tua/ dan pagar batu/ Langit desa/ sawah dan bambu/ Berkenalan dengan sepi/ pada kejemuan disandarkan dirinya/ Jalanan berdebu tak berhati/ lewat nasib menatapnya/ Cinta yang datang/ burung tak tergenggam/ Batang baja waktu lengang/ dari belakang menikam// Rumah tua/ dan pagar batu/ Kenangan lama/ dan sepi yang syahdu//.

Sebagaimana halnya dengan Rendra, sastrawan besar Indonesia kelahiran NTT, Gerson Poyk, juga menggambar rumah terakhirnya. Sebagaimana kita ketahui bahwa Gerson Poyk sang perintis sastra NTT meninggal dunia pada Jumat, 24 Februari 2017 di RS Hermina, Depok, Jawa Barat. Jenazahnya diberangkatkan ke Kupang pada Minggu, 26 Februari 2017, dan menempati rumah terakhirnya di TPU Damai Fatukoa, Kecamatan Maulafa, Kupang. Beberapa hari sebelumnya sempat terjadi desakan dalam bentuk “Petisi” yang ditandatangani puluhan tokoh masyarakat, sastrawan dan budayawan NTT agar jenazah Gerson Poyk yang selama hidupnya secara total mengangkat citra Provinsi NTT di panggung sastra Indonesia modern, untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Dharmaloka, Kupang.

Kalau Rendra menggambarkan rumah terakhirnya dalam bentuk puisi, sastrawan Gerson Poyk yang telah menerbitkan minimal 29 buku sastra, menggambarkan rumah terakhirnya dalam bentuk cerpen. Gerson Poyk yang merupakan orang NTT pertama yang tampil di panggung sastra Indonesia modern, telah menggambarkan rumah terakhirnya pada tahun 1975, 42 tahun yang lalu. Sang perintis sastra NTT ini dalam dua paragraf terakhir cerpennya yang berjudul “Nostalgia Nusatenggara” dalam buku kumpulan cerpen Nostalgia Nusatenggara (Penerbit Nusa Indah, Ende, 1975, halaman 9) menggambarkan dengan bagus rumah terakhirnya. Gerson menulis bahwa rumah terakhirnya dekat dengan kubur mamanya.

Adapun kubur mamanya dalam cerpen “Nostalgia Nusatenggara” itu terletak di tempat yang indah, di lereng bukit terpencil dan sunyi, di bawahnya ada sungai kecil yang mengalir mendesir halus. Gerson Poyk menggambarkan kuburan mamanya: “Kuburan ini terpencil di lereng bukit. Di bawah sana sungai kecil mengalir. Airnya mendesir halus.”

Terus, di mana letak rumah terakhir Gerson Poyk? Rumah terakhirnya tidak jauh dari kubur mamanya, dipisahkan sebuah sungai kecil. Rumah terakhir Gerson terletak di pundak bukit, sejajar dengan lereng bukit kubur mamanya. Rumah yang dibangunnya sederhana dan kecil saja, berada di seberang sungai kecil yang mengalir, mendesir halus, di bawah pohon-pohon lontar, dikelilingi oleh kembang bogenvil. Inilah pelukisan Gerson Poyk tentang rumah terakhir atau tempat peristirahatannya yang terakhir.

“Saya kepingin membuat sebuah rumah di pundak bukit sana, di seberang kali, berhadap-hadapan dengan kuburan mama. Sebuah rumah sederhana dan kecil saja, di bawah pohon-pohon lontar dan dikelilingi oleh kembang bogenvil dan tangga yang bagus terbuat dari karang menuruni kali dan mendaki berliku ke kuburan mama.”

Cerpen ini ditutup Gerson Poyk pada paragraf terakhir: “Ketika mereka berdiri di pundak bukit seberang kali, kuburan ibu nampak di bawah pohon-pohon lontar. Ada beberapa orang sedang menyadap nira sambil bernyanyi berpantun-pantun. Ketika mereka menoleh ke utara, laut senja mengkilau tenang. Angin sepoi. Sejumlah perahu lete-lete mengembangkan layarnya yang kecil terpencil di lengkungan langit dan laut, dan maut.”

Apakah tempat pemakaman Gerson Poyk di TPU Damai Fatukoa seperti yang digambarkannya di atas? Apakah kuburannya dekat dengan kuburan mamanya? Apakah ada sungai kecil yang mengalir mendesir di bawah pundak bukit tempat pemakaman Gerson Poyk? Apakah ada banyak pohon lontar dan kembang bogenvil di TPU Damai Fatukoa? Bisa ya, bisa tidak. Yang jelas, sastrawan Gerson Poyk telah membayangkan rumah terakhirnya pada 42 tahun yang lalu lewat sebuah cerpen. Selamat jalan sang perintis sastra NTT. *

*) Pengamat Sastra NTT dari Universitas Flores, Ende.
http://yohanessehandi.blogspot.co.id/2017/05/rumah-terakhir-sastrawan-gerson-poyk.html

Gus Dur dalam Cakrawala Seni

$
0
0

A.C. Andre Tanama
gangkecil.com


Karya: A.C. Andre Tanama, Judul: “Dari Kesunyian” 2015, Media: Cat Akrilik pada Kanvas, Ukuran: 90 x 135 cm

Berbicara ikhwal kerinduan terkadang menggiring saya pada sebuah kenangan. Dalam pengalaman masa lalu yang pernah saya alami, kenangan terhadap peristiwa, rasa kehidupan, perasaan yang meninggalkan jejak, semuanya mendorong kita untuk memunculkannya kembali. Dalam perkataan lain, ada semacam romantisme terhadap suatu peristiwa maupun seseorang, sosok, tokoh yang memberi inspirasi.

Gus Dur sebagai sosok multidimensional dan tokoh yang ‘low profile’ sekaligus, ia pun menjelma menjadi wajah kerinduan. Kerinduan bagi banyak orang, lintas agama dan lintas etnis. Kerinduan di sini memiliki objek kerinduan yang tak tunggal, maka Gus Dur merupakan wajah semua kerinduan (seperti tema pameran seni rupa dalam Muktamar NU ke-33 tahun 2015).

Gus Dur menjadi ikon kerinduan akan perdamaian, kerinduan adanya sosok pemimpin yang penuh toleransi, kerinduan terhadap gojek-gojekannya, kerinduan atas pemikiran dan karya-karyanya, kerinduan dengan ke-nyleneh-annya, dan sebagainya. Semua kerinduan tersebut ada dalam Gus Dur. Wajah Gus Dur di sini saya memaknainya bukanlah sebagai wajah dalam artian visual/ bersifat fisik permukaan semata. Karena wajah di sini lebih pada watak yang mengejawantah. Nyata. Sikap, pemikiran, dan karya Gus Dur yang kita semua tahu bahwa kesemuanya itu hadir, ada secara riil, tulus, dan tak dibuat-buat.

Kerinduan itu akan hadir tatkala ada jarak yang memisahkan. Kerinduan memang biasa terjadi pada saat seperti itu, ketika sesuatu terasa jauh atau sesuatu telah pergi meninggalkan kita. Merujuk seperti yang dituliskan oleh St Sunardi dalam katalog pameran: Gus Dur tampil sebagai sosok yang bisa dijadikan tempat berlindung bagi mereka yang merasa tidak punya apa-apa maupun siapa-siapa, sosok sahabat untuk berdialog, patner untuk melakukan tindakan-tindakan terobosan di Indonesia, dan teman untuk menertawakan diri sendiri.

Dalam penciptaan karya seni rupa, perupa dalam proses kreatifnya mencoba ‘ngrasaaken’ Gus Dur. Proses ini menjadi upaya meleburkan diri dalam pemikiran-pemikiran positif Gus Dur yang tentu saja membawa energi positif dalam berkarya. Dalam proses itulah, perupa menghadapi dunia imaji yang menantang dirinya untuk memproduksi pengetahuan via citra rupa yang estetik. Ketika perupa berhadapan dengan karya, romantisme akan pemikiran-pemikiran, watak yang mengejawantah dari Gus Dur dan intuisi dirinya (seolah sementara waktu) menyekat dirinya dengan realitas. Ia merasa Gus Dur tak pergi. Ia merasa ditemani Gus Dur. Dengan kata lain, karya yang diciptakan menjadi tombo kangen. Pun setelah ia sadar, proses berkarya selesai ia akan ngrasa kangen. Rasa kangen muncul lagi. Dan hal itu tidak mungkin ditinggalkan, karena yang diperlukan hanyalah ngupakara rasa.

Bagaimana rasa kangen itu mampu ditransfer menjadi energi positif untuk dapat berkarya secara kreatif. Bagaimana rasa kangen itu dirawat, dipelihara, untuk mampu mewarisi pemikiran positif Gus Dur dalam mengasihi sesama. Ngrasaaken, ngerasa kangen, dan ngupakara rasa terhadap/ terinspirasi Gus Dur ini lah yang bagi saya memotivasi setiap insan –siapapun, bahkan orang yang belum pernah bertatap muka secara langsung dengan Gus Dur sekalipun– mampu mencerap energi positif Gus Dur.

Yuk Ngrasa’ake, Ojo Ngrasani

Ngrasani diidentikkan dengan kebiasaan membicarakan kejelekan orang lain. Saat ngrasani, ada rasa menggebu-gebu untuk terus menggosipkan subjek yang dibicarakan. Tak ayal distorsi pembicaraanpun dapat terjadi. Kita jadi sering mencari-cari kekurangan orang lain agar dapat ngrasani. Pada akhirnya, ngrasani tersebut menjadi sangat tidak adil karena kita tidak ngrasa’ake (rasa yang dirasakan maupun rasa yang merasakan). Dalam proses berkarya pun demikian. Perupa mesti mampu ngrasa’ake apa yang dialami orang lain, menumbuhkan empati persaudaraan, dan menajamkan kepekaan rasa. Dan setelah itu. Ketika selanjutnya kita bisa ngupakara rasa, maka kepekaan dalam menjalani kehidupan akan terus hidup. Dengan kata lain, kita dihidupkan oleh kepekaan rasa itu, dan kepekaan rasa itulah akan dihidupkan pula dengan cara berbagi. Berbagi rasa melalui karya mungkin adalah salah satunya.

Gus Dur dalam Karya “Dari Kesunyian”

Proses penciptaan karya lukis ini tak tercipta begitu saja. Pergulatan pemikiran dan perenungan terhadap ide-ide yang berlarian kesana-kemari cukup menyita waktu lebih lama ketimbang proses melukisnya. Upaya lain yang perlu saya lakukan jika hal seperti itu terjadi adalah bertukar pikiran, konsultasi, dan ngobrol dengan istri serta kawan-kawan (Cak Udin dan Hadid). Saya tak segan-segan untuk belajar dan menerima masukan serta kritikan terhadap ide-ide yang diobrolkan. Hal ini tak akan mereduksi orisinalitas ide. Selain membicarakan ide, saya perlulah membaca. Lantas saya jadi teringat tulisan karya Nietzsche bagian “Perihal Keutamaan Memberi Karunia” dalam buku “Maka Berbicaralah Zarathustra” (bagian pertama, terjemahan Dami N. Toda, 2000). Bagian pertama itu ditulis di Rapallo (Italia) bulan Februari 1883. Demikian sebagian kutipannya:

Katakan pada aku, Saudara-saudaraku, apakah yang kita pandang sebagai sesuatu yang jelek dan terpaling jelek? Bukankah itu kemerosotan? Tentang kemerosotan selalu kita bicarakan, di mana selalu terdapat alpa semangat memberi karunia.

Ke atas arah jalan kita, melalui Seni menuju kepada Atas-seni. Tetapi sebuah ketakutan ngeri bagi kita ialah nyali yang melorot, yang berkata: “Semua Untuk Aku”.
Konsep memberi inilah kiranya pendasaran moral bagi kita semua terlebih di zaman yang khaos seperti saat ini. Ada etika sosial yang bersifat universal. Gus Dur kiranya berkeyakinan bahwa formulasi itu dapat menjadi pijakan pengambilan keputusan moral yang memandu kita untuk dapat hidup bersama dan saling berdampingan dalam kehidupan.

Melalui karya tersebut saya berupaya belajar dari kesunyian, dan tentu juga belajar sareh. Sareh itu dimaknai sebagai pemikiran dan sikap yang sabar dan tenang. Gus Dur sebagai seorang cendekiawan, pemikir, budayawan, filsuf, seniman jenius, serta sosok pemimpin yang dirindukan lantaran ketenangan dan kesabarannya. Gus Dur… masih hadir.

*) A.C. Andre Tanama, Penulis adalah dosen Seni Rupa di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
https://gangkecil.com/gus-dur-dalam-cakrawala-seni/

Pengantar Tidur Panjang

$
0
0

Eka Kurniawan
cerpenkompas.wordpress.com

Aku muncul di rumah menjelang subuh. Tak berapa lama kemudian adik perempuanku juga muncul. Ia membuka pintu sambil menangis, ”Bapak sudah meninggal?”

”Belum,” kataku.

”Kata dokter sudah.”

Setelah melihat Bapak masih hidup, meski hanya berbaring tanpa bisa bergerak, tangisnya reda. Adikku bilang, setelah menerima telepon dari Ibu untuk pulang, ia mampir dulu ke pusat kesehatan di kampusnya untuk memeriksa matanya yang gatal. Apa yang dikatakan Ibu kepadanya persis seperti yang kudengar: kalau sempat, kamu pulang, kata perawat yang mengurusnya, ginjal Bapak sudah tidak berfungsi.

Adik perempuanku sambil lalu bertanya kepada dokter yang memeriksa matanya, ”Oh ya, Dok, ngomong-ngomong kalau orang sudah enggak berfungsi ginjalnya, apa yang akan terjadi?”

Tanpa menoleh, sambil menulis resep, si dokter menjawab, ”Mati.”

”Astagfirullah,” pekik adikku, air matanya tak tertahankan tumpah, membuat si dokter terkejut. Sepanjang perjalanan pulang ia menangis, berpikir Bapak sudah mati.

Aku yakin jika Bapak masih mendengar obrolan kami, ia akan tertawa. Ia suka tertawa. Barangkali ia mendengarnya, tapi ia tak bisa menggerakkan mulutnya, bahkan untuk tertawa. Tapi aku yakin ia tertawa di dalam hatinya. Tertawa hingga tertidur.
***

Kami berkumpul di sekitar Bapak. Ibu dan adik perempuanku yang paling tua sedang membaca Yassin. Aku tak ikut membaca. Aku bisa membaca, tapi tak bakalan secepat mereka, karena itu aku memilih mendengarkan saja. Adik-adikku yang lain sama buruknya dalam membaca Al Quran denganku.

Bapak sendiri yang mengajari kami mengaji. Aku khatam Al Quran tiga kali, jika aku tak salah ingat. Bapak mendirikan surau kecil di belakang rumah dan kemudian mengajari pula anak-anak tetangga mengaji. Ia juga memberikan khotbah Jumat di masjid. Aku selalu melihatnya setiap Jumat pagi menulis khotbahnya. Ketika modin masjid itu meninggal, ia menggantikannya.

Karena masjid itu milik Muhammadiyah, banyak orang berpikir Bapak orang Muhammadiyah. Ia tak keberatan dengan anggapan itu, toh ia selalu Puasa maupun Lebaran mengikuti kalender orang-orang Muhammadiyah. Termasuk shalat tarawih sebelas rakaat, meskipun jika terpaksa, ia mau mengikuti tarawih bersama orang-orang NU (misalnya bersama kakekku, yang selalu ngotot shalat tarawih dua puluh tiga rakaat).

Sambil duduk menghadap Bapak, aku bertanya-tanya apakah Bapak pernah berharap salah satu anaknya akan menggantikannya menjadi pengkhotbah Jumat?

”Jangankan kasih khotbah, kamu ngaji saja enggak benar,” kata ibuku.

Benar juga. Jika Bapak menginginkan itu, mestinya ia mengirimku ke pesantren. Nyatanya, ia membiarkanku pergi untuk kuliah filsafat dengan risiko besar menemukan anaknya tak lagi pernah shalat dan puasa. Ketika aku pulang semester tiga mengenakan kaus bergambar Lenin, justru ibuku yang berseru.

”Lihat, anakmu jadi kuminis.” (Ia tidak bilang komunis tapi kuminis).

Bapak, seperti biasa, hanya tertawa.

Bapak juga membiarkan adik lelakiku kuliah di jurusan peternakan, dan setelah berbagai penelitian dengan ayam ras, adikku mengamini Charles Darwin, percaya nenek moyang manusia dan monyet (juga ayam) memang sama. Tidak ada Adam dan Hawa. Bapak tak peduli dan memberinya modal untuk membuat peternakan ayam.

Waktu Pemilu 1999, Ibu yang memilih Partai Bulan Bintang (begitu juga Bapak setelah bertahun-tahun lalu memilih Masyumi, lalu Partai Persatuan Pembangunan) kembali mengadu. Kali ini gara-gara di seantero desa hanya satu orang yang mencoblos Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan semua orang tahu itu kelakuan adikku si peternak ayam, karena hanya ia yang memasang bendera partai itu di depan rumah.

”Satu lagi anakmu jadi kuminis.”

Kembali Bapak hanya tertawa. Aku tahu ia lebih risau jika anaknya mencuri ikan di kolam tetangga daripada melihat anak yang memakai kaus Lenin atau mencoblos PRD.

Meskipun begitu, salah satu adik perempuanku, yang kini membaca Yassin bersama Ibu, akhirnya kuliah ke Institut Agama Islam Negeri di Yogyakarta. Tapi tak ada tanda-tanda Bapak merencanakannya menjadi guru mengaji. Paling tidak, ia pernah berkata kepadaku saat itu.

”Biar ia pergi dari rumah dan ketemu jodoh.”

Adikku yang ketiga, yang menangis setelah bertemu dokter, kuliah di sastra Indonesia. Adikku yang keempat, kuliah manajemen. Hanya adik kami yang paling bungsu, laki-laki, yang masih sekolah. Ia duduk bersila bersama kami, gelisah. Ia ingin pergi dari sana. Aku tahu ia ingin pergi ke kamarnya dan bermain PlayStation. Akhirnya aku, memiliki sedikit hak menyuruh sebagai anak paling tua, memperbolehkannya pergi.

”Ia lagi jatuh cinta, dua hari lalu ketemu cewek di bus,” kata adik perempuanku setelah usai membaca Yassin.

”Cewek?”

”Heeh. Katanya cewek itu mengedipkan mata ke arahnya.”

”Terus?”

Adikku jadi tertawa kecil. ”Terus ia bilang, jantungnya serasa berhenti seketika. Sepanjang jalan ia enggak berani melihat cewek itu. Ia pengin mendekatinya, mengajaknya berkenalan, tapi enggak berani. Ha-ha-ha….”

”Terus?”

”Nah, ini yang paling lucu. Akhirnya ia sampai ke tempat tujuan. Takut tak punya kesempatan untuk melihatnya lagi, ia memberanikan diri memandang cewek itu. Si cewek konon masih melihat ke arahnya. Maka sambil turun dari bus, ia membalas mengedipkan mata untuk cewek itu. Gara-gara itu ia tersungkur ke selokan pinggir jalan.”

”Ha-ha-ha…”

Jika ada yang disesali Bapak kalau mati saat itu, mungkin karena ia belum sempat melihat adik bungsuku tumbuh besar dan pergi dari rumah seperti yang lainnya. Tapi barangkali ia mendengar cerita adikku, dan jika ia mendengarnya, aku yakin ia akan tersenyum. Senyum kecil di sudut hatinya, pengantar tidur panjangnya.

Anaknya yang paling kecil sudah besar. Sudah bisa mengedipkan sebelah mata untuk seorang gadis di dalam bus.
***

Waktu aku masih di awal umur belasan tahun, aku tak punya malam Minggu sebagaimana teman-temanku. Tak ada pacar, tak ada genjreng gitar memainkan ”Party Doll” (tak masalah, aku baru menyukai The Rolling Stones dan Mick Jagger bertahun-tahun setelah itu), dan tak ada acara menonton televisi. Bapak mengajakku ke pengajian.

Bukan hal yang buruk, sebenarnya. Pengajian itu dilakukan di rumah pemilik penjagalan sapi. Di akhir acara selalu ada penutup istimewa (dan ini yang paling kutunggu): makan malam dengan berbagai hidangan daging sapi. Aku tak ingat dari mana ustaz yang memimpin pengajian. Yang aku ingat, ia hafal Al Quran dan artinya di luar kepala. Jika seseorang bertanya mengenai suatu masalah, dengan cepat ia bisa menunjukkan surat dan ayat berapa sebagai jawabannya. Untuk itulah, setiap orang harus membawa Al Quran dengan terjemahan, untuk mencocokkan dan membuktikannya.

Kalimatnya yang paling terkenal adalah ”Semua jawaban ada di Buku ini.”

Hingga suatu ketika ia bercerita tentang ”saudara-saudara kita” di Afganistan. Aku lupa berapa lama isu ini dibawakan. Pasti berminggu-minggu.

Lalu suatu malam, aku bilang kepada Bapak, ”Aku mau pergi ke Afganistan.”

Bapak tak menjawab apa pun. Malahan ia tak mengajakku ke pengajian minggu depannya dan minggu depannya lagi. Aku tak ingat apakah ia sendiri masih mengikuti pengajian itu atau tidak, yang jelas kemudian seluruh rumah terjangkit cacar air, kecuali aku. Bapak menyuruhku mengungsi sementara waktu ke rumah salah satu pamanku. Di sana paman meminjamiku radio.

Begitulah malam Minggu-malam Minggu selanjutnya lebih banyak kuhabiskan di dekat radio. Lagi pula aku baru saja berkenalan dengan seorang gadis adik kelasku. Aku selalu mengiriminya pesan lewat radio, bersama dengan lagu. Ia tak pernah membalasnya, tapi aku tetap mengejarnya. Usaha pengejaranku yang memakan waktu berbulan-bulan membuatku lupa akan gagasan pergi ke Afganistan.

Kini, sambil memandang Bapak yang berbaring di tempat tidur, aku memikirkan waktu-waktu itu. Aku tak tahu apakah aku harus bersyukur atau tidak. Jika Bapak mengizinkanku pergi ke Afganistan, mungkin sekarang aku tak akan ada di sisinya. Mungkin sekarang aku berada di dalam daftar buron karena peledakan gereja atau hotel. Barangkali lebih dari itu. Karena menurutku, aku lebih pintar daripada kebanyakan orang, barangkali nasibku jauh lebih buruk: di penjara Guantanamo. Siapa tahu?

Kupandangi Bapak. Jika ia sehat sebagaimana dulu, dengan mudah ia pasti bisa membaca pikiranku. Dan ia pasti akan tertawa sampai air matanya meleleh. ”Enggak mungkin,” begitu ia akan bilang. ”Kamu memang pintar, tapi tak akan seberani itu. Kamu penakut, dan itulah mengapa kamu tak pergi ke Afganistan. Kamu selalu takut dengan polisi dan tentara, meskipun kamu tampaknya tak pernah takut dengan neraka.”
***

Akhirnya Bapak meninggal, di malam kedua keberadaanku di rumah. Menjelang subuh. Umurnya 63 tahun, menjelang 64. Ia pasti senang sekali, sebab itu umur yang sama dengan Rasulullah. Ibuku juga senang, terutama karena ia mendengar kata terakhir yang diucapkan Bapak sebelum meninggal adalah ”Allah”.

Kata Ibu, sudah beberapa hari Bapak tak mengeluarkan suara apa pun, selain tidak bergerak. Tapi setengah jam sebelum meninggal, ia mulai mengerang lagi. Napasnya pendek-pendek. Ibu yang pernah menunggui kakek dan nenekku meninggal tahu waktunya hanya beberapa menit lagi.

”Tercium dari aromanya,” begitu Ibu bilang. Aku sendiri mencium aroma itu, seperti bau bayi yang baru dilahirkan. Ibu meletakkan piring berisi serbuk kopi di samping Bapak, aku menyemprotkan pengharum ruangan.

Bertiga dengan seorang paman, kami membisikkan nama Allah ke telinga Bapak. Akhirnya Bapak berhasil mengucapkannya, ”Allah” … ”Allah” … ”Allah”. Setelah itu Bapak meninggal. Ibu menitikkan air mata. Paman menutup mata Bapak. Adik-adikku sudah di sekeliling kami. Aku menelepon istriku yang kutinggal di Jakarta.

Percayalah, aku selalu berpikir bahwa nasib Bapak akan selalu sama dengan nasib Republik Indonesia. Ia lahir sebulan setelah Proklamasi. Menurut astrologi China, Bapak dan Republik Indonesia memiliki shio yang sama. Ayam dengan unsur Kayu. Nasib mereka tak akan jauh berbeda.

Misalnya, pada tanggal 28 November 1975 aku dilahirkan. Pada saat yang sama Fretilin memerdekakan Timor Timur dan Republik Indonesia mencaploknya. Mereka berdua (Bapak dan Republik Indonesia) sama-sama memiliki anggota keluarga baru. Sejak itu usaha Bapak (bermacam-macam) menuai keberhasilan. Di tengah puncak kemakmuran, Bapak bangkrut di tahun 1998. Ha, bukankah begitu juga Republik Indonesia? Bapak memperoleh serangan stroke dan sejak itu kesehatannya tak pernah sebaik sebelumnya. Tahun 1999 ia mulai membekali dirinya dengan tongkat. (Ya, tahun itu Indonesia dipimpin Gus Dur, Presiden yang juga berjalan dengan tongkat).

Dengan kematian Bapak apakah Republik Indonesia juga akan tamat? Sungguh aku mengkhawatirkannya. Tapi daripada sibuk memikirkan urusan semacam itu, lebih baik aku menyibukkan diri dengan urusan pemakaman Bapak. Ia akan dikuburkan persis di samping kuburan ibu mertuanya, nenekku.

Dari tanah kembali ke tanah. Ada empat penggali kubur yang perlu dibayar.

Ada tamu-tamu yang perlu disambut. Ada kerabat yang perlu diberi tahu. Begitulah.
***

Empat hari kemudian, aku kembali ke Jakarta dengan bus malam. Tujuh jam perjalanan dan aku akan tiba di Kampung Rambutan. Aku duduk, suara AC berdengung di atasku. Kurebahkan sandaran kursi. Selama lebih dari satu jam, aku hanya melamun.

Lalu kondektur datang mendekat. Aku merogoh dompet di saku celanaku. Si kondektur berhenti di sampingku, memandang ke arahku. Aku mendongak ke arahnya. Ia sedikit terkejut dan setelah beberapa saat, menyapa, ”Apa kabar?”

Sungguh, aku tak merasa mengenalnya.

Sebelum aku sempat membuka mulut, ia sudah berkata lagi, ”Ikut berduka atas kepergian Bapak.”

Aku mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Aku hendak mengeluarkan uang dari dompet, tapi ia segera menghalanginya. Tidak usah, katanya. Lalu ia bercerita, beberapa tahun lalu ia sempat sakit gigi, tak sembuh oleh obat. Dokter tak berani mencabut giginya sebelum sakitnya hilang. Hingga seseorang menyarankannya menemui seorang kiai. Ia pergi menemui kiai tersebut. Sang kiai memberinya minum. Air putih biasa dari dapur. Sakitnya mendadak hilang dan dokter kemudian mencabut giginya.

”Kiai itu bapakmu,” kata kondektur.

Sejujurnya, aku belum pernah mendengar cerita ini.

Kondektur pergi setelah menepuk bahuku, menghampiri penumpang lain. Aku hanya menoleh, memerhatikan punggungnya. Apa boleh buat, kumasukkan kembali dompet ke saku celana.

Bahkan, pikirku, setelah meninggal Bapak masih memberiku ongkos bus. Aku tersenyum sambil kembali bersandar. Kukeluarkan iPod dan kupilih lagu: ”Seasons in the Sun” dari Terry Jacks. Kupasang earphone dan kupejamkan mata.

”Goodbye, Papa, it’s hard to die …”

Dan segera aku terlelap.

2009
https://cerpenkompas.wordpress.com/2009/11/01/pengantar-tidur-panjang/

Tangan-Tangan Buntung

$
0
0

Budi Darma
cerpenkompas.wordpress.com

Tidak mungkin sebuah negara dipimpin oleh orang gila, tidak mungkin pula sebuah negara sama-sekali tidak mempunyai pemimpin.

Selama beberapa hari terakhir, sementara itu, semua gerakan baik di dalam negeri maupun di luar negeri mendesak, agar Nirdawat segera disyahkan sebagai presiden baru. Karena Nirdawat tidak bersedia, maka akhirnya, pada suatu hari yang cerah, ketika suhu udara sejuk dan langit kebetulan sedang biru tanpa ditutupi oleh awan, ribuan rakyat mengelilingi rumah Nirdawat, dan berteriak-teriak dengan nada memohon, agar untuk kepentingan bangsa dan negara, Nirdawat bersedia menjadi presiden.

Akhirnya beberapa di antara mereka masuk ke dalam rumah Nirdawat, lalu dengan sikap hormat mereka memanggul Nirdawat beramai-ramai menuju ke Gedung M.P.R. Sementara itu, teriakan-teriakan ”Hidup Presiden Nirdawat,” terus-menerus berkumandang dengan nada penuh semangat, namun sangat syahdu.

Demikianlah, semua anggota M.P.R. menyambut kedatangan Nirdawat, dan segera menggelandang Nirdawat dengan halus dan penuh hormat untuk tampil di mimbar.

Ketua M.P.R. pun berpidato, singkat tapi padat. Inti pidato: rakyat sangat merindukan pemimpin yang baik, dan pemimpin yang baik itu tidak lain dan tidak bukan adalah Nirdawat. Maka Jaksa Agung dengan khidmat melantik Nirdawat sebagai Presiden Republik Demokratik Nirdawat (bukan salah cetak, memang presidennya bernama Nirdawat, dan nama negaranya diambil dari nama presidennya).

Setelah menyampaikan pidato pelantikannya sebagai Presiden, dalam hati Nirdawat berkata kepada dirinya sendiri, bahwa dia akan bekerja dengan sebaik-baiknya, dan sebelum masa jabatannya berjalan satu tahun, dia tidak akan pergi ke luar negeri dengan alasan apa pun. Banyak persoalan dalam negeri harus dia hadapi, dan semuanya itu akan diselesaikannya dengan sebaik-baiknya. Namun karena Nirdawat dikenal sebagai pribadi sederhana dan pekerja keras serta tidak mementingkan diri sendiri, maka begitu banyak pemimpin negara berkunjung ke Republik Demokratik Nirdawat, tentu saja khusus untuk menemui Presiden Nirdawat.

Hasil pembicaraan dengan sekian banyak pimpinan negara itu mudah diterka: kesepakatan kerja sama dalam perdagangan, pendidikan, kesehatan, industri, dan kebudayaan. Ujung dari semua kesepakatan juga mudah diterka: dengan tulus tapi bersifat mendesak, semua pemimpin negara mengundang Presiden Nirdawat untuk mengadakan kunjungan balasan. Semua kunjungan balasan akan berlangsung paling sedikit tiga hari, karena dalam setiap kunjungan balasan, masing-masing pemimpin negara dengan bersungguh-sungguh menunjukkan kemajuan-kemajuan negaranya, dan juga kekurangan-kekurangan negaranya. Demi kepentingan semua negara, kerja sama harus segera dilaksanakan, juga dengan sungguh-sungguh.

Begitu sebuah kunjungan pemimpin asing usai, berita mengenai keengganan Presiden Nirdawat untuk melawat ke luar negeri muncul sebagai berita-berita besar, dan menarik perhatian hampir semua warga negara Republik Demokratik Nirdawat. Akhirnya, dengan berbagai cara, tokoh-tokoh masyarakat sekuler, tokoh-tokoh agama, dan tokoh-tokoh pemuda menyuarakan hati nurani mereka yang tulus, bahwa untuk kepentingan negara dan bangsa, Presiden Nirdawat benar-benar diharapkan untuk memenuhi undangan sekian banyak pimpinan negara-negara asing itu. Desakan demi desakan terus berlangsung.

Terceritalah, setelah malam tiba, dalam keadaan lelah Presiden Nirdawat masuk ke kamar tidur, dipeluk oleh isterinya, kemudian digelandang ke dekat tempat tidur. Dengan lembut isterinya memberinya beberapa ciuman, kemudian melepas baju Nirdawat, lalu melepas kaos dalam Nirdawat, dan akhirnya menelungkupkan tubuh Nirdawat di tempat tidur. Kemudian, dengan lembut pula isterinya memijit-mijit punggung Nirdawat.

”Nirdawat, cobalah kita kenang kembali masa-masa pacaran kita dulu. Kita berjalan-jalan di kampus, duduk-duduk di rumput, kemudian berjalan lagi ke bawah pohon jejawi, dan berbincang mengenai keinginan-keinginan kita. Bagi kita itulah keinginan biasa, tapi bagi teman-teman, keinginan itu merupakan cita-cita mulia.”

”Cobalah kita tengok peta dunia ini,” kata Nirdawat dalam sebuah pertemuan dengan teman-temannya setelah membentangkan sebuah peta dan menggantungkannya di dinding.

Bagi mereka yang tidak pernah menghadiri pertemuan itu, amat-amatilah nama sekian banyak negara dalam peta, maka tampaklah sebuah negara yang namanya beberapa kali berubah. Setelah sekian lama nama ini berubah, akhirnya negara ini punya nama baru, yaitu Republik Demokratik Dobol, lalu berubah menjadi Republik Demokratik Abdul Jedul, lalu disusul oleh nama baru lain, yaitu Republik Demokratik Jiglong.

Bukan hanya itu. Ternyata bendera negara ini juga berubah-ubah sesuai dengan nama negaranya. Maka pernah ada bendera dengan gambar seseorang berwajah beringas bernama Dobol, lalu ada bendera dengan gambar Abdul Jedul dengan wajah garang, disusul oleh bendera bergambarkan wajah tolol Jiglong.

Mengapa nama negara dan benderanya berubah-ubah, padahal negaranya sama? Tidak lain, jawabannya terletak pada kebiasaan di negara itu: dahulu, ketika bentuk negara ini masih kerajaan dan tidak mempunyai undang-undang dasar, ada kebiasaan untuk menamakan negara itu sesuai dengan nama rajanya. Yang mewakili nama raja, dengan sendirinya adalah wajah raja, dan karena itulah, maka bendera negara juga disesuaikan dengan wajah rajanya.

Menurut cerita, seorang jendral kerajaan bernama Dobol berhasil menggulingkan kekuasaan raja terakhir, dan bentuk negara pun berubah menjadi Republik Demokratik. Republik karena negara tidak lagi dipimpin oleh raja tapi oleh presiden, dan demokratik karena siapa pun berhak menjadi presiden asalkan memenuhi syarat.

Maka, negara yang dulu diatur oleh kebiasaan tanpa undang-undang, semenjak Dobol menjadi presiden, kebiasaan pun diganti dengan undang-undang dasar. Karena Dobol beranggapan bahwa undang-undang dasar tidak boleh seluruhnya bertentangan dengan kebiasaan lama, maka dalam undang-undang yang kata Dobol bersifat sementara itu pun dengan tegas mencantumkan kata-kata, bahwa nama negara disesuaikan dengan nama presiden. Bendera negara pun, mau tidak mau, harus menampilkan wajah presiden.

Karena dalam kebiasaan lama masa jabatan raja tidak ada batasnya, maka, supaya undang-undang dasar tidak sepenuhnya bertentangan dengan kebiasaan lama, dalam undang-undang dasar negara republik demokratik ini, pasal mengenai masa jabatan presiden pun tidak perlu dicantumkan.

Demikianlah, Dobol menjadi Presiden Republik Demokratik Dobol, dan karena masa jabatan presiden tidak ada pasalnya dalam undang-undang dasar, maka Dobol pun menjadi presiden sampai lama sekali, sampai akhirnya Sang Takdir menanam sebuah biji bernama tumor ganas dalam otak Dobol.

Meskipun akhirnya lumpuh total, semangat Dobol untuk patuh kepada undang-undang dasar masih menyala-nyala dengan semangat penuh. Dalam undang-undang dasar dinyatakan dengan tegas, siapa pun berhak menjadi presiden, asalkan memenuhi syarat. Dan seseorang yang memenuhi syarat, tidak lain adalah Abdul Jedul bukan sebagai anak Dobol, tetapi sebagai warga negara biasa yang kebetulan adalah anak presiden negara republik demokratik ini.

Demikianlah, maka Abdul Jedul menjadi Presiden Republik Demokratik Abdul Jedul, sampai akhirnya Sang Takdir mengulangi tugasnya sebagai penguasa hukum alam: sebuah bibit tumor ganas disisipkan ke dalam otak Abdul Jebul, dan tamatlah riwayat Abdul Jebul.

Karena, sebagaimana halnya Dobol, Abdul Jedul juga sangat setia dengan undang-undang dasar negara yang kata Dobol dulu bersifat sementara, maka jatuhlah kekuasaan presiden republik demokratik ini ke tangan Jiglong, seseorang yang memenuhi syarat untuk menjadi presiden bukan karena dia anak Presiden Republik Demokratik Abdul Jedul, tapi karena sebagai warga negara biasa dia benar-benar memenuhi syarat untuk menjadi presiden.

Kebetulan Jiglong anak manja, malas, suka foya-foya, dan tentu saja suka main perempuan, dan karena merasa kekuasaan dan hartanya tidak mengenal batas, maka berjudi pun dia lakukan dengan penuh semangat.

Setelah Jiglong merusak negaranya sendiri selama beberapa tahun, maka Sang Takdir pun mulai melakukan gerilya: kali ini tidak dengan jalan menanamkan bibit tumor ke dalam otak, tapi membuat otak Jiglong sedikit demi sedikit miring. Maka Jiglong pun tidak bisa lagi membedakan siang dan malam, dekat dan jauh, langit dan bumi, dan yang lebih payah lagi, Jiglong tidak bisa membedakan apakah seseorang itu laki-laki atau perempuan. Maka, diam-diam Jiglong suka keluyuran sendiri di kampung, berusaha memperkosa perempuan, tapi ternyata laki-laki. Para pengawal pribadi dia pun sudah agak acuh tak acuh.

Akhirnya, penggulingan kekuasaan pun terjadi, tanpa tahu siapa pemimpinnya, dan tanpa pertumpahan darah sama sekali. Tanpa diketahui siapa yang memberi komando, tahu-tahu Jiglong sudah diringkus dan dilemparkan ke rumah sakit jiwa. Juga tanpa diketahui siapa yang memberi komando, sekonyong-konyong serombongan anak muda merebut stasiun televisi dan radio, lalu secara spontan mengumumkan bahwa sejak saat itu nama negara diganti dengan Republik Demokratik Nirdawat, dengan bendera berwajahkan Nirdawat.

”Kau harus melakukan sesuatu, Nirdawat, sekarang juga. Aku selalu mendampingimu,” kata isterinya dengan lembut, lalu menciumi Nirdawat lagi dengan lembut pula.

Keesokan harinya keluar Dekrit Presiden, terdiri atas tiga butir, yaitu mulai hari itu nama negara diganti dengan nama baru yang tidak boleh diubah-ubah lagi, yaitu Republik Demokratik Nusantara. Itu butir pertama. Butir kedua, bendera Republik Demokrasi Nusantara harus diciptakan dalam waktu sesingkat-singkatnya, tanpa mencantumkan wajah siapa pun juga. Dan butir ketiga, masa jabatan presiden dibatasi paling banyak dua periode, masing-masing periode lima tahun.

Lagu kebangsaan, seperti yang lalu-lalu, tinggal diganti liriknya. Dulu nama raja dipuja-puji, lalu nama Dobol diangkat-angkat setinggi langit, disusul dengan pujian-pujian kepada Abdul Jedul. Terakhir, nama Jiglong dijejalkan ke dalam lagu kebangsaan, tentu saja dengan gaya puja-puji. Sekarang nama orang dihapus, diganti dengan nama negara, yaitu Republik Demokratik Nusantara.

Maka, sesuai dengan tugasnya, mau tidak mau Nirdawat sering melawat ke luar negeri.

Dalam sebuah perjalanan pulang dari kunjungan ke beberapa negara di Amerika Latin, dalam pesawat Presiden Republik Demokratik Nusantara memberi penjelasan kepada wartawan.

”Sebagaimana kita ketahui bersama, semua kepala negara dan pejabat penting yang kita kunjungi pasti memuji-muji kita. Republik Demokratik Nusantara adalah negara hebat, perkembangan ekonominya luar biasa menakjubkan, dan presidennya pantas menjadi pemimpin dunia. Coba sekarang jelaskan, makna pujian yang sudah sering saya katakan.”

”Pujian hanyalah bunga-bunga diplomasi,” kata sekian banyak wartawan dengan serempak.

Mereka ingat, pada masa-masa lalu, semua pujian kepada negara mereka dari mana pun datangnya, dianggap sebagai kebenaran mutlak. Negara mereka memang benar-benar hebat, perkembangan ekonominya sangat mengagumkan, dan presiden negara ini benar-benar pantas menjadi pemimpin dunia.

Terceritalah, di bawah pimpinan Presiden Nirdawat, Republik Demokratik Nusantara makin melebarkan sayapnya: sekian banyak duta besar ditebarkan di sekian banyak negara yang dulu sama sekali belum mempunyai hubungan. Presiden Nirdawat, dengan sendirinya, harus hadir tanpa boleh diwakilkan.

Namun sayang, masih ada satu negara lagi yang belum terjamah oleh Republik Demokratik Nusantara, padahal negara ini terkenal makmur dan pemimpin-pemimpinnya hebat-hebat, setidaknya berdasarkan catatan-catatan resmi. Para pemimpin sekian banyak negara berkali-kali memuji keramahan penduduk negara itu, keindahan alam negara itu, dan kemakmuran negara itu. Maka, setelah waktunya tiba, datanglah Presiden Nirdawat ke negara itu. Laporan tlisik sandi ternyata benar: di negara yang sangat makmur ini, banyak pemimpin bertangan buntung. Hukum memang tegas: barang siapa mencuri uang rakyat, harus dihukum potong tangan.

Dan Presiden Nirdawat dari Republik Demokratik Nusantara pun sempat terkagum-kagum: ternyata, para pemimpin buntung justru bangga. Kendati mereka kena hukuman potong tangan, mereka tetap bisa menjadi pemimpin, dan tetap dihormati.
***

https://cerpenkompas.wordpress.com/2012/07/29/tangan-tangan-buntung/

TUNGGU!

$
0
0

Djenar Maesa Ayu
cerpenkompas.wordpress.com

Waktu menunjuk pukul tujuh. Di sudut kafe ketiak saya berpeluh. Namun tak bisa mengeluh. Kecuali pada ponsel yang suaranya tak juga melenguh.

Dua belas jam yang lalu ada yang mengaku akan datang. Yang saya harapkan selalu di kafe itu senyumnya akan mengembang. Ketika melihat saya. Karena berdekatan dengan pujaan hati, katanya. Biasanya kami akan menghabiskan waktu dengan percakapan. Saling bertatapan. Saling bertukar harapan. Harapan untuk bisa merapat dan berdekapan. Di suatu tempat yang jauh dari kegaduhan.

Namun, sebenarnya, hati saya selalu gaduh. Ketika di atas tubuhnya saya mengaduh. Karena setelahnya saya akan mengeluh. Bertanya, ke manakah hubungan ini akan berlabuh?

”Kenapa perlu dipertanyakan, Sayang. Kita sedang berlabuh ke sebuah ketidak-tahuan yang memabukkan.”

”Hah?!”

Saya bukan orang yang mengerti bahasa isyarat. Apalagi kalau itu mengandung makna filosofis berat. Saya cuma tahu karena saya merasa. Bukan karena teori-teori yang tercantum dalam buku-buku yang pemikir sepertinya biasa baca. Saya hanya mau mencinta. Apakah lewat buku-buku bermartabat itu baru cinta bisa dicerna?

Ia selalu menyebutkan nama-nama terkenal yang saya tidak kenal. Ia selalu menyebutkan nama-nama yang bahkan di dalam kepala saya pun tak akan lama mengental. Badiout? Platoy? Badut yang letoi, begitu yang selalu ada di dalam kepala saya tercantol. Bukan karena pemikiran mereka tentang kebenaran yang tidak saya pahami. Tapi lebih karena setiap kali melihat badut yang letoi, saya merasa tak sampai hati.

Saya tidak pernah habis pikir mengapa ada karakter semacam badut di sirkus. Rata-rata mereka sebenarnya berbadan kurus. Bermuka tirus. Hanya kosmetik di mukanya memberangus. Dan buntalan di perutnya yang besar membungkus. Sehingga ia kelihatan lucu dan mungkin bagus. Bagi mata orang-orang tua yang membawa anak-anaknya hanya untuk sejenak melupakan haus. Haus hiburan. Haus kebersamaan. Haus tertawa bersama dalam suasana kekeluargaan. Padahal mata anak-anak itu mungkin bisa melihat apa yang ada di balik mata badut-badut. Mata yang bersungut. Dan mulut yang merengut di balik riasan begitu lebar dan memerah di mulut.

Salah satu mata anak-anak itu, adalah mata saya. Mungkin di antara banyaknya anak-anak itu, hanya saya satu-satunya. Melihat badut yang itu-itu saja di setiap pertunjukan sirkus apa pun dan di mana pun juga. Badut yang letoi. Letoi yang adalah seperti tak bersendi dalam bahasa asli Jakarta. Dan selalu ada garis merah di bawah mata mereka seperti air mata. Jadi saya tidak pernah mengerti mengapa mereka menertawakannya. Bahkan sampai sekarang, ketika usia saya menginjak dewasa.

Menertawakan kesedihan. Menertawakan kebersamaan. Menertawakan keadaan merekakah yang terpaksa datang bersama sanak keluarga hanya atas nama kekeluargaan? Menertawakan diri mereka sendiri. Dan untuk itu ada harga yang harus mereka beli?

”Hahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahhahahahahahahaha.”

Akhirnya saya tertawa lepas sebelum ia menjawab reaksi saya. Sangat lepas melebihi tawa saya melihat badut-badut letoi di sirkus. Berikut binatang-binatang yang tidak seharusnya diberangus. Sangat sangat lepas melebihi tawa-tawa dengannya yang sudah hangus.

”Kenapa kamu ketawa, Sayang? Saya kan udah bilang, kalau kamu mau jadikan anak kita, sekarang saatnya. Saya tidak akan bisa kasih anak ke kamu lagi mengingat umur saya sudah lima puluh tahun sekarang. Tapi, saya tidak bisa jamin apakah saya bisa tanggung jawab secara material.”

Kupu-kupu melebarkan sayapnya tepat di depan bebungaan di mana kami duduk. Ia pun melebarkan jangkauan tangannya di mana tangan saya sedang diam merunduk. Mencoba meredam tawa saya yang sudah terdengar seperti orang mabuk. Tenang gerakannya sangat saya tahu sebenarnya memendam rasa amuk. Karena itu segera saya kibaskan tangan itu berpura-pura menghalau nyamuk.

”Kamu…”

”Hah?!”

Saya memotong kalimatnya. Persis seperti apa yang dilakukan badut-badut ketika berada di atas arena. Berteriak ketika ada yang mengolok-oloknya. Terjatuh. Mengaduh. Berlari. Tanpa berani memaki. Menghilang ke balik panggung. Disertai dengan sorak-sorai dan tawa menggunung.

Sorak-sorai itu yang mengingatkan saya atas kutipan-kutipan yang disebutkan ia dari nama-nama pemikir. Membuat saya mencibir. Karena ada letupan kembang api di kepalanya. Dan warna-warni serpihan kembang api itu jatuh ke bahunya. Ia tidak pernah mengetahuinya. Maka, ia tak merasakannya. Ketika serpihan kembang api itu melumatnya. Bahkan ketika ia berkata,

”Kenapa perlu dipertanyakan, Sayang. Kita sedang berlabuh ke sebuah ketidak-tahuan yang memabukkan.”

Tapi di manakah sekarang ia?

”Hah?!”

Terkejut saya ketika bahu ditepuk seseorang.

”Boleh saya ambil bangku yang tak terpakai?”

”Hah?!”

Saya tidak bisa menentukan. Saya sudah menunggu dua jam dengan perut kram akibat pengguguran. Namun ia tak juga datang. Tapi apakah saya harus menyerahkan bangku kosong di sebelah saya ke seseorang? Seseorang yang membutuhkan bangku tambahan di mejanya karena ia bersama banyak teman tak terkecuali perempuan?

”Boleh saya pakai bangkunya, Mbak?”

Saya menatapnya.

”Maaf, ada yang saya tunggu.”

”Waktu?”

Waktu menunjuk pukul tujuh.

Jakarta, 19 Agustus 2011 10:14 AM
https://cerpenkompas.wordpress.com/2011/09/25/tunggu/


Mayat Yang Mengambang Di Danau

$
0
0

Seno Gumira Ajidarma
cerpenkompas.wordpress.com

Barnabas mulai menyelam tepat ketika langit bersemu keungu-unguan, saat angin dingin menyapu permukaan danau sehingga air berdesis pelan, sangat amat pelan, nyaris seperti berbisik, menyampaikan segenap rahasia yang bagai tidak akan pernah terungkapkan.

Memang hanya langit, hanya langit itulah yang ditunggu-tunggu Barnabas, karena apabila kemudian ia menyelam di dekat batang-batang pohon ke bawah permukaan danau untuk menombak ikan, secercah cahaya pun cukuplah untuk melihat segala sesuatu yang bergerak, hanya bergerak, tiada lain selain bergerak, ketika hanya dengan sudut matanya pun ia tahu mana bukan ikan gabus mana bukan ikan merah. Ya, tangannya hanya akan bergerak menombak secepat kilat bagaikan tak menunggu perintah otak, apabila kedua jenis ikan itu lewat meski melesat, berombongan maupun terpisah dan tersesat, yang mana pun takkan lepas dari sambaran tombaknya yang sebat.

Kacamata yang digunakannya untuk menyelam memang sudah terlalu tua dan agak kabur jika digunakan untuk melihat dalam keremangan, yang kali ini tampaknya masih akan bertahan cukup lama, karena langit mendung dan mega hitam bergumpal-gumpal. Dari dalam air, tanpa harus melirik ke permukaan, tahulah Barnabas hujan rintik telah menitik di seluruh permukaan danau. Namun apalah artinya hujan rintik-rintik bagi seseorang yang menyelam dan memburu ikan, bukan? Barnabas terus berenang di dalam air nyaris seperti ikan, memburu ikan, tanpa ikan-ikan itu harus tahu betapa jiwanya sedang terancam. Tentu ia mengenal ikan seperti mengenal dirinya sendiri.

Ikan-ikan tak berotak, pikirnya, pantaslah begitu mudah ditombak.

Namun Barnabas juga tahu, justru karena otak ikan sangat amat kecil, sehingga tidak mencukupi untuk berpikir, naluri ikan terhadap bahaya bekerja dengan kepekaan tinggi. Jadi Barnabas pun tetap harus menipunya. Makanya ia pun berenang seperti ikan, mengapung seperti kayu, menyelam seperti pemberat—dan sekali tangannya bergerak, memang harus melesatkan tombaknya lebih cepat dari bekerjanya naluri ikan. Ia telah memperhatikan, betapa ikan dalam rombongan akan lebih kurang berhati-hati daripada ikan yang berenang sendirian, mungkin karena merasa aman bersama banyak ikan, sehingga memang tak sadar bahaya mengancam.

Ikan yang terlepas dari rombongan dan kebingungan kadang lebih menarik perhatian Barnabas. Ia suka mengintai dan mengincarnya dengan hati-hati, kadang tanpa kentara memojokkannya, untuk pada saat yang tepat menombaknya tanpa ikan itu sempat mengelak.

Ikan merah artinya ikan gabus merah, sedap jika dibakar. Ikan gabus artinya ikan khahabei, besarnya bisa sebesar betis, persembahan bagi ibu-ibu yang baru melahirkan, tak kalah sedap digoreng, tetapi Barnabas beranggapan minyak goreng bukanlah bagian dari kehidupannya, karena memang tak pernah membelinya. Bahkan Barnabas tak pernah lagi makan ikan yang diburunya itu. Jika langit yang keungu-unguan itu telah menjadi lebih terang, setidaknya dua puluh sampai tiga puluh ikan yang bernasib malang di tangannya sudah tergantung di salah satu tiang dermaga. Jumlah yang cukup guna menyambung hidup untuk sehari, dua hari, tiga hari, seminggu, tak penting benar berapa lama, karena Barnabas setiap harinya menyelam jua—kecuali, tentu kecuali, pada hari Minggu, karena pada hari itu Barnabas beribadah.

Pada hari apa pun ikan-ikan tidak beribadah, pikirnya lagi, jadi ke manakah mereka pergi hari ini?

Bukanlah karena hujan maka ikan-ikan tidak terlihat, mungkin juga tiada sebab apa pun selain sedang berombongan mencari makan di tempat lain dengan moncongnya yang tak habis bergerak memamah-mamah. Namun tetap saja Barnabas merasa jengkel karena ini membuatnya terpaksa memburu ikan lebih lama. Ia memang tak suka memasang bubu dan tak juga suka memasang jala seperti banyak orang lainnya di pulau-pulau di dalam danau, karena memasang bubu bukanlah berburu dan memasang jala juga bukanlah berburu, sedangkan ia hanya ingin jadi pemburu ikan dan tiada lain selain berburu ikan seperti yang selama ini dianggapnya sebagai panggilan.

Ada orang ingin jadi pendeta, pikirnya pula, aku ingin jadi pemburu ikan.

Dari masa kecil diketahuinya orang-orang menyelam tanpa kacamata dan bahkan bisa mendapatkan ikan lebih banyak darinya sekarang. Mungkinkah air danau dahulu tidak seperti air danau sekarang? Lebih jernih karena memang lebih bersih dan mata penyelam tak harus menjadi pedas meskipun menyelam berlama-lama?

Barnabas tentu ingat betapa pada masa lalu di danau itu segala sesuatunya tidaklah sama dengan sekarang.

Dulu tidak ada raungan Johnson, pikir Barnabas, karena perahu bolotu tidak bermesin tempel. Dari pulau ke pulau, atau dari pulau ke daratan, orang-orang menggunakan bolotu yang hanya perlu didayung. Kadang penumpang bantu mendayung, tetapi tanpa bantuan penumpang pun, perjalanan dari pulau kecil yang satu ke pulau kecil lain di dalam danau yang dikelilingi perbukitan itu tetap bisa berlangsung, tanpa peduli apakah itu cepat ataukah lambat karena memang tiada waktu yang terlalu tepat maupun terlambat. Langit dan bumi bersenyawa tanpa peduli detak arloji—dan Barnabas lebih suka menjadi bagian langit maupun bagian bumi daripada arloji.

Maka tiada yang dikhawatirkan Barnabas jika pagi ini ikan-ikan seperti bersembunyi. Langit memang gelapnya agak lebih lama karena mendung dan hujan dan tentu saja ini harus dianggap biasa saja, begitu biasa, bagaikan tiada lagi yang lebih biasa, dan sungguh Barnabas sama sekali tiada keberatan karenanya.

Aku sabar menunggumu ikan, batinnya, setiap orang harus cukup bersabar menantikan makhluk yang akan menyerahkan jiwa hari ini demi kelanjutan hidup pembunuhnya. Apalah artinya menahan lapar sejenak untuk hidup lebih lama? Nikmatilah hidupmu yang amat sementara itu ikan, karena pada akhirnya aku akan membawamu ke pasar dan pedagang ikan akan segera memajang dirimu di meja kayu murahan, tempat koki restoran di tepi danau itu akan menunjukmu, membelimu, membuang sisik dan isi perutmu, lantas menggorengmu bagi santapan para wisatawan yang akan membuang tulang-tulang dan kepalamu untuk menjadi rebutan ikan-ikan emas di kolam yang tak tahu menahu betapa cepat atau lambat mereka juga segera akan jadi santapan dan tulang-tulang serta kepalanya juga akan dilempar sebagai pertunjukan kebuasan dunia yang tampaknya justru meningkatkan selera makan.

Barnabas tiba-tiba teringat, Klemen anaknya, yang putus sekolah teologia, pernah mengucapkan suatu kata yang tak dimengertinya.

”Homo homini lupus….”

Saat itu Barnabas memang bertanya, apa maknanya Klemen tidak melanjutkan sekolah untuk menjadi pendeta, menyia-nyiakan tabungan hasil berpuluh-puluh tahun berburu ikan. Di negeri danau, tempat setiap bukit berpuncak salib, menjadi pendeta adalah kehidupan terpuji.

Namun inilah jawaban Klemen anak tunggalnya itu, yang pada suatu hari tiba-tiba saja muncul kembali dari balik kabut di atas danau sambil mendayung bolotu, meninggalkan sekolah di kota untuk selama-lamanya.

”Apalah artinya memuja langit, tapi membiarkan darah mengotori bumi….”

Selama tinggal di rumah mereka, tempat kecipak air danau selalu terdengar dari bawah lantai papan dari malam ke malam, Klemen tampak sering tepekur. Ibunya sudah lama meninggal karena cacing pita dan mereka hanya hidup berdua saja, sampai Klemen pergi ke kota, atas restu pendeta, untuk belajar menjadi pendeta.

”Kampus tempat belajar agama pun diobrak-abrik tentara,” katanya, ”benarkah sudah cukup kita hanya berdoa?”

Barnabas bukan tak mendengar orang-orang berbicara dengan nada rendah tentang penembakan dan kerusuhan di berbagai tempat lainnya. Klemen pernah membacakan pesan pada benda kecil yang sering digunakannya pula untuk bicara.

Aku masih di hongyeb, beberapa hongibi, dan syidos tahu persis siapa pelaku penembakan di gidinya, bekas nyahongyeb Dadbdedsya katanya punya data nama-nama pelaku penembakan. Mereka adalah (self-censorship oleh pengarang) yang menyamar sebagai pasukan sagangrod Tjhitgosoe ede dede nyalabi, seragamnya sama dengan sagangrod ini, senjatanya yang beda. Ini informasi A1, tapi kudu hati-hati, kami media tinggal tunggu siapa otoritas yang berani sebut siapa mereka. Jangan percaya omongan para petinggi munafik….

Barnabas sungguh tak mengerti apa yang harus dikatakannya. Negerinya hanyalah sebatas danau dengan tiga puluhan pulau yang dikelilingi tebing serba terjal dan meliuk berteluk-teluk itu. Ia tidak pernah tahu dan tidak butuh apa pun yang lain selain cakrawala negeri danaunya itu, yang telah memberikan kepadanya mega-mega terindah di langit biru, bukit-bukit menghijau, dan kedalaman di balik permukaan danau tempatnya memburu ikan-ikan yang baginya merupakan segala dunia yang lebih dari cukup. Ditambah khotbah para pendeta yang menyejukkan setiap akhir pekan dan pesta rakyat dari segenap pulau setiap tahun, itu semua sudah lebih dari apa pun yang bisa dimintanya.

Namun Barnabas merasakan perubahan yang terjadi belakangan ini, bahwa pendeta yang tidak bicara tentang kemerdekaan gerejanya akan sepi.
***

Hujan tampak menderas dan ketika Barnabas mengambil napas di permukaan danau memang sepanjang mata memandang hanyalah dunia yang kelabu karena tirai hujan dengan latar belakang bayangan punggung perbukitan di kejauhan.

Perutnya terasa agak lapar tetapi tenaganya sama sekali belum berkurang. Ia bisa membawa ikatan dua puluh sampai tiga puluh ekor ikan ke pasar, tetapi jika hanya membawa sepuluh atau lima belas pun tidak ada yang harus disesalinya sama sekali. Bahkan jika ikan yang ditombaknya cukup besar—dan ikan-ikan terbesar suka menyendiri—maka seekor atau dua ekor pun justru akan dibayar lebih tinggi daripada sepuluh ikan yang biasa.

Ya, ikan-ikan tak tahu kapan akan mati, batin Barnabas, tetapi pagi ini tampaknya belum ada yang akan mati. Setidaknya di dekat permukaan ini.

Maka Barnabas menyelam, menyelam, dan menyelam semakin dalam, ke tempat ikan besar biasanya menyendiri.

Namun gagasan tentang ikan besar yang menyendiri ini, yang memisahkan dirinya secara alamiah karena tak dapat lagi berombongan ke sana kemari dengan ikan-ikan kecil meskipun dari jenisnya sendiri, mengingatkan Barnabas kepada dirinya. Sedikit pemburu di antara penjala dan pemasang bubu, dan di antara pemburu yang biasanya bekerja siang atau malam, hanyalah Barnabas yang selalu bekerja tepat menjelang fajar merekah—jelas membuatnya berbeda, keberbedaan yang mungkin menurun kepada Klemen. Memang banyak hal tak dimengertinya pula dari gagasan-gagasan Klemen, apalagi ketika ia bicara tentang pernyataan untuk merdeka….

Manusia kadang masih seperti ikan, pikirnya, tak dapat bercampur baur dan hanya nyaman dengan golongan sejenisnya.

Di danau itu telah dimasukkan ikan dari tempat asing, seperti ikan gabus Toraja, yang ternyata lebih suka memakan telur ikan gabus asli dari danau itu maupun ikan-ikan lainnya. Ikan gabus asli yang disebut khahabei itu harus dicari para penyelam di bagian danau terdalam. Sedangkan ikan lohan yang juga asing di danau itu, tak hanya memakan telur-telur ikan gabus, anak-anak ikan gabus, dan ikan-ikan kecil lain, tetapi juga udang dan jengkerik . Maka ikan-ikan asli lain seperti ikan seli, ikan gete-gete besar dan kecil, ikan gastor, ikan gabus merah, ikan gabus hitam yang dahulu berlimpah kini hanya tertangkap dalam jumlah sedang; yang masih banyak tinggal ikan-ikan hewu atau ikan pelangi, tetapi ikan kehilo semakin susah dicari, mungkin karena makin jauh bersembunyi, mungkin juga memang tinggal sedikit sekali. Tempat mereka telah diisi ikan-ikan asing yang disebut ikan mata merah, ikan tambakan, ikan sepat siam, ikan nila, ikan nilem, dan ikan mas. Barnabas tahu benar, dahulu setidaknya terdapat dua puluh sembilan jenis ikan, termasuk ikan laut yang masuk dari muara sungai di sebelah timur, dan sekarang hanya enam belas jenis, itu pun tinggal sembilan jenis yang asli.

Ikan makan ikan, apakah manusia tidak memakan manusia? Barnabas tidak terlalu peduli apakah ia pernah menjawab pertanyaannya sendiri.

Sudah beberapa hari Klemen menghilang. Tetangganya menyampaikan kadang ada orang datang bertanya-tanya tentang Klemen—bukan, mereka bukan sesama penduduk di negeri danau yang saling mengenal sejak dilahirkan. Perahu bolotu yang digunakan Klemen juga masih di tempatnya, ketika beberapa malam lalu mendadak terdengar deru perahu Johnson di kejauhan pada tengah malam. Penduduk yang masih terjaga saling berpandangan. Mereka yang terbiasa menyendiri memang harus menghadapi segala sesuatunya sendirian.

Barnabas menyelam makin dalam, bahkan sampai menyentuh lumpur di dasar danau. Seekor ikan khahabei besar yang waspada berkelebat, mengepulkan lumpur yang segera saja menutupi pandangan. Barnabas tidak dapat melihat apa pun. Cahaya yang sejak pagi tidak pernah lebih terang dari kekelabuan dalam hujan, di dasar danau ini tak dapat juga memperlihatkan sesuatu kepada Barnabas.

Namun di antara kepulan lumpur pekat Barnabas merasakan sesuatu datang dari dasar danau dan ia segera menghindarinya. Tak urung, sesuatu yang mengambang karena gerakan ikan khahabei itu telah melepaskan keterikatannya dari akar-akaran di dasar danau, menyentuh tubuhnya juga dalam perjalanan ke permukaan danau.

Ia terkesiap dan melepaskan dirinya dari kepulan lumpur, melesat dan menyusul sesuatu yang segera jelas merupakan sesosok mayat. Dari balik kacamata selamnya yang buram, matanya terpaku kepada sosok itu, yang perlahan tetapi pasti menuju ke atas sampai mengapung di permukaan danau. Dengan cahaya yang sedikit lebih baik daripada di dasar danau, meskipun tidak terlalu jelas, Barnabas dapat memastikan bahwa tangan dan kaki mayat itu terikat, dan pengikatnya adalah robekan bendera bergaris biru putih, sedangkan mulutnya disumpal dengan kain merah.

Di permukaan itu hujan bukan semakin mereda tetapi menderas. Angin keras menyapu seluruh permukaan danau, sehingga air hujan yang turun dari langit tersibak bagaikan tirai raksasa yang melambai-lambai. Di antara deru angin yang menarik-narik daun pohon nyiur di semua pulau, terdengarlah jeritan panjang dari tengah danau.

”Klemeeeeeeeennnn!”

Jayapura, 12-14 November 2011
https://cerpenkompas.wordpress.com/2012/01/08/mayat-yang-mengambang-di-danau/

Pengarang, Karangan dan Takdirnya

$
0
0

Awalludin GD Mualif *

Setahun terakhir ini geliat sastra terlihat gegap gempita. Panggung-panggung dan ruang diskusi sastra semakin berserakan dan hampir dapat kita temui di setiap sudut-sudut kota. Baik di kampus-kampus, toko-toko buku, art space, ruang-ruang komunitas, café-café, sampai ke balai desa warga dan lain sebagainya.

Maraknya gelaran sastra tentu saja memberi angin segar bagi kelangsungan dunia sastra. Tanpa sadar rasa-rasanya setiap orang mendadak menjadi pengarang, dan setiap ucapan yang keluar adalah syair. Kira-kira seperti ini saya menggambarkan situasi dunia sastra di Yogyakarta akhir-akhir ini. Tentu saja tak ada yang salah dengan hal ini. Sebagaimana kawan-kawan perupa mengenal istilah lebaran seni rupa, di sastra hal serupa ini bisa juga disebut lebaran sastra.

Pengarang bertebaran, karangan berserakan dimana-mana. Tak ayal fenomena semacam ini menjadikan kota diamnya menjadi taman kata-kata yang penuh bunga-bunga makna. Meski sebagian kalangan mencibir dengan nyinyir, berkata; bahwa kuantitas pengarang dan karangan yang beredar tak sebanding dengan kualitasnya. “Ah, ngak papa, toh fenomena semacam ini tidak merugikan siapapun dan tidak merugikan apapun,” sahut saya buru-buru memotong, saat duduk berdiskusi bersama lima pelaku dan penggemar dunia sastra dua hari lalu di sebuah warung kopi bercahaya temaram di sudut kota Yogya. “Tidak bisa seperti itu, bagaimanapun karya sastra nggak bisa dijadikan main-mainan. Karena sastra adalah gema jiwa yang berdaya gugah menggerakkan peradaban semesta,” pintal salah seorang pelaku sastra lain dengan nada tinggi, yang kebetulan duduk tepat di hadapanku, memprotes dengan ketus. “Siapa yang membuat mainan dan apa yang dipermainkan?” tanyaku buru-buru memotong. “Iya, memangnya sastra milik nenek moyang sastrawan? Timpal salah satu kawan yang duduk disamping kiriku menyahut.

Terkadang saya merasa aneh jika ada orang yang merasa dirinya paling berhak menjadi “polisi” sastra. Seperti polisi yang berjaga di perempatan jalan setiap waktu sambil membawa senjata di pinggang, dengan sempritan menyungging di ujung bibir kering dan mengatur lalu lintas sastra. Kemudian dengan mata elang berdiri tegak dan bersiap memberi surat tilang pada pengendara sastra yang dia anggap melanggar lalu lintas. Padahal kita sama-sama tahu dan sudah menjadi rahasia umum bahwa negosiasi jalanan bisa diselesaikan dijalanan. Sesama orang jalanan dilarang saling menilang, ups. Kita andaikan saja hukum seperti ini berlaku atau diberlakukan. Pertanyaan berikutnya, parameter apakah yang akan digunakan para “polisi” sastra untuk menilai para pelanggar “lalu lintas” sastra? Lantas siapa yang berhak menjadi “polisi” sastra? Apakah polisi sastra itu serupa dengan Paus sastra yang disandang oleh HB Jassin?

Jauh-jauh hari silam Solzhenitsyn berkelakar bahwa seorang pengarang sastra bisa menjadi semacam pemerintahan tandingan lewat karangan yang ia lahirkan. Tetapi bukankah hal ini memperumit dunia sastra jika ujug-ujug muncul pemerintahan sastra dalam dunia sastra. Mungkinkah sematan presiden penyair Indonesia yang disandang Sutardji Calzoum Bahri merupakan representasi dari pemerintahan dalam dunia sastra? Kalaulah memang iya adanya, kapan pemilunya? dan adakah ia memiliki struktur pemerintahan hingga ke akar rumput? Rasanya sulit bagi akal sehat kita untuk mengaminkan.

Ada anggapan kalau sastra “serius” diperuntukkan bagi kalangan intelektual, sedangkan sastra “pop” untuk kelas menengah yang “kurang” intelek. Lantas dimanakah posisi sastra “rakyat” yang cair? sekurang-kurangnya sastra rakyat memusara dalam tradisi pantun, foklor, dan kesenian-kesenian tradisi yang masih hidup di tengah-tengah masyarakat dengan cakupan dan keterbatasan masing-masing.

Kembali pada “polisi” sastra. Secara cultural pengakuan atas karya sastra adalah ketika karya tersebut dimuat di mass media, baik cetak dan elektronik. Bagi saya posisi polisi sastra “sesungguhnya” adalah mass media. Apalagi di era saat ini. Karena dia memiliki infrasrtuktur pendukung untuk menaikan sekaligus menjatuhkan pengarang dan karanganya. Bukan kritikus sastra, ataupun kantong-kantong sastra, apalagi sastrawan itu sendiri.

Tetapi perlu kita ingat jika karya-karya yang dimuat di mass media selalu bergantung pada keteraturan tema yang sudah ditentukan media massa. Walaupun pada saat yang sama, akibat dari adanya keteraturan tema ini, seorang pengarang terlatih untuk memeras pikiran demi mendapatkan ide cerita yang menarik tanpa kehilangan kedalaman-kedalaman yang sekaligus seiring dengan kemauan mass media. Apakah pola semacam ini adalah sebuah kesalahan? Tentu saja tidak serta merta kita bisa menjustifikasi bahwa pola semacam ini merupakan sesuatu yang salah. Karena bagaimanapun kurangnya perhatian pemerintah terhadap dunia sastra bisa sedikit dipenuhi oleh mass media. Terlebih yang fokus pada tumbuh kembang dan tumbangnya dunia sastra. Yang menjadi persoalan adalah, jika karya sastra yang termuat di media massa dijadikan satu-satunya patokan kebenaran dalam menilai kualitas sastra. karena setiap pengarang berangkat dari jaya jelajah imajinasinya masing-masing dengan keunikan dan taste berbeda-beda. Bisa jadi sebuah karya yang tak disukai oleh beberapa kalangan, di gandrungi dikalangan lain.

Dengan demikian saya condong dengan kredo Harry Aveling bahwa kita adalah warga dunia, maka setiap pengarang yang melahirkan karya sastra secara otomatis adalah karya yang mendunia. Dalam pada ini, setiap orang berhak menjadi pengarang dan pada gilirannya pengarang harus ikhlas menyerahkan anak ruhaninya tersebut menempuh jalan takdirnya sendiri. Akankah ia berumur panjang dan abadi ataukah sebentar lahir lalu tergolek mati.

Kopi Hitam
Yogyakarta, Sewonderland, 16 Ramadhan, 2017.
Cak Udin (Awalludin GD Mualif) https://sastrasewu.blogspot.co.id/2017/09/pengarang-karangan-dan-takdirnya.html

Sketches Perjalanan Pelukis Rengga AP

$
0
0

Nurel Javissyarqi *

Sebelum memperkenalkan Rengga AP ke sidang pembaca, saya ingin bercuap-cuap terlebih dulu, sekiranya bagi pengantar makolah sekaligus merambahi dunia lukis terdahulu, sekarang dan masa akan datang?

Jauh sedurung manusia mengenal lukisan, di kedalaman batinnya paling wingit, suara-suara mitos didongengkan atau bersama perubahan dinaya alam, umat manusia memahami keseluruhan jagad alit jagat besar, kedirian serta alam raya, membaca warna siang juga malam, mengamati pesona fajar pula senjakala. Tatkala kuda hitam menjelma angin menyeret arak-arakan gemawan, daya tenaganya yang besar merangseki bentuk kemauan, hasratnya perpindahan, sedang untaian rambut ekornya mengibas, menjatuhkan tiap-tiap pengharapan, lalu anak manusia penuhi pilihan-pilihan menggetarkan, takdir menentukan dari gambaran lama, dan lahirlah kenangan dari setiap tarikan nafas diantarkan jemari demi dilukiskan di dinding goa kesunyian. Atau rupa-rupa bahaya mengancam nyawanya, mereka menebar kabar berita yang diusung dari kemurnian menyelamatkan jiwa kemanusiaannya, menutup pintu goa atas batu besar dengan rapatnya, nafasnya tersengal was-was menderai sukmanya menuju terbitnya kesungguhan, lalu pelahan-lahan dimakmurkan perasaan dengan topangan jati keyakinan; apa yang menyala pastikan redup, yang berkobar-kobar dihempaskan angin sepi, sewarna sunyi-sepi diperoleh dari riuhan.

Di puncak kesadaran ini, sang bocah pelajari apa saja yang berkisar di sekelilingnya, gradasi warna pohon serta getahnya, men-yinauh-i rupa bebatuan, menggesek-gesekkan yang padat menjelma api, bebatang kayu dicobanya demi hadirnya ruh nyata, di sisi menyimak nyanyian gerimis, kemarahan hujan angin deras, petir guntur menyambar disertai kilatan-kilatan cahayanya menebang pepohonan, menciumi pepucuk gunung, menyentakkan pebukitan, lantas warna membiru dimengerti setelah api membakar keseluruhan diri. (‘Jika saya tidak memiliki warna merah, saya menggunakan warna biru’ Pablo Picasso).

Ketika waktu dilipat-lipat pemiliknya, angin-gelombang uluran selendang mengikuti irama tarian, lekuk leliku gemulainya atas tabuhan gending-gending dalam goa, bebulir air terpelanting, wewarna cahaya, angka hitungan, mendiami tempat-tempat terpencil, menjelma hal diperebutkan kala pelbagai makna dipijak di ruang kenyataan, bersama nama-nama disematkan, tapi semuanya berpulang kepada nurani, kala naluri saling gasak bertabrakan, dan darah mengucur menjelma rupa menentukan, tanah letak berdiri pun demikian, lalu putih pada bola mata senilai kepurnaan.

Hijau dedaunan, kuning kemarau melanda, coklat meranggas, hitam kelam menyerupai dendam yang siap melambrak apa saja di depan, seolah lama menanti, membeletat pagar kemendadakan, lelukisan ekspresi tak lagi nyata, menjalari jari-jari benalu memeluk erat pohon sengketa, semacam cinta lara, timbullan abstraksi mengejawantah. Lama sebelum itu telah di-rapal-kan datangnya musim kerinduan, entah diantarkan bayu pula gerimis mendatang nan mendentang, dilanjutkan tetabuhan keharmonisan, dan makhluk manusia tetap saja mencari, menjelajahi kulit bumi melayari lautan api, bibir-bibir retak mewujud tekstur perubahan. (‘Dunia tidak masuk akal, jadi mengapa saya harus melukis gambar itu?’ Pablo Picasso).
***

Saya bukan pelukis pun sastrawan, barangkali diri ini seniman, dan darah yang mengalir-mengarus deras dalam tubuh berasal dari jiwa seni. Seniman paling mujur pada keseluruhan hidupnya Pablo Picasso pun berkata-kata ‘Semua anak adalah seniman. Masalahnya, bagaimana tetap jadi seorang seniman setelah tumbuh besar nantinya.’ Tetapi saya tegak berteguh keyakinan, orang-orang yang berhasil mengembangkan jiwanya, sukses di bidang ditekuninnya itu seniman tulen, terus lahirlah seistilah seni berperang, seni berdagang, seni merampok, seni berkhotbah, seni menjiplak dst.

Berasal gemuruh suara sebelumnya lalu Andy Warhol melantunkan nada puitis, ‘Di masa mendatang, seseorang bisa terkenal, hanya dalam waktu lima belas menit.’ Bersamaan arus besar itulah seni lukis khususnya mencapai senjakalanya, berakhirnya sejarah, tamatnya filsafat, Tuhan pun wafat di tangan seniman kondang Friedrich Nietzsche. Guratan pun relief di goa, pula di barisan percandian serta cat minyak di tubuh kanvas sudah barang langka, diganti wajah seni rupa modern beraliran kontemporer, postmodern, hyper-postmodern, sampailah transformer-hyper-postmodern, misal hadirnya teknologi kamera nan canggih, instalasi seni rupa, instalasi seni pertunjukan kian menggila, tapi seolah hanya perpanjangan sampur dari capaian lama, lalu kitab Kamasutra kalah tenar film XXX. Seni lukis bernasib sama dengan takdir agama, yang awalnya asing kembali kepada keterasingannya.
***

Dan Rengga AP hadir dalam jaman yang sudah menganggap karya lukis telah terasing, pun ijek di-recoki persoalan klasik yang mewabahi negara berkembang, masyarakatnya masih mementingkan materi, ini dibenturkan paham keluarga, bahwa mencari uang dengan bekerja, bukan lewat melukis, menulis, apalagi baca buku, ditambah masalah pemula serta hal-hal seharusnya diberantas di dalam kepala orang tua demi masa depan anaknya; biarkan mereka bernasib malang-melintang melintasi alam dunianya, terpenting bertanggungjawab atas gagasan-gagasannya.

Rengga Ari Prasetyo lahir pada tanggal 4 Agustus 1989, putra pertama dari tiga bersaudara di Desa Purworejo, Geger, Madiun. Sekolah Dasar di desanya, Sekolah Menengah Pertama di Geger, Sekolah Menengah Kejuruan Kimia di Madiun, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri di Ponorogo dengan gelar SHI, 2014. Sedari tahun 2009 sampai 2014, menekuni Kitab-kitab Kuning di Pesantren Darul Hikam, Joresan, Mlarak, Ponorogo, kini sedang menumpuh S2 di kampus STAIN Kota Warok, maka praktis persahabatannya dengan lukisan sebagai autodidak nekat. Saya awal kali mengenalnya saat berada di Pesantren DH tahun 2011 dengan lukisan-lukisanya.

Ia bukan anak orang kaya dan tidak lahir dari rahim seorang ibu yang mengenyam pendidikan tinggi, namun sejarah tekat hidupnya patut diacungkan jempol sebarisan seniman idealis. Sengaja ‘memang’ dalam pengembaraan kedua di Bumi Reog tahun 2011 (sebelumnya tahun 2001 di Tegalsari), selain mengemban nasib tengah terdampar di SSC (Sutejo Spectrum Center) juga mencari orang-orang tekun yang layak meraih kesenangan batiniah. Di pesantren yang dalam keadaan melarat, Rengga AP masih sanggup mementingkan beli cat minyak yang berharga mahal, dibandingkan kebutuhan makan, ini mengingatkan saya semasa di Jogja berpuasa mutih, lantaran uang saku dibelanjakan demi membeli alat-alat lukis, dari situlah kami semakin akrab.

Hari-hari melewati wulan, bulan-bulan melampaui tahun, Rengga AP jadi bulan-bulanan atas teror saya tebarkan, saya pun dihantui nasib sedang menerkam kedalaman batin yang terus menerawang, istilah penulis Sutejo ‘Wayang kelangan gapite.’ Maka jadilah kami sama-sama tertawa, keluyuran mencari-cari corak obyek warna di ketenangan Telaga Ngebel, memaknai perpindahan warna serta efek terpantul dari siratan bebintik cahaya surya, mendung menggantung, air membaca, bebatuan merenung, pegunungan terlelap, pekabutan menyapa, ombak disisir angin, bayu disapu kelembutan putri yang didorong pengharapan dilukiskan, ataukah sampur sewarna pelangi Dewi Nawang Wulan menjuntai keluar dari pigura kenangan? (‘Betapa pun sebelnya seorang wanita, kalau dilukis tetaplah menyentuh rasa bangga, hingga tersenyum senang dibuatnya’ Nurel J.).
***

Setidaknya Rengga AP sudah tahu ‘History of Art’ Adi Kusrianto, Made Arini, membaca ‘Biografi Basoeki Abdullah Sang Maestro’ kepunyaan Solichin Salam, ‘Bung Karno: Kolektor dan Patron Seni Rupa Indonesia’ Mikke Susanto, bukunya Hendro Wiyanto dan Hari Budiono, ‘dia datang, dia lapar, dia pergi’ kenangan Pak Djon, sopir dan asisten pribadi pelukis Affandi, serta ‘Dullah Raja Realisme Indonesia’ Sudarmaji. Tentunya, buku-buku biografi pula karya-karya pemikir yang mempengaruhi diri saya ia lahap, tidak terkecuali seniman pelukis kapiran Adolf Hitler dengan kitab Mein Kampf.

Jadilah ia telah menjadi manusia waras ketika berkehendak menggelar pameran tunggal, menjelma seniman normal di antara seniman, meski tampak kegilaannya di hadapan masyarakat, khususnya di Karesidenan Madiun, wilayah yang tak membentuk pertimbangan serius kecuali mengkudeta jiwanya lebih dulu, sebelum mengkup seni rupa di tanah air dengan darah Madiun. Maka dengarkan khotbah Picasso; “Seniman yang baik meminjam, seniman yang besar mencuri” atau pitutur-nya “Pelajarilah aturan layaknya seorang profesional, sehingga dapat mematahkan mereka seperti seorang seniman.”

Mungkin jejak kanak Rengga AP gemar menggambar, senang mencoret-coret bangku sekolah seperti perkembangan pemuda seusianya, dan jari-jemari tangannya yang nggeratil tidak jenak di satu tempat, apalagi di tahun 2012 mulai membuka diri dengan para pelukis Kota Reyok, Abdoel Karim Masspoor, Sugeng Ariyadi, Andry Deblenk, Z Musthofa, di Madiun kotanya sindiri berkenalan dengan Bambang Irawanto, sempat saya ajak ke Lamongan menemui pelukis Jumartono serta pelukis senior Tarmuzie seangkatan almarhum Harjiman Jogjakarta, maka perangainya yang autodidak nekat sediki demi sedikit terarah, tidak lagi melukis kuburan, wajah para kyai juga rupa teman-temannya semata.

Di pesantren, ia mungkin tengah mengamalkan pendapatnya pelukis abstrak murni Achmad Sadali, ‘Daerah seni ialah daerah zikir, makin canggih kemampuan zikir manusia, makin peka mata batinnya.’ Di Darul Hikam Joresan, selain kesibukannya jadi santri juga ustad serta menjadi sopir mobilnya kyai sepuh, jadilah praktis nalarnya bergerak dinamis, melintasi bacaan serta tradisi, jalan naik turun lika-liku dilalui, bola matanya terus mengedarkan pandangan, mencari-cari obyek demi dilukiskan ulang. Mencerna kaca cermin psikologi percandaan kawan, kemalasan anak-anak didiknya dan sekali waktu menyapu halaman masjid, di samping gotakan yang tumbuh pohon sawo, mengepulkan asap rokok di warung sambil menelaah ulang buku-buku yang dibacanya, tidak lupa kembali ke dalam kediriannya.

Lukisan-lukisan Rengga AP belum banyak yang mapan atau sedikit yang mendekati kematangan, dan saya berharap di pameran tunggal kedua ke seterusnya, sudah pantas dipatahkan, dinilai tidak sekadar penggembira, tapi telah mempuni mentalitas coretannya dalam bertarung mengadapi badai gelombang besar, ketika angin kencang mendorongnya kuat di ketinggian; saat itu ia telah melampaui batas-batas kediriannya, keluar sedari ukuran semula, menuruti gejolak yang tidak dimengerti seolah keterasingan terhadap diri lebih kuat sedari sebelumnya. Senada bahasa Pablo Picasso; ‘Saya selalu melakukan apa yang tidak bisa saya lakukan, agar dapat belajar bagaimana melakukannya.’ Wewarna itu saya tunggu, dan menanti bisa memendam rindu di balik dendam jika pengharapan tidak sesuai, mengimpi pesona agung yang sanggup menggetarkan persendian ruang-ruang pameran, ruhaniahnya keluar dari skat-skat pigura, menyeruakkan pesona lukisannya menghampiri alam nyata bersegenap kerahasiaannya.

Usia Rengga AP genap 28 tahun, dapatlah berharap lukisan-lukisannya nanti memancarkan sifat-sifat misterius seperti karya Popo Iskandar. Tidak selukisan Djoko Pekik dengan garapan jelek menyerupai kerja borongan, tetapi terlanjur terkenal sebab adanya rupa-rupa menggelorakan suara rakyat kepada penguasa, semacam perpanjangan sedari lukisan ‘Tjap Go Meh’ karya Sindu Sudjojono. Dan semoga kualitas lukisannya kelak menghampiri karya-karya Affandi, begitu detail dengan pertimbangan dari kejelian dalam, kesuntukan memendam kepenuhan atau keseimbangan mempuni. Walau gairahnya di bawah Raden Saleh, yakni warna nafsunya tampak pada lukisan-lukisannya beraliran romantisisme. Meski belum sematang Basuki Abdullah dalam sapuan-sapuannya atas semangat Mooi Indie, tapi dapatlah berharap eskpresinya setangguh Bagong Kussudiardjo, dan sepertinya tidak memasuki dekoratif magis Widayat. Saya pun berharap salah satu karyanya menjadi koleksi penting Galeri Nasional bersama karya-karya pelukis yang saya sebut di paragraf ini.
***

Ketika bacaannya terhadap buku-buku terus merambah, sketsa-sketsanya tiada henti menajamkan pengamatan, mematangkan unsur-unsur tekad, menempa keyakinan di setingkap waktu menggelora, nilai-nilai siratan komposisi digali, di-keduk-nya dari dasar perasaan, keintiman kepada cat, bayangan kelam, keraguan siang, ketundukan sewaktu malam, was-was menguntitnya, hantu-hantu kegagalan, serta tembok putih tebal berjamur kemalasan, digempurnya bagaikan ombak lautan mengukir batuan karang, tak jemu mengunjungi capaiannya, dan perasaan tak puas mentok di tengah jalan, putus asa kembali bergairah, memuntahkan lahar hingga tak tersisa, lalu di sumur perenungan mulai temukan kejernihan air kebaharuan. Latihan sketsa seibarat baca buku tebal yang nikmat alurnya, ada tragedi, goda, misteri, juga hal-hal membuat jiwa muda, maka dimulailah tahun 2014 mengadakan pameran bersama para pelukis lainnya;

Pameran lukisan Hisma dalam Hari Jadi Kota Madiun di Alun-alun Caruban, pameran lukis ‘Ngawi Ramah Menyapa’ di Gedung Eka Kapti. Tahun 2015 pameran lukis pada Hari Jadi Madiun di Alun-alun Caruban, pameran lukis ‘Paguyuban Seni Rupa Madiun’ di Pasar Raya Sriratu, pameran lukisan Shor Zambou di Ponorogo City Center (PCC), pameran lukis ‘Madiun Obah’ di Hotel Aston. Di tahun 2016 pameran lukis ‘The Power of Art’ di Taman Budaya Yogyakarta (TBY), pameran lukis Hari Jadi Madiun di Gedung Korpri, pameran lukis Hari Jadi Kota Ponorogo di PCC, pameran lukis Tiga Perupa di Hotel Aston Madiun, pameran lukis Grebeg Suro di PCC, pameran lukisan ‘Serenade Biru di Langit Madiun’ di Hotel Aston. Tahun 2017, pameran lukis ‘EduArt: Jalinan Rona Pesona Estetika’ di TBY, gelar karya melukis bareng di Indigo Art Space dan di Gedung Kabupaten Madiun, presentasi karya lukisan bersama Heri Kris di Indigo Art Space, pameran lukis memperingati Hari Jadi Madiun, dan pameran lukis ‘Ragam Pesona’ di Gedung Eka Kapti, Ngawi. Sekarang tanggal 6-8 Oktober 2017 mengawali pameran lukis tunggal dengan tema ‘To Take Delight’ di JIERO, Jl. Bali 17 Madiun.

Rengga AP bisa dikata senasib para pelukis yang tumbuh di daerah lain, masih berpameran di dalam negeri, padahal di antara mereka sudah banyak yang berpameran ke luar serta dikenal di sana. Maka pesan singkat saya senada teror terdahulu; setiap kecamatan ada sejenis dirimu, di semua kabupaten ada puluhan, pada segenap provinsi ada ratusan orang memiliki semangat menyerupaimu serta lebih, olehnya hentikan cepat atau bertaubat kalau tidak sungguh. Jikalau tetap ngotot kumandangkan derap langkah, tambahkan kelipatan gairah, tempalah kuat-kuat keyakinanmu melebihi barisan pendahulu, sebab kualitas karyalah yang berbicara garang nantinya, dan jika kesunyian terus meringkus, tegap jangan ragu, barangkali jaman belum mendukungmu atau betapa banyak karya melampaui masanya, semasa hidupnya tidak didengar, tetapi nilai tinggi karya gemilang dipancarkan waktu sesungguhnya, seperti kita ketahui kemalangan Vincent van Gogh bersama karya-karyanya abadi sepanjang sejarah!

*) Pengelana waktu asal Lamongan, Indonesia, Dunia; datar atau bulat sama saja tetap berkarya!

 

Ketika Usman Arrumy Salah Memasuki Kebun Nizar Qabbani

$
0
0

Fazabinal Alim *
basabasi.co

Pada 11 Juni 2017, Dea Anugrah menulis tentang terjemahan puisi-puisi Nizar Qabbani yang meragukan di www.tirto.id. Ia membandingkan tiga buku terjemahan puisi Nizar Qabbani yang berjudul Puisi Arab Modern, Surat dari Bawah Air, dan Yerusalem, Setiap Aku Menciummu.

Bagi Dea, dari segi kualitas maupun kuantitas, penerbitan terjemahan puisi-puisi Nizar Qabbani di Indonesia masih jauh dari cukup. Dalam hal ini, saya sepakat dengan Dea. Namun, dari hasil perbandingan tiga buku ini, Dea yang lebih cenderung memuji buku terjemahan Usman Arrumy, Surat Dari Bawah Air, hanya karena diambil dari teks Arab, bagi saya menyimpan kemuskilan yang perlu dijernihkan. Dan di sini saya akan fokus pada kemuskilan-kemuskilan yang saya temukan dalam terjemahan Usman Arrumy yang dipuji habis oleh Dea.

Nizar Qabbani adalah penyair yang sangat produktif. Sejumlah besar puisinya terhimpun dalam Al-A’mal al-Kamilah (kumpulan karya lengkap). Usman Arrumy memilih secara acak puisi-puisi Nizar Qabbani dari total tiga jilid Al-A’mal al-Kamilah yang kemudian ia terjemah menjadi Surat dari Bawah Air.

Tentu saja, alih bahasa puisi-puisi Nizar Qabbani merupakan kabar baik bagi pembaca Indonesia. Tapi kabar baik itu akan berkurang nilainya ketika puisi yang begitu estetik ini diterjemahkan dengan tidak estetik (dan nyaris asal-asalan) oleh seorang penerjemah yang dianggap baik oleh Dea.

Dalam amatan saya, Usman Arrumy melakukan berbagai kesalahan terjemah. Tidak semua, tapi nyaris pada larik demi larik, puisi demi puisi, terdapat kesalahan terjemah yang fatal, baik secara struktural maupun leksikal. Karena tak mungkin menyebutkan satu per satu dalam esai ini, saya ambil tiga puisi saja, yang saya kira paling mewakili.

Pertama, puisi berjudul “Saaqulu laki Uhibbuki” [Aku akan mengatakan kepadamu bahwa “aku mencintaimu”] (hlm. 1-6). Pada larik ketiga, bait pertama (hlm. 1), Usman Arrumy menerjemahkan terbalik kata la yabqa, yang dalam arti leksikalnya, “tidak tetap/tidak lagi/tidak bersisa” menjadi “ada yang tetap”. Selanjutnya pada kata ‘Indaizin satabda’u muhimmati//fi taghyiri hijarat hadza al-‘alam (ketika itu perhatianku akan mulai//mengubah batu-batu dunia)di mana seharusnya kata muhimmati (perhatian) adalah subjek dari kata tabda’u, diterjemahkan menjadi “ketika kau mulai menjadi perhatianku//dalam rangka mengubah batu”.

Pada bait kedua, larik ketiga, kata wa yushbihu al-hawa’ allazi tatanaffasinahu yamurru biriatayya ana, yang dalam terjemahan leksikalnya, seharusnya, “ketika napas yang  kau (perempuan) embuskan itu melewati paru-paruku”, diterjemahkan menjadi “demi menjadikan udara menafasimu melintasi kebebasanku”.

Pada bait ketiga, larik kesembilan, Usman Arrumy menerjemahkan kata innani la u’ani min ‘uqdat al-mutsaqqifin menjadi “aku tak bisa bebas menyimpulkan intelektualitas”. Seharusnya terjemahan leksikalnya “karena aku tak ingin menderita dari belenggu para intelektual” dan pada larik ketigabelas kata “fa al-mar’atu qashidatun amutu ‘indama aktubuha” diterjemahkan menjadi “perempuan telah mati begitu aku menulis puisi”, padahal terjemahan leksikalnya adalah “perempuan adalah puisi yang membuatku mati ketika aku menuliskannya”.

Kedua, puisi berjudul “Rubbama” [Barangkali] (hlm. 38-49). Pada bait kedua, larik keduabelas, kata ghayra anna al-hubb ma ballala bi al-dam’ sariri, yang arti leksikalnya “hanya saja, dengan air mata, cinta tak dapat membasahi ranjangku” diterjemahkan menjadi “tapi aku suka air mata yang membasahi ranjangku”. Dan pada bait ketiga larik kedelapan, kata fusul yang artinya lebih dekat dengan kata “musim” menjadi “pasal”.

Ada beberapa bait yang sengaja dihapus dan tidak diterjemahkan oleh Usman Arrumy. Pada bait kelima, ada dua larik setelah larik ketiga, dan satu larik setelah larik ketujuh (hlm. 40-41) yang dihapus dan tidak diterjemahkan. Kemudian ada sembilan larik di bagian pertama bait keenam yang juga dihapus dan tidak diterjemahkan. Selanjutnya pada bait ketujuh, ada kesalahan tulis, ma arwa’a menjadi ma arwaha yang tentunya telah mengalami pergeseran makna. Dan lagi-lagi pada bait kedelapan, Usman Arrumy menghapus separuh larik pertama, kedua, dan ketiga. Dan satu larik pada bait kesembilan.

Ketiga, puisi berjudul “Hubb Bila Hudud” [Cinta tanpa batas] (hlm. 66-79). Pada bait kedua, larik keempat ya anharan min nahawand yang jelas tertulis dalam teks Arabnya, tidak diterjemahkan oleh Usman Arrumy. Dan pada larik ketujuh, kata kasarab al-hamam yang artinya “kawanan merpati” dibaca al-hammam, sehingga diterjemahkan menjadi “bak mandi”.

Pada larik kelima, bait keempat hatta ashbaha malak al-syi’r, di mana subjek dalam larik ini adalah “aku” yang seharusnya diterjemah “hingga aku bisa menjadi raja puisi” dibalik menjadi “agar aku bisa menjadikan kau ratu puisi”. Pada larik ketujuh, yakfi an ta’syiquni imraatun mitsluki seharusnya “cukup bagiku ada seorang perempuan sepertimu mencintaiku” menjadi “cukuplah bagiku merindukan perempuan sepertimu”. Dan pada larik kesembilan, wa turfa’u min ajli al-rayat diterjemahkan “dan mengibarkan bendera kebangsaan” seharusnya “bendera-bendera dikibarkan demi diriku”.

Pada bait kelima, kata lan yataghayyaru syai’un minni, diterjemahkan “tak ada yang bisa mengubahku”, seharusnya “tak akan pernah ada yang berubah sedikit pun dariku”. Kata lan yatawaqqaf nahr al-hubb an al-jaryan diterjemah menjadi “sungai cinta akan mengalir jauh”, seharusnya “sungai cinta tak akan pernah berhenti mengalir”. Kata lan yatawaqqaf hajal al-syi’r an al-thairan diterjemah menjadi tarian puisi tak akan berhenti terbang”.

Usman Arrumy menerjemah hajal yang arti leksikalnya adalah burung gunung (bahasa Inggris: partridge) semacam “burung puyuh” menjadi “tarian”.

Hina yakunu al-hubb kabiran//wa al-mahbub qamaran diterjemah menjadi “ketika cinta yang akbar itu//telah menjadi kekasihnya rembulan”. Seharusnya, “ketika cinta telah beranjak dewasa//dan yang dicintai menjadi rembulan”.

Pada bait keenam, kata la ya’ni li al-syari’ sya’an seharusnya “jalan tak berarti apa-apa bagiku” diterjemah menjadi “aku tak punya arti apa pun bagi jalan”; dan kata la ta’ni li al-hanat syai’an, seharusnya “biar tak berarti apa-apa bagiku” diterjemahkan “tak punya arti apa-apa bagi kerinduan”

Kata ma as’adani fi manfaya “betapa bahagianya diriku dalam pengasingan” yang bentuknya tafdil/superlatif diterjemahkan menjadi bentuk pertanyaan, “Apa yang bisa membahagiakanku di perasingan?”. Uqattir ma’a al-syi’r “kuteteskan air puisi” di mana subjeknya adalah aku, diterjemahkan menjadi “air puisi menetes”. Ma aqwani//hina akunu sadiqan//li al-hurriyah wa al-insan diterjemah menjadi “apa yang bisa mendatangkan kemalanganku//ketika aku berdiri di posisi yang benar//pada kebebasan dan kemanusiaan”, seharusnya “betapa kuatnya diriku ketika aku menjadi teman//bagi kebebasan dan kemanusiaan”. La tansyaghili bi al-mustaqbal, ya sayyidati yang seharusnya “tak usah terlalu sibuk memikirkan masa depan” diterjemah “kelak, tak usah kau bersedih”. Kata wa fi dzakirah zinbaq wa al-raihan tidak diterjemah. Seharusnya “dan dalam memoar bunga lili dan semerbak wanginya”.

Itulah (di antara) kekeliruan-kekeliruan mendasar dalam terjemahan Usman Arrumy yang tak terjangkau oleh Dea, sehingga Dea cepat memberi kesimpulan bahwa hasil terjemah Usman Arrumy layak diapresiasi tinggi semata karena ia menerjemahkannya dari bahasa asal Nizar Qabbani.

Terjemah yang baik, menurut saya, tetap harus dipijakkan pada makna yang tersampaikan setelah teks itu dialihbahasakan. Usman Arrumy niscaya sadar akan hal itu. Buktinya, ia mengutip Sapardi Djoko Damono bahwa terjemahan telah menjadi karya yang mengalami proses alih wahana, yang menjadikannya benda budaya yang baru.

Namun, alih-alih menjadikan karya terjemahan sebagai budaya yang baru, Usman Arrumy justru menerjemahkan puisi Nizar Qabbani yang bahasanya sangat sederhana dan liris menjadi tidak lagi sederhana dan bahkan sedikit membingungkan. Menerjemah itu seyogianya memudahkan pemahaman, bukan membagi kebingungan.

Memang ini teks sastra, yang mungkin akan tetap bisa dinikmati oleh pembacanya walau sebagai sesuatu yang lain. Tapi bagaimana seandainya yang diterjemah adalah teks-teks keagamaan atau rumus-rumus penting fisika dan resep-resep kedokteran?

Apa yang terjadi pada kasus terjemahan Nizar Qabbani oleh Usman Arrumy mematahkan tesis Dea bahwa menerjemah dari bahasa pertama (asal) menggaransi kualitasnya menjadi lebih baik. Poinnya jelas bukan semata terletak pada bahasa pertama, tapi pada orang yang mengalihkan bahasa.

Saya teringat celoteh Al-Fatih Mirghani di sebuah acara televisi: “Saya tidak yakin ada seorang pemuda di dunia ini, baik seorang terpelajar maupun penyuka puisi, yang bisa memasuki kebun Nizar Qabbani.”

*) Fazabinal Alim, Penerjemah dan Kritikus Sastra Arab
http://basabasi.co/ketika-usman-arrumy-salah-memasuki-kebun-nizar-qabbani/

Untuk yang Terhormat, Budaya: Sahabat Saya Dr Kamsol

$
0
0

Zuarman Ahmad *
riaupos.co

AKU, sepertinya harus melanggar pendapat dan petuah seorang kawan dan pernah menjadi murid saya yang sudah menjadi dosen, untuk tidak lagi merisaukan pembangunan seni dan budaya Melayu Riau tempat saya lahir dan dibesarkan ini.

Dalam Public Hearing Naskah Akademis dan Bahan Ranperda “Perkokoh Jati Diri dengan Pelestarian Budaya dan Nilai-nilai Tradisi Melayu, yang diselenggarakan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Riau dan Riau Pos, sahabat saya Dr Kamsol, ketika masih kuliah yang sama-sama main Band mengharapkan pikiran-pikiran tentang Ranperda ini untuk dikirimkan ke email-nya, namun maafkan saya sahabat, karena pikiran-pikiran saya dalam tulisan ini mungkin harus diketahui oleh publik (kalau saya dikatakan narsis, saya terima dengan sukacita), maka inilah pikiran saya.

Sahabatku! BUDAYA, dalam bahasa Arab disebut dengan Adab, berarti “himpunan kualitas-kualitas baik”. Al-Hujwiry mendefinisikan budaya (adab) menurut kaum sufi sebagai “hidup dengan kualitas-kualitas terpuji”, dan diterangkan lagi sebagai “bertindak dengan benar terhadap Tuhan – ketika di depan umum maupun ketika sendirian”.

Menilik pengertian yang ditakrifkan Al-Hujwiry ini, aku, sepertinya tak yakin lagi, tentang pembangunan kebudayaan kita (Riau), meskipun pemerintah Provinsi Riau mendirikan (istilah Fakhrunnas: menumbuhkan) Dinas Kebudayaan (Disbud) Provinsi Riau. Sikap skeptis yang dilontarkan oleh Fakhrunnas dalam tulisannya “Menimbang-nimbang Dinas Kebudayaan” (Riau Pos, Jumat, 13 November 2015), mungkin juga sikap para budayawan dan seniman Riau umumnya, atau kalau tidak mau paling kurang sikap saya yang juga skeptis. Bahwa, siapa calon “nakhoda” atau kepala dinas-nya, siapa pegawainya, bagaimana nomenklatur-nya, dan lain-lain dan lain-lain persoalannya.

Pertanyaan lain tentang dinas budaya yang akan didirikan oleh Provinsi Riau ini, yaitu, apa dan siapakah yang akan diurus oleh dinas kebudayaan ini? Apa jaminannya jika dinas kebudayaan ini dibuat maka seni dan budaya akan lebih baik dari sebelum dinas ini didirikan?

Sahabatku! Bahwa, yang diperlukan oleh budayawan, seniman, budaya dan seni itu hanyalah persoalan klasik yang sejak dari dahulu, yakni dana dan prasarana. Mari berkaca pada lembaga lain, misalnya Departemen Pemuda dan Olahraga dan dinas-dinasnya yang terakit di provinsi dan kabupaten kota. Pada lembaga ini juga terdapat dua pengelolaan, yakni kepemudaan dan keolahragaan.

Tapi, tengoklah, semuanya berjalan dengan harapan pemuda dan olahragawan, meskipun tidak sepenuhnya sempurna, karena harapan yang satu ini nampaknya di Indonesia berkaitkelindan dengan harapan yang lain, mungkin adab dalam pengertian Al-Wujwiry di atas. Kenapa harapan ini agak memenuhi impian pemuda dan olahragawan? Pertama, organisasi kepemudaan dan organisasi olahraga dan seluruh cabang-cabangnya secara resmi diatur dan sepenuhnya bernaung dalam Departemen Pemuda dan Olahraga beserta dinas-dinasnya. Kedua, sarana dan prasarana, seperti gedung-gedung kantor dan latihan tersedia dan disediakan, beserta pendanaan yang kontinyu.

Bagaimana dengan kebudayaan dan seni?

Kebudayaan, sebenarnya seperti halnya pemuda dan olahraga. Ketika dahulu budaya berada pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, ada dua lembaga yang diurus bersamaan, yakni pendidikan dan budaya, tetapi pada bidang budaya tetaplah tidak memenuhi harapan budaya dan seni itu sebagaimana pemuda dan olahraga. Setelah berlalu masa ini, kemudian budaya berada pada Departemen Pariwisata dan Seni dan Budaya, tetapi nampaknya tidak jua memenuhi harapan seni, budaya, seniman dan budayawan, sebagai mana halnya pemuda dan olahraga. Sebenarnya di mana letak salahnya?

Letak salahnya. Kalau kita bertanya kepada departemen ini atau kepada dinas yang mengurus budaya dan seni yang terdapat di dalam dinas itu, kira-kira pertanyaan harus diajukan seperti ini: Apakah yang diurus oleh Dinas Pariwisata Seni dan Budaya (ketika seni dan budaya masih bergabung) atau apakah yang diurus oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (ketika seni dan budaya bergabung dahulu dan sekarang)? Karena itu, wahai Sahabatku, saya berani bertaruh bahwa dinas ini tidak dapat menjawab pertanyaan ini sesuai dengan analogi tentang Dinas Pemuda dan Olahraga yang telah diuraikan di atas. Tetapi kalau jawabannya untuk sekedar menjawab pastilah dapat.

Kalau begitu halnya, apakah jika Dinas Kebudayaan yang akan didirikan itu akan memenuhi harapan seni, budaya, seniman dan budayawan? Jika dinas ini tidak tahu apa yang diurusnya, seperti yang sudah-sudah, saya juga dapat memastikan dinas ini juga tidak akan berjalan dan dapat memenuhi harapan seni, budaya, seniman dan budayawan itu. Namun, barangkali, Dinas Kebudayaan yang akan didirikan ini hanya dapat memenuhi harapan segelintir orang atau segelintir lembaga kebudayaan, sebagaimana yang dirisaukan oleh Fakhrunnas MA Jabbar – bahwa, kesan tertutup dan tidak menyeluruh pada kajian penelitian tentang budaya Melayu Riau, kesan pilih-kasih (tebang-pilih) dan kronisme dan pertimbangan subyektif pada helat kebudayaan dan pengiriman duta kebudayaan pada perorangan seniman dan budayaan dan sanggar-sanggar seni dan bukan pada pertimbangan obyektif.

Di sisi yang lain lagi, ketidakmengertian, kelebaian, kehangkongan, dan sifat narsis yang dimiliki oleh pegawai-pegawai di dinas yang menuangi dan menaungi kebudayaan dan seni ini juga menjadi kendala tidak sinkroninasi-nya dan tidak berkembangnya pembangunan kebudayaan dan seni Melayu Riau kita di sini. Seniman dan budayawan mungkin tidak mengerti adiministrasi, tetapi seniman dan budayawan sangat-sangat mengerti tentang seni dan budaya yang digeluti dan digaulinya sehari-hari itu. Tengoklah, tentang bahasa Melayu saja kita di Riau ini sudah terkotak-kotak; menurut Melayu pesisir bahasa yang dipakainyalah bahasa Melayu itu, tetapi Melayu darat dan Melayu pedalaman mungkin saja dapat mengatakan bahwa bahasa Melayu itu asal-usulnya dari mereka.

Para intelektual yang mengaku hebat itu bahkan tidak tahu apa itu bahasa dan apa itu dialek atau loghat. Bahwa bahasa Melayu dengan loghat atau dialeknya masing-masing itu sudah menjadi bahasa pemersatu dan lingua-franca, dan menjadilah bahasa yang dipakai di Indonesia, Malaysia (terutama Melaka) Singapura, yang berasal dari bahasa Melayu itu. Sekarang apakah hendak menjadikan satu dialek atau loghat untuk menjadi acuan bahasa Melayu di Riau dan meniadakan dialek dan loghat yang beragam lainnya? Sementara bahasa Melayu itu sudah dipakai oleh kawasan di nusantara ini.

Sahabatku. Mungkin ini sajalah dahulu pikiran-pikiran sahabatmu ini yang mungkin berguna atau mungkin juga tidak berguna, yang tidak sempat dan cukup waktu untuk berdiskusi dalam Public Hearing Naskah Akademis bahan Ranperda itu.

Sahabatku. Bahwa, budaya dan seni adalah pikiran-pikiran yang lahir dari rasa (zawq), dan yang menilai serta memikirkannya juga dengan jiwa tempat rasa (zawq) itu berada, kepala dinas dan pegawai-pegawainya juga harus bekerja dengan jiwa dan rasa (zawq), karena mereka itu akan mengurus hal yang berhubungan dengan jiwa dan rasa (zawq), yakni seni, budaya, seniman, dan budayawan, dan bukan hewan.
***

*) Zuarman Ahmad, pemusik, composer, arranger, pensyarah/ pengajar musik Akademi Kesenian melayu Riau (AKMR), penikmat sastra, penulis cerita-pendek, redaktur Majalah Budaya Sagang, penerima Anugerah Seniman Pemangku Tradisi Prestasi Seni/Musik 2005, Penerima Anugerah Sagang 2009, dan penikmat ajaran suluk (sufi).
http://riaupos.co/2743-spesial-untuk-yang-terhormat,-budaya-sahabat-saya-dr-kamsol-.html

Viewing all 2226 articles
Browse latest View live