Quantcast
Channel: Sastra-Indonesia.com
Viewing all 2226 articles
Browse latest View live

Riwayat Asap: Obat Luka Kepedihan dan Kreativitas Penulis

$
0
0

Menabur Benih Sastra Hijau di Riau
Bambang Kariyawan YS *
riaupos.co

Bermula dari Jalan Jauhari …

Tulisan ini muncul ketika diskusi-diskusi kecil para penulis Forum Lingkar Pena (FLP) Riau di rumah inspirasi Jalan Jauhari Pekanbaru. Berkumpul membicarakan konstribusi yang tepat sebagai penulis atas derita yang dialami bersama karena bencana kabut asap. Sebagai anak negeri bertuah, beragam cara telah diekspresikan untuk mengungkapkan derita atas bencana tahunan ini. Bayangkan 18 tahun berulang-ulang menghirup asap seperti agenda tahunan rutin. Ada yang dengan demonstrasi, menulis surat, teaterikal, gerakan damai, karikatur, kreativitas di jejaring sosial, membagi masker, membagi susu kaleng dan beragam cara yang disesuaikan dengan latar belakang dan kesukaan penggagas.

Sebagai penulis pun ingin merebut momen itu dengan caranya tersendiri. Dari diskusi itu, munculnya beragam saran, genre apa yang akan diusung sebagai karya tulis. Ada yang memilih puisi dengan pertimbangan lebih mampu mengungkapkan segala endapan emosi dan bahkan memiliki nilai panggung bila suatu saat diadakan aksi peduli bersama. Namun ada pula yang mengusulkan cerpen dengan pertimbangan bisa lebih leluasa mengisahkan secara utuh melalui sebuah kisah. Ada pula yang terbiasa menulis non fiksi mengusulkan esai tentang asap. Diskusi kecil pun terjadi dan tercapai kesepakatan mengingat citra FLP sebagai organisasi yang berkarya dengan kecenderungan berwarna sastra, maka dipilihlah puisi dan cerpen.

Untuk menjaga momen yang sedang berlangsung (momen asap), maka dengan waktu cepat pergerakan kecilpun terjadi untuk menyelesaikan karya. Ada yang langsung mengirimkan karya yang telah ada disimpan di folder dalam laptopnya. Ada yang memodifikasi karya yang telah jadi atau hampir jadi. Ada pula yang harus berjibaku mengejar target untuk menghasilkan karya baru. Dengan beragam cara dan semangat menulis yang telah terpupuk maka menulis bukanlah hal yang sulit. Apalagi ditambah semangat ingin merebut momen dan pencitraan terhadap organisasi penulis yang peduli pada masalah sosial dan lingkungan. Dengan beragam semangat tersebut akhirnya terkumpullah 63 puisi dan 14 cerpen.
Beragam warna ditampilkan dari puisi-puisi dalam Riwayat Asap. Tersebutlah penyair-penyair besar dari bumi bertuah ini, Fakhrunnas MA Jabbar, H. Dheni Kurnia, A. Aris Abeba, dan Husnu Abadi. Dengan gaya personifikasinya Fakhrunnas MA Jabbar menuliskan puisinya “Asap Pun Tak Takut Presiden.”

ternyata asap pun tak takut presiden
asap hanya takur pada cuaca
cuaca takut pada hujan
hujan takut pada awan

hujan takut pada asap
tapi asap pun tak takut presiden.

Secara melankolik penyair Dheni Kurnia menuangkan kegelisahannya dalam puisi “Pada Awalnya Adalah Asap”. Beliau juga menuturkan kesedihan akan korban dalam “Cahaya Asap Menusuk Rahim Hanum”. Belum lagi A. Aris Abeba dalam puisi “Ratap” ditulis sebagai ekspresi kemarahan. Serta penyair-penyair FLP Riau dengan beragam gaya penuturannya termasuk ragam berbisik yang menggugah nurani dan bermuara pada renungan dan berkaca diri.

Gaya personifikasi juga turut hadir dalam cerpen “Putih” karya Nafiah al Marab. Setting kearifan masyarakat dalam memelihara alam hadir dalam cerpen “Tarian Malam” oleh Ilham Fauzi. Serta cerpen “Manusia Salai”, cerpen yang diangkat dari tulisan berita yang terbit di harian Riau Pos Cerpen yang ditulis kombinasi antara ketersesakan penulis dan kreativitas mengolah cerita yang berisikan prediksi manusia-manusia Riau bila kondisi asap tak kunjung pergi. Berikut cuplikannya:

Menyusut … daging yang membalut tubuh ini. Urat-urat mengecil dan menonjol disetiap sisa daging. Menghitam. Aku tak mengerti apakah teori evolusi Darwin memang telah menimpa aku dan orang-orang disekelilingku. Asap yang selalu pekat menjadi asupan setiap hari dan membuat tubuh ini harus bertahan hidup dengan mengalami adaptasi serta penyesuaian. Tak penting bagiku mengapa ini bisa terjadi, yang terpenting adalah bertahan hidup dengan situasi ini.

Dalam buku Riwayat Asap ini hadir pula cerpen lain dan puisi-puisi hijau yang ditulis dengan sepenuh hati menyuarakan tentang kegelisahan, kegeraman, dan kegamangan tentang asap ini.

Sastra, Mengobati Luka

Menurut pakar psikologi sosial, David McClelland, dengan bantuan beberapa ahli yang netral, menemukan puisi, drama, pidato penguburan, kisah epik di Inggris ternyata menunjukkan optimisme yang tinggi, keberanian untuk mengubah nasib, dan sikap tidak cepat menyerah. Cerita-cerita seperti ini dianggap memiliki nilai n-Ach tinggi, virus yang menyebabkan pembaca atau pendengar terjangkit penyakit the Need for Achievement (Kebutuhan Berprestasi).

Kondisi bangsa kita yang suram, penuh luka-luka, harus segera diobati. Salah satunya adalah dengan menanamkan motivasi berprestasi (menaikkan n-Ach) setinggi mungkin. Bukankah Jepang, yang sekarang menjadi negara maju pun, pernah mengalami luka yang sangat parah tahun 1945? Dan, salah satu cara yang bisa diterapkan, adalah dengan bersastra. Sastra sebagai bagian dari gerakan budaya diharapkan mampu memberikan penyadaran. Namun tentunya sastra yang dimaksud adalah sastra yang memotivasi untuk berprestasi. Sastra yang menjunjung optimisme tinggi, menceritakan keberanian mengubah nasib. Bukan sekadar sastra-sastra negatif yang justru membuat orang bersikap pesimis dan kehilangan harapan.

Dalam dunia modern sekarang ini kemungkinan terjadi penderitaan itu lebih besar. Hal ini telah dibuktikan oleh kemajuan teknologi dan sebagainya. Penderitaan yang terjadi di seluruh dunia merupakan salah s atu obyek sasaran media massa untuk membuat berita, kemudian akan sampai ke seluruh penjuru masyarakat termasuk para seniman yang kemudian akan mengapresiasikan rasa simpatinya melalui karya seni.

Ahli lain pernah mengungkapkan bahwa menulis pengalaman pahit yang dialami sehari-hari dapat meredakan tekanan yang dialami. Dalam kasus asap di Riau yang memakan waktu relatif lama tentunya menelan beragam penderitaan masyarakatnya. Masalah kesehatan, pendidikan, produksi industri, dan aspek kehidupan lain menyita pemikiran. Endapannya akan berkumpul dan memacu munculnya stress yang makin meninggi. Upaya mengeliminir kemelut ragam masalah dapat dilakukan dengan menuangkannya dalam sastra. Sejalan dengan fungsi sastra yang begitu humanis yakni ketika sastra menjadi ruang utuh mengekspresikan keterdesakan kondisi hati, jiwa dan perasaan manusia. Dengan karya sastra kita akan berbagi pengalaman dan mendapat umpan balik dari pembaca. Berbagi disinilah yang menyebabkan kadar stress kita akan berkurang.

Dari Asap Menyemai Hijau

Masalah lingkungan cukup sering diperbincangkan. Lapisan ozon kini semakin menipis. Berbagai simposium, seminar, dan pertemuan diselenggarakan untuk mengatasi masalah ini. Kesadaran mengenai pentingnya menjaga lingkungan terus dikampanyekan. Memang banyak cara yang harus dipilih untuk mengatasi masalah ini. Para sastrawan pun ternyata tak ketinggalan untuk berperan serta dalam menanggulangi masalah ini.

Para sastrawan dari berbagai penjuru dunia pun sejak dahulu telah ikut serta mengampanyekan persaudaraan terhadap lingkungan ini melalui karya-karyanya, seperti puisi-puisi Manyoshu yang memperlakukan alam sebagai bagian dari kehidupan masyarakat Jepang. Atau karya-karya dari khazanah kesusastraan Inggris, Prancis, Jerman, dan Italia yang sarat akan napas kerinduan pada alam. Tema alam dan lingkungan merupakan suatu imajinasi yang telah banyak diproduksi oleh para penulis dan penyair.

Di tanah air sastrawati Indonesia, Naning Pranoto bersama Perhutani dengan gigihnya memulai gerakan Sastra Hijau (Green Literature). Buku yang menjadi pedoman para penggerak sastra hijau pun dihasilkan dengan judul “Seni Menulis Sastra Hijau bersama Perhutani”. Lewat beragam lomba menulis cerpen dan puisi hijau yang digesanya menjadi identitas baru dalam khasanah sastra di Indonesia. Organisasi penggerak nyata membumikan sastra hijau pun dibangunnya berupa Gubug Hijau Raya Kultura dan Laskar Pena Hijau.

Riau memiliki beragam cara merawat alam, seperti tradisi menumbai sialang, memelihara hutan larangan, dan cara-cara tradisional dalam memelihara keseimbangan alam. Tradisi menjaga alam itu menjadi ide-ide kreatif bagi penulis untuk menuangannya ke dalam media sastra hijau. Sastrawan Riau pun tak kalah kreatifnya secara tidak sadar mengusung karyanya dengan tema besar sastra hijau. Sebut saja Fakhrunnas M.A Jabar dengan kumpulan cerpen “Ongkak”, Musa Ismail dengan novel “Tangisan Batang Pudu”, dan penulis sendiri pernah menulis cerpen berjudul “Malam Kai …” yang pernah dimuat di harian Riau Pos, Rindu Menggalo dalam kumpulan cerpen Dua Warna FLP Riau dan masih banyak lagi sastrawan-sastrawan Riau yang secara tidak sadar menuangkan karyanya dengan dibalut keprihatinan akan alam Riau.

Bagaimana sastra hijau menyusup ke FLP? Bermula ketika sebuah tema “Sastra, Lingkungan, dan Kearifan Lokal”, diusung pada Silaturrahmi Nasional Forum Lingkar Pena (Silnas FLP), 11-13 Juli 2008 lalu di Aula PPPPTK Bahasa, Jakarta. Sebagai sebuah organisasi kepenulisan besar di Indonesia, FLP terus menitikberatkan pada peningkatan kualitas menulis anggotanya. Maka anggotanya bahkan setiap manusia yang hidup di muka bumi ini pun dituntut untuk peka terhadap sesuatu yang ada di alam semesta ini. Untuk mengatasi masalah lingkungan di atas, yang diperlukan adalah mencoba bergerak melalui kesadaran transenden yang sama sekali muncul bukan karena sikap sporadis semata. Melainkan benar-benar cerminan dari identitas religius seseorang. Dengan demikian, akan muncul gerakan-gerakan yang kemudian bermuara pada karya-karya yang benar-benar menyuarakan kejernihan dan optimisme dalam menghadapi hidup.

FLP Riau sebagai salah satu komunitas penulis di bumi Melayu ini, mencoba mengambil peran “kecil” atas berbagai perubahan yang terjadi. Perubahan lingkungan berupa asap yang telah mencapai pada titik bosan untuk disikapi, tetap perlu diperhatikan pada berbagai sisi peran. FLP Riau menggesa kepedulian itu dengan membentuk divisi Sastra Hijau. Momen yang tepat tatkala permasalahan lingkungan dengan adanya asap serta maraknya program pemerintah berupa Adiwiyata di sekolah, Green Campus di Perguruan Tinggi, serta Green City di wilayah perkotaan. Divisi Sastra Hijau dapat berkontribusi lebih dengan menjadi energi perubahan kecil melalui beragam program tersebut.

Dengan semangat kembali menghijaukan bumi, mari bersama berkarya untuk meletakkan marwah bumi pada tempat yang selayaknya. Salam Sastra Hijau!
***

*) Bambang Kariyawan Ys, guru Sosiologi SMA Cendana Pekanbaru. Aktif bergabung di Forum Lingkar Pena Riau. Telah menerbitkan buku kumpulan cerpen “Numbai” dan beberapa buku kumpulan puisi, novel, dan pendidikan. Peserta undangan MMAS (Membaca, Menulis, dan Apresiasi Sastra) Kemdiknas, Penerima Anugerah Sagang, dan Peserta Ubud Writers and Readers Festival.
http://riaupos.co/2742-spesial-riwayat-asap-obat-luka-kepedihan-dan-kreativitas-penulis-menabur-benih-sastra-hijau-di-riau.html


Puisi-puisi Penyair Nizar Qabbani melalui Usman Arrumy, Dea Anugrah, Fazabinal Alim

$
0
0

Persoalan terjemahan buah karya puisi berbahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia
Nurel Javissyarqi *

Bismillahir Rahmanir Rahim… Sebelum merantak (merambat, menjalarnya sejenis api membakar daun-daun kering) nun jauh. Perkenalkan saya sekadar pengelana yang tak tahu menahu bahasa teks lain ‘kecuali’ bahasa Indonesia, yang ini pun masih terus mengalami perkembangannya, jadi apapun karya-karya terjemahan yang saya kunyah, makan (baca), otomatis tak paham secara persis kebenarannya, hanya meraba (ngincipi, kadang terlanjur lahap) sekaligus berjarak di sisi bercuriga, maka dapat dipastikan (kerap mengalami keracunan), tapi tak sampai maut menjelang. Lantaran saya lebih menempuh (mementingkan) sarapan, gorengan tempe (eling), ditambah wedang kopi (waspodo), disertai penghisap rokok kretek (Luwih begja kang eling lan waspodo, R.Ng. Ronggowarsito), kemudian berjalan melewati gapura (membuka lelembaran buku) di bawah pepohonan sawo besar (hasil-hasil terjemahan), lalu memasuki kamar dan mengunci pintu jendela rapat-rapat (membaca dengan tenang, –teringat di Tegalsari). Jalan-jalan ini menyadarkan saya juga, agar semakin mawas tidak salah minum dan makan di siang harinya, yang bisa berimbas perut mual-mual kebanyakan tertawa atau pusing tujuh keliling alun-alun Jogjakarta.

Kemunculan nama Usman, dapat dikata saya sedikit bertanggung jawab (jikalau sok merasa) juga tidak, sebab diri ini sudah pernah membo-membo (berpura-pura) jadi iblis di hadapannya; sewaktu ia menghimpun para gus dan ning dalam sebuah antologi puisi yang berjudul “Jadzab, Sekumpulan sajak pesantren” yang saya bedah lewat makalah bertitel “Membo-membo Jadi Iblis di Kediri” http://sastra-indonesia.com/…/membo-membo-jadi-iblis…/ yang merupakan bentuk mengeman (menyayangkan) jikalau kehadiran mereka pada masa-masa berikutnya masih kurang bisa ngeker (menahan kesabaran sekuat bertabah), sedangkan bibit-bobotnya betapa indah. Pilihan ‘menjelma’ iblis merupakan wujud teguran keras bagi yang mawas, bukan semata abang-abang lambe atau pemanis buatan. Namun kehidupan memanglah pelajaran, olehnya saya senantiasa berlaku ‘belajar sambil menghajar’ kepada diri pribadi, serta yang bersikap sewenang-wenang di atas kekuasaannya dari ilmu pengetahuan, dsb.

Ketika membaca esainya Dea Anugrah (“Puisi-puisi Nizar Qabbani dan Terjemahannya yang Meragukan” 11 Juni 2017), lalu kupasannya Fazabinal Alim (“Ketika Usman Arrumy Salah Memasuki Kebun Nizar Qabbani” 28 September 2017). Seyogyanya Usman Arrumy… ;Penerjemah Puisi-puisi Nizar Qobbani, dengan judul buku “Surat dari Bawah Air” 400 Halaman, Oktober 2016, Penerbit Perpustakaan Mutamakkin Press (penerbit yang membawakan nama besar KH. Ahmad Mutamakkin, Al-Fatihah…), Endosemennya: KH. Husein Muhammad, Candra Malik, Acep Zamzam Noor, …berterima kasih matur nuwon kepada Alim, dikarena perihal itu sebatu pelajaran pula, meski dirinya sudah tenar tidak ketulungan. Dengan bermodalkan sebagai anak kiai (gus) serta keuangan cukup demi menimba keilmuan di Kairo, dan karya-karyanya terus mengalir sejiwa muda, tentulah gampang bergaul dengan para seniornya, Sujiwo Tejo, Sapardi Djoko Darmono &ll. Ke-mentereng-an tersebut dapatlah ditebak, sebab mempan (bisa dengan mudah) dibombong, dilulu (dieluh-eluhkan, dibesar-besarkan) oleh mereka yang membutuhkan para pengikut dari generasi lebih muda, namun fatalnya menjelma bencana, karena tiadanya kemampuan ngeker (ngerem), merenung, belajar ulang berulang-ulang demi menyadari posisi dirinya sekaligus mencurigai siapa pun meski kepada malaikat, umpamanya.

Saya yakin, jika Usman mengikuti saran petuah para seniornya, tentu tanggapannya (kupasannya) Alim akan dibiarkan mengapung seibarat bayi terlunta-lunta dalam peti, mengikuti aliran air sungai atau melawan arus yang takdirnya kemudian diketemukan orang lain lalu dirawatnya dalam istana, lantas masa-masa berikutnya menantang siapa saja yang menghalangi dirinya dalam pencarian kebenaran; siapakan kediriannya? Kalau itu yang terjadi (Usman diam seribu bahasa), tidak menariknya cepat-cepat menyelamatkan anak-anak karyanya, ada kemungkinan lain dimakan buaya atau sekarat sia-sia, sebab terus menunggu datangnya keajaiban, padahal segenap itu tepatnya karomah, tetaplah menjalani prosesi alami setindak ke-istikomah-an, dan Usman sudah hafal diluar kepala juga mengetahui tradisi para alim ulama tempo dulu yang berbantah-bantahan demi memperdalam pandangannya melalui sungai-sungai mengarus deras yang senantiasa ditatapnya menerus, dirasai seraga-batiniahnya.

Kayakinan kuat di atas tersebab saya sendiri tengah menghadapi kasus hampir sama, sebagaimana kesalahan-kesalahan fatal dibiarkan, oleh yang merasa sudah senior; mereka pada tutup mata-telinganya atau dianggap angin lalu saja kritikan tajam maupun pedas, lantaran bayu pastilah berlalu… tapi angin juga berkemampuan memusar mengangkut apa saja sekaligus dihempaskannya ke tanah atau mendorong kuat-kuat hingga sanggup mencerabut akar-akar pohon raksasa. Kasus yang saya hadapi adalah kekurangajaran pada pelucutan makna “Kun Fayakun” yang dirombaknya membentuk kata-kata “Jadi maka Jadilah!” dan “Jadi, lantas jadilah!” (Pidato Anugerah Sastra DKR 2000 SCB, Sambutan Sutardji Calzoum Bachri Pada Upacara Penyerahan Anugerah Sastra MASTERA, 14 Maret 2006). Maka dengan berbungkam saja cukuplah menjadi kalangan senior, dan kritikan Fazabinal Alim semakin mengekalkan Usman menduduki barisan yang patut disegani, tanpa membaca kesalahan fatal pun mutilasi besar-besaran pada puisi-puisinya penyair Nizar Qabbani, atau dapat pula diartikan rangkaian kalimat Dea bekerja meruang-waktu memitoskan Usman dan berhasil di atas kebungkaman penerjemah tersebut oleh karena terlena menikmati alam mitologi kesusastraan di Indonesia.

Dan bisa saja Dea Anugrah telah lama mengetahui beberapa kehilafan, keteledoran serta kenekatan Usman, tapi dikesampingkan semuanya demi naiknya generasi muda, kemudian rupa-rupanya perangai terjemahan tersebut diamini begitu rupa menjadi pembelajaran bersama, atau Dea sengaja mengangkat Usman setinggi-tingginya sambil menanti hukum bandul (yang diperkarakan Alim kemungkinan tidak akan muncul, jikalau Dea tidak menuliskan esai mengenai hasil-hasil terjemahannya Usman). Dan jika menengok judul esainya Dea atas kata “Terjemahannya” dan bukan dengan kata “Penerjemahnya” (“Puisi-puisi Nizar Qabbani dan Terjemahannya yang Meragukan”), yang berarti bukan menunjuk kepada penerjemahnya, namun lebih terhadap hasil kerja Usman, walaupun di dalam catatan Dea seolah menjempolinya. Jika dikutip lengkap “Terjemahannya yang Meragukan” masih menuju pada hasil terjemahan Usman. Makna lain judul tersebut, “terjemahannya yang meragukan Dea” atau Dea lebih mempercayai Usman dibandingkan hasil kerja terjemahannya, ataukah Dea salah ketik menuliskan judul? Hanyalah Dea yang tahu permainannya di sana. Tapi yang patut disayangkan, Usman tidak beranjak dari kursi empuknya, hanya mempercayakan kepada pembaca karya-karyanya, ini pula sejenis meremehkan pengkritiknya, oleh sebab sudah terlanjur ngetop seperti selebritis senyum-senyum kecil di ruangan kesadarannya paling pribadi sambil mengusap-usap beberapa kealpaannya sebagai perihal lumrah, atau mengira para pembacanya manggut manut di atas usahanya bersusah payah menerjemahkan senada seleranya, yang telah dianggapnya sangat cukup mewakili sedari segenap ikhtiarnya selama penggarapan buku tersebut.
***

Ketika menuliskan ini, Alim mengirimkan tautan yang bersangkut dengan yang tengah terkerjakan jemari kini, dan Fazabinal Alim menuliskan komentar di samping memberikan link catatan facebook Admin Dalfis Latee (“Membandingkan Terjemahan Puisi Nizar Qabbani Versi Fazabinal Alim dan Usman Arrumy” 1 Oktober 2017), berikut pengantarnya; “Terimakasih atas kritik dan apresiasi, teman-teman semua. Terutama Musyfiqur Rahman, Admin Dalfis Latee (tempat saya belajar bahasa Arab sewaktu di Pondok Pesantren Annuqayah). Tulisan ini bagus. Namun membandingkan terjemahan saya yang hanya diambil dari status Facebook yang saya tulis pada tahun 2014 lalu dengan karya terjemahan Usman Arrumy yang sudah menjadi satu buku utuh, sangatlah tidak adil. Sebab proses penerbitan sebuah buku di penerbit manapun telah melalui pembacaan dan koreksi ulang oleh seorang editor dan proofreader. Semoga tulisan semacam ini semata dalam rangka proses pembelajaran dan kritik yang membangun. Karena sejatinya tak ada istilah berhenti dalam belajar. Bukan membandingkan untuk menjatuhkan satu sama lain. Semoga catatan-catatan kritis dan kritik-kritik semacam ini sama seperti yang dilakukan Aristoteles kepada gurunya Plato, “Amicus Plato Sed Magis Amica Veritas”.”

Tulisan saya ini dapat dibilang terlambat, kalau menengok bukunya Usman telah terbit bulan September 2016 (menurut catatan Admin Dalfis), dan saya baru tahu tulisannya Alim yang terbit di basabasi.co, lewat tautan sedari facebooknya Kanjeng Tok (Awalludin GD Mualif), pada tanggal 29 September 2017 pun tidak langsung membacanya beserta tulisan Dea yang terkait di tirto.id, oleh rasanya tidak punya kepentingan pada penyair yang diterjemahkan Usman, pun saya tengah suntuk membaca ulang tulisan sendiri yang kehendaknya terbit tahun ini, tapi ketika Usman saya jawil melalui tag di fb tidak berkomentar hanya menjempolinya, maka jadi penasaran pada esainya Alim serta Dea. Lantas inilah jadinya saat jari-jemari menari mengudara. Tepat kata Alim, bahwa perbandingan puisi yang di buku dengan catatan di fb merupakan tindakan kurang adil, apalagi catatan tersebut telah lama mendekam dari tahun 2014 pun belum terbukukan, jadi kurang layak disoroti, dan pembandingnya pun tidak menyebutkan nama pena secara langsung, hanya menterakan ‘Admin Darul Lughah Al-Arabiyah Wal Fiqh As-Salafi (Dalfis)’ yang jika mengamati komentarnya Alim, ianya Musyfiqur Rahman. Dan perlu pembaca ketahui, tulisan-tulisan saya yang gentanyangan di website, blog, masih kerap saya benahi tanpa sepengetahuan pembaca ketika sebagai adminya. Untuk seimbangnya, kritisilah yang sudah tercetak; buku, koran, majalah, jurnal &ll. Penggal saja habis-habisan tidak masalah, meski pada jenjang selanjutnya banyak buku-buku ketika cetak ulang mengalami perombakan dan itu syah tidak masalah, apalagi buah karya puisi banyaklah versi meski dari tangan pertama sang penyairnya.
***

Sebenarnya persoalan ini tak akan sampai merantak kemari, jikalau penerjemahnya selain berendah hati juga mengedepankan kejujuran serta sikap keterbukaan, toh itu semua menambah keindahan di dalam alunan lagu belajar, meninggalkan sungkan maupun gengsi, sebab ajaran Islam sudah memberikan topangan terbaik pada prosesi menyusuri jalan hayati, semisal ‘Tuntutlah ilmu sejak dari buaian hingga liang lahat’ serta makolah-makolah lain, sedari hadits-hadits, ujaran para sahabat, petuah para ulama dsb, tentunya Usman telah hatam mempelajarinya. Berendah hati sudahlah bersikap jujur telah, seperti memberikan catatan karya sedari sumber aslinya, tapi penghapusan beberapa larik dari puisi aslinya juga seharusnya dikabarkan, semisal berkata-kata; “Ada beberapa larik puisi yang ‘seolah’ sengaja saya hapus sebab merasa kalau satu kata yang menempel di larik selanjutnya yang saya terjemahkan itu telah mewakili keberadaannya sebagai puisi tersebut.” Sehingga ketika terjadi kekeliruan dikarena tindak kehilafan fatal yang mendasar dari terjemahan tidaklah mengapa menerimanya, jika sebelumnya pada pengantar buku memberikan keterangan seperti; “Ada lelangkah kesengajaan merombak puisi aslinya ke dalam terjemahan berbahasa Indonesia, sebab merasa lebih sesuai bagi para pembaca di Tanah Air, atau mengikuti proses naik-turunnya saya di dalam belajar.” Jika itu yang ditempuh, kemungkinan kritikan Alim tak kan muncul dari yang paling mendasar hingga yang agak wajar (jika tidak dibilang kurang ajar), atas perubahan puisi-puisi terjemahan buah karya Nizar Qabbani, apalagi yang mengerjakannya juga penyair.

Saya menjadi teringat petuah agung H.O.S Cokroaminoto “Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat.” Barangkali sudahlah tinggi ilmunya serta mapan tauhidnya, namun rasa-rasanya belumlah pandai bersiasat demi menanggulangi bencana kebocoran, ambrolnya bendungan, jebolnya arus bengawan. Siasat itu sangatlah penting untuk menghimpun dinaya ruapan energi dikala melawan balik dengan bentuk bersiasat pula, istilah saya ‘main licik-licikan’ dan itu syah, dibanding bertingkah pola menutupi tetapi terbongkar nantinya. Terus terang matahari musim kemarau panas penerawang, saya banyak belajar bersiasat atau sinahu main licik (bahasa halusnya cerdik) dari para pengkritik yang terutama berasal dari pribadi purna sastrawan pun budayawan. Di sanalah lahirnya istilah ‘belajar sambil menghajar’ yang itu muncul saat prosesi belajar terus-menerus, atau sedari tangan lembut gemulainya sampai di jemari sekarang.
***

Sebagai penyuka buku-buku hasil terjemahan, apakah dari bahasa asal; China lama; modern, bahasa Belgia, Belanda, Jerman, Prancis, Swedia, Arab, Inggris &ll, enak tidak enak tetap saya baca, kadang memaksakan berjenak lama-lama meski kuranglah nyaman dirasa, pun saya kerap membandingkan hasil-hasil terjemahan penerbit A, B dan C atas satu judul buku. Ada juga penerbit yang saya golongkan terjemahannya buruk, tapi tetap membacanya, dan ternyata menemukan di antara terbitannya ada yang lumayan. Oleh karena seringnya membaca buku dari terjemahan, seolah (sudah terbiasa) merasai (menilai) hasil terjemahan ini baik atau tidak, bertele-tele mengikuti hasrat penerjemahnya atau saklek sesuai teks aslinya, agak-agak amburadul atau mulus lantaran pengeditannya berindah-indah, pun ada yang bertetap kuat berpegangan teks asli sekaligus berupaya nikmat dibaca. Salah satu buku terjemahan yang sampai saya membelinya tiga kali; tersebab pertama karena hilang, yang kedua ketlisut, dan pembelian ke tiga titip lewat adik sewaktu ke Yogyakarta. Buku yang terbeli sampai tiga periode itu, saya anggap terjemahannya baik (berkualitas) meski saya awam pada bahasa aslinya. Buku tersebut karya sastrawan Jerman, Johann Wolfgang von Goethe yang berlabel “Faust,” Penerbit Kalam, Penerjemahnya Agam Wispi dari bahasa sumbernya Jerman, Cetakan Pertama Oktober 1999. Terang sajalah, saya mengenal pemikiran para tokoh dunia melalui buku-buku karya-karya terjemahan, pun tampaknya nilai-nilai dari terjemahan di tahun-tahun lawas, rasanya banyak yang berkualitas. Pula saya tetap berjarak tatkala membaca karya hasil terjemahan, dan ketika menjadi bebahan kutipan, maka berarti saya srek atau percaya dengan terjemahannya.

Dalam persoalan bukunya Usman yang menerjemahkan puisi-puisinya penyair Nizar Qabbani dari bahasa aslinya Arab, saya tak bisa berkata lebih, sebab tidak memegang bukunya (tidak memilikinya), di sini hanya berpegangan pada penelusuran Alim yang terang kejeliannya, dan ini menambah pengetahuan mengenai buku-buku terjemahan sekaligus tetaplah menghargai jerih payah penerjemah, tidak terkecuali kepada Usman. Satu bentuk penghormatan saya kepada buku-buku hasil terjemahan ialah berdoa sebelum membacanya. Ada suatu pengalaman pada buku terjemahan karangan Ibnu Arabi, yang saya lupa penerbit serta judulnya, sampai tujuh kali saya membaca ulang sambil tetap menjaga wudhu, barulah dapat memahami. Maka, makin membeludak para penerjemah di Indonesia pastinya indah, karena bangsa ini membutuhkan berderet-deret amunisi, lantaran buku hasil terjemahan tentu memperluas wawasan memperkaya hasana keilmuan serta melebarkan pandangan, dan andai ada yang melenceng terjemahan karya puisi bagi saya tidak masalah, toh itu hanya untuk menambah sarapan pagi jika diperlukan sebelum bekerja (berkarya). Lalu saya pikir kerjanya Usman lebih baik daripada mereka lulusan Jurusan Sastra Arab, juga yang menimba keilmuan di luar negeri, tapi sepulangnya ke tanah kelahiran, dirinya tersesat di dunia politik hingga lupa keilmuan Allah yang betapa manis di bumi Sholawat.

*) Pengelana asal Lamongan, kini tinggal di kecamatan Laren, desa Tejoasri, dusun Pilang, daerah yang dikelilingi Bengawan Solo, setengah lingkaran bengawan arusnya tenang, setengahnya lagi air menjalar sampai jauh… (Gesang).
http://basabasi.co/ketika-usman-arrumy-salah-memasuki-kebun-nizar-qabbani/
https://tirto.id/puisi-puisi-nizar-qabbani-dan-terjemahannya-yang-meragukan-cqkZ
https://www.facebook.com/notes/dalfis-latee/membandingkan-terjemahan-puisi-nizar-qabbani-versi-fazabinal-alim-dan-usman-arru/330957080702774/

Afrizal, Modernitas dan Kecemasan

$
0
0

Fikram Farazdaq *
riaupos.co

Lisensia puitika menghamparkan “kebebasan” bagi penyair untuk menggunakan bahasa. Konvensi yang telah pakem, suatu ketika bisa dibelokkan demi menemukan ungkpan estetik yang berbeda dari kejamakan. Afrizal Malna memilih menyisiri jalan berbeda dari kejamakan, bukan saja menghancurkan konvensi, melainkan mempertanyakan lebih dalam apa yang disebut estetis dan mengobrak-abrik stuktur.

Puisi-puisi Afrizal seperti hendak menghampaskan tatanan baku yang selama ini menjadi “polisi moral” bagi puisi. Justru karena kondisi seperti itulah puisi berada dalam tegangan: mana yang baik dan mana yang buruk. Padahal, jika merujuk lebih jauh lisensia puitika, puisi lahir dari imajinasi dan kreasi subjektif. Dan kreatifitas sendiri tidak bisa dibatasi oleh logika formal karena hanya akan mempersempit ruang geraknya. Apa yang dipilih Afrizal bukanlah mendekonstruksi demi mendapat konstruksi yang lebih bagus, tetapi membiarkan dalam kehancurannya, dalam ketercerai-beraiannya.

Bahkan, lebih jauh, Afrizal menihilkan koherensi dan membuat larik-larik puisinya berdiri sebagai entitas yang otonom. Dan karena itulah tertuang asumsi-asumsi subjektif yang menjatuhkan puisi Afrizal dalam genre puisi gelap. Yang manjadi menarik ialah menyingkap kegelapan puisi Afrizal demi menemukan secercah cahaya di dalamnya. Tafsir kita juga harus liar agar tidak terperangkap dalam jebakan-jebakan metaforis Afrizal, yang sulit diterka dengan nalar awam.

Jika mayoritas penyair berdiam dalam ruang soliter dan kesunyian yang purba dengan meneriakkan kegelisahan eksistensial dirinya, puisi-puisi Afrizal adalah orkestrasi kolosal semua benda, yang dalam tilikan Ahmad Gaus, berhak untuk mengada dan menegakkan eksistensinya. Dalam kondisi inilah, yang didengungkan Afrizal bukanlah aku-lirik melainkan aku-publik.

Namun, meski demikian, subjektivitas tidak serta-merta rontok total dan gugur seketika. Karena, semilitan-militannya Afrizal dalam menegakkan daulat eksistensial semua benda, hal tersebut tetap lahir dari pembacaan subjektifnya terhadap realitas. Mungkin kadarnya saja yang berhasil diminimalkan. Atau dia sendiri yang bisa lebur dan jadi bagian dari benda-benda.

Semua itu terjadi, ketika modernitas mengepung diri Afrizal. Sehingga diri ini dihisap oleh benda-benda di sekeliling kita. Karena modernitas memaksa kita menjadi diri yang fetish, diri yang terperangkap ilusi materi. Hingga materi menjadi objek dari keangkuhan kita, dan kita tidak bisa menggunakannya secara arif. Meminjam bahasa Fayyadl, benda dan meteri itu mensubversi egosentrisme manusia yang memperalatnya dengan sekehendak nafsunya.

Bicara lagi kambingku, pisauku
Ladangku, komporku, rumahku,
Payungku, gergajiku, empang ikanku,
Genting kacaku, emberku, geretan
Gasku. Bicara lagi cerminku
(Warisan Kita)

Secara sadar atau tidak, modernitas telah mengepung, melukai dan mendehumanisasi manusia. Anthoni Giddens, sosiolog kelahiran Inggris, menjelaskan lebih jauh tetek bengek konsekuensi-konsekuensi modernitas yang salah satunya ialah terciptanya “ketidakamanan ontologis”. Sebab, kondisi transisional masyarakat agraris menuju masyarakat industri modern selalu ditandai dengan gejala anomalik yang penuh dengan mara.

Di atas panggung peradaban modern, terjadi perhelatan akbar yang menggoyahkan humanisme. Perang, ledakan nuklir dan keangkuhan teknologi-industri menjadi sederet problem yang menggiring dimensi kemanusiaan ke tepi kehancuran. Bencana krisis kemanusiaan di dalam masyarakat modern terjadi bila ikatan sosial dalam wujud kasih sayang, cinta, dan saling pengertian hancur. Sikap egositik mengalahkan sikap altruistik, hidup kemudian menjadi medan, di mana manusia begituh gigih memperjuangkan individualismenya tanpa ada usaha mengasah kepekaan sosialnya.

Modernitas menurut hemat penulis telah melucuti ikatan-ikatan tersebut, meski tidak secara menyeluruh. Secara psikologis, apabila problem itu terus berulang-ulang, terjadi dalam jangka waktu yang lama dapat menimbulkan rasa traumatik dan kecemasan yang mencekam dalam diri manusia. Inilah kegelisahan yang merundung Afrizal dalam sajak “Mitos-Mitos Kecemasan”: Kota kami dijaga mitos-mitos kecemasan/ Senjata jadi kenangan tersendiri di hati kami/ yang akan kembali membuat cerita/ saat- saat kami kesepian.

Sejauh ini, modernitas yang diasumsikan sebagai puncak tertinggi pencapaian umat manusia dalam tahapan masyarakat positivistiknya Comte, justru menimbulkan kondisi yang paradoksal. Kemajuan ilmu pengetahuan, jika tidak diiringi ketajaman akal budi, hanya akan berkonsekuensi destruktif. Afrizal gelisah; Kami telah belajar membaca dan menulis di situ/ Tetapi kami sering mengalami kebutaan, saat merambahi hari-hari gelap gulita. Ilmu pengetahuan, justru tidak bisa diduduk sandingkan dengan semangat awal abad modern, yakni renaissance yang diasumsi dapat memendarkan cahaya peradaban hingga mampu mencerahkan serajah umat manusia yang kadung diselimuti kegelapan.

Dampak modernitas begitu terasa di negara berkembang, seperti Indonesia. Pembangunan gedung-gedung bertingkat dan pusat-pusat perbelanjaan menjadi tolok ukur modernitas. “Negeri kami menunggu hotel-hotel bergerak membelah waktu/ mengucap diri dengan bahasa asing.” Masyarakat yang kian terkepung oleh bujuk rayu modernitas, akan selalu gelisah dan merasa sesuatu yang tradisional layak untuk dibenamkan. Dan pembangunan itupun diharap-harapkan oleh mereka yang telah terhipnotis modernitas. “O, impian yang sedang membagi diri dengan daerah-daerah tak dikenal”.

Padahal, di balik kuasa modernitas ada tangan-tangan terselubung (invisible hand) yang siap mengeksplotasi kehidupan manusia. Maka Afrizal bertanya “Siapakah pengusaha besar yang memborong tanah ini/ Kami ingin tahu di mana anak-anak kami dilebur jadi bensin.” Idiom “bensin”, dalam puisi tersebut adalah energi atau kekuatan. Anak-anak menjadi pemompa energi kapitalisme, karena mereka terhipnotis dan lebur di dalamnya. Jika kesadaran kritis mereka rekah, yang terjadi ialah adanya jarak (distance), dan tidak akan menjadi energi yang memompa kapitalisme.***

*) Penulis adalah pengelola Komunitas Balai Sastra, Sumenep, Jawa Timur.
http://www.riaupos.co/3337-spesial-afrizal,-modernitas-dan-kecemasan.html

Anak dan Sastra

$
0
0

Fatmawati Adnan *
riaupos.co

SETIAP tanggal 23 Juli dirayakan sebagai Hari Anak Nasional. “Hari raya” anak-anak ini dirayakan dengan berbagai cara. Selain perayaan, Hari Anak Nasional biasanya juga diwarnai dengan berbagai pembicaraan yang membahas anak-anak dari berbagai sudut pandang.

Permasalahan yang berkait kelindan dengan anak-anak sangat majemuk dan kompleks. Mulai dari masalah kasih sayang orang tua sampai pada tindak kekerasan oleh para predator anak. Tak terlupakan juga masalah pendidikan, makanan, lingkungan, tontonan, dan berbagai hal lain dalam dunia anak.

Bagaimana dengan dunia sastra anak? Apakah sastra anak cukup eksis? Apakah sastra anak “berfungsi” dalam kehidupan anak-anak?

Amerika Serikat, Inggris, Australia, Jepang, dan Kanada menempatkan sastra anak sebagai disiplin ilmu yang cukup besar dan bergengsi. Para pakar dan profesor mengkaji sastra anak secara intensif. Buku dan jurnal khusus sastra anak (yang mencakup ilmu sastra anak, kajian dan kritik sastra anak, dan karya sastra anak) berkembang dengan pesat. Perpustakaan sastra anak memiliki rak-rak yang sama panjang dan kayanya dengan rak disiplin ilmu yang lain. Jurusan sastra anak di perguruan tinggi dipilih oleh mahasiswa dengan tujuan dan filosofi yang jelas (Purbani, tt).

Di Indonesia, sastra anak belum dianggap sebagai karya sastra karena dinilai memiliki nilai susastra yang rendah. Akan tetapi, bukan berarti sastra anak tidak mendapat perhatian. Beberapa tahun terakhir, sejumlah akademisi dan pemerhati sastra mulai menggeliat dan menggerakkan sastra anak dengan karya-karya mereka.

Murti Bunanta menulis Problematika Penulisan Cerita Rakyat untuk Anak di Indonesia (1998), Riris T. Sarumpaet menulis Bacaan Anak (1979), dan Burhan Nurgiyantoro menulis Sastra Anak, Pengantar Pemahaman Dunia Anak (2005). Mereka merupakan ilmuwan sastra yang tertarik pada sastra anak (Wiyatmi, 2005).

Norton (1993) mendefinisikan sastra anak sebagai sastra yang mencerminkan perasaan dan pengalaman anak-anak melalui pandangan anak-anak. Huck (1987) tidak mempermasalahan siapa penulis sastra anak (orang dewasa atau anak-anak), yang penting penggambarannya ditekankan pada kehidupan anak yang memiliki nilai kebermaknaan bagi mereka.

Sastra anak diyakini memiliki kontribusi yang besar bagi perkembangan kepribadian anak dalam proses menuju kedewasaan. Sastra dianggap mampu digunakan sebagai salah satu sarana untuk menanam, memupuk, mengembangkan, dan bahkan melestarikan nilai-nilai pendidikan yang baik dan sangat berharga oleh keluarga, masyarakat, dan bangsa (Sarumpaet, 1976).

Ketika dongeng mulai menepi dari gebyar kehidupan anak-anak sekarang, ada anggapan sastra anak mulai kritis menuju kematiannya. Sebenarnya sastra anak tidak hanya dongeng, meskipun kita terlanjur beranggapan demikian. Menurut Nurgiantoro (2010), cakupan sastra anak membentang luas sekali, bahkan melebihi cakupan sastra dewasa. Sastra anak dapat bersifat lisan, tertulis, bahkan juga aktivitas. Wiyatmi (2005) membedakan jenis sastra anak dalam beberapa kategori, yaitu realisme, fiksi formula, fantasi, sastra tradisional (mitos, legenda, cerita binatang, dongeng, cerita wayang, dan nyanyian rakyat), puisi, nonfiksi, dan komik.

Sejauh ini sastra anak di Indonesia dinilai memosisikan anak-anak sebagai pembaca inferior. Anak-anak disuguhi dan digurui dengan sedikit peluang untuk mengembangkan imajinasi dan inteligensi mereka. Pada umumnya sastra anak Indonesia bercerita tentang tokoh-tokoh ideal yang merupakan “impian” kaum dewasa. Cerita tersebut dilengkapi dengan “keharusan-keharusan” sesuai keinginan kaum dewasa yang mesti dipetik dari cerita tersebut.

Bandingkan dengan sastra anak yang berkembang di luar negeri. Cerita yang disajikan melibatkan anak secara emosional dan kognitif seiring dengan pertumbuhan jiwa mereka. Petualangan Lima Sekawan dan Pasukan Mau Tahu karya Enyd Blyton dan kisah Harry Potter yang diramu oleh JK Rowling mewakili sastra anak yang bercerita tentang anak-anak dan problematik kehidupan yang mereka alami. Karya ini juga menantang imajinasi dan inteligensi yang liar dan mengasyikan.

Mungkin, penyebab anak-anak dipandang sebagai pembaca inferior dalam sastra anak di Indonesia karena sastra sudah terlanjur dimaknai sebagai pembentuk moral atau karakter. Tidak salah dengan pemaknaan didaktis tersebut, hanya saja perlu diingat bahwa anak-anak memiliki kecerdasan dan kearifan sendiri.

Sastra memiliki banyak manfaat melalui unsur intrinsik dan ekstrinsik yang terkandung di dalamnya. Huck (1987) mengemukakan manfaat yang dapat dinikmati anak-anak melalui sastra bagi perkembangan mereka terutama dalam hal perkembangan bahasa, perkembangan kognitif, perkembangan kepribadian, dan perkembangan sosial.

Berbicara mengenai sastra tentu saja tidak terlepas dari bahasa. Bahasa yang efektif dan imajinatif membantu anak untuk mengembangkan inteligensi dan imajinasi.

Menurut Huck (1987), sebuah karya dengan penggunaan bahasa yang efektif akan membuahkan pengalaman estetik bagi anak. Di sisi lain, penggunaan bahasa yang imajinatif dapat menghasilkan respons-respons intelektual dan emosional.

Melalui sastra, anak akan merasakan dan menghayati peran tokoh dan konflik yang ada. Mereka juga terpanggil untuk menghayati keindahan, keajaiban, kelucuan, kesedihan, dan ketidakadilan. Anak-anak akan merasakan bagaimana memikul penderitaan dan mengambil risiko, juga akan ditantang untuk memimpikan berbagai harapan. Mereka juga diajak untuk merenungkan dan mengemukakan berbagai masalah mengenai dirinya sendiri, orang lain, dan dunia sekitarnya.

Resmini (tt) mengemukakan teknik penuturan sastra anak hendaknya mempertimbangkan pemilihan kata dan gaya bahasa yang sesuai dengan perkembangan kognitif anak dan mengacu pada pengertian yang tersurat. Teknik penuturan latar dan tokoh sebaiknya lebih banyak menggunakan teknik adegan dilengkapi dengan dialog.

Lebih lanjut, Resmini menyarankan sebaiknya menggunakan teknik penyajian naratif yang didukung oleh deskripsi dan ilustrasi. Pemilihan teknik penuturan biasanya disesuaikan dengan tingkat kesiapan dan kematangan anak.

Perlu diingat bahwa anak-anak adalah pembaca awal yang sedang berproses meningkatkan kemampuan berpikir kritis. Sebaiknya, bahasa dan teknik penuturan yang digunakan bersifat sederhana sesuai dengan tingkat perkembangan anak.

Semoga sastra anak mampu menjadi penguat karakter dan kecerdasan anak. Semoga anak-anak bersuka cita menikmati masa kanak-kanak mereka dengan karya sastra yang berkualitas. Semoga anak-anak memeroleh masa depan yang gemilang, meskipun jutaan tantangan menghadang. Anak-anak Indonesia, selamat Hari Anak Nasional!***

*) Fatmawati Adnan adalah peneliti pada Balai Bahasa Riau.
http://www.riaupos.co/3322-spesial-anak-dan-sastra.html

CRAZYBRO, NASKAH DRAMA AWAL ABAD DUA PULUH DUA

$
0
0

Naskah Drama: Rodli TL

Pengantar Penulis
Dua naskah drama ini ditulis sabagai tanda. Tanda saya ada, lantaran menulis, tanda ada penulis drama dan panggung, tanda masih ada hidup, tanda kebudayaan masih berkembang, tanda tempat dimana penulis tinggal ada peristiwa estetis dan intelektual yang menghubungkan dengan semuanya, bahkan pada hal yang trasendental, Tuhan.

Kapak Berhala Namrudz
Dendam Namrud Bin Kan’an Bin Kusy. Sang Raja besar Kerajaan Babilon. Sebuah lecutan perang urat saraf. Keadaan yang mulai berbalik, nilai menjadi abu-abu, dan yang putih ditenggelamkan, lantaran dendam berhala Namrudz pada Ibrahim yang dianggap telah menfitnah dirinya atas pengrusakan berhala-berhala kecil di sekelilingnya. Ibrahim telah meninggalkan kapak pada pundak berhala yang masih utuh. Kapak Ibrahim telah berada di tangan Berhala Namrudz, menjadi senjata, berbalik merusak ajaran Ibrahim sampai akhir jaman. Sebagaimana sumpah nenek moyangnya pada Tuhan kala di surga. Mereka ingin hidup selamanya sampai hari akhir hanya untuk menyesatkan manusia.

Crazybro
Pertarungan bisnis, semuanya bisa dijual, hingga muncul transplantasi liver dalam dunia medis. Hal ini menjadi komoditi empuk. Sampai kapan pun laku, berapapun harganya akan dibeli. Persoalannya adalah stock barang yang akan dijual. Tidak bisa dipungkiri, permintaan pasar terus semakin meningkat. Orang-orang gila itu lalu menjadi ide gila sebagai loncatan prestise dunia bisnis pencakokan hati manusia. Dua naskah drama ini semoga menjadi tonggak dan bagian proses menuju jalan maju teater dan manusianya, panggung dan budayanya. Mungkin hanyalah kecil manfatnya, namun masih ada manfaat.

Lamongan, Oktober 2014

CRAZYBRO

MEREKA ADALAH PULUHAN ORANG-ORANG GILA. SAMPAH PUSAT KOTA METROPOLIS. BERBICARA SENDIRI-SENDIRI, BERTERIAK.
RAMAI LALU SEPI.
DUA ORANG BERADA PADA RUANG KERJA. MEREKA SEDANG DIRUNDUNG MASALAH BESAR. TAMPAK DI MEJA BEBERAPA BOTOL MINUMAN, NAMUN KOSONG.

Johl : Sejak krisis politik berkepanjangan, bisnis kita satu persatu gulung tikar. Bank yang menjadi topangan usaha pun mulai tidak percaya, bahkan ikut bangkrut juga.
Gugu : Kita tidak boleh berfikir ke belakang. Bayangan itu akan semakin memperosokkan pada jurang yang dalam.
Johl : Bagaimana bisa melepaskannya bila setiap rekanan menghubungi dan menanyakan kesanggupan untuk segera membayarnya.
Gugu : Kita harus bisa melawan walau berat. Kita harus bisa hidup merdeka.
Johl : (Tertawa) Kau gila, mana mungkin kita bisa melakukannya.
Gugu : (Tertawa) Ya, kita harus seperti orang gila alias crazy. Kita harus merdeka seperti mereka, nampak tidak punya beban, apalagi hutang. Kita harus crazy, bro (Tertawa bangga)
Johl : (Tertawa) lakukanlah! Ganti pakaianmu, acak rambutmu. Lalu ke luar dari ruangan ini.
Gugu : Bukan penampakan secara lahir yang kita lakukan, namun kita harus carzy memutar otak, bro. Fikiran ini harus dibuat gila agar kita bisa merdeka
Johl : (Tertawa keras)
Gugu : (Tertawa keras) Ternyata kegilaan itu dunia kenikmatan tersendiri
Johl : (Tertawa) kita lupa
Gugu : (Tertawa) kita memasuki ruang yang amat berbeda
Johl : (Tertawa) kita gila, crazy
Gugu : (Tertawa) kita temukan keindahan yang paling ajaib.
Johl : (Tertawa)

DIAM

Gugu : Dalam kegilaan ini, aku menemukan ide yang gila, betul-betul crazy, bro. Ya kita akan survive lagi. Kita akan bisa mengembalikan modal kita lagi
Johl : Crazy macam apa itu, bro?
Gugu : (Berbisik) Dengar, aku yakin, hanya orang-orang gila lah yang mampu menggenggam dunia ini. Kita harus merebutnya dari orang-orang gila itu. Kita harus berani melakukannya agar kita tidak menjadi orang kalah
Johl : Ya, aku akan mengikutimu kalau usaha itu membuat kita kembali bangkit, dan kita tidak terjerat hutang lagi.
Gugu : Dan jangan ada kata hutang, jangan berfikir mundur.
Johl : Akan aku lakukan.
Gugu : Berfikir matang-matang, ini bisnis yang tidak akan pernah berjalan mundur. Selagi dunia ini belum hancur, bisnis ini tidak akan pernah bisa tidur.
Johl : Kata-katamu mulai bisa menyemangatiku untuk hidup kembali crazy dan crazy, bro
Gugu : Ini adalah bisnis sehat yang paling crazy
Johl : (Tertawa mencibir) Tahu apa kita tentang kesehatan
Gugu : Tapi kita mengerti tentang pasar (tertawa)
Johl : Kesehatan macam apa yang akan kita jual.
Gugu : Semahal apapun kesehatan itu. Orang pasti akan membelinya
Johl : Itu bukan ide carzy, bro. Itu ide primitive, kuno, ndesit orang Lamongan bilang. Sebelum nenek kita lahir. Mereka sudah amat pandai membuat ramuan kesehatan dari rempah-rempah yang ada di sekeliling rumah kita.
Gugu : (Tertawa) Namun tidak bisa menjualnya, juga tidak bisa menjelaskan kepada anak cucunya. Kemudian ramuan kuno lebih dekat dengan dunia paranormal, tidak perlu dijelaskan secara ilmiah. Ramuan adalah dogmatis, seperti aji-aji.
Johl : (Tertawa) Sudah kadaluwarsa apa yang kau fikirkan itu, bro. Kau mau mencoba membuat kemasan baru ramuan-ramuan itu? (tertawa) Bro, dunia farmasi yang telah ditemukan orang-orang barat sudah tidak mampu ditandingi. Kita akan gigit jari kalau hanya melawan mereka.
Gugu : Urusan kita, bukan urusan farmasi atau medis, urusan kita adalah pasar.
Johl : Sudahlah, jangan bermimpi menjadi penjual jamu!
Gugu : Bro, bukalah sedikit cakrawalamu, ini jaman keemasan dunia komunikasi, jangan hanya habiskan waktumu mengupdate status saja. Baca dengan detail bagaimana dunia berputar!
Johl : Sudahlah, aku lebih baik mengistirahatkan fikiranku ini, daripada melayani omong kosongmu itu
Gugu : Bro, kita harus bangkit!
Johl : Bagaimana kita bisa bangkit kalau kau melarangku berfikir ke belakang namun kamu melakukannya. Itu adalah dosa yang paling besar. Seperti maling berteriak maling, penjahat berseragam pejabat
Gugu : Dengarkan dulu, itu bukan inti dari ide crazy yang ingin aku sampaikan.
Johl : Sudahlah, crazy yang paling nikmat adalah kita berani telanjang di tempat umum. Sekarang kita istirahat dulu, dan pagi-pagi akan kita lakukan, berani?
Gugu : Itu bukan crazy bro, itu ketololan
Johl : Terserah apa kata kau, aku sudah malas berfikir untuk mendifinisikan kata-katamu.
Gugu : Bro, ayolah. Kita tidak boleh menyerah
Johl : Kita perlu istirahat. Bersabarlah, masih ada hari esok.

JOHL NAMPAK KELELAHAN. IA MEREBAHKAN TUBUHNYA DI ATAS MEJA.
ORANG-ORANG GILA BERKELIARAN

Gugu : Istirahatlah, tapi perlu kau ketahui. Aku harus lakukan mulai sekarang. Aku harus kembali memasang strategi untuk mulai berperang lagi. Aku harus bisa mensiasatinya, dan regulasi pasar harus berada dalam kendali kekuasaanku. Ini bukan ketololan. Ini adalah kegilaan. Ya, orang-orang gila itu. Mereka akan aku make up menjadi sesuatu yang amat berharga. Mereka akan menjadi produk pasar termahal, yang tidak akan tertandingi apapun. Ingat, bro! Siapa yang tidak ingin sehat, siapa yang tidak ingin punya umur panjang. Jawab dengan spontan! Semua orang pasti menginginkan hidup selamanya. Kesehatan adalah harta karun yang akan diburuh oleh siapapun. Berapapun harganya mereka akan membelinya, dan aku akan menjualnya. Orang gila dengan ide gila (tertawa lebar). Ya, orang gila dengan ide gila (tertawa lagi) Berapapun harga nyawa itu, akan ia bertaruhkan semua hartanya untuk membelinya. Ide gila itu akan aku siapkan. Dan tempat ini akan aku jadikan ruang operasi dan penelitian. Akan aku pasang iklan pada segmen pasar yang akan aku tujuh, ya para konglomerat itu. Dan bisnis terelit yang akan aku kendalikan adalah jual beli organ tubuh manusia.

LAMPU PADAM.
MUSIK.
SUARA EFEK RUANG OPERASI.
LAMPU MENYALA.
NAMPAK RUANG OPERASI BEDAH DENGAN KESIBUKAN PARA AHLI.

Gugu : (Tertawa) Keinginanku untuk menjadi pengusaha besar pertama di negeri ini yang memiliki rumah sakit transplantasi liver bukan hanya isapan jempol. Terbukti para pemodal sangat tertarik dengan rencana gilaku ini. Mereka mendukung penuh agar cita-cita tersebut segera terkabul.

Bentuk dukungan mereka bermacam-macam, bahkan kepala daerah menfasilitasi kekurangan anggaran sebesar 1,2 trilliun rupiah, untuk pengadaan peralatan medis maupun sarana lainnya. Anggaran itu akan segera disiapkan oleh pemerintah, karena direncanakan bulan mendatang Pusat Transplantasi Liver akan diresmikan. Dengan terbentuknya pusat transplantasi liver atau lebih dikenal dengan istilah cangkok hati ini, merupakan bagian tugas bagaimana aku membangkitkan bisnisku yang mulai kolap.
Apapun akan aku lakukan termasuk mendatangkan tenaga ahli transplant itu dari Oriental Organ Transplant Center yang disingkat dengan OOTC, bernaung di bawah bendera Tianjin First Central Hospital di Tianjin, Cina. Bolehlah sedikit mengikuti ajaran yang mengatakan kita harus ke negeri cina untuk belajar. Atau darimanapun juga. (tertawa)

TIBA-TIBA BANGUN TERBELALAK

Johl : (Tiba-tiba bangun, berlari memanggil-manggil temannya.) Gu, gugu! Aku bermimpi indah. Kita harus bangkit! Aku bermimpi kita memiliki perusahaan besar. Kita memiliki perusahaan pemasok organ tubuh manusia. Kita memiliki rumah sakit tercanggih di dunia.
Gugu : Mesin operasinya masih terdengar di telingahmu
Johl : Benar, indah betul suara mesin yang menghasilkan uang banyak itu
Gugu : Lalu bagaimana rupa dokter-dokter itu?
Johl : Mereka masih mudah dan cerdas,
Gugu : Bagaimana etos kerjanya?
Johl : Sangat tinggi, mereka sangat cekatan
Gugu : Lalu bagaimana dengan pasien-pasiennya?
Johl : Itu yang segera ingin aku ceritakan. Yang datang adalah orang-orang istimewa dari berbagai negeri manca.
Gugu : Penyakit apa yang diderita?
Johl : Bukan penyakit yang diderita yang membuat mereka istimewa
Gugu : Mereka datang dari mancanegara?
Johl : Tidak hanya itu
Gugu : Lalu?
Johl : Jangan dipotong, bro. Aku ingin menceritakan mimpiku terindah dan termahal. Para pasien itu sangat istimewa
Gugu : Kalimat itu kau ulang lagi, letak istimewanya dimana?
Johl : Haduuuh, bro. Jangan dipotong. Beri keleluasaan aku untuk menceritakan sesuatu., tolong sesekali jadilah pendengarku yang setia. Begini, bro. Para pasien itu sangat istimewa. Mereka datang dari berbagai negara terkaya di dunia, dan yang paling istimewa, mereka pasti berjanji akan memberikan separoh kekayaanya apabila penyakitnya berhasil disembuhkan. Bahkan ada yang paling aneh. Salah satu pasien itu dari negeri kita sendiri. Ia adalah kepala daerah yang baru saja memenangkan pemilu. Ia berjanji akan memberikan lima pulau di daerah kekuasaanya sebagai hadiah.

Gugu: Apa, hadiah lima buah pulau?
Johl : Ya, lima pulau, bukan lima buah durian, apalagi buah dada. Sekali lagi, lima pulau rata-rata besarnya lebih besar dari pulau bawean.
Gugu : (Tertawa) itu carzy, bro
Johl : Ya, aku juga berfikir itu crazy, namun…
Gugu : Namun itu tidak masuk akal. Dimana ada kepala daerah yang memiliki pulau. Masa kerja mereka hanya lima tahun. Kalau kepala daerah punya lima pasang buah dada sih umum (mengejek)
Johl : Itu tidak bisa dikalkulasi dengan akuntansi bisnis, bro
Gugu : Lalu?
Johl : Mereka mengkalkulasinya dengan strategi kebijakan politik, apa saja menjadi masuk akal
Gugu : (Terheran) Aneh,
Johl : Tidak ada yang aneh di laku politik, bro. Politik hanya mengenal dua sisi, menang dan kalah
Gugu : Sungguh, mimpimu semakin, aneh
Johl : Kalau persoalan politik, saya sangat faham betul, sama sekali tidak ada kaitannya dengan mimpiku yang akan membawa keberuntungan
Gugu : Bukan persoalan politik yang aneh, tapi kau yang cukup aneh, tiba-tiba cerdas dan mengerti persoalan apapun
Johl : Maaf, saya bukan pelaku politik yang haus akan segala pujian
Gugu : Sungguh, kau semakin aneh, hari ini kau betul-betul teramat cerdas alias crazy
Johl : Ajaran kebaikan, lemparlah segenggam pasir pada seseorang yang suka memuji
Gugu : (Tertawa)
Johl : Kembali lagi ke persolalan mimpiku yang akan membangkitkan bisnis kita lagi

KESIBUKAN RUANG OPERASI

Gugu : (Tertawa) Apa yang kau ceritakan dalam mimpimu bukan lagi mimpi, bro. Namun kenyataan. Dengar suara-suara yang kau dengar seperti yang terjadi dalam mimpimu itu. lihat kenyataan yang hadir. Semuanya masih terdengar dan nampak di pelupuk mata kita kan! Semuanya telah menjadi nyata. Rumah sakit dan kebangkitan bisnis kita yang telah kau ceritakan kini benar-benar nampak megah. Coba lihat bagaiamana mereka bekerja, dan pelototi dengan seksama para pasien itu!

Johl : Bagaimana semuanya bisa menjadi nyata. Kita tidak hidup pada jaman keemasan sulaiman kan, yang semuanya bisa dengan bim sala bim..
Gugu : Sebagai seorang pengusaha, tidaklah pas memanjakan waktu tidur. Bila itu yang kita lakukan, kita akan semakin tergilas. Jantung seorang intrepeneur adalah seperti jantung kota metropolitan. Mereka tidak akan pernah berhenti berdetak. Semua hari menjadi seperti siang

PARA DOKTER AHLI BEDAH SIAP MELAKUKAN OPERASI, SIBUK SEKALI. NAMUN SUNYI. YANG TERDENGAR HANYA SUARA MONITOR KONTROL DAN DEGUB JANTUNG.
SEPI.
ORANG-ORANG GILA LALU LALANG. SIBUK MENJADI MANUSIA METROPOLIS.

Gugu : Mulai muncul masalah baru dalam bisnis ini. Tidak mudah orang mendonorkan organ dalam mereka. Dogma agama sangat kuat. Haram, haram, haram
Johl : (Tertawa) siapkan amplop, pasti akan menjadi seratus persen halal
Gugu : Bukan sekedar fatwa, bro. Ini sudah menjadi dogma, alias takdir hidup dan mati. Mereka tidak berani merekayasa.
Johl : Oh, takdir, hidup dan mati?
Gugu : Dogma yang cukup kuat dan berkembang itu semakin menyulitkan kita, bahwa Individu itu bukan sekedar kepala dan jasad, namun sebenarnya adalah segumpal darah, bila baik maka baiklah semua, bila buruk, maka buruklah semua. Segumpal darah itu adalah hati, alias liver.
Johl : Segumpal darah, hati…..?!
Gugu : Akhirnya mereka tidak mau memisahkan sebagian liver apalagi mendonorkan semunya.
Johl : Benar-benar akan menjadi hantu yang sangat menakutkan. Bisnis kita akan mengalami kesulitan yang cukup besar. Kehabisan stok liver dan ginjal. Harus secepatnya kita bicarakan dengan pengelola hutan lindung, bila perlu dengan menteri kehutanan.
Gugu : Apa, kita mau alih bisnis, melakukan illegal logging?
Johl : Terlalu rendah dan beresiko
Gugu : Terus apa maumu?
Johl : Meminta untuk menyuplai organ dalam
Gugu : Ide gila macam apa itu?
Johl : Menyuplai beberapa monyet.
Gugu : Akan muncul persolan baru lagi. Betul, kita akan punya banyak persediaan, namun bila calon pasien tahu, bahwa hati mereka akan diganti dengan hati monyet, pasti mereka tidak mau. Bayangkan bila para pengusaha, pejabat tinggi berhati monyet, cukup berbahaya.

Akibatnya pasti suka kawin, bro. (Tertawa) Jangan-jangan ide kau itu sudah kadaluwarsa. Secara sembunyi-sembunyi sudah ada yang melakukan transplantasi liver dengan hati monyet. Melihat gejala yang semarak sepertinya sudah berkembang. Para pejabat tinggi dan pengusaha besar pasti suka kawin. Ya, suka kawin sebagaimana tabiat monyet. Wah, bila benar, kita akan punya competitor yang cukup berat, sudah cukup berpengalaman. Mereka telah jauh mendahului kita.
Johl : Benar juga, akan menjadi bisnis yang usang.

GUGU DAN JOHL MULAI NAMPAK KEBINGUNGAN. PARA DOKTER BEDAH JUGA IKUT LESU, KARENA MEREKA TIDAK MELAKUKAN OPERASI LAGI.

Johl : Bagaimana ini, bro?! kontrak kita dengan para ahli bedah itu cukup mahal, bila satu minggu saja mereka tidak melakukan operasi, kita akan mengalami devisit milyaran rupiah. Sedang permintaan pasar cukup besar.
Gugu : Kita coba berbicara dengan para tokoh agama, kita minta dukungan mereka untuk mengkampanyekan, bahwa donor organ dalam akan mendapatkan surga kelak di hari akhir, bahkan mereka akan masuk surga tanpa dihisab, layaknya mati dalam medan membela Tuhan. Agar cepat dipercaya, kita meminta para tokoh agama itu untuk bisa mencuci otak ummatnya. Dari pada menghadapi hidup yang sulit untuk lepas dari dosa, lebih baik mati mulia dengan mendonorkan bagian tubuhnya, akan mati syahid. Kain yang berlumuran darah akan disemayamkan, tanpa dimandikan. Sebab akan menjadi saksi bahwa mereka adalah syahid. Ia masuk surga tanpa antri untuk dihisab, ia akan melesat ke surga tertinggi.

Johl : Sepertinya mereka tidak mungkin mendukung ide gila itu. Mereka tidak akan menelan ludah yang telah dikeluarkan. Mereka adalah panutan. Sekali bilang A tidak akan berubah menjadi B.
Gugu : Dengan terpaksa, separuh dari keuntungan bisnis ini untuk mereka bila berhasil. Untuk membangun tempat ibadah, panti asuhan, pesanten, pergi ke tanah suci setiap bulan. Pokoknya semua kepentingan syiar agama mereka kita support seribu satu persen. Mereka pasti mau, karena manfaatnya lebih besar daripada mudhorotnya (Tertawa) Gila bukan, benar-benar crazy, bro….(Tertawa).

MEREKA BERSIAP-SIAP MELOBI PARA TOKOH AGAMA. MEREKA PERGI DAN DATANG DENGAN MEMBAWA KEGAGALAN

Johl : Romo Seto menolak
Gugu : Gus Rahman tidak merespon
Johl : Pendeta Mangun mencibir
Gugu : Kyai Maksum tidak mau
Johl : Ki Joko menertawai
Gugu : Ustdaz Rofik malah berbalik memberi nasihat, tidak baik berlomba-lomba mengumpilkan harta. (LEMES) Rasanya hidup gila ini harus berakhir, bro. Untuk apa memeras otak dan keringat untuk mengejar semua itu. pada akhirnya kita masuk liang lahat, dan semuanya pasti kita tinggal. Ini adalah titik kulminasi hidup saya, telah sampai puncak, dan saya harus kembali ke titik nol untuk memulai hidup baru. Menjadi sosok yang sublime, melepas diri dari hingar bingar metropolis. Aku akan berhijrah ke sebuah kampong yang tenang. Aku ingin menenangkan hidup, menyepi dan menghening. Aku akan memasrahkan hidup ini pada Sang Pemilik Hidup.

Johl : Pikiran ini memang terasa lelah. Namun terkesan rendah bila kita berbalik arah begitu saja. Kita bukan entrepreneur sejati. Pengecut, bukan spekulan berbobot, dan akhirnya mati dalam kubangan lumpur kefakiran yang paling menjijikkan. Konyol! (Bangkit) camkan kalimat ini, money breeding money. kita berada pada era working capital. Be the have atau terlempar menjadi sampah.
Gugu : Silakan kau kejar mimpimu sendiri, aku juga akan menata mimpiku yang abadi
Johl : Ini bukan lagi mimpi, tapi sudah menjadi kenyataan yang sedang kita hadapi. Aku sangat mengerti dengan mimpimu..
Gugu : Nah, itu lebih baik. Dengan rendah hati, saya memohon undur diri dari dunia ini, izinkan saya memulai untuk menemui kehidupan baru.
Johl : Bukan aku bermaksud menghalangimu, namun sungguh sayang, bila kau mengejar mimpimu dengan rasa takut. Padahal Tuhan paling tidak suka dengan orang-orang pengecut
Gugu : Saya takut semakin tidak bisa menemuiNya, karena terlalu sibuk dengan urusan pragmatisme
Johl : Bahkan kau mulai mengejar mimpi menemui Tuhanmu itu lantaran kau sedang terpelanting dari dunia lama. Kau menemui Tuhan lantaran kau tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Tuhanmu hanya kau jadikan pelarian terakhir. Kau tidak sungguh-sungguh mencintainya.
Gugu : Kau memang kawanku paling cerdas dan hebat. Ucapanmu nampak gagah. Namun ijinkan sejenak saya untuk merenung. Izinkan sejenak untuk menyepi

GUGU MENINGGALKAN JOHL BERDIRI SENDIRIAN. JOHL BERDIRI DENGAN SINAR MATA YANG OPTIMIS. JOHL PUN MENINGGALKAN TEMPAT TERSEBUT.
ORANG-ORANG GILA LALU LALANG NAMUN SEPI
HENING.

GUGU KEMBALI MUNCUL DENGAN WAJAH SEMRINGAH. DALAM KEPALANYA MUNCUL CAHAYA BARU

Gugu : (Berdiri gagah) Dalam hening aku temukan cahaya, dalam hening aku temukan jalan lurus menuju puncak. Johl datanglah kemari, ayo kita berlari menuju puncak kapitalisme. Kita temui para pemangku negeri ini. Mereka pasti akan menyambut kita dengan gembira. Tetap pada Medical Bussines, Transplantasi Liver terajaib di dunia. Kanan kiri, kita dapatkan provitable yang mengejutkan. Kita akan menemukan puncak prestise konglomerat tertinggi.
JOHL : (Gagah) senang melihatmu, Gugu. Dalam heningmu kau menemukan sepuluh kali lipat dirimu yang sesungguhnya. Aku yakin kau menemukan ide yang sangat brilliant. Gugu, kawanku. Ceritakan padaku, apa ide sesungguhnya itu?

SUARA INDUTRI METROPOLIS BERGEMURUH

Gugu : ini kegilaan yang paling ajaib. Gila nomer seribu satu.
Johl : Kegilaan macam apa, bro?
Gugu : Tentang orang-orang gila itu?
Johl : Orang-orang gila yang mana, tokoh-tokoh agama, pimpinan, kau, saya, apa kita yang kau maksud?
Gugu : orang-orang gila yang sesungguhnya, sinting alias tidak normal, mereka yang berada di jalan-jalan, yang merusak pemandangan kota
Johl : Orang-orang gila yang merusak pemandangan kota?! Apa maksudmu, kawan?
Gugu : Mereka adalah stock yang tidak pernah habis. Bisnis transplantasi kita akan mencapai puncak. Sebuah bisnis jasa yang spectakuler pada awal abad dua puluh dua.
Johl : Stock organ tubuh kita bukan lagi monyet, tapi manusia, sama seperti kita, hanya saja akal mereka sedang konslet.

Gugu : Bayangkan bila ide ini kita sampaikan pada pimpinan daerah. Pasti mereka melompat sambil berkata ya, setuju. Begini ekspresi mereka (Menirukan gaya pimpinan daerah menyetujui idenya). Mereka tidak perlu memutar anggaran pengeluarannya. Bila perlu anggaran itu tetap ada, dan masuk kantong mereka. Dan kita yang mengerjakan proyek kelola kota yang aduhai itu untuk membuat angka nol orang gila berkeliaran di pusat kota. Bahkan yang lebih gila lagi. Ide ini harus memiliki ijin HAKI, Hak Kekayaan Intelektual.jadi tidak seoarangpun yang menirunya. Bahkan dimanapun orang gila itu berada, mereka adalah kekayaan kita. Bahkan secara hukum keluarga tidak memiliki hak dan tanggungjawab apapun pada orang gila tersebut. Sejak mulai gila, seseorang itu otomatis menjadi milik kita. Organ tubuhnya menjadi stock yang tidak ternilai harganya. Kita butuh ahli bedah sebanyak-banyaknya untuk kita pekerjakan di tempat kita, bahkan bila perlu kita harus import ahli bedah dari berbagai manca Negara, katakan bahwa gaji mereka lebih tinggi daripada dokter ahli kepresidenan atau kerajaan.

Johl : Orang-orang gila itu sudah terkumpul di warehouse, gudang yang cukup luas. Dan para dokter sedang beraksi. Sekarang perintah petugas untuk masuk kampung-kampung. Ambil orang-orang gila itu dari keluarganya.

PANGGUNG DAN SEMUA TEMPAT PERTUNJUKAN NAMPAK PENUH DENGAN ORANG GILA, PARA AHLI BEDAH DENGAN OPERASINYA. JOHL DAN GAGU BERADA DI TENGAH-TENGAH MEREKA, LALU MENYEBUTKAN BEBERAPA ASAL DAN KUALITAS STOK ORGAN TUBUH ORANG-ORANG GILA.

TAMAT
Lamongan, 28 September 2014.

*) Rodli TL, seorang dramawan Jawa Timur yang telah menulis puluhan naskah drama sekaligus menyutradarainya. Ia lahir di Lamongan pada tanggal 17 Juni 1976. Sejak lulus dari Teater Tiang di Universitas Jember tahun 2004, ia mendirikan sanggar anak Sang_BALA, Kelompok Belajar Bermain Drama yang sampai sekarang memiliki ratusan anak asuh yang terus-menerus berlatih di sanggar yang berdiri kokoh, serta memiliki tempat pertunjukan permanen di kampung halamannya, Candi Tunggal, Kalitengah, Lamongan. Ia juga dosen CCU, Creative Writing, Sastra dan Film di Universitas Islam Darul Ulum Lamongan. Di tahun 2008, mendapatkan penghargaan dari Mendiknas sebagai pengajar kreatif di bidang seni pertunjukan anak pada Festival Seni Internasional. Tahun 2010, karyanya kembali menjadi yang terbaik di Festival Seni Internasional tersebut.
Puluhan naskah drama yang telah ditulisnya; ‘Mulut’ 2000, ‘Tarian Tanah’ produksi 2001, ‘Eksekusi Suatu Hari Kemudian’ 2002, ‘Ketinggalan Kereta’ 2003, ‘Adam Hawa,’ produksi 2004, ‘Si Lita’ 2004, ‘Ubah Bintang’ 2005, ‘Kibar Bendera Sarto’ 2006. Novel ‘Dazedlove’ diterbitkan Pustaka Ilalang 2005, ‘Hah’ 2007, ‘Kapak Berhala’ diterbitkan PUstaka puJAngga 2008, ‘Mimpi Buruk Penari’ 2007, ‘Bunglon dan Kupu-Kupu’ 2005, ‘Past Game’ Festival Seni Internasional 2008 PPPPTK Seni Budaya Yogyakarta, ‘Ibu Bumi,’ diproduksi Teater Nafas Kata 2009, ‘Kesetiaan Sang Istri,’ produksi Teater Roda dan DISBUDPAR JATIM 2009, ‘Perempuan Bunga Kamboja’ 2009, ‘Roh Jahat’ 2009, ‘Membunuh Hayalan’ produksi Teater Kotak Hitam 2010, ‘Dewi Sri’ karya pertunjukan terbaik Festival Seni Internasional PPPPTK Seni Budaya Jogjakarta 2010, ‘Wasiat Gelap’ 2010, ‘Anoman Kecil’ 2012, ‘Manusia Kardus’ 2012, ‘Orang Asing’ 2012, ‘Kadet Suwoko,’ Sutradara Terbaik Lomba Teater Bulan Bahasa UM 2011, ‘Prahara Amitunon’ 2013, ‘Kupatan,’ pertunjukan terbaik II Drakolah Jawa Timur 2014, ‘Nyanggring’ 2013, Novel Pertunjukan ‘Anak Kalap’ 2013, ‘Raja Kasa’ 2013, ‘Klebon Grasak’ 2014, ‘Situ Bagendit’ 2014, ‘Ada Yang Menangis Sepanjang Hari’ 2014, ‘Dhaeng Sekara’ 2014, ‘Iblis Menangis’ 2014. Puluhan naskah drama tersebut telah menjadi bagian penting perkembangan dunia teater di Lamongan sampai ke panggung Internasioanal.

Kearifan Budaya Tradisi (Bagian I, Folklor dalam Masyarakat Jawa)

$
0
0

Tulus S *

Sebuah kenyataan bahwa pengertian kebudayaan beragam dan masing-masing belum tentu bisa diterima semua pihak sehingga setiap orang kadang bisa memberikan makna menurut selera masing masing. Namun demikian sebenarnya sangat mudah menemukan benang merah yang menghubungkan kebudayaan dalam arti luas, kebudayaan nasional dan kebudyaan Jawa. Ketiganya memiliki status dan role yang berbeda, relative tidak bertentangan tetapi justru saling memberi konstribusi dalam pembangunan karakter bangsa. Kebudayaan dalam arti luas sebagai cultural system selain menjadi kerangka dasar kebudayaan Jawa, juga memberi pengaruh terhadap perkembangan kebudayaan Jawa. Dengan demikian kebudayaan Jawa sesunguhnya adalah bagian dari kebudayaan dalam arti luas. Kebudayaan Jawa sejatinya adalah kebudayaan etnik Jawa atau etnik lain yang menjadikan sistem nilai Jawa sebagai pedoman hidupnya. Dalam posisi ini kebudayaan Jawa jelas-jelas merupakan bagian dari kebudayaan nasional dengan peran yang saling melengkapi.

Tradisi merupakan tata cara, adat istiadat, perilaku atau kebiasan yang dilakukan di dalam masyarakat tertentu dan berlaku secara turun menurun. Sejalan dengan perkembangan jaman sebuah tradisi di dalam masyarakat bisa mengalami pergeseran atau perubahan karena adanya pola pikir manusia itu sendiri. Oleh sebab itu seharusnya tradicional culture studies (kajian budaya tradisi) harus dikembangkan lebih baik. Yaitu sebuah formasi diskursif yang merupakan sekumpulan (formasi) tentang gagasan, citra, dan praktik yang menyediakan cara-cara untuk mengungkapkan tentang pengetahuan dan tingkah laku yang terjadi dalam sebuah komunitas masyarakat. Kajian budaya tradisi adalah bidang yang dikemukakan tentang perspektif dari disiplin lain untuk meneliti hubungan-hubungan antara budaya tradisi dengan hal yang terkait misalkan religiositas, kekuasan, ajaran luhur dan lain sebagainya. Kajian budaya tradisi membahas tentang praktik-praktik serta sistem klasifikasi yang memungkinkan tertanamnya nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, kompetensi-kompetensi, rutinitas kehidupan yang terjadi pada populasi masyarakat tertentu. Dengan begitu kelestarian dan keidentitasan lokal sebuah tradisi bisa dibangun dan dikembangkan sebagai pola pertahanan kebudayaan. Sebuah contoh budaya tradisi yang muncul di kalangan petani, umumnya berhubungan dengan prosesi dan aktivitas mereka ketika bercocok tanam, dari mulai menanam sampai panen. Kondisi tanah yang berubah karena musim kemarau panjang datang, akan melahirkan perasaan-perasaan senasib dan rasa kegotongroyongan yang kuat. Demikian juga, kegundahan dan kegembiraan yang menyatu dengan lingkungan sekitar yang kemudian melahirkan berbagai budaya tradisi sebagai wujud berserah diri kepada Sang Pencipta.

Masyarakat Indonesia yang telah mengalami sebuah pergeseran tatanan tentu harus mau menengok kembali tentang konsep-konsep budaya tradisi yang telah menjadi embrio daripada budaya nasional. Wacana seperti ini tentu tidak hanya untuk dibayangkan saja ataupun dibicarakan melulu, namun peran serta dari semua pihak dalam penggalian dan pengembangan sangat diperlukan. Memang konsep kajian budaya tradisi merupakan sebuah tantangan yang harus dihadapi. Kelompok budayawan tradisi dan para pelakunya memang harus mampu mengukuhkan jati dirinya agar tidak dipolitisir oleh sebuah kekuasaan. Namun bisa menjaga eksistensi tentang sebuah nilai-nilai yang terkandung dalam budaya tradisi tersebut.

Budaya tradisi di Indonesia semakin lama kelihatannya semakin hilang dan di antaranya memang mengalami kepunahan. Hal ini bisa kita lihat adanya sebuah perubahan atau pergeseran pada populasi masyarakat budaya tradisi. Perubahan yang terjadi bisa dipengaruhi oleh kependudukan (migrasi), paham, ekonomi dan pola pikir masyarakat itu sendiri. Hilangnya sebuah budaya tradisi akan berpengaruh juga terhadap hilangnya identitas, karakter, kearifan lokal, seperangkat sistem pengetahuan tradisi juga nilai-nilai luhur budaya yang sangat berharga. Dengan fungsi dan perannya yang begitu penting, keberadaan budaya tradisi harus dikelola dengan baik dan bertanggung jawab agar tidak terjadi kepunahan. Dari aspek ketahanan budaya, salah satu yang mungkin dapat dilakukan untuk mengimbangi derasnya arus budaya asing negatif adalah membangkitkan budaya tradisi di dalamnya mengandung nilai-nilai kearifan lokal yang masih dijunjung tinggi oleh masyarakat untuk dikembangkan sebagai unsur kebudayaan nasional. Di samping harus terus-menerus mengembangkan kualitas sumber daya manusia yang ada. Nilai-nilai tradisi dalam budaya Jawa yang masih dijunjung tinggi sebagai nilai kearifan lokal diharapkan dapat menjadi salah satu unsur pembangun kebudayaan nasional dan menahan derasnya arus budaya asing negatif. Beberapa nilai tersebut terutama yang berkaitan dengan sikap religios, sikap pribadi, dan sikap sosial. Ketiga sikap tersebut, jika dikembangkan secara baik akan mampu menjadi salah saatu unsur pengembang budaya nasional dan penahan pengaruh budaya asing negatif yang terus mendera budaya Indonesia.

A. Folklor dalam Masyarakat Jawa

Folklor berasal dari kata majemuk bahasa Inggris folklore yang terdiri atas kata folk dan lore. Kata folk berarti kolektif atau kebersamaan. Kata lore berarti tradisi yang diwariskan secara turun temurun. Dengan demikian definisi folklore secara keseluruhan adalah tradisi kolektif sebuah bangsa yang disebarkan dalam bentuk lisan maupun gerak isyarat sehingga berkesinambungan dari generasi ke generasi. (Dananjaya, 1984;2).
Menurut Wininkc 1961 (Purwadi; 2009;1) di dalam bukunya “ Dictionary of Anthropology “ dijelaskan bahwa folklore adalah the common orally transmitted, myths, festival, songs, superstition and of all poples, folklore has come to mean all kind of oral artistic expression. It may be found in societies. Originally folklore was the study of the curiousities. Folklor meliputi dongeng, cerita rakyat, kepahlawananan, adat-istiadat, lagu, tata cara, kesusastraan, kesenian dan busana daerah. Masing-masing merupakan milik masyarakat tradisional secara kolektif. Perkembangan folklore mengutamakan jalur lisan. Dari waktu ke waktu bersifat inovatif atau jarang mengalami perubahan.

Di daerah pedesaan folklore masih sangat terlihat jelas. Kebudayaan tradisi masih sangat dijunjung oleh masyarakat, walau ada yang mengalami pergeseran. Oleh sebab itu karena folklore adalah milik bersama maka secara bersama pula seluruh anggota masyarakat harus menjaga, melestarikan warisan tradisi yang telah ditinggalkan oleh para leluhurnya. Tidak ada sifat egoisme yang ingin memonopoli atau mengklaim bahwa warisan tersebut adalah kepemilikan individu. Dengan secara bersama merasa memiliki dan berkewajiban melestarikan maka akan timbul rasa solidaritas di antara sesama masyarakat. Rasa kebersamaan inilah yang mewujudkan kehidupan yang guyub rukun ayem tentrem. Dalam salah satu bentuk folklor adalah acara bersih desa, nyadran atau metri desa yang bertujuan untuk membersihkan secara lahir maupun batin agar ketentraman bisa tercapai. Pada acara tersebut sangat terlihat perilaku ritual mistik (mistik kejawen) dengan harapan bahwa keadaan desa tetaplah aman tidak ada gangguan apapun dan tercukupi segala kebutuhan hidup dengan baik.

Menurut Sudjiman (2009;29) folklor adalah kepercayaan, legenda dan adat istiadat suatu bangsa yang sudah diwariskan secara turun temurun dengan cara lesan atau tertulis. Folklor tersebut dapat berupa tembang, cerita, paribasan, teka-teki (bedhekan), juga dolanan anak-anak. Sedangkan menurut Moeis (1988;127) folklore dapat berwujud kepercayaan, adat-istiadat dan upacara-upacara yang ditemui di dalam masyarakat dan juga sesgala sesuatu yang dibuat manusia berkaitan dengan kehidupan spiritual, misalnya larangan agar tidak melakukan sesuatu karena dianggap bertentangan dengan norma kehidupan.

Berdasarkan penjelasan di atas, bisa dikatakan bahwa sebenarnya folklor merupakan bagian kebudayaan tetapi berbeda dengan kebudayan lainnya.
Menurut Dananjaya (1986;3) folklor mempunyai ciri-ciri yang berbeda dengan kebudayaan lainya, yaitu;
1. Pada umumnya diwariskan secara lesan (diceritakan) secara turun temurun dari generasi ke generasi berikutnya.
2. Bersifat tradisional artinya dikembangkan dengan perwujudan yang sama atau sudah menjadi standard (baku).
3. Mempunyai versi yang bervariatif karena cara penyebarannya dengan cara lesan, dari mulut ke mulut.
4. Bersifat anonim artinya siapa yang membuat atau menciptkannya sudah tidak diketahui lagi.
5. Bermanfaat dalam kehidupan bermasyarakat.
6. Bersifat prologis, artinya mempunyai logika yang berbeda yang kadang-kadang tidak sesuai dengan logika pada umumnya.
7. Menjadi hak milik orang banyak (kolektif).
8. Umumnya bersifat polos sehingga terkesan kasar (spontan).

Menurut Harold Brunvand, ahli folklor dari Amerika Serikat, folklore bisa dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu (1) folklor lesan (verbal folklore), (2) folklor bagian (satengah) lesan (partly verbal folklore), dan (3) folklor lain-lainnya (non-verbal folklore) (Brunvand, 1968:2-3; Danandjaja, 1986:21).
1. Folklor lesan yaitu folklor yang wujudnya memang murni lesan. Yang termasuk folklor lesan seperti kata-kata atau ungkapan tradisional, cerita rakyat (dongeng, mite, legenda).
2. Folklor sebagian (setengah) lesan yaitu folklor yang wujudnya campuran antara bagian lesan dan yang bukan lesan. Yang termasuk folklor bagian (setengah) lesan seperti kepercayaan rakyat, dolanan rakyat, tari rakyat, adat-istiadat, upacara pesta rakyat.
3. Folklor bukan lesan yaitu folklor yang wujudnya bukan lesan. Yang termasuk folklor bukan lesan misalnya berwujud rumah asli rakyat, lumbung padi, kerajinan tangan rakyat, pakaian rakyat, makanan dan minuman khas rakyat, obat-obatan tradisional, dan isyarat tradisional pertanda bahaya.

Folklor lesan, yang khusus termasuk cerita rakyat, dapat dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu mite (myth), legenda (legend), dan dongeng (folktale) (Bascom, 1965:4).

Penjelasan singkat sebagai berikut;.
1. Mite, umumnya menceritakan terjadinya seluruh alam, dunia, wujudinya topografi, pertanda alam, dan lain-lain. Mite juga menceritakan petualangan para dewa, cerita perang, hubungan kekerabatan, cerita cinta dan lain-lain
2. Legenda, berwujud cerita rakyat –yang cirinya hampir sama dengan mite, yaitu dianggap benar-benar terjadi, tetapi tidak dianggap sucisuci. Legenda juga menceritakan cerita rakyat mengenai pelaku (tokoh), kejadian (peristiwa), atau tempat-tempat tertentu yang mengaitkan anatara kenyataan sejarah (fakta historis) dengan mitos (Sudjiman, 1986:47).
3. Dongeng, berwujud cerita rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi dan tidak dibatasi oleh waktu dan tempat. Dongeng merupakan cerita tentang makhluk khayali. Makhluk khayali yang menjadi pelaku dongeng biasanya diperlihatkan sebagai pelaku mempunyai kebijaksanaan atau kekuatan kangge mengatur masalah manusia kanthi yang bermacam-macam. (Sumarlam; makalah KBJ 2011)

Pengkajian folklore Jawa yang dilakukan oleh para ahli telah melahirkan beragam kesimpulan berbobot. Bentuk folklor pun beraneka rupa. (Dananjaya;1986;21). Bentuk folklor lisan misalnya logat, julukan, pangkat dan title. Dalam formula ungkapan tradisional dikenal adanya paribasan, bebasan dan saloka. Sedangkan dalam netrum lagu muncul sekar ageng, macapat dan dolanan. Dalam sajian tari-tarian terdapat tayuban, joged dan kuda lumping. (Purwadi;2009;4). Ungkapan Jawa terinci dalam banyak jenis, diantaranya berupa: wangsalan, parikan, sanepa, tembung entar, paribasan, bebasan, dan saloka. Ungkapan-ungkapan ini memiliki penanda khas untuk membedakan antara yang satu dengan yang lain. Agar dipahami bedanya, berikut akan diuraikan pengertian masing-masing ungkapan tersebut. Yang pertama adalah wangsalan, wangsalan itu adalah ungkapan yang ungkapan sejenis tebakan atau teka-teki yang jawaban atau tebakannya berupa suku kata tersamar di dalam tubuh ungkapan itu sendiri (Padmosoekotjo, 1960:6). Contohnya: pindhang lulang kacek apa aku karo kowe. Kunci jawaban dari wangsalan tersebut terletak pada kata kacek jatuh pada suku kata cek yang merupakan penggalan dari kata krecek atau nama lain dari pindhang lulang. Pada ungkapan ini pendengar dituntut mampu mencari padanan kata teka-teki dalam suku kata yang menjadi kunci jawaban.

Ungkapan berikutnya adalah parikan. Parikan adalah ungkapan yang memiliki aturan persajakan, sampiran, isi, dan jumlah baris yang dibutuhkan (Padmosoekotjo, 1960:16). Contohnya: iwak bandeng karo yuyu, priya gantheng ning ra payu. Larik satu pada ungkapan tersebut merupakan sampiran, sedangkan larik ke dua adalah isinya. Larik satu berakhir bunyi u demikian pula larik ke dua harus berakhir u.

Sanepa adalah ungkapan yang berfungsi untuk menggambarkan siatuasi atau keadaan secara berlebih atau menyangatkan dengan cara pengandaian. Contohnya: arang wulu kucing. Ungkapan ini menggambarkan keadaan hutang seseorang yang tersebar dibeberapa orang, karena banyaknya diandaikan bulu kucing saja masih renggang, sehingga hutangnya benar-benar sangat banyak dan pada banyak orang. Ungkapan berikutnya adalah tembung entar. Tembung entar adalah ungkapan yang maknanya kiasan, berbentuk perumpamaan, dan berfungsi untuk menyindir tingkah laku atau sifat seseorang. Contohnya: Ora katon dhadhane artinya penakut, atau tidak berani bertemu muka/pengecut.

Paribasan adalah ungkapan yang digunakan secara ajeg/ tidak boleh diganti, serta tidak berupa perumpamaan, fungsinya untuk menggambarkan keadaan, tingkah laku atau kehendak seseorang. Contohnya: ana catur mungkur artinya orang yang tidak mau mempedulikan gunjingan orang, atau orang yang tidak peduli dengan omongan orang yang tidak baik dan tidak bertanggung jawab. Ungkapan yang lain adalah bebasan. Bebasan merupakan ungkapan yang berisi perumpamaan, diungkapkan secara ajeg, dan berfungsi untuk mengungkapkan keadan dan tingkah laku orang yang digambarkan. Fokus perumpamaan terletak pada tingkah laku dan keadaannya. Contohnya: Sandhing kirik gudhigen artinya orang yang bergaul dengan orang jahat pasti akan ikut berperilaku tidak baik.

Saloka adalah ungkapan yang menggambarkan perilaku dan keadaan seseorang dengan perumpamaan. Adapun yang dianalogikan/diperumpamakan adalah orangnya. Contonya: kebo nusu gudel artinya orang yang berguru kepada orang yang lebih muda usianya, seperti gudel yang lebih muda dibanding kerbau. Semua ungkapan di atas mengandung kritik yang bersifat membangun, dan disampaikan secara tersamar agar tidak menimbulkan perasaan tidak senang secara orang terhadap orang yang dikritik. Ungkapan diciptakan untuk membentuk keharmonisan dan keselarasan dalam bergaul, bukan sebaliknya menciptakan kegalauan dalam bermasyarakat, karena penyampaiannya yang tidak secara blak-blakan.

Dari sejumlah ungkapan di atas ada yang dijadikan slogan-slogan hidup bermasyarakat, dan dapat dijadikan norma hidup, atau penyemangat hidup damai dan tenteram. Ungkapan-ungkapan yang dimaksud diantaranya: sing salah bakal seleh, becik ketitik ala ketara, mangasah mingising budi, tuman tumanening sepi, sepi ing pamrih rame ing gawe, ngono ya ngono ning aja ngono, aja nganggo aji mumpung serta banyak lagi slogan menarik yang masih relevan untuk diterapkan pada kehidupan masa kini dan disosialisasikan ke generasi berikutnya.

Dalam tatanan peradaban kebudayaan Jawa kita lihat adanya sebuah kultur antara masyarakat pedesaan dengan kultur yang berlaku di negara. Ada ungkapan desa mawa cara negara mawa tata. Di mana sebuah tatanan yang berlaku pada setiap negara didasari pada sebuah hukum atau aturan yang berpijak pada aturan formal. Sedangkan yang terjadi pada masyarakat pedesaan lebih menekankan pada aturan adat tradisional. Negara di Jawa dalam hal peradaban kebudayaannya lebih mengacu pada aturan keraton.

Kebudayaan kraton dipublikasikan melalaui babad atau cerita sejarah (Sartono;1986;3). Sedangkan tradisi pedesaan berupa dongeng, parikan dan tutur lisan sebagai sarana penyebarannya (Purwadi;2009;3). Dipandang dari sudut fenomenologis, baik sastra babad maupun cerita rakyat merupakan konstruk dalam alam pikiran tanpa perbedaan esensial. Pada pokoknya babad merupakan dokumentasi tertulis sedangkan cerita rakyat termasuk sarana komunikasi lisan. Dalam perkembangannya selama berabad-abad kebudayaan Jawa telah mengalami proses yang saling mempengaruhi anatara kultur budaya masyarakat desa dan budaya keraton. Folklor Jawa sesungguhnya merupakan produk dari proses sinkritisasi antara berbagai unsur. Diantaranya karena pengaruh Hinduisme, Budhisme dan Islam yang membentuk sebuah alkuturasi kebudayaan. Proses tersebut amat menguntungkan bagi pembentukan identitas lokal. (Purwadi;2009;3). Sedangkan menurut Saryono (2011;13) bahwa sumber pembentukan nilai budaya Jawa dipengaruhi oleh empat unsur, yaitu (1) Agama; Agama Asli, Hindhu, Budha, Islam, Nasrani dan Kejawen. (2) Sistem budaya ; India, Cina, Asia Barat (Islam), Barat dan Nasional. (3) mistisisme, dan Aliran Kepercayaan-Kebatinan. (4) Kebajikan dan ajaran manusia tertentu.

Niel Mulder menyatakan bahwa masyarakat Jawa mempunyai paugeran (aturan adat), yang mengacu pada ajaran budaya yang tertulis dan tak tertulis. Kehidupan di dunia, kehidupan dalam masyarakat, sudah dipetakan dan tertulis dalam macam-macam peraturan, seperti kaidah-kaidah adat etika Jawa (tata krama), yang mengatur kelakuan antar manusia, kaidah-kaidah adat, yang mengatur keselarasan dalam masyarakat, peraturan beribadat yang mengatur hubungan formal dengan Tuhan dan kaidah-kaidah moril yang menekankan sikap narima (menerima sesuai dengan aturan yang berlaku), sabar, waspada-eling (mawas diri), andap asor (rendah hati) dan prasaja (sahaja) dan yang mengatur dorongan-dorongan dan emosi-emosi pribadi (Niels Mulder 1984:13). Pendapat Mulder memberikan konotasi tentang pandangan hidup masyarakat untuk mengatur dirinya dalam satu ikatan nilai kultural, antara dirinya dengan masyarakat (antar manusia), keselarasan hubungan dengan masyarakat (termasuk alam sekitar), mengatur untuk beribadah dan taat dengan Tuhannya (sikap manembah). Keselarasan hubungan tersebut dalam falsafah jawa disebut sebagai hubungan hubungan vertikal-horisontal antara jagad besar dan jagad kecil. Falsafah Jawa menggambarkan hubungan sistem kehidupan dengan dua macam jagad, yaitu jagad besar (makrokosmos) dan jagad kecil-(mikrokosmos).

Jadi pada dasarnya folklor merupakan identitas lokal yang terdapat dalam kehidupan masyarakat tradisional. Rasa memiliki (handarbeni), mengayomi (hangayomi) sudah menjadi sebuah keharusan yang menjadikan kehidupannya guyup rukun, ayem tentrem. Folklore Jawa memang sangat banyak, hal ini perlu mendapat perhatian dari semua pihak untuk dikaji, dikembangkan dan dilestarikan.

Dalam sejarah kebudayaan justru lewat folklor diuniversalkan sehingga memperoleh tempat di kawasan yang lebih mondial. Epos Mahabarata dan Ramayana sebuah contoh yang sangat jelas. Begitu pula di masyarakat Jawa dengan adanya Babad Tanah Jawa yang merupakan bentuk legimitasi kekuasaan. Hegemoni Mataram atas daerah taklukan perlu adanya integrasi politik. Dinasti Mataram yang sedang memerintah dihubungkan dengan folklore lokal. Misalnya dengan Joko Tarub, Ki Ageng Sela, Ki Ageng Giring, Joko Tingkir, Nyai Rara Kidul dan Sunan Kalijaga. Tradisi kenegaraan dan pedesaan disini terjadi asimilasi dan simbiosis yang saling menguntungkan. Ujung-ujungnya adalah tercapainya keselarasan sosial. (Sartono;1986;5).

Kalau diteliti lebh lanjut ternyata folklor yang menjadi identitas lokal tersebut merupakan kebanggaan kolektif sekaligus wahana untuk melakukan refleksi spiritual. Pada bulan Suro, Ruwah banyak diselenggarakan upacara nyadran, bersih desa. Masyarakat berdatangan ke makam leluhur atau ke punden untuk melakukan selamatan dan mendoakan arwah para leluhur. Upacara ini berlaku dibeberapa wilayah pedesaan yang masih berlaku sampai sekarang.

Dengan begitu folklor sangat bermanfaat bagi monument tradisi lisan yang bisa menunjukakkan identitas kultur lokal. Folklor menampilkan watak dan corak kebudayaan daerah. Historisitas daerah itu dimanesvestasikan dan dengan demikian sekaligus juga karakter atau identitasnya. Historis cultural di wilayah tersebut diungkapkan, maka lewat folkor maka daerah tersebut akan tampil dengan jelas. Folklore mengekalkan pola-pola kebudayaan suatu kelompok masyarakat. Dengan dikaji dan dipelajari akan tahu motif dan arti kebudayaan mereka, sehingga pikiran, tindakan karyanya dapat dipahami pula.

Usaha pelestarian folklor terdapat dalam ungkapan tradisional Jawa, yang merupakan kristalisasi pengalaman, cerminan pikiran, pantulan perasaan masyarakat pendukungnya. Ungkapan tradisional sebagai kalimat pendek yang disarikan dari pengalaman yang panjang. Di dalamnya tertdapat kebijaksanaan kolektif dan kecerdasan sosial ( Sumarti, 1986;4).

Bersambung…

Kearifan Budaya Tradisi (Bagian II, Nilai-Nilai Kearifan Lokal)

$
0
0

Tulus S *

B. Nilai-Nilai Kearifan Lokal

Istilah “kearifan lokal” itu terjemahan dari “local genius” dengan arti “kemampuan kebudayaan setempat dalam menghadapi pengaruh kebudayaan asing pada waktu kedua kebudayaan tersebut berhubungan (Rosidi, 2010:1).

Pendapat lain dari Ahimsa-Putra (t.t.:5) mendefinisikan kearifan lokal sebagai berikut. perangkat pengetahuan dan praktek-praktek pada suatu komunitas, baik yang berasal dari generasi-generasi sebelumnya maupun dari pengalamanya berhubungan dengan lingkungan dan masyarakat lainnya untuk menyelesaikan secara baik dan benar persoalan dan/atau kesulitan yang dihadapi, yang memiliki kekuatan seperti hukum maupun tidak.

Pada dasarnya dalam setiap komunitas memiliki kearifan lokal (local wisdom). Kearifan lokal yang terdapat pada setiap komunitas masyarakat tradisional sekalipun terdapat suatu proses untuk mejadi pintar dan berpengetahuan (being smart and knowledgeable). (Sadikan;2013;45). Hal ini terkait dengan adanya keinginan agar dapat mempertahankan dan melangsungkan kehidupan, sehingga warga komunitas masyarakat akan secara spontan akan memikirkan cara-cara untuk melakukan dan atau menciptakan sesuatu. Nilai-nilai kearifan lokal termasuk budaya tradisi di dalamnya pada masa lalu tersebar di semua sektor atau bidang kehidupan masyarakat. Nilai-nilai ini tertanam dalam relung pengetahuan kolektif masyarakat dan dialami secara bersama. Nilai-nilai yang menjadi kearifan lokal dengan demikian dapat menjadi cadangan pengetahuan yang dapat dipakai untuk mengatasi berbagai persoalan hidup. Berbagai persoalan kontemporer yang belakangan muncul, sebenarnya akan dapat teratasi dicarikan solusinya ketika para aktor para pengambil kebijakan mau memahami dan terus menggali pengetahuan kolektif yang telah lama dimiliki.

Menurut Marsono (2007:182) dalam masing-masing etnik Nusantara banyak terdapat kearifan lokal. Sewaktu bangsa Nusantara belum bisa tulis-menulis, kearifan lokal yang memuat amanat pembentukan budi luhur dituangkan dalam bentuk upacara-upacara tradisional, legenda-legenda/ cerita rakyat/ dongeng, ungkapan-ungkapan, dan relief. Setelah bangsa ini mampu tulis-menulis maka sarana yang dipakai lewat bentuk tulis. Dalam kaitannya dengan ‘kebudayaan’, ‘kearifan lokal’ sebagai perangkat pengetahuan dengan sendirinya merupakan bagian dari kebudayaan yang bersifat abstrak. Kearifan lokal juga merupakan perangkat simbol. Simbol-simbol ini bisa bermakna ‘baik’, ‘positif’, bisa pula ‘tidak baik’, ‘negatif’. Di Indonesia, kearifan lokal jelas mempunyai makna positif, karena ‘kearifan’ selalu dimaknai secara ‘baik’ atau ‘positif’. Ahimsa-Putra menyebutkan sebagian kearifan ini tersimpan dalam bahasa dan sastra (lisan dan tertulis) suatu masyarakat.

Kearifan lokal merupakan kecerdasan yang dihasilkan berdasarkan pengalaman yang dialami sendiri sehingga menjadi milik bersama. Kearifan (lokal) budaya tradisi Jawa, misalnya, merupakan wujud kecerdasan yang dihasilkan oleh pengalaman hidup masyarakat Jawa itu sendiri. Oleh karena itu pengalaman hidup masyarakat Jawa yang tertuang dalam bentuk budaya tradisi Jawa dapat memberikan pencerahan bagi pengetahuan masyarakat.

Salah satu aspek penting yang tidak terpisahkan dari budaya tradisi adalah kearifan lokal. Kearifan lokal merupakan suatu identitas/kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri (Ayatrohaedi, 1986:18-19). Sementara, Moendardjito mengatakan bahwa unsur budaya daerah berpotensi sebagai kearifan lokal karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang. Ciri-cirinya adalah (1) mampu bertahan terhadap budaya luar, (2) memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar, (3) mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli, (4) mempunyai kemampuan mengendalikan, dan (5) mampu memberi arah pada perkembangan budaya (Ayatrohaedi, 1986:40).

Menurut Rahyono (2009:7) kearifan lokal merupakan kecerdasan manusia yang dimiliki oleh kelompok etnis tertentu yang diperoleh melalui pengalaman masyarakat. Artinya, kearifan lokal adalah hasil dari masyarakat tertentu melalui pengalaman mereka dan belum tentu dialami oleh masyarakat yang lain. Nilai-nilai tersebut akan melekat sangat kuat pada masyarakat tertentu dan nilai itu sudah melalui perjalanan waktu yang panjang, sepanjang keberadaan masyarakat tersebut.

Pemahaman tersebut menyatakan bahwa dalam budaya tradisi Jawa terdapat nilai-nilai yang muncul dalam kecerdasan masyarakat Jawa semasa masyarakat Jawa tersebut ada. Artinya, kearifan lokal masyarakat Jawa sudah teruji oleh waktu dan melekat pada masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu perlu diupayakan wacana alternatif dalam dekonstruksi globalisasi sesuai dengan pemaknaan yang dimunculkan oleh Hoed (2008:107). Salah satu upaya dalam membantu dekonstruksi globalisasi tersebut dapat dilakukan melalui penggunaan kearifan lokal budaya tradisi Jawa sebagai pengetahuan dasar pembentukan karakter sebuah bangsa.

Kearifan lokal budaya Jawa pada umumnya dapat dilihat melalui pemahaman dan perilaku masyarakat Jawa. Pemahaman dan perilaku itu dapat dilihat melalui (1) norma-norma lokal yang dikembangkan, seperti laku Jawa, pantangan dan kewajiban, (2) ritual dan tradisi masyarakat Jawa serta makna di baliknya, (3) lagu-lagu rakyat, legenda, mitos, dan cerita rakyat Jawa yang biasanya mengandung pelajaran atau pesan-pesan tertentu yang hanya dikenali oleh masyarakat Jawa, (4) informasi data dan pengetahuan yang terhimpun pada diri sesepuh masyarakat, pemimpin spiritual, (5) manuskrip atau kitab-kitab kuno yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat Jawa, (7) cara-cara komunitas lokal masyarakat Jawa dalam memenuhi kehidupannya sehari-hari, (8) alat dan bahan yang dipergunakan untuk kebutuhan tertentu, dan (9) kondisi sumber daya alam atau lingkungan yang biasa dimanfaatkan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari (Sartini, 2004).

Sebagai sebuah bangsa yang multikultural, bangsa Indonesia mempunyai aneka ragam kearifan lokal. Kearifan lokal tersebut tumbuh sesuai dengan warna lokal dan kultur masing-masing suku bangsa. Walaupun merupakan pengolahan dari ide, konsep dan tradisi masing-masing suku bangsa di wilayah Indonesia ini, namun mempunyai universalitas yang dapat ditarik dari masing-masing. Hal tersebut disebabkan oleh konteks yang melingkupi kearifan lokal tersebut sama yaitu konteks kehidupan di era agraris, dalam wilayah kenusantaraan. Berdasarkan keadaan tersebut, maka nilai-nilai universalitas inilah yang menjadi perangkai budaya antara budaya dari suku yang satu dengan suku yang lain. Berdasarkan kenyataan tersebut maka multikultural dapat terjalin dengan baik.

Salah satu kearifan lokal yang berasal dari budaya Jawa adalah berbagai budaya tradisi yang ada di masyarakat. Sehingga budaya tradisi yang berlaku di masyarakat memiliki makna kiasan, konotatif, simbolis yang berasal dari tradisi atau kebiasaan turun-temurun masyarakat lokal dan diyakini mempunyai fungsi.

Sebagai sebuah masyarakat yang kaya akan budaya tradisi , maka ungkapan tradisional mempunyai nilai-nilai yang dijabarkan dari pandangan hidup masyarakat pembuatnya. Dengan mengambil nilai-nilai ungkapan tradisional, maka masyarakat bisa memahami bagaimana nenek moyang atau masyarakat yang menghasilkan budaya tersebut memandang dan menyikapi hidup. Agar tercipta keselarasan dan keharmonisan, oleh karena itu secara umum masyarakat Jawa dipandang sebagai masyarakat yang selalu berpijak pada terciptanya harmoni manusia dengan Tuhan, sesamanya, masyarakat, dan lingkungan.

Kearifan lokal dipandang lahir dan berkembang dari generasi ke generasi seolah-olah bertahan dan berkembang dengan sendirinya. Tidak ada ilmu dan teknologi yang mendasari lahirnya kearifan lokal, bahkan tidak ada pendidikan dan pelatihan untuk meneruskannya. Sejatinya manusia menciptakan budaya dan lingkungan fisik dan biologisnya. Kebiasaan-kebiasaan, praktek, dan tradisi diwariskan dari generasi ke generasi. Pada gilirannya kelompok atau masyarakat tersebut tidak menyadari darimana asal warisan kebijaksanaan tersebut. Generasi berikutnya terkondisikan menerima “kebenaran” itu tentang nilai, pantangan, kehidupan, dan standar perilaku.

Secara teoritis mengacu pada pengertian kearifan lokal (local genius) (Quaritch Wales dalam Poespowardojo, 1986: 30; Rahyono, 2009: 7-9) sebagai “the sum of the cultural characteristics which the vast majority of a people have in common as a result of their experiences in early life”. Konsep tersebut mengandung pokok pikiran tentang (1) ciri-ciri budaya, (2) masyarakat pemilik budaya, serta (3) pengalaman hidup yang menghasilkan ciri-ciri budaya. Local genius (Poespowardojo,1986: 33) memiliki ketahanan terhadap unsur-unsur yang datang dari luar dan mampu berkembang untuk masa mendatang. Kepribadian masyarakat ditentukan oleh kekuatan dan kemampuan lokal genius dalam menghadapi kekuatan dari luar.Jika lokal genius hilang atau musnah kepribadian bangsa pun memudar. Faktor-faktor yang menjadi pembelajaran dan pembelajaran kearifan lokal memiliki posisi yang strategis, karena (1) kearifan lokal merupakan pembentuk identitas yang inheren sejak lahir, (2)kearifan lokal bukan keasingan bagi pemiliknya, (3)keterlibatan emosional masyarakat dalam penghayatan kearifan lokal kuat, (4) pemelajaran kearifan lokal tidak memerlukan pemaksaan, (5)kearifan lokal mampu menumbuhkan harga diri dan percaya diri, (6)kearifan lokal mampu meningkatkan martabat bangsa dan negara. (Abdullah;3).

Di era masyarakat yang sudah mengglobal ini maka pandangan masyarakat mulai bergeser pada yang bersifat internasional. Semua yang mengandung kelokalan tidak banyak peminatnya. Kedudukan budaya tradisi Jawa sebagai salah satu warisan budaya daerah di Indonesia juga mengalami kemunduran. Hal itu berakibat pada berkurangnya minat, sedikitnya perkembangan budaya lokal yang semakin menipis. Sebagai sebuah harta kultural maka budaya tradisi yang mengandung pengetahuan tradisional harus dilestarikan dan dikembangkan. Salah satu upaya yang dilakukan adalah melalui reaktualisasi makna yang disesuaikan dengan konteks keIndonesiaan masa kini. Adanya upaya tersebut diharapkan masyarakat tahu wujud-wujud pemahaman dari makna di dalam budaya tradisi,. Disamping itu, perlu penanaman kembali nilai-nilai budaya dan pengembangan yang simultan.

Nilai luhur budaya tradisi Jawa dipandang sebagai nilai kearifan lokal yang terus dapat dikembangkan sebagai unsur pembangun kebudayaan nasional. Hal ini penting karena bangsa Indonesia secara terus-menerus dibanjiri dengan kebudayaan asing yang kadang-kadang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh bangsa Indonesia. Permasalahannya adalah “Nilai-nilai kearifan lokal budaya Jawa mana sajakah yang dapat dikembangkan untuk membangun kebudayaan nasional agar dapat menahan derasnya arus budaya asing negatif yang mendera bangsa Indonesia?” Dari pertanyaan tersebut akan dibahas dari tiga sudut pandang, yaitu sikap religius, sikap pribadi, dan sikap sosial. Ketiga sikap di atas jika diadopsi sebagai butir nilai dalam pengembangan kebudayaan nasional, bangsa Indonesia akan memiliki kebudayaan nasional yang dapat dirajut dari nilai-nilai luhur kebudayaan daerah. Oleh karena itu, masyarakat Indonesia perlu menggali nilai-nilai budaya Jawa pada khususnya dan budaya etnis lain di Indonesia pada umumnya untuk membangun ketahanan budaya nasional. Penggalian budaya etnis dapat dilakukan melalui berbagai ranah kehidupan yang berkaitan dengan kebudayaan.(Pranowo;2011).

Nilai-nilai budaya Jawa yang masih dijunjung tinggi sebagai nilai kearifan lokal diharapkan dapat menjadi salah satu unsur pembangun kebudayaan nasional dan menahan derasnya arus budaya asing negatif. Beberapa nilai tersebut terutama yang berkaitan dengan sikap religius, sikap pribadi, dan sikap sosial. Ketiga sikap tersebut, jika dikembangkan secara baik akan mampu menjadi salah saatu unsur pengembang budaya nasional dan penahan pengaruh budaya asing negatif yang terus mendera budaya Indonesia.

a. Sikap religius

Menurut Hadi Supeno (2014; 3) Sistem religi, dengan bahasa lain agama merupakan unsur utama dalam kebudayaan, karena semua agama membawa nilai-nilai moral berisi kebaikan, untuk peninggian peradaban manusia. Banyak pihak yang salah paham dengan menganggap bahwa menempatkan agama sebagai bagian dari kebudayaan adalah sebuah pendegradasian agama, bahkan tidak sedikit yang menyebut hal ini sebagai pandangan kaum atheis. Dijelskan pula bahwa tidak ada orang beragama tanpa masyarakat yang telah berbudaya. Hanya pada masyarakat yang telah berbudaya yang bisa memahami dan menerima kehadiran agama. Hal ini akan tampak jelas pada masyarakat primitif, atau dengan kata lain masih belum berbudaya, maka mereka belum menjadikan agama sebagai sumber nilai masyarakat.

Sejak nenek moyang, masyarakat Jawa memiliki sifat religius. Hanya saja, sebelum ajaran agama masuk mereka mengagungkan dengan cara mereka sendiri-sendiri sesuai dengan tingkat pemahamannya. Misalnya, ketika mereka dikejutkan oleh suatu keadaan yang mengancam keselamatannya, dengan spontan mereka mengatakan “adhuh Biyung”. Sebutan “Biyung” (Ibu) bagi masyarakat Jawa adalah manifestasi akan keberadaan Tuhan. Setelah ajaran agama masuk, reaksi spontan seperti itu berubah menjadi “adhuh Gusti”. Hal ini merupakan bukti bahwa masyarakat Jawa adalah masyarakat religius. Sikap religius masyarakat Jawa dapat dilihat dari pengakuannya terhada sangkan paraning dumadi. Masyarakat Jawa mengakui adanya “Sang Pencipta” (baca: Tuhan) sebagai Sang Maha Esa yang yang menjadikan segala yang ada ini adalah ciptaan-Nya. Karena pengakuannya itulah, masyarakat Jawa selalu meluhurkan keagungan-Nya dengan berbagai cara, baik dengan cara kasat mata maupun kasat rasa. Sebagai implementasi atas pengakuannya terhadap Tuhan sebagai sangkan paraning dumadi, masyarakat Jawa berusaha meluhurkannya melalui berbagai tindakan. Tindakan masyarakat Jawa yang kasat mata dapat dilihat melalui berbagai kegiatan, seperti upacara merti bumi, merti desa, slametan, ngleluri leluhur, dsb. Di samping itu, masyarakat Jawa juga berusaha agar kedekatannya dengan Tuhan semakin sempurna. Masyarakat Jawa memiliki cita-cita agar dalam hidupnya dapat menyatu dengan Tuhan. Keinginan untuk menyatu dengan Tuhan diraih melalui spirit hidup manunggale kawula Gusti. Sebagaai wujud ketakwaan kepada Tuhan, masyarakat Jawa ingin dapat menyatu dan memiliki sifat keilahian. Keberadaan Tuhan bagi masyarakat Jawa diungkapkan dalam bentuk ungkapan “adoh tanpa wangenan, cedhak tanpa senggolan” (jauh tiada berbatas, dekat tidak bersentuhan). Budaya Jawa mengajarkan bahwa keberadaan Tuhan dapat sangat jauh dari dirinya tetapi juga dapat sangat dekat dengan dirinya. Tuhan akan sangat jauh dan bahkan seperti tidak ada mana kala seseorang lupa dan tidak menyadari akan keberadaan-Nya. Oleh karena itu, masyarakat Jawa harus selalu bertakwa kepada-Nya. Bagi orang yang tidak mau mengakui keberadaan Tuhan, mereka tidak pernah merasakan getaran-getaran Illahi yang sebenarnya selalu berada di dalam dirinya. Meskipun demikian, sebenarnya Tuhan masih terus menyayangi manusia. Buktinya, mereka masih tetap diberi hidup. Sebaliknya, keberadaan Tuhan dapat sangat dekat dengan manusia (cedhak tanpa senggolan) meskipun yang dapat merasakan keberadaan Tuhan hanyalah orang-orang yang benar-benar bertakwa kepada-Nya. Sebenarnya, setiap orang diberi kesempatan untuk bertemu dengan Tuhan dan merasakan getaran-getaran keillahian, jika mereka selalu mengagungkan kekuasaan dan kebesaran-Nya. Jika bukan karena kekuasaan dan kebesaran Tuhan, siapa yang memberi kebahagiaan, rejeki, kesehatan dan sebagainya. Karena besarnya kekuasaan Tuhan yang merambah ke seluruh aspek kehidupan, masyarakat Jawa percaya akan adanya takdir. Bagi masyarakat Jawa, setiap orang hanya dapat menjalani hidup menurut takdirnya sendiri. Orang Jawa akan selalu berusaha keras untuk meraih keinginannya. Namun, pada akhirnya harus diserahkan pada takdir. Perwujudan atas kepercayaannya pada takdir, pada akhirnya masyarakat Jawa akan sampai pada titik “sumarah, pasrah, nrima ing pandum”. Hal ini tidak berarti bahwa masyarakat Jawa malas atau tidak mau berusaha. Pada akhirnya, setiap manusia harus menerima batas keberhasilan atau kemampuan yang dicapai agar selalu dapat bersyukur.

Budaya “sumarah, pasrah, nrima ing pandum” dimaksudkan agar setiap orang tidak serakah. Setiap orang percaya bahwa semua yang diberikan oleh Tuhan adalah yang terbaik bagi dirinya. Budaya ini juga bermakna sebagai pengendali emosi agar setiap orang tidak “ngangah-angah” menginginkan sesuatu yang berada di luar jangkauannya. Pengakuan masyarakat Jawa akan adanya Tuhan yang kasat mata dimanifestasikan dalam berbagai upacara, seperti, slametan (ngleluri leluhur), tirakat, merti desa atau merti bumi. Semua ini merupakan bukti bahwa masyarakat dalam budaya Jawa memiliki sifat religius. Dalam kaitannya dengan pembangunan budaya nasional dan era globalisasi sifat religious masyarakat Jawa menjadi semakin relevan untuk terus dikembangkan. Budaya nasional perlu terus diperkokoh dengan budaya-budaya etnis yang memiliki nilai luhur dan universal. Meskipun budaya etnis Jawa bersifat lokal, substansinya sebenarnya bersifat universal. Dengan demikian, jika budaya nasional yang diperkaya dengan budaya etnis (misalnya Jawa), bangsa Indonesia tidak akan gagap menghadapi arus globalisasi. Seperti yang dikemukakan oleh John Naisbitt (1990) bahwa di era global justru akan timbul paradoks. Semakin dunia terbuka, kompetisi raksasa ekonomi dunia justru akan kolaps dan dominasi ekonomi dipegang oleh perusahaan kecil dan menengah. Hal seperti itu juga akan terjadi pada aspek budaya. Setelah manusia jenuh dengan budaya modern yang kapitalistis dan kosmopolit, manusia justru rindu pada hal-hal yang bersifat kedaerahan. Pada saat inilah budaya etnis yang telah menjadi unsur budaya nasional akan dapat memegang peran penting di era globalisasi.

b. Sikap Pribadi
Sikap pribadi masyarakat Jawa selalu ditempatkan pada posisi sentral tetapi karena masyarakat Jawa sebagai masyarakat guyup rukun, sikap pribadi selalu dimiliki demi kebersamaan hidup bermasyarakat. Sikap-sikap pribadi selalu diutamakan tetapi tidak sekedar untuk kepentingan dirinya. Kalau toh mereka memikirkan dirinya selalu dalam konteks kebersamaan dengan orang lain. Beberapa sikap pribadi yang diyakini sebagai nilai luhur masyarakat Jawa antara lain andhap asor, wicaksana, sumeleh, aja dumeh, tansah eling lan waspada, menyukai ketidaklangsungan dengan simbol-simbol, dan sebagainya. Sikap ini jika dikembangkan akan dapat menjadi pengendali emosi sehingga dapat menjaga harkat dan martabat dirinya sebagai individu ketika bergaul dengan orang lain. Budaya Jawa mengajarkan agar setiap orang memiliki sikap andhap asor atau lembah manah. Sikap andhap asor adalah sikap pribadi yang menunjukkan bahwa seseorang harus selalu menempatkan diri lebih rendah dari pada orang lain. Sikap ini diyakini jika seseorang mau menempatkan diri lebih rendah dari orang lain. Dengan sikap seperti itu, orang lain justru akan semakin hormat kepada dirinya. Meskipun demikian, orang Jawa bersikap andhap asor tidak bermaksud agar dihormati oleh orang lain tetapi untuk menjaga harkat dan martabat dirinya (kareben ora klera kleru). Sikap wicaksana (bijaksana) dimaknai sebagai sikap yang selalu menempatkan diri untuk kemaslahatan orang lain. Sikap wicaksana selalu bersifat “orang lain memperoleh keuntungan dan dirinya memperoleh kerugian”. Untung rugi tidak selalu diukur dengan materi tetapi juga dapat diukur dengan aspek lain. Sikap hidup sumeleh adalah sikap hidup yang selalu berusaha untuk bersikap tenang agar dapat kuat menerima keadaan apa pun yang terjadi. Orang Jawa berkeyakinan bahwa hidup “kemrungsung” (tergesa-gesa) hanya akan menjadi beban batin yang dapat membuat kondisi fisik dan psikis terganggu. Hidup sumeleh dalam pandangan hidup orang Jawa merupakan cara defensif (pemertahanan diri) terhadap gangguan yang datang dari luar agar tetap dapat hidup dengan nyaman. Memang, tidak banyak orang yang berhasil mencapai sikap hidup seperti itu karena untuk dapat mencapainya memerlukan kesanggupan menerima keadaan seperti apa pun beratnya. Sikap hidup aja dumeh merupakan sikap pengendalian diri sebagaai wujud syukur atas segala keberhasilan yang diberikan oleh Tuhan. Orang Jawa berkeyakinan bahwa segala keberhasilan manusia hanyalah titipan Tuhan. Masyarakat Jawa percaya bahwa pangkat, drajat, semat iku mung titipan Gusti Alah, wong urip mung sak drema nglakoni. Karena pegangan hidup seperti itulah, manusia tidak ada ruang untuk sombong, sesongaran (aja adigang, adigung, adiguna). Sikap tansah eling lan waspada merupakan sikap hidup yang mengajarkan masyarakat Jawa selalu ingat dan waspada terhadap segala kemungkinan yang dapat terjadi karena jika Tuhan menghendaki, segala yang ada dan dimiliki dapat diambil kembali dalam waktu sekejap. Pada saat memberi ujian seperti itu, manusia tidak mampu berbuat apa-apa. Sikap hidup ini dapat dipetik dari berbagai peristiwa alam (tsunami, gempa bumi, tanah longsor, kecelakaan yang menewaskan seluruh anggota keluarga) yang telah berkali-kali membuktikan kekuasaan dan kebesaran Tuhan. Di era globalisasi, manusia tidak mungkin hidup sendiri. Berbeda dengan paradigma lama, bahwa setiap orang saling berkompetisi untuk saling mengalahkan. Setelah paradigma berpikir seperti itu terbukti gagal, karena tidak ada satu bangsa pun yang dapat menyelesaikan seluruh permasalahan yang dihadapi, orang berubah berpikir dengan paradigma baru. Setiap bangsa harus hidup berkolaborasi dengan bangsa lain karena hanya dengan berkolaborasi, permasalahan suatu bangsa dapat diselesaiakan. Namun, di era globalisasi, bangsa yang dapat berkolaborasi dengan bangsa lain adalah bangsa yang memiliki jati diri. Hal inilah yang dapat memberikan harapan bagi bangsa Indonesia bahwa dengan berpikir global tetapi bertindak lokal akan dapat ambil bagian dalam percaturan dunia modern. Sifat-sifat pribadi yang rendah hati, bijaksana, luhur, sumeleh adalah bekal penting untuk berdeplomasi dengan bangsa lain agar dapat berkolaborasi secara imbang. Sebagai pribadi, masyarakat Jawa juga memiliki sifat untuk selalu menghormati dan menghargai orang lain yang pernah berbuat baik kepadanya yang diungkapkan dengan tuturan “mikul dhuwur, mendhem jero”. Hal ini sebagai indikator bahwa masyarakat Jawa selalu tahu berterimakasih. Dalam konteks globalisasi, sifat-sifat pribadi masyarakat Jawa sangat cocok untuk membangun budaya nasional guna menghadapi era globalisasi. Dengan sifatsifat pribadi seperti itu, masyarakat Jawa khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya akan sangat mudah untuk diterima oleh bangsa lain.

Pada akhirnya, manusia menjadi kunci perjalanan sebuah kebudayaan dan peradaban, sebab eksistensi sebuah kebudayan itu akan bergantung pada karakter manusia sebagai subyek kebudayaan. Kebudayaan tidak akan berlangsung tanpa ada makhluk manusia, karena hanya manusialah makluk yang berbudaya. Kealpaan menelisik, mempertimbangkan dan menyiapkan manusia, akan membuat kebudayaan mandeg, lamban atau berjalan tanpa arah, bukan mengkonstruksi peradaban namun boleh jadi mendegradasi nilai-nilai kemanusiaan. (Supeni;2014;5).

c. Sikap Sosial

Sikap sosial adalah sikap seseorang yang berkaitaan dengan anggota masyarakat. Sikap sosial ini dimaksudkan untuk saling menghormati, menghargai, dan tolong-menolong. Masyarakat Jawa memiliki budaya guyup rukun. Sikap ini merupakan pengakuan masyarakat Jawa terhadap orang lain bahwa seseorang tidak dapat hidup sendirian. Mereka selalu membutuhkan keberadaan orang lain, baik dalam suasana suka maupun duka. Agar manusia dapat hidup guyup rukun, setiap orang harus mampu nguwongke uwong. Setiap orang berhak untuk dihargai. Oleh karena itu, setiap bangsa yang dapat menghargai bangsa lain pasti akan dapat menjadi pasangan kolaborasi yang indah untuk saling bergotong royong dengan semangat “berat sama dipikul ringan sama dijinjing”. Modal lain yang dibutuhkan adalah sikap santun. Sikap santun adalah sikap hidup untuk menjaga harkat dan martabat dirinya agar orang lain dapat berkenan. Sikap santun dapat diwujudkan secara verbal maupun non-verbal. Sikap santun secara verbal diwujudkan dalam bentuk bahasa tutur atau tulis dengan tetap menjaga tuturan dengan kata-kata yang memiliki aura santun, seperti nuwun sewu, nyuwun tulung, matur nuwun, sumangga, nyuwun pangapunten, dan sebagainya. Selain itu, sikap santun juga dapat diwujudkan dengan bahasa non-verbal, seperti menganggukkan kepala, membungkukkan badan, menjabat tangan, berangkulan, jarak bicara, dan sebagainya. Sikap santun non-verbal kadang-kadang antara etnis satu dengan etnis lain, bangsa satu dengan bangsa lain berbeda-beda. Oleh karena itu, bahasa non-verbal yang perlu dikembangkan sebagai budaya nasional perlu dicari dan disepakati bersama agar dapat diterima oleh semua pihak. Dalam bergaul dengan orang lain, masyarakat Jawa diajarkan agar selalu dapat njaga rasa, angon rasa, dan adu rasa. Njaga rasa yang dimaksudkan adalah kesanggupan seseorang untuk menjaga perasaan orang lain agar tidak tersinggung perasaannya. Sebagai perimbangannya adalah angon rasa yaitu kesanggupan seseorang ketika berkomunikasi harus mengetahui kondisi perasaan yang sedang dirasakan oleh orang lain. Jika kondisi perasaan orang lain sedang tidak sesuai dengan maksud yang akan disampaikan, seseorang harus mampu mengendalikan diri untuk tidak membicarakan pokok masalah yang akan dibicarakanya. Agar seseorang mampu njaga rasa dan angon rasa, mereka harus memiliki ketajaman untuk saling memahami kondisi perasaan masing-masing (adu rasa). Inilah unsur budaya Jawa yang sangat hakiki bagi masyarakat Jawa sebagai makluk sosial untuk saling menghargai satu sama lain. Atas kemampuan untuk saling menjaga perasaan, saling mengetahui kondisi perasaan orang lain karena dipelajari melalui cara mengadu ketajaman perasaan dapat mengakibatkan timbulnya rasa tepa slira (tenggang rasa) yang memungkinkan untuk dapat hidup toleran satu sama lain. Agar dapat hidup toleran satu sama lain dan semakin mampu mengenai kondisi perasaan orang lain, masyarakat Jawa juga mengembangkan budaya ameng-ameng (saling bersilaturahmi). Kunjung mengunjungi adalah adat budaya Jawa untuk mempererat rasa persaudaraan agar semakin saling mengenal satu sama lain. Ketika bersilaturahmi tentu mereka akan saling omong-omong untuk mengenal lebih jauh apa yang dialami, dirasakan, dan sedang terjadi pada diri seseorang. Masyarakat Jawa adalah masyarakat yang suka mengaktualisasi diri dengan simbol-simbol. Tidak semua yang diinginkan, dicita-citakan, dan diharapkan selalu diungkapkan secara terbuka pada orang lain. Masyarakat Jawa akan merasa malu jika memiliki cita-cita, harapan, dan keinginan yang belum terwujud sudah dibeberkan kepada orang lain. Namun, jika orang lain harus mengetahui maunya seseorang, mereka mengungkapkannya dalam bentuk simbol, seperti sasmita, pralambang, pralampita, bebasan, paribasan, sanepan, dan sebagainya. Hal ini dimaksudkan agar jika yang diinginkan itu tidak tercapai, mereka tidak malu kepada orang lain. Inilah sikap pengendalian diri bagi masyarakat Jawa. Sayangnya, beberapa etnis lain yang belum mengenal budaya Jawa secara baik kadang-kadang mengalami kesulitan untuk memahami sehingga mereka menuduh bahwa orang Jawa tidak konsekuen dengan yang dikatakan. Perhatikan contoh di bawah ini.

A : Kula suwun, bapak-bapak sak sampunipun ngondurken berkat, kersa wangsul kagem tirakatan sakdumiginipun.

B : Nggih!

Permohonan tuan rumah seperti itu tentu saja yang dimaksudkan adalah permohonan sungguh-sungguh. Namun, dalam kenyataannya, setelah ditunggu beberapa jam ternyata tidak satu pun ada yang kembali. Kesanggupan seperti itu bagi masyarakat Jawa adalah undangan “mana suka” (suka rela), artinya jika longgar ya datang tetapi tidak datang juga tidak apa-apa. Sebenarnya, jawaban “nggih” sudah memberi isyarat kepada tuan rumah bahwa tamu yang diharapkan untuk datang kembali tidak wajib karena tuan rumah tidak meminta pada saat mengundang kenduri. Lain halnya jika permohonan itu disampaikan sekaligus ketika mengundang kenduri.

A : Kula dipun dhawuhi bapak Mas’ud, mangkih sak bibaripun magrib Bapak kasuwun rawuh wonten ndalemipun Bapak Mas’ud saperlu kenduri. Saksampunipun ngonduraken kenduri, Bapak ugi kasuwun wungon sakdumuginipun.

B : O nggih!

Dengan tuturan kedua di atas, lawan tutur memahami apa yang dimaksud si pengundang karena undangan lisan itu disampaikan secara khusus, bukan sekedar semacam imbauan.

Ketidakhadiran pendengar dalam tuturan pertama sudah dapat diduga sebelumnya karena si pengundang sendiri juga tidak ada kesungguhan untuk mengundang. Kesalahannya terletak pada “cara” (manner) menyampaikan undangan. Pengundang melakukan kesalahan karena “tidak nguwongke uwong”. Jika demikian, sebenarnya kesalahan bukan terletak pada yang diundang tetapi pada si pengundang. Tipe-tipe ketidaklangsungan seperti itu tidak hanya terjadi pada satu orang tetapi sudah menjadi pranata sosial masyarakat. Dengan sifat-sifat sosial seperti itu, masyarakat Jawa akan mudah bergaul dengan bangsa lain karena sifat dasar yang dimiliki selalu guyup rukun, gotong royong, suka nguwongke uwong. Karena paradigma berpikir masyarakat modern selalu kolaboratif atau kooperatif, masyarakat Jawa akan sangat mudah untuk bekerja sama dengan bangsa lain untuk memecahkan masalah secara bersama-sama. (Pranowo; 2011)

Kearifan lokal tidak lain adalah sesuatu yang penuh makna yang mana di dalamnya penuh dengan sesuatu yang perlu diterjemahkan dengan baik. Ibarat sendang, belik atau sumber air maka tak akan habis airnya walau musim kemarau. Begitu pula makna dalam kearifan lokal tak akan habis untuk diterjemahkan. Oleh karena itu sebuah kearifan lokal bisa ditafsir apa saja , menurut cara pandang ataupun kebutuhannya. Begitu juga ungkapan-ungkapan Jawa yang banyak mengandung beberapa nilai filosofis yang kaya akan makna. Di mana makna tersebut dapat berpengaruh terhadap kearifan perilaku manusia Jawa.

Dalam kearifan lokal terkandung local genius dan juga terdapat local emotional. Manusia Jawa selalu berusaha untuk berbuat adil, jujur, sopan, santun beretika itu merupakan bagian dari roh kejeniusannya. Roh kejeniusan ini yang harus digali dan dipahami dengan benar. Dengan begitu pada akhir kejeniusan itu bisa mencapa tataran hidup yang damai dan nyaman.

Kearifan lokal Jawa amat banyak macamnya. Sendi-sendi hidup orang Jawa hampir semuanya berupa kearifan lokal. Tidak sedikit orang Jawa memiliki bundhelan (bothekan), memuat kearifan lokal. Masalahnya memang ada kearifan lokal yang semestinya ditinjau ulang. Jangan-jangan kearifan lokal termaksud sudah tidak sesuai jaman. Misalkan saja, ungkapan alon-alon waton kelakon, masih relevankah? Paling tidak jika kurang relevan tentu membutuhkan penafsiran kembali, begitu pula memayu hayuning bawana. (Suwardi;2013;36). Pemahaman tentang kearifan lokal tentu membutuhkan sebuah penalaran yang positip. Hasil penalaran tersebut akan digunakan sebagai pathokan, tuntunan, panduan untuk bertindak atau melakukan sesuatu. Larangan orang Jawa untuk tidak menduduki bantal sebuah ajaran yang sangat menjunjung rasa hormat ataupun sikap menghargai. Begitu pula tradisi-tradisi yang lainnya memang perlu terus adanya penggalian agar ditemukan sebuah pengetahuan yang bermanfaat.

Kearifan lokal atau kearifan tradisional atau sistem lokal (indigenous knowledge system) adalah pengetahuan yang kkhas milik suatu masyarakat atau budaya tertentu yang telah berkembang lama sebagai hasil dari proses hubungan tombal balik antara masyarakat dan lingkungannya. Jadi konsep sistem kearifan lokal berakar dari sistem pengetahuan dan pengelolaan lokal atau tradisional. Karena hubungan yang dekat dengan lingkungan dan sumber daya alam, masyarakat lokal, tradisional atau asli melalui uji coba telah mengembangkan pemahaman terhadap sistem ekologi di mana mereka tinggal yang telah dianggap mempertahankan sumber daya alam, serta meninggalkan kegiatan-kegiatan yang dianggap merusak lingkungan.

Menurut Sutarto (2010;vii) (Sadikan;2013;45), bahwa kearifan lokal yang terkandung dalam produk budaya, terkait dengan lima kegiatan kebudayaan. Pertama, sebagai bangsa yang religious , kearifan lokal terkait dengan sikap perilaku dalam berkomunikasi dengan Sang Pencipta, Tuhan Yang Maha Esa. Kedua , terkait dengan diri sendiri, yakni bagaiman menata diri dan mengendalikan diri agar dapat menerima dan diterima oleh pribadi-pribadi lain di luar diri kita. Ketiga, bagaimana bergaul atau berkomunikasi dengan masyarakat luas karena kita menjadi bagian darinya. Dalam hal ini kearifan lokal terkait dengan rasa keadilan, toleransi, dan empati yang bermuara pada bagaimana menyenangkan perasaan orang lain agar orang lain menerima kita sebagai bagian yang penting dan dibutuhkan. Keempat, sikap dan perilaku yang terkait dengan anggota keluarga dan kerabat kita. Kita harus menghargai orang tua kita, dan kerabat kita yang lain. Kearifan lokal yang terkait dengan etos belajar dan etos bekerja akan mengantar kita menjadi insane yang kreatif dan produktif. Kreatifitas kita bukan hanya akan menolong diri kita, tetapi juga menolong orang lain. Jika kita dapat memberikan sesuatu kepada masyarakat , kita akan menjadi bagian yang berarti bagi masyarakat. Kelima, kearifan lokal yang terkait dengan lingkungan akan membuat hidup kita aman dan nyaman karena lingkungan yang kita jaga dan pelihara akan memberi manfaat positif kepada kehidupan kita. Lingkungan yang rusak akan membuat kehidupan kita rusak.

*) Tulus S atau Tulus Setiyadi, S.T.P. adalah alumni Universitas Widya Mataram Yogyakarta. Kegemarannya mempelajari budaya dan sastra ditekuni sudah sejak lama. Banyak bergabung dibeberapa sanggar kebudayaan, kesenian dan kesusastraan. Sering mengisi acara sastra ataupun budaya, baik di televisi, radio, paguyuban/sanggar, perguruan Budaya Jawa di Hotel Lorin Solo, kongres Bahasa Jawa di Hotel Marriot Surabaya dan Hotel Garuda Jogjakarta, serta seminar ataupun sarasehan. Pernah menjadi pembicara dalam Kongres Bahasa. Karya-karyanya dalam bentuk buku sudah puluhan judul dan beredar di masyarakat, baik di Indonesia maupun luar negeri. Juga belasan karya antologi bersama.
Paguyuban/sanggar yang diikutinya antara lain; Pesaudaraan Masyarakat Budaya Nasional Indonesia (Permadani), Paguyuban Retna Dumilah (bidang kebudayaan), Paguyuban Pamarsudi Kasusastran Jawi Sedyatama, Sanggar Sastra Triwidha, Sembilan Mutiara (buku dan kesusastraan), Majelis Sastra Madiun, dll.
Adapun buku-buku karyanya sebagai berikut; Bangsa Pemuja Iblis (antologi puisi), Surat Kerinduan, (antologi puisi), Sangkrah (antologi geguritan lan cerkak), Sang Guru (antologi cerkak), Kidung sukma Asmara (antologi geguritan), Daya Katresnan (antologi geguritan), Kawruh Urip Luhur Ngabekti (antologi geguritan), Serat Cipta Rasa (antologi geguritan mawa aksara Jawa). Narakisma mbedhah jagade kasusastran (antologi geguritan). Dongeng Kancil Kanggo Bocah (dongeng), Puspa Tunjung Taruna (esai), Pendekatan Nilai-Nilai Filosofi Dalam Karya Sastra Jawa (esai), Kembar Mayang (esai), Nilai-Nilai Luhur Budaya Jawa- Sumber Kearifan Lokal (esai), Ki ageng Sela Dan Ajarannya; Pendidikan Nilai Moral Dan Pembentukan Karakter (esai); Semar; Sebuah simbolisasi, Filosofi Dan Mistik Kejawen (esai). Makna Simbol Selamatan Kematian pada masyarakat Jawa (esai). Menelusuri Jejak Tradisi Membangun Jatidiri (esai). Uran-uran katresnan (novel). Keladuk Manis ing Salumahe Sambilata (novel). Juminem…dodolan tempe? (novel). Udan ing wanci ketiga (novel). Ledhek saka Ereng-erenge Gunung Wilis (novel), Gogroke Reroncen Kembang Garing (novel), Rumpile Jurang Katresnan (novel). Klelep ing Samodra Rasa (novel). Langit Mendhung Sajroning Pangangen (novel). Bersama Pak Tulus Ayo Belajar (motivasi). Aris (kumpulan cerkak).
Sedangkan antologi bersama lainnya, seperti dibawah ini’; Antologi bersama; antologi Mangkubumen Sembilan Enam, Bulan Tuhan, Pelacur, Epifani Serpihan Duka Bangsa, Kemilau Mutiara Januari, Merangkai Damai, Pengembaraan Burung, Bunga Putra Bangsa, Indonesia di Titik 13 dll. Juga antologi cerkak mengeti HUT ke-35 Sanggar Triwida “Ngrembuyung”. Antologi cerpen “Negeri Kertas”. Antologi Geguritan Dinas kebudayaan Prov,DIY, Antologi geguritan “Sakwise Ismet lan Suparta Brata” Balai Bahasa Jatim, Antologi geguritan “Gebyar Kasusastran” Balai Bahasa Jatim. Antologi geguritan “Sor bumi sor kukusan”

AL-QUR’AN, SAINS-PUISI, MIMPI EINSTEIN

$
0
0

Sulaiman Djaya *
sulaimandjayaesai.wordpress.com

Esai singkat, yang sifatnya diaris ini, tentu saja, merupakan tafsir subjektif saya tentang waktu dan dalam keterkaitannya dengan dunia puitis dan sains, yang tentu juga dipandang secara subjektif, dan saya ingin memulainya dengan prosa-puitisnya Alan Lightman yang ia tuangkan dalam buku Mimpi-Mimpi Einstein-nya itu:

“Siapa yang lebih mujur di dunia dengan waktu yang gelisah ini? Mereka yang telah melihat masa depan dan menjalani kehidupan ini? Mereka yang melihat masa depan dan menunggu untuk menjalani kehidupan? Atau mereka yang menolak masa depan dan menjalani dua kehidupan? Di suatu dunia, waktu berjalan lingkaran. Orang-orang di dalamnya tak henti mengulang takdirnya tanpa perubahan sedikit pun. Di tempat lain, orang mencoba menangkap waktu, yang berwujud burung bulbul ke dalam guci. Di tempat lain tak ada lagi waktu, yang ada hanyalah peristiwa-peristiwa yang membeku” (Alan Lightman, Einstein’s Dreams)

Pertanyaannya adalah: Mungkinkah waktu didefinisikan? Jawabannya antara ya dan tidak. Para fisikawan, misalnya, menyatakan bahwa keberadaan waktu bersifat “relasional” dalam jagat ini, dan bila waktu dipahami atau dimengerti sebagai durasi, hal itu pun akan berbeda di setiap tempat, seperti waktu di bumi tidaklah sama dengan waktu di angkasa sana. Al-Qur’an yang suci menegaskan:

“Sesungguhnya sehari di sisi Tuhan-mu seperti seribu tahun dari tahun-tahun yang kamu hitung” (Al-Haj ayat 47). “Yang datang dari Allah, yang mempunyai tempat-tempat naik. Malaikat-malaikat dan Jibril naik menghadap kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima-puluh ribu tahun” (ibid).

Kita bisa bayangkan, berdasarkan penegasan Al-Qur’an yang suci itu, satu hari di suatu kawasan di angkasa sana, yang kita belum tahu di mana itu, sama dengan lima-puluh ribu tahun di bumi, di planet biru-hijau di mana kita hidup, berada, mengalami rasa-senang, kesedihan, jatuh cinta, putus-asa, atau marah. Sementara itu, di bumi sendiri, pengalaman dan pemahaman kita akan waktu tergantung pada aspek fisik dan psikis (bathin) kita. Misalnya, waktu terasa berjalan lambat (lama) ketika kita menderita dan terasa berjalan cepat ketika kita sedang mengalami kesenangan.

Penerimaan dan pengalaman kita tentang waktu, contohnya, tidak sama ketika kita sedang sakit dan ketika sedang bersama kekasih yang dirindu dan dicinta. Ada waktu mekanis yang sifatnya birokratis dan tak lebih sebuah alat ukur yang terbuat dari mesin, dan ada waktu psikis (bathin) yang dialami secara unik dan berbeda oleh masing-masing kita sesuai konteks dan pengalaman kita sendiri yang sifatnya subjektif dan individual.

Ada waktu yang dihitung dan ada waktu yang dilupakan dan dikenang. Kita tahu bahwa sehari-semalam adalah 24 jam secara mekanis, bahwa satu tahun adalah 12 bulan berdasarkan kalkulasi almanak, tapi ada waktu yang “di-ingat” dan “dikenang” oleh kita, meski hal itu kita sebut masa silam atau ingatan. Waktu seperti inilah yang ada dalam musik, dalam nada-nada, dalam roman, atau dalam gubahan-gubahan sajak, yang senantiasa dibaca dan dibaca lagi, meski digubah dan ditulis di masa-masa yang lampau.

Dalam arti ini, waktu bukanlah sesuatu yang dihitung secara mekanik dan matematik, tetapi yang tetap dan tidak bergerak ke mana-mana. Sebab yang bergerak secara bergiliran hanyalah rotasi siang-malam dan putaran jarum-jarum jam dan hitungan angka-angka di saat waktu itu sendiri adalah “diam”.

Dalam fiksi-fiksi sains, contohnya, semisal yang ditulis oleh H.G. Wells dan Jules Verne, diceritakan dan digambarkan bagaimana seorang insinyur dan ilmuwan membuat dan menciptakan “mesin waktu” yang akan membuat kita si pengguna dan pengendaranya bisa kembali ke masa silam sekaligus bisa ke masa depan –membelakangi sekaligus mendahului waktu yang pergi dan datang, agar kita bisa memperbaiki kesalahan dan kekeliruan di masa silam sekaligus sanggup “mendahului” waktu yang akan datang.

Tentu saja hal itu merupakan sebuah alegori ketika manusia ingin “menekuk” dan “melipat” waktu, sekaligus ingin menjadi “penguasa” masa silam dan masa depan. Ingin menjadi makhluk super cerdas yang sanggup melawan hukum fisika atau “takdir kosmik” yang menjadi “hukum pasti” yang tak bisa “dibengkokkan” dan “dirubah” oleh kita.

Tentang waktu yang ingin ditaklukkan oleh H.G. Wells dan Jules Verne itu, Alfred Lord Tennyson pun berdendang:
“Kuarungi masa depan, sejauh mata manusia memandang, melihat visi dunia, dan segala keajaiban yang mungkin terjadi”, yang mengingatkan kita kepada anekdot sains yang dikutip oleh Lawrence M. Krauss dalam Fisika Star Trek-nya:

“Suatu ketika hiduplah seorang wanita bernama Bright –dan ia berkelana melampaui kecepatan cahaya. Suatu hari ia berangkat, dengan kecepatan relatif terhadap waktu, dan kembali pada malam sebelum keberangkatan”, atau sebagaimana yang ditulis oleh Alan Lightman dalam Mimpi-Mimpi Einstein-nya bahwa mereka yang hidup di gunung-gunung lebih awet muda dan tidak cepat menua ketimbang yang hidup di kota-kota. Di lembar-lembar Mimpi-Mimpi Einstein-nya itu, Alan Lightman pun menulis:

“Andaikan manusia hidup selamanya. Secara unik, warga di tiap kota terbagi menjadi dua: Kelompok Belakangan dan Kelompok Sekarang. Kelompok Belakangan bersikukuh untuk tidak perlu buru-buru kuliah di universitas, belajar bahasa asing, membaca karya Voltaire atau Newton, meniti karir, jatuh cinta, berkeluarga. Untuk semua itu, waktu tak terbatas. Kelompok Belakangan dapat dijumpai di setiap toko atau di setiap jalanan, mereka berjalan santai dengan busana longgar.

Kelompok Sekarang beranggapan bahwa dengan kehidupan yang abadi mereka bisa melakukan apa saja yang mereka inginkan. Ada tumpukan karir yang jumlahnya tak terhingga, menikah dalam kali kesekian yang tak terbayangkan, dan pandangan politik terus berganti. Mereka secara teratur membaca buku-buku terbaru, belajar tata cara perdagangan baru, bahasa-bahasa baru. Demi mencucup sari madu kehidupan yang tak terbatas itu, Kelompok Sekarang bangun lebih pagi dan tak pernah bergerak lamban….

Seandainya waktu berwujud burung bulbul. Waktu berdetak, bergerak, dan melompat bersama burung-burung itu – yang bergerak cepat, sangat gesit, dan sulit ditangkap. Tiap lelaki dan perempuan mendambakan seekor burung, karena dengan mengurung seekor burung bulbul dalam guci maka waktu berhenti dan membeku bagi orang-orang yang menangkapnya. Anak-anak, yang cukup gesit untuk menangkap burung, tidak tertarik menghentikan waktu. Bagi mereka, waktu bergerak terlalu lambat.

Mereka selalu terburu-buru dari satu kejadian ke kejadian lain, tak sabar menanti hari ulangtahun dan tahun baru, tak sabar menunggu lebih lama lagi. Kelompok tua mati-matian menginginkan waktu berhenti, tetapi mereka terlalu renta dan lamban untuk menangkap burung apapun. Bagi mereka, waktu berlalu demikian cepat. Mereka berhasrat menahan satu menit saja, untuk minum teh saat sarapan pagi, atau membantu seorang cucu yang kesulitan melepaskan seragamnya, atau menatap pemandangan senja saat matahari di musim dingin memantul dari hamparan salju dan menerangi ruangan musik dengan cahayanya….

Dunia tanpa ingatan adalah dunia saat ini. Masa silam hanya ada dalam buku-buku, dokumen-dokumen. Untuk mengenali diri sendiri, setiap orang membawa Buku Riwayat Hidup yang penuh dengan sejarah masing-masing. Dengan membaca buku itu tiap hari, ia mencari tahu kembali identitas orangtua mereka, apakah dirinya berasal dari golongan atas atau bawah, apakah prestasinya di sekolah memuaskan atau memprihatinkan, apakah ia telah mencapai sesuatu dalam hidupnya.

Di satu kafe di bawah rimbun pohon di Brunngasshalde, terdengar jerit pilu seorang lelaki yang baru saja membaca bahwa ia pernah membunuh orang, desah seorang perempuan yang menemukan dirinya pernah dipacari seorang pangeran, teriakan bangga seorang perempuan yang menyadari dirinya pernah menerima penghargaan tertinggi dari universitasnya 10 tahun lalu. Seiring waktu, Buku Riwayat Hidup itu menjadi demikian tebal sehingga tak mungkin lagi dibaca seluruhnya. Lalu, muncullah pilihan….

Para lanjut usia memilih membaca halaman awal agar dapat mengenali diri mereka dalam kemudaan. Beberapa orang memutuskan untuk sama sekali berhenti membaca. Mereka meninggalkan masa lalu. Apapun yang terjadi di hari kemarin, kaya atau miskin, terpelajar atau bodoh, congkak atau rendah hati, pernah kasmaran atau patah hati, tak lebih dari angin lembut yang menari-narikan rambut mereka. Merekalah orang-orang yang menatap tajam pada mata kita dan menggenggam tangan kita erat-erat. Merekalah orang-orang yang melepas kemudaan dengan langkah tanpa beban. Merekalah orang-orang yang telah belajar untuk hidup di dunia tanpa ingatan”.

Singkatnya, waktu adalah juga imajinasi. Dan salah-seorang fisikawan yang dikenal memiliki imajinasi yang kuat itu adalah Albert Einstein, hingga Lawrence M. Krauss, sang penulis Fisika Star Trek itu pernah berseloroh: “Sama seperti para pengarang, ia tak berbekal apa pun selain imajinasi”. Dalam hal inilah, sains dan sastra, sebagai contohnya, sama-sama dimungkinkan oleh rahim yang sama, yaitu imajinasi. Dan memang, Einstein pernah terus-terang berujar, “Imajinasi itu lebih penting ketimbang ilmu pengetahuan. Imu pengetahuan itu terbatas, sedangkan imajinasi mengelilingi dunia”.

*) Hak cipta ©Sulaiman Djaya (2015). Tulisan ini pernah dipublikasi Radar Banten, 31 Oktober 2015 dengan judul “Sains dan Puisi”.
https://sulaimandjayaesai.wordpress.com/2016/07/01/al-quran-sains-puisi-mimpi-einstein/


Karya yang Berselancar di Arus Zaman

$
0
0

Sabrank Suparno *

Manusia wajib menikahi zamannya, hidup satu rumah sebagai suami-istri. Sementara zaman sebagai pasangan, adalah sosok yang tak bisa tua, sedangkan manusia sosok yang terbatas usia. Lantas bagaimanakah pergolakan bathin menyikapi pasangan yang konstanta?

Manusia dalam pemahaman praktis paragraf di atas berposisi subyek utama entah menjadi suami atau istri. Begitu sebaliknya. Manusia dipahami utuh sebagai susunan organ fisik dan pisikis. Zaman pun lengkap dengan susunan ruang, menit, jam, mode, dekade dan peradaban. Keduanya, baik manusia atau zamannya dipahami sebagai sesuatu yang linier, meteriil-mekanik karena dihadapkan masa berlaku yang menerjang dan menggulung semua kisah.

Berangkat dari uraian di atas kita memasuki buku Antologi Cerpen Tragedi Kumbang Biru ini. Yakni munculnya pertanyaan dari kaum Pembelajar Jagat yang tergabung dalam UKPM (Unit Kegiatan Penalaran Mahasiswa) STIKP PGRI Jombang tahun 2017, satu unit kegiatan yang khusus bergerak di bidang kepenulisan dan penelitian. Sekitar 30 mahasiswa terkumpul dalam berbagai bidang kepanitiaan yang diketuahi Dian Puspita Anggraini dan dibimbing Aang Fatikhul Islam M. Pd. Pertanyaan seputar apa yang terjadi antara realitas dengan khayalan? Bahasa lain dari pertanyaan di atas adalah apa yang terjadi antara manusia dengan keadaan zaman? Untuk menemukan titik simpul jawaban pertanyaan di atas, kaum Eksperimentalis ini melempar thesis dengan mengadakan Lomba Menulis Cerpen Tingkat Mahasiswa Se-Jawa Timur. Supaya lemparan thesis terfokus, maka konsep analisisnya terbingkai dalam tema ‘Tragedi Kemanusiaan Di Generasi Alpha’.

Dalam sinopsis yang dipaparkan kaum Eksperimentalis selaku panitia bahwa penarikan batas (periodesasi) generasi Alpha didasarkan pada momentum bulan Mei ketika terjadi tragedi Trisakti. Di mana, tragedi Trisakti merupakan catatan sejarah tentang HAM, kekerasan seksual dan kepedulian feminisme gander. Generasi Alpha terlahir setelah generasi Z sekitar 1995-2010. Generasi Alpha diperkirakan menghuni zamannya dari 2010-2025. Otomatis generasi Alpha berada pada kondisi yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Kondisi yang memuat kenyaman, kelayakan beserta resiko keburukan ketika dihadapkan dengan produk budaya. Efek buruk yang oleh Afrizal Malna dalam Makalah Konggres Kesenian Indonesia III tanggal 1-5 Desember di Bandung disebut sebagai ‘hantu masa kini’.

Kenyataannya, generasi Alpha yang bertahta sekitar 2010-2025 dihadapkan pada produk budaya Mega Cyber. Sebuah media komunikasi sybernetik berbasis gelombang transversal-longitudinal yang dipancarkan satelit. Dari pesawat komersil luar angkasa ini kemudian membentuk berbagai-bagai jenis profider hardware-shoftware. Berikutnya munculah tekhnologi HP lengkap dengan menu Facebook, Line, BBM, Imo, WA, Bigo Live dll, beserta jalur rahasia group yang menyerupai lorong tikus. Aplikasi yang tiba-tiba tampil sebagai kebutuhan manusia terhadap zamannya. Kebutuhan yang dikonsumsi tanpa batas usia. Sementara ukuran perkembangan manusia dalam mengonsumsi media cyber dipengaruhi oleh batasan usia itu sendiri dalam memahami pergerakan zaman. Dari rahim kontroversi berbagai problematika zaman inilah yang coba disadap kaum Eksperimentalis untuk mengidentivikasi hantu masa kini melalui satu pintu metodologi karya sastra-dalam hal ini penulisan cerpen.

Berikut adalah beberapa judul cerpen dalam buku Antologi Cerpen Tragedi Kumbang Biru yang dianggap memenuhi kreteria lomba. Tentu saja sebelumnya melalui proses panjang seputar koreksi: Kesesuaian terhadap tema, Kelengkapan unsur instrinsik, Ketepatan menggunakan bahasa dan Amanat nilai yang terkandung. Cerpen Pelajaran Tentang Kumbang-Kumbang mengisahkan tokoh Nizam, pelajar yang menerima efek langsung dunia gawai. Cerita diawali ketika Nizam berkumpul dengan Mama-Papanya. Meski mereka berkumpul bertiga, tetapi masing-masing sibuk dengan benda kecil bernama HP. Bahkan berkomunikasi langsung sebagai manusia, sebagai anggota keluarga justru mengganggu kenyamanan orang tua ketika berkomunikasi dengan HP. Sebagai anak, Nizam menanyakan PR yang ditugaskan Pak Kus, guru Nizam. PR yang menanyakan apa bedanya Mama dengan Papa? Sulitnya Nizam mendapatkan jawaban tersebut bukan karena orang tuanya tidak mampu menjawab, melainkan tidak sempat karena sibuk dengan HP. Meski pada akhirnya Nizam mendapatkan jawaban yang tak terduga dari Mamanya. “ Sayang, hanya orang kampung yang membedakan Mama dengan Papanya. Hanya mereka yang menganggap Papa bekerja sedang Mama sibuk di dapur. Kita ini orang kota! Jawaban ini belum tuntas karena Mamanya tiba tiba mengakat kontak HP dari relasi kerja. Peristiwa ini disimpulkan Nizam ketika menjawab pertanyaan ulang dari Pak Kus dalam kelas esok harinya. Nisam pun menjawab, “Tak ada bedanya Pak ! Papa bersekolah tinggi, Mama juga boleh. Papa sibuk dengan urusan kerjaan, Mama boleh juga. Kini, Mama dan Papa setara, keduanya boleh pulang sampai larut malam dengan alasan karier. Dan itu berlangsung terus menerus Pak.” Atas jawaban tersebut, Nizam mendapat hadiah cokelat dari Pak Kus.

Tragedi berikutnya yang dialami Nizam adalah memecahkan teka-teki dari Pak Kus untuk menjawab apa persamaan antara Kumbang dengan Bunga? Pertanyaan yang berbuntut dialog antara Pak Kus dengan Nizam seputar dunia HP. Nizam mengaku kalau suka bermain smartphone dan memainkan game C-O-C. Berawal dari pengakuan itulah Pak Kus kemudian menjanjikan permainan yang lebih menarik, yakni Poke Go. Setelah download Poke Go, Nizam pun memainkan aplikasi tersebut ketika jam istirahat di sekolahnya. Lebih seru dan menegangkan dari pada C-O-C. saking serunya hingga pada batas metabolisme tubuh bahwa Nizam kebelet pipis. Bertemulah Nizam dengan Pak Kus di WC sekolahan. Pak Kus pun menyanggupi Nizam ke permainan yang lebih seru dari Poke Go. Nizam sangat tertarik hingga rela melakukan apapun agar Pak Kus memberi tau permainan tersebut. Saat itulah Pak Kus menyuruh Nizam melepas baju dan celana dalamnya sebagai syarat pemberitahuan permainan baru tersebut. Terjadilah seks oral yang dilakukan Pak Kus terhadap siswinya.

Tragedi atau apa yang disebut hantu zaman gadget ditemukan penulis cerpen ini secara sederhana. Peristiwa yang sangat dekat dengan keseharian dan berhubungan dengan orang orang sekitar hanya karena aplikasi HP. Peristiwa yang merusak anak sejak usia dini sebagai generasi zaman. Cerita yang merekam salah satu peristiwa dari bermacam berita fakta sejenis. Misal ditemukannya kasus siswi SMP yang melayani seks oral pada teman laki-lakinya di WC sekolahan dengan imbalan uang yang tarifnya ditentukan. Hasil uang tersebut dipakai mengisi pulsa paketan karena siswi ini ketagihan game internet yang digemarinya. Atau fitur game lainnya yang digemari anak anak usia SD. Game yang secara tidak langsung membentuk karakter anak bermental brutal. Bahkan menurut beberapa pengamat terselip juga game perang di lorong-lorong bangunan dan menghancurkannya, sementara bangunan tersebut prototype Ka’bah. Dan tragedi semacam ini tidak dialami oleh generasi sebelumnya.

Cerpen berikutnya yang dianggap sesuai dengan tema adalah Buku Biru. Pergolakan cerpen Buku Biru tersusun berdasarkan kesibukan manusia akibat tuntutan dunia modern. Tokoh utama kedodoran karena tidak mampu memenejemen waktu hingga terjebak kesibukan. Kengenasan seorang ibu yang sangat ironis karena dihadapkan pergolakan bathin pada tokoh anaknya yang telah mati. Kengenesan ini muncul tiap kali ia membuka Buku Biru yang berisi catatan harian anaknya yang disuguhkan dalam bentuk potongan teks per-catatan. Berikut slide teks dalam cerpen Buku Biru:

11 Januari 2016.
aku bingung. Mamaku selalu menangis tiap malam. Aku mendengar Papa berteriak-teriak tengah malam. Aku ingin keluar untuk melihat, tetapi aku takut.

20 Februari 2016.
Papa sudah dua minggu tidak pulang. Aku tidak tau. Tapi kata Mama, Papa sudah tidak lagi tinggal bersama kami. Mama bilang kalau mereka sudah bercerai. Aku ingin bertanya, bercerai itu apa? Kenapa Papa tidak boleh tinggal bersama kami? Tapi aku tidak berani menanyakan. Jadi aku diam saja.

27 Oktober 2017.
Mama orang sibuk. Setelah ditinggal Papa, Mama semakin sibuk, aku semakin jarang dengannya. Aku tidak tau Mama pulangnya jam berapa. Pokok aku selalu sudah tidur sebelum Mama pulang…

18 Maret 2017.
Si Puti, kucing kesukaanku mati tenggelam di kolam renang. Aku menelpon Mama di kantor, menyuruhnya pulang. Tapi kata sekretaris, Mama sibuk rapat dan tidak bisa diganggu.

17 Mei 2017.
Hari ini aku ulang tahun. Tahun kemarin Mama dan Papa tidak mengucapkan ulang tahun padaku. Aku harap tahun ini Mama mengingatnya. Kata Mama hari ini ia libur. Aku yakin, Mama pasti membuat kado kejuatan buatku. Aku sudah mendaftar kegiatan hari ini. Menonton televise, mengerjakan PR, bermain boneka, tidur siang sama Mama. Pasti akan sangat menyenangkan.

Dari catatan harian itulah seorang ibu tau kalau Dinda anaknya mati tersengat listrik saat menyolok cop kabel televisi. Colokan yang semestinya dilakukan oleh sang Ibu karena sudah janji menemani anak seharian tapi diremehkan. Sang Ibu baru sadar kalau kesibukannya telah mencuri tanggungjawab terhadap anaknya. Kengenasan yang lebih tragis sebagai hukuman. Sebab hukuman penjara ada batas waktunya, tetapi dihukum kesalahan hingga merenggut nyawa anak merupakan kematian sebagai terdakwa sepanjang sisah hidupnya.

Selain dua cerpen di atas, tidak semua alur cerita disusun berkaitan dengan gadget dan setting latar modernisme. Ada beberapa cerpen yang menitikberatakan klimaks pada pergolakan fisik. Kritik terhadap ketimpangan sosial. Bukan kritik individu. Namun alur cerita demikian setara realitas yang menimpa hilangnya penyair Widji Thukul, Udin wartawan Bernas, serta Marsinah aktivis buruh. Alur yang sering muncul di sinetron atau media maya. Alur yang datar karena penulisnya memakai bacaan yang sama, yakni sinetron dan internet. Kwalitas cerpen yang standar menjadi bahan banding tersendiri dalam kajian sastra. Sebab jika kadar imajenial cerita lebih rendah, atau hanya setara dengan berita fakta maka nasib sastra terbukti yang dikatakan Arthur Danto ketika diwawancarahi Irene Caesar tentang kondisi seni era modern ini-dalam hal ini seni sastra-dalam hal ini sastra jenis cerpen ‘akan mati’ dan tidak diminati pembaca jika tidak berjarak dengan realitas. Bagi Danto, yang disebut realitas harus tersusun berdasarkan imajinasi yang dekat dengan seni. Lalu muncul pernyataan hidup tanpa seni menjadi barbar. Atau apa yang disetujui Adonis bahwa sastra bukanlah realitas. Sastra adalah gambaran tentang realitas itu sendiri. Yang bisa kita lengkapkan bahwa sastra tidak sekedar gambaran tentang realitas, lebih dari itu sastra adalah gambaran yang membenahi realitas.

Membaca keseluruhan cerita yang terkumpul dalam Antologi Cerpen Tragedi Kumbang Biru ini membuka jendela kajian kita. Bahwa karya para mahasiswa ini bukan sekedar dilombakan dan berujung pada kalah atau menang. Melainkan analisa panjang seberapa cermat generasi Alpha di era millenia ini mampu menyelamatkan penghuni zamannya. Mampu berselancar di arus zaman agar tidak tenggelam. Mampu mengembalikan hilangnya entitas manusia ketika dua atau lebih bertemu tetapi saling tidak tertarik sebagai manusia. Manusia yang duduk bersama tapi masing-masing tertarik dengan benda(hp). Kebersamaan manusia yang seharusnya berkomunikasi langsung dalam realitas, tapi memilih bermain HP yang khayalan. Manusia yang kehilangan citra khususnya sebagai manusia dalam pandangan manusia lain.

*) Sabrank Suparno, menulis esai, puisi, cerpen dan cerkak bahasa Jombangan. Peserta Temu Sastra Jawa Timur 2011. Penerima Tali Asih Gubernur dan Dinas Pariwisata Budaya Jawa Timur 2014. Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jombang (Dekajo) 2017-2021. Tinggal di Dowong Plosokerep RT/RW: 08/02 Sumobito-Jombang. Sekarang aktif menjadi petani ini.

Panggil Aku Drupadi

$
0
0

Jihan Fauziah *

Perkenalkan, namaku Drupadi. Ibuku yang memberi nama. Wanita itu, begitu mengidolakan sosok perempuan yang tangguh dengan lima suami.

“Aku tak setuju poligami, tapi aku suka keberanian Drupadi untuk poliandri. Maka, kuberi nama anakku Drupadi,” begitu Ibu menegaskan.

Aku gadis jawa, jangan tanya agamaku karena aku meyakini semua agama itu baik. Silahkan jika kalian tak setuju, aku percaya Tuhan tapi perbedaan membuatku runtuh.

Aku mewakili ibuku atas sakit hatinya masa lalu. Tentang kebijakan poligami yang dilakukan Ayahku. Sebagai anak seorang Pendeta, Ibuku percaya bahwa setia sehidup semati pada satu orang adalah hukum Tuhan yang tertuliskan.

Ayahku meninggal ketika usiaku tiga tahun. Ibuku baru tahu, dia isteri kedua, lima jam setelah aku lahir. Sedatail itu Ibuku mengamati gerak waktu. Perempuan itu datang untuk mengucapkan selamat pada Ibuku.

“Seketika hati ibu hancur, tapi apa daya ketika nasi sudah menjadi bubur, hanya kamu kebahagiaan yang Ibu punya kala itu,” ceritanya pada satu waktu.

Ibu mengenal Ayah sebagai lelaki miskin yang begitu cerdas dalam bertutur. Waktu itu, Ayah bekerja sebagai pelatih driver mobil dan seminggu sekali melatih Ibu sampai mahir. Ibu tak mau pelatih yang lain kecuali Ayah.

Ayah orang yang menarik, cerdas, dan juga pandai bermain gitar. Ibu terkesima dibuatnya. Ayah memberanikan diri untuk melamar setelah Ibu bersedia masuk Islam. Kakek menentang keras perkawinan Ayah Ibu. Mereka menikah tanpa restu pendeta itu.

Ibuku tak kalah cerdas dengan Ayah. Sebagai pelatih piano yang belajar sampai ke Jerman, Ibu terkesima pada permainan gitar Ayah yang tak pernah mengenyam pendidikan musik secara formal. Cinta mereka mengalir begitu saja. Pikir Ibu ini adalah cerita cintanya yang terindah.

Sosok ideal menemani disampingnya kala luka dan bahagia. Siapa sangka, kebahagiaan itu seketika sirna. Ayah meminta ijin isteri tuanya agar tinggal bersama. Bagaimana bisa itu bisa disembunyikan begitu rapi? 30 bulan usia pernikahan mereka. 14 bulan usia pernikahan Ayah dan Ibu.

Ibu marah. Tangisnya pecah sambil memelukku lembut sebagai tumpuan harap yang tak surut. Ibu bilang, namaku Drupadi sebenarnya tak berharap aku akan melakukan poliandri seperti dalam kisah Mahabarata yang begitu melegenda. Ibu ingin aku menjadi berani sebagai wanita.

“Pada kenyataannya, tak ada seorangpun Pandhawa yang mampu menolong Drupadi kala Kurawa menjadikan perempuan itu pesta semalamnya, kamu harus bisa kuat berdiri, anakku,” aku masih ingat nasihat Ibu.

Aku tidak akan pernah lupa kisah Drupadi melawan suratannya. Kainnya yang tak habis, melindunginya dari nafsu bejat Dursana. Kemana Arjuna, Bima, Yudhistira, Nakula dan Sadewa?

Kau simak cerita mereka? Pandhawa kalah dalam petarungan dadu. Yudhistira mempetaruhkan semua adikknya bahkan dirinya sendiri sudah tidak ada harganya. Masih bisa mengajukan Drupadi sebagai bahan taruhannya?

Namaku Drupadi, aku tak ingin menjadi bola dalam permainan lelaki. Mana yang benar mana yang salah, wanita juga harus punya tempat yang semestinya. Tiada kata bijaksana ketika kesemuanya hanya penuh duga.

Kini aku beranjak dewasa. Pesan Ibu terahir sebelum meninggalkan dunia, “Aku harus berani berdiri di kaki sendiri, pria yang datang padaku suatu hari nanti, tak patut menjadi tempat bergantung dan jangan sampai kau jadi alas yang bisa diinjak kapan saja. Jadilah Drupadi, Drupadi yang kuat dan teguh dengan keyakinannya berdiri,”

Katanya dalam surat itu, aku akan tahu sosok Drupadi yang sesungguhnya. Kulewati jalanan aspal yang meliukan fantamorgana. Bus kota dan truk-truk besar saling bersalip. Kuputar musik-musik Dave Coz favorit Ibu untuk menemani perjalananku.

Empat jam sudah aku mengambang di jalan. Masuk di Kabupaten Madiun, mencari desa Sukorejo untuk menemukan Pak Aman. Aku tak mengerti kenapa separuh harta kepemmilikan Ibu harus dibagi dengan lelaki itu.

Rumah joglo bercat putih itu begitu asri dengan pohon mangga yang lebat begitu rimbun membuat sejuk rumah itu. Setelah bertanya pada banyak orang, aku yakin rumah Pak Aman disini.

Kuketuk pintu berhalahan, Pak Aman keluar dengan mengendong balita tiga tahunan.

“Saya Drupadi, putri dari Ibu Srikandi, ingin bertemu Pak Aman, untuk menyampaikan surat dari Ibu yang dibuat sebelum meninggal,” kataku menjelaskan di awal.

Mata Pak Aman berbinar. Menatapku dengan penuh tegang. Diturunkan anak keci yang dikendongnya. Spontan aku dipeluknya tanpa kusempat menghindar. Bau asamnya menyusup ke hidungku.

“Drupadi,” serunya sambil menggoyang-goyangkan lenganku.

Aku hanya menunduk heran. Setengah takut. Akhirnya kuputuskan untuk tersenyum kecut.

“Kau tampak dewasa. Ibumu sudah lama meninggalnya?”

“Tiga minggu lalu,” lidahku kelu.

“Dia tak pernah cerita tentangku?”

Aku menggeleng ragu.

“Aku Ayahmu, Ayah tirimu. Bocah ini, ini keponakanmu. Cucu Ibumu. Sudah lama kutunggu Ibumu disini. Adakah warisan yang ditinggalkannya untuk anak-anaknya disini?”

Aku, tak tau harus berkata apa.
***
_____________________
*) Jihan Fauziah, mantan wartawan Tempo.

Budaya Tradisi Selamatan

$
0
0

Tulus S *

Upacara tradisi selamatan (slametan) ataupun gelar sesaji (sajen) bagi masyarakat Jawa seakan sudah menjadi pola kehidupan yang biasa dilaksanakan. Walau hal tersebut mengalami sebuah pergeseran bahkan pertentangan karena adanya sebuah perubahan dan pengaruh dari budaya luar. Sejak manusia Jawa lahir sudah diperkenalkan dengan tradisi-tradisi selamatan. Mulai dari kelahiran (brokohan, sepasaran, piton-piton, selapan, setahunan), anak-anak (tetakan/khitanan), upacara perkawinan, masa kehamilan, sampai dengan kematian. Begitu pula dalam pola tradisi kehidupan masyarakat Jawa seperti pindah rumah, membuat rumah, tardisi bersih desa/nyadran, upacara-upacara di Keraton dan masih banyak lagi. Hampir perilaku atau kegiatan yang akan dilakukan oleh masyarakat Jawa tidak lepas didahului dengan tradisi selamatan.

Dalam rangka mencapai alam adikodrati, orang Jawa melakukan berbagai tindakan supranatural. Tindakan tersebut dilaksanakan melalui proses mistik. Dimana mistik merupakan proses pencermatan dunia batin, agar mampu memasuki dunia lain. Jika alam adikodrati itu bersifat abstrak, maka untuk masuk kesana juga perlu sikap abstrak pula yaitu secara mistik.

Proses mistik ada dua macam, yaitu: (1). Mistik yang dilakukan oleh perorangan. (2). Mistik yang dilakukan secara berkelompok. Pada umumnya, sistem mistik orang Jawa dilakukan secara berkelompok sehingga muncul berbagai aliran yang berbentuk paguyuban, organisasi dan perguruan. Berbagai aliran penghayat mistik ini mempunyai keyakinan yang berbeda-beda terhadap hal yang dianggap gaib. Namun pusarannya tetap sama yaitu penghormatan terhadap roh atau yang gaib di alam adikodrati.

Selamatan (slametan) yang biasa dilakukan oleh orang Jawa, merupakan adat yang tidak bisa dilepaskan dengan akar sejarah kepercayaan-kepercayaan yang pernah dianut oleh orang Jawa .Aktifitas selamatan bertujuan untuk memperoleh keselamatan bagi pelakunya itu pada mulanya bersumber dari kepercayaan animisme-dinamisme, kepercayaan yang dianut oleh nenek moyang orang Jawa yang menganggap bahwa setiap benda itu punya roh dan kekuatan tertentu. Dari kenyataan ini manusia pada awalnya merasa tidak berdaya, kemudian meminta perlindungan kepada sesuatu yang memiliki kekuatan lebih, yang disebut dengan roh-roh dan kekuatan-kekuatan yang ada pada benda-benda tertentu. Kegiatan yang berupa permohonan untuk suatu keselamatan itu kemudian disebut dengan “selamatan”. Jika pada masa animisme-dinamisme disebut nama-nama roh dan kekuatan tertentu kemudian pada masa Hindu-Budha diganti dengan nama-nama dewa-dewi, dan setelah kedatangan Islam diganti dengan nama-nama Allah, Muhammad, dan para keluarga Nabi serta para sahabatnya dan prinsip-prinsip Islam.

Dalam sudut pandang ontopologi, hakikat dari keselamatan yaitu sebagai wujud syukur, untuk mendapatkan berkah, selamat dan terhindar dari cobaan yang berat, mendoakan orang yang meninggal, sebagai rasa syukur, kehidupan masyarakat aman dan tenteram, terjaga dari malapetaka dan juga berfungsi sebagai (tolak balak). Secara ontologi selamatan mengandung unsur-unsur realisme, naturalisme, dan empirisme. Unsur realisme dalam selamatan yaitu tradisi yang dilakukan oleh masyarakat untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan untuk menjalin sikap kekeluargaan terhadap masyarakat. Misalnya setiap hari kamis malam jumat, masyarakat melakukan pengkajian “Yasinan atau Tahlilan”.

Unsur naturalisme dalam selamatan yaitu menggunakan alam sebagai wujud syukur .Misalnya sesajen sedekah laut yang dilakukan masyarakat berbondong-bondong, upacara metri desa atau bersih desa dan lain-lain .Unsur empirisme dalam selamatan yaitu rasa bersyukurnya masyarakat kepada Tuhan. Dalam sudut pandang aksiologi, yaitu nilai kekeluargaan dan nilai kebudayaan Hindu dan Islam. Dalam nilai kekeluargaan dalam selamatan yaitu untuk menyambung hubungan kekeluargaan agar menyebabkan rasa kekerabatan antar masyarakat menjadi erat.

Sedangkan kebudayaan Hindu dalam keselamatan lebih cenderung ke mantra-mantra dan pujian terhadap dewa-dewa saat melakukan ritual, sedangkan kebudayaan Islam saat melakukan selametan lebih cenderung pada doa-doa yang sesuai dengan ajaran agama Islam, misalnya dzikir, membaca bismillah, tahlil dan atau yasinan. Hal ini menyebabkan sebuah alkuturasi budaya yang sangat unik. Selain itu, saat masa Hindu selametan merupakan yang bernilai ritual, yang diadakan pada petang hari di antara kaum lelaki mereka menikmati hidangan yang disajikan di atas lembaran daun pisang berupa nasi kuning, dan bertujuan untuk menjinakkan roh yang dianggap hadir. Bila roh itu sudah jinak maka seorang yang ikut selametan sudah di anggep “selamet”. Dalam Islam selamatan merupakan makan bersama yang mengundang masyarakat sekitar umumnya laki-laki, dengan doa. Hidangannya berupa nasi tumpeng dan bertujuan untuk kerukunan dan ketenteraman serta dengan berharap mendapatkan berkah dari Allah serta bersyukur atas nikmat yang diberikan kepada Allah.

Clifford Geertz merupakan seorang peniliti yang memberikan sumbangan besar terhadap sejarah peradaban Jawa, khususnya yang berlaku di daerah Mojokutho, Kediri Jawa Timur. Beliau mengutarakan pendapatnya mengenai arti selamatan dalam bukunya “ Agama Jawa “ ;Abangan, santri, Priyayi dan Masyarakat Jawa. Geertz (1981;13) mengatakan bahwa selamatan upacara keagamaan yang paling umum di dunia. Namun istilah selamatan hanya ditujukan untuk upacara keagamaan khusus bagi orang Jawa. Selamatan dalam budaya Jawa melambangkan kesatuan mistik dan sosial. Karena kesatuan itulah banyak pihak yang terlibat dalam upacara keagamaan ini, meliputi handai taulan, tetangga, rekan kerja, kelurga, sanak saudara, arwah setempat dan unsur-unsur lain. Jadi berdasarkan makna ini dapat diambil kesimpulan bahwa selamatan tidak ubahnya sebuah pesta. Hanya saja saja pesta itu dilakukan untuk tujuan serta harus mengikuti tata cara tertentu.

Menurut Rezim (2015;83) bahwa kata selamatan berasal dari kata slamet yang berarti selamat, bahagia, sentosa. Adapun makna dari selamat adalah keadaan lepas dari insiden-insiden yang tidak dikehendaki. Berdasarkan makna ini maka selamatan dapat diartikan sebagai kegiatan masyarakat Jawa yang biasanya digambarkan sebagai pesta ritual, baik upacara di rumah maupun desa atau bahakan skala yang lebih besar.

Slametan merupakan hasrat mencari keselamatan dalam dunia yang kacau. (Mulder;2013;136). . dijelaskan pula bahwa kegiatan tersebut tidak ditujukan bagi sebuah kehidupan yang lebih baik, kini maupun di masa mendatang tetapi lebih ditujukan untuk memelihara tatanan dan mencegah datangnya bala. Juga terlihat bagaimanapun bahwa manusia memegang peran aktif dalam memelihara tatanan ini dan mampu mempengaruhi arahnya. Hubungan sosial yang tertata baik menjadi sebuah sarana menuju dan sebuah kondisi untuk meningkatkankeadaan selamat.

Pergeseran tata laksana selamatan yang terjadi sekarang ini bisa berpengaruh terhadap nilai atau makna dari inti selamatan itu sendiri. Hal tersebut dikarenakan masyarakat Jawa sekarang sudah tidak tahu ataupun tidak mau tahu tentang inti ajaran selamatan tersebut. Di kampung, saya sering melihat pergeseran nilai terjadi pada ubarampe (sesaji/peralatan) yang digunakan dalam upacara selamatan (slametan) tersebut. Misalkan selamatan orang mati yang punya hajat tidak mengeluarkan sesaji atau ubarampe yang utama (baku) sebagai persyaratan upacara selamatan yang disebut ambeng. Mereka hanya memberikan berkat yang sudah diwadahi (dikemas) dalam bakul nasi dari plastik atau besek kepada para undangan untuk dibawa pulang. Saya kadang bertanya apa bedanya peringatan ulang tahun dengan tardisi selamatan ?. Disini pemahaman masyarakat sudah mulai luntur karena memang tidak mengetahui makna yang tersirat dalam simbol-simbol ambengan yang merupakan syarat baku dalam tradisi selamatan.

Pengenalan makna tradisi selamatan yang hanya pada kulitnya saja berpengaruh terhadap pola pikir generasi berikutnya. Mereka lebih menghendaki pola hidup yang dianggap praktis dan tidak mau ribet. Padahal bila digali lebih mendalam budaya peninggalan warisan leluhur berupa selamatan ini merupakan modal sosial dan memiliki nilai yang sangat besar bagi terciptanya kebersamaan, kekeluargaan, gotong-royong, guyub-rukun, saling mengharagai dan menghormati. Hal ini bisa dilihat dalam ajaran Memayu Hayuning Bawana yang meletakan dasar kehidupan manusia Jawa pada pola kehidupan bermasyarakat di dunia.

Sesaji atau sajen jika dipandang sebagai persepektif agama Abrahamisme, kadang dianggap berkonotasi negative, sebagai biang kemusryikan (persekutuan Tuhan). Yang menjadi masalah, asumsi itu terjadi karena masing-masing pihak sering tidak paham pada esensi hidup. Benarkah manusia menyekutukan dan menduakan Tuhan melalui upacara sesaji ini? Seyogjanya jangan terjebak oleh keterbatasan akal budi dan nafsu golek menange dhewe (mencari menangnya sendiri) dan golek benere dhewe (mencari kebenarannya sendiri). Maksud sesaji sebenarnya merupakan suatu upaya harmonisasi, melalui jalan spiritual yang kreatif untuk menselaraskan dan menghubungkan antara daya aura magis manusia, dengan seluruh ciptaan Tuhan yang saling berdampingan di dunia ini, khususnya kekuatan alam maupun makhluk ghaib. (Suwardi;2014;127).

Dijelaskan pula bahwa sesaji merupakan harmonisasi dalam dimensi horizontal terhadap sesama makhluk ciptaan Tuhan. Harmonisasi diartikan sebagai kesadaran manusia. Sekalipun manusia dianggap (menganggap diri) sebagai makhluk paling mulia, namun tidak ada alasan untuk mentang-mentang merasa diri paling mulia diantara makhluk lainnya. Karena kemuliaan manusia tergantung dari cara memanfaatkan akal budi dalam diri kita sendiri. Bila akal budi digunakan untuk kejahatan, maka kemuliaan manusia menjadi bangkrut, masih lebih hina sekalipun dibanding dengan binatang paling hina.

Sesaji dan ubarampe di dalam selamatan sebenarnya merupakan pengaruh dari tradisi lokal (Jawa) dan Hindu, Buda termasuk animisme dan dinamisme, yang sudah ada jauh sebelum kedatangan Islam. Namun setelah Islam masuk maka kebudayaan itu mengalami pembauran lagi yang oleh para ilmuwan dinamakan sinkritisme. Sesaji ataupun ubarampe merupakan produk alkuturasi budaya, maka selamatan dapat digolongkan salah satu bentuk alkuturasi antara agama dan budaya lokal.

Terlepas dari dilaksanakan atau tidaknya sebuah tradisi selamatan kiranya masyarakat Jawa perlu belajar untuk mengetahui ajaran-ajaran yang diberikan para leluhur lewat upacara tradisi termasuk ubarampenya (perlengkapan;sesaji). Bahkan dengan adanya pengaruh agama tertentu tardisi-tradisi yang menyuguhkan berbagai macam sesasji dianggap syirik, dianggap dosa, dianggap bersekutu dengan setan dan lain sebagainya. Tentu itu tidak beralasan. Mereka yang beranggapan seperti itu karena tidak memahami tentang simbol-simbol tersebut dan bisa juga dipenuhi watak egoisme yang berlebihan. Ubarampe sesaji tidaklah lain sebagai ajaran yang luhur yang penuh dengan peradaban dan etika.

Permohonan yang tulus dan sumendhe (pasrah) kepada Tuhan sebagai manisfestasi rasa keihklasan untuk memberikan sebagian yang dimiliki kepada orang lain. Berbagi rasa baik kesedihan, kesenangan, kebahagiaan merupakan bagian dari tradisi selamatan . Hal itu ditunjukkan dengan adanya upacara selamatan kematian, upacara selamatan perkawinan, upacara selamatan syukuran dan lain-lain. Masyarakat Jawa yang masih menganut tradisi selamatan ataupun yang setengah-setengah tentu tidak merasa terbebani dengan mengeluarkan sebagian hartanya untuk berbagi kepada yang lain lewat tradisi selamatan. Keihklasan itulah yang bisa memberikan rasa ayem tentrem sebagi hasil dari perbuatannya itu.

Menurut waktu pelaksanaan bahwa selamatan bisa diadakan pada waktu ; (1).Malam hari sebagai contoh selamatan kematian (ngintun leluhur), selamatan manggulan (menyambut upacara perkawinan). (2). Siang hari misalkan selamatan bersih desa, nyadran, methil (pethik padi), kelahiran dan lain-lain. (3) Ada selamatan yang berdasarkan penanggalan baik itu dilaksanakan pada siang hari atau malam hari, misalkan; tiron-tiron (memperingati hari kelahiran), maleman (memperingati penyatuan hitungan perkawinan yang pelaksanaannya dibarengkan dengan 10 terakhir hari puasa Ramadlan; misal malem 21, malem 23, malem 23 dan malem 29), Selamatan Suro’an (menyambut malam satu syuro) dan lain-lain.

A. Nilai Keselamatan Manusia Jawa

Kita sering mendengar ungkapan suwargi merupakan kalimat yang dipakai untuk mengawali nama atu sebutan orang yang sudah meninggal dunia. Misalkan suwargi Rama Dirun, Suwargi Mbah Suto, Suwargi Eyang dan lain lain. Hal ini manusia Jawa berpikir bahwa orang yang telah meninggal dunia berada pada tempat yang menyenangkan, tempat yang tentram dan bahagia karena kata suwargi atau suwarga memiliki makna leksikal surga. Tidak mengherankan jika manusia Jawa mempunyai gegayuhan (cita-cita) ingin berjumpa atau bersatu dengan Tuhannya.

Hal ini sering kita dengar dalam pidato pada upacara kematian yaitu kondur ing alam kelanggengan (pulang ke alam abadi), wangsul dhumateng pangayunanipun Gusti (pulang kepangkuan Tuhan), mulih marang mulanira (kembali kepada asalnya), tinimbalan Gusti (dipanggil Tuhan). Pada nilai religious budaya Jawa nilai keselamatan berdimensi duniawi dan surgawi atau akhirati. Maksudnya manusia Jawa selalu mencita-citakan, mendambakan dan mengharapkan keselamatan baik pada hidup didunia maupun hidup sesudah mati. Upacara tradisi selamatan orang meninggal menggambarkan sebuah cita-cita menuju pada keselamatan dunia maupun akhirat. Dalam serat nitisruti (1994;10) ditegaskan bahwa keselamatan dunia perlu dijunjung tinggi (widada ing kadunyan supadi, bangkit dadya ruhuning jagad, mrih kaprapatan sakajate), sedangkan dalam siklus slametan diisyaratkan bahwa keselamatan sesudah hidup di dunia perlu diutamakan. (Saryono D,2011;50).

Konsep slamet; sugeng; rahayu; widodo; basuki menjadi hal yang penting bagi kehidupan manusia Jawa. Tingkah laku, solah bawa, tindak-tanduk, pangucap , adat (tindakan, perbuatan, kelakuan, ucapan, tradisi) selalau dalam rangka mewujudkan keselamatan dunia (memayu hayuning bawana). Situs slametan (selamatan) sering disebut sugengan atau wilujengan. Sehingga slametan orang mati pada umumnya untuk mengirimkan doa (kirim donga) bagi orang Jawa yang sudah meninggal agar slamet di alam sesudah mati. Pengharapan keselamatan tersebut dilantunkan oleh pembawa doa (modin;kyai;sesepuh) dalam bentuk ujub.

Doa harapan tersebut kurang lebih sebagai berikut……..padhanga dalane, jembar- kubure, tinebihna ing neraka cinelakna surgane…… (semoga terang jalannya, luas tempatnya, jauhkan dari neraka dan ditempatkan pada surga….). Disamping itu ucapan muga-muga (mugi-mugi) Gusti paring keslametan, nyuwun slamet, nyangoni slamet, ngaturaken kasugengan, sluman slumun slamet, basuki langgeng, rahayu menunjukkan aktualisasi dan artikulasi nilai keselamatan yang rohaniah, spiritual, dan transendental; bukan sekedar jasmaniah, sosial dan sekuler.

Begitu pula bila orang Jawa ketemu akan menanyakan keselamatannya’ sebagai berikut’; “ sugeng rawuhipun” kemudian dijawab “ awit pangestunipun sadaya sami rahayu”. Kata “rahayu” yang menjadi salam dari para penganut Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa juga masyarakat Jawa merupakan sebuah doa tentang harapan keselamatan. Ketika penulis belajar pada Padepokan Gerinda Pancasila Mawahyu Buwana milik Romo Wisnoe Wardhana bahwa dalam kelompok tersebut telah mempunyai salam yang unik, yaitu “Hong Hulun Basuki Langgeng” kemudian dijawab “Basuki Langgeng”. Makna dari salam tersebut juga harapan tercapainya sebuah nilai keselamatan, baik di dunia maupun di alam setelah kematian.

Penting dan berartinya nilai keselamatan yang rohaniah, spiritual, profesis dan transendental juga ditegaskan oleh banyak kitab mujarobat, primbon, serat, suluk dan babad. Misalnya Mojarobat Kesembuhan, Primbon Betaljemur Adamakna, Primbon Ajimantrawara, Primbon Yogabrata, Primbon Rajahyogamantra, Serat Wedhatama, Serat Centhini, Suluk Saloka Jiwa, Suluk Pesisiran, Suluk Wragul, Suluk Tuhu Linglung, Suluk Besi, Suluk Jalma Lewi, dan Suluk Selobrangti dan Babad Demak. Selain itu penting dan berartinya keselamatan bagi manusia Jawa juga tampak pada berbagai wejangan (wewarah) dan larangan (pepacuh) serta pantangan Jawa (wewaler) yang dimaksudkan sebagai tuntunan menuju keselamatan. (Saryono;2011;51). Sejalan dengan pendapat Pugiarto (1993;19) dapat dikatakan disini bahwa keselamatan atau slamet (sugeng) merupakan puncak kriterium keberhasilan masyarakat atau manusia Jawa.

Keselamatan menjadi hal pokok dalam pola hidup manusia Jawa. Dalam Serat Mega Mendhung (Tejasusastra;1970;43) tertulis; marmanira kudu bangkit, anyingkiri kabeh patrap, ingkang anyimpang karahayon, mrih lestari kaayoman, wahyuning kayuwanan, ayem tentrem tumaruntun, anak putu katumusan. Maksudnya adalah manusia harus bangkit, menghindari segala tindakan yang menyeleweng, agar selalu terlindung, sebuah kekuatan/keselamatan, kedamaian ketentraman sampai kepada anak-cucu dan keturunannya. Ini adalah pokok ajaran manusia Jawa yang selalu menekankan pada sebuah pola perilaku yang baik untuk mencapai sebuah nilai keselamatan.

Menurut Serat Jatimurti (1980;11-18) manusia yang selamat dan sempurna dalam pertemuan dan atau persatuan persaksian atau wujud dengan Tuhan yang Maha Esa adalah manusia yang mampu mencapai keadaan atau kehidupan sejati atau ultim (kahanan jati, alam kejaten). Disini manusia selalu diliputi rasa tentram, bahagia, nikmat, dan bermakna; terbebas dari penderitaan, kesengsaraan, dan kejahatan.

Jalan penyatuan kepada Tuhan atau berusaha bertemu dengan Tuhan melalui berbagai macam jalan, misalnya mistik atau tasawuf dan kepercayaan-kebatinan. Intisari ajaran mistik kejawen adalah kemanunggalan manusia dengan Tuhan. Cara kemanunggalan ini diwujudkan dalam bentuk kepatuhan, pasrah (sumendhe), dan narima ing pandum. Menurut budaya Jawa bahwa manusia yang sanggup bertemu bahkan bersatu (manunggal) dengan Tuhan adalah manusia yang selamat dan sempurna.

Nilai keselamatan akan lebih lengkap bila didukung oleh nilai kesempurnaan. Dikatakan demikian karena karena manusia Jawa yang memiliki kualitas kesempurnaan secara relatife mencapai manusia yang selamat. Ngelmu slamet akan mudah diproleh oleh manusia yang selalu ngudi kasampurnan dan mencapai nilai kasampurnan itu. Kesempurnaan yang dimaksud adalah wikan sangkan paran, mulih mula mulanira, manunggal, sebagai ciptaan kembali kepada Sang Pencipta.

Manusia dikatakan menjadi manusia yang sebenarnya apabila ia menjadi manusia yang etis yakni manusia yang secara utuh mampu memenuhi hajat hidup dalam rangka mengasah keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan sosial, antara rohani dan jasmani, antara makhluk berdiri sendiri dengan khaliknya. Hal ini dikarenakan hidup manusia mempunyai tujuan terakhir, yang baik dan tertinggi dalam rangka mendapatkan kebahagiaan sempurna.

Nilai keselamatan dariapada nilai religi Jawa adalah berdimensi duniawi dan surgawi atau akherat. Makdsudnya manusia Jawa secara lahir maupun batin menghendaki adanya keselamatan dari hidup (berada di dunia) sampai dengan mati. Ucapan, tindakan, perbuatan, dan perilaku simbolis dan ritual manusia Jawa selalu dalam rangka (memperoleh) slamet (keselamatan). Dalam sebuah pengertian memayu hayuning bawana tidak hanya mencari sebuah keindahan dalam mencari keselamatan di dunia atau menjaga sebuah keseimbangan dan keselarasan hidup saja tetapi apa yang dilakukan selama di dunia harus bisa dipertanggungjawabkan keselamatannya sampai setelah hidup.

Ritus slametan (wilujengan, sugengan) yang jenisnya sangat beragam menarik pemerhati dan peneliti budaya Jawa merupakan manifestasi dan artikulasi konsep dan arti slamet dan sugeng yang menjadi intisari (galih) nilai keselamatan. Selamatan orang mati yang telah berkembang dan masih tumbuh saat ini adalah sebuah harapan agar yang mati juga diberi keselamatan di alam kematian dengan jalan dikirim doa oleh para keluarga dan kerabat serta tetangga. Begitu juga brokohan (slametan kelahiran) merupakan ungkapan rasa syukur pada Tuhan atas keselamatan dari ibu dan anak yang baru dilahirkan. Nilai kesempurnaan akan mendukung atau menyangga daripada nilai keselamatan, karena bagi manusia Jawa yang memiliki kualitas sempurna atau kesempurnaan secara relatif menjadi manusia selamat.

Selain itu manusia yang berkualitas sempurna akan mampu memperoleh pengetahuan keselamatan (ngelmu slamet). Dalam serat Serat Jatimurti 1980) kesempurnaan berarti awas marang kang ngrasa, ora korup marang rasane, luwih-luwih marang kang dirasa (awas kepada yang empunya merasa, tulus bersih terhadap rasanya, lebih-lebih kepada yang dirasakan). Pengertian tersebut mengandung kesempurnaan sebagai manusia akan mengantarkan manusia Jawa menuju ke kesalamatan. Disini kesempurnaan manusia menjadi semacam conditiosine quanon untuk meraih keselamatan; bahwa manusia Jawa tidak akan selamat bertemu dan atau bersatu dengan Tuhannya jika dia tidak menjadi manusia sempurna.

Dalam kebudayaan Jawa keempurnaan berarti mengerti akan awal dan akhir hidup atau wikan Sangkan paran (Abdullah Ciptoprawiro;1886;82). Kesempurnaan dihayati dengan seluruh kesempurnaan cipta, rasa, karsa. Manusia sempurna telah menghayati dan mengerti awal akhir hidupnya. Orang sering menyebut mulih mula mulanira atau meninggal. Manusia telah kembali dan manunggal dengan penciptanya, manunggaling Kawula Gusti. Manusia sempurna memiliki kawicaksanan dan kemampuan mengetahui peristiwa-peristiwa di luar jangkauan ruang dan waktu atau kawaskitan. Menurut Heniy (2006;366) istilah lain dari dari ilmu kasampurnan yaitu ilmu kasunyatan, ilmu makrifat, ilmu tuwa, dan ilmu sangkan paran.

B. Slametan Sebagai Inti Agama Jawa

Slametan atau selamatan merupakan sebuah wahana sebagai bentuk untuk mencapai keselamatan baik secara pribadi maupun kelompok. Slametan sebagai tindakan ritual yang memuat pesan ajaran memayu hayuning bawana (mencari keselamatan dunia). Orang Jawa percaya bahwa ada sebuah kekuatan adikodrati di luar kemampuannya. Dengan cara mengadakan selamatan akan terjadi komunikasi, interaksi, kontak secara rohaniah kepada kekuatan tersebut. Slametan merupakan bentuk ritual mistik yang di dalamnya kaya pekerti simbolik. Yakni berupa inti religious Jawa. Sebagai inti religious Jawa slametan memuat konsep sentral bagi semua mistisme Jawa, sebagaimana terkandung dalam kalimat sangkan paraning dumadi (asal mula tujuan hidup). Maka segala perilaku slametan selalu tertuju pada ada yang sempurna.

Religi adalah penyerahan diri kepada Tuhan, dalam keyakinan bahwa manusia itu tergantung dari Tuhan, bahwa Tuhanlah yang merupakan keselamatan yang sejati dari manusia, bahwa manusia dengan kekuatannya sendiri tidak mampu untuk memperoleh keselamatan itu dan karenanya ia menyerahkan dirinya kepada_Nya. (N. Driyakara S,J;1977;31).

Koentjoroningrat dalam bukunya “Pengantar Ilmu Antropologi” menjelaskan bahwa semua aktivitas manusia yang bersangkutan dengan religi berdasarkan atas suatu getaran jiwa, yang biasanya disebut emosi keagamaan, atau religious emotion. Emosi keagamaan ini biasanya pernah dialami oleh setiap manusia, walaupun getaran emosi itu mungkin hanya berlangsung untuk beberapa detik saja, untuk kemudian menghilang lagi. Emosi keagamaan itulah yang mendorong orang melakukan tindakan-tindakan yang bersifat religi.. Pokoknya, emosi keagamaan menyebabkan bahwa sesuatu benda, suatu tindakan, atau suatu gagasan, mendapat suatu nilai keramat, atau sacred value, dan dianggap keramat.

Demikian juga benda-benda, tindakan-tindakan atau gagasan-gagasan yang biasanya tidak keramat, yang biasanya profane, tetapi apabila dihadapi oleh manusia yang dihinggapi oleh emosi keagamaaan, sehingga ia solah-olah terpesona, maka benda-benda, tindakan-tindakan dan gagasan-gagasan tadi menjadi keramat.

Suatu sistem religi dalam suatu kebudayaan selalu mempunyai ciri-ciri untuk sedapat mungkin memelihara emosi keagamaan itu diantara pengikut-pengikutnya. Dengan demikian emosi keagmaan merupakan unsur penting dalam suatu religi bersama dengan tiga usnur lain, yaitu (i) sistem keyakinan; (ii) sistem upacar keagamaan; (iii) suatu umat yang menganut religi itu.

Sistem kayakinan secara khusus mengandung benyak sub-unsur lagi. Dalam rangka ini para ahli antroplogi biasanya menaruh perhatian terhadap konsepsi tentang dewa-dewa yang baik maupun yang jahat; sifat-sifat dan tanda-tanda dewa-dewa; konsepsi tentang mahluk-mahluk halus lainya seperti roh-roh leluhur, roh-roh lain yang baik maupuan yang jahat, hantu dan lain-lain; konsepsi tentang dewa tertinggi dan pencipta alam; masalah terciptanya dunia dan alam (kosmologi); masalah mengenai bentuk dan sifat-sifat dunia dan alam (kosmologi); konsepsi tentang hidup dan mati’ konsepsi tentang dunia roh dan dunia akhirat lain-lain.

Adapun sistem kepercayaan dan gagasan, pelajaran aturan agama, dongeng suci tentang riwayat-riwayat dewa-dewa (mitologi), biasanya tercantum dalam suatu himpunan buku-buku yang biasanya juga dianggap sebagai kesusastraan suci.

Sistem upacara keagaman secara khusus mengandung emosi aspek yang menjadi perhatian khusus dari para hali antroplogi ialah:
(i)tempat upacara keagamaan dilakukan;
(ii)saat-saat upacara keagamaan dijalankan;
(iii)benda-benda dan alat-alat upacara;
(iv)orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara.

Aspek yang pertama berhubungan dengan tempat-tempat keramat di mana upacara dilakukan, yaitu makam, candi, pura, kuil, gereja, langgar, surau, mesjid dan sebagainya. Aspek ke-2 adalah aspek yang mengenai saat-saat beribadah, hari-hari keramat dan suci dan sebagainya. Aspek k-3 adalah tentang benda-benda ynag dipakai dalam upacara termasuk patung-patung yang melambangkan dewa-dewa, alat-alat bunyi-bunyian seperti lonceng suci, seruling suci, gendering suci dan sebagainya. Aspek ke-4 adalah aspek yang mengani para pelaku upacara keagamaan, yaitu pendeta biksu, syaman, dukun dan lain-lain.

Upacara itu sendiri banyak juga unsurnya, yaitu:
i.bersaji,
ii.berkorban;
iii.berdo’a;
iv.makan bersama makanann yang telah disucikan dengan do’a;
v.menari tarian suci;
vi.menyanyi nyanyian suci;
vii.berprosesi atau berpawai;
viii.memainkan seni darama suci;
ix.berpuasa;
x.intolsikasi atau menaburkan pikiran dengan makan obat bius untuk mencapai keadaan trance, mabuk;
xi.bertapa;
xii.bersemedi.

Diantara unsur-unsur upacara keagamaan tersebut ada yang dianggap penting sekali dalam satu agama, tetapi tidak dikenal dalam agama lain, dan demikian juga sebaliknya. Kecuali itu suatu acara upacara biasanya mengandung suatu rangkaian yang terdiri dari sejumlah unsur tersebut. Dengan demikian dalam suatu upacara untuk kesuburan tanah misalnya, para pelaku upacara dan para pendeta berpawai terlebih dahulu menuju ke tempat-tempat bersaji, lalu mengorbankan seekor ayam, setelah itu menyajikan bunga kepada dewa kesuburan, disusul dengan doa yang diucapkan oleh para pelaku, kemudian menyanyi bersama berbagai nyanyian suci, dan akhirnya semuanya bersama kenduri makan hidangan yang telah disucikan dengan do’a.

Sub-unsur ke-3 dalam rangka religi, adalah sub-unsur mengenai umat yang menganut agama atau religi yang bersangkutan khusus sub-unsur itu meliputi misalnya soal-soal pengikut agama, hubungannya satu dengan lain hubungan dengan para pemimpin agama, baik dalam saat adanya upcara keagamaan maupun dalam kehidupan sehai-hari; dan akhirnya sub-unsur itu juga meliputi soal-soal seperti organisasi para umat, kewajiban, serta hak-hak para warganya.

Pokok-pokok khusus dalam rangka sistem ilmu gaib, atau magic, pada lahirnya memang sering tampak sama dengan dalam sistem religi. Dalam ilmu gaib sering terdapat juga konsepsi-konsepsi dan ajaran-ajarannya; ilmu gaib juga mempunyai sekelompok manusia yang yakin dan yang menjalankan ilmu gaib itu untuk mencapai suatu maksud. Kecuali itu, upacara ilmu gaib juga mempunyai aspek-aspek yang sama saat-saat tertentu untuk mengadakan upacara (biasanya juga pada saat-saat atau hari-hari keramat); ada peralatan untuk melakukan upacara, dan ada tempat-tempat tertentu di mana upacara harus dilakukan. Akhirnya suatu upacara ilmu gaib seringkali juga mengandung unsur-unsur upacara yang sama dengan upacara religi pada umumnya. Misalnya; orang melakukan ilmu gaib untuk menambah kekuatan ayam yang hendak diadunya dalam suatu pertandingan adu ayam. Untuk itu dia membuat obat gaib dengan sajian kepada roh-roh, serta dengan mengucapkan doa kepada dewa-dewa, serta dengan mengucapkan mantra-mantra tertentu, dan dengan puasa. Dengan melakukan hal-hal itu semua ia percaya bahwa obat gaib untuk ayam jantannya akan mujarab sekali.

Walaupun pada lahirnya religi dan ilmu gaib sering kelihatan sama, dan walaupun sukar untuk menentukan batas daripada upacara yang bersifat religi, dan upacara yang bersifat ilmu gaib, pada dasarnya ada juga suatu perbedaan yang besar sekali antara kedua pokok itu. Perbedaan dasarnya terletak dalam sikap manusia pada waktu ia sedang menjalankan agama, manusia bersikap menyerahkan diri sama sekali kepada Tuhan, kepada dewa-dewa, kepada roh nenek moyang; pokoknya menyerahkan diri samasekali kepada kekuatan tinggi yang disembahnya itu. Dalam hal itu manusia biasanya terhinggap oleh suatu emosi keagamaan. Sebaliknya, pada waktu menjalankan ilmu gaib manusia bersikap lain samasekali. Ia berusaha memperlakukan kekuatan-kekuatan tinggi dan gaib agar menjalankan kehendaknya dan berbuat apa yang ia capainya. (Koentjoroningrat,1986).

Sistem religious yang bertujuan mencari hubungan manusia dengan Tuhan, dewa-dewa atau makhluk halus yang mendiami alam ghaib. Sistem religious ini melaksanakan dan melambangkan , menyimbolkan konsep-konsep yang terkandung dalam sistem kepercayaan. Sistem upacara merupakan wujud kelakuan atau behavior manifestation dari religi. Seluruh sistem upacara itu terdiri dari aneka macam upacara-upacara yang bersifat harian, musiman atau kadangkala. Masing-masing upacara terdiri dari kombinasi dari berbagai macam unsur upacara, seperti misalnya; berdoa, bersujud, bersaji, berkorban, makan bersama, menari drama suci, berpuasa , bertapa, bersamadi.

Acara-acara dan tata urut daripada unsur-unsur tersebut adalah sudah tentu buatan manusia dahulu kala, dan merupakan ciptaan akal manusia. Apalagi peralatan dari upacara seperti misalnya gedung pemujaan; masjid, gereja, pagoda, puri dan sebagainya, patung-patung orang suci, patung-patung dewa, alat bunyi-bunyian untuk membuat musik suci; orgel, gendering, gong, seruling, oleh karena itu merupakan bagian dari kebudayaan. Walaupun demikian upacara agama belum lengkap kalau tidak dihinggapi dan dijiwai emosi keagamaan.

Di sinilah masuk komponen pertama ialah cahaya Tuhan yang membuat upacara itu suatu aktivitas yang keramat. (Koentjaraningrat dalam Heru;148). Jadi jelaslah bagaimana kedudukan simbol atau lambang dalam religi., dari keempat komponen dalam religi yaitu sebagai alat atau perbuatan dalam upacara religious. Maka kedudukan simbol atau tindakan simbolis dalam religi adalah merupakan relasi (penghubung) antara komunikasi human-kosmis dan komunikasi religious lahir dan batin. (A.H. Bakker, 1978;97). Sedangkan tindakan simbolis dalam upacara religious merupakan bagian yang sangat penting dan tidak mungkin dibuang begitu saja, karena ternyata bahwa manusia harus bertindak dan berbuat sesuatu yang melambangkan komunikasinya dengan Tuhan.

Manusia Jawa berpandangan bahwa dunia ini adalah sebuah simbolisme dan melalui simbol-simbol itulah manusia akan bisa berpikir tentang kondisinya dan berkomunikasi dengan Tuhan. Zoetmulder (1991;245) mengatakan bahwa dalam serat Centhini tertulis “ Jika engkau ingin menembus realitas, masuklah kedalam simbol”. Ungkapan ini sekaligus menandai bahwa agama itu sebuah simbol, sebagaimana digagas oleh Geertz (1973), (Suwardi;2012;25). dalam berbagai aspek agama Jawa pun jelas sebuah simbol. Penghayatan simbol amat diperlukan dalam menjalankan agama Jawa.

Agama Jawa memang khas dalam membangun simbol. Simbol-simbol tersebut harus dipahami maknanya dengan sebaik-baiknya sehingga bisa ditemukan kebenaran yang hakiki. Simbol-simbol itu biasanya dipoles, diobsesikan, diimajinasikan sesuai dengan keinginan. Orang Jawa yang nyantri dan abanganpun akan kaya penghayatan terhadap agama Jawa. Bila orang Jawa mampu merasakan sendiri hingga sadar kosmis, dirinya akan dipandang sempurna. Kondisi yang demikian itu sekaligus menegaskan bahwa agama itu adalah simbol. Agama Jawa adalah sebuah simbol yang kaya akan makna. Manusia Jawa mempunyai sifat Semu, karena itu setiap langkah berkaitan agamapun juga digambarkan dalam bentuk simbol.

Dalam acara kenduri biasanya seorang modin (pembaca doa) merapalkan mantra atau doa slametan tersebut yang disebut ujub. Dalam ujub tersebut seorang pembaca doa menyampaikan pesan tentang tujuan slametan dari yang punya hajat, menerangkan makna atau simbolik dari ubarampe slametan tersebut. Namun hal tersebut memang sekarang jarang orang yang bisa menerangkan tentang simbolik-simbolik tersebut secara rinci. Banyak dijumpai karena pengaruh alkutulrasi ataupun asimilasi agama maka ujub disertai bahasa Arab.

Dari sudut pandangan teoritis, unsur yang paling menarik dari simbolisme slametan tidak semata-mata polisemik dalam konteks simbolisme warna dari Turner (1967) dalam ( Endra; 2013;102). Dikatakan; kini kita cakup akrab dengan gagasan mengenai suatu simbol yang menyelimuti dan bahkan bermakna kontradiktif dalam konteks yang berbeda diantara orang-orang yang memiliki ideologis bersama. Saya menguraikan suatu hal yang lebih kompleks; diversitas ideology yang terkandung dalam rangka yang sama. Hal yang sama juga terjadi pada orang Tengger , Jawa Timur; tidak ada khotbah menyertai upacara, tidak seorangpun yang menyinggung “ eksegesis unsur demi unsur” dari simbolisme ritual. Kerapkali tokoh agama menyelenggarakan ritual komunal sendirian. Keefektifan ritual jarang tergantung pada kehadiran kongregasi aktif ( Hefner;1985;20). Saya pikir gagasan Hefner ini, menandai bahwa slametan juga memiliki kebutuhan personal. Orang yang telah menjalankan slametan, batin merasa senang dan sempurna. (Endra ;2013;103).

Ayu Sutarto (2011;41) mengungkapkan tentang tardisi ritual masyarakat Tengger yang disebut Entas-entas. Tradisi tersebut merupakan salah satu bentuk upacara adat yang berhubungan dengan siklus hidup manusia. Upacara ini diselenggarakan oleh masyarakat Tengger yang bertempat tinggal didaerah dataran tinggi Tengger, yang secara administatrif berada dalam naungan empat kabupaten, yakni Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Pasuruan, kabupaten Lumajang, dan Kabupaten Malang. Upacara ini dimaksudkan untuk mensucikan roh orang yang telah meninggal dunia agar dapat masuk surga atau nirwana. Upacara ini diselenggarakan pada hari ke-1000, dihitung dari hari pertama kematiannya. Dalam tradisi Jawa upacara semacam ini nyewu. Bebanten upacara entas-entasan ini dipimpin oleh dukun, didampingi legen dan sesepuh serta beberapa orang kerabat yang berhajat. Makna upacara ini sebagi persembahan kepada Sang Hyang Widhi, memohon keselamatan dan memohon agar niatnya terkabulkan.

Sebuah agama tentu mengajarkan sebuah kedamaian, ketentraman dengan berusaha sebaik mungkin mencari kesempurnaan hidup agar tercapai nilai selamat. Baik itu keselamatan yang berada didunia maupun keselamatan setelah didunia. Jika mengingat tiga ajaran Jawa yaitu; Sangkan Paraning Dumadi, Manunggaling Kawula Lan Gusti dan Memayu Hayuning Bawana ini merupakan sebuah bentuk ajaran untuk menuju kasampurnaning urip. Sangkan paraning dumadi (asal mula dan tujuan hidup) merupakan ajaran bagaimana manusia itu berasal dan tujuannya/akhirnya. Dari tidak ada menjadi tidak ada pula (saka ora ana bali marang ora ana; innallillahi wa inalillahi ra’jiun).

Saya sering bertanya ataupun bercerita kepada kawan-kawan; apakah ketika masih berumur tiga tahun masih ingat maka mereka bilang ingat-ingat tidak. Kemudian saya bertanya kembali apakah ketika berumur satu atau kurang dari satu tahun masih ingat mereka bilang tidak ingat. Dengan begitu mereka semakin kebelakang semakin tidak mengingat tentang dirinya. Pertanyaanpun saya lanjutkan apakah ketika dalam kandungan ibu juga ingat tentu mereka bilang tidak ingat sama sekali, dan ketika saya bertanya sebelum kalian dibuat oleh bapak-ibumu kamu berada dimana. Merekapun tentu juga tidak tahu. Ini merupakan gambaran bahwa kehidupan manusia itu berputar (cakra manggilingan).

Ketika manusia memasuki usia lanjut maka sifat pikun, lemah akan terjadi (seperti sifat anak-anak ataupun bayi). Kemudian setelah itu mengalami kematian untuk kembali kepada Maha Pencipta. Itulah sebenarnya siklus kehidupan manusia. Oleh sebab itu ketika diberi kesempatan untuk hidup di dunia manusia harus bisa memayu hayuning bawana. Karena kehidupan itu sebentar ibaratnya mampir ngombe (hanya untuk minum) maka tugas atau kewajiban manusia selama hidup di dunia harus bisa menjaga keselarasan hidup, keseimbangan hidup agar tercapai rasa damai, ayem-tentrem. Itulah darma yang harus bisa dicapai oleh manusia untuk memperoleh sebuah keselamatan. Semua memang tidak gampang ibaratnya sebagai nahkoda yang mengendalikan kapal di tengah laut. Rasa eling lan pasrah terhadap Gusti sebagai bentuk ajaran manunggaling kawula lan Gusti. Hubungan kerohanian antara umat dan Tuhannya dapat dilihat dalam praktek-praktek mistik kejawen termasuk upacara slametan.

Kesemuanya itu tak lain adalah menuju pada sebuah kesempurnaan hidup.Sangkan-paran memang suatu proses perjalanan yang pelik. Dikatakan pelik karena didalamnya terkait dengan proses perputaran hidup yang disebut cakramanggilingan. Tuhan yang memutar cakra (roda hidup) itu dan manusia tinggal mengikuti dari sangkan menuju paran (dari asal mula menuju tujuan akhir). Adanya ajaran bahwa keberadaan manusia di dunia ini hanyalah “mampir ngombe” (singgah untuk sekadar minum), bagi orang Jawa dimaknai bahwa sifat duniawi adalah sementara, “terminal” menuju sangkan paraning dumadi.

Dalam perjalanan itu, orang Jawa perlu melalui tingkatan-tingkatan guna mencapai kesempurnaan hidup, yaitu syariat, tarekat, hakekat dan makripat. Dengan cara itu, orang Jawa akan kembali dan bersatu dengan Tuhan. Orang yang menganut paham kejawen atau dalam alam pikiran Jawa, mengungkapkan bahwa Tuhan adalah asal-usul semua yang ada di dunia ini, dan ke Tuhan pula semua itu akan kembali. Sikap orang Jawa dalam memandang dan mengalami kehidupan mereka, sebagai suatu keseluruhan yang bersifat sosial dan simbolis. Konsepsi yang satu dimensional dan monolitis itu paralel dengan cara berpikir yang tidak mendiferensional antara isi dan bentuk, misalnya perbedaan prinsipal di antara macam-macam kelas gejala seperti objek/subjek, simbol/benda, hidup/mati, Kawula-Gusti, ide atau hal, dan sebagainya tidak dipikirkan, dan semuanya disederhanakan sampai terjadi hubungan mitologis.

Dengan demikian cara berpikir orang Jawa yang tercermin dalam alam pikiran Jawa adalah penyatuan dan penyelarasan semua gejala. Barang siapa hidup selaras dengan dirinya sendiri dan dengan masyarakat, dan juga selaras dengan Tuhan Yang Maha Esa, maka ia akan mengalami ketenangan batin. Untuk itulah kehidupan dalam masayarakat Jawa telah dipetakan dalam berbagai macam peraturan, seperti tatakrama (kaidah dalametika Jawa), adat/tradisi (mengatur keselarasan masyarakat), agama (mengatur hubungan formal dengan Tuhan), sikap narima, sabar, waspada-eling (mawas diri), andap asor (rendah hati), dan prasaja (bersahaja).

Orang Jawa percaya bahwa Tuhan adalah pusat alam semesta dan pusat segala kehidupan karena sebelumnya semuanya terjadi di dunia ini. Tuhanlah yang pertama kali ada. Pusat yang dimaksud dalam pengertian ini adalah yang dapat memberikan penghidupan, keseimbangan, dan kestabilan, yang dapat juga memberi kehidupan dan penghubung dengan dunia atas. Pandangan orang Jawa yang demikian biasa disebut Kawula dan Gusti, yaitu pandangan yang beranggapan bahwa kewajiban moral manusia adalah mencapai harmoni dengan kekuatan terakhir dan pada kesatuan terakhir itulah manusia menyerahkan diri secara total selaku kawula (hamba) terhadap Gustinya (Sang Pencipta).

Hubungan manusia dengan Tuhan, umumnya mengandung rumusan yang saling tumpang tindhih. Tuhan dilukiskan memiliki sifat-sifat yang sama dengan manusia, dalam arti insan kamil. Sebaliknya manusia digambarkan sama atau mirip dengan sifat-sifat Tuhan. Paham semacam ini dalam falsafah hidup Jawa dinamakan antropomorfisme (Simuh;1988;299). Falsafah semacam ini banyak mewarnai agama Jawa, sehingga pencarian diri terus menerus pada akhirnya akan mengenal Tuhan. Sebaliknya ketika orang Jawa buta terhadap dirinya, tidak mau melek pada identitasnya dan bahkan menginjak-injak dirinya, akan jauh dari Tuhan. Dengan kata lain, orang yang demikian akan kesulitan ketika harus mencapai manunggaling kawula-Gusti. (Endra;2012;106).

Perwujudan makna manunggaling kawula Gusti, menurut Subagyo (1989;52) dalam Suwardi (2012;106) dapat digolongkan menjadi tiga tipe, yaitu; (a) tipe ethis artinya pada tipe ini perwujudan makna manunggaling kawula Gusti dengan harapan adanya manusia yang waskitha dan susila. Harmonitas antara suara batin, dengan laku amalannya menjadi titik sentral orientasi dharma bakti dalam kehidupan sosial. (b) tipe kosmologis, artinya terdapat kecenderungan kuat tentang olah lahir dan olah batinnya, yaitu peleburan diri kedalam daya “kosmos universal” dan mengeliminasi individualitasnya.

Tindakannya untuk membebaskan diri dari belenggu alam empiris materiil, menuju pada kondisi eksis-tensial transenden, sehingga tercipta kesatuan mutlak. Secara emanantif manusia dilukiskan sebagai percikan cahaya dan akan kembali keasal muasalnya, sangkan paraning dumadi, yaitu Dzat kosmos yang Illahi, Adikodrati. Aku palsu yang suka melibatkan pada soal-soal duniawi semu dilenyapkan. Akhirnya tercapailah kebebasan batin paripurna. Diri materiil dimatikan secara maknawiyah, mati sajroning ngaurip. Diri materiil ditingkatkan menjadi diri mutlak yang identik dengan ada mutlak atau kenyataan hidup; (c) tipe theologies, artinya mirip dengan tipe kosmologis. Hanya tipe theologi ini banyak menggunakan istilah-istilah yang berasal dari kitab suci dalam ajaran para Nabi.

Pada konsep tipe ethis (a) Endrswara berpandangan bahwa dalam agama Jawa merupakan upaya moral kearah memayu hayuning bawana yang disebut budi luhur. Ketika orang Jawa arif (wicaksana), berbuat dengan nuansa budi luhur sebenarnya jelas dilandasi oleh suara Tuhan atau Tuhan lenggah dalam dirinya. Pada saat itu tindakan menjadi cocog atau nuju prana (kasinggihan). Tindakan yang benar-benar singgih (becik) ini secara etis sesuai dengan Tuhan, seperti kesesuaian anak kunci dengan lubangnya.

Dari konsep diatas saya memahami bahwa yang menjadi nilai sebuah harmonitas antara suara batin, dengan laku amalnya yang menjadi titik sentral orientasi darma bakti dalam kehidupan sosial tergambar dalam upacara selamatan. Dimana antara niat dari yang mempunyai hajat kemudian dilaksanakan dengan mendatangkan beberapa orang serta ubarampe yang dibutuhkan. Ini adalah cara menunjukkan harmonitas tersebut dalam konsep ethis tadi. Sebuah tindakan yang bijaksana dan berbudi luhur dimana manusia Jawa menjaga kosmos antara Tuhan , antara manusia, antara alam atau lingkungan.

Sedangkan pada tipe kosmologis (b) ini merupakan sebuah cara untuk ber-ngelmu yaitu mencari sebuah pengalaman hidup dalam mengolah batiniah yang disebut lelaku. Masyarakat Jawa tidak asing lagi dengan namanya lelaku. Jika kita pada bulan Suro, malam Jumat Kliwon, malam Jum’at Legi, malam Selasa Kliwon atau hari-hari tertentu banyak kita jumpai beberapa orang yang melakukan tirakatan dibeberapa tempat seperti makam, sungai, hutan dan tempat-tempat lain yang dianggap mempunyainilai sakral. Selain itu ada beberapa orang yang melakukan lelaku dengan puasa, bersemedi, atau semacamnya. Tentu ini adalah sebuah cara melepas ego (diri) dari ke-akuan, yang kesemuanya terpusat pada kepasrahan kepada Gusti atau Tuhan. Lelaku –lelaku tersebut merupakan bagian dari usaha kemanunggalan antara kawula dan Gustinya dalam agama Jawa.

Pada konsep theologis (c) menurut Endraswara konsep ini banyak dilakukan oleh para pelaku tasawuf, yang bergerak dibidang Islam Jawa dan sufisme Jawa. Biasanya tipe ini hanya menyebut manunggal dalam kategori “dekat” (wahdatul suhud). Paham ini biasanya diikuti oleh orang Jawa yang dalam istilah Geertz disebut santri. (Endraswara;2012;107).

C. Slametan Sebagai simbolisasi

Dalam konteks kehidupan masyarakat Jawa dikenal ; sinamun ing samudana, sifat semu, papane rasa pangrasa. Maksudnya adalah setiap pola hidup dan kehidupan dalam beraktivitas hampir selalu menggunakan simbol-simbol. Tindakan penuh rasa pangrasa (perasaan), perbuatan tidak semata-mata (samar/semu). Menurut Suwardi bahwa simbol –simbol itu merupakan gambaran sikap, kata-kata dan tindakan yang abstrak, pelik dan wingit.

Para penganut mistik dalam muslim Jawa meyakini bahwa berbagai aktifitas yang mempergunakan simbol-simbol ritual serta spiritual tersebut bukanlah suatu tindakan yang mengada-ada dan kurang rasional. Sholikin (2009;19) bahwa bahawa di dalam bahasa akhir-akhir ini bukanlah termasuk perkara bi’dah, dikarenakan dibalik semua ritual tersebut terkandung makna sebagai salah satu upaya menyingkirkan setan yang menggoda manusia. Memang harus diakui bahwa sebagian simbol-simbol ritual dan simbol spiritual yang diaktualisasikan oleh masyarakat Jawa, mengandung pengaruh asimilasi antara Hindi-Jawa, Budha Jawa, dan Islam-Jawa yang menyatu padu dalam wacana kultur mistik. Asimilasi yang sering diasosiasikan para pengamat sebagai sinkritisme tersebut juga terlihat dengan di antaranya pembakaran kemenyan pada saat ritual mistik dilaksanakan, yang sebagian oleh masyarakat Jawa diyakini sebagai bagian dari penyembahan kepada Tuhan secara khusyu’ (tercapai tahap hening) dan tadharru’ (mengosongkan diri kemanusiaan sebagai hal yang tidak berarti di hadapan Tuhan), atau katakanlah sebagai salah satu bentuk akhlak penghormatan kepada Tuhan.

Ungkapan wong Jawa anggone semu atau samar, sangat dikenal dalam etika masyarakat Jawa yang disebut ulas-ulas. Hal tersebut juga terjadi dalam pola upacara-upacara tradisi di masyarakat. Semu menggambarkan bahwa manusia Jawa tidak hanya menampilkan sesuatu dalam bentuk wadhag (kasat mata). Penampilan manusia Jawa penuh isyarat atau sasmita. Banyak hal yang terselubung menggunakan tanda atau perilaku yang khas. Misalkan mengapa orang Jawa menggunakan keris dibelakang bukan didepan, dikarenakan manusia Jawa tidak ingin semata-mata memamerkan kekuatan atau kelebihannya. Sikap andhap ashor (merendahkan hati) sangat dijunjung tinggi. Begitu pula dalam pelaksanaan tradisi seperti upacara pengantin, selamatan, tedhak siti dan lain-lain. Semua penuh sasmita yang sering disebut simbolisasi.

Sifat manusia Jawa yang demikian biasanya muncul dalam usaha mendidik atau menyampaikan gagasan-gagasannya kepada orang lain secara tidak terus terang, melainkan menggunakan lambang-lambang atau simbol budaya. Kenyataan seperti ini dipengaruhi oleh sikap hidup manusia Jawa yang dalam menyatakan suatu sikap lebih suka dengan bahasa simbol atau sasmita. Sehingga simbol atau sasmita itu kadang sukar untuk dipahami maksudnya. Masyarakat tradisional Jawa (dahulu) sering mengaktualisasikan sikap dan perilaku hidupnya kedalam wujud yang tidak jelas (disamarkan). Ajaran-ajaran moral yang menyangkut sikap hidup khas Jawa selalu dirahasiakan (tidak terang-terangan). Sistem simbol itu juga tidak terlepas dari sistem sosial, gaya, hidup, agama dan mobilitas sosial.

Budaya semu berarti penuh simbol yang di dalamnya banyak menampilkan makna yang harus bisa diuangkapkan. Menurut Suwardi (2012;25) bahwa simbol dan ungkapan sebagai manifestasi pikiran, kehendak dan rasa jiwa yang halus. Segala perilaku dan sikap yang terbungkus dengan semu itu, diupayakan agar dapat mengenakkan (memberi rasa nyaman) sesama hidup. Hal-hal yang dianggap semu itu sebenarnya sangatlah jelas untuk dipahami. Karena masing-masing pihak pemakai simbol telah paham dengan apa yang disemukan itu. Adapun bagi yang belum bisa memahami terhadap hal yang semu, diharapkan untuk bisa mempelajari, menyelami dan menangkap makna dibalik kesemuan (simbol) tersebut.

Manusia Jawa yang telah mampu membaca simbol atau kesemuan berarti tergolong jalma limpat seprapat tamat. Maksudnya, orang tersebut telah mengetahui pesan apa pun meskipun hanya berupa isyarat halus. Orang seperti ini tidak hanya menggunakan nalar (logika) saja namun harus bisa mengolah rasa. Rasa akan menghidupkan kejiwaan, sehingga naluri akan bergerak. Menurut Suwardi (2012;26) bahwa rasa Jawa akan memekarkan keiinginan dan daya intuisi sejati. Oleh sebab itu Sri Mangkunegara IV dalam Serat Wedhatama menyebut orang semacam itu “ kang wus waspada ing patrap, mangayut ayat winasis , ning ning rasa tumlawung”. Maksudnya orang yang telah mampu membaca isyarat, akan tahu pesan terselubung dan dia itu paham atas rasa (Jawa).

Ini menunjukkan bahwa orang Jawa dalam sikap dan tindakan menggunakan kaca batin. Tak mungkin segala hal harus dikatakan atau diwujudkan dalam gerak, cukup dengan tanda-tanda atau sismeotik tertentu. Yang penting dalam komunitas Jawa terjadi komunikasi yang lancar, sehingga pemakaian rasa halus tak menjadi masalah. Dijelaskan pula bahwa penggunaan semu sekaligus juga menandai tingkat penggunaan bahasa sebagai cermin budaya. Semakin hebat penguasaan bahas dan budaya, maka semu (lambang) yang digunakan dalam hidupnya semakin rumit pula. Yang menarik semakin rumit dan halus simbol atau semu yang dipergunakan, juga akan mendongkrak strata sosial orang Jawa itu sendiri. Karena itu dalam kehidupan orang Jawa sering ada semacam “perlombaan” pemakaian semu tersebut. Karena bernama “lomba’ tentu masing-masing saling mencari keunggulan. Anehnya mereka selalu berasumsi bahwa semakin pelik penggunaan lambang dianggap paling halus dan lebih unggul. Akibatnya pemakaian semu yang dibalut dengan rasa Jawa semakin rumit dan menarik.

Laku mistik kejawen termasuk upacara selamatan yang dilaksanakan dalam tempat, tata cara dan waktu yang spesifik, jelas terdapat macam bentuk kiasan budaya yang tidak wantah (jelas). Bahkan hampir semua laku budaya yang ada dalam ritual merupakan serentetan simbol-simbol budaya spiritual. Simbol-simbol budaya ini digunakan untuk mengekspresikan gagasan, emosi, dan pemikiran yang bersifat transendental.

Berbagai bentuk simbol budaya ini dihadirkan mulai dari ritual permulaan sampai akhir yang merupakan kesatuan utuh. Arah dari aneka ragam simbol selalu mengacu pada hubungan yang dimaksud adalah laku manusia untuk manunggal (dalam arti mendekatkan diri) kepada Tuhan. Dalam laku menuju manunggaling kawula Gusti ternyata harus melalui berbagai proses dan liku-liku perjalanan hidup yang penuh dengan simbol.

Dalam upacara slametan sering menggunakan sesaji (sajen) yang berupa tumpeng, ambengan, jajan pasar, jenang bubur, kelapa, pisang dan lain-lain. Semua tak lain adalah sebuah simbol pengharapan. Prinsip utama menjalankan slametan adalah penataan kembali hubungan kosmos. Secara simbolis slametan adalah menginginkan sebuah keseimbangan, mengatur dunia, melakukan darma yang bertujuan untuk keselamatan baik secara lahir maupun batin.

Bermacam sesaji yang diikutkan dalam perlengkapan upacara selamatan merupakan representasi suatu keinginan. Berbagai sesaji telah menciptakan kerangka dan struktur yang menjadi landasan interpretasi berbagai model konsep yang dapat dijalin. Sehingga keterkaitan dari berbagai macam sesaji merupakan sebuah petuah atau wejangan sebagai ajaran hidup. Sesaji bisa mewakili doa karena terdapat makna daripada lambang-lambang yang terdapat pada sesaji itu sendiri.

Simbol-simbol ritual yang berupa sesaji merupakan sebuah aktualisasi dari pikiran, keinginan dan perasaan pelaku untuk lebih mendekatkan diri kepada Gusti (Tuhan). Upaya pendekatan melalui sesaji sesungguhnya bentuk akumulasi budaya yang bersifat abstrak. Sesaji juga merupakan wacan simbol yang digunakan sebagai srana (alat) untuk bernegosiasi spiritual kepada hal-hal yang gaib. Misalkan pada upacara resepsi perkawinan masyarakat Jawa. Maka yang punya hajat melakukan peletakan bermacam sesaji pada setiap tempat yang dianggap perlu, harus atau wajib. Tempat-tempat tersebut misalnya ; senthong (kamar), punden, sendang, sumur, tungku tempat memasak dan lain-lain. Dimaksudkan agar cara demikian tidak mengalami gangguan oleh makhluk-makhluk halus yang bersifat jahat atau jail. Kepercayaan terhadap roh atau makhluk halus seperti dhanyang sering diwujudkan dalam bentuk slametan.

Kita sering mendengar othak-athik gathuk, kerata basa, jarwadosok dan lain-lain yang kesemuanya adalah sebuah permainan kata yang mengacu daripada makna benda itu sendiri. Masyarakat sering mengambil kata-kata tertentu atau suku kata tertentu dan membangun sebuah etimologi atau menemukan dalam skema pikiran orang lain kata kunci yang mengandung persamaan bunyi akhiran. Misalkan kupat (ketupat) diartikan laku papat, hal ini bisa dimaknai dulur papat atau empat nafsu yang melekat manusia. Empat nafsu tersebuat adalah; sofiyah, amarah, lauwmah dan mutmainah. Kerata basa seperti numerology adalah suatu cara menghubungkan aneka ragam dunia dan membangun hubungan-hubungan diantaranya. Barangkali orang mengaku mengenal hubungan-hubungan ini, karena hubungan-hubungan ini dirasakan nyata, bukan khayalan. (Endra;2013; 106).

Dalam kenyatan sasaran diskusi mistikal ini adalah menunjukkan keterkaitan antara berbagai unsur, dalam rangka menunjukkan “kosmos adalah satu komunitas” (Pigeaud;1977;65). Kedua teknik interpretasi-numerologi dan kerata basa mengandung efek sintesis atau sinkretisasi materi yang berlainan melalui identifikasi unsur persamaan. Prosedur ini juga memungkinkan keanekaragaman pendapat dan interpretasi dalam bahasa ritual bersama. (Suwardi;2013;107). Bahwa slametan terdiri dari makna-makna yang berbeda-beda adalah persoalan perbedaan interpretasi. Makna suatu simbol tergantung pada tingkat strategi apa seseorang menggunakan dalam pembicaraan. Dalam berbagai hal orang bisa mengungkap atau mengupas sebuah simbol dengan pengertian masing-masing selama masih dalam taraf kebenaran. Persetujuan tak langsung atau kesepakatan bersama dalam menyatakan makna simbol merupakan hal yang biasa terjadi dan dibenarkan oleh sebuah masyarakat. Simbol slametan yang beraneka warna itu merupakan gambaran jiwa dan kolektif yang sudah berjalan secara turun temurun.

D. Doa dalam Selamatan

Doa merupakan ungkapan hati yang mengandung harapan yang kadang terucap maupun hanya dalam batin. Manusia Jawa mengatakan donga (doa) ; ndendonga (berdoa). Dalam upacara selamatan donga (doa) ditujukan kepada Sang Pencipta; Tuhan; yang bersifat Adikodrati; roh leluhur atau kekuatan diluar manusia yang bersifat gaib. Apakah roh leluhur atau yang gaib benar-benar mendengar sambutan dan doa kita, ini sebuah kontroversial. Kematian seseorang oleh masyarakat Jawa dianggap kembali pada alam keabadian ( bali mring alam kelanggengan). Kalimat kondur mring alam kelanggengan adalah salah satu istilah yang tepat untuk memaknai arti sebuah kematian. Hal ini orang yang telah meninggal sukmanya telah menyatu kembali kepada Gusti Sing Gawe Urip (Tuhang yang Maha Hidup). Namun demikian dengan menjalankan doa maka setidaknya ada sebuah perjalanan batin kepada yang menjadi tujuan. Keihklasan dan kesungguhan batin dalam menyampaikan doa sangat berpengaruh kepada hasil akhir yang didapat. Hasil itu bisa berupa sebuah kedamaian (ayem-tentrem) yang menjadi tujuan hidup orang Jawa. Ungkapan doa pada saat slametan menjadi bukti bahwa ada kemauan keras manusia Jawa agar hidup selamat.

Di dalam selamatan sebelum uba rampe atau sesaji dipersembahkan untuk orang banyak selalu terlebih dahulu diujubkan. Menurut Sholikin diujubkan berarti diijabkan. Ujub merupakan tradisi dalam bentuk ijab, penyerahan acara ritual kepada orang yang ditunjuk, yang biasanya sesepuh atau ulama setempat. Dalam ujub tersebut dikemukakan maksud dan tujuan diadakannya selamatan, serta untuk siapa selamatan tersebut diadakan. Kemudian setelah orang yang ditunjuk tersebut memberikan jawaban, ia memulai acara dengan mengatakan tujuan dan maksud pelaksanaan acara sebagaimana ujub dari orang yang punya niat. Barulah ritual dilaksanakan. Karena kemudian ritual selamatan muslim-Jawa biasanya disertai dengan berbagai pembacaan ayat-ayat A-Qur’an, dzikir, wirid, pembacaan kitab-kitab mauled atau mannaqib dan diakhiri dengan doa khusus yang terkait dengan tujuan ritual tersebut. (Sholikin;2009;21).

Slametan sebenarnya juga sebuah ritual sembahyang untuk memohon berkah. Bagi penganut yang taat, muslim ortodok, pemujaan nenek moyang tidak penting karena peranan nenek moyang yang bersifat sampingan, mereka hanya perantara Tuhan, bukan sumber keberkatan itu sendiri. Memang istilah perantara ini amat abstrak dan kadang-kadang sulit dipahami. Sembahyang memiliki kekuatan yang lebih besar karena langsung berhubungan dengan Tuhan; selain itu bahsa Arab adalah bahasa Tuhan.(Endra’2013;110).

Dijelaskan pula bahwa sebaliknya orang Jawa penganut mistisisme menganggap ungkapan pemujaan itu sendiri sebagai doa, bahkan mengacunya dengan bahasa Jawa untuk doa yaitu donga, yang dipertentangkan dengan upacara sembahyang, dimana istilah yang dipinjam dari bahsa Arab, du’a, ada didalamnya. Pokok dari penggunaan ini adalah untuk menekankan kesinambungan tematis kedua bagian itu. Doa dalam bahasa Arab biasanya du’a slamet, jelas secara tematis terkait dengan ungkapan pemujaan, meskipun sangat sedikit orang yang mengetahui makna terjemahannya. Selain itu juga terlihat bahwa kata-kata dalam bahasa Arab mengakhiri rangkaian keseluruhan sehingga ia membentuk kesatuan;ada salam pembukaan dalam bahasa Arab, kemudian sambutan dalam bahasa Jawa lalu doa.

Kadang ada sebuah pemikiran dalam peristiwa yang banyak terjadi dalam pelaksanaan doa. Karena doa adalah ungkapan sebuah pengharapan jika menggunakan bahasa yang tidak dimengerti bagaimana kualitas dari kontak batin tersebut. Namun manusia Jawa tidak banyak mempersoalkan tentang masalah tersebut dan dianggap sebuah ke-sinergian dalam menjalankan sebuah ibadah. Jika bahasa luar (Arab) dianggap sebagai pemantapan maka bahasa ibu (Jawa) dianggap sebagai sebuah kekuatan.
Cara-cara berdoa manusia dari dulu sehingga sekarang pun selalu diikuti dengan tingkah laku simbolis yaitu mengucapkan doa sambil menengadahkan kedua telapak tangannya keatas dan kadang-kadang dengan mendongakkan kepala keatas atau seolah-olah siap menerima sesuatu dari Tuhan yang dianggap tinggal dilangit.

Doa-doa yang diselenggarakan dalam acara selamatan merupakan upaya untuk menjamin kesinambungan yang mulus. Dalam pelaksanaannya seluruh yang hadir akan memberikan andil atau sumbangsih yang sama bagi kekuatan spiritual pada peristiwa tersebut. Oleh karena itu slametan berfungsi sebagi hubungan sosial yang harmonis yang diistilahkan rukun, yang menjadi prasyarat efektif mendatangkan berkah dari Tuhan atau para leluhur.

Suwardi menjelaskan bahwa dalam slametan ada banyak ungkapan yang dimaksud dan keiinginan. Tuan rumah tidak semata-mata menyelenggarakan slametan melainkan juga untuk melangsungkan niat (ajat), suatu niat yang sudah ada sebelum tamu-tamu (saksi) hadir. Seluruh kejadian dalam kenyataan dapat mengacu kepada kata ajat. Menurut definisi karena maksud dan tindakan menjadi satu dalam slametan, maka kata-kata diucapkan adalah mandi (ampuh;berbisa), efektif dan akibat yang diharapkan dari slametan merupakan separuh dari proses. Hasil yang diperoleh tak hanya dimohonkan (seperti ungkapan “Berikan kami makan hari ini”) tetapi diantisipasi (agak menyerupai “ Engkau datang maka jadilah”) dalam bentuk gramatika khusus dalam ucapan slametan (misalnya dikabulna, dipangana).

Dalam bahasa Osing digunakan kata ngabulaken yang beararti “semoga menjadi kenyataan”. Ucapan ini bernada setengah memohon/setengah menuntut. Selain itu ucapan ini juga meninggalkan identitas yang kabur mengenai siapa yang menjadi penyebab, karena bentuk kata kerja ini dapat berarti seorang membawa sesuatu bagi dirinya sendiri atau seseorang mendapatkan sesuatu dari orang lain (tamu yang hadir, Tuhan, nenek moyang). (Suwardi;2013;113). Seluruh niat slametan, sebenarnya menuju pada ranah hidup abadi. Hidup abadi adalah suasana di alam hidup setelah mati. Alam ini yang mempesona pelaku, karena ada nuansa keabadian. Dunia abadi (kelanggengan) memang selalu misterius. Melalui selamatan orang Jawa menaruh harap agar kelak dapat hidup damai (hayuning bawana) setelah mati.
Oleh karena itu, slametan berfungsi menunjukkan komunitas harmonis yang dikenal dengan nama rukun, yang menjadi prasyarat efektif mendatangkan berkah pada dewa, arwah dan leluhur.

Dibawah ini adalah salah satu contoh doa yang dipakai selamatan yang tertulis dalam Puja-puji Jawi dari BRAy. Suryodiningrat yang ditulis oleh Prof. Dr. RM. Wisnoe Wardhana.

Sesaji Lan Puji Kawilujengan

Kula ngedalaken sekul suci, ulam sari
bumbu lembaran ngeteraken rejeki
ganjaraning Ingkang Paring Gesang
kula caos sesaji dhateng para leluhur
ingkang sampun sumare
ingkang cikal bakal dhusun ngriki

Kula caos sedhekah dhahar
katur Bapa Adam Ibu Kawa
bumi langit, Gusti Panutan
danyang lan bahureksa ing dhusun ngriki
ingkang wonten ing keblat papat kalima pancer
ingkang celak tanpa senggolan
tebih tanpa wangenan
ingkang katingal lan ingkang mboten katingal
ingkang kopen lan ingkang mboten kopen
ingkang dhateng kutu-kutu walang ataga

Mugi kabuktiya kaluwarga
sempuluran sapangisore, sapendhuwure.
__________________
*) Tulus S atau Tulus Setiyadi, S.T.P. alumni Universitas Widya Mataram Yogyakarta. Kegemarannya mempelajari budaya dan sastra ditekuninya sejak lama. Banyak bergabung dibeberapa sanggar kebudayaan, kesenian dan kesusastraan. Sering mengisi acara sastra pun budaya; di televisi, radio, paguyuban / sanggar, perguruan Budaya Jawa di Hotel Lorin Solo, kongres Bahasa Jawa di Hotel Marriot Surabaya dan Hotel Garuda Jogjakarta, serta seminar pula sarasehan. Pernah menjadi pembicara dalam Kongres Bahasa. Karya-karyanya berbentuk buku sudah puluhan judul dan beredar di masyarakat, baik di Indonesia pun luar negeri. Juga belasan karya antologi bersama. Paguyuban / sanggar yang diikutinya; Pesaudaraan Masyarakat Budaya Nasional Indonesia (Permadani), Paguyuban Retna Dumilah (bidang kebudayaan), Paguyuban Pamarsudi Kasusastran Jawi Sedyatama, Sanggar Sastra Triwidha, Sembilan Mutiara (buku dan kesusastraan), Majelis Sastra Madiun, dll.
Buku-buku karyanya; Bangsa Pemuja Iblis (antologi puisi), Surat Kerinduan, (antologi puisi), Sangkrah (antologi geguritan lan cerkak), Sang Guru (antologi cerkak), Kidung sukma Asmara (antologi geguritan), Daya Katresnan (antologi geguritan), Kawruh Urip Luhur Ngabekti (antologi geguritan), Serat Cipta Rasa (antologi geguritan mawa aksara Jawa). Narakisma mbedhah jagade kasusastran (antologi geguritan). Dongeng Kancil Kanggo Bocah (dongeng), Puspa Tunjung Taruna (esai), Pendekatan Nilai-Nilai Filosofi Dalam Karya Sastra Jawa (esai), Kembar Mayang (esai), Nilai-Nilai Luhur Budaya Jawa- Sumber Kearifan Lokal (esai), Ki ageng Sela Dan Ajarannya; Pendidikan Nilai Moral Dan Pembentukan Karakter (esai); Semar; Sebuah simbolisasi, Filosofi Dan Mistik Kejawen (esai). Makna Simbol Selamatan Kematian pada masyarakat Jawa (esai). Menelusuri Jejak Tradisi Membangun Jatidiri (esai). Uran-uran katresnan (novel). Keladuk Manis ing Salumahe Sambilata (novel). Juminem…dodolan tempe? (novel). Udan ing wanci ketiga (novel). Ledhek saka Ereng-erenge Gunung Wilis (novel), Gogroke Reroncen Kembang Garing (novel), Rumpile Jurang Katresnan (novel). Klelep ing Samodra Rasa (novel). Langit Mendhung Sajroning Pangangen (novel). Bersama Pak Tulus Ayo Belajar (motivasi). Aris (kumpulan cerkak). Sedangkan antologi bersama lainnya, seperti dibawah ini’; Antologi bersama; antologi Mangkubumen Sembilan Enam, Bulan Tuhan, Pelacur, Epifani Serpihan Duka Bangsa, Kemilau Mutiara Januari, Merangkai Damai, Pengembaraan Burung, Bunga Putra Bangsa, Indonesia di Titik 13 dll. Juga antologi cerkak mengeti HUT ke-35 Sanggar Triwida “Ngrembuyung”. Antologi cerpen “Negeri Kertas”. Antologi Geguritan Dinas kebudayaan Prov,DIY, Antologi geguritan “Sakwise Ismet lan Suparta Brata” Balai Bahasa Jatim, Antologi geguritan “Gebyar Kasusastran” Balai Bahasa Jatim. Antologi geguritan “Sor bumi sor kukusan.”

Naskah Teater; Jaka Modo

$
0
0

Naskah Drama Karya: Rodli TL *

Sinopsis
Andong Sari terusir dari istana, lantaran cemburu berujung fitnah. Ia harus membawa lari bayi lelakinya ke hutan utara, sampai Gunung Ratu dengan di temani seekor garangan dan kucing. Bayi itu ia beri nama Joko Modo.

Joko Modo, Gajah Mada adalah toko sentral Majapahit yang mencapai kejayaannya dengan pusat pemerintah di Wilwatikta. Dinasti yang didirikan Raden Wijaya ini mencapai puncak kejayaan di era Hayam Wuruk.

Joko Modo, Gaja Madah seringkali mengalahkan pemberontakan yang dipimpin Ra Kuti terhadap Raden Wijaya yang dianggap tidak pantas menjadi raja, lantaran Raden wijaya bukan keturunan asli jawa, namun berdara campuran.

Joko Modo, Gajah Mada terus melawan pemberontak dengan semangat Sumpah Palapa untuk menyatukan nusantara.

Adegan 1
Musik gamelan dan rancak bambu.
Para penari bergerak seperti ular, gerakannya lincah dan menggelombang. Gerakannya nampak indah. Dari tubuh tarian ular itu muncul garangan dan kucing menari dengan tarian yang lucu, namun tetap seirama dengan kelompok penari lain.

Adegan 2
Beberapa menit kemudian, muncul perempuan yang menggendong bayi dengan tariannya. Ia adalah Dewi Andongsari.

Adegan 3
Kelompok penari ular bergerak mengelilingi Dewi Andongsari, lalu pergi meninggalkannya.

Adegan 4
Dewi Andongsari menari sendiri. Lalu menyampaikan harapan anaknya.

Dewi Andongsari : Bersama engkau aku menari, anakku. Engkau adalah gunung sebagai pasak kehidupan. Kehidupan itu bernafas sejuk, nafasnya diantara akar-akar tanah. Engkau adalah lelaki keturunan raja. Semoga engkau menjadi lelaki pengikat bumi, seperti gunung dan pepohonannya. Anakku, Engkau aku beri nama Jaka Modo.

Musik
Dari kejauhan tiba-tiba muncul teriakan kasar kepada Dewi Andongsari.

Suara-Suara: Andongsari, engkau adalah perempuan rendah. Jangan engkau harap, anakkmu menjadi pewaris majapahit. Pergi, pergi, pergi! Jangan engkau injak tanah istanah. Dewi Andongsari dan anaknya harus enyah!

Musik keras dengan tarian yang mengamuk. Garangan dan kucing mengaum. Joko Modo yang masih ada di gendongan ibunya menangis keras. Dewi Andongsari berlarian kesana kemari.

Adegan 5
Musik melemah. Andongsari menangis terpojok. Dewi Andongsari bergumam menyanyi
Dewi Andongsari : (menari dan menyanyi dengan tidak bertenaga)
Tiada kekuatan yang buat untuk lawan
Duh Gusti, di atas kahyangan
Tolong, tolong, Sang Maha Penyayang.

Adegan 6
Dewi Andongsari, awalnya ia larut sedih, namun ia cepat sadar. Ia harus bersemangat dan kuat membesarkan anaknya. Dewi Andongsari menari lucu mengudang anaknya.
Muncul Garangan dan Kucing ikut menari dan menemani. Mereka sangat bergembira menghibur Jaka Modo.

Dewi Andongsari: Ayo teruslah berjoget, kucing! Lo kenapa engkau berhenti berjoget, Garangan?
Garangan: (Mengaum ngambek).
Dewi Andongsari: Walah, cemburu, ngambek… ya kalau yang berjoged hanya kucing, ya tidak ramai. Ayo Garangan, kamu harus berjoged juga. Agar Jaka Modo tertawa senang.

Dewi Andongsari tersenyum. Ia menari pelan. Tariannya menggambarkan seorang ibu yang sedang merawat anaknya dengan kasih sayang.

Garangan, kucing dan semuanya menari dengan tarian seperti yang dilakukan Dewi, merawat anak dengan kasih sayang, dengan suasana gembira.

“Anak kita adalah cinta
Tumbuh besar menjadi cita
Dirawat, dididik menjadi jiwa
Jiwa-jiwa kebesaran nusantara.

Dewi Andongsari: Garangan dan kucing. Saya mau turun ke telaga. Tolong jaga sebentar Jaka Modo. Menari dan menyanyilah agar tidak menangis.

Garangan dan kucing berisyarat bersedia dengan senang. Mereka cepat bertingkah ngudang si bayi. Akhirnya mereka kelelahan dan istirahat menjahu dari bayi.

Dari kejauhan terdengar suara desis ular. Suasana seperti mengancam. Ular itu langsung mendekat pada bayi dan melilitnya, bukan untuk memakannya, namun bermaksud memeluk dan melindunginya.

Ular: Si bayi ini keturunan dari pasangan yang jauh berbeda, raja dan selir. Lalu menjadi nasib yang seperti yang tidak ditanggung hidup. Bayi ini harus dilindungi sebab dari tubuhnya tercium bau kebesaran cinta tanahnya.

Garangan dan kucing terjaga, kaget melihat ular yang sedang melilit bayi Jaka Modo. Mereka saling melihat. Kucing dan Garangan mau menyerang ular berusaha merebut dari lilitan ular. Ular berusaha bertahan bermaksud menjaga Jaka Tarub dari serangan Garangan dan Kucing. Mereka saling menyerang. Akhirnya tubuh ular berhasil tercakar dan lepaslah lilitannya. Bayi terlempar ular terkapar.

Garangan dan kucing melompat menyelamatkan bayi, namun dihadapannya sudah muncul Dewi Andongsari.
Dewi Andongsari marah sebab menganggap Garangan dan kucing memakannya.

Dewi Andongsari: Ternyata kalian mengikuti betul-betul bermaksud membunuh anakku. Menunggu saat yang tepat melaksanakan tugas Ratu. Garangan dan kucing kalian puas telah memakan Jaka Modo. Sekerang mendekatlah dan terkamlah tubuhku. Bila tidak, kepala kalian akan pecah dengan kayu ini. (Bergerak dengan kayu di tangan. Menjerit seperti kesurupan) Ayo terkamlah tubuhku, makanlah seperti engkau memakan anakku Jaka Modo!

Garangan dan kucing sangat ketakutan, mereka mundur pelan-pelan dan akhirnya pukulan kayu itu berkali-kali menampar kepalanya. Garangan dan Kucing akhirnya tekapar mati.

Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara tangisan bayi. Dewi Andongsari mendengarnya. Cepat ia berlarian mencarinya. Dewi Andongsari kaget kala menemukan tubuh anaknya yang bergerak utuh. Ia melihat disampingnya ada seekor ular yang besar yang tergeletak. Dewi Andongsari menyesal, Cakar, mulut dan tubuh Garangan dan kucing yang berlumuran darah itu bukan darah bayinya, tapi darah ular. Dewi Andongsari menangis menyesal.

Dewi Andongsari: (berjalan kesana kemari dengan sedih)
Tiada kekuatan yang buat untuk lawan
Duh Gusti, di atas kahyangan
Tolong, tolong, Sang Maha Penyayang.

Adegan 7
Musik dan tarian gembira dengan suasana anak-anak bermain. Muncul Jaka Modo telah menjadi bocah yang besar. Ia mengembala kerbau.

Adegan 8
Saat Jaka Modo mengembala, ia berunlangkali melihat pertarungan dan peperangan di lereng yang nampak dari atas bukit.

Adegan 9
Dari beberapa peristiwa perang tersebut Jaka Modo bercita-cita mendamaikannya.
Jaka Modo menjadi pemuda besar. Akhirnya ia menjadi Pati Majapahit dan mengucapkan Sumpah Palapa.

Sira Gajah Mada Pepatih amungkubumi tan ayun amukti palapa
Sira Gajah Mada lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa
Lamun kalah ring gurun, ring Seram, Tanjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompu, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa.

Panggung menjadi tarian para prajurit yang gagah menyatukan nusantara.

Lamongan, Jawa Timur, 13 Juli 2017.
_____________________________
*) Rodli TL, seorang dramawan Jawa Timur yang telah menulis puluhan naskah drama sekaligus menyutradarainya. Ia lahir di Lamongan pada tanggal 17 Juni 1976. Sejak lulus dari Teater Tiang di Universitas Jember tahun 2004, ia mendirikan sanggar anak Sang_BALA, Kelompok Belajar Bermain Drama yang sampai sekarang memiliki ratusan anak asuh yang terus-menerus berlatih di sanggar yang berdiri kokoh, serta memiliki tempat pertunjukan permanen di kampung halamannya, Candi Tunggal, Kalitengah, Lamongan. Ia juga dosen CCU, Creative Writing, Sastra dan Film di Universitas Islam Darul Ulum Lamongan. Di tahun 2008, mendapatkan penghargaan dari Mendiknas sebagai pengajar kreatif di bidang seni pertunjukan anak pada Festival Seni Internasional. Tahun 2010, karyanya kembali menjadi yang terbaik di Festival Seni Internasional tersebut. Puluhan naskah drama yang telah ditulisnya; ‘Mulut’ 2000, ‘Tarian Tanah’ produksi 2001, ‘Eksekusi Suatu Hari Kemudian’ 2002, ‘Ketinggalan Kereta’ 2003, ‘Adam Hawa,’ produksi 2004, ‘Si Lita’ 2004, ‘Ubah Bintang’ 2005, ‘Kibar Bendera Sarto’ 2006. Novel ‘Dazedlove’ diterbitkan Pustaka Ilalang 2005, ‘Hah’ 2007, ‘Kapak Berhala’ diterbitkan PUstaka puJAngga 2008, ‘Mimpi Buruk Penari’ 2007, ‘Bunglon dan Kupu-Kupu’ 2005, ‘Past Game’ Festival Seni Internasional 2008 PPPPTK Seni Budaya Yogyakarta, ‘Ibu Bumi,’ diproduksi Teater Nafas Kata 2009, ‘Kesetiaan Sang Istri,’ produksi Teater Roda dan DISBUDPAR JATIM 2009, ‘Perempuan Bunga Kamboja’ 2009, ‘Roh Jahat’ 2009, ‘Membunuh Hayalan’ produksi Teater Kotak Hitam 2010, ‘Dewi Sri’ karya pertunjukan terbaik Festival Seni Internasional PPPPTK Seni Budaya Jogjakarta 2010, ‘Wasiat Gelap’ 2010, ‘Anoman Kecil’ 2012, ‘Manusia Kardus’ 2012, ‘Orang Asing’ 2012, ‘Kadet Suwoko,’ Sutradara Terbaik Lomba Teater Bulan Bahasa UM 2011, ‘Prahara Amitunon’ 2013, ‘Kupatan,’ pertunjukan terbaik II Drakolah Jawa Timur 2014, ‘Nyanggring’ 2013, Novel Pertunjukan ‘Anak Kalap’ 2013, ‘Raja Kasa’ 2013, ‘Klebon Grasak’ 2014, ‘Situ Bagendit’ 2014, ‘Ada Yang Menangis Sepanjang Hari’ 2014, ‘Dhaeng Sekara’ 2014, ‘Iblis Menangis’ 2014. Puluhan naskah drama tersebut telah menjadi bagian penting perkembangan dunia teater di Lamongan sampai ke panggung Internasioanal.

Perihal Esai Sastra di Indonesia

$
0
0

Yohanes Sehandi *
Pos Kupang, 27 Sep 2017

Dalam sejarah sastra Indonesia, tulisan jenis esai sastra dan kritik sastra hampir tidak bisa dibedakan. Kedua jenis karangan pendek yang berisi analisis terhadap karya sastra itu mulai dikenal dalam sastra Indonesia lewat media massa cetak. Media cetak awal yang terbit tahun 1930-an yang memperkenalkan tulisan jenis esai dan kritik sastra adalah majalah Pandji Poestaka (bagian dari Balai Pustaka yang dikelola kolonial Belanda) dan majalah Poedjangga Baroe (yang dikelola tokoh-tokoh sastra pribumi, dimotori Sutan Takdir Alisjabhana atau STA). Tokoh-tokoh sastra yang berjasa memperkenalkan kedua jenis karangan ini, selain STA, adalah Armijn Pane, Sanusi Pane, dan Amir Hamzah.

Dalam karangan para tokoh sastra ini, antara esai sastra dan kritik sastra tidak dirumuskan perbedaannya secara jelas, meskipun disadari ada perbedaan antara keduanya, betapapun kecil perbedaan itu. Esai sastra dan kritik sastra secara umum sepertinya diperlakukan atau dianggap sama. Itu terlihat pada tulisan-tulisan kritikus sastra legendaris Indonesia H.B. Jassin yang dimuat di berbagai media massa cetak tahun 1950-an sampai tahun 1960-an, yang kemudian terhimpun dalam buku Kesusasteraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei jilid I-IV (Gunung Agung, Jakarta, 1954, 1955, 1962, 1967).

Hal yang sama terjadi juga pada buku telaah sastra terbitan terbaru dalam sastra Indonesia modern berjudul Kritik Sastra Indonesia Mencari Kambing Hitam: Sepilihan Esai dan Kritik Sastra Klasik Indonesia (2017) Editor Maman S. Mahayan, terbitan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Dalam kedua buku yang disebutkan di atas, antara tulisan jenis esai sastra dan kritik sastra diperlakukan sama atau dianggap sama.

Apa itu esai sastra? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2001, halaman 308), “esai” diartikan sebagai karangan prosa yang membahas suatu masalah secara sepintas lalu dari sudut pandangan pribadi penulisnya. Dengan demikian, maka esai sastra berarti sebuah karangan prosa yang membahas karya sastra secara sepintas lalu dari sudut pandangan pribadi penulis esai tesebut.

Dalam buku Tifa Penyair dan Daerahnya (1983, halaman 92-94), kritikus sastra H.B. Jassin merumuskan pengertian esai sastra sebagai karangan yang membicarakan soal-soal manusia dan hidup, dijiwai oleh subjektivitas pengarang, dalam mencari arti hidup dan penjelmaannya. Yang dibahas dalam esai itu beragam soal, tidak tersusun secara metodis, tetapi dipetik dengan merdeka dari sana-sini di jalan penghidupan. Dalam esai bisa dikemukakan hikmah hidup, tanggapan-tanggapan, pikiran-pikiran, renungan-renungan, komentar-komentar atas kejadian-kejadian, kutipan-kutipan atau ucapan orang, anekdot-anekdot, filsafat hidup, tetapi semuanya itu dengan cara subjektif, menurut pikiran dan perasaan penulisnya sendiri.

Dalam esainya yang berjudul “Esai tentang Esai” dalam buku Sejumlah Masalah Sastra (Editor Satyagraha Hoerip, 1982, halaman 15-19), Arief Budiman menggambarkan dengan cukup hati-hati sosok tulisan yang disebut esai sastra. Dijelaskannya, yang utama pada tulisan esai bukanlah pada pokok persoalannya, tetapi pada cara pengarang mengemukakan persoalannya. Esai adalah sebuah karya tulis pribadi yang telah puas dalam dan dengan dirinya sendiri. Seorang penulis esai menulis sesuai dengan apa yang hidup dalam dirinya, perasaan dan pikirannya. Maka, seorang esais adalah orang yang terpikat. Orang yang jatuh cinta pada persoalan yang bersifat pribadi manusiawi. Menulis sebuah esai seakan-akan bercerita kepada dan untuk diri-sendiri, seakan-akan merenungkan keindahan percintaannya.

Nyoman Kutha Ratna dalam bukunya Glosarium: 1.250 Entri Kajian Sastra, Seni, dan Sosial Budaya (2013, halaman 120) menjelaskan bahwa esai sastra pada umumnya dikaitkan dengan kritik sastra. Berbeda dengan kritik sastra yang memberikan penilaian secara teoretis, mendalam, dan dilakukan melalui berbagai segi, esai sastra pada dasarnya lebih terbatas pada pemahaman awal, permukaan, bahkan juga mengandung semacam persuasi untuk mempengaruhi pembaca.

Sejak Zaman Yunani

Dijelaskannya pula oleh Kutha Ratna bahwa esai sastra sudah dikenal sejak zaman Yunani. Pada akhir abad ke-16, baru esai sastra diberi ciri-ciri yang bersifat standar seperti yang dilakukan oleh Montaigne dan Francis Bacon. Pada akhir abad ke-19, dengan digunakannya majalah, bentuk esai sastra menjadi lebih populer. Menurut Kutha Ratna, di Indonesia, antara esai sastra dan kritik sastra hampir diperlakukan sama.

M.H. Abrams dalam buku Glossary of Literary Terms (1981) membedakan jenis esai formal dan esai personal. Esai formal lebih mengarah ke tinjauan keilmuan yang sistematis dengan sedikit pertimbangan teori dan metode, sedangkan esai personal lebih bersifat apresiatif dengan menggunakan gaya bahasa yang lentur dan fleksibel, gampang dimengerti masyarakat umum. Esai formal penyajiannya mirip dengan gaya penyajian kritik sastra.

Bagaimana kedudukan esai sastra dengan kritik sastra dalam sastra Indonesia modern pada saat ini? Pada saat ini esai dan kritik sastra dipahami sebagai dua jenis karangan pendek populer yang berisi analisis/kajian terhadap karya-karya sastra yang dipublikasikan lewat media massa, baik media cetak maupun media elektronik. Masyarakat umum banyak terbantu atau menjadi tertarik membaca karya-karya sastra yang dipublikasikan berbagai media massa setelah membaca tulisan esai dan kritik sastra yang ditulis para esais dan kritikus sastra.

Teknik penyajian esai sastra dan kritik sastra hampir sama, yakni dengan melakukan deskripsi, interpretasi, dan analisis. Yang membedakan esai sastra dari kritik sastra adalah kritik sastra berlanjut pada penilaian baik buruknya karya sastra yang dianalisnya dengan memberikan pertimbangan mengenai isi dan bentuknya. Penilaian dilakukan kritik sastra setelah melewati tahapan deskripsi, interpretasi, dan analisis. Jadi, perbedaannya, kritik sastra berujung dan berpuncak pada penilaian terhadap karya sastra, esai sastra tidak.

Esai sastra bergerak dalam aktivitas deskripsi, interpretasi, dan analisis. Esai sastra bisa menonjolkan deskripsi atau interpretasi atau analisis atas objek karya sastra yang ditelaah sesuai dengan minat subjektif penulisnya. Yang tidak ada pada tulisan esai sastra adalah evaluasi atau penilaian baik atau buruk atas suatu karya sastra yang dihadapinya. Jadi, sekali lagi, esai sastra tidak sampai pada tahapan penilaian. Esai sastra bergerak dalam tataran deskripsi atau interpretasi atau analisis. Esai sastra lebih bersifat apresiatif, sedangkan kritik sastra, di samping bersifat apresiatif juga bersifat evaluatif, yakni memberi penilaian.

Objek yang dianalisis dalam esai sastra adalah karya-karya sastra kreatif (imajinatif), seperti puisi, cerpen, novel, naskah dama atau pementasan drama. Di samping itu, karya-karya sastra non-imajinatif yang berkaitan dengan hal-hal yang menyangkut teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra, juga menjadi objek yang dianalisis dalam esai sastra. Tujuan esai sastra untuk memberikan pandangan singkat berdasarkan perspektif penulisnya yang bersifat subjektif. Tentu saja masalah yang diangkat dalam esai sastra yang menarik perhatian penulisnya. Yang utama dalam esai sastra adalah cara pengarang mengemukakan persoalannya, bukan pada objek persoalannya.

*) Pengamat Sastra NTT dari Universitas Flores, Ende
http://yohanessehandi.blogspot.co.id/2017/09/perihal-esai-sastra-di-indonesia.html

Penemu Kata

$
0
0

André Möller *
Kompas, 20 Mei 2011

Dengan berpulangnya Rosihan Anwar pada 14 April lalu, kontribusinya terhadap dunia jurnalistik dan bahasa Indonesia dikedepankan di beberapa media massa. Sebuah media digital mewartakan bahwa Rosihan adalah ”penemu dan pengusung kosakata baru”. Gengsi dan anda adalah dua kata yang konon ”ditemukannya”.

Sering juga muncul kisah mengenai Zorica Dubovská, ilmuwan asal Ceko, yang ”menemukan” kata swasembada. Kata itu sekarang sudah masuk Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan penjelasan ”usaha mencukupi kebutuhan sendiri” dan Zorica sudah dianugerahkan Bintang Jasa Pratama dari Presiden Republik Indonesia.

Yang menarik perhatian saya di sini, selain kehebatan dua orang itu, adalah anggapan bahwa kata dapat ”ditemukan” (begitu saja). Anggapan ini saya kira sangat simpatik dan juga berpotensi agak produktif bagi (calon) bahasawan di Indonesia dan bagi bahasa Indonesia sendiri tentunya.

Anggapan itu seolah-olah mau memberi gambaran bahwa bahasa dan segala kata serta kaidah gramatika yang merupakan intisarinya selalu terdapat di suatu tempat dan sewaktu-waktu dapat ditemukan dan dikedepankan ke ruang publik. Terkadang, kata-kata barangkali terlupakan dan/atau tersembunyi. Akan tetapi, bahasawan yang rajin pasti bisa menemukannya kembali jika berusaha. Itulah dilakukan orang seperti Rosihan Anwar dan Zorica Dubovská.

Nah, jika kita bersepakat bahwa kata-kata baru dan semi-baru dapat ”ditemukan”, kira-kira apa keuntungannya? Apakah anggapan yang membawakan ciri-ciri ilmu pasti kepada kosakata dan kaidah bahasa juga akan membawa dampak positif bagi bahasa Indonesia dan para penuturnya? Jawabannya singkat: iyalah.

Yang pertama, tentu saja bahasa Indonesia akan diperkaya. Kosakata yang benar-benar baru atau yang sudah lama telah terlupakan akan muncul lagi setelah diperkenalkan para penemu masing-masing. Yang kedua, bahasa Indonesia tak perlu gampang menyerah menghadapi bahasa lain di pertarungan yang selalu ada di panggung global. Yang ketiga, status bahasawan di Indonesia dapat diangkat supaya diakui sebagai pekerjaan terhormat dan jasa-jasanya akan lebih banyak digunakan pihak yang amat membutuhkannya (tapi mungkin belum menyadarinya).

Bagaimana supaya para penemu kata ini tak hanya muncul sesekali dan kala itu dianggap sangat luar biasa? Bagaimana supaya penemu kata ini lebih sering muncul dan dianggap bagian lumrah di dunia ini?

Sebetulnya bahasawan ini sudah ada dan terus-menerus bekerja keras, tapi masyarakat umum mungkin jarang melihatnya karena juga kurang sudi memanfaatkan hasil intelektualnya. Lihat saja istilah-istilah komputer yang sudah diterjemahkan secara cukup komprehensif. Mengunduh (download), mengunggah (upload), dan nirkabel (wireless) sudah jadi bagian integral dari bahasa Indonesia. Begitu pula di banyak bidang yang lain.

Hanya saja: kita semua perlu menyadarkan diri akan semua usaha kebahasaan ini, menghargai yang melakukannya, dan mulai menerapkan hasilnya dalam bahasa sehari-hari kita.

*) Penyusun Kamus Swedia-Indonesia, Tinggal di Swedia.
https://rubrikbahasa.wordpress.com/2011/05/20/penemu-kata/

Boedi Oetomo: Sejarah Dan Bahasa

$
0
0

Bandung Mawardi *
Majalah Tempo, 25 Mei 2015

Bermula dari percakapan, terpilihlah nama untuk perkumpulan modern di Hindia Belanda. Soetomo menanggapi penjelasan Wahidin Soedirohoesodo: “Punika satunggaling pedamelan sae sarta nelakaken budi utami.” Petikan kalimat berbahasa Jawa ini dimuat di buku berjudul Dr Soetomo: Riwajat Hidup dan Perdjuangannja (1951) garapan Imam Supardi. Wahidin Soedirohoesodo dan Soetomo adalah kaum terpelajar, tapi masih mengukuhkan diri sebagai manusia Jawa. Ilmu diperoleh bermodal bahasa Belanda, tapi identitas bertumpu ke bahasa Jawa. Kita mulai memiliki dugaan bahwa bahasa turut memengaruhi kemunculan perkumpulan modern di saat dibentuk di Betawi.

Nama “budi utami” menjadi Boedi Oetomo. Soetomo (1934) mengenang sejarah nama perkumpulan melalui ketokohan Soeradji. Pertemuan dan percakapan para murid STOVIA dengan Wahidin Soedirohoesodo dijadikan sumber penamaan. Percakapan berbahasa Jawa itu memicu reaksi kebahasaan. Soeradji segera mengusulkan organisasi dinamai Boedi Oetomo. Pengakuan Soetomo: “… Mas Soeradji inilah jang memadjoekan oesoelnja, soepaja perkoempoelan kita itoe, diberi nama Boedi Oetomo hendaknja.” Jasa terbesar Soeradji dalam pendirian dan perkembangan Boedi Oetomo memang berkaitan dengan bahasa. Para pendiri cenderung berbahasa Belanda dalam agenda keilmuan, politik, sosial, pers, dan kultural. Mereka mulai kehilangan gairah berbahasa Jawa. Pujian Soetomo: “Mas Soeradji djasanja sangat dihargai oleh perkoempoelan kita karena Toean inilah jang mendjadi tali perhoeboengan dan dapat memikat hatinja separoeh bangsa kita jang masih dengan bahasa Djawa.”

Kelahiran Boedi Oetomo, 20 Mei 1908, mengingatkan kesadaran berbahasa dan pembuktian kehendak memajukan Jawa. Bahasa Belanda telah memberi sihir ilmu dan politik ketimbang bahasa Jawa. Kegandrungan berbahasa Belanda perlahan mendapat godaan dalam penamaan perkumpulan beranggotakan para pelajar beretnis Jawa. Mereka terbiasa berbahasa Belanda dalam keseharian, tapi sengaja memilih nama perkumpulan berbahasa Jawa. Urusan bahasa memang menentukan jika kita mau membaca lagi pemberitaan mengenai Boedi Oetomo di Retno Doemilah edisi 14 Oktober 1908. Kita menemukan informasi bahwa Raden Koewatin Sasrasoegonda berperan sebagai sekretaris perkumpulan Boedi Oetomo. Beliau adalah guru dan ahli bahasa di Yogyakarta. Sejak 1905, Sasrasoegonda sudah menggarap kamus atau baoesastra. Pekerjaan ini dilakukan berbarengan dengan pengabdian sebagai guru dan keterlibatan dalam agenda-agenda Boedi Oetomo.

Sasrasoegonda dan teman-teman berhasil merampungkan garapan Baoesastra Melajoe-Djawa pada 1913. Kamus itu diterbitkan pada 1916. Kita berkepentingan ingin membaca pengertian-pengertian “boedi” dan “oetomo” agar ada nuansa kesejarahan bahasa saat mengenang Boedi Oetomo. “Boedi” berarti kabetjikan. “Oetomo” berarti loewih betjik. Dua istilah itu memiliki pengertian hampir sama: kebaikan. Dulu, orang-orang cenderung mengartikan Boedi Oetomo sebagai “boedi jang loehoer”. Kita mulai agak mengabaikan urusan bahasa dalam kesejarahan perkumpulan modern di negeri jajahan. Sekarang kita cuma mengerti ada perubahan ejaan saja: Boedi Oetomo menjadi Budi Utomo.

Bahasa masih menentukan sejarah Indonesia. Pemberitaan tentang Boedi Oetomo muncul di Jong Indie edisi 18 Juli 1908: “Suatu berita genting, namun menggembirakan: kebangunan orang Jawa!” Surat kabar itu memberi istilah “kebangunan” untuk menilai kehendak para pelajar Jawa mendirikan Boedi Oetomo (Abdurrachman Surjomihardjo, 1973). Dulu, “kebangunan” adalah istilah bermakna politis bagi pendirian dan perkembangan Boedi Oetomo.

Pada 1950-an, para tokoh bangsa dan publik masih menggunakan istilah “kebangunan” untuk mengenang Boedi Oetomo. Pada 1952, terbit buku berjudul Dari Kebangunan Nasional sampai Proklamasi Kemerdekaan garapan Ki Hadjar Dewantara. Buku itu berisi artikel, pidato, dan obituari.

Ki Hadjar Dewantara menerangkan: “Dengan penerbitan buku ini tidak lain maksud si penulis daripada memberi sekadar kenang-kenangan guna perlengkapan dokumentasi nasional jang bertali dengan pergerakan rakjat, mulai Hari Kebangunan Nasional, 20 Mei 1908, sampai Hari Proklamasi, 17 Agustus 1945.” Di halaman 36, dimuat pidato Sukarno dalam peringatan Hari Kebangunan Nasional, 20 Mei 1952. Sukarno berkata: “Hari ini 20 Mei 1952. Saja mulai dengan mengutjapkan sjukur alhamdulillah terhadap Tuhan, bahwa Ia memelihara kebangunan kita sampai kehari ini.”

Selama puluhan tahun, orang-orang mengakrabi istilah “kebangunan”. Istilah itu tak awet. Pergantian rezim memicu perubahan istilah. Barangkali perubahan mengartikan ada gelagat penghilangan nuansa Orde Lama dalam peringatan hari bersejarah, 20 Mei 1908. Pada masa Orde Baru, para pejabat dan publik memilih istilah “kebangkitan” ketimbang “kebangunan”. Pemihakan istilah “kebangkitan” semakin menguat dalam pidato Soeharto saat peresmian Gedung Kebangkitan Nasional dan Gedung Sumpah Pemuda, 20 Mei 1974. Soeharto berkata: “Hari ini, 20 Mei, adalah Hari Kebangkitan Nasional. Dan pada hari yang bersejarah itu kita semua sangat bergembira ….” Kebangkitan menggantikan kebangunan. Soeharto memang tak mengucap “kebangunan”, tapi rajin mengucap “membangun” dan “pembangunan”. Sejarah masih bergerak dengan perubahan bahasa. Sekarang kita masih mengikuti pilihan istilah warisan Orde Baru ketimbang mengingat pemaknaan politis mengacu ke istilah “kebangunan”. Begitu.

*) Pengelola Jagat Abjad Solo
https://rubrikbahasa.wordpress.com/2015/05/25/boedi-oetomo-sejarah-dan-bahasa/


Perawan dan Tiga Serigala

$
0
0

Anindita S. Thayf
Koran Tempo

DAN kini hanya tersisa satu orang perempuan di muka bumi. Satu yang tinggal di dalam bunker perlindungan berpintu platinum lapis lima dan dijaga tiga ekor serigala. Sebenarnya, lebih pantas dia disebut gadis karena usianya masih belia: satu gerhana lagi tujuh belas tahun. Ayahnya, yang kini entah berada di mana—dia lebih suka berpikir orang tua itu masih hidup—berjanji hanya akan pergi sebentar dan bakal kembali sebelum usianya tepat tujuh belas. “Untuk mencari hadiah ulang tahunmu. Yang terbaik, tentu saja,” kata ayahnya pada suatu malam, dan begitu pagi tiba lelaki itu sudah pergi.

Usianya baru sebulan ketika ibunya menolak membuka mata untuk selamanya, sehingga oleh suaminya sendiri perempuan itu dimasukkan ke dalam Ruang Museum. Sejak hari itu hingga seterusnya, sang ibu mesti tinggal bersama benda-benda kuno dan sesamanya di balik dinding, sementara tidak jauh dari situ si gadis mesti belajar hidup tanpa ibu.

Setiap kali merasa sedih atau kesepian, gadis itu berkunjung ke Ruang Museum untuk bertemu ibunya.

“Aku bosan tinggal di sini, Ibu. Aku mau keluar, tapi dilarang Ayah,” keluhnya suatu hari.

“Ibu, tahukah kau kalau anak-anak serigalanya sudah besar? Ketiganya temanku, tapi kata Ayah mereka piaraan. Katanya juga, kalau sudah besar nanti, mereka harus tidur di luar,” lapornya di lain waktu.

Dari balik kaca bening lebar, sosok ibunya tampak diam seolah ingin mendengarkan setiap kata gadis itu. Ibunya masih kelihatan cantik dan sempurna dalam balutan gaun pemakaman. Dengan mata tertutup, perempuan itu berdiri ditopang dua lapis kaca tebal pengawet yang menindihnya dari dua sisi. Tidak ada yang aneh dengan sosok ibunya, kecuali tubuhnya kini sepipih rambut.

“Bagaimana kalau Ibu ternyata masih hidup, Ayah? Apakah dia tidak kesakitan dijepit begitu?” Semasa bocah, gadis itu sering bertanya begini kepada ayahnya, yang dijawab dengan kalimat yang selalu sama. Bahwa ibu gadis itu termasuk beruntung karena berhasil mencapai bunker sebelum penyakit ganas menyerang dan membunuhnya. Bahwa jika ibunya mati di luar sana, dia akan diperlakukan seperti perempuan lain yang gagal: tubuhnya akan dijadikan abu lalu dihisap angin.

“Ibumu salah satu Perempuan Mulia, dan seharusnya kau bersyukur. Jika tidak begitu, kau tidak akan pernah bisa melihat ibumu lagi. Selamanya,” ucap ayahnya dengan nada sedih, sebelum menyuruhnya menyanyikan lagu penghormatan Muliakan Nama Ibu Kami.

Lagu itu diajarkan ayahnya sejak dia masih bayi. Liriknya berisi puja-puji kepada perempuan yang menghidupi bumi dan menjaganya dari kemusnahan, lalu diakhiri dengan menyebutkan nama para Perempuan Mulia. Semula, dia yakin lagu itu ciptaan seseorang yang membangun bunker dan menaruh sejumlah sosok yang seperti ibunya di balik dinding Ruang Museum yang berhias plakat bertulis: Perempuan Mulia. Namun, setelah ibunya meninggal, lagu itu berubah, pun keyakinannya. Dia menemukan ada nama ibunya ditambahkan pada lirik terakhir.

“Apakah kau yang menciptakan lagu itu, Ayah?” selidiknya, tapi dijawab ayahnya dengan penjelasan yang membuatnya bingung. “Itu lagu ciptaan semua anak. Kelak, namamu juga akan ada di dalam lagu itu—tapi itu masih lama, jadi lupakan saja.” Maka dia pun melupakannya.

ADA tiga serigala di depan pintu bunker. Berjalan hilir-mudik laksana penjaga galak walaupun sebenarnya tidak begitu. Ketiganya sedang menunggu pintu berat itu terbuka dari dalam dan sesayup suara halus akan mengundang mereka masuk. Meskipun tertutup dan tidak berhias langit, ketiganya lebih suka berada di dalam bunker. Penyebabnya adalah gadis itu. Tiga serigala memujanya.

Menuruti wasiat induk serigala, sebenarnya majikan mereka adalah ayah si gadis. Induk mereka dan ayah si gadis bersahabat. Ketika lelaki itu melakukan perjalanan panjangnya yang ambisius, sahabat serigalanya diajak serta. Ketika perjalanan tersebut berakhir sukses—lelaki itu bertemu seorang perempuan dan memperistrinya—persahabatan keduanya tetap terjalin. Namun, persahabatan itu ternyata tidak bisa diwariskan. Setelah induknya mati, tiga serigala justru lebih suka berada di dekat putri lelaki itu.

Ketika belum sedewasa sekarang, ayah si gadis masih mengizinkan tiga serigala menemani putrinya menghabiskan hari, bahkan tidur dengannya. Hanya tiga serigala sahabat sekaligus teman bermain gadis itu. Mereka selalu pasrah dijadikan entah lawan gelut atau kucing manja yang suka digendong. Mereka juga mau saja dibacakan buku cerita kesukaan gadis itu, di mana pada akhirnya salah satu dongeng yang ada di sana menjadi kesukaan mereka. Tiga serigala menyukai Pangeran Kodok.

Tiada yang tahu, saat sedang berjaga malam, tiga serigala sering saling menceritakan kembali dongeng itu dalam bahasa serigala. Dongeng yang lama-kelamaan membuat ketiganya dirasuki keyakinan bahwa Pangeran Kodok kisah nyata. Di suatu tempat nun jauh, barangkali benar-benar ada seekor kodok beruntung yang bisa menjelma manusia setelah dicium seorang putri. Barangkali benar-benar ada sebuah keajaiban untuk seekor binatang.

Tiga serigala mengenal kata “keajaiban” dari manusia. Mereka mendengar kata itu dipakai terakhir kali oleh ayah si gadis sesaat sebelum kepergiannya enam gerhana lalu untuk melakukan apa yang disebutnya Perjalanan Ambisius II.

“Kutitip anakku pada kalian untuk dijaga sampai aku pulang. Sebagai imbalannya, nanti kalian akan kuberi dua kaleng daging kering. Bagaimana? Kalian pasti tahu kalau putriku adalah keajaibanku—jadi jagalah dia,” demikian ayah si gadis berpesan, sebelum meninggalkan bunker di ujung malam.

Memperlakukan seperti anak laki-laki yang tidak dimilikinya, demikian cara ayah si gadis menjalin kedekatan dengan tiga serigala. Bersama ketiganya, dia sering menghabiskan waktu entah untuk berburu, mengawasi daerah sekitar bunker, atau sekadar bersantai menikmati angin. Ketiganya juga punya mangkuk makan khusus serupa milik si gadis, tabung tidur jika sedang sakit, bahkan satu hari istimewa untuk bercengkerama.

“Sebab anakku sendiri tidak mungkin melakukan apa yang kita lakukan, kecuali dia bakal sakit. Yah, begitulah perempuan. Lemah,” demikian celoteh ayah si gadis selalu.

Laki-laki itu juga lebih sering mengajak tiga serigala bercakap-cakap. Alasannya, “Ini masalah laki-laki-perempuan tidak perlu tahu. Untung saja kalian serigala jantan. Kalau tidak, bisa mati kesepian aku di sini,” lalu laki-laki itu akan tertawa besar-besar bersama sederet gigi kuning menteganya yang tidak utuh.

Setahu gadis itu, ayahnya pergi mencari hadiah untuk ulang tahunnya yang ketujuh belas, tapi hanya tiga serigala yang tahu persis apa hadiah itu.

GADIS itu selalu menunggu datangnya gerhana, entah bulan entah matahari, sebab selalu sanggup membuat suhu lantai bunker lebih dingin. Meskipun tidak bisa melihatnya karena jendela terlarang hadir di dalam bunker, gadis itu akan menikmati gerhana dengan berbaring di lantai hingga jatuh tertidur.

“Beginikah rasanya rumput basah di luar sana? Tanah berlumpur? Batu sungai? Laut?” Gadis itu menikmati perubahan suhu lantai sambil memejamkan mata dan menggumamkan nama-nama benda yang dikenalinya dari Ruang Perpustakaan, tapi tidak pernah dilihatnya. Sebelumnya, gadis itu telah menyiapkan hidangan khusus karena, sejak ayahnya pergi, tiga serigala selalu diajaknya makan bersama dan menemaninya tidur di dalam bunker.

“Karena kalian sahabatku. Kubuka banyak kaleng makanan untuk kalian. Masuklah,” undangnya tadi.

Tiada gadis itu tahu, kali ini tiga serigala tidak mau lagi menjadi sekadar sahabatnya. Di bawah pengaruh dongeng Pangeran Kodok, ketiganya ingin menjadi lebih daripada itu.

Tiga serigala telah memutuskan untuk menjadi manusia. Mereka yakin, ayah si gadis bakal senang mendapat tiga anak laki-laki dalam keluarganya.

“Hanya laki-laki yang kuat membangun dunia dan memikulnya,” kata ayah si gadis kepada ketiga serigalanya, “karena itu akan kucari satu yang terkuat untuk kukawinkan dengan anakku saat hari ulang tahun ketujuh belasnya nanti. Setelah perkawinan mereka, bumi pasti tidak akan lagi sesepi sekarang karena anak-anak lucu mereka—saat itu aku pasti akan sangat bahagia,” lalu laki-laki itu tertawa besar-besar seperti biasa.

Tiga serigala yakin, mereka akan menjadi laki-laki terkuat sebagaimana yang dimaksud. Mereka akan membuat ayah si gadis bahagia dengan membantunya membangun dunia dan memberinya banyak keturunan yang sehat, juga lucu. Untuk membuktikannya, mereka hanya perlu melakukan sesuatu agar keajaiban yang menghampiri Pangeran Kodok datang pula kepada mereka.

Mengundangnya lewat ciuman tentu tidak mungkin. Selama ini, si gadis selalu menciumi tengkuk, punggung, bahkan moncong mereka, tapi tidak terjadi apa-apa. Untunglah, ketiganya telah menemukan satu cara yang patut dicoba.

Tahapan gerhana bulan kali ini terjadi lebih lama, tapi si gadis sudah jatuh tertidur sebelum gerhana itu sempurna. Berdiri di sekelilingnya, tiga serigala bersiap mengincar apa yang sudah mereka sepakati.

Masing-masing serigala akan menggigit satu jari si gadis. Lewat pertimbangan yang matang, mereka memutuskan bahwa kehilangan satu jari tangan, juga dua jari kaki, tidak akan membuat gadis itu jatuh sakit dan kehilangan pesonanya, melainkan justru sebaliknya.

“Tidak apa-apa kalau hanya cacat sedikit, sebab terlalu sempurna juga tidak bagus.”

Tiga serigala terkenang pada sepotong percakapan yang diucapkan seorang laki-laki muda dalam cerita pengantar tidur yang sering dikisahkan induk mereka. Cerita itu tentang seorang laki-laki muda yang bertemu perempuan pertama dan terakhir dalam hidupnya: seorang perempuan berkaki timpang.

TERLAMBAT dari waktu yang dijanjikan, ayah si gadis akhirnya muncul bersama seorang pemuda tegap gagah. Berdiri di depan bunker yang mendadak runtuh di sana-sini, orang tua itu hanya bisa terdiam gemetar dalam kaget yang tertahan. Tidak ada putrinya yang menyambut kedatangannya, pun tiga serigalanya. Sebuah pemandangan mengerikan justru tersaji di depan matanya bagai mimpi buruk yang menjelma nyata.

Ruangan itu bukan lagi kamar untuk bersantai. Tepat di tengahnya, meringkuk bagai janin, tiga sosok makhluk yang bukan manusia-bukan binatang tampak sedang tertidur pulas di atas kubangan darah kental. Seakan baru saja selesai berpesta, cabikan daging dan cipratan darah berhamburan ke mana-mana, bersama aroma amis pembantaian yang menguar kuat, membuat orang tua itu menahan mual dan hendak segera berlalu demi mencari anaknya, tapi batal. Apa yang terbaring di dekat ketiga makhluk itu menahan langkahnya.

Di sana, sesuatu yang dulunya sekujur tubuh montok kecoklatan kini tinggal sederet tulang utuh, pipih dan mati. Berbaring diam seolah menunggu untuk dikenali, tulang belulang itu berbicara kepada si orang tua lewat apa yang tersisa darinya: tulang kaki yang lebih pendek dan kecil sebelah serupa milik ibunya.

Aku perempuan terakhir yang pernah ada di muka bumi.

Di saat yang sama, kesiur angin terdengar menyanyikan lagu Muliakan Nama Ibu Kami dengan tambahan satu nama baru pada lirik terakhirnya. Seketika, orang tua itu dihampiri firasat bahwa akhir dunia yang ditakutinya akan segera tiba.
________________________
*) Anindita S. Thayf lahir pada 5 April 1978 di Makassar. Menulis cerpen dan novel. Novelnya, Tanah Tabu (Gramedia Pustaka Utama, 2009), menjadi juara I lomba menulis novel Dewan Kesenian Jakarta 2008, finalis Khatulistiwa Literary Award 2009, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Daughters of Papua (Dalang Publishing, San Francisco, 2014).

Rujukan:
[1] Disalin dari karya Anindita S. Thayf
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Koran Tempo” edisi akhir pekan 14-15 Oktober 2017
http://id.klipingsastra.com/2017/10/perawan-dan-tiga-serigala.html

Metanegasi, Pretensi dan Kesalahan

$
0
0

Reza A.A Wattimena *
https://rumahfilsafat.com

Tanggapan atas buku “Filsafat Negasi” tulisan Muhammad Al-Fayyadl dalam Diskusi di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya 9 Mei 2016

Saya teringat suatu sore di kota Berlin, Jerman. Saya sedang berdiskusi dengan seorang kawan tentang perbedaan antara filsafat Jerman dan filsafat Prancis kontemporer. Kawan saya berpendapat, bahwa para pemikir Prancis tidak dapat dianggap sebagai seorang filsuf, melainkan sastrawan. Mereka menggunakan bahasa yang indah dan berbunga-bunga, guna menyampaikan maksud mereka yang sebenarnya cukup sederhana. Ini tentunya berbeda dengan gaya menulis para filsuf Jerman kontemporer, seperti Julian Nida Rümelin dan Jürgen Habermas, yang menekankan ketepatan kata, supaya tulisannya bisa dimengerti oleh masyarakat luas.

Ketika membaca buku Filsafat Negasi ini, ingatan tentang percakapan tersebut mengalir deras di dalam kepala saya. Saya mencoba membaca buku ini, dan melahirkan semacam metanegasi, yakni negasi atas negasi. Yang saya tangkap adalah, bahwa Fayyadl mencoba memaparkan apa yang sesungguhnya tidak bisa dipaparkan oleh kata dan konsep. Sebuah kepura-puraan (pretensi), bahwa kehidupan bisa dilukiskan dengan guratan tulisan yang mati, setelah pengarang meninggalkannya.

Negasi

Argumen pertama di dalam buku ini sebenarnya cukup jelas dan lugas. Fayyadl menulis, “Filsafat ada untuk ditolak. Hanya dalam kemungkinannya untuk ditolak, ia akan relevan untuk terus ada.” (21) Kalimat ini merangkum seluruh isi dari buku tersebut. Namun, penjelasan lebih jauh kiranya tetap diperlukan.

Filsafat adalah sebuah Kritik. Dalam arti ini, mengikuti Immanuel Kant, Kritik bukanlah melulu penolakan atas dunia, melainkan sebuah upaya rasional untuk memberikan tanggapan terus menerus atas apa yang ada. Singkat kata, filsafat selalu berperan sebagai upaya bernalar (Venunftsanwendung). (diurai dalam Wattimena, 2010) Dengan menanggapi segala sesuatu dengan nalarnya, filsafat membuka kemungkinan-kemungkinan baru bagi kehidupan. Kemungkinan baru yang penuh harapan, walaupun selalu datang dengan ditemani berbagai krisis.

Oleh karena itu, filsafat selalu ditakuti, terutama oleh orang-orang yang sudah diuntungkan dari berbagai keadaan yang tidak adil dan tidak masuk akal. Bagi mereka, filsafat adalah ilmu setan. Namun, bagi sebagian besar orang, filsafat justru membebaskan dari kebodohan dan kemiskinan hidup. Dapat dengan lugas dikatakan, para pembenci filsafat adalah orang-orang yang menyembunyikan ketidakjujuran. Dalam arti ini, justru ketika dibenci, filsafat menjadi berarti.

Lebih jauh, Fayyadl menulis, “Apakah, dengan demikian, logika murni dari filsafat negasi? Filsafat negasi tidak akan pernah sesederhana pemaknaan atas negasi sebagai penolakan tanpa pemikiran-pemikiran yang diekspresikan dengan histeria dan paranoia atas yang ada. Kita harus terus mencari landasan dari mana negasi dapat terus menerus mempertanyakan yang ada, dasar dari mana negasi dapat mengintensikan dirinya dengan menegasikan-dirinya: suatu logika murni.” (78)

Filsafat itu bernalar dengan bertanya. Pertanyaan diajukan pada dasar sekaligus penalaran dari apa yang telah ada sebelumnya, yakni keadaan yang ada di depan mata kita. Logika menjadi dasar yang terus dipegang erat. Jadi, tujuan dari filsafat adalah “menolak”, dalam arti bernalar dengan bertanya atas apa yang sedang terjadi.

Keberlanjutan

Filsafat menolak bukan untuk menghancurkan, tetapi justru untuk melanjutkan. Ia memutuskan bukan untuk meniadakan, melainkan untuk membuka kemungkinan. Fayyadl lebih jauh menulis, “Negasi adalah suatu keputusan, suatu aktus intensional yang spesifik. Ia adalah keterputusan dari pemenuhan makna dari dunia. Ia adalah aktus pemenuhan makna tersendiri, dengan menegasi. Ia adalah aktus penciptaan dunia baru, horizon baru.” (131)

Kehidupan yang sejati memang tak pernah lahir dan tak pernah mati. Ini kiranya sejalan dengan ide dasar filsafat Timur, bahwa ketika kita melepas semua konsep, tidak ada lagi perpisahan, awal dan akhir. Semua menjadi satu, dan apa adanya (suchness). Ketika pendapat dan pemikiran lenyap, kebenaran dan kesejatian akan secara alamiah tampil ke depan. Pada titik tertentu, filsafat pun harus dilepas, supaya kebenaran dan kebijaksanaan bisa tampak.

Semua pun berlanjut. Tak ada yang terputus. Fayyadl menulis,“Kehidupan memenuhi makna bagi yang ada, mendorong makna itu hingga tarafnya yang paling optimal, namun ketiadaan kehidupan, bahkan kemusnahannya, tidak berarti ketiadaan yang ada. Dengan demikian, batas eksistensi tidak berkoinsiendensi dengan batas vitalistiknya.” (90)

Kekinian

Kebijaksanaan tertinggi adalah melepas kehidupan di dalam keberlanjutannya. Ini berarti melepas ingatan dan masa lalu, sambil bisa terus belajar darinya. Di dalam filsafat Timur, inilah pencerahan yang tertinggi. Orang menjadi sadar, bahwa yang sesungguhnya ada adalah kekinian. Sisanya hanya ilusi yang menyiksa diri.

Fayyadl menulis, “Dunia lama adalah dunia yang impoten untuk melahirkan kebaruan. Ia adalah dunia yang telah ada dan tak lagi menjadi. Ia menjadi sejauh untuk mengulang ketelah-ada-anya. Sampai kapan kita mampu menanggung siklus dari masa kini yang melampaui: terus- menerus membawa masa lampau ke dalam “kekinian” kita? “Kekinian” di dalam lingkup yang telah ada adalah suatu kekinian yang tak aktual.”(141)

Keberlanjutan juga berarti menghayati kekinian. Apa yang sedang kamu lakukan? Lakukan itu sepenuh hati dan sepenuh jiwa, tanpa memikirkan tujuan ataupun hasil yang ingin dicapai. Hidup yang terus menerus di dalam kekinian juga berarti menyentuh tujuan utama dari filsafat, yakni mencapai kebijaksanaan.

“Transgenerasi”, demikian tulis Fayyadl, “adalah perubahan nyata. Ia adalah mengaktualnya kekinian. Suatu peristiwa murni. Mengaktual dari apa? Bukan dari yang telah ada, melainkan dari negasi. Peristiwa dari apa? Bukan dari yang telah ada, melainkan dari negasi. Transgenerasi adalah kemungkinan konsekuen yang ultim dari aktus menegasi.” (146-147)

Kekinian adalah kebaruan terus menerus. Kekinian adalah kemungkinan tanpa batas. Hidup dalam kekinian berarti hidup dalam harapan. Jika kekinian lenyap ditelah ingatan ataupun ambisi buta, maka penderitaan dan ketersesatan adalah buahnya.

Pretensi

Dengan mengambil jarak dari buku ini, kita bisa menemukan pretensi, yakni kepura-puraan. Fayyadl berpura-pura mampu menyampaikan apa yang sesungguhnya tak bisa disampaikan. Akibatnya, bahasa dan alur berpikirnya menjadi begitu kacau, nyaris tak dapat ditangkap dengan nalar. Mungkin, Fayyadl bisa belajar dari secercah kebijaksaan Ludwig Wittgenstein, bahwa apa yang tak dapat diungkap dengan bahasa, diam adalah jalan keluarnya.

Pretensi buku ini kiranya mengambil bagian dalam pretensi filsafat Barat pada umumnya, yakni pretensi untuk memahami dunia dengan kata dan konsep. Pretensi ini begitu dalam berakar di dalam filsafat Barat, sehingga nyaris tak dipertanyakan lagi. Padahal, semua kata dan konsep selalu terbatas, sehingga tidak mampu menangkap dunia sebagaimana adanya. Tanpa sadar akan hal ini, filsafat lalu mengira, bahwa kata dan konsep adalah kenyataan itu sendiri. “Ini”, kata Shunryu Suzuki, Zen Master asal Jepang, “adalah kesalahan.”

Buku Fayyadl, dan juga uraian saya, kiranya mengambil bagian dalam kesalahan ini. Bisakah kesalahan ini kemudian membantu orang lain? Bisakah kumpulan kesalahan ini menyentak kita untuk bangun dan tercerahkan di dalam hidup kita? Selama pretensi disadari, ia bisa menyelamatkan. Namun, selama pretensi melahirkan kesombongan, ia lebih baik dibuang ke tempat sampah.

*) Peneliti, Penulis dan Doktor Filsafat dari Universitas Filsafat München, Jerman.
https://rumahfilsafat.com/2016/05/01/metanegasi-pretensi-dan-kesalahan/
Reza A.A Wattimena, seorang Penceramah, Peneliti dan Penulis di bidang Filsafat Politik, Pengembangan Diri dan Organisasi, Metode Berpikir Ilmiah dan Kebijaksanaan Timur. Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Kebijaksanaan Timur dan Jalan Pembebasan (akan terbit- 2016), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), dan berbagai karya lainnya.

Derrida, Dekonstruksi, dan Ironi Kebenaran

$
0
0

Judul Buku: Derrida
Penulis: Muhammad Al-Fayyadl
Pengantar: Goenawan Mohamad
Penerbit: LKiS
Cetakan: Pertama, Agustus 2005
Tebal: xxx + 244 halaman
Peresensi: M Mushthafa

9 Oktober 2004, seorang filsuf terkemuka dari Prancis meninggalkan kita semua. Namanya telah begitu mendunia: Jacques Derrida. Salah satu konsep kunci yang diperkenalkannya ke dalam khazanah filsafat, “dekonstruksi”, telah begitu sering dikutip dalam berbagai forum dan media oleh berbagai kalangan, terutama untuk menggambarkan semangat perlawanan dan sikap anti-kemapanan. Dekonstruksi juga diyakini sebagai semacam jimat pembebasan yang cukup ampuh untuk menghadapi klaim-klaim kebenaran yang dibangun atas dasar arogansi.

Buku ini hadir ke khalayak Indonesia untuk mengundang para pembacanya berbagi kegelisahan dan keprihatinan seperti yang telah digeluti Derrida selama ini, sebagaimana tergambar dalam filsafat dan pemikirannya. Dalam karya ini Derrida hadir sebagai sebuah nama yang merepresentasikan salah satu gugus pemikiran alternatif, di tengah situasi dunia yang cenderung tak menoleransi yang lain, the Other, dan mengarahkan semuanya ke pusaran teleologi modernisme yang tunggal dan seragam.

Di antara simpul-simpul pemikiran Derrida yang mewartakan pembebasan, sikap rendah hati, dan penghargaan atas yang lain itu, terdapat butir-butir pemikiran filosofis yang sebenarnya sangatlah canggih membedah, tajam berargumen, cermat menelisik, dan kadang cukup rumit. Meski demikian, yang menarik dari karya ini adalah bahwa ia dapat bertutur dengan cukup bernas dan mengalir tentang bagaimana Derrida menyampaikan dan membangun argumen menyangkut sejumlah persoalan filosofis yang didiskusikannya itu.

Empat bab dalam buku ini secara berkesinambungan memberikan gambaran yang jernih dan utuh tentang dasar-dasar kritik dan keberatan Derrida atas strukturalisme yang kemudian mengantarkan Derrida pada bangunan filsafat yang dikembangkannya, yang banyak bertumpu pada strategi dekonstruksi, serta tentang bagaimana dekonstruksi itu sendiri membawa pada sejumlah konsekuensi di berbagai wilayah kehidupan.

Garis besar kritik Derrida atas tradisi filsafat Barat berpusat pada serangannya terhadap metafisika kehadiran (logosentrisme) yang begitu dominan. Namun demikian, uraian dalam buku ini tidak secara eksplisit masuk dari term metafisika kehadiran itu, melainkan dimulai dari kritik dan ketidakpuasan Derrida atas strukturalisme, pemikiran yang diilhami oleh Ferdinand de Saussure dan di tahun 1960-an berkembang serta begitu populer di Eropa. Bagi Derrida strukturalisme memang telah membukakan gerbang bagi penjelajahan intelektual yang dilakukannya; strukturalisme adalah pemikiran yang menyingkirkan subjek sebagai pusat wacana dengan menekankan pada aspek struktural bahasa yang lebih bersifat objektif. Sayangnya, menurut Derrida, Saussure dengan strukturalismenya itu tak sepenuhnya berhasil mengelak dari logosentrisme; strukturalisme masih merindukan pusat dan selalu ingin bernostalgia dengan asal usul (origins, arché). Ini terlihat jelas dalam kecenderungan fonosentrisme strukturalisme, yang begitu memuja suara (ph?n?), yang menjadi cerminan dari “kehadiran-diri” (self-presence) si penutur.

Melanjutkan strukturalisme yang mengarahkan fokus kupasan ke bahasa, Derrida meradikalkan makna teks, tulisan, dan metafor. Dalam hal ini Derrida menggunakan strategi dekonstruksi untuk melawan kecenderungan fondasionalisme dan pengacuan pada subjek atau asal usul tertentu, dan kemudian menggantikannya dengan intertekstualitas. Dengan dekonstruksi, yang dalam buku ini dijelaskan melalui komentar-komentar kritis Derrida atas filsuf-filsuf terkemuka semisal Nietzsche, Freud, Heidegger, dan Levinas, ditunjukkan bahwa makna sebuah teks selalu tertunda, berada dalam suatu usaha penataan dan khaos tiada henti, dan karena itu tak dapat mencapai titik makna yang utuh dan bulat. Secara positif, dekonstruksi menumbangkan hierarki konseptual yang menstruktur dalam teks dan menghidupkan kekuatan-kekuatan tersembunyi (tekstualitas laten) yang sebelumnya terbungkam.

Dengan demikian, dekonstruksi mengantar kita semua ke dalam suatu penjelajahan makna yang tak terbatas dan tak mencapai titik pungkas. Bukan suatu nihilisme, tetapi semacam parodi, atau ironi, tentang kebenaran, di tengah hasrat berlebih manusia untuk mencapai kepenuhan makna.

Di tengah masih cukup langkanya karya tulis yang mengupas segi-segi pemikiran konseptual yang dituturkan dengan jernih, tajam, dan kontekstual di Indonesia, tak heran jika Goenawan Mohamad memuji karya ini sebagai “sumbangan yang amat berharga dalam khazanah penulisan filsafat dalam bahasa kita”. Fayyadl, penulis buku ini, dengan sangat fasih dan penuh empati membawa kita ke titik-titik penting pemikiran Derrida, untuk bersama-sama terus menyadari betapa wajah kebenaran itu relatif, dan karena itu kita harus selalu rendah hati dalam mengungkapkan setiap nilai kebenaran yang kita temukan.

http://rindupulang.blogspot.co.id/2005/08/derrida-dekonstruksi-dan-ironi.html

Puisi yang Baik dan yang Buruk

$
0
0

Yohanes Sehandi *
Pos Kupang, 13 Sep 2016

Puisi sering menjadi pilihan untuk melampiaskan isi hati dan pikiran seseorang. Anak muda yang sedang dimabuk asmara, puisi menjadi sarana mengungkapkan cintanya, apakah cinta murni atau palsu. Seseorang yang sedang diliputi gembira atau galau dengan gampang menulis puisi, menghiasi buku harian atau status Facebooknya. Mahasiswa yang demonstrasi membakar semangat dengan berpuisi. Berbagai surat kabar dan majalah memuat beragam puisi. Sebagian besar filsuf pencinta puisi bahkan rangkap menjadi sastrawan. Kitab suci agama-agama ditulis dalam bentuk puisi.

Para negarawan dan politisi sering mengutip puisi para penyair yang dikaguminya. Konon, mantan Presiden AS, John F. Kenedy, pernah menyatakan, puisi berfungsi untuk membersihkan kotoran yang diakibatkan oleh limbah politik. Konsultan politik dan pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA terjun ke dunia sastra dengan merintis penulisan “puisi esai” yang kemudian menjadikannya sebagai salah satu dari 33 tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh menurut Tim 8 yang menyusun buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh (2014, KPG, Jakarta). Masuknya nama Denny JA ke dalam buku setebal 734 halaman ini menjadi pemicu ledaknya perdebatan sastra di Indonesia tahun 2014-2015.

Pada waktu musim kampanye Pilpres 2014 lalu, Waketum Partai Gerindra, Fadli Zon, membuat “puisi politik” yang isinya menyindir bahkan menyerang Ketum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri yang pada waktu itu menjadi koordinator Koalisi Indonesia Hebat (KIH) mengusung pasangan Jokowi-JK bertarung melawan pasangan Prabowo-Hata dari Koalisi Merah Putih (KMP) yang diusung Partai Gerindra, Golkar, PAN, PKS, dan lain-lain.

Menurut hemat saya, semakin banyak orang membuat puisi semakin bagus dan menyehatkan. Melampiaskan isi hati, pikiran, dan hasrat terdalam dengan menggunakan pusi jauh lebih terhormat dibandingkan bila melampiaskannya dengan bertengkar, berkelahi, baku bunuh, buat kerusuhan, dan berbagai tindakan brutal lain. Biarkanlah puisi bebas ditulis, diciptakan, dibacakan, dimusikalisasikan, dipentaskan atau didemonstrasikan sebanyak dan sesering mungkin. Sebagai produk budaya intelektual, biarkan puisi berkembang, ditulis oleh siapa saja. Puisi adalah bentuk kebebasan berekspresi, bagian dari hak asasi, tidak ada yang larang dan tidak perlu dilarang. Yang penting puisi itu baik, puisi yang memiliki bobot literer, bukan hasutan, bukan fitnah, bukan maki-maki, dan bukan ujaran kebencian.

Apa dan bagaimana puisi yang baik, puisi yang memiliki bobot literer itu? Berdasarkan pengalaman membaca puisi selama ini, menurut saya, puisi yang baik, yang berbobot literer adalah puisi yang berada antara dua dunia atau dua realitas, yakni realitas faktual (fakta) dan realitas fiksi (imajinasi). Realitas faktual adalah segala sesuatu yang benar-benar ada dan terjadi, tercerap oleh pancaindra, ada dalam kenyataan, bisa dibuktikan kebenarannya. Sedangkan realitas fiksi adalah realitas imajinasi yang diciptakan penyair, hanya ada dalam pikiran dan perasaannya, namun “seolah-olah ada dan terjadi” di mata hati pembaca. Realitas fiksi tidak bisa dibuktikan kebenarannya, karena kebenaran fiksi adalah kebenaran keyakinan.

Puisi yang baik selalu berada dalam arus ketegangan antara dua realitas itu. Puisi yang terlalu menonjolkan realitas faktual, dengan mengabaikan realitas fiksi, membuat puisi itu kualitasnya buruk, kehadirannya hanya sebagai berita, informasi, slogan, pernyataan, unek-unek, kata-kata indah, doa spontan, dan lain-lain. Puisi seperti ini maknanya langsung ditangkap pembaca, tidak ada perenungan, tidak ada daya bayang (imajinasi). Sebaliknya, puisi yang terlalu menonjolkan realitas fiksi, mengabaikan realitas faktual, membuat puisi itu gelap, tidak bisa ditangkap maknanya oleh para pembaca, jadi termasuk puisi buruk juga.

Pergulatan intens seorang penyair adalah menimang kata dan frasa serta tanda baca untuk puisi yang dilahirkannya, guna menjaga ketegangan antara dua dunia itu. Penyair bertarung melawan kata-kata dalam proses kreatifnya. “Tergatung pada kata,” istilah yang diberikan A. Teeuw, seorang ahli sastra Indonesia kelahiran Belanda, dalam buku kumpulan kritik puisinya berjudul Tergantung pada Kata (1980, Pustaka Jaya, Jakarta). Berikut ini saya kutip beberapa contoh puisi yang buruk (tidak baik) dan puisi yang baik.

Pertama, contoh puisi yang buruk berjudul “Kepada Bung Karno” karya Ata Labala. Puisi ini dikutip dari status Facebook (Grup Komunitas Sastra NTT) diposting pada 17 Agustus 2016. Bunyi lengkap puisi ini sebagai berikut: //Bung, tengoklah kami rakyat Indonesia hari ini…/ kemerdekaan bagi kebanyakan kami tak lebih dari/ perayaan dan pesta tahunan yg cetar membahana,/ dari sabang sampai merauke./ Tanpa arti hampa makna …//. Puisi ini termasuk puisi buruk, karena hanya menampilkan realitas faktual belaka, tanpa ada realitas fiksi yang membuat orang tergugah. Tidak ada imajinasi (daya bayang) pada puisi ini yang dapat mengantar pembaca menuju ke dunia lain, dunia fiksi. Kita membaca puisi ini seperti membaca berita atau membaca pernyataan. Penggunaan ejaan juga kurang cermat.

Contoh puisi buruk lain berjudul “Nasib Rakyat” karya Ephang D. Yogalupi dimuat harian Flores Pos (terbitan Ende, Flores), edisi Selasa, 30 Agustus 2016. Bunyi lengkapnya: //Katanya kedaulatan ada pada rakyat, tapi praktiknya???/ Katanya pembangunan demi rakyat, tapi hasilnya???/ Rakyat mengemis/ Rakyat menangis/ Andalkan protes???/ Awas ditangkap aparat bayaran// Oh … rakyat sekarat/ Rakyat melarat/ Nasibmu kini/ Haruskah nestapa???/ Kau yang kerja, makan ampas,/ Hasil peluhmu, cumalah hati yang merintih/ Nasib ….. nasibmu oh rakyat sekarat//. Yang ada dalam puisi ini hanyalah ekspresi gugatan atas kenyataan, tidak ada daya bayang yang membuat layar imajinasi pembaca terkembang.

Kedua, contoh puisi yang baik berjudul “Ziarah Kata” karya Lee Risar dikutip dari buku Nyanyian Sasando: Antologi Puisi Sastrawan NTT (Kantor Bahasa NTT, 2015, Editor Yoseph Yapi Taum dan Maria Matildis Banda, halaman 113). Bunyi lengkap puisi ini sebagai berikut: //Kata-kata ini adalah kumpulan huruf-huruf/ Yang dibentuk oleh lekuk-lekuknya/ Dan setiap pagi ia berziarah/ Dari hati menuju surga/ Berjalan melalui lidah//.

Menurut saya puisi “Ziarah Kata” termasuk puisi yang baik. Meskipun puisi Lee Risar ini pendek, hanya lima baris/larik, tetapi sudah memunculkan realitas faktual dan realitas fiksi sekaligus. Baris pertama dan kedua berbicara tentang realitas faktual, tentang kata yang terdiri dari huruf-huruf yang bentuknya lekuk-lekuk. Baris ketiga, keempat, dan kelima, adalah baris-baris puisi yang membawa pembaca ke dunia imajinasi, realitas fiksi. Yang “berziarah” seturut pengertian umum hanyalah manusia, namun dalam imajinasi penyair yang berziarah setiap pagi adalah kata-kata (baris ketiga), kata-kata ini berasal dari hati berjalan menuju ke surga (baris keempat), dan mengejutkan, ini yang membuat pembaca tergugah dibawa ke dunia fiksi, bahwa kata-kata itu berjalan melalui lidah. Inilah doa pagi menurut versi penyair Lee Risar, pembaca dibawa dari realitas faktual ke realitas fiksi. Kedua realitas ini muncul.

Contoh puisi baik yang lain berjudul “Kerinduan” karya D.A. Alfredo, dimuat harian Pos Kupang, edisi 21 Februari 2010. Yang dikutip di sini dua baris terakhir. Bunyi lengkap kedua baris terakhir itu adalah: //Desah nafasmu masih mengiang di telinga jiwaku/ Membisikkan tentang nyanyian hati/ Aku mendengar suaramu ketika memanggilku dalam mimpi/ Kekasihku aku selalu menunggumu pulang// Aku masih berdiri di ujung dermaga hati/ Terus menatap lautan harapan yang membawamu pulang/ Kekasih dengarkan suaraku dalam khayalmu/ Yang memanggilmu pulang/… Aku rindu ….//. *

*) Pengamat Sastra NTT dari Universitas Flores, Ende.
http://yohanessehandi.blogspot.co.id/2016/09/puisi-yang-baik-dan-yang-buruk.html

Arah Baru Literasi Indonesia

$
0
0

Ahmad Wiyono *
koran-sindo.com 13 Agu 2017

United Nations Educational Sceintific and Cultural Organization (Unisco) tahun lalu merilis hasil survei gerakan literasi internasional. Yang mengejutkan adalah posisi Indonesia berada pada urutan 60 dari 61 negara yang menjadi objek survei intensif tersebut.

Tentu ini satu kenyataan yang memilukan. Bahwa posisi literasi bangsa kita masih kalah jauh dengan beberapa negara di dunia, bahkan dengan negara tetangga di Asia yang sama-sama tergolong negara berkembang. Apa penyebab kemesorotan tingkat literasi tersebut? Di antara sekian banyak penyebab terpuruknya budaya literasi dinegeri ini, salah satunya adalah sifat malas yang masih menggurita dalam jiwa segenap bangsa kita.

Perhatikan misalnya saat anak-anak diarahkan untuk menggalakkan budaya baca. Mereka lebih tertarik menjadi pendengar ketimbang menjadi pembaca. Atau dalam pengalaman keseharian anak-anak di kota, mereka lebih suka mendengar atau menonton berita ketimbang membaca buku. Endy Bayuni, editor senior The Jakarta Post, menyebut fenomena itu sebagai penyakit literasi.

Penyakit literasi lebih condong pada tradisi lisan, yaitu mendengarkan orang berbicara. Ini setidaknya salah satu akar masalah yang menyebabkan budaya baca tidak terbentuk. Padahal tradisi lisan yang dimaksud tak lebih hanya pembelaan atas lemahnya budaya baca itu sendiri. Sebagai langkah strategis dalam mengimbangi capaian literasi global tersebut, perlu ada konsepsi baru di bidang literasi.

Konsep baru ini menjadi arah baru serta jawaban atas kegundahan literasi Tanah Air. Tentu gerakan literasi baru ini hadir tidak dalam rangka sebagai alibi atas kegundahan posisi literasi kita di kancah global, tapi lebih sebagai solusi untuk membangkitkan kembali energi literasi bagi segenap bangsa Indonesia bahwa mengatasi ketertinggalan dalam capaian literasi internasional adalah sesuatu yang wajar.

Kendati demikian, mengembangkan yang sudah ada juga suatu keniscayaan. Salah satu buku yang peduli dengan persoalan literasi bangsa yang rendah adalah Suara Dari Marjin, karya bersa Sofie Dewayani dan Pratiwi Retnaningdyah. Buku ini boleh dibilang awal mula dari percakapan baru tentang dunia baca dan tulis, tentang literasi, tentang interaksi pengetahuan dan tentang cara berpikir.

Sofie Dewayani dan Pratiwi Retnaningdyah melalui karya bersama Suara Dari Marjin tampak sedang berupaya menggagas lahirnya literasi dengan konsep terbarukan. Di mana, literasi tidak hanya dimaknai secara simbolik, lahir dengan data dan fakta kuantitas, tapi jauh dari itu literasi hadir sebagai roh untuk melihat, mengamati, dan membaca kondisi sebuah budaya dan jati diri bangsa.

Dengan pemahaman baru ini diharapkan gerakan literasi lahir secara alami dengan membangkitkan partisipasi para penggiat dari segala multiprofesi. New Literasi Studies (NLS) adalah salah satu kerangka kajian literasi baru yang lahir dari pergerakan anak jalanan dan buruh migran.

Gerakan literasi yang lahir dari kelompok anak jalanan dan buruh migran merupakan fajar baru untuk membangkitkan gairah literasi secara umum. Konsepsi dasar dari gerakan literasi baru ini adalah membangun kesadaran kolektif tentang budaya baca, tulis, dan mengkaji kondisi secara alamiah. Literasi tidak hanya diukur dari serangkaian kegiatan formal membaca dan menulis itu sendiri, tapi lebih pada kegiatan yang mengangkat harkat dan jati diri sebuah bangsa.

Literasi bukanlah sesuatu yang stagnan karena dia bergerak dan berubah. Misalnya, pengalaman literasi setiap orang bisa jadi berbeda dan tidak harus terkait pengalaman mengeja atau saat pertama kali seseorang mampu membaca.

Dalam buku ini, pengalaman literasi dimaknai sebagai rekam pengalaman seseorang dengan kegiatan membaca, menulis, dan mencerna pengetahuan, yang bermakna karena signifikan terhadap pilihanpilihan hidupnya di kemudian hari (hal 24). Buku ini hadir dengan tawaran konsep literasi lokal yang kontekstual, upaya untuk mengembalikan arah literasi pada khazanah budaya dan jati diri bangsa.

Selain itu, buku ini juga meramu konsep perlawanan terhadap hegemoni literasi yang terbentuk oleh praktik budaya kelompok masyarakat yang dominan, demi menumbuhkan praktik literasi yang lebih terarah sesuai konteks sosial, budaya, dan ekonomi Indonesia. Salam Literasi!

*) Penggiat Literasi dan Peneliti di Universitas Islam Madura (UIM) Pamekasan.
http://koran-sindo.com/page/news/2017-08-13/0/2/Arah_Baru_Literasi_Indonesia

Viewing all 2226 articles
Browse latest View live