Agus R Sarjono
Majalah Horison Tahun XXXIII, No.7/Juli 1999
Ketika seorang pembaca berhadapan dengan bacaan tak seorang pun tahu apa yang bakal terjadi. Nietzsche sastrawan atau filsuf (untuknya kedua hal ini bisa saling dipertukarkan) mengumumkan bukunya Also Sprach Zarathustra. Buku ini menggegerkan banyak kalangan di antaranya karena ada ungkapan “Tuhan sudah mati”.
Untunglah dunia tidak terdiri dari para penakut dan tukang melarang. Buku itu bebas beredar dan banyak orang tidak takut membacanya. Dari banyak pembaca itu kita mengenal nama Muhammad Iqbal. Pemikiran Nietzsche ternyata berpengaruh besar pada Mohammad Iqbal. Hasilnya, Muhammad Iqbal menulis sebuah buku yang cemerlang berjudul The Reconstruction of Religious Thought in Islam.
Di Indonesia ada seorang kritikus terkenal yang dijuluki Paus Sastra Indonesia. Ia juga kemudian membaca karya-karya Nietzsche. Kritikus yang humanis dan tekun namun abangan dan tak begitu hirau dengan doktrin-doktrin agama itu, seusai membaca karya Nietzsche tiba-tiba mengalami pencerahan dan tampil berbeda. Jassin, nama kritikus itu, berubah drastis dari seorang abangan (kalau kita percaya pembagian Gertz terhadap religi orang Jawa menjadi priyayi-abangan-santri) menjadi seorang yang sangat relijius dan melahirkan terjemahan Al-Quran yang diakui banyak kalangan sebagai terjemahan paling indah dalam bahasa Indonesia.
Tuhan sudah mati! Dan dua orang pembaca yang dikenai gagasan ini tampil dengan karya-karya yang mengejutkan: sebuah pemikiran cemerlang yang menyegarkan kembali pemikiran keagamaan dalam Islam dan memberi perspektif mengenai kehendak bebas manusia sebagai khalifah dalam menjalani kehidupan beragama dan sebuah lagi terjemahan Al-Quran. Di tempat lain, Michel Foucault juga setelah membaca karya-karya Nietzsche segera mengalami pencerahan (atau pemburaman, terserah dari sudut mana kita memandang) lantas meninggalkan puak strukturalisme untuk menyelam dan melacak arkeologi kegilaan, seks, dan kuasa dalam berbagai wacana peradaban. Di tangan Foucault seluruh pengertian tentang filsafat tiba-tiba berubah. Kita diajak membaca kembali persoalan pengetahuan dan kebudayaan dengan carabaca yang berbeda. Kegilaan yang selama ini dibungkam dalam peradaban manusia ia telusuri silsilah pembungkamannya untuk dimunculkan ke muka dan mengejutkan kita.
Hasil membaca memang tak bisa diduga. Di Jakarta, para siswa sekolah menengah diajari Pancasila dan disuruh membaca buku teks tentangnya. Pada siang hari kita bisa saja bertemu mereka sedang bergelantungan di jendela bus kota sambil membawa perkakas nonsekolah lalu menghentikan bus kota itu di tengah persimpangan jalan untuk bertemu dengan kelompok sekolah menengah lainnya yang juga sudah bersiap. Butir-butir Pancasila menguap di tengah udara panas dan kesumpekan sosial. Yang tinggal adalah butir-butir amok dan kegarangan dalam sebuah tawuran.
Memang sebuah pemikiran yang cemerlang, betapa pun kurang ajar dan anarkisnya, akan senantiasa menginspirasi banyak orang dari banyak waktu dan banyak tempat serta melahirkan anak yang berbeda-beda. Tidak mudah untuk menjelaskan bagaimana pemikiran Nietzsche yang di antaranya mengumumkan “Tuhan sudah mati” itu bisa melahirkan kegilaan puitis pada Foucault pada satu sisi dan mengubah Jassin dari seorang abangan menjadi Muslim saleh yang menenggelamkan sisa hidupnya untuk menerjemahkan Al Qur’an dengan penuh kecintaan?
Filsafat dan teori sastra, lebih dari memberi fakta-fakta baru, justru lebih banyak berurusan dengan carabaca-carabaca baru, termasuk untuk fakta-fakta lama. Bahasa adalah bahasa dari dulu hingga kini. Namun kehadiran pemikiran Saussure dan Chomsky memberi kita carabaca dan carapandang berbeda mengenai bahasa.
Pergeseran carabaca tidak jarang membuat tokoh-tokoh yang meyakinkan jadi tampil meragukan sementara tokoh-tokoh yang “brengsek” dalam cahaya baru boleh jadi jadi lebih simpatik. Tokoh Hang Tuah yang patuh dan pengabdi misalnya, untuk waktu yang lama menjadi tokoh idaman dan contoh nilai-nilai luhur bagi bangsa Melayu, sementara Hang Jebat yang kritis terhadap raja menjadi contoh perilaku yang harus ditolak dan dijauhi. Belakangan ini, dalam berbagai seminar di Malaysia, tokoh Hang Jebat justru mendapat pemakanaan dan simpati baru, sementara sosok Hang Tuah mulai dinilai sebagai sosok mesin kekuasaan tanpa hati nurani. Hal yang sama terjadi pula pada sosok Syamsul Bachri dan Datuk Maringgih dalam novel legendaris Sitti Nurbaya karangngan Marah Roesli.
Kitab Edward Said Orientalism, misalnya, menohok masyarakat Barat dan menghenyakkan masyarakan Timur karena memberikan carabaca baru terhadap hamparan teks-teks sastra Barat. Diinspirasi oleh pemikiran Foucault, Said menerangi sudut-sudut ideologis kolonial dalam lembar-lembar sastra Barat dan menghidupkan kajian postkolonial. Lewat telaah-telaahnya kita tahu bagaimana kebudayaan Barat memposisikan negeri-negeri jajahan sebagai si lain yang harus dibuat beradab oleh Barat dan jika menolak ada cukup alasan ideologis-moral untuk segera membungkamnya.
Carabaca lain diperkenalkan kaum feminis. Kaum feminis membongkar kanon-kanon sastrawi Barat yang ternyata didiami dengan kukuh oleh diskursus kaum lelaki. Sosok perempuan yang ditampilkan dengan serba minor itu dibaca dengan cara terbalik untuk memergoki motif-motif yang berdiam di belakang seluruh wacana lelaki. Dan para sastrawan perempuan yang selama ini terlipat dan/atau dilipat dibalik kasur peradaban peradaban Barat mulai dibongkar hingga memungkinkan si lain di hadapan kebudayaan Barat yang lelaki-kulit-putih sentris itu dapat mengemuka. Kini kasur-kasur peradaban di banyak negeri mulai dibongkar perempuan untuk memergoki apa yang disembunyikan lelaki di sana.
Dari sekilas gambaran tersebut terlihat bagaimana pergeseran carabaca membuat khasanah bacaan yang sama menemukan signifikansi makna yang berbeda. Semua ini memang dimungkinkan bagi bacaan alias teks tertulis. Dalam wacana/cakapan lisan tafsir terhadap wacana tersebut dapat dimintakan ketepatannya pada si pembicara yang hadir di sana. Namun, bagi sebuah wacana tertulis -sebuah bacaan- sang pembicara seringkali tak hadir. Dalam berhadapan dengan sebuah bacaan tidak mudah –mungkin juga tidak kelewat perlu- bagi pembaca untuk beroleh ketepatan makna yang sesuai dengan maksud penulisnya. Ketidakhadiran yang menjadi ciri sebuah bacaan membuat makna dan tafsir bagi sebuah bacaan menjadi sepenuhnya terbuka. Pada ketakhadiran penulis sebagai pemberi makna yang tunggal itu, pembaca bisa menghadirkan banyak hal dalam proses pembacaannya bergantung pada khasanah lahir-batin pembaca itu. Dengan begitu sebuah bacaan senantiasa terbuka bagi keberagaman tafsir dan carabaca.
Dilihat dari perspektif semacam ini, pelarangan bacaan dalam bentuk apa pun di banyak negara dalam banyak tempat menjadi sangatlah absurd. Pelarangan tidak lain tidak bukan merupakan sebuah pengabsolutan carabaca tertentu terhadap suatu teks tertentu. Carabaca tertentu -yang diabsolutkan itu- kemudian menurunkan sebuah kesimpulan bahwa suatu bacaan tertentu dianggap berbahaya dan merusak bagi suatu kepentingan tertentu. Dan kepentingan tertentu itu tidak jarang dikemukakan dalam bentuk metafor seperti: kepentingan umum, kepentingan masyarakat, dan sebagainya yang jika kita bongkar akan kelihatan kepentingan dan ideologi yang menjadi udang di balik metafor.
Pengabsolutan suatu carabaca tertentu merupakan sarana efektif untuk membuat sebuah peradaban mandek. Waktu berubah, persoalan bergeser, tantangan dan permasalahan baru bermunculan. Bagaimana mungkin semua ini bisa ditangani dengan membekukan sebuah carabaca tertentu terhadap berbagai hal. Jassin, sang kritikus terkemuka yang saleh itu, kelabakan menangani limpahan karya-karya sastra baru yang menjadi ganjil jika ditangani dengan carabaca lama yang dulu pernah sukses digunakannya untuk menangani sastra era ’20-’50-an. Kita pun ingat George Lukacs yang begitu yakin bisa menerapkan estetika realisme abad 19 bagi khasanah sastra abad 20.
Tuhan menganggap membaca adalah sebuah tindak yang penting dan mendesak untuk dilaksanakan. Boleh jadi karena itu kata Iqra (bacalah!) –bacalah dengan nama Tuhanmu- merupakan wahyu pertama yang diturunkan Allah kepada Muhammad SAW. Dalam pada itu, di bagian lain firmanNya, Tuhan mengemukakan bahwa keberhagiaan dan perbedaan (carabaca) di antara manusia adalah rahmat.
Namun, sekali lagi, ketika seorang pembaca berhadapan dengan bacaan, tak seorangpun tahu apa yang bakal terjadi. Sebuah bacaan bisa memberi hasil-hasil yang tak terduga dan semua yang tak terduga senantiasa mencemaskan. Boleh jadi karena itu banyak fihak merasa menjadi bijaksana dengan membuat orang tak banyak berurusan dengan bacaan. Ada ujar-ujar klasik yang berbunyi: “Berbahagialah mereka yang tidak pernah merasa memiliki karena tidak pernah merasa kehilangan”. Ujar-ujar tersebut sering dimodifikasi menjadi: “Berbahagialah mereka yang tidak pernah membaca karena tidak akan mengalami keraguan dan keguncangan.”
Sekalipun begitu, selalu saja ada orang yang mengatakan “Berbahagialah yang pernah kehilangan karena ia pernah merasa memiliki.” Perbedaannya, hanya kesediaan menerima resiko. Lagi pula Tuhan sendiri pernah mencemooh manusia yang bisa begitu yakin akan masuk surga padahal belum diuji (dengan keraguan, dengan keguncangan) dalam konfrontasi dengan berbagai peristiwa dan wacana.
***
https://gudangperpus.wordpress.com/2014/03/31/di-hadapan-bacaan/