Quantcast
Channel: Sastra-Indonesia.com
Viewing all 2226 articles
Browse latest View live

Di Hadapan Bacaan

$
0
0

Agus R Sarjono
Majalah Horison Tahun XXXIII, No.7/Juli 1999

Ketika seorang pembaca berhadapan dengan bacaan tak seorang pun tahu apa yang bakal terjadi. Nietzsche sastrawan atau filsuf (untuknya kedua hal ini bisa saling dipertukarkan) mengumumkan bukunya Also Sprach Zarathustra. Buku ini menggegerkan banyak kalangan di antaranya karena ada ungkapan “Tuhan sudah mati”.

Untunglah dunia tidak terdiri dari para penakut dan tukang melarang. Buku itu bebas beredar dan banyak orang tidak takut membacanya. Dari banyak pembaca itu kita mengenal nama Muhammad Iqbal. Pemikiran Nietzsche ternyata berpengaruh besar pada Mohammad Iqbal. Hasilnya, Muhammad Iqbal menulis sebuah buku yang cemerlang berjudul The Reconstruction of Religious Thought in Islam.

Di Indonesia ada seorang kritikus terkenal yang dijuluki Paus Sastra Indonesia. Ia juga kemudian membaca karya-karya Nietzsche. Kritikus yang humanis dan tekun namun abangan dan tak begitu hirau dengan doktrin-doktrin agama itu, seusai membaca karya Nietzsche tiba-tiba mengalami pencerahan dan tampil berbeda. Jassin, nama kritikus itu, berubah drastis dari seorang abangan (kalau kita percaya pembagian Gertz terhadap religi orang Jawa menjadi priyayi-abangan-santri) menjadi seorang yang sangat relijius dan melahirkan terjemahan Al-Quran yang diakui banyak kalangan sebagai terjemahan paling indah dalam bahasa Indonesia.

Tuhan sudah mati! Dan dua orang pembaca yang dikenai gagasan ini tampil dengan karya-karya yang mengejutkan: sebuah pemikiran cemerlang yang menyegarkan kembali pemikiran keagamaan dalam Islam dan memberi perspektif mengenai kehendak bebas manusia sebagai khalifah dalam menjalani kehidupan beragama dan sebuah lagi terjemahan Al-Quran. Di tempat lain, Michel Foucault juga setelah membaca karya-karya Nietzsche segera mengalami pencerahan (atau pemburaman, terserah dari sudut mana kita memandang) lantas meninggalkan puak strukturalisme untuk menyelam dan melacak arkeologi kegilaan, seks, dan kuasa dalam berbagai wacana peradaban. Di tangan Foucault seluruh pengertian tentang filsafat tiba-tiba berubah. Kita diajak membaca kembali persoalan pengetahuan dan kebudayaan dengan carabaca yang berbeda. Kegilaan yang selama ini dibungkam dalam peradaban manusia ia telusuri silsilah pembungkamannya untuk dimunculkan ke muka dan mengejutkan kita.

Hasil membaca memang tak bisa diduga. Di Jakarta, para siswa sekolah menengah diajari Pancasila dan disuruh membaca buku teks tentangnya. Pada siang hari kita bisa saja bertemu mereka sedang bergelantungan di jendela bus kota sambil membawa perkakas nonsekolah lalu menghentikan bus kota itu di tengah persimpangan jalan untuk bertemu dengan kelompok sekolah menengah lainnya yang juga sudah bersiap. Butir-butir Pancasila menguap di tengah udara panas dan kesumpekan sosial. Yang tinggal adalah butir-butir amok dan kegarangan dalam sebuah tawuran.

Memang sebuah pemikiran yang cemerlang, betapa pun kurang ajar dan anarkisnya, akan senantiasa menginspirasi banyak orang dari banyak waktu dan banyak tempat serta melahirkan anak yang berbeda-beda. Tidak mudah untuk menjelaskan bagaimana pemikiran Nietzsche yang di antaranya mengumumkan “Tuhan sudah mati” itu bisa melahirkan kegilaan puitis pada Foucault pada satu sisi dan mengubah Jassin dari seorang abangan menjadi Muslim saleh yang menenggelamkan sisa hidupnya untuk menerjemahkan Al Qur’an dengan penuh kecintaan?

Filsafat dan teori sastra, lebih dari memberi fakta-fakta baru, justru lebih banyak berurusan dengan carabaca-carabaca baru, termasuk untuk fakta-fakta lama. Bahasa adalah bahasa dari dulu hingga kini. Namun kehadiran pemikiran Saussure dan Chomsky memberi kita carabaca dan carapandang berbeda mengenai bahasa.

Pergeseran carabaca tidak jarang membuat tokoh-tokoh yang meyakinkan jadi tampil meragukan sementara tokoh-tokoh yang “brengsek” dalam cahaya baru boleh jadi jadi lebih simpatik. Tokoh Hang Tuah yang patuh dan pengabdi misalnya, untuk waktu yang lama menjadi tokoh idaman dan contoh nilai-nilai luhur bagi bangsa Melayu, sementara Hang Jebat yang kritis terhadap raja menjadi contoh perilaku yang harus ditolak dan dijauhi. Belakangan ini, dalam berbagai seminar di Malaysia, tokoh Hang Jebat justru mendapat pemakanaan dan simpati baru, sementara sosok Hang Tuah mulai dinilai sebagai sosok mesin kekuasaan tanpa hati nurani. Hal yang sama terjadi pula pada sosok Syamsul Bachri dan Datuk Maringgih dalam novel legendaris Sitti Nurbaya karangngan Marah Roesli.

Kitab Edward Said Orientalism, misalnya, menohok masyarakat Barat dan menghenyakkan masyarakan Timur karena memberikan carabaca baru terhadap hamparan teks-teks sastra Barat. Diinspirasi oleh pemikiran Foucault, Said menerangi sudut-sudut ideologis kolonial dalam lembar-lembar sastra Barat dan menghidupkan kajian postkolonial. Lewat telaah-telaahnya kita tahu bagaimana kebudayaan Barat memposisikan negeri-negeri jajahan sebagai si lain yang harus dibuat beradab oleh Barat dan jika menolak ada cukup alasan ideologis-moral untuk segera membungkamnya.

Carabaca lain diperkenalkan kaum feminis. Kaum feminis membongkar kanon-kanon sastrawi Barat yang ternyata didiami dengan kukuh oleh diskursus kaum lelaki. Sosok perempuan yang ditampilkan dengan serba minor itu dibaca dengan cara terbalik untuk memergoki motif-motif yang berdiam di belakang seluruh wacana lelaki. Dan para sastrawan perempuan yang selama ini terlipat dan/atau dilipat dibalik kasur peradaban peradaban Barat mulai dibongkar hingga memungkinkan si lain di hadapan kebudayaan Barat yang lelaki-kulit-putih sentris itu dapat mengemuka. Kini kasur-kasur peradaban di banyak negeri mulai dibongkar perempuan untuk memergoki apa yang disembunyikan lelaki di sana.

Dari sekilas gambaran tersebut terlihat bagaimana pergeseran carabaca membuat khasanah bacaan yang sama menemukan signifikansi makna yang berbeda. Semua ini memang dimungkinkan bagi bacaan alias teks tertulis. Dalam wacana/cakapan lisan tafsir terhadap wacana tersebut dapat dimintakan ketepatannya pada si pembicara yang hadir di sana. Namun, bagi sebuah wacana tertulis -sebuah bacaan- sang pembicara seringkali tak hadir. Dalam berhadapan dengan sebuah bacaan tidak mudah –mungkin juga tidak kelewat perlu- bagi pembaca untuk beroleh ketepatan makna yang sesuai dengan maksud penulisnya. Ketidakhadiran yang menjadi ciri sebuah bacaan membuat makna dan tafsir bagi sebuah bacaan menjadi sepenuhnya terbuka. Pada ketakhadiran penulis sebagai pemberi makna yang tunggal itu, pembaca bisa menghadirkan banyak hal dalam proses pembacaannya bergantung pada khasanah lahir-batin pembaca itu. Dengan begitu sebuah bacaan senantiasa terbuka bagi keberagaman tafsir dan carabaca.

Dilihat dari perspektif semacam ini, pelarangan bacaan dalam bentuk apa pun di banyak negara dalam banyak tempat menjadi sangatlah absurd. Pelarangan tidak lain tidak bukan merupakan sebuah pengabsolutan carabaca tertentu terhadap suatu teks tertentu. Carabaca tertentu -yang diabsolutkan itu- kemudian menurunkan sebuah kesimpulan bahwa suatu bacaan tertentu dianggap berbahaya dan merusak bagi suatu kepentingan tertentu. Dan kepentingan tertentu itu tidak jarang dikemukakan dalam bentuk metafor seperti: kepentingan umum, kepentingan masyarakat, dan sebagainya yang jika kita bongkar akan kelihatan kepentingan dan ideologi yang menjadi udang di balik metafor.

Pengabsolutan suatu carabaca tertentu merupakan sarana efektif untuk membuat sebuah peradaban mandek. Waktu berubah, persoalan bergeser, tantangan dan permasalahan baru bermunculan. Bagaimana mungkin semua ini bisa ditangani dengan membekukan sebuah carabaca tertentu terhadap berbagai hal. Jassin, sang kritikus terkemuka yang saleh itu, kelabakan menangani limpahan karya-karya sastra baru yang menjadi ganjil jika ditangani dengan carabaca lama yang dulu pernah sukses digunakannya untuk menangani sastra era ’20-’50-an. Kita pun ingat George Lukacs yang begitu yakin bisa menerapkan estetika realisme abad 19 bagi khasanah sastra abad 20.

Tuhan menganggap membaca adalah sebuah tindak yang penting dan mendesak untuk dilaksanakan. Boleh jadi karena itu kata Iqra (bacalah!) –bacalah dengan nama Tuhanmu- merupakan wahyu pertama yang diturunkan Allah kepada Muhammad SAW. Dalam pada itu, di bagian lain firmanNya, Tuhan mengemukakan bahwa keberhagiaan dan perbedaan (carabaca) di antara manusia adalah rahmat.

Namun, sekali lagi, ketika seorang pembaca berhadapan dengan bacaan, tak seorangpun tahu apa yang bakal terjadi. Sebuah bacaan bisa memberi hasil-hasil yang tak terduga dan semua yang tak terduga senantiasa mencemaskan. Boleh jadi karena itu banyak fihak merasa menjadi bijaksana dengan membuat orang tak banyak berurusan dengan bacaan. Ada ujar-ujar klasik yang berbunyi: “Berbahagialah mereka yang tidak pernah merasa memiliki karena tidak pernah merasa kehilangan”. Ujar-ujar tersebut sering dimodifikasi menjadi: “Berbahagialah mereka yang tidak pernah membaca karena tidak akan mengalami keraguan dan keguncangan.”

Sekalipun begitu, selalu saja ada orang yang mengatakan “Berbahagialah yang pernah kehilangan karena ia pernah merasa memiliki.” Perbedaannya, hanya kesediaan menerima resiko. Lagi pula Tuhan sendiri pernah mencemooh manusia yang bisa begitu yakin akan masuk surga padahal belum diuji (dengan keraguan, dengan keguncangan) dalam konfrontasi dengan berbagai peristiwa dan wacana.
***

https://gudangperpus.wordpress.com/2014/03/31/di-hadapan-bacaan/


PENGARANG GUREM, PAJAK, DAN HONOR

$
0
0

Anindita S Thayf
Harian Fajar, 18/12/2017

Putu Wijaya pernah mengatakan proses mengarang seperti “peristiwa melahirkan bayi, meregang nyawa, menahan sembilu yang menghujam tubuh.” Tentu setiap pengarang mempunyai pengalaman sendiri-sendiri ketika mengarang. Proses mengarang bisa berbeda, namun hilirnya sama, yaitu sebuah tulisan baik dalam berupa cerpen, novel atau puisi. Tulisan inilah yang merupakan sumber penghasilan seorang pengarang.

Namun besar-kecil jumlah penghasilan ini tidak bisa diukur berdasarkan jumlah tulisan yang dilahirkan, tetapi berdasarkan ketenaran. Bila ditilik dari ketenaran namanya, ada dua kelas pengarang. Pertama, pengarang kelas hiu. Kedua, pengarang kelas gurem. Sebagaimana jumlah hiu di laut, jumlah pengarang kelas pertama sangat sedikit bila dibandingkan dengan sisanya, yaitu ikan-ikan kecil alias para pengarang gurem.

Untuk pengarang hiu, ketenaran namanya memudahkan dia menjual tulisan. Setiap tulisannnya, entah novel, cerpen, bahkan puisi jadi-jadian, pasti bakal laku terjual. Selalu ada redaksi media atau penerbit yang mau membeli karya atas namanya, meskipun itu hanya ceceran kalimat dari novelnya atau kata-kata curahan hati.

Sebaliknya, disebabkan faktor ke-gureman-nya, seorang pengarang gurem selalu kesulitan menjual tulisan. Baginya, bisa menjual satu-dua tulisan saja, dari belasan yang telah dia sebarkan ke berbagai media dalam waktu satu bulan, adalah anugerah. Pun, berhasil memikat hati penerbit untuk menerbitkan karyanya yang meski hanya setebal 100-an halaman, tapi ditulis dengan sepenuh jiwa dan penuh pengorbanan.

Layaknya profesi lain, pengarang juga dikenai pajak. Meskipun sama-sama pengarang, cara pengarang hiu dan pengarang gurem menyikapi hal ini tidaklah sama. Di mata pengarang hiu, pajak itu menakutkan. Pajak bisa membuat pengarang hiu tertunda kaya raya. Atas nama pajak, penghasilannya dari menjual sederet novel best seller mesti diserahkan kepada negara sebanyak sekian persen. Kehilangan jutaan rupiah, dari royalti puluhan hingga ratusan juta, tetap saja meninggalkan perasaan tidak rela di hati pengarang hiu. Bagaimana dengan pengarang gurem?

Berkat faktor ke-gurem-annya, penghasilan seorang pengarang gurem sebetulnya tidak termasuk kena pajak karena di bawah 4,5 juta rupiah per bulan, meskipun dia tetap terdaftar sebagai wajib pajak. Anggaplah, dalam satu bulan, seorang pengarang gurem berhasil menjual 1 cerpen, 1 esai, 1 puisi dan 1 resensi. Berapa pemasukannya? Bila cerpen berhonor 300 ribu, sedangkan esai, puisi serta resensi masing-masing 150 ribu, maka penghasilannya dalam satu bulan hanya 750 ribu rupiah. Penghasilan pengarang gurem sebesar itu masih di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP) terendah 2018 di seluruh Indonesia, yaitu Rp. 1.454.154.

Pengarang gurem yang menulis buku juga dikenai pajak 15%. Namun, karena royalti penjualan bukunya tidak besar, dampak potongan pajak yang dirasakannya pun kecil. Oleh karena itu, jangan salahkan pengarang gurem bila terlihat tidak terlalu ngotot meributkan soal pajak. Waktu, energi dan suara pengarang gurem sudah terkuras untuk hal lain: memperjuangkan soal tagih-menagih honor yang meski terkesan tidak seberapa, tapi sangat penting untuk keberlangsungan hidup.

Tidak semua media dan penerbit tertib membayar honor. Masalah ini bukan hal baru. Pramoedya Ananta Toer dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu mengatakan, “Banyak di antara para penerbit malah menganggapnya [tulisan] sebagai sumbangan cuma-cuma.” Akibat hasil tulisan dianggap sebagai sumbangan cuma-cuma inilah yang membuat seorang pengarang gurem sering menjelma debt collector gigih.

Gagal menagih honor lewat surat elektronik, dia akan berusaha lewat sms. Gagal cara ini, terpaksa harus menelpon. Bila biaya sekali menelpon, dengan waktu bicara dan waktu tunggu yang normal sekitar 25 ribu, apa jadinya bila dilakukan sampai tiga kali karena media yang ditagih terus menunda pembayaran? Pengarang gurem mesti kehilangan 75 ribu, padahal honor yang hendak ditagihnya hanya 150 ribu rupiah. Bagaimana bila tidak berhasil? Cara terakhir, mendatangi kantor redaksi bila jaraknya cukup dekat. Bagaimana bila jauh? Jalan keluar satu-satunya meminta bantuan saudara, teman atau kenalan dengan menggunakan perantara surat kuasa. Namun, bagaimana bila tidak ada siapapun yang bisa menolong? Pengarang gurem diharapkan mengikhlaskan honornya sebagai amal jariyah.

Kemana Harus Mengadu?

Bila seseorang kehilangan keluarga karena aktivitas politik, dia bisa melaporkan hal tersebut kepada Kontras. Bila dirugikan oleh produsen, seorang konsumen boleh langsung mengadu ke YLKI. Bila merasa namanya dicemarkan, seseorang bisa membawa masalah itu ke kantor polisi. Bila seorang pengarang merasa dicekik pajak, dia bisa menemui Menteri Keuangan untuk mengeluh. Namun, apa jadinya bila seorang pengarang gurem merasa dipermainkan oleh media dan penerbit yang telah memuat tulisannya, tapi mangkir membayar honor? Kepada siapa dia harus mengadu—Kontras, YLKI, polisi, Menteri Keuangan?

Selama ini, bila honornya tidak dibayar, seorang pengarang gurem hanya bisa berkeluh kesah kepada sesamanya di media sosial. Kalaupun ada yang nekat mengadu kepada pemerintah, kemungkinan besar suaranya tidak bakal didengar. Sebagaimana suara ikan-ikan kecil yang selalu ditelan gemuruh ombak, begitulah suara pengarang gurem. Selain itu, bila pengaduannya mendapat tanggapan maka mestilah akan ada biaya ini-itu yang bakal menguras isi tabungannya.

Bila pengarang gurem mengancam akan berhenti menulis karena honornya tidak dibayar, yakin saja tidak ada yang akan peduli. Kehilangan satu pengarang gurem tidak berarti apa-apa bagi penerbit atau redaksi media karena toh masih banyak penggantinya. Pun, negara tidak akan rugi sebab setoran pajak pengarang gurem tidak sebesar pengarang hiu. Bahkan, umpamanya, bila seorang pengarang gurem memilih mogok makan sampai mati sebagai bentuk protes, publik hanya akan mengingatnya selama beberapa hari, sebelum kemudian perjuangannya itu mengabadi dalam bentuk prosa yang ditulis teman-temannnnya.

Lika-liku hidup pengarang gurem memang tidak seindah bayangan siapapun. Nyaris semenderita Upik Abu, itulah dia. ***

*) Novelis dan esais. Tinggal di Yogyakarta. Novel terbarunya Ular Tangga (GPU, 2018)
https://www.facebook.com/groups/229651897113749/permalink/1564682373610688/

Mencari Ilmu Hitam dalam Sastra NTT

$
0
0

Yohanes Sehandi *
Pos Kupang, 2 Jan 2018

SEPERTINYA sulit sekali menemukan cerita ilmu hitam dalam karya para sastrawan NTT, padahal cerita ilmu hitam banyak sekali dalam masyarakat kita, diwariskan dengan cara bisik-bisik dari mulut ke mulut. Ceritanya bisa merinding bulu kuduk. Sejumlah istilah berkaitan dengan ilmu hitam, antara lain santet, leu-leu, rasung, suanggi, dukun, potiwolo, dan lain-lain.

Cerita ilmu hitam ditambah dengan berbagai jenis cerita rakyat yang lain masuk dalam kelompok mitos (mitologi). Teori sastra yang khusus mempelajari cerita-cerita rakyat seperti ini adalah teori mitologi atau teori mitopoik (Ratna, 2009) yang di tingkat dunia dikembangkan antropolog Claude Levis-Strauss (1908-2009). Menurut Levis-Strauss, mitos terjadi karena adanya hubungan asimetris antara pikiran dan kenyataan. Dalam teori kontemporer, mitos termasuk wacana fiksional yang berlawanan dengan logos sebagai wacana rasional.

Ilmu hitam bukan seperti ilmu pengetahuan biasa yang dipelajari di sekolah-sekolah, tetapi sebuah kekuatan gaib/magis yang bisa mengubah sesuatu menjadi yang dikehendaki sang suanggi pengirim ilmu santet itu. Menurut cerita, percaya atau tidak, ilmu hitam mampu mencelakakan orang lain, misalnya bisa menjadi sakit atau gila, menjadi siluman, bahkan bisa mati. Orang yang terkena ilmu hitam biasanya bisa disembuhkan dengan ilmu hitam pula dari dukun yang lebih tinggi derajat ilmunya.

Terlepas apakah ilmu hitam itu masuk akal atau tidak, benar terjadi atau tidak, bagi saya, cerita ilmu hitam dan berbagai cerita rakyat lain yang bersifat gaib/magis dan berlimpah ruah dalam masyarakat kita, merupakan suatu kekayaan/kekuatan batin masyarakat kita di NTT yang harus diselamatkan. Sayang sekali kalau cerita-cerita seperti ini hilang begitu saja digerus oleh arus teknologi yang kini berkembang secara masif. Salah satu cara untuk menyelamatkan berbagai cerita rakyat itu adalah dengan mengangkatnya dalam karya sastra, secara tertulis.

Menyelematkan cerita ilmu hitam dalam bentuk karya sastra itulah yang luput dari perhatian para sastrawan NTT selama ini. Ini sangat disayangkan. Saya coba menelusuri cerita-cerita ilmu hitam ini lewat berbagai cerita prosa dalam sastra NTT. Sejauh penelusuran saya, belum ada novel yang secara khusus menggarap tema ilmu hitam ini. Sedangkan berupa cerpen hanya ditemukan beberapa saja. Dari yang sedikit itu, di sini saya coba mengangkat dua cerpen bertema ilmu hitam, yakni cerpen berjudul “Bulan Mati” dan cerpen “Panta Merah.”

Cerpen pertama berjudul “Bulan Mati” karya sastrawan NTT Julius Sijaranamual. Sijaranamual lahir di Waikabubak, Sumba Barat pada 21 September 1944, meninggal dunia pada Mei 2005. Cerpen ini dimuat dalam majalah Horison Nomor 2, Tahun II, Februari 1967.

Diceritakan dua tokoh pemilik ilmu hitam di sebuah kampung nelayan dekat pantai. Yang satu bernama Metekato, dia kepala kampung yang “berisi” karena memiliki ilmu hitam. Yang lain bernama Amalodo, seorang bekas serdadu Kompeni yang berani, punyai “pegangan” yang tidak kalah dengan Metekato. Dengan melihat nama kedua tokoh ini, bisa kita perkirakan cerpen ini berlatar belakang masyarakat Sabu atau Sumba di NTT. Metekato dan Amalodo musuh bebuyutan, keduanya bersumpah untuk saling mematikan lewat adu kekuatan ilmu hitam.

Celaka dua belas bagi keduanya. Anos anak lelaki Metekato saling jatuh cinta dengan Ina anak gadis semata wayang Amalodo. Di suatu malam yang mencekam (disimbolkan sebagai bulan mati), Metekato mengancam Enos untuk batal nikah dengan Ina karena anak setan. Di saat yang sama, Amalodo mengiterogasi Ina untuk putus dengan Enos, karena menurutnya, nikahi Enos sama dengan nikahi anak jahanam. Mendapat ancaman dari kedua orang tua, keduanya anak muda itu nekat melawan orang tua mereka dengan cara kawin lari. Tatkala Enos datang menjemput Ina di rumahnya untuk melarikan diri, dia tertangkap tangan Amalodo yang muncul dari semak-semak. Terkaparlah Enos di tangan Amalodo dengan satu tembakan senapan.

Sang kepala kampung Metekato sudah tahu anaknya Enos tewas di tangan Amalodo. Kini giliran keduanya bertarung ilmu hitam di laut lepas. Di tengah malam yang pekat, keduanya menuju laut untuk memancing. Di atas sampan keduanya saling mengejek, yang sial yang kalah, yang mujur yang menang. Di ronde pertama, Metekato yang kalah karena tidak mendapat ikan, mendapat ejekan pedas dari Amalodo. Tali pancing Metekato yang dikiranya ikan besar, diangkatnya dengan tenaga yang mengucur keringat, ternyata yang terangkat hanyalah selembar daun tuak. Metekato merasa ronde pertama dia kalah.

Di ronde kedua menjelang dinihari, Amalodo yang mendapat giliran sial dan diejek habis-habisan oleh Metekato yang sampannya penuh dengan ikan. Menjelang akhir pertarungan, menjemput pagi, Amalodo yang sial mencoba pelan-pelan menarik tali pancingnya. Namun sebelum tali pancingnya habis tertarik, dia tersentak merasa mata kailnya terkena ikan besar. Ia merasa bakal menang lagi melawan Metekato. Dengan sekuat tenaga, ditariknya tali pancing ke atas sampan. Sepertinya ia tidak sabar melihat hasil tangkapannya. Alangkah terkejutnya ia, yang muncul dari dalam air bukan ikan besar, tetapi kepala anak gadisnya sendiri. Ia langsung sadar apa yang telah terjadi. Buru-buru Amalodo mengayuhkan sampannya ke pantai. Dan ketika tiba di rumahnya, ia menemui anak perempuannya yang bernama Ina sudah mati.

Cerpen kedua berjudul “Panta Merah” karya sastrawan NTT Buang Sine. Buang Sine yang lahir di Kupang pada 30 Juni 1967 ini adalah anggota polisi aktif yang bertugas di Polda NTT. Cerpen ini dimuat dalam buku Cerita dari Selat Gonsalu: Antologi Cerpen Sastrawan NTT (2015) terbitan Kantor Bahasa NTT.

Diceritakan tentang seorang anak lelaki bernama Morito sudah dua hari sakit keras. Bapa mamanya sangat khawatir akan keselamatan anak tunggal mereka, apalagi beredar desas-desus bahwa “panta merah” (ilmu hitam) sedang menyerang warga kampung. Seorang anak lainnya Leksi Nimorte, diisukan meninggal dunia karena dimakan panta merah. Bapanya Markus Lemoto memanggil dukun Kemurota untuk menghabisi suanggi pengirim ilmu hitam.

Suatu malam, dukun Kemurota bersama Lemoto datang menyerang dengan ilmu hitam ke gubuk nenek Yakomina, seorang dukun santet yang tinggal di lembah sebelah kampung. Tengah malam terjadi pertarungan menegangkan antara dukun santet dan dukun Kemurota. Bola api sebesar bola kaki melesat dari bubungan gubuk nenek tua ke angkasa, berputar-putar, bagaikan kilat melesat turun menyergap Kemurota dan Lemoto yang sedang mengendap di semak-semak samping gubuk. Saat terjadi pertarungan sengit melawan bola api, Lemoto lari masuk gubuk membalikkan badan Yakomina yang tidur telentang seperti orang mati, ke posisi tengkurap. Berikut pelukisan Buang Sine atas peristiwa itu dalam beberapa paragraf berikut.

“Tiba-tiba bola api itu meledak di udara. Markus dan Kemurota tiarap di tanah. Akhhh!!! Khhhh!!! Akhhh!!! Terdengar suara jeritan keras dari dalam bola api itu memecah langit. Suara perempuan tua.

Orang-orang kampung terbangun berlarian mendekati asal suara. Bola api dan teriakan wanita tua Yakomina meluncur masuk ke dalam gubuk. Tiba-tiba terdengar ledakan besar. Bum! Asap putih membumbung dari dalam gubuk. Orang-orang kampung tertegun menyaksikan kejadian dahsyat itu.

Mereka beramai-ramai masuk ke dalam gubuk nenek Yakomina untuk melihat apa yang terjadi. Di dalam gubuk mereka mencium bau daging terbakar. Tubuh nenek Yakomina hangus terbakar menghitam arang. Ia mati terpanggang ilmunya sendiri.”
***

*) Pengamat Sastra NTT dari Universitas Flores, Ende
http://yohanessehandi.blogspot.co.id/2018/01/mencari-ilmu-hitam-dalam-sastra-ntt.html

Denny JA dengan Puisi Esai yang Menghina Islam

$
0
0

Budi Hutasuhut *
facebook.com/budiphatees

SEJAK polemik soal proyek buku puisi esai Denny JA berlangsung di jejaring media sosial, dimana saya pernah menulis status yang intinya mempertanyakan isi kepala sastrawan Sumatra Utara yang memposisikan diri sebagai “anjing penjaga atas gagasan Denny JA”, saya menerima ajakan pertemanan dari sebanyak 500 orang di Facebook. Mereka berasal dari seluruh Indonesia, dan saya mengenali sebagian dari mereka sebagai intelektual sastra (saya pakai istilah ini untuk menyebut orang yang punya minat khusus terhadap sastra), sebagian lannya adalah orang-orang yang tertarik tentang sastra.

Para teman baru di Facebook itu mengajukan pertanyaan yang hampir seragam tentang “siapa sebetulnya Denny JA dan kejahatan apa yang telah dilakukannya terhadap rumah tangga sastra Indonesia”. Ada juga yang mengajukan pertanyaan, kenapa saya—juga para sastrawan yang menentang Denny JA—suka memakai kata-kata kasar setiap kali menanggapi kalangan yang pro terhadap Denny JA.

Pertanyaan itu membuat saya berpikir ulang bahwa sebetulnya masyarakat belum tahu duduk persoalan terkait apa sebetulnya yang telah dilakukan Denny JA, sehingga orang itu layak untuk tidak mendapat tempat dalam kesusastraan Indonesia. Sebab itu, saya akan membicarakan karya Denny JA, terutama terkait pembelaannya yang luar biasa terhadap kaum gay sekaligus penghinaanya yang luar biasa terhadap agama Islam.

Saya membicarakan film pendek “Cinta Terlarang Batman dan Robin” garapan Hanung Bramantiyo. Film ini bercerita tentang kisah cinta antara Amir dan Bambang. Amir digambarkan seorang yang rajin beribadah, digambarkan punya “kelainan seksual genetis” menyenangi pria. Amir menikahi dua wanita –sesuai pesan ibunya agar segera menikah—dan pernikahannya kandas, karena dia mencintai Bambang, seorang gay yang akhirnya menjadi aktivis gay internasional.

Naskah “Cinta Terlarang Batman dan Robin” ini ditulis Denny JA. Naskah ini menjadi salah satu kisah yang bisa ditemukan dalam bukunya, Atas Nama Cinta (2012), yang oleh Denny JA disebut sebagai “puisi esai”. Bagi Denny, “puisi esai” ini sebuah inovasi dalam kesusastraan Indonesia, karena “puisi esai” memungkinkan pengarang menulis semua hal dalam kehidupan manusia dengan lebih mudah dan pembaca lebih bisa menikmatinya.

Denny JA meyakini, sastra harus dimengerti oleh masyarakat dengan asumsi bahwa selama ini masyarakat tidak mengerti tentang sastra. Dia memperkuat asumsinya dengan melakukan riset tentang apakah masyarakat memahamkan karya-karya Chairil Anwar dan Rendra, yang kemudian memperoleh hasil bahwa masyarakat sulit memahamkan karya para sastrawan itu.

Dengan asumsi seperti itu, Denny JA mengaku merumuskan sebuah teknik menulis karya sastra yang dia sebut “puisi esai”. Dengan teknik itu, seorang sastrawan bisa menulis puisi bergaya esai, atau menulis esai beraroma puisi. Tapi, bagaimana Denny JA mendefenisikan apa yang dia sebut “puisi esai” menjadi satu kesatuan yang utuh tanpa memilah-pilah menjadi defenisi “esai” dan defenisi “puisi”.

Yang jelas, Denny JA langsung menunjukkan contoh “puisi esai”, yakni tulisan-tulisan yang ada dalam bukunya, Atas Nama Cinta, itu. Sebelum Denny JA menerangjelaskan defenisi “puisi esai”, dia membayar sejumlah intelektual sastra untuk menanggapi buku Atas Nama Cinta itu.

Sudah tentu, para intelektual sastra lebih melihat persoalan teks, dan terjebak dalam garairah memuji teks itu. Dari aspek teks, cerita-cerita dalam Atas Nama Cinta bukan teks yang njilemet, tapi terang jelas membicarakan tema yang dipersoalkan. Sebagai wacana, teks-teks itu lebih mirip laporan jurnalistik dalam teknik jurnalisme sastrawi.

Disebut begitu, karena kisah-kisah itu berpretensi sebagai memimesis alam semesta (kejadian yang sedang terjadi di masyarakat), yang didukung fakta-fakta otentik dengan daftar referensi. Itu sebabnya, “puisi esai” memiliki catatan kaki, dan Denny JA menganggap keberadaan catatan kaki itu sebagai hal baru dalam sastra Indonesia.

Kembali kepada film “Cinta Terlarang Batman dan Robin”, Denny JA ingin menegaskan bahwa nilai-nilai agama Islam yang melekat dalam diri Amir tidak mampu menyelamatkannya untuk terbebas dari siksaan sebagai penderita gay. Bagi Denny JA, gay adalah penyakit keturunan dan tidak akan bisa disembuhkan, seolah-olah Denny JA adalah penderita penyakit keturunan bernama gay. Artinya, Denny JA membuat simpul bahwa gay itu penyakit yang diwariskan secara turun-temurun, sehingga mereka yang menderita penyakit gay itu harus diberi perhatian khusus dan diperlakukan manusiawi.

Denny JA mengajak masyarakat menerima para gay dengan terbuka. Ajakan yang lebih menunjukkan ketidakpahamannya tentang gay. Tapi, saya pikir, Denny bukan tidak paham tentang gay, melainkan memang ingin merusak pengetahuan dan pemahaman pembaca bahwa gay harus diterima dalam masyarakat Indonesia. Ajakan menerima gay apa adanya itu sebagai pengabaian atas kitab suci Quran, karena orang yang alim seperti Amir saja tidak bisa tertolong oleh kealimannya.

Gay bukan persoalan gen. Denny JA tahu soal itu. Tapi, Denny JA menulis “Cinta Terlarang Batman dan Robin” bukan sekadar menyajikan bahan bacaan yang bisa dinikmati masyarakat tanpa perlu mengirutkan kening seperti ketika mereka membaca karya-karya Pramoedya Ananta Toer, tapi memilih karya sastra sebagai medium menyampaikan gagasan tentang liberalisme, sekularisme, dan menjauhkan bangsa Indonesia dari nilai-nilai agamanya.

Denny JA tampaknya memiliki kebencian terhadap Islam. Pasalnya, cerita-cerita dalam Atas Nama Cinta berisi kisah tentang orang-orang yang menderita karena menganut agama Islam. Dia menulis tentang kisah cinta Romi dan Yuli dari Cikeusik yang merupakan komunitas Ahmadiyah, yang bertarung dengan masyarakat anti-Ahmadiyah. Pertarungan yang dijadikan alasan faktual untuk menghina para penganut agama Islam sebagai masyarakat yang tidak menghargai kemerdekaan dan kebebasan.

Meskipun Denny JA menghina Islam secara vulgar, namun pilihan strategi teks lewat puisi esai membuat dia terselamatkan. Segala bentuk protes terhadap Denny JA akan berhenti ketika dia bicara tentang puisi sebagai karya fiksi. Tapi, dia akan memakai istilah “esai” untuk membenarkan bahwa seluruh karyanya bicara tentang fakta. Dengan kata lain, Denny JA memilih menyebut “puisi esai” sebagai tameng untuk melindungi dirinya dan gagasan liberalnya sehingga dia bebas melecehkan agama Islam dan mengajak orang-orang Islam itu sendiri untuk menjadi pengikutnya.

Betapa bodohnya muslim yang menghina agamanya sendiri. Dan, bagi saya, terhadap siapa saja yang menghina agama Islam–atau menghina agama apa saja di negara–layak dipakai kata-kata kotor untuk menghajar mereka.

25 Jan 2018 Padangsidimpuan, North Sumatra
*) Budi Hutasuhut atau Budi P. Hatees
https://www.facebook.com/budiphatees/posts/10210882868213280

Borges dan Cerita yang Meragukan

$
0
0

A.S. Laksana
Jawa Pos, 26 Jun 2016

ADA banyak penulis bagus di muka bumi, tapi bagi saya Jorge Luis Borges (1899–1986), penulis Argentina, adalah yang paling menjengkelkan.

Kita sudah sering mendengar atau membaca tuturan orang mengenai fiksi dan realitas. ”Masalah mendasar pada fiksi adalah ia harus bisa dipercaya. Realitas boleh saja tidak masuk akal,” kata Tom Wolfe, penulis dan wartawan sekaligus salah seorang pelopor New Journalism. Satu Tom lagi, yakni Tom Clancy, menyatakan hal yang kurang lebih sama.

Banyak contoh yang bisa kita sebutkan tentang hal itu. Misalnya, di dalam realitas seseorang bisa mendapatkan keberuntungan yang tidak diduga-duga. Dia bertemu teman lama yang memberinya pekerjaan seperti yang diinginkannya tepat saat dirinya membutuhkan pekerjaan itu.

Di dalam fiksi, jika Anda menceritakan orang yang terlunta-lunta mencari pekerjaan, kemudian mendapatkan begitu saja pekerjaan itu karena pemberian teman lama, fiksi Anda akan dianggap tidak masuk akal dan itu berarti fiksi yang buruk. Para pembaca tidak memercayai cerita yang tidak masuk akal dan mereka akan menganggap Anda penulis yang kurang sanggup menggunakan nalar.

Di dalam realitas, seseorang yang melakukan pembunuhan dan divonis penjara 24 tahun karena kejahatan yang dilakukannya bisa lancar-lancar saja mencalonkan diri menjadi ketua partai politik setelah menjalani masa hukuman hanya empat setengah tahun.

Kemudian, dia dipuja-puja oleh para penjilatnya dan orang-orang itu mendukungnya maju dalam pemilihan presiden. Dan dia betul-betul terpilih menjadi presiden. Seandainya hal itu terjadi di dalam fiksi, pembaca tidak akan percaya bahwa ada masyarakat sedungu itu, memilih seorang pelaku kejahatan menjadi presiden.

Realitas juga memberi kita fakta bahwa seseorang yang sedang dikurung di dalam sel penjara bisa terus menjadi ketua umum PSSI dan merasa tidak perlu mundur karena malu atau tertekan. Mungkin dia merasa tidak bersalah.

Tentu tidak selamanya hal-hal yang tidak masuk akal itu buruk. Ada juga hal baik yang tidak masuk akal di dalam realitas. Ketika saya menonton Unforgiven, garapan Clint Eastwood, saya tidak percaya bahwa itu betul-betul garapan dia.

Clint seumur hidup hanya bermain film tembak-tembakan dengan akting yang begitu-begitu saja, tidak banyak bicara dan lebih banyak menembak. Ketika dia menggarap film sendiri, menyutradarai dirinya sendiri sebagai pemain utama, ternyata filmnya bagus. Sulit dipercaya bahwa aktor yang sepanjang karirnya di dunia film hanya menembak ke sana kemari itu bisa membuat film bagus.

Film tersebut beredar pada 1992 dan saya menyangka itu film pertama Clint Eastwood. Rupanya, itu film ke-16 dia. Jadi, sambil menembak ke sana-kemari, Clint Eastwood sudah menyutradarai 15 film –tidak satu pun saya kenal– sebelum melahirkan Unforgiven yang memberinya dua piala Oscar untuk film terbaik dan sutradara terbaik. Itu sebuah capaian yang tidak terduga. Skenario film tersebut selesai ditulis pada 1976 dan ditolak oleh siapa pun karena dianggap terlalu remeh serta kacangan.

Dari sebuah website, saya mendapatkan informasi bahwa Sonia Chernus, kolega Clint Eastwood dan seorang penulis skenario, menulis memo kepada Clint setelah membaca skenario Unforgiven. ”Sebaiknya kita buang saja barang sampah ini… Saya tidak menemukan secuil pun hal bagus di dalamnya. Jadi, saya kira lebih baik kita lupakan saja,” tulisnya.

Clint menyepakati saran tersebut dan tidak pernah membaca skenario itu. Kemudian, saat mencari cerita untuk film baru yang akan dikerjakan, dia membaca The Cut-Whore Killings –judul awal Unforgiven– dan tertarik untuk memfilmkannya. Dia tidak menyadari bahwa skenario itulah yang dimaksud oleh Sonia Chernus.

Pada 2003 dia melahirkan satu lagi hal yang tidak masuk akal. Dia menyutradarai Mystic River, dan bagus lagi. Film itu meraih dua piala Oscar, satu untuk Sean Penn (aktor utama) dan satu lagi untuk Tim Robbins (aktor pembantu). Saya sudah percaya bahwa Clint Eastwood bisa membuat film bagus. Yang tidak masuk akal sekarang ini adalah Sean Penn.

Dia aktor kelas kambing dan mendapatkan perhatian dari media hanya karena suatu saat pernah menjadi suami penyanyi Madonna. Kualitas terbaik yang dia miliki di masa mudanya adalah mabuk-mabukan dan menghajar orang. Dalam Mystic River dia bermain sangat bagus. Saya bahkan tidak pernah berpikir bahwa dia bisa berakting.

Kadang saya merindukan realitas tidak masuk akal seperti itu. Saya pikir akan sangat menyenangkan ketika pada suatu hari, yang mungkin tidak akan pernah terjadi, mendadak ada kabar bahwa Eva Arnaz atau Mandra membuat film, dan film mereka bagus sekali.

Tetapi, kita jauh lebih sering mendapati hal-hal tidak masuk akal yang buruk. Mungkin itu konsekuensi wajar saja dari kondisi kita. Semakin awut-awutan sebuah masyarakat, ia akan melahirkan semakin banyak hal yang tidak masuk akal. Dan kita tidak bisa berbuat apa-apa terhadap realitas. Sebab, kehidupan dan realitas di dalamnya adalah ciptaan Tuhan. Setidaknya itulah yang diyakini mayoritas penduduk bumi.

Jadi, realitas boleh tidak masuk akal dan kita tidak bisa memprotesnya karena ia ciptaan Tuhan. Fiksi harus masuk akal karena ia ciptaan nalar manusia.

Realitas di dalam fiksi harus benar-benar dijaga sebab-akibat dan nalarnya serta struktur penceritaannya oleh si penulis. Rangkaian kejadian demi kejadian di dalamnya, seabsurd apa pun, harus bisa dipertanggungjawabkan dan masuk akal dalam logika fiksi itu.

Bahkan, dalam fiksi yang bukan realis pun, setiap penulis harus meyakinkan para pembacanya bahwa apa yang dia tulis itu benar-benar mirip ”kisah nyata”. Semua tokohnya bernyawa, berdarah, berdaging, dan memiliki kehendak masing-masing.

Di sinilah Borges berbeda dari kebanyakan penulis. Dia justru menulis cerita untuk membuat kita ragu apakah semua itu sungguh-sungguh terjadi atau tidak. Dia menuturkan setiap ceritanya dengan ketenangan dan wibawa orang yang memiliki banyak pengetahuan. Beberapa ceritanya menggunakan ayat Alquran sebagai kutipan pembuka. Sebuah cara menakjubkan untuk membuat kita percaya. Tetapi, kita tidak tahu apakah dia sedang berbohong atau menceritakan hal yang sungguh-sungguh terjadi.

Saya jengkel sekali setiap selesai membaca cerita-ceritanya. (*)

Akun Twitter: @aslaksana
https://www.jawapos.com/read/2016/06/26/36424/borges-dan-cerita-yang-meragukan

Dua Hari Dua Sastra

$
0
0

Zainuddin Sugendal
Radar Jombang, 16 Okt 2016.

Sebelum hujan sering mengguyur kota Jombang, sekitar duapuluh empat hari yang lalu, dua pertemuan sastra digelar di kota ini. Gejalanya terus merambat dan terus merambat. Naskah kumpulan puisi Mazmur dari Timur: Sehimpun Puisi Epik karya Aditya Ardi N dibahas di warung Boenga Ketjil daerah Parimono dan besok paginya, Serat Tripama: Gugur Cinta di Maespati karya Sujiwo Tejo diseminarkan di auditorium kampus UNIPDU. Keduanya mengiringi bulan-bulan hujan yang dingin di Jombang.

Di awal perbincangan di warung Boenga Ketjil itu, seperti biasa si pemilik warung membacakan naskah secara monolog dengan bodylanguage ala kaum teater, namun ketika ia membaca puisi sampai pada judul ke tujuhbelas, lidahnya tiba-tiba tercekat, lantaran judul kedua setelahnya dirasa tidak terduga. Si pemilik warung itu kemudian menghitung-hitung keimanannya.

Mazmur dari Timur adalah kumpulan puisi yang dibagi ke dalam dua bab, bagian pertama memuat duapuluh lima judul puisi sedangkan bagian kedua memuat duabelas judul puisi yang kesemuanya terikat dalam model tersina yakni satu judul memuat tiga larik. Para pembincang yang hadir antara lain Penulis naskah Mazmur dari Timur Aditya Ardi N, Penyair Binhad Nurrohmat, Kritikus Sastra Robin al-Kautsar, Sastrawan muda dari Mojokerto Dadang Ari Murtono, Pustakawan Indra T Kurniawan, dua orang suster dari gereja Bethany Jombang, dan hadirin yang lain termasuk saya sebagai moderator. Binhad Nurrohmat menyebut puisi Mazmur dari Timur adalah puisi mini epik, pandangannya ini muncul sebab melihat cara si pengarang memilih judul serta pada isi puisi yang merangkum sejarah panjang kekristenan dari Eropa sampai ke Nusantara dengan alur yang tetap terjaga. “Naskah ini tampaknya serius digarap. Judul Mazmur yang diambil dari nama kitab kanon. Di Islam menyebutnya zabur, semacam kidung yang diturunkan kepada Nabi Daud. Seorang nabi yang juga biduan.” Katanya.

“Puisi Mazmur dari Timur ini mencoba membangun suatu nuansa kenasranian yang dikonsep dalam bentuk puisi. Konsep ini ditawarkan mulai dari judul, pemilihan tiga baris perjudul, atau penempatan babnya, serta pemilihan diksi-diksinya. Si pengarang meracik satu judul dengan hanya memuat tiga baris yang itu ada unsur trinitas, sedangkan pembagian dua bab yang bagian pertama ada duapuluh lima puisi dan bagian kedua ada duabelas puisi, itu sebagai kias dari ultahnya Yesus. Seperti halnya pupuh-pupuh yang terdapat dalam Negarakretagama Mpu Prapanca, yang kalau dihitung itu adalah tahun berdirinya Majapahit tetapi penulisannya dibalik yaitu 1293 menjadi 3921. Konsep ini menarik karena sudah jarang diangkat oleh sastra-sastra modern yang lebih mengedepankan sesuatu yang tidak simbolik semacam ini.” Lanjutnya.

Bagi Dadang Ari Murtono, keketatan bentuk puisi dan perimaan yang rapi memiliki resiko beberapa diksi yang dipaksakan untuk masuk ke dalam teks, meskipun dalam pemilihan puisi berpola semacam itu memang menjadi tantangan besar pengarang “Tentu bukan hal mudah membuat puisi dengan muatan yang besar ke dalam beberapa baris puisi dan bentuknya ketat pula. Ini seperti apa yang dikatakan Chairil Anwar, “dunia yang menjadi”. Termasuk di naskah Mazmur dari Timur ini berani menggunakan diksi-diksi campuran dalam satu judul puisi dari bahasa yang berbeda-beda ejaannya. Seperti kata synagoge yang masih menggunakan ejakan Latin asli, padahal sudah ada kata serapan Indonesianya, jadi ini menunjukkan keberanian seorang pengarang dalam mencampur diksi dari barbagai bahasa dari Eropa sampai Asia,” ungkap Dadang sambil merokok.

Pembahasan malam itu baru menemui titik ruwet ketika muncul pertanyaan-pertanyaan seperti kata “Timur” pada judul utama dan kata “Epik” pada anak judul, serta dalam menggolongkan apakah kumpulan puisi Mazmur dari Timur adalah puisi kekristenan atau bukan, dan terutama mengenai sepak terjang sosok Coolen dalam menyebarkan agama Kristen di Ngoro yang disinggung di dalamnya?

Maka bagi Robin al-Kautsar setelah mendengar penjelasan Aditya Ardi N mengenai kata “Timur” yang dimaksud adalah Jawa Timur, dianggap dapat menimbulkan ambiguitas atau bermakna ganda, sebab agama Kristen sendiri awalnya muncul dari daerah kawasan timur. “Kalau memang yang dimaksud Mazmur dari Timur adalah Jawa Timur maka kenapa itu hanya sekilas tentang horog, tidak ada penekanan-penekanan yang membantu menjelaskan kalau timur di situ adalah Jawa Timur, sedangkan Mazmur sendiri memang awalnya turun di daerah Timur, yaitu Yarusalem. Kemudian tentang epik, Maman S Mahayana menyebut bahwa epik adalah kata sifat dan epos kata bendanya. Sedangkan epos zaman dahulu; ada tokohnya, ada karakternya dan bisa melakukan hal-hal yang luar biasa. Di naskah ini tidak ditemui nuansa seperti Mahabarata, Ramayana, Hikayat Prang Sabi dan lain-lain. Menurut saya perlu ditinjau kembali, apakah betul puisi Mazmur dari Timur ini adalah puisi epik?.”

Penjelasan epik dari Robin Al-Kautsar inilah yang segera mendapat respon dari Binhad Nurrohmat yang menganggap epik tidak selalu terpaku pada problematisir kisah, menurutnya bisa juga disebut epik kalau di sana ada mengandung beberapa hal; ada kosmologi, fisiologi dan nilai-nilai di dalamnya seperti Epik Gilgames dari Sumeria, seperti juga karya-karya Homeros yang menceritakan bagaimana Yunani memandang alam dan kemanusiaan, dan Negarakretagama yang menggambarkan kemajapahitan secara kompleks, dengan beragam khasanah di zaman itu, suasana, kuliner, perilaku masyarakat, dunia agrarianya dan lain sebagainya. “Naskah Mazmur dari Timur juga mengarah ke sana, seperti ingin mengarak kepada areal yang sangat luas, baik yang sifatnya lahiriah maupun batiniah. Tapi yang paling bisa diidentifikasi dari puisi epik adalah tidak menampakkan unsur akulirik. Ia lebih cenderung menerangkan tentang sesuatu yang berada di luar dirinya. Itu hal awal untuk mengklasifikasikan puisi epik atau bukan? Saya pikir untuk ranah puisi, Mazmur dari Timur ini adalah nuansa baru sebagai genre puisi epik, tidak seperti prosa yang sudah banyak digarap. Homerus dengan Iliad dan Odyssey, Mahabarata, Ramayana, Negarakretagama, Arus balik, Hikayat Prang Sabi dari Aceh atau La Galigo dari Bugis dan lain sebagainya.”

Memang di dalam Naskah Mazmur dari Timur, teknik penyampaian informasinya terkesan imagis tetapi justeru oleh Binhad Nurrohmat dianggap menarik. Bagaimana dunia yang besar diramu dalam bentuk yang puitik, dan tidak dibuat senaratif karangan-karangan seperti Negarakretagama yang nerasinya kuat sekali. Kalaupun ada perbedaan antara Mazmur dari Timur dan Negarakretagama yang mencolok ialah dalam lingkup geografisnya, kalau Negarakretagama membaca dalam lingkup asing wilayah Asia, sedangkan Mazmur dari Timur membaca Eropa sampai ke Ngoro Jombang, diaduk menjadi satu naskah dengan jarak masa yang juga panjang, Yesus abad satu sedangkan Coolen sekitar abad 19.

Dalam perbincangan sastra malam itu, menjadi berhati-hati ketika mencoba mengklasifikasikan apakah naskah Mazmur dari Timur termasuk puisi kekeristenan atau bukan. Menurut Robin al-Kautsar, kurang tepat jika dikategorikan sebagai puisi kekristenan, karena tidak ada penilaian dari si pengarang terhadap apa yang dia tulis, misalkan penggalan bait malaikat dengan pakaian berkilauan, kemudian seringai mata bangsa Eropa. Apa penilaian atas semua itu kecuali sebatas menunjukkan bahwa si penulis lebih cenderung imagis.

Dalam pandangan Robin ada beberapa kalimat yang menunjukkan tentang kegelisahan si penulis terhadap kekeristenan di Indonesia walaupun tidak terjelaskan dengan detail kegelisahan itu, karena penulis lebih memilih mengarang dengan puisi terikat. “Maka kalau penulis punya kegelisahan dengan masa lalu kekristenan di Indonesia, itu bisa dibenarkan dengan melihat beberapa judul di dalam naskah ini tapi kalau kegelisahan itu dijadikan sebagai ukuran masuk dalam kategori puisi kekeristenan maka itu yang menurut saya tidak bisa. Jauh lebih dulu, kita harus mengenal JE Tatengkeng, Mangasa Sotarduga Hutagalung. Pada karya-karya mereka ada nilai-nilai kekeristenan di dalamnya, ada intensitas pula di sana walaupun memasukkan kosa kata sebanyak-banyaknya tetapi mereka tetap sebagai proklamator puisi kekeristenan itu.”

Sedangkan menurut Dadang Ari Murtono, berbicara puisi kekristenan di Indonesia, bisa langsung menghubungkannya dengan Mario F Lawi. Bagaimana pertentangan nilai di dalam karyanya begitu kuat. Seperti salah satu puisi Mario yang bercerita tentang kakeknya yang baru dibaptis tapi sebelum akhir hayatnya si kakek merindukan agama sebelumnya. Di puisi Mario ada pertentangan nilai, sedangkan di puisi Mazmur dari Timur tidak begitu terasa adanya pertentangan itu. “tapi penulis Mazmur dari Timur menggarap kekristenannya dengan nuansa yang berbeda dengan Mario yang justeru membuat Mazmur dari Timur bisa berkelit dari kekristenannya Mario, misalkan puisi Riyaya Undhuh-Undhuh yang isinya tidak bisa ditemukan di puisinya Mario.”

Sebelum diskusi sastra malam itu usai, pemilik warung Boenga Ketjil kembali membacakan naskah puisi Mazmur dari Timur yang tersisa dan sengaja melewatkan dua judul puisi yang diawal diskusi membuat lidahnya kelu. Lampu warung kembali redup, suara si pemilik warung lantang memecah malam. Selesai dia membaca, lampu warung kembali terang, dan para pembincang bercerita tentang Coolen. Coolen adalah salah satu nama yang terdapat di dalam naskah Masmur dari Timur. Ia adalah sosok guru dari Kiai Sadrah. Kiai Sadrah sebagai misionaris asli Jawa, dia punya hubungan erat dengan kekristenan di daerah Ngoro yang dalam berpenampilan ia tidak memakai sepatu dan celana, tetapi memakai sarung sebagaimana orang Jawa pada umumnya hingga ia dikenal di kalangan Islam dengan panggilan kiai dan di kristenpun dipanggil kiai. Jejaknya terbaca mulai dari Ngoro Jombang sampai Semarang.

Serat Tripama dan Ritme al-Quran
“Bersama waktu, pingsan ada selesainya. Bersama waktu, capek juga ada selesainya.”
Pagi hari setelah malamnya diskusi sastra di warung Boenga Ketjil, seminar sastra dengan pembicara Sujiwo Tejo digelar di auditorium kampus UNIPDU Jombang, seminar ini terlaksana dengan semarak. Panggung seminar tertata rapi dihiasi para pemain musik dan para penonton dibawa antusias. Sujiwo Tejo duduk sopan di atas panggung sebelum menampilkan performanya.

Pembahasan dimulai mengenai buku Serat Tripama: Gugur Cinta di Maespati karya Sujiwo Tejo. Buku ini bercerita tentang tokoh Sumantri dan adiknya Sukasrana, yang diganggu oleh suara-suara yang datang dari langit dan membuat keduanya terus berlari mencari tempat persembunyian, sejauh mereka berlari suara-suara itu terus mengganggu. Maka dalam ketertekanan itu Sumantri memutuskan untuk melawan para raksasa yang menakutinya. Dan tak dapat disangka, ternyata dirinya mampu mengalahkan mereka.

Kemudian Ayah Sumantri menyuruhnya pergi ke atas langit menuju ke Maespati yang dipimpin oleh Prabu Arjuna Sasrabahu, tetapi sebelum Sumantri melewati pintu terakhir untuk masuk Maespati, datang kepadanya perintah dari Sang Prabu supaya ia Pergi ke Negeri Magada dan merebut Dewi Citrawati untuk dijadikan permaisuri di Maespati. Sumantri menyetujui titah itu dan oleh karenanya ia menghadapi banyak tantangan peperangan termasuk bertarung melawan Prabu Darma Wisesa yang sebelumnya sudah dinyatakan sebagai pemenang. Tapi akhirnya Sumantri berhasil memenangkan peperangan dan Dewi Citrawati diboyong menuju Maespati. Dalam perjalanan menuju Maespati itulah sebenarnya peperangan besar telah dimulai, Sumantri dan Dewi Citrawati jatuh cinta dan kemudian membuat Sumantri berani menantang Sang Prabu Arjuna Sasrabahu .

Pada seminar buku Serat Tripama, Sujiwo Tejo tidak hanya membahas tentang pernaskahan bukunya tapi juga keterkaguman pribadinya pada ritme musik yang dia dapatkan melalui al-Quran. Sebagaimana surah al-Jin telah mengesankan hatinya, dan ayat-ayat al-Quran yang lain membuat bias terhadap lagu-lagu gubahannya. Menurut dia, di dalam al-Quran tidak ada yang luput dari pola musik, perhuruf, perlafadz dan perkalimat, semuanya membentuk pola. Dia menyangka pandangannya ini didasarkan pada dirinya yang seorang dalang, musisi, dan lulusan matematika.

Contoh yang disampaikan oleh Tejo adalah surah al-Jin, dia bercerita bagaimana ketika mendengar surah tersebut membawa hayalannya berada di padang Sahara dengan angin berhembus ringan. Dia menggambarkan banyak note musik terbang di atas kepalanya dan dirinya ikut terbang seperti layaknya Jin. Musik-musiknya meskipun berbahasa Jawa diakui terilhami ayat-ayat al-Quran seperti surah an-Nas, kemudian akhir surah al-Baqorah, surah Yasiin, dan detak-detak huruf pada Asmaul Husna.

Sujiwo merasa asik dengan lagu dan irama yang ditemukan di dalam bunyi ayat-ayat al-Quran, seperti menghentak-hentak dalam tempo yang berpola, Hubungan huruf dengan hurufnya, hubungan lafadz dengan lafadz yang lain. Meski variasi musik yang dia pahami tidak diajukan sebagai sebuah pakem tersendiri dari pelafalan al-Quran tapi dia memahami bahwa dari variasi lagu itu menimbulkan efek-efek yang berbeda pula. “Siapa yang menemukan pertanda itu?” tanyanya kepada penonton. “Rasanya kita bisa membacanya dengan lidah jiwa kita masing-masing,” Ucap Tejo dengan suara berat. []

*) Zainuddin Sugendal, Mahasiswa Sastra Inggris UNIPDU Jombang.
https://lerank.wordpress.com/2017/01/25/dua-hari-dua-sastra/

Sakral dan Profan

$
0
0

Komaruddin Hidayat *
Sindo, 18 Agu 2017

KEDUA istilah di atas, sakral dan profan, lazim dijumpai dalam berbagai kajian ilmu sosial, filsafat, dan agama. Secara populer sakral artinya suci, disucikan, atau dianggap suci, sedangkan profan bermakna sebaliknya. Contoh paling sederhana, ada dua buku tebal, yang satu kitab suci, satunya lagi buku akademis.

Buku pertama dianggap sakral, yang lain profan. Tentu saja sakralitas sebuah entitas berkaitan dengan kepercayaan dan iman seseorang. Kitab Injil dan Alquran bagi pemeluk Nasrani dan Islam diyakini sakral sehingga disebut kitab suci, tetapi bagi orang ateis dianggap profan.

Bagi muslim, bangunan Kakbah dan batu hitam (hajar aswad) yang melekat di tembok Kakbah, Mekkah, dianggap sakral, suci, bukan bangunan sembarangan dan bukan sembarang batu. Kakbah itu bahkan disebut baitullah dan hajar aswad itu simbol tangan Tuhan.

Secara tekstual, baitullah berarti rumah Allah. Apakah berarti rumah milik Allah ataukah Allah bertempat di situ? Tentu bukan begitu maknanya. Semua langit dan bumi seisinya adalah milik Allah.

Di situ terkandung konsep sakral, sesuatu yang dianggap suci. Dan Kakbah memiliki derajat kesucian istimewa karena semua bangunan masjid oleh umat Islam juga disebut tempat suci. Tempat ibadah agama lain, misalnya gereja, juga dipandang sebagai tempat suci. Tempat khusus untuk memuji Tuhan.

Contoh lain yang sakral dan yang profan misalnya gerakan salat dan senam. Keduanya sama-sama gerak tubuh secara teratur dan terstruktur, tetapi senam tubuh diposisikan sebagai budaya yang bersifat profan.

Jadi yang disebut sakral selalu dikaitkan dengan keyakinan dan ritual keagamaan, sedangkan yang profan masuk pada kategori kebudayaan. Keduanya secara teori dan konsep bisa dibedakan, tetapi pada praktik dan kenyataannya sesungguhnya tidak bisa dipisahkan antara yang sakral dan yang profan, antara agama dan budaya.

Bangunan masjid, misalnya, sejak dari bahan, arsitektur, karpet, menara, dan seluruh wujud fisiknya adalah fenomena budaya tak ubahnya bangunan rumah. Hanya saja oleh masyarakat disepakati sebagai masjid, tempat suci, di mana entitas budaya tadi disakralkan sebagai instrumen keagamaan.

Begitu pun bahasa Arab adalah bahasa budaya. Tapi ketika dipinjam atau dipilih Tuhan untuk mewadahi wahyu yang diterima Nabi Muhammad, bahasa Arab itu lalu disakralkan. Terjadi sakralisasi budaya.

Tapi proses sakralisasi ini kadang melewati batas proporsinya. Misalnya model pakaian budaya Arab yang dikenakan Nabi juga oleh sebagian orang disakralkan, dianggap sebagai pakaian keagamaan.

Mengenakan gamis model Arab diidentikkan dengan mengikuti sunah Rasulullah, padahal sejatinya adalah fenomena budaya, bukan agama. Wilayah profan, bukan sakral. Dulu orang-orang kafir yang memusuhi Rasulullah juga sama pakaiannya.

Jadi bagi mereka yang menganut paham sekularisme, semua yang ada ini profan, sekuler, duniawi, tak ada kualitas ilahi di dalamnya. Tapi ada pula yang membedakan antara entitas sakral, yang suci atau disucikan, dan entitas yang duniawi, sekuler, yang masuk ranah budaya.

Makanya ada ungkapan, yang agama jangan dibudayakan, yang budaya jangan diagamakan. Lebih ekstrem lagi, sesungguhnya yang suci secara absolut itu hanyalah Allah semata. Selain Allah dianggap suci atau disucikan karena menjadi instrumen dalam peribadatan untuk memuji dan menyucikan Allah.

Meski begitu, jika ditarik pada tataran kesadaran dan perilaku batin orang beriman, semua tindakan yang diniati sebagai sujud dan berserah diri kepada Tuhan adalah suci. Bekerja mencari rezeki (uang) juga tindakan sakral karena menjalankan perintah Tuhan. Apa pun kegiatannya yang dimaksudkan dan diarahkan sebagai amal saleh adalah suci, sebagai ibadah, tidak semata salat.
***

*) Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
https://nasional.sindonews.com/read/1231400/18/sakral-dan-profan-1502983114/13

Mendadak jadi Moderator

$
0
0

Sabrank Suparno

Mendadak jadi moderator dalam diskusi buku “Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia” Karya Nurel Javissyarqi pada hari Selasa 30 Januari 2018 di Kedai Boenga Ketjil miliknya Cak Andhi Setyo Wibowo. Kalau saya mondar-mandir dalam diskusi itu, bukan meniru Karni Ilyas pada acara ILC, sebab ILC baru berdiri beberapa tahun lalu saja, dibanding saya memoderatori di berbagai acara. Jika saya tiba-tiba mendebat pembicara, meminta ketegasan ulang, menghentikan pendapat, mengulas, dll, juga bukan meniru Rosiana Silalahi yang endel produktif itu. Itu semata hanya teori menghidupkan ruang diskusi.

Buku setebal 500 halaman yang baru terbit 9 Januari 2018, merupakan kajian panjang dari buku setebal 100 halaman sebelumnya yang berjudul “Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri.” Buku “Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia” ini bagai penyempurna keris Empu Gandring menjadi tujuh lekuk (luk pitu) dari buku sebelumnya untuk menghunjam kepenyairan SCB. Persis satu gelombang sejarah dengan hunusan Ken Arok pada Tunggul Ametung, setelah Ken Arok suatu hari kesemsem dengan betisnya Ken Dedes yang busananya tersingkap angin di Alun-alun Ibu Kota Tumapel. Betis yang bersinar itulah, diyakini Ken Arok sebagai garis wanita yang bakal menurunkan raja-raja besar di Nusantara.

Kajian buku ini bertumpu seputar memblejeti kelemahan penyair-penyair lawas yang namanya dibesarkan hanya karena mitos. SCB salah satunya, hanya dibesarkan oleh Dami N Toda dan Prof. Umar Junus pada awalnya. Dua Ilmuwan yang membesarkan SCB justru dengan mitos. Bukan dibesarkan secara logos. Itulah sebabnya, Nurel Javissyarqi mendudukkan kecacatan mitos tersebut dengan berbagai analisa data logosnya. Sementara, generasi seangkatan SCB hingga kini terkesan diam dengan keadaan tersebut.

Namun demikian, buku ini juga membongkar berbagai mitos-mitos lain yang berkenaan dengan julukan menjadi sastrawan besar. Kritik pe-mitos-an. Membesarkan tokoh hanya dengan cara memitoskan-jare jare-kitab Fatkul Jare-Jarene wong kae, -Jarene wong iko. Tradisi kritik-otokritik inilah yang mahal harganya. Kritik yang meluruskan wacana publik yang sekian lama didiamkan. Kajian kritik inilah yang saya sebut sebagai Hadirnya Nabi Akhir Jaman. Bukan Isa Al Masih yang turun sebagai person. Satu orang yang disubyekkan untuk mengatasi berbagai kebodohan. Nabi Akhir Jaman ialah bangkitnya kecerdasan untuk menyimpulkan permasalahan. Dan kesadaran bersama demi nilai yang lebih tinggi, inilah sang Juru Selamat itu.

Buku kritik pemitosan semacam ini adalah upaya penulisnya meluruskan wacana publik dengan data ilmiah dengan harapan nantinya publik mampu menyikapi seputar gagasan pemitosan. Perang adu keris seputar gagasan. Bukan persoalan pribadi, sebab persoalan pribadi haruslah selesai. Dikritik kayak apapun, dimarahi bagaimanapun, ia sebagai pribadi tidak akan berubah, karena ia (pribadi) hidup, dan makan dari situ (profesionalismenya). Maka harus dibikin wacana publik. Dengan kata lain, “gak ono hubungane walau yang dikritik nantinya mungguh, besar kepala atau makin tenar, yang penting publik memahaminya.”

2 Januari 2018, Jombang, Jawa Timur.


Warung Boenga Ketjil d/a Parimono V / 40 Plandi (belakang POM bensin Parimono), Jombang, Jawa Timur.


Buku, Tokoh, dan Penerbit

$
0
0

Sutejo *
Kompas, 28 Sep 2017

Di Hari Aksara Internasional yang jatuh pada 8 September kali ini ada hal menarik mengaitkannya dengan berita Kompas (6/9), yakni tentang optimisme industri perbukuan yang menjanjikan di masa depan. Sebuah penanda kehidupan literasi. Optimisme itu diungkapkan oleh Deputi Bidang Pemasaran Bekraf, Joshua Simandjuntak. Pertama, industri penerbitan termasuk 5 terbesar dari 16 subsektor industri kreatif sehingga perlu terus didorong kualitasnya. Kedua, penerbit buku perlu memastikan kontensnya bermutu, menarik, dan mampu memanfaatkan strategi pemasaran global. Jika pesan ini terealisasi, maka akan mendorong penguatan budaya literasi yang telah dicanangkan Kemendikbud sebelumnya.

Cermin Inspirasi

12 tahun lalu sebelum Gerakan Literasi Sekolah (GLS) diluncurkan oleh Kemendikbud, Gramedia telah mempelopori dengan menerbitkan Bukuku Kakiku (2004). Saya membelinya di Gramedia Surabaya tanggal 24/8/2004, sesuai tanggal dan tanda tangan yang ada di balik sampul buku, halaman pertama. Buku menarik yang dieditori oleh St. Sularto dkk, diprakatai Jakob Oetama, dan “dikatapengantari” Fuad Hasan itu begitu inspiratif.

Buku itu meresonansikan ingatan yang kuat pada dua hal. Pertama, fenomena booming buku Harry Potter jilid pertama, yang jika dibandingkan dengan kejadian di Taiwan, Thailand, dan Australia –sungguh berbeda. Ilustrasi ketimpangan budaya literasi itu ditulis oleh Jakob Oetama. Ia berkesimpulan begini, “Kita disadarkan, dibandingkan dengan rasio penduduknya, jumlah tiras buku yang terbit di negeri kita lebih rendah bukan saja dibandingkan Jepang atau negara-negara industri Barat, melainkan juga India, bahkan juga lebih rendah daripada sesama negara Asia Tenggara.” (2004:vii-viii).

Kedua, fisolofi buku sebagai kaki, yang dieksplorasikan oleh Sindhunata, kemudian dijadikan judul buku. Sungguh, tidaklah sederhana. Filosofi itu melingkar-lingkar di tataran filsafat, sastra, kesadaran, psikologi-sosial, peradaban, kebudayaan, sejarah, bahkan yang paling substil lingkaran spiritual-perenial yang transendal (2004:337-353). Sebuah tamasya spiritual yang indah dan menggugah.

Tetapi, kemudian jengah ketika menjejaki kaki literasi di negeri ini. Saya ikut empatif atas keprihatinan Taufiq Ismail tentang lemahnya budaya literasi di Indonesia, sebagaimana diberitakan dalam separo halaman Kompas dengan judul “Horison” dan Gerakan Sastra di Sekolah (15/9/2003, hal. 34). Sebuah realita ironis ketika itu, ketika Taufiq menghadap Mendikbud Wardiman Djojonegoro, justru dijawab untuk membuktikan pernyataan keprihatinannya dengan dasar angka-angka (data). Saat itulah, tantangan itu dibuktikan Taufiq dengan melakukan “research sederhana”, snapshot (potret sesaat) untuk menangkap gejala yang muncul ke permukaan.

Snapshot itu diarahkan pada persoalan seputar kewajiban membaca buku sastra, bimbingan menulis, dan pengajaran sastra di SMU tempat mereka belajar. Hasilnya? Tentu, mencemaskan. Untuk jenjang SMU di AS selama tiga tahun dituntut membaca 32 buku, di Jepang dan Swiss 15 buku, dan Singapura, Malasyia, Thailand, serta Brunei Darussalam rata-rata 5-7 buku. Di Indonesia, diperoleh angka 0 buku, setelah era Algemeene Middelbare School (AMS) Hindia Belanda. Saat itu, ditemukan angka 15-25 judul buku sastra. Sungguh ironis.

Potret demikian menjadi semacam cermin inspirasi untuk direfleksikan dengan berbagai lapis dan kualitas kegiatan untuk membudayakan literasi.

Fajar Literasi

Di era Mendikbud Anies Baswedan, ada fajar literasi yang menjanjikan, yakni program GLS yang pokok inspirasinya adalah (i) target pembelajaran berbasis literasi dengan kewajiban membaca buku nonteks pelajaran sejumlah 6 buku (SD), 12 buku (SMP), dan 18 buku (SMA/SMK), (ii) dibentuknya Tim Literasi Sekolah (TLS) yang bertanggungjawab atas operasionalisasi GLS, (iii) kewajiban 15 menit sebelum pelajaran untuk membaca buku nonpelajaran berikut kegiatan pengiringnya, dan (iv) integrasi GLS dengan penumbuhan budi pekerti (PBP).

Buku desain GLS sendiri baru Januari 2016 ditandatangai Dirjend Dikmenum, Hamid Muhammad. Dari desain GLS itu, dapat dimengerti posisi kemampuan literasi kita di peringkat ke-2 bawah (research PISA, 2012) dari 65 negara peserta dan peringkat ke-4 bawah (data PIRLS, 2011) dari 48 negara peserta di satu sisi dan di sisi lain bagaimana desain dan tahapan penting itu beroreantasi memajukan budaya literasi di Indonesia. Bahkan, kecerdasan literasi yang diimpikan tidak saja pada tataran literasi dini (early literacy), literasi dasar (basic literacy), literasi perpustakaan (library literacy) tetapi juga literasi media (media literacy), literasi teknologi (technology literacy), dan literasi visual (visual literacy).

Meski Mendikbud ganti, GLS tidak boleh henti. Jadikan GLS sebagai gerakan nasional yang perlu didukung oleh pemerintah pusat, provinsi, daerah, dinas, satuan pendidikan, orang tua, masyarakat, dan berbagai pihak yang memungkinkan. Sebuah tonggak perubahan besar dan mendasar untuk memajukan budaya literasi. Satu poin terpenting adalah kewajiban membaca selama 15 menit sebelum kegiatan belajar dimulai. Jika Jepang hanya memprogramkan 10 menit membaca di awal pelajaran bisa seperti sekarang ini, maka jika bangsa ini konsisten melakukannya maka harapannya tentu jauh lebih dahsyat hasilnya.

Belajar dari Jepang, yang telah melaksanakan pembiasaan 10 menit membaca sebelum pembelajaran sekitar 35 tahun lalu (era 80-an), maka tak mengherankan jika kini Jepang tercatat sebagai negara dengan tingkat akselerasi peradaban ilmu paling depan. Hebatnya, kebijakan itu mendapatkan dukungan penuh oleh orang tua dan masyarakat yang dikenal sangat fanatik. Meskipun mendapatkan banyak kritik dari ahli pendidikan karena terlalu behavioristik karena faktor reward dan punishment sebagai pengiringnya. Tak heran, bangsa Jepang dalam buku Spiritual Reading karya Raghib As-Sirjani, dituliskan sebagai negara dengan tingkat konsumsi buku paling tinggi di dunia dengan 40 buku perorang dalam setahun. Sementara, Eropa rata-rata 10 buku, Arab rata-rata 20 lembar, dan Indonesia belum diketahui (2007:78).

Kembali pada inspirasi Bukuku Kakiku, sebuah kado berarti dari Gramedia di hari buku nasional (2004) yang bertemakan “Dengan Buku Menuju Indonesia Baru”, maka ada hal inspiratif yang menarik untuk dikemukakan. Meski, ini terjadi 12 tahun yang lalu. Buku berisi 22 artikel inspiratif dari orang-orang inspiratif, saksi peradaban dan kebudayaan Indonesia, yang menuangkan pengalamannya bergulat mesra bersama buku. Mereka rata-rata, tergerak, terinspirasi, berubah, dan terakselerasi hidupnya lewat buku.

Nama-nama besar seperti Ajip Rosidi, Ariel Haryanto, Azyumardi Azra, Benjamin Mangkoedilaga, Budi Darma, Daud Joesoef, Franz Magnis-Suseno, Meilani Budianta, Mochtar Pabottinggi, Sudhamek AWS, Shindunata, Yohanes Surya, Taufik Abdullah, dan lainnya. Sebuah keteladan dalam berliterasi yang menarik untuk dicatat dalam sejarah kebudayaan negeri ini.

Sebuah harmonisasi keteladan penerbit buku dan tokoh literasi untuk dijadikan cermin inspirasi di satu sisi dan di sisi lain pentingnya memanfaatkan momentum “fajar literasi” yang telah diagendakan bangsa Indonesia.

Akhirnya

Untuk menghidupkan GLS tak boleh melupakan inspirasi pergulatan tokoh-tokoh itu dalam berliterasi di kancah nasional dan internasional. Bukankah kehidupan apapun dalam proses mendaki tangga kesuksesan akan lebih mudah jika berangkat dari sebuah model? Hidup sesungguhnya hanyalah peniruan berulang dari yang telah terjadi, kemudian dimodifikasi-kreasikan sesuai dengan tuntutan waktu.

Di sinilah, maka GLS justru penting untuk diakselerasikan dalam mendorong kemajuan bangsa. Dengan gerakan literasi yang immersive dipastikan akan mampu menyentuh bawah sadar generasi sehingga menyadarkan, menggerakkan, memaknakan perubahan bangsa di masa depan. Tinggal membutuhkan konsistensi dari Kemendikbud kini dalam merealisasikannya. Jangan sampai justru adagium “ganti menteri ganti pula kebijakannya” mengalami pembenaran empirik.

Kita tunggu saja action Mendikbud untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa besar berbasis budaya literasi. Kapal perang “Fregat GLS” dengan sejumlah peluru kendali untuk menaklukkan musuh-musuh peradaban bernama kebodohan. Sementara itu, peran para tokoh literasi dan pernerbit buku sebagai stakeholder penyokongnya wajib juga untuk dipikirkan.

*) Sutejo, Doktor alumnus Unesa Surabaya. Pendiri “Sekolah Literasi Gratis” STKIP PGRI Ponorogo, Jawa Timur.
https://www.pressreader.com/indonesia/kompas/20170918/281599535671885

Ke-berhalangan hadir-nya Binhad Nurrohmat

$
0
0

Nurel Javissyarqi *

“Kejam,” satu kata komentar dari guru saya untuk buku MMKI. Ia bukan tukang syair pun tidak ahli bahasa, tetapi seniman lukis tulen (Tarmuzie).

Jauh sebelum Binhad berkomentar dengan kata-kata; “Aku berhalangan hadir” pada postingan pamflet acara diskusi buku “Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia” yang diunggah Cak Kepik (Andhi Setyo Wibowo 26/1/2018), jadwalnya diadakan dalam kegiatan rutin SelaSastra bertepatan ke #24, seperti biasa di Warung Boenga Ketjil beralamat di Parimono V / 40 Plandi, Jombang (belakang POM bensin Parimono), dengan pembicara Binhad Nurrohmat, 30 Januari 2018. Tengok cover awal MMKI di foto sampul facebook saya 12/12/2017, BN menanggapi; “Saya memilih mempertahankan mitos itu. Bukan membongkarnya. Alasannya tentu ada. Dan saya rahasiakan.” Pada waktu lain Cak Kepik tetap ‘ndablek’ memposting ulang paflet lewat gambar berbeda, namun masih menyebut Binhad sebagai pembandingnya, 29/1/2018.

‘Sedurung’ peristiwa itu, panitia bedah buku MMKI di Magetan, Dian AV Sasa mengutarakan pendapatnya; keberatan, atau belum sesuai bagi para penggiat sastra di Kota Telaga Sarangan yang masih muda-muda, perkataannya dikabarkan melalui pelukis Dwi Kartika Rahayu. Jadi, ketika Binhad menulis di bawah paflet ke 2 yang diunggah Cak Kepik dengan ungkapan; “Anjrah Lelono Broto akan mengganti posisi saya sebagai pembahasnya adalah usulan yang baik.” Saya tidak kaget, dan Anjrah serta lainnya menolak halus, sebab keterbatasan waktu. Perihal itu menyeret BN hingga berkata-kata; “Marilah duduk-duduk bersama dalam acara sastra atau turut mencarikan alternatif pembahasnya yang terkendala, Mas Nanda Sukmana” dan “Usul saya adalah njenengan sebagai ketua DeKaJo (Dewan Kesenian Jombang), mengerahkan biro sastra untuk berkontribusi dalam acara ini, Mas Nanda Sukmana.” Di sini saya berterimakasih ke BN yang ‘isih’ mendorong kegiatan tersebut terus terlaksana, meski dirinya berada dalam situasi ‘terkendala,’ barangkali keluar kota atau entah.
***

Paragraf-paragraf di muka mempertebal anganan untuk tidak berharap ‘muluk-muluk’ ke Aguk Irawan MN yang rencananya mengupas buku MMKI dalam acara yang digelar Apresiasi Sastra di Radio Buku Jogjakarta, 23 April 2018, walau ia dan saya sudah biasa saling-silang membedah buku, seperti di buku “Pesan al-Quran untuk Sastrawan: Esai-esai budaya dan agama” (Jalasutra, 2013), adanya makalah yang mengurai buku saya MTJK SCB di halaman 117-122, sedang di MMKI ada tulisan saya mengenai buku Aguk itu di halaman 476-484, pun saya tetap berharap novelis produktif yang baru peroleh gelar Doktor itu tak keberatan mengulas karya seorang yang jenak bertitel pengelana. Harapan kepada Aguk tak kurang serupa pengharapan kepada Binhad, sewaktu ada itikat kesanggupan kala bertamu di kediamannya, sembari disambut suara tik-ta’k gerimis berangsung menderas menuju redah. Rasa tersebut sempat saya tuangkan di status fb: “5 Januari ke Jombang, bertemu Agus Sulton, Andhi Setyo Wibowo, meluncur ke Darul Ulum Rejoso Peterongan, berjumpa Sabrank Suparno dan Binhad Nurrohmat untuk menginap, siangnya tanggal 6 ke Indigo Art Space, menemui pelukis Dwi Kartika Rahayu yang tengah persiapkan pembukaan pameran lukis se-Karesidenan Madiun “Cahaya dari Timur,” sorenya ke Sutejo Spectrum Center, dan malam ini di Darul Hikam, Joresan, Mlarak, Ponorogo, besok paginya semoga bisa mampir di Denanyar.”
***

Pagi hari 30 Januari 2018, saya berangkat ke Jombang naik motor. Perjalanan ini selalu saya nanti atau sukai, menikmati alam melintasi waktu berkendaraan masa menyingkap elusan bayu, ini mengobati mata yang lama tak keluar jauh, sehingga berasa haus wewarna kegiatan orang-orang mencari nafkah, kadang hal itu saya rasai saat blusukan ke pasar, dan lawatan antar kota menjelma lebih, ada rindu tertahan menarik segala pengalaman silam, semisal awal kali ke kota santri Jombang. Ada impian yang sudah terlaksana, sebagian tetap berusaha, kadang saya resapi perjalanan hayat ini sekadar dari Lamongan ke Jombang, Ponorogo, Jogja, Magelang, tapi tentu pembaca pahami saya tak abai hal terkecil; sedaun berkelebat jatuh menyentuh bumi, debu-debu mengepul, pepohon mempertanyakan yang terperoleh sedari jalan-jalan, awan bergerak kadang curiga langkah ini itu saja, tapi rasanya semua bertasbih untuk pengelana sendirian membawa suara keramaian dalam diamnya lawatan, dan inilah lembaran proses penulisan yang berjalin, tinggal enak ditulis atau dirahasiakan.

Pengelanaan kali ini laksana terberkati keceriahan; saya biasa membaca keayuan alam apalagi saat jalan, ketika menuju selatan arah Jombang, langit melengkuh terang membiru meniupkan angin sepoi, sedang awan tebal menyebar ke tepi-tepi cakrawala, seperti tengah duduk rapat bergerombol di atas ubun-ubun Kota Kediri, Trenggalek, Tulungagung, Blitar, Mojokerto, Sidoarjo, Surabaya, Malang, sementara di ‘uwung-uwung’ perlintasan, gemawan membuka sayapnya pelahan ke timur, yang luasnya sekitar lima atau tujuh kecamatan di Jawa seperti memayungi kepala, sehingga pancaran mentari sering meneduhkan. Sesekali berhenti guna menghisap rokok sebatang sambil mendinginkan mesin, mengamati mega-mega, menyimak ulang pelajaran ‘lawas;’ masa-masa ‘kejamnya’ musim mengguyur tubuh menembus kota-kota bersama lebatnya hujan, misalkan perjalanan Lamongan-Jogjakarta di pertengahan tahun 1996-2000 awal; ini pula menebalkan keyakinan dari kisaran mencerna gegaris kemungkinan. Contoh tiga hari sebelum berangkat, mengamati gerak perangai mendung, silsilah rintikan air, sampai perkiraan hari H dalam keadaan terang atau berlawan.
***

Seng nggelar dasar Semar, seng dodol Srikandi, seng tuko Poro Widodari. Demikian bibir Sabrank Suparno terkatub komat-kamit membaca mantra penglaris malam itu sebelum diskusi dan “Mendadak jadi Moderator” (Judul catatannya, 2/1/2018). Ketika Sabrank mengucap larik-larik itu, rasanya masih batasan profan, seperti saya menganggap tak masuk ke wilayah sakral, hanya seungkapan ‘abang-abang lambe,’ tapi dari tetembangannya saya terseret ke aura nun jauh; simbok-simbok tempo dulu barangkali sampai kini melantunkan nada-nada itu sedaya mantra puja berkesungguhan sangat dari keterhimpitan hidup sebagai rakyat jelata, sewaktu menggelar barang dagangannya pagi-pagi di pasar tradisional. Dan selaksa ampuh, kalau ditengok pengunjung yang datang, dibanding buku-buku yang terjual; memang selain bedah buku juga bukalapak di setiap gerilya sastra di beberapa kota nantinya jua, bisa jadi ke Kota Malang, Surabaya, Trenggalek, Ponorogo, Cirebon, Jakarta, Lampung, dan entahlah.

Itu malam tenang disapa kelembutan gerimis, BN benar-benar tak hadir, saya kira di luar kota atau bersikukuh merahasiakan mitos sastra Indonesia. Jika didengar dari cerita kawan-kawan oleh gairahnya ‘menguri-uri’ panji-panji sastra, yang pernah dikobarkan almarhum Fahrudin Nasrulloh, misalkan perkenalan BN dengan teman-teman di tanah kelahirannya FN, sempat menggelar kegiatan di kantor Radar Jombang demi ‘menekan’ koran cabang Jawa Pos itu mewujudkan rubrik sastra serupa di Radar Mojokerto, dan di tahun 2014, penyair kelahiran Lampung itu menerbitkan kumpulan puisi “Kwatrin Ringin Contong” sebagai penanda dirinya telah bercampur ‘lemah’ berpasir yang banyak melahirkan tokoh Nasional. BN yang namanya berkibar terang sewaktu bermukim di Ibukota Jakarta, kini seolah turun gunung atau memasuki gua kesunyian demi menggenapi usianya. Syukurlah atas kedatangan pengamat sastra Robin Al Kautsar, kritikus yang sangat disegani di Jawa Timur (memiliki sikap netral, jauh sebelum D. Zawawi Imron hadir sebagai penyair Nasional dan nama Herry Lamongan dibelantika sastra, ungkap pelukis senior Tarmuzie di tempat lain), dengan kemurahan hatinya bersedia mengisi tempat kosong yang ditinggalkan BN. Robin tidak kesulitan menelisik nalar umum MMKI sebagai lanjutan MTJK SCB, dia pun pernah membedah buku “Kitab Para Malaikat” (PuJa, Desemper 2007) dengan makalahnya “Syarah Kitab Para Malaikat” 5 November 2009, dan pandangan-pandangannya malam itu telah direkam dalam jejak catatannya Sabrank.
***

Ketidakmunculan Binhad yang dikabarkannya 5 hari sebelum digelarnya acara, menandai ada hal mendadak bertepatan tanggal yang telah disepakati. Karena saya suka mengarang, jadi nalar ini melancong kemana-mana, sebagian penulis sastra memasukkannya dalam bingkai imajinasi. Barangkali BN, sejalan Marhalim Zaini yang tidak meneruskan niatnya menyerang balik buku MTJK SCB misalkan, yang sewaktu menghadiri bedah buku itu di Jogjakarta adanya gelagat menanggapi. Kalau telisikan ini berkelembutan, mungkin BN dan MZ tidak mau mencederai persahabatan awal proses kreatif di Yogyakarta, ini agak-agak sentimentil kurang obyektif seirama ‘tenggang rasa tepo seliro,’ karena buku keduanya ada yang diterbitkan PUstaka puJAngga, BN dengan himpunan esainya “Sastra Perkelaminan” (Mei 2007), MZ dengan kumpulan cerpennya “Amuk Tun Teja” (Juli 2007). Namun pembaca tahulah, para pelaku susastra lebih sangar dari preman Malioboro, seperti lelangkah pendek tidak menyebut nama seangkatan kecuali ‘dibutuhkan,’ sebaliknya di sini diecer seukuran bobot karyanya menurut kacamata pembaca seperti saya.

Bisa jadi MZ-BN tidak memiliki kelengkapan data yang saya kritisi, sehingga repot jika hendak berseberangan, atau tak mau masuk ke wilayah ayat-ayat kitab suci, dimana lewat jalur itu saya banyak menjegal data-data para senior yang gegabah memelintir firman-Nya. MZ-BN seakan merasa bukan urusannya, sebab ‘tidak masuk langsung’ perkara susastra atau mengira bukan bidang digelutinya, tetapi betapa pun yang dulu melontarkan ayat al-Kitab, seyogyanya patut mengoreksi kembali, kala ada sangkalan tak sepaham. Pun bisa terjadi, BN-MZ menganggap remeh tulisan saya atau tak pantas ditanggapi, apalagi berkerutan dahi, dan angin terus berlalu, masa berjalan, tempo menemui ‘kejuntrungan.’ Alhamdulillah, waktu terperoleh lapang, jadilah kesempatan baik, apalagi tubuh teks selantunan peribahasa “takkan lari gunung dikejar,” olehnya saya gunakan lelangkah panjang mengundang ‘kebosanan.’ Sedang kini sekadarnya, kecuali timbul darinya perangai melawan karakter kekaryaan yang saya hidupi, atau menunggu kedatangannya, penantian tiada jemu sambil minum jamu rasa malu ataukah merindu?
***

Atau bagaimana merombak tatanan isi kepala, mengecat ruangan berwarna lain tak sesuai gambaran kerja yang diamini sejarah miring, membongkar pasang barang-barang di kamar dengan peletakan berbeda, atau sesuatu muncul barusan? Apakah ini aturan keterlambatan, hukum mewaktu dari mempelajari masa lampau, tempo silam tertimbun debu-debu serta bebatuan atas kejadian gunung meletus. Ataukah saya mengunyah bebijian kenyataan, ada waktunya mereka terima ‘keseimbangan.’ Saya pun mengalami hal-hal serupa di masa-masa pencarian data mendapati keadaan njomplang sangat membahaya banyak jiwa, dan dari hati terdalam, ingin mengungkap rupa-rupa mengecewakan sambil berpegangan sumber keaslian. Jika dibayangkan dan kenyataannya, para kritikus sastra berjubel menyuguhkan pelbagai pujian, keseluruhan itu semisal dibikin tesis pun disertasi bergaya-gaya ilmiah, memboyong (dicekoki) banyak referensi, dan kalau kutipan mengelu-elu dibukukan, tampaklah menggunung atau tidak perlu keringat lebih menyusun buku-buku terlepas pengoreksian, atau seperti apa wajah susastra yang mengedepankan sanjungan disisi abai meletakkan kritik tajam sekiranya penting, daripada segebok kertas membuat kantuk tak tertahan, lantaran biusnya dari pabrik-pabrik terkenal, sehingga yakin meminumnya seperti tak pernah terjadi apa-apa, atau ketampanan mitosnya melucuti diri para pembaca sampai tak sadar dibuat bugil tanpa terasa.

Di balik itu kalau ditinjau segaris besar, tak perlu berlama-lama habiskan usia dengan membaca karya yang terang turunan, atau sebaiknya lebih menyuntuki karya-karya mapan yang telah teruji pergolakan jaman, meski berasal dari buku-buku terjemahan yang kurang maksimal garapannya. Atau tak usah bangga menyiar tradisi tanah pertiwi, kalau nyatanya belum bisa sepadan duduk sejajar di Barat pun Timur sendiri, atau jangan coba-coba berdialog dengan wacana peradaban, jika belum tahu posisi ‘kedirian’ di atas kekurangan dan kelebihan ocehan, atau mengatur dulu timbangan yang tidak lepas sejarah besar dunia, agar yang tertulis tidak menjadikan sakit perut oleh kelucuan pandang, sementara umur pembacaan terlanjur melampaui batasan senjakala.
***

Akhirnya ingin berkisah wewarna langit kala perjalanan pulang ke Lamongan, tapi akan saya arsir perihal yang terlewat; sampai di Jombang menuju Boenga Ketjil, menurunkan beberapa kardus berisi buku-buku sebagian pesanan Cak Kepik, lalu meluncur ke rumah Sabrank di Dowong, Plosokerep, tetangga desa almarhum Fahrudin Nasrulloh (dimakamkan di tanah kelahirannya Mojokuripan, Jogoloyo), keduanya sekecamatan Emha Ainun Nadjib; Sumobito atau pelosok jauh, sebelah utara beberapa kilo meter dari jembatan layang yang hendak masuk Jombang dari Kota Pahlawan. Sampailah di depan rumahnya, ibunya bilang baru saja pergi ke sawah, bergegaslah saya menyusul, dan dengan kesadaran teaterikal memanggilnya berjarak sekitar 50-70 meter, tiada gema suara di sini, sebab bukan daerah pebukitan pun tebing-jurang, hanya ladang pesawahan datar; yang muncul lengkingan panjang, SS mendengar tetapi belum tahu siapa memanggilnya. Sejarak 30 meteran, dia melambaikan tangan, mendekatlah saya lalu duduk di bawah rimbunan bambu di pinggir pematang, yang dedaunannya lentik menari-nari di udara ditiup angin, sambil memandangi penulis itu tekun bertani, menanam bijian bawang merah di gundukan tanah yang digarapnya seorang diri.

Sabrank, awalnya saya kenal sebagai penulis sekaligus pembaca Cerkak (cerpen bahasa Jawa) yang memiliki karakter kuat, menyelami tradisi kepenulisan sastra Indonesia sejak bergabung Maiyah Padhangmbulan di Desa Menturo kediamannya Cak Nun, lantas mengikuti “Geladak Sastra” FN. Saya tengok GS paling akhir terekam google #23 (11/10/2014), sedang SelaSastra menembus angka #24, berarti melampaui serta terusan dari GS yang lebih awal munculnya. SS, petani yang tak gagap menuangkan gagasan lewat esai, puisi, cerpen, dia lebih berani di antara guru pun dosen bertitel rangkap, yang sempoyongan terbebani gelar mentereng hingga gemetar malu atas pangkat yang disandangnya, seolah masuk paragraf pertama ngos-ngosan menguras butiran keringat dingin keraguan was-was, hawatir oleh penilaian pembaca sampai terpuruk mandul atau memang dasarnya. Sementara SS tanpa segan membenamkan diri menajamkan ujung pena, melatih jemarinya berkarya di lembaran cahaya kehidupan teks yang dulu asing baginya. Keistiqomahannya sejajar ketekunannya mengolah serta mengakrabi cacing tanah, mencerabut rumput seperlunya, menanam apa pun kiranya tumbuh di lahannya; cabe, tomat, melon, bawang, seolah tak ada yang terlewati, sebagian ladang garapan Sabrank kepunyaan Binhad, jadi secara apa pun SS pula menimba keilmuan ke BN.
***

Coba cerita itu ditimpakan pada pengajar yang kebanyakan malas membaca, ‘aras-arasen’ mendalami ilmunya, lebih parah sebagian tulisannya njiplak juga garapan orang lain, karena mental belajarnya habis tergerus di bangku obrolan basa-basi sia-sibe. Ah, mending berkisah perjalanan balik; Pagi hari setelah ngopi di emperan rumah Sabrank sambil menghisap rokok beberapa batang, lalu berkendaraan sepeda motor matic menjauh dari kediaman petani-penulis tersebut, sesekali melihat langit tertutup mendung memutih bergerak merata menaungi kepala, hawa nan sejuk menyapa muka serta jemari tangan, melewati Tambakberas, menikung sekilas memasuki jembatan Ploso, meluncur menembus Gunung Pegat, terus berhenti di Babat untuk sarapan, kemudian sampailah rumah, tak lama disambut turunnya hujan. Perjalanan itu, kini tercatatkan dan bagian lain tersimpan bagi tenaga ke depan, atau tubuh-jiwa atas persaksian hayat mempertebal kesungguhan, melakoni segenap indra dilayari demi mudahnya tentukan jalan, menjatuhkan pilihan, mempertajam pandangan, menguatkan unsur dibutuhkan pribadi yang tak lantas mentereng mengira seperti pernyataan Taufiq Ismail, “Penyair adalah penguasa kata-kata,” karena saya sadar, harga cabe di pasaran pun sanggup menjelma penguasa kata-kata.
***

Kemarin saya dari Jogja seperti biasanya; bermula sedari Lamongan 6/2/18 ke Bojonegoro, Padangan, Ngawi, Solo, Klaten menuju Kuto Ngayogyokarto, lalu malam-malam mengantar buku MMKI ke kediamannya Aguk Irawan MN, lantas menginap di kontrakannya penulis Awalludin Gd Mualif (Ndruwo Art Space), agak siangnya meluncur ke Desa-Kecamatan Nglipar, Gunung Kidul (padepokannya teman, Indarto), melanjutkan perjalanan lalui Wonogiri ke SSC Ponorogo sekaligus menginap sambil mengenang masa lalu bersama penulis Sutejo, dan siangnya balik melalui jalan tembus Nganjuk-Bojonegoro ke Lamongan. Sebenarnya tulisan ini telah rampung, tapi tentu lawatan tersebut mewarnai, sekecilnya kala membaca ulang membuka kemungkinan teks yang sudah tertanda, pula memberi tekanan irama ke benang-benang terjalin setali celana Warok. Atau ketika menyatukan nafas penyimakan mendekati titik penambahan, semacam baliknya ingatan dari maksud terlaksana, ini meniupkan bara kian terang bertambah. Demikian ‘negeni’ atau fokus, meski telah memasuki bentuk-bentuk peristiwa yang terlewati.

*) Pengelana yang kebetulan suka baca, asal Lamongan.

Damhuri Muhammad dan Kenangan Masa Lalu

$
0
0

Nastiti Denny
fiksi.gratcianulis.com

Tak lama lagi ajang apresiasi karya sastra yang diberi nama Kusala Literary Award (dahulu Khatulistiwa Literary Award) digelar. Sejumlah karya telah dipilih untuk menduduki 10 besar. Salah satunya adalah kumpulan cerpen berjudul Anak-Anak Masa Lalu karya Damhuri Muhammad.

Konsisten di jalur cerita pendek, Damhuri tak mengejar jumlah cerita yang ditulis dalam setahun untuk dimuat di surat kabar ataupun media yang lain, mengingat meningkatnya jumlah media yang memuat karya fiksi saat ini. Pun tak berniat hengkang dari kegemarannya mengangkat kisah-kisah dari tanah kelahirannya, Sumatera Barat. Tak hanya sarat dengan adat setempat, Damhuri terus mengangkat dan memercayai legenda dan mitos yang oleh sebagian orang telah dilupakan begitu saja. Bisa jadi, inilah yang kemudian membuat karyanya menjadi istimewa. Meski dalam waktu bersamaan, hal itu pulalah yang membuat dirinya merasa ‘ndeso’.

Dalam sebuah kesempatan, usai membaca Anak-Anak Masa Lalu, saya menjumpainya untuk mendengar langsung pendapatnya mengenai segala hal yang berhubungan dengan kisah-kisah yang ditulisnya dalam kumpulan cerpen tersebut.

Berikut petikannya:

Apa yang memotivasi pengumpulan cerpen dalam Anak-Anak Masa Lalu untuk dibukukan? Karena seperti diketahui, semua cerpen dalam buku tersebut sudah pernah dimuat di surat kabar.

Cerpen koran hanya dibaca dalam sekali duduk, dan barangkali juga, dalam sekali hentakan napas . Setelah itu, koran akan tergeletak sebagai sampah kering yang siap dijemput oleh tukang loak. Setiap pengarang tentulah punya harapan pada karya-karya yang terdokumentasi secara aman, langgeng, dengan usia kearsipan yang panjang. Selain itu, karya dalam bentuk buku akan menjadi artefak kekaryaan yang lebih kokoh ketimbang sekadar kliping-kliping halaman surat kabar.

Beberapa cerpen seperti Tembiluk, Bayang-Bayang Tujuh dan Orang-Orang Larenjang berkisah tentang legenda. Apa arti penting legenda untuk seorang Damhuri Muhammad?

Saya tidak tahu apakah tokoh-tokoh imajiner dalam tiga cerpen itu telah menjadi legenda atau masih sekadar buah bibir yang terus diulang-ulang. Yang pasti, karakter-karakter unik itu selalu menjadi bagian dari kegemaran di masa kanak-kanak saya. Saya mengolahnya, memutarbalikkan logikanya, mendistorsi berbagai ketakjuban terhadap mereka, atau melahirkannya kembali sebagai tokoh-tokoh baru yang sama sekali terlepas dari persepsi orang-orang di masa dahulu.

Adakah penulis yang mempengaruhi gaya menulis Damhuri Muhammad?

Saya menyukai gaya bercerita Naguib Mahfouz (sastrawan Mesir pemenang Nobel sastra 1988), karena kebetulan saya berlatar belakang keilmuan Sastra Arab. Saya juga menyukai karya-karya Leo Tolstoy, Edgar Allan Poe, John Steinbeck, Kafka, Borges, dan lain-lain. Saya pun menggemari eksperimentasi teknik bercerita cerpenis Soni Karseno, terutama cerpen Sentimentalisme Calon Mayat. Juga mengagumi gaya menulis Pramoedya Ananta Toer, terutama dalam Tetralogi Bumi manusia. Tapi yang berpengaruh pada semangat kepengarangan saya adalah cerita-cerita lisan tanpa nama pengarang yang saya dengar dari orang-orang dekat di masa kanak-kanak. Cerita-cerita tentang orang-orang kebal senjata, tentang centeng pasar ikan yang tak terkalahkan. Cerita-cerita gelap tentang perempuan yang bisa mendukuni banyak laki-laki, dan lain-lain. Kelisanan itu tak pernah menguap dari kenangan saya.

Cerpen Reuni Dua Sejoli berkisah tentang masa lalu yang berbeda dengan cerpen yang lain. Cerpen lain berlatar daerah dan legenda sementara yang ini lebih banyak menceritakan perasaan lelaki dan perempuan yang tak terhubung secara langsung dengan adat. Meski terkesan ‘menyesatkan’ menurut saya sebagai cerpen pembuka karena tema masa lalu yang dibawa kumpulan cerpen ini kemudian menjadi berbeda dengan Reuni Dua Sejoli, cerpen ini memancing keingintahuan tersendiri. Apa latar belakang penulisan cerpen ini, dan mengapa dianggap sesuai untuk disatukan dengan cerpen yang lain?

Payung tematik dari kumcer Anak-anak Masa Lalu adalah masa lalu itu sendiri. Reuni Dua Sejoli juga berangkat dari kasih tak sampai di masa silam. Saya tetap berangkat dari alam kultural Minangkabau meski dari segi ungkapan prosaik barangkali terkesan agak modern dan urban. Di sana, bisa punya anak itu adalah simbol, dan sekaligus perkakas kekuasaan. Tidak punya anak adalah aib, dan karena itu bisa menjadi dalil guna mengabsahkan ketersingkiran, bahkan ketertindasan pihak-pihak tertentu, terutama kaum perempuan. Kemandulan adalah ketakmujuran masa silam yang tidak akan pernah dapat diselamatkan hingga akhir hayat sekalipun. Di sini, waktu di masa lalu, adalah juga waktu di masa kini, dan situasinya tetap terhina, tersingkir, dan tercibir.

Dalam Dua Rahasia, Dua Kematian, Ambai-Ambai dan Orang-Orang Larenjang, mitos ditegakkan sebagai sesuatu yang seolah mewakili kebenaran absolut. Yang bila dilanggar, akan menuai bala. Apa yg sebenarnya ingin disampaikan melalui 3 cerpen tersebut?

Saya tidak mungkin menjadi mufassir dari karya saya sendiri. Sebaiknya biarkan saja pembaca menikmati dan menyikapinya sesuai dengan persepsi masing-masing. Perihal mitos yang dimaksud, kebetulan saya berlatar belakang filsafat. Bagi saya, mitos tidak sungguh-sungguh runtuh oleh kedigdayaan “logos” dalam tradisi filsafat modern. Dalam kenyataannya, mitos tetap menyala di mana-mana. Banyak orang, bahkan manusia-manusia urban sekalipun, masih hidup dalam mitos. Seorang Ph.D jebolan universitas luar negeri masih gemar mengoleksi keris. Seorang politisi tidak bisa sungguh-sungguh mengabaikan kontribusi dukun dalam pemenangan Pilkada. Apakah saya sedang membela atau bahkan berpihak? Yang pasti, saya masih melihat kejernihan dalam mitos, dan saya nyaman berada di dalamnya.

Semoga tidak keliru, Anak-Anak Masa Lalu adalah kumpulan cerpen pertama yang memuat kisah masa kecil Damhuri Muhammad (di bagian epilog). Adakah alasan khusus?

Menulis cerita, bagi saya, adalah menapaktilasi kembali keriangan masa kanak-kanak yang hilang, atau bahkan sengaja dilenyapkan oleh despotisme regim keluarga besar dalam tatanan masyarakat komunal. Setiap keluarga berupaya membangun imperium-imperium kecil dengan pencapaian-pencapaian material tertentu. Ingin tampak cemerlang dan terpandang dari permukaan, padahal banyak kebusukan dan kebobrokan yang sengaja ditutup rapat-rapat. Ada unit-unit lemah dan tak berdaya yang disadari atau tak, telah dimanfaatkan dan bila perlu dikorbankan. Kita berteriak antikorupsi hanya untuk orang-orang di luar lingkungan keluarga. Kalau anak-cucu kita sendiri yang melakukannya, kita akan sembunyikan itu sebagai aib yang tak perlu diungkapkan, karena akan mendistorsi wibawa imperium keluarga besar. Saya berada dalam pusaran ertos kebasa-basian, kemunafikan, bahkan “kejahatan” yang digunakan sebagai dalil guna melindungi kejumawaan sebuah regim keluarga besar. Saya berdiri di pihak yang menolak hipokrasi.

Kisah-kisah berlatar budaya daerah sudah biasa dan banyak diangkat oleh penulis lain. Yang mana menurut saya justru memiliki keunikan tersendiri. Tidak ‘ndeso’ sama sekali seperti diungkap di bagian epilog. Cerpen-cerpen semacam ini bukannya yang banyak dicari surat kabar untuk rubrik fiksinya? Mengapa merasa ‘ndeso’?

Saya nyaman berdiri di pinggiran. Mengarahkan “pukulan” dari pinggiran adalah cara bertarung yang tak terduga. Pinggiran adalah medan kesenyapan yang selalu menjadi ancaman bagi orang-orang yang sedang membangun panggung kegirangan dalam gelanggang keramaian.

Adakah cerpen dalam Anak-Anak Masa Lalu yang memiliki kisah tersendiri dalam penulisannya? Misal : ditulis dalam jangka waktu yang lama, atau risetnya sulit, dan lain sebagainya.

Hampir semua cerita saya digarap dalam waktu yang lama. Dalam setahun paling banyak saya hanya bisa punya tiga cerpen. Saya menghindari iklim fabrikasi cerpen yang sedang melanda banyak pengarang muda di Indonesia. Saya tidak mengejar jumlah publikasi. Lebih baik satu, tetapi dapat “menganggu” pikiran banyak orang, ketimbang melimpah-ruah, tetapi murah.

Tokoh-tokoh dalam cerita, apakah murni diciptakan untuk cerita tersebut atau exist di kehidupan Damhuri Muhammad?

Tak ada tokoh imajiner yang datang dari ruang kosong. Silsilahnya pasti ada. Sidik-jarinya bisa dilacak. Baik dalam lingkungan keseharian saya, maupun dalam ruang-ruang sosial di luar subjek pengarang.

Mengapa memilih menekuni cerpen dibanding bentuk prosa yg lain?

Cerpen memang pendek, tapi selalu terasa tak kunjung selesai dituliskan. Saya menyukai gagasan-gagasan padat, lugas, dan tegas. Dalam tubuh cerpen tak ada kulit. Semuanya isi. Semuanya substansi. Sejauh ini cerpen masih memberikan banyak tantangan bagi saya. Tapi bukan tidak mungkin, kelak saya akan menulis novel.

Apakah dalam menulis cerpen kerap melakukan tulis ulang (rewriting)?

Bukan tulis-ulang, tapi kerja editing-nya. Setelah kelar satu cerpen, saya menyuntingnya berulang-ulang hingga tidak ada lagi yang terasa ganjil. Saya tidak gampang puas, dan karena itu penyuntingannya bisa sangat lama. Cerpen yang berhasil saya tulis tahun ini boleh jadi saya siarkan tahun depan, atau mungkin tidak saya siarkan sama sekali. Lama, pokoknya.

Apakah menjadi penulis adalah cita-cita Damhuri Muhammad sejak kecil? Kalau tidak, cita-citanya dulu apa?

Sejak SD saya bercita-cita hendak menjadi ustadz atau mubaligh. Sejak duduk di bangku Madrasah Tsawiyah Negeri (MTsN) saya sudah tampil di mimbar-mimbar pengajian. Semasa di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) saya sudah tampil sebagai khatib Jumat dan khatib shalat Ied. Lumayan kondang nama saja sebagai mubaligh muda, setidaknya di wilayah kabupaten saya. Tapi lama-lama saya jenuh, dan saya merasa tidak mungkin mencari nafkah dari sekadar tampil dari mimbar ke mimbar sebagai penceramah. Tidak akan nyaman membiayai hidup dengan honorarium sebagai penceramah. Saya putar haluan ke dunia buku, dunia membaca, terutama dunia cerita dan bacaan-bacaan filsafat. Dunia membaca inilah yang kemudian mengantarkan saya pada dunia menulis.

Dua kali menjadi juri Khatulistiwa Literary Award, apa harapannya terhadap dunia literasi tanah air? Khususnya fiksi literasi.

Saya membayangkan dunia sastra ini meluas. Tidak hanya dibaca oleh orang yang itu-itu saja. Gerakan literasi tidak cukup dengan memproduksi bacaan saja, tapi juga mendorong dan menggerakkan banyak orang untuk bersenang membaca. 250 juta penduduk Indonesia, tapi tiras cetak buku sastra hanya 1000 eksemplar. Itupun berdebu di rak toko buku selama bertahun-tahun. Toko buku bahkan sudah menolak display buku puisi. Bagi saya, lebih baik mengupayakan karya sastra itu dibaca dan diapresiasi oleh bangsa sendiri, ketimbang kasak-kasuk menerjemahkannya ke dalam bahasa asing, agar sastra Indonesia menjadi warga sastra dunia. Untuk apa mendunia dengan segala macam perolehan piala, bila bangsa sendiri dibiarkan terpuruk dalam buta huruf? ?

Biodata:
Damhuri Muhammad, lahir di Payakumbuh (Sumbar), pada 1974. Alumnus Pascasarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (2001). Bermukim di Depok (Jawa Barat). Ia menulis cerpen, esai seni, kritik buku, artikel budaya, di sejumlah media nasional. Karya fiksinya yang sudah terbit: Laras (2005), Lidah Sembilu (2006), Juru Masak (2009), Anak-anak Masa Lalu (2015). Cerpennya Ratap Gadis Suayan, Bigau, Orang-orang Larenjang, dan Lelaki Ragi dan Perempuan Santan, terpilih dalam buku cerpen pilihan Kompas, pada tahun pemilihan yang berbeda-beda. Buku esainya; Darah-daging Sastra Indonesia (2010). Dua cerpennya Juru Masak dan Banun terpilih sebagai materi kajian cerpen dalam buku Pelajaran Bahasa Indonesia (ekspresi diri dan akademik) Kelas XI (SMA, SMK, MA, MAK), semester 1 (Kurikulum 2013). Pada 2008 dan 2013 ia menjadi Ketua Tim Juri Khatulistiwa Literary Award (KLA). Maret 2014 dan 2015 ia didaulat sebagai Steering Board (Dewan Pengarah) Asean Literary Festival (ALF) yang dihadiri oleh perwakilan 26 negara, dan Indonesia sebagai tuan rumahnya. Sehari-hari ia berkhidmat sebagai editor sastra, harian Media Indonesia, Jakarta. Ia bisa dihubungi di akun twitter; @damhurimuhammad
https://fiksi.gratcianulis.com/2015/10/wawancara-penulis-damhuri-muhammad-dan.html

Angkatan Puisi Esai Pra-Bayar Denny JA

$
0
0

Saut Situmorang *
17 Feb 2018

“Di mana keunggulan puisi esai dibandingkan dengan jenis puisi atau genre yang sudah ada? Seorang entrepreneur sejati, tentu saya tak sekadar bergenit-genit membuat sesuatu sekadar baru, asal beda. Hanya sekadar beda, ia tak akan survive.

Keunggulan pertama, puisi esai yang panjang, yang merupakan historical fiction, potensial diangkat ke layar lebar. Semua sastrawan yang kaya-raya di dunia, itu karena novelnya menjadi film laris. Ini hanya terjadi pada novel, bukan puisi.

Puisi esai adalah novel pendek yang dipuisikan. Semua plot cerita, karakter, dan drama yang ada pada novel juga ada pada puisi esai. Dibanding semua jenis puisi yang ada, puisi esai paling potensial dibuat menjadi film layar lebar. Dibanding semua jenis penulis puisi yang ada, penulis puisi esai paling potensial menjadi kaya-raya karena puisinya.”

Membaca ketiga paragraf pembuka esei Denny JA berjudul “Puisi Esai: Apa, Mengapa, dan Keunggulannya” (Koran Tempo, 11-12 Fabruari 2018) di atas saya segera paham bahwa saya sebenarnya sedang membaca, dan mengomentari, sebuah tulisan yang ditulis oleh seseorang yang sama sekali buta, sama sekali awam, atas apa itu Sastra. Apalagi memang si penulisnya yang bernama Denny JA itu belum apa-apa sudah bela diri dengan menyatakan bahwa dirinya seorang “entrepreneur” yaitu seseorang yang menurut kamus bahasa Inggris Oxford English Dictionary “A person who sets up a business or businesses, taking on financial risks in the hope of profit” dan “A promoter in the entertainment industry”.

Bagaimana mungkin bisa mengharapkan sebuah esei yang penuh dengan kesadaran sejarah dan teori Sastra dari seseorang yang cuma tertarik dengan dunia bisnis demi mengeruk keuntungan finansial! Bagaimana mungkin bisa mengharapkan seseorang yang cuma promotor industri hiburan untuk paham apa itu Seni, apa itu Sastra!

Ketiga paragraf pembuka ini adalah isi utama dari esei yang berpretensi tentang Seni Sastra ini. Dan kita lihat betapa konsep “bisnis” alias duit sangat dominan mewarnai ketiga paragraf tersebut. Perhatikan saja repetisi yang dilakukan penulisnya atas kata “kaya-raya”!

Tingkat keawaman yang begitu parah tentang Sastra dipamerkan Denny JA dengan menyatakan bahwa “puisi esai” merupakan “historical fiction”, bahwa “puisi esai” adalah “novel pendek yang dipuisikan”. Hanya seorang yang sama sekali buta Sastra akan membuat pernyataan-pernyataan yang sangat menggelikan di atas.

Bagi mereka yang mengerti Sastra maka secara umum Sastra biasanya dibagi atas 3 genre yaitu Puisi, Prosa, dan Drama. Fiksi (novel dan cerpen) dan Esei biasanya dimasukkan dalam kategori Prosa, walau tentu saja selalu ada tumpah-tindih atau gabungan dari genre di antara ketiga genre utama Sastra tersebut.

Puisi biasanya dibedakan dari Prosa dalam hal berikut ini: Puisi biasanya ditulis dalam sebuah sistem persajakan sementara Prosa tidak; Prosa ditulis dalam kalimat sedangkan Puisi dalam Baris; dan sintaks dalam Prosa dipengaruhi oleh Artinya sementara dalam Puisi oleh Persajakan dan aspek Visualnya.

Esei adalah satu jenis tulisan analitis, interpretatif dan kritis tentang suatu topik yang biasanya ditulis dari perspektif pribadi penulisnya untuk mengekspresikan pendapat pribadinya. Bentuk esei biasanya terdiri dari pembukaan dan kesimpulan. Dan terdapat beberapa paragraf sebagai isi esei antara pembukaan dan kesimpulan tersebut.

Walaupun begitu tidak semua esei berbentuk tulisan. Ada bentuk-bentuk lain dari esei yang fungsinya mirip dengan fungsi tulisan yang disebut esei di atas yaitu Foto Esei dan Film Esei.

Istilah “puisi-esei” adalah kombinasi dari dua genre Sastra yang berbeda yaitu Puisi dan Prosa dalam hal ini subgenre Esei.

Kalau kita bicara tentang “puisi esei” maka kita akan bicara tentang satu genre tulisan yang merupakan gabungan dari dua genre Sastra. Suatu tulisan yang SEKALIGUS Puisi dan Esei. Biasanya puisi adalah Bentuknya dan Esei adalah isinya.

Pertanyaannya sekarang adalah apakah tulisan yang disebut “puisi-esai” [sic] oleh Denny JA itu memang Puisi-Esei? Apakah sudah ada yang membuktikan bahwa Puisi memang sudah berhasil dituliskan dalam “puisi-esai” dan isinya memang merupakan Esei analitis, interpretatif dan kritis tentang suatu topik?

Bukankah yang justru ditemukan dalam apa yang disebut Denny JA sebagai ‘puisi-esai” [sic] itu tak lebih dari Cerita Naratif biasa (memiliki Plot, Tokoh dan Dialog seperti dalam Cerpen) yang disusun Tipografinya seperti tipografi Puisi, seolah-olah Puisi! Bukan cerita naratif yang harusnya jadi Isi “puisi-esai” mereka itu tapi Esei! Dan seperti yang sudah saya sebutkan di atas, Esei adalah subgenre dari Prosa, BUKAN bagian dari Fiksi seperti Novel dan Cerpen.

Denny JA sendiri di pembuka eseinya tersebut sudah menegaskan bahwa yang dia maksud sebagai “puisi esai” itu adalah “fiksi sejarah” (walau pembacanya tidak dijelaskannya apa yang dia maksud dengan istilah ini) dan “novel pendek yang dipuisikan” (cuma dia yang tahu di mana bisa ditemukan Novel tersebut dalam puisi esai).

Kalau puisi esai itu adalah “fiksi sejarah” dan “novel pendek yang dipuisikan”, kenapa terus menerus ngotot minta diterima sebagai Puisi, bahkan diklaim sebagai “genre baru” Puisi?!

Mungkin karena begitu awam tentang Sastra maka Denny JA tidak pernah tahu bahwa apa yang disebut sebagai “historical fiction” alias fiksi sejarah itu dalam Teori Sastra adalah fiksi yang setting ceritanya suatu masa/periode dalam sejarah yang sudah lalu dan yang berusaha sesetia dan serealistik mungkin menggambarkan kondisi sosial, semangat zaman dan adat istiadat periode sejarah tersebut sesuai dengan fakta sejarah.

Biasanya setting waktu tersebut sekitar 50 tahun atau lebih sebelum saat fiksi tersebut ditulis atau ditulis oleh seseorang yang belum lahir pada saat cerita terjadi makanya penulisannya dilakukan berdasarkan riset penulisnya dan bukan dikarang-karang.

Satu ciri-khas lain dari fiksi sejarah adalah tokoh cerita yang biasanya adalah figur-figur sejarah yang terkenal dan keterlibatan mereka dalam peristiwa-peristiwa sejarah penting.

Dalam Sastra Indonesia, Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer adalah contoh karya sastra yang disebut sebagai “historical fiction” alias fiksi atau novel sejarah itu.

Apakah ciri-ciri yang saya tuliskan di atas bisa kita temukan dalam “historical fiction” alias puisi esai Denny JA? Seperti yang sudah kita harapkan, Denny JA pasti akan berkilah lagi bahwa “historical fiction”nya adalah genre baru juga – seperti puisi esainya adalah genre puisi baru — dan berbeda dari “historical fiction” para Teoritikus Sastra dengan mindset lama di atas.

Bagi “entrepreneur puisi esai” seperti Denny JA tentu saja sangat sulit untuk mengerti kenapa kami para Sastrawan Indonesia dengan mindset zaman lama ini menolak mentah-mentah hoax yang disebarkannya dengan jaringannya tentang puisi esai baik sebagai sebuah genre baru dalam puisi maupun sebagai sebuah angkatan baru dalam sejarah Sastra kami Sastra Indonesia. Denny JA pasti juga tidak akan mungkin mampu memahami kenapa sastrawan besar Prancis Jean-Paul Sartre menolak Hadiah Nobel Sastranya di tahun 1964 yang tentu saja termasuk hadiah duit sangat besar yang akan membuat Sartre kaya raya itu. Begitu juga dengan penolakan penyair Sitor Situmorang atas Penghargaan Achmad Bakrie 2010 yang bernilai ratusan juta rupiah itu, penyair Angkatan 45 yang namanya tidak dimasukkan ke dalam buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh yang didanai Denny JA itu agar nama “Denny JA” masuk di dalamnya.

Karena Denny JA tidak mengerti apa yang dimaksud dengan Seni dan Seniman. Dia tidak mengerti bahwa ada produk budaya yang dibuat bukan dengan tujuan utama untuk dijual, untuk dikomersilkan. Dia tidak akan pernah mengerti bahwa ada sekelompok profesional yang menghasilkan produk budaya yang bernilai tinggi dan mahal harganya kalau dijual tapi menghasilkan produk mereka tersebut bukan semata-mata untuk dijual dan dikomersilkan. Denny JA tidak akan pernah mampu mengerti kerja-kerja idealis kaum idealis ini karena dia cuma tahu bahwa semua produk budaya adalah produk untuk dijual, produk entrepreneur, produk bisnis yang bisa membuat pembuat-cum-penjualnya kaya raya materi.

Inilah yang membedakan Denny JA dari kaum Seniman, dari para Sastrawan yang disebutnya sebagai memiliki “mindset zaman lama” itu, walau kembali dia tidak mampu menjelaskan “zaman lama” mana yang dia maksud dan apa kapitalisme yang dia paksakan untuk masuk ke dalam dunia Sastra Indonesia dalam bentuk “puisi esai” itu memang produk zaman baru di mana dia hidup saat ini.

Denny JA selalu mengutip pendapat dari seseorang yang dia klaim sebagai “ahli genre” yaitu David Fishelov untuk “membuktikan” bahwa dirinya memang telah menemukan sebuah “genre baru puisi” dan bahwa memang benar telah “lahir sebuah angkatan baru dalam Sastra Indonesia”.

Bagi kita yang ingin benar tahu apa yang sebenarnya dinyatakan “ahli genre” David Fishelov tentang “keabsahan sebuah genre” dan mengharapkan Denny JA untuk mengelaborasinya pasti akan kembali kecewa berat. Seperti kebiasaan klisenya dalam “menjelaskan” klaim-klaim asersif besar yang sangat gemar dibuatnya, kembali kita cuma disodori informasi bahwa ada “dua syarat yang [David Fishelov] formulakan bagi keabsahan sebuah genre. Syarat pertama, the moment of birth; dan syarat kedua, the second form of generic production.” Sudah, itu saja. Saya misalnya berusaha mencari elaborasi penjelasan atas kedua syarat bagi “keabsahan sebuah genre” itu di seluruh tubuh eseinya tersebut tapi gagal menemukannya. Saya pikir mungkin ada di Catatan Kaki karena bukankah Catatan Kaki merupakan ciri utama semua (puisi) esai yang Denny JA tulis. Tapi kembali gagal. Ternyata Denny JA lupa untuk membubuhkan Catatan Kaki di (puisi) esainya yang konon justru hendak membuktikan “Apa, Mengapa, dan Keunggulan” dari puisi esai tersebut!

Denny JA mungkin mengira bahwa kegemarannya melakukan name dropping dalam tulisan-tulisannya yang rata-rata buruk mutunya itu akan otomatis secara ajaib simsalabim abrakadabra mengubah mutu tulisannya jadi wow menakjubkan! Name-dropping adalah praktek penyebutan nama orang-orang penting terkenal dalam tulisan atau percakapan dengan maksud, tentu saja, untuk membuat pembaca atau pendengar terpukau terpesona wow agar tercipta ilusi seolah-olah si pelaku name-dropping tersebut kenal dan dekat dengan nama-nama tersebut. Dalam kasus Denny JA, agar para pembacanya mengira bahwa dia memang sudah membaca karya nama-nama tersebut makanya akrab dan memahaminya luar kepala. Tapi dari apa yang kita alami dalam peristiwa pembacaan semua tulisannya tentang puisi esai termasuk tulisannya yang terakhir di atas di mana dia menggertak terlebih dulu para pembacanya dengan name-dropping dua nama Barat yaitu David Fishelov dan Thomas Kuhn, terlihat betapa baik name-dropping maupun “pengutipan” yang seolah-lah dilakukannya atas karya nama-nama yang disebutnya itu ternyata cuma manipulasi belaka!

Manipulasi ini sangat nyata dalam klaim Denny JA bahwa menurut teori “lahirnya sebuah genre” oleh David Fishelov:

“Syarat kelahiran sebuah genre dalam dunia sastra Indonesia sudah terpenuhi, yaitu perbedaan “corak baru” yang diperkenalkan puisi esai dibanding puisi Indonesia sebelumnya dan kedua, kelahiran sebuah genre baru ditandai oleh bentuk-bentuk sekunder produktivitas generik (terjemahan, adaptasi, parodi, dan sebagainya), kemunculan puisi esai juga melahirkan pro dan kontra. Kritikus, komentator, dan analis datang untuk memberikan ulasan, baik yang mendukung maupun menentang.”

Apa yang sebenarnya dinyatakan oleh David Fishelov dalam artikelnya “The Birth of a Genre” (European Journal of English Studies 1999,Vol. 3, No. 1, pp. 51-63) adalah:

“The birth of a genre is marked by secondary forms of generic productivity (translations, adaptations, parodies), followed by primary, dialectical forms.”

Dia memberi contoh kelahiran genre baru bernama Soneta. Soneta adalah bentuk puisi baru Itali ciptaan penyair Petrarch. Soneta kemudian diadopsi oleh banyak penerjemah dan peniru yang menirunya sedekat mungkin hingga akhirnya membuat soneta Petrarch tersebut menjadi tren penulisan dominan di seluruh Eropa di abad 15 dan 16.

Masuknya soneta ke negeri Inggris juga melalui proses “secondary forms of generic productivity” yang sama seperti di atas, dengan sedikit perubahan, terutama oleh penyair Wyaat dan Surrey. Baru kemudian setelah soneta menjadi genre yang diakui di Inggris, maka “primary forms of generic productivity” mulai muncul dalam karya penyair Sidney, Spenser dan terutama Shakespeare yang memperkenalkan konsep baru yaitu cinta ke “generic framework” ini.

Pertanyaannya sekarang di mana David Fishelov menyatakan bahwa “corak baru” dan “pro dan kontra serta kritikus, komentator, dan analis datang untuk memberikan ulasan, baik yang mendukung maupun menentang” merupakan “kriteria” dari “lahirnya sebuah genre baru” itu?!

Contoh berikutnya adalah manipulasi atas teori Thomas Kuhn. Thomas Kuhn adalah seorang ahli Fisika Amerika dan filsuf sains yang terkenal dengan konsep “perubahan paradigma (paradigm shift)” yang dijabarkannya dalam bukunya The Structure of Scientific Revolutions. Kuhn bicara dalam konteks “scientific revolutions” yaitu perubahan radikal dalam dunia ilmu Fisika tapi kita lihat betapa Denny JA dengan seenak kepentingannya doang memanipulasi konsep Kuhn tersebut keluar dari konteks sejarahnya dan seolah-olah bicara tentang puisi esai Denny JA! Bahkan “kutipan” yang konon dari Teori Kuhn itu pun tidak mampu dia elaborasikan. Denny JA, seperti biasanya, cuma membuat klaim nonsens belaka:

“Bahkan saya tambahkan variabel ketiga dari Thomas Kuhn. Thomas Kuhn menyatakan: sebuah paradigma hadir bukan hanya ia punya sisi beda. Namun ada komunitas yang hidup dalam paradigma itu. Puisi esai punya komunitasnya.”

Thomas Kuhn sendiri, saya sangat yakin, pasti akan terbengong-bengong goblok kalau membaca “kutipan” yang katanya dari dia di atas!

Dan tentang “komunitas” yang Denny JA klaim puisi esai juga punya itu, mana komunitas tersebut?! Apakah “hadirnya 34 buku puisi esai di 34 provinsi” itu sudah otomatis berarti adanya “komunitas puisi esai” di Indonesia?! Bukankah kembali Denny JA memanipulasi fakta sejarah di sini seperti dia memanipulasi begitu banyak fakta seperti yang saya buktikan di atas tadi!

Pertama, apa sebenarnya yang dimaksud dengan “komunitas” itu? Komunitas biasanya dibedakan atas dua ciri penanda yaitu pertama, berdasarkan tempat tinggal yang sama (lokasi) dan kedua, berdasarkan identitas, gaya hidup atau kepentingan yang sama (community of interest). Komunitas Penulis biasanya dimasukkan dalam kategori kedua di mana lokasi tempat tinggal anggotanya tidak harus berada dalam satu wilayah yang sama tapi para anggotanya memiliki kepentingan yang sama sebagai raison d’etre pembentukan komunitas yaitu dalam dunia kepenulisan.

Apakah “34 buku puisi esai di 34 provinsi” itu memang dihasilkan oleh sebuah komunitas penulis nasional yang memiliki ketertarikan yang sama atas “puisi esai”? Sebuah komunitas penulis yang secara sukarela tanpa paksaan atau iming-iming tertentu yang tidak ada kaitannya dengan dunia kepenulisan memang mencintai “puisi esai” dan sama-sama mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan penulisannya baik secara tema maupun estetika?
Bukankah sudah jadi rahasia umum bahwa apa yang disebut Denny JA sebagai “komunitas puisi esai” di atas atau “angkatan baru dalam Sastra Indonesia” itu adalah sekelompok penulis yang bersedia menulis puisi esai karena ditawarinya duit Rp 5 juta per puisi! Bahkan Denny JA sendiri mengakui:

“Lalu muncul kritik. Gerakan puisi esai ini tidak alami. Ia muncul karena “dipimpin”, direkayasa, ada honor besar di sana. Ada tim marketing. Ada organisasi di baliknya. Jawab saya: Aha! Itu justru sisi barunya. Justru di sana pula letak inovasi dari puisi esai sebagai sebuah gerakan.”

Oiya hampir lupa! Ada sebelas orang anggota “komunitas”nya itu dari berbagai provinsi di Indonesia mengundurkan diri dengan resmi dan pakai meterai segala lagi serta mengembalikan duit yang telah mereka terima baik persekot maupun penuh. Tapi apa yang terjadi? Duit yang telah mereka kembalikan via transfer bank itu DIKEMBALIKAN lagi ke mereka dan walau duit tersebut mereka transfer balik kembali tapi TETAP DIKEMBALIKAN! Bahkan mereka diancam akan diperkarakan secara hukum karena mereka tidak mengizinkan “puisi esai” mereka diikutkan dalam seri buku puisi esai “34 buku puisi esai di 34 provinsi” tersebut!

Apa alasan utama pengunduran diri massal ini? Rata-rata tidak tahu apa itu “puisi esai” dan skandal sastra yang disebabkannya terkait dengan nama “Denny JA”. Mereka yang rata-rata penulis muda dan pemula ini baru tahu setelah terjadinya kembali ribut-ribut tentang “Denny JA dan puisi esainya” di media sosial yang mencapai klimaksnya dengan pembuatan Petisi Anti Puisi Esai yang saat ini sudah ditandatangani oleh lebih dari 3000 orang.

Begitulah macamnya “komunitas puisi esai” yang berusaha dikait-kaitkan Denny JA dengan komunitas saintis (scientific community) dalam teori perubahan paradigma Thomas Kuhn!

Kita tentu saja berhak berandai-andai…. Seandainya tidak ada tawaran duit pra-bayar Rp 5 juta itu, apakah “angkatan baru” ini akan (bersedia) menulis puisi esai?! Akankah Proyek Manipulasi Sejarah Sastra Indonesia lewat “inovasi marketing” berbentuk “34 buku puisi esai di 34 provinsi” oleh seorang “entrepreneur” yang menganggap “marketing sama pentingnya dengan estetika” itu terwujud?

Inilah satu-satunya “angkatan” di sastra manapun di dunia ini yang “lahir” karena para anggotanya dibayari untuk menulis dalam satu gaya seragam bahkan sebelum tulisan mereka tersebut mulai ditulis. Saya usulkan nama yang tepat untuk angkatan baru ini adalah Angkatan Puisi Esai Pra-Bayar Denny JA. ***

*) Saut Situmorang, penyair tinggal di Jogja.
https://www.facebook.com/notes/saut-situmorang/angkatan-puisi-esai-pra-bayar-denny-ja/10155999216718815/

SERATUS TAHUN KESUNYIAN: TRAGEDI DAN IRONI YANG DIULANG-ULANG

$
0
0

A.S. Laksana
aslaksana.com

“Dengan cara membesar-besarkan setiap kejadian, hingga mencapai tingkat takhyul,
kita bisa menikmati tragedi dengan rileks dan menertawainya sekaligus.”

“Bertahun-tahun nanti, saat ia menghadapi regu tembak, Kolonel Aureliano Buendía akan teringat senja yang samar ketika ayahnya membawanya menemukan es.” ) Kalimat pembuka ini melontarkan kita ke masa depan yang jauh, yang akan kita temui nanti di bagian tengah novel. Dan kalimat kedua setelah itu langsung membawa kita masuk ke awal mula Macondo, di masa ketika “dunia seperti baru saja dibentuk”. Dan seterusnya, cerita akan berjalan maju, seperti sebuah kronologi, dengan sesekali jeda ke masa lalu atau ke masa depan.
Ini adalah cerita tentang keluarga Buendia, pendiri kota fiksional Macondo, atau mungkin sejarah “versi Marquez” tentang Amerika Latin.

Ursula, perempuan yang menempati posisi sentral dalam cerita ini, yang hidup sampai mencapai usia 115 tahun dan menjadi saksi segala yang terjadi di Macondo dan apa yang berlangsung di tengah keluarganya, adalah seorang perempuan yang dihantui oleh rasa cemas bahwa perkawinan incest-nya dengan Jose Arcadio akan membawa kutukan: ia selalu cemas melahirkan anak-anak yang memiliki ekor babi. Karena itu ia menolak bersetubuh dengan suaminya. Sampai kemudian Prudencio Aguilar meragukan kejantanan Jose Arcadio, yang membawa akibat pada dua hal: Jose Arcadio memaksa bercinta dengan istrinya sekalipun Ursula Iguaran terus menolak dan Arcadio kemudian membunuh Prudencio Aguilar. Prudencio yang sudah mati itu terus bertandang ke rumah mereka sehingga Arcadio dan istrinya meninggalkan kota tempat tinggal mereka dan membuka daerah baru yang kemudian kita kenal dengan nama Macondo, sebuah kota yang masih muda, para penghuninya berusia di bawah 30 tahun dan belum pernah ada yang mati sebelumnya.

Kota yang dihuni oleh 300 orang ini terasing sama sekali dari dunia luar. Arcadio pernah membawa rombongan untuk menempuh perjalanan membuka hubungan dengan dunia luar, tetapi gagal. Hanya rombongan sirkus gipsi yang datang ke Macondo pada setiap bulan Maret, memainkan berbagai atraksi dan membawa ilmu pengetahuan ke penduduk setempat. Yang berhasil membuka jalan itu adalah Ursula, yang melakukan pengembaraan untuk mencari Jose Arcadio, anaknya yang pergi bersama rombongan gipsi, dan pulang lagi dengan kegagalan. Ia tidak menemukan anaknya tetapi ia menemukan rute ke kota lain, yang menghubungkan Macondo dengan dunia luar. Setelah itu, orang-orang luar mulai berdatangan ke Macondo, termasuk Don Apolinar Moscote, seorang hakim yang menjadi utusan pemerintah. Aureliano jatuh cinta kepada Remedios, putri Don Apolinar.

Kejadian-kejadian yang mengagumkan diceritakan dengan sangat enteng oleh penulisnya, yang ia tiru dari neneknya yang menceritakan segala takhyul dengan paras muka yang biasa-biasa saja. Sang nenek ini adalah inspirasi bagi Marquez. Dan dalam pencariannya, ia kemudian berpikir bahwa ia harus bercerita seperti neneknya bercerita. Para pengamat memberi nama bagi gaya berceritanya sebagai “realisme magis”, tetapi bagi Marquez, ceritanya adalah realisme semata—ia tidak pernah menyebut ceritanya realisme magis. Ini sekali lagi berangkat dari neneknya. Segala takhyul yang disampaikan oleh neneknya ke dia, semasa dia kecil, adalah kenyataan. Ia selalu menganggap apa yang diceritakan oleh neneknya, cerita-cerita yang menakutkan, bukan sebagai sesuatu yang mengada-ada atau sekadar dimaksudkan untuk menakut-nakuti kanak-kanak. Dan kemudian ia menuturkan hal-hal yang fantastis kepada kita dengan keentengan seseorang yang menceritakan kejadian sehari-hari.

Kita bisa menjumpai di dalam cerita ini Jose Arcadio menyesap kadal dan makan telur laba-laba, tentang perempuan yang dikutuk menjadi laba-laba, dan tentang setumpuk keganjilan lainnya. Kita disuguhi tentang hujan yang tidak berhenti selama empat tahun sebelas bulan dan dua hari. Juga kota yang diserang wabah insomnia dan amnesia, semua orang kehilangan ingatan, sehingga mereka lupa cara berbahasa. Benda-benda tidak disebut dengan nama, tetapi ditunjuk. Lalu datanglah Melquiades, kepala rombongan gipsi, yang sudah mati pada bab sebelumnya, dan muncul lagi hanya karena merasa bosan, dan kota diselamatkan oleh sang gipsi ini.

Juga kita diajak memasuki kenaifan-kenaifan yang memikat: bagaimana Aureliano terpukau ketika pertama kali melihat es yang dibawa dalam kotak “yang bernafas” oleh kaum gipsi. Betapa terpukaunya Jose Arcadio ketika Melquiades datang lagi dan sudah kelihatan tua sekali dengan gigi yang habis. Tetapi ia menjadi muda lagi setelah ia mengenakan gigi palsunya. Arcadio menyimpulkan bahwa Melquiades, si orang hebat, bisa menjadi tua dan muda sekehendak dia.

Kejutan-kejutan, dan ironi, dimunculkan dari waktu ke waktu. Dalam masa-masa mabuk cinta dengan Pilar Ternera, perempuan yang suara ketawanya membuat burung-burung terbang ketakutan, misalnya, Jose Arcadio terus kelihatan mengantuk. Aureliano, yang selalu menunggui kakaknya dengan harap-harap cemas sampai fajar, juga kelihatan selalu bingung dan mengantuk.

“Anak-anak itu sudah gila,” kata Ursula Iguaran, “mungkin mereka cacingan.” Lalu ia membuatkan obat cacing dari biji-bijian yang ditumbuk dan setelah itu Jose Arcadio mempertunjukkan kepada orang-orang cacing yang keluar ketika ia buang air. Ini sekaligus untuk menutupi skandalnya dengan Pilar Ternera dan membenarkan dugaan ibunya tentang penampilannya yang terus mengantuk dan bingung. Begitu juga penampilan Aureliano yang menunggui kakaknya sampai pagi, dengan pikiran cemas akan akibat dari percintaan kakaknya dengan Pilar Ternera.

Ini strategi yang jitu dan sangat tepat. Marques menjangkau hal-hal yang tragis, yang tidak bisa diceritakan dengan cara lain kecuali seperti itu, dan menyuguhkannya kepada kita dengan enteng sekali, tanpa banyak memberi komentar, dan seolah-olah melepaskan begitu saja segala rangkaian keganjilan dan ironi itu. Dengan cara membesar-besarkan setiap kejadian, hingga mencapai tingkat takhyul, kita bisa menikmati tragedi dengan rileks dan menertawainya sekaligus. Dan kita tidak dibuat sesak oleh riwayat orang-orang yang sebetulnya penuh kemalangan dan dikutuk dalam kurun waktu seratus tahun.

Bagian tengah buku ini melukiskan perang saudara yang berlarut-larut. Setelah perkawinan yang berumur pendek antara Aureliano dan Remedios, putri Don Apolinar, yang mati ketika mengandung, Aureliano Buendia menjadi seorang Kolonel dan berperang di pihak Liberal. Ia mengobarkan 32 peperangan dan kalah dalam semua pertempuran. Tetapi ia selamat dalam seluruh upaya pembunuhan dan tidak mati juga dalam satu upaya bunuh diri. Dari sinilah kita dibawa kembali ke kalimat pembuka novel ini, ketika kolonel menghadapi regu tembak, tetapi ia tidak mati.

Ketika perang berakhir, Kolonel Aureliano menarik diri dan menjalani hidupnya dengan membuat ikan-ikan kecil dari emas, yang dijual dan dari ikan-ikan itu ia mendapatkan sejumlah koin emas. Koin-koin yang dilebur lagi untuk dibikin lagi ikan-ikan emas. Adegan ini mengingatkan saya pada cerita dari kitab Alquran tentang perempuan yang menghabiskan waktunya dengan kesia-siaan menunggu seorang lelaki yang datang melamar dirinya. Perempuan itu terus merajut dan selalu membongkar lagi rajutan itu setelah jadi, begitu terus-menerus. Kesunyian makin meningkat, dan sang kolonel dihanyutkan oleh nostalgia dan ingatan-ingatan masa lalu dan ia meninggal pada suatu hari ketika sekali lagi mengingat peristiwa di senja hari ketika ayahnya mengajaknya pertama kali melihat es.

Kemudian datang orang-orang Amerika dari perusahaan pisang. Pemogokan dilakukan oleh para buruh yang memprotes kesejahteraan mereka terhadap perusahaan tersebut. Dan tiga ribu orang dibantai oleh tentara. José Arcadio Segundo menyaksikan pembantaian itu, tetapi tidak ada satu orang lain pun selain dia yang tahu bahwa itu terjadi. Tidak seorang pun mempunyai ingatan tentang kejadian itu, dan tidak ada satu pun yang akan mempercayai ceritanya. Dan pemerintah memberi pernyataan: “Tidak ada yang mati, para buruh pulang ke rumah dengan perasaan puas, dan perusahaan pisang ditutup sampai hujan reda.”

Tetapi, hujan itu tidak pernah berhenti sampai empat tahun, sebelas bulan dan dua hari.

Begitulah, Seratus Tahun Kesunyian adalah sebuah cerita yang sangat panjang, yang “panjangnya seratus tahun,” kata Borges. Seolah-olah ia adalah sejarah kota Macondo, dan riwayat turun-temurun keluarga pendiri kota tersebut, tetapi cerita ini mengandung tema yang sangat luas yang tampaknya mencakup sejarah Amerika Latin, dengan basis sosialnya yang karut marut. Saya kira nyaris tidak mungkin meringkaskan novel ini dalam sebuah sinopsis.

Ada banyak karakter dalam novel ini yang masing-masing memiliki kisah sendiri, tetapi sekaligus membangun jalinan cerita yang utuh. Ada banyak belokan dalam cara bertutur Marques, dan ada banyak kejutan.

Teknik Penceritaan dan Strategi Literer Marquez
Lompatan Maju dan Mundur Bersamaan

Dalam satu kalimat, yang digunakan oleh Marquez untuk membuka novelnya, kita dibawa ke masa depan yang dramatis, sang kolonel menghadapi regu tembak, dan sekaligus diceburkan ke masa lalu, di awal penciptaan Macondo, dengan pemandangan “telur-telur prasejarah”, masa yang sangat purba. Begitulah, sejak awal kita dipersiapkan oleh penulisnya untuk melompat ke masa depan dan kembali ke masa lalu dalam waktu yang bersamaan. Dan ketika kita tiba di bagian awal, beberapa bab kemudian, di mana sang kolonel menghadapi regu tembak, ia ternyata tidak mati karena diselamatkan oleh saudaranya. Ini seperti sebuah antiklimaks, atau kecerdikan Marquez untuk mengelirukan dugaan kita, dan ia menyuguhi lagi kita dengan alat utama dia, flash-forward yang lain dan kita dibawa masuk ke detail-detail pribadi klan Buendia.

Repetisi

Teknik penting lain yang diperagakan oleh Marquez dalam novel ini adalah repetisi. Peristiwa-peristiwa yang sama terjadi berulang-ulang. Demikian juga penggunaan nama. Saya kira, inilah bagian tersulit dari novel Solitude: pemakaian nama-nama yang berulang dari generasi ke generasi keluarga Buendia. Ada banyak Arcadio dan Aureliano, dengan kemiripan watak pada masing-masing pemilik nama itu, dengan imbuhan beberapa variasi kecil pada masing-masing karakter. Namun, secara umum, Arcadio selalu bertubuh kuat dan cepat tumbuh, sementara Aureliano selalu pendiam, penyendiri, dan perenung. Demikian juga dengan para perempuan di keluarga tersebut; nama-nama mereka juga berulang: Amaranta, Úrsula, dan Remedios.

Juga ada repetisi terhadap proses: pertumbuhan dan kehancuran, upaya gila-gilaan untuk membongkar rahasia-rahasia semesta yang diturunkan mula-mula oleh kegilaan Jose Arcadio Buendia, sang pemula klan Buendia, yang diteruskan oleh semua laki-laki Buendia hingga ke Aureliano yang terakhir. Ada repetisi tentang percintaan yang juga penuh kegilaan dan keputusasaan—percintaan yang tragis—dan perkawinan incest. Juga orang-orang mati yang kembali lagi. Bahkan upaya memperbaiki rumah pun muncul berulang-ulang, yang dilakukan oleh karakter-karakter perempuann dalam novel ini. Lalu hujan yang berkepanjangan. Juga serangan lupa ingatan pada setiap warga yang datang berkali-kali, yang mula-mula sekali merupakan akibat propaganda pemerintah setelah pembantaian buruh-buruh pisang.

Repetisi ini, yang memang sebuah kesengajaan oleh penulisnya, ditegaskan dalam kesadaran Ursula bahwa waktu tidak berlalu, tetapi “berputar dalam lingkaran”. Penegasan serupa juga muncul dari Pilar Ternera, yang ketika itu sudah berusia seratus empat puluh lima tahun, yang melihat melalui kartu-kartunya bahwa “sejarah keluarga itu adalah sebuah rangkaian kejadian yang terus-menerus berulang, sebuah roda yang berputar terus-menerus….”

Perulangan demi perulangan tentu saja mengandung risiko bahwa ia hanya akan membawa kita ke tempat semula. Novel ini menyajikan repetisi, tetapi juga intensitas pada setiap pengulangan sampai seluruh upaya untuk memperbaiki Macondo menjadi sia-sia.

Siapa Naratornya?

Ada pertanyaan yang pantas diajukan tentang siapa narator kisah ini. Mungkin Pilar Ternera yang tahu betul, melalui kartu-kartunya, segala yang terjadi pada keluarga Buendia turun-temurun. Atau Melquiades? Di akhir novel, kita diberi tahu bahwa gipsi tua ini, yang selalu kembali dari kematiannya, menulis manuskrip tentang sejarah keluarga Buendia, dalam bahasa Sanskrit. Tetapi suara yang kita nikmati dalam novel ini sama sekali bukan suara Pilar Ternera atau Melquiades. Ini adalah suara Garcia Marquez.

Garcia Marquez menulis dengan teknik seorang wartawan, tetapi berbeda dengan yang dilakukan oleh Hemingway, salah seorang yang ia kagumi di awal-awal karir kepenulisannya, Marquez masuk ke ruang dalam setiap karakternya. Hemingway selalu menghindari hal ini dan hanya menceritakan apa yang tampak di permukaan. Sekalipun narator dalam novel Garcia Marquez ini bisa memasuki ruang dalam tokoh-tokohnya, namun ia pun bukan sosok yang tahu segala kejadian. Banyak kejadian yang tidak diketahui sebabnya oleh penutur cerita ini, misalnya tidak diketahui siapa yang membunuh Jose Arcadio, anak tertua pendiri Macondo, tidak diketahui siapa yang menembak ketujuh belas anak Aureliano Buendia.

Saya justru teringat pada buku History yang ditulis oleh Herodotus, di abad kelima sebelum Masehi. Apa yang dinamakan sebagai sejarah oleh Herodotus dalam bukunya adalah catatan-catatan peristiwa keseharian, termasuk takhyul-tahkyul yang ia jumpai di pelbagai negeri. Herodotus menulis, misalnya tentang burung Phoenix di Mesir. “Di negeri ini ada seekor burung yang terbakar setiap lima ratus tahun dan dari abunya akan muncul telur yang akan menetas menjadi Phoenix baru.” Sejarah dalam Herodotus adalah kumpulan kejadian nyata dan khayal. Sejarah “Amerika Latin” dalam novel Marquez pun serupa dengan itu. []

http://www.aslaksana.com/2015/05/seratus-tahun-kesunyian-tragedi-dan.html

Damiri Mahmud Tak Pernah Kehabisan Kata

$
0
0

Nevatuhella
Harian Analisadaily 2 Agu 2014

Di usia 69 tahun, Damiri Mahmud masih cukup aktif menulis. Minggu, 4 Mei 2014 yang lalu, catatan budayanya muncul di Harian Analisa Medan. Sore harinya pada hari yang sama, dia memberi ceramah sastra di stasiun RRI Medan bersama sastrawan Medan, Sulaiman Sambas (sastrawan asal kota Tanjungbalai, Asahan, teman kecil Martin Alaida), Mihar Harahap (mantan dekan FKIP-UISU Medan), dan penyair Wirja Taufan.

Setahun lalu, tepatnya 5 Mei 2013, dia dengan bersemangat mengisi Dialog Sastra Tanjungbalai yang diprakarsai oleh Himpunan Sastrawan Kembang Karang Tanjungbalai. Bulan lalu, seminggu sebelum bulan Ramadhan, dia menjadi penilai mata kuliah Sastra Perbandingan, Kritik Sastra dan Gelar Sastra di sebuah Universitas swasta, di Medan.

Hampir setiap minggu dia menulis esai sastra, catatan budaya, kritik sastra dan artikel agama. Artikel agama yang ditulisnya sangat menarik.

Sebagai sastrawan dia menilik fenomena agama dari sisi budaya. Artikel agama dulu-dulu sering dimuat di Koran Republika.

Berbekal dasar pengetahuan Islam yang cukup-cukup memadai, yang dia peroleh dari ayahnya, H. Mahmud Isa, seorang Kiyai di Hamparan Perak. Dia tidak pernah melenceng dari ajaran-ajaran Islam.

Baik dalam karyanya ,dan kehidupan sehari-hari. Pengakuannya pada beberapa kesempatan berbincang-bincang, dikatakan dia selalu terhindar dari hal-hal yang negatif.

Pernah suatu kali, di masa dia masih lajang, dengan seorang temannya mereka ingin menikmati kehidupan malam di sebuah tempat hiburan di Belawan.

Apa yang terjadi? Ternyata semua bangku pengunjung penuh, sehingga mereka tak jadi mampir di tempat hiburan yang menjual minuman keras dan menyediakan perempuan-perempuan penghibur.

Terhadap perempuan, Damiri memang selalu bersimpati dan menarik perhatiannya.

Waktu kecil, dia suka mencolek gadis-gadis Tionghoa yang sama kecilnya dengan dirinya di Medan.

Keluarga Damiri Mahmud memang lama tinggal disekitar jalan Puri, Medan. Tempat bermainnya, selain sekitar Mesjid Raya, juga di sekitar Kesawan yang banyak tinggal orang Tionghoa.

Kalaupun Damiri jatuh hati pada seorang perempuan, dia pun menggoda dengan pantun, sajak dan surat-surat cinta yang dia sampaikan dengan kehalusan kata.

Damiri mengakui memang tak punya sajak-sajak cinta, karena malu dan merasa tak pantas disebarluaskan. Cerita pahitnya jatuh cinta pernah dituturkannya, karena ia diludahi oleh seorang perempuan, yang menyebabkan ia demam selama dua hari dua malam.

Damai di Bumi, kumpulan sajak-sajaknya yang terbit tiga tahun lalu, merupakan sajak-sajak yang bernuansa religius.

Bahkan bertendens kedalaman hakikat manusia yang naif, serba kurang, jauh dari sempurna.

Dia tak pernah menghadirkan ketidakseriusan dalam karya-karyanya. Bernas, ibarat cermin, yang semua orang bisa berkaca melihat wajah aslinya di depan cermin.

Membaca cerpen-cerpen dan sajak-sajak Damiri Mahmud, bisa bermakna membaca sebagian sejarah masyarakat suku Melayu.

Baik pada masa penjajahan Belanda di Sumatera Utara, sampai masa kini. Awal-awal menulis cerpen, thema-thema yang diangkatnya adalah kehidupan keluarganya.

Cerpennya, mewakili keberadaan masyarakat Melayu di bawah kekuasaan Belanda, Masa Datuk-datuk dan Sultan-sultan setempat.

Beberapa cerpen yang saya sebutkan, Jaman Pakuasi, Kupon Getah, Lelang, Tok, Buku, sarat berisikan resam-resam dalam keluarga dan kehidupan masyarakat Melayu.

Peran nenek, peran ibu, wibawa ayah, pelaksana amanah, ketaatan pada agama, catatan yang monumental dikerjakan Damiri.

Begitu juga dengan sajak yang digoreskannya. Tiga buah kumpulan sajak tunggalnya telah dibukukan di Malaysia.

Puluhan bahkan ratusan pula sajak-sajaknya termuat bersama beberapa pengarang lainnya. Salah seorang penggagas berdirinya Kelompok Sastrawan Antar Negara Dialog Utara, ini tampaknya setara dengan sastrawan sumut lainnya seperti Herman Ks, B. Y. Tand, Aldian Arifin, penulis cerpen dan novel Bokor Hutasuhut, dalam menghasilkan karya tulisan yang bermutu.

Ada saja artikel atau esai budaya yang menarik dan baru yang ditulisnya. Damiri umpama air jatuh dari tebing yang tak habis-habisnya mencurah ke tanah.

Saat ini masyarakat Sumatera Utara, sedang menunggu kehadiran Puisi-Esai-nya yang berjudul, Akulah Melayu Itu, Kau Halau Itu.

Puisi-Esai ini merupakan salah satu pemenang Puisi-Esai Terbaik yang telah di bukukan. (pada 24 Juni 2014 lalu. Damiri menerima penghargaan atas karyanya tersebut dan diluncurkan di Jakarta).

Apa yang Diperjuangkan Damiri?

Sejak kecil, Damiri, anak keempat dari puluhan bersaudara ini (dari tiga ibu) punya kesukaan membeli pulpen.

Dia berani berkorban tidak membeli jajan, demi membeli sebuah pulpen yang menarik hatinya.

Sampai sekarang pun tetap selalu ada dua buah pulpen yang tersangkut di saku bajunya.

Pulpen lambang atau sekaligus alat untuk menulis, yang disukainya perlambang suatu hari rupanya Damiri memang dipilih menjadi seorang penulis. Damiri mengakui untunglah dirinya masih diberi Tuhan keterampilan menulis, kalau seandainya tidak, susah membayangkan apa jadinya saya yang berkarakter introvet ini.

“Saya bersyukur Puisi-Esai “Akulah Melayu Itu, Kau Halau Itu” telah dibukukan”, aku Damiri, yang saat ini memang selalu risau karena karya-karyanya cukup banyak belum dibukukan. Kumpulan cerpennya memang telah mulai di edit sastrawan muda Raudal T. Banua di Yogyakarta untuk diterbitkan. Kini, buku Rumah Tersembunyi Chairil Anwar, sedang mencari-cari penerbit.

Mudah-mudahan ada kalangan dermawan Sumut yang mau perduli dengan sastrawan kenamaan kita asal Sumut, Chairil Anwar ini.

Apa yang diperjuangkan Damiri sampai kini adalah memperjuangkan Melayu yang terpinggirkan.

Di tanah peninggalan ayahnya dipinggiran sungai Belawan, disitulah Damiri kini lebih banyak menghabiskan waktunya dengan menanam pepaya dan pisang.

“Dulu tanah peninggalan ayah ambe ini hektaran!” akunya.

Sebagaimana terpinggirnya Melayu secara Nasional, begitu juga nasib Damiri dan keluarganya.

Mengajar Cucu Bersajak

Bulan puasa lalu, Damiri serius mengajari cucunya membaca sajak untuk mengikuti sayembara. Cucu tertuanya baru saja duduk di bangku SMP.

Damiri memang tak mengharapkan cucunya, bahkan anak sendiri mengikuti jejaknya menjadi penyair.

Heran akunya, karena anak sulungnya, Fahmi punya kepintaran dalam matematika dan bergelar Insinyur Teknik Elektro.

”Heran saya anak saya Fahmi, pintar matematika”.

Pernah suatu kali Damiri satu angkutan kota dengan guru Matematika Fahmi, waktu itu yang masih SMP.

Guru mengatakan kalau-kalau Fahmi paling jago Matematika di kelasnya. Damiri hampir tak mempercayainya.

Kini anak sulungnya ini masih setia membawa kemana Damiri pergi berceramah dan menghadiri diskusi. Orang tua, yang tak pernah kehabisan kata untuk menulis ini, begitu selalu diharapkan kehadirannya dalam diskusi-diskusi sastra.

Dia selalu istiqomah dalam bersastra, tidak menyimpang dari sastra yang Islami.

Puasa Senin-Kamis sudah hampir sepuluh tahun dilaksanakannya, termasuk menghindari makanan makruh dan yang tak jelas asal-usulnya. Damiri memang tak pernah kehabisan kata dalam menulis!
*

Damiri Mahmud dilahirkan di Medan, Sumatera Utara, 1945. Karya-karyanya: Tiga Muda (1980), Aku Senantiasa Mencari (1982), Sajak-sajak Kamar (1983), Kuala (1975), Puisi (1977), Rantau (1984). Puisi-puisinya dimuat pula di Horison, Basis, Republika, dan lain-lain.
**
http://harian.analisadaily.com/rebana/news/damiri-mahmud-tak-pernah-kehabisan-kata/51434/2014/08/03

Jejak Langkah Damiri Mahmud

$
0
0

badanbahasa.kemdikbud.go.id

Salah seorang sastrawan yang terkenal dari Sumatera Utara adalah Damiri Mahmud. Damiri adalah putra asli Sumatera Utara. Damiri lahir di Hamparan Perak, Deli Serdang, Sumatera Utara, tanggal 17 Januari 1945. Ia merupakan putra bungsu dari pasangan H. Mahmud Khatib dan Hj. Siti Rahmah. Pada usia 27 tahun, ia mengakhiri masa lajangnya dengan menikahi seorang gadis yang bernama Mariani (lahir tanggal 31 Desember 1949). Dari pernikahan itu, mereka dikaruniai enam orang anak, tetapi dua di antara anaknya telah meninggal dunia. Anaknya yang ada saat ini adalah Fahmi, Chairunnisa, Kurnia, dan Siti Hidayati. Dari anak-anaknya yang telah menikah, Damiri mendapat empat orang cucu.

Damiri memulai pendidikan formalnya di Sekolah Rakyat 16, Jalan Japaris, Medan dan menyelesaikan pendidikan dasarnya itu pada tahun 1958. Pada waktu yang bersamaan dengan menempuh pendidikan dasarnya di sekolah rakyat, Damiri juga mengikuti pendidikan keagamaan di Ibtidaiyah, Jalan Amaliun, sampai tamat, tahun 1958. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikannya ke SMEP Jalan Sindoro, Medan dan tamat pada tahun 1961. Selanjutnya, ia masuk ke SMA Widyasana, Medan dan tamat pada tahun 1964. Setelah tamat SMA, ia masih menambah pengetahuannya dengan mengikuti Kursus Bon A dan Bon B.

Dunia sastra adalah dunia yang telah menarik perhatian Damiri sejak kecil. Ketertarikannya dimulai sejak ia membaca buku-buku sastra milik abangnya, Idham. Idham bukanlah sastrawan, ia tokoh pemuda (bahkan, dapat dikatakan preman) di kampungnya. Akan tetapi, abangnya itu memang suka membaca buku sastra. Dari koleksi buku abangnya itulah, Damiri membaca karya-karya Hamka, seperti Tenggelamnya Kapal van der Wicjk dan Di Bawah Lindungan Ka’bah. Ia merasa sangat beruntung karena ia juga sudah bisa membaca buku-buku H.B. Jassin dan Chairil Anwar pada saat ia masih duduk di bangku sekolah menengah pertama.

Setelah banyak membaca, Damiri mulai tertarik dan mencoba menulis. Selanjutnya, ia mulai memberanikan dirinya mengirimkan karya-karya sastra yang ditulisnya itu ke harian Harapan Kuncung, yang terbit di Medan, saat ia masih sekolah di SMEP. Akan tetapi, tulisan-tulisannya itu tidak pernah dimuat oleh redaktur harian itu. Ia tidak putus asa, ia terus mencoba, dan akhirnya tulisannya dimuat untuk yang pertama kali di Mimbar Teruna, pada tahun 1964, saat dia sudah duduk di bangku akhir SMA. Akan tetapi, bukan tulisan sastranya yang dimuat, melainkan tulisan yang berupa lelucon. Redaktur harian Mimbar Teruna yang memuat tulisannya itu bernama Ali Soekardi.

Setelah menamatkan SMA-nya, 1964, Damiri merantau ke Jakarta dan menumpang di rumah abangnya yang lebih dahulu berada di Jakarta. Selama di Jakarta hanya ada satu tulisannya, puisi, yang dimuat di media massa, yaitu di harian Warta Pelajar. Tulisan-tulisannya yang lain, yang dikirimkan ke majalah Lentera, ditolak. Ia menerima surat pemberitahuan dari redaksi yang menyatakan bahwa tulisannya telah diterima oleh redaksi, tetapi belum dapat dimuat. Sekitar setahun berada di Jakarta, orangtuanya menyusul ke Jakarta dan meminta mereka pulang. Akhirnya, karena dia yang bungsu, dialah yang disepakati untuk pulang ke kampung memenuhi permintaan orang tuanya.

Tahun 1965, Damiri sudah berada kembali di Hamparanperak, tanah kelahirannya. Ia mengabdikan dirinya sebagai guru di Madrasah Ibtidaiyah Swasta (MIS) Al-Washliyah. Madrasah tempatnya mengajar itu kemudian berubah jadi madrasah negeri dengan nama Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) 1, Hamparanperak. Oleh karena itu, Damiri, sebagai pengajar di sana, diangkat sebagai pegawai negeri sipil (PNS). Ia menjadi pegawai negeri sipil di bawah naungan Departemen Agama pada tahun 1972 dan ditempatkan di tempatnya mengajar itu. Di samping itu, dia juga menjadi guru di Sanawiyah, Hamparanperak (1974). Tahun 2003, Damiri Mahmud pensiun sebagai pegawai negeri.

Kiprahnya dalam dunia sastra Medan dimulai pada tahun 1969 setelah tujuh buah cerpennya dimuat di majalah Bintang, Sport, dan Film. Cerpennya yang dimuat itu, antara lain, berjudul ”Ronggeng”, ”Luka Lama Berdarah Lagi”, dan ”Kabar dari Laut”. Cerpen ”Mata” kemudian dimuat di majalah Horison Jakarta pada tahun 1970. Di samping menulis karya sastra modern, Damiri Mahmud juga menulis cerita rakyat. Ia menuliskan kembali cerita rakyat yang sudah ada dengan versi baru. Cerita rakyatnya berjudul Wasiat Ayah diterbitkan oleh Firma Hasmar, Medan pada tahun 1976. Ia juga pernah memperoleh penghargaan dari Perpustakaan Sumatera Utara pada tahun 1978 atas cerita rakyat yang ditulisnya yang berjudul Membalas Budi. Di samping itu, ia juga sudah menghasilkan sebuah novel yang berjudul Teka-Teki, yang diterbitkan oleh Marwlis Publishir, Selangor, Malaysia pada tahun 1988.

Dalam perjalanan kariernya sebagai sastrawan, Damiri beberapa kali memenangkan perlombaan menulis esai, baik di tingkat lokal maupun nasional. Ia pernah memenangkan lomba penulisan kritik sastra se-Indonesia untuk pembicaraan novel Olenka karya Budi Darma (1984). Karena kritikannya itu, H.B. Jassin memperhitungkan Damiri Mahmud sebagai kritikus sastra yang ikut menentukan arah kehidupan kesusasteraan Indonesia.

Sebuah suratnya kepada H.B. Jassin tentang penulisan Al Quran yang menghebohkan itu terdapat dalam buku Kontroversi Al-Quran Berwajah Puisi terbitan Pustaka Utama Grafiti, Jakarta (1996). Kemudian, dia menghimpun pembicaraannya tentang kepenyairan Aldian Aripin dalam buku Esensi dan Dinamika: Telaah Sufistik Terhadap Puisi dan Perjalanan Spritual Aldian Aripin yang diterbitkan Sastera Leo, Medan (2001).

Damiri Mahmud pernah menjadi pengurus Dewan Kesenian Medan (DKM) yang dipimpin oleh A.S. Rangkuti. Akan tetapi, baru satu tahun berjalan dia mundur karena tidak cocok dengan ketua baru yang menggantikan A.S. Rangkuti. Waktu itu, A.S. Rangkuti meninggalkan jabatannya sebagai Ketua Umum DKM karena terpilih menjadi Walikota Medan. Meskipun demikian, DKM tetap mengakui kesastrawanan Damiri Mahmud sehingga memberinya penghargaan sebagai sastrawan kreatif pada tahun 1984.

Damiri juga termasuk salah seorang dari antara sastrawan yang menggagas dan melaksanakan program sastrawan masuk sekolah di Medan dan sekitarnya (1976-1980). Ia juga menjadi salah seorang pencetus ”Omong-Omong Sastra” dari rumah ke rumah sejak 1976 sebagai satu wadah yang unik dan mungkin satu-satunya di Indonesia. Forum ini dilaksanakan secara berkala. Para sastrawan dan peminat sastra berkumpul dalam satu rumah membicarakan masalah sastra dan membaca puisi dengan bebas yang diakhiri dengan makan bersama.

Acara ”Omong-Omong Sastra” itu kemudian berlanjut. Mereka menyelenggarakan Temu Sastrawan Sumatera Utara di Bina Budaya Medan (1977). Panitia pelaksana pertemuan tersebut menerbitkan dua puisi Damiri Mahmud bersama puisi karya penyair Sumatera Utara lainnya dalam antologi Puisi Temu Sastrawan Sumatera Utara 1977. Di kemudian hari, pembicaraan masalah sastra yang dibicarakan Damiri dan sastrawan lainnya dalam ”Omong-Omong Sastra” itu diterbitkan dalam buku 25 Tahun Omong-Omong Sastra: Makalah yang dibentang, bandingan, serta publikasinya yang diterbitkan oleh Sastra Leo Medan (2002).

Secara regional, Damiri Mahmud merupakan salah seorang pemrakarsa dan pelaksana ”Dialog Utara” sebagai wadah pertemuan sastrawan Medan/Sumatera Utara dengan sastrawan Pulau Pinang/Malaysia (1982-1991). Dialog Utara berhasil menjalin kerja sama budaya serumpun dan meyakinkan Walikotamadya Medan dalam menggasasi Medan-Pulau Pinang sebagai ”kota kembar”. Damiri aktif dalam pelaksanaan Dialog Utara yang menghasilkan antologi sastra di mana terdapat puisi, cerpen, dan esai/kritik sastranya. Dialog Utara yang diikutinya di Malaysia menghasilkan tiga buah buku yakni Titian Laut I (1982), Titian Laut II (1986), dan Titian Laut III (1991) yang diterbitkan Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur. Sedangkan Dialog Utara yang diikutinya di Medan menghasilkan antologi Muara Satu yang diterbitkan panitia pelaksananya (1984) dan Muara Dua terbitan Firma Maju Medan (1989).

Puisi-puisi Damiri Mahmud terdapat dalam berbagai bunga rampai, baik terbitan Indonesia maupun Malaysia. Buku pertama yang memuat puisinya adalah antologi puisi Kuala terbitan Dewan Kesenian Medan (1975). Puisi-puisinya juga terdapat dalam Rantau: Antologi Puisi Indonesia-Malaysia-Singapura terbitan Yaswira Medan (1984), Ilham: Antologi Puisi Islami Sumatera Utara (1991), Tonggak 3: Antologi Puisi Indonesia Modern terbitan Gramedia Jakarta (1987), Bosnia Kita terbitan Komite Solidaritas Muslim Bosnia, Jakarta (1987), Antologi Puisi enyair Sesumatera terbitan Taman Budaya Jambi (1996), Kumpulan Puisi Sumatera Utara terbitan Kanwil Depdikbud Sumut (1998), Jejak: Antologi Puisi Sumatera Utara terbitan Dewan Kesenian Sumatera Utara (1998), Parade Baca Puisi Indonesia Berbisik terbitan Korpri Sumut dan DKSU (1999), Dari fansuri ke Handayani terbitan Horison dan The Ford Foundation (2001), Horison Sastra Indonesia terbitan Horison dan The Ford Foundation (2002), dan Lagu Kelu terbitan Aliansi Sastrawan Aceh dan Japan Aceh Net-JAN Tokyo (2004).

Sebagai penyair, Damiri tampil membacakan puisi-puisinya dalam acara diskusi dan baca puisi yang diselenggarakan Taman Budaya Medan. Tahun 1980, dia tampil bersama R. Lubis Zamakhsyari dan Shafwan Hadi Umry membacakan puisi yang terhimpun dalam stensilan berjudul Tiga Muka. Lalu dia tampil membacakan puisi stensilannya yang berjudul Aku Senantiasi Mencari (1982), Sajak-Sajak Kamar bersama B.Y. Tand yang membacakan kumpulan puisinya yang berjudul Episode (1983), dan kumpulan puisi stensilannya yang berjudul Memandang Manusia (1985).

Damiri Mahmud kemudian membukukan 59 puisinya dalam buku kumpulan puisi perseorangannya berjudul Damai di Bumi: Kumpulan Sajak yang diterbitkan oleh Kanwil Deparsenibud Sumatera Utara dan Hotel garuda Plaza Medan (2000). Buku ini diberi kata sambutan oleh Sjamsul Bahri, S.H. selaku Kakanwil Deparsenibud Sumut dan ulasan penutup buku berupa sebuah artikel berjudul ”Unsur Puitika dalam Sajak-Sajak Damiri Mahmud” karya Korrie Layun Rampan yang terbit di Harian Pelita Jakarta, 22 Maret 1992.

Damiri Mahmud termasuk sastrawan yang juga berprofesi sebagai kritikus sastra. Dia selalu diundang untuk membentangkan makalah dan berceramah di berbagai forum dan perguruan tinggi. Tahun 1984, penceramah yang aktif dalam membahas karya-karya sastra ini diundang dDewan Kesenian Jakarta dalam acara Temu Kritikus Sastra di Taman Ismail Marzuki Jakarta. Damiri juga diberi kepercayaan memilih sejumlah tokoh sastra dan budaya di Indonesia sebagai untuk Eksiklopedia Sejarah dan Kebudayaan Melayu yang diterbitkan Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia.

Dalam dasawarsa terakhir ini, Damiri terus berceramah dan menyampaikan makalah tentang kepenyairan Amir Hamzah. Damiri berpendapat bahwa sajak-sajak Amir Hamzah dalam Nyanyi Sunyi terutama ”Padamu Jua” adalah sajak cinta, pelukisan kepatahhatian Amir terhadap Ilik Sundari. Damiri menolak pendapat H.B. Jassin, A.H. Johns, A. Teeuw, Abdul Hadi W.M., Sutan Takdir Alisjahbana, dan lain-lain yang menepiskan eksistensi Amir Hamzah sebagai penyair lirik dan romantik, lebih menganggapnya sebagai mistikus atau sufi yang bersifat utopia belaka. Di mata mereka Amir Hamzah hanya mempermasalahkan kematian belaka dan tidak punya semangat hidup di dunia.

Ceramah ini menarik perhatian Jajang C. Noer yang pernah mengungkapkan hal senada kepada Arifin C. Noer tetapi tidak ditanggapi sang suami dengan serius. Kemudian H.B. Jassin tertarik dan merekomendasikan supaya dibukukan karena katanya pantas diketahui masyarakat umum sebab pembahasannya lebih memusatkan kepada riwayat hidup penyairnya. Tahun 1994, Dewan Kesenian Sumatera Utara menerbitkan ceramah itu sebagai sebuah buku dengan judul Amir Hamzah Penyair Sepanjang Zaman (Penafsiran Lain tentang Nyanyi Sunyi).

Pada 6 Juni 2007, Damiri kembali tampil mengetengahkan pendapatnya ini dalam Seminar Kesusastraan Bandingan Antarbangsa di Kuala Lumpur, Malaysia. Buku tentang Amir Hamzah yang ditulis oleh Damiri pernah pula diminta oleh Taufiq Ismail untuk dibukukan di Jakarta. Bahkan, seusai menjadi pembicara dalam seminar sastra bandingan tersebut, buku tersebut akan diterbitkan di Malaysia dengan judul Menafsir Kembali Nyanyi Sunyi.

Bahkan, tujuh puisinya terbit dalam edisi tsunami Horison, Maret 2007 dan enam puisi terbarunya muncul dalam Horison, April 2007 yang membuatnya merasa senang seperti kembali sehingga dia kirim SMS kepada teman-teman dekatnya.

Sekarang, Damiri Mahmud tengah gencar berceramah tentang Chairil Anwar. Dia menolak pendapat H.B. Jassin, Teeuw, Subagio Sastrowardoyo dan lain-lain yang mengatakan bahwa Chairil Anwar sangat terpengaruh kepada ”barat” bahkan jiwanya adalah ”barat”. Damiri berpendapat apabila benar klausal ”bahasa menunjukkan bangsa” maka tak pelak Chairil Anwar bertitik tolak kepada kebudayaan Melayu di Medan. Damiri telah meneliti karya Chairil Anwar dan berhasil memecahkan ”kata-kata sulit” dan ”kata-kata baru” dalam karya-karyanya, hal mana belum pernah terusik oleh para peneliti sebelumnya. Damiri mempersiapkan sebuah buku tentang hal itu yang menurut rencana akan diterbitkan di Malaysia dengan judul Pergulatan Budaya Chairil Anwar.

Tulisan-tulisan Damiri Mahmud berupa puisi, cerpen, dan artikel budaya, politik, dan agama tersebar di berbagai harian dan majalah terbitan Medan seperti Bintang Sport dan Film, Mimbar Taruna, Mimbar Umum, Analisa, dan Waspada. Kemudian terbit pula di Majalah Basis (Yogyakarta) serta media massa terbitan Jakarta seperti Horison, Berita Buana, Pelita, Republika, Merdeka, Media Indonesia, dan Panji Masyarakat. Karyanya juga muncul di media massa terbitan Malaysia seperti Dewan Sastera, Berita Harian, serta Perisa: Jurnal Puisi Melayu.

http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/node/2308


Bersastra dari Rumah ke Rumah

$
0
0

J Anto
Harian.analisadaily.com

SEORANG Penyair, cerpenis juga novelis senior Sumut, Damiri Mahmud pernah merasakan kesunyian hati saat tak diajak ngopi. Saat itu ia masih berstatus penyair pemula. Sastrawan senior pada zamannya bisa dibilang angker. Pada 1970-an ia pernah bertandang ke harian Analisa, bertemu sejumlah sastrawan senior. Di tangga gedung, saat mau ngopi, mereka berlalu begitu saja. Tak ada yang menawari ikut. Tapi ia mengaku tak sakit hati.

Pada 1976, saat kumpul bersama Shaf­wan Hadi Umry dan W Yudhi Harsoyo di Lapangan Merdeka, mereka menggagas pentingnya membuat forum ramah tamah dengan para sastrawan senior. Tujuannya selain untuk bersilaturahmi juga untuk belajar menulis dari mereka

Shafwan saat itu usul agar mereka diundang ke rumah memberi ceramah. Damiri setuju, tapi formatnya bukan cera­mah karena terkesan formal. Penulis buku Rumah Sembunyi Chairil Anwar itu usul, bentuknya omong-omong saja, biar memba­ngun kesan santai. Agar gayeng, dilengkapi suguhan peenganan ringan.

Saat asyik ngobrol, datang A Zaini Nasution dan Hardian. Keduanya nyambung dengan gagasan tersebut. Lalu berlima bergerak mencari warung kopi di belakang masjid lama di daerah Kesawan. Di sana mereka bertemu Herman KS dan Abdullah Ismayudin.

Bertujuh, sastrawan muda itu lalu meru­muskan format OMSAS. Disepakati dalam omong-omong sastra, ada sastrawan senior yang berperan mengupas karya sastra. Ada acara baca puisi dan visualisasi puisi, baca cerpen, dsb. Peserta OMSAS terbuka untuk sastrawan, senior, pemula atau peminat sastra.

“Herman waktu itu bilang hasil omong-omong akan dimuat di koran,” tutur Damiri Mahmud. OMSAS untuk kali pertama diadakan di rumah Abdullah Ismayuddin. Undangan untuk OMSAS disiarkan sejum­lah surat kabar Medan.

“OMSAS jadi ruang berlatih penulis junior sebelum tampil di pentas sesungguhnya. Walau ditertawakan nggak apa-apa, ‘kan ini ruang terbatas dan informal,” tuturDamiri. Penulis junior makin bersemangat mencipta saat aktivitas OMSAS diberitakan di surat kabar dan nama mereka disebut-sebut. Sambutan sastrawan Medan juga positif.

Tawaran untuk jadi tuan rumah OMSAS lalu berdatangan. Tak hanya dari Medan, tapi juga luar daerah, seperti dari Batubara dan Indrrapura. Karena sejak awal diniatkan sebagai ruang untuk belajar, maka Damiri tak setuju jika penulis muda dikritik terlalu keras. Penulis muda justru harus diberi motivasi agar kontinu mencipta sampai tua seperti dirinya.

Aset Langka

Mihar Harahap menyebut tak sedikit pengarang dan penyair Sumut eksis ditempa perdebatan selama mengikuti OMSAS. “OMSAS itu aset yang tak ada di tempat lain di Indonesia.”

Program Sastrawan Masuk Sekolah yang dimotori Taufiq Ismail dan sastrawan lain di Jawa, baru berlangsung di era 2000-an. Itu pun dibantu UNESCO. Sementara OMSAS sudah membahas sastra ke rumah-rumah, jauh 30 tahun sebelum program sastrawan masuk sekolah bergulir.

Uniknya lagi, OMSAS tak punya pengu­rus. Namun sebagai salah satu pusat kegiatan sastra di Sumut, OMSAS bisa eksis sekian puluh tahun. Itu artinya OMSAS merupakan ruang sastra yang membumi. Dibutuhkan sastrawan dan peminat sastra di Sumut. Meski diakui, pada 1990-an OMSAS sempat mati suri. Pada tahun itu, banyak energi sastrawan Sumut tersedot ke forum yang lebih formal.

Itu juga musabab, pada 2000-an, Mihar Harahap tergerak membangkitkan kembali OMSAS yang dinggap telah mampu mendinamisasi kehidupan sastra di Sumut itu.

Pada penyelenggaraan OMSAS 5 November 2017 lalu, Suyadi San dari Sanggar Generasi jadi tuan rumah, puluhan anak muda pegiat sastra bergabung bersama sejumlah sastrawan senior, termasuk aka­demisi. Gairah anak-anak muda untuk berdiskusi dengan yang senior memang cukup tergambar.

Konsepsi Masyarakat Urban

Damiri Mahmud tampil mengupas puisi karya tujuh penyair, junior dan senior, yakni puisi-puisi yang berisi konsepsi penyair terhadap masyarakat urban. Dari hasil pembacaannya, setidaknya ada beberapa sikap yang diperlihatkan penyair.

Pertama, penyair yang merasa asing, sunyi, teralienasi, memasang jarak dengan sesama masyarakat urban. Dalam puisi-puisi seperti ini, kata-kata seolah sedang semadi yang kadang jadi terlalu personal. Penyair yang masuk dalam kategori ini diwakili karya Wirja Taufan, Tak Siapa Kecuali Aku, Syafrizal Syahrun Pesan Ranting untuk Daun yang Gugur”, dan Sartika Sari lewat Fajar Enam Belas.

Kedua, penyair yang tidak bersikap abstain terhadap masyarakat urban, tidak pula menyisih dari kenyataan dari perubahan sosial yang dilihatnya. Penyair kemudian mengidentifikasikan diri ke dalam ma­syarakat urban. Puisi Andung-Andung Petualang karya Saut Situmorang dan Tanjung Balai Kukisah dalam Syair karya Nevatuhella, menurut Damiri masuk dalam kategori ini.

Ketiga, penyair yang ingin mengubah nilai kehidupan kaum urban yang dinilainya munafik. Penyair ingin menghidupkan kembali nilai-nilai tradisi atau kearifan lokal dalam masyarakat urban. Porman Wilson Manalu dengan puisi Amaniata masuk dalam kelompok ini.

Keempat, penyair yang memilih jadi pujangga di tengah kegalauan melihat keadaan negeri yang telah begitu rumit, kusut masai, bebas, dan kebablasan dengan segala harta kekayaan negeri yang seperti surga namun tinggal pinggan-pinggan kosong dijarah konglomerat dan pejabat serakah. Penyair lalu memilih bertindak sebagai empu, suatu peran yang dahulu memang dipegang para pujangga. Mem­bangkitkan semangat rakyat untuk meretas kabut, meretas huru-hara yang dilakukan para perusak sendi-sendi negara.

TSI Luara adalah penyair yang masuk kelompok ini sebagaimana tergambar dari puisi, Meretas Kabut.

Selain telaah puisi oleh Damiri Mahmud, sejumlah pelajar juga membaca puisi, Zuhair Azka (SMKN 1 Percut Sei Tuan), Mawardah (mahasiswa Unimed), Nevatuhella (penyair), Siamir Matulafau (dosen USU), Saiful Amri (guru), dan Araskan Sinulingga (UMN Alwasliyah). OMSAS juga diramaikan peluncuran buku kumpulan puisi, Pengantin Kabut Laut karya TSI Taura.

http://harian.analisadaily.com/cakrawala/news/bersastra-dari-rumah-ke-rumah/450134/2017/11/12

Sastrawan Batubara yang Terlupakan

$
0
0

Damiri Mahmud
Harian Analisa, 4 Nov 2012

Para seniman dan budayawan Kabupaten Batubara sangat terkesan mengingat kembali bahwa di daerah mereka Kabupaten Batubara yang dimekarkan dari Kabupaten Asahan pernah eksis seniman dan sastrawan besar yang selama ini seperti terlupakan. Seperti yang saya kemukakan dalam “Dialog Kebudayaan” yang digelar oleh Kadis Kebudayaan dan Pariwisata bertempat di Balai Resto baru-baru ini, para seniman dan sastrawan dari sini telah mengukir pena mereka dalam mengisi khazanah sastra Indonesia Modern.

Tambahan pula, ditilik dari sisi kebudayaan, Batubara memiliki rasa memiliki yang kuat. Sejak dari mulanya lagi, ketika wilayah ini mula dihuni awal abad ke-delapan-belas oleh lima klan: Lima Laras, Tanah Datar, Lima Puluh, Pesisir dan Suku Boga, memang sudah terpisah dari Asahan. Pada zaman penjajahan ketika dibentuk residensi Sumatera Timur, 1889, terdiri dari 5 Afdeling: Deli, Batubara, Asahan, Labuhan Batu, Bengkalis.

Daripada mencari perbedaan yang tak kunjung selesai, lebih baik bersatu menapaki jejak yang dirintis oleh para pendahulu. Tersebutlah misalnya, Syarif Anwar, bertempat tinggal di Tanjung Tiram, Batubara. Dia banyak menulis puisi tentang laut. Puisi-puisinya dimuat di Ruang Kebudayaan, Mimbar Umum, ketika itu diasuh oleh Aoh K. Hadimaja. Salah satu puisinya tentang laut berjudul Aku Raja Laut diikutkan Aoh dalam bukunya Beberapa Faham Angkatan 45. Buku itu ditulis Aoh menguatkan pendapatnya bahwa Angkatan 45 masih terus subur berkembang mengikuti tradisi penulisan Chairil Anwar. Dimasukkannya puisi S. Anwar dalam buku itu di antara sekian banyak puisi penyair Indonesia, karena puisi ini dan punya kualitas dan arti yang bernas untuk direnungkan.

Ada lagi HA Dharsono, seorang penyair yang banyak menulis di tahun 1950-an itu. Begitu juga Usman Al-Hudawi begitu banyak pula menulis cerita pendek di ruang-ruang kebudayaan Medan.

Dt. A. Azmansyah lahir di Lima Laras, Tanjung Tiram, Batubara, 29 Juni 1940. Menulis mulai tahun 1954. Karya-karyanya terutama berupa puisi dimuat di harian dan majalah, seperti “Analisa” dan “Waktu” terbitan Medan, “Panji Masyarakat”, “Mimbar Indonesia” (Jakarta), majalah “Basis” (Jogjakarta) dan majalah “Sastrawan” (Singapura). Puisi-puisinya terkumpul dalam beberapa antoloji seperti:

Bunga Laut, Tangkahan, Antologi Puisi Asean (Bali), Muara (Indonesia/Malaysia). Meraih juara lomba Cipta Puisi Hari Pahlawan Sumut (1959). Juara II Lomba Cipta Puisi se Sumut (TBM, 1981). Meraih Hadiah Kreatifitas Sastra DKM (1982).

Datuk Azmansyah, salah seorang ahli waris Istana Lima Laras. Selalu mengikuti berbagai kegiatan dan seminar sastra dan budaya di Indonesia dan Malaysia.

BY Tand, lahir di Indrapura, Batu Bara, 10 Agustus 1942. Kumpulan Sajaknya Sketsa memenangkan hadiah utama Puisi Putra II Malaysia, 1983, bersama dengan Sapardi Djoko Damono dari Indonesia dan Zurinah Hasan dari Malaysia. Kemenangan BY Tand ini cukup mengejutkan dan menggembirakan. Dia adalah penyair yang cukup menonjol di Indonesia. Puisi, esai dan cerpennya banyak dimuat di harian Waspada, Analisa, Mimbar Umum, Berita Buana, Republika dan terutama di Majalah Sastra Horison. Dia banyak menghadiri seminar di Medan, Jakarta dan di berbagai kota di Malaysia. Tahun 1984 dia membacakan puisinya secara tunggal di TIM Jakarta. Kepenyairan BY Tand menjadikan blantika kesusastraan di Sumatera Utara lebih diperhatikan. Beberapa karyanya diterjemahkan kedalam bahasa Inggris dan Belanda. Puisi-puisinya masuk dalam antoloji puisi para penyair terkemuka Indonesia: Tonggak, Horison Sastra Indonesia. Kumpulan sajaknya: Ketika Matahari Tertidur (1979), Sajak-sajak Diam (1983). Kumpulan cerpen Si Hitam terbit di Malaysia. Tahun 1982-1992 Lazuardi Anwar bersama BY Tand dan kawan-kawan mendirikan “Dialog Utara” suatu perhimpunan kerjasama dengan Gapena (Gabungan Persatuan Penulis Nasional Malaysia) yang menggelar pertemuan dwitahunan di Sumatera Utara dan Utara Malaysia. Pertemuan ini mendapat perhatian pemerintah kedua Negara serumpun.

Kumpulan Puisi Sketsa yang memenangkan hadiah utama di Malaysia itu belum pernah diterbitkan. Pnyairnya, BY Tand, telah meninggal dunia tahun 2001. Kita tak mengetahui lagi keberadaan naskah itu. Kita perlu menyiasatinya karena merupakan harta dan aset kebudayaan kita. Saya kira ada beberapa lagi karya BY Tand belum kita ketahui bagaimana nasibnya. Setelah dia meninggal dunia BY Tand seperti penyair yang terlupakan. Padahal semasa hidupnya dia telah berbuat untuk kesusastraan dan kebudayaan kita.

Begitu pula karya-karya Dt. A. Azmansyah belum terkumpul secara baik. Padahal beliau penyair yang produktip di masanya, sehingga puisi-puisinya cukup banyak juga. Bagaimana pula dengan karya-karya Usman Al-Hudawi. Beliau pun banyak menulis terutama cerita pendek. Begitu pula dengan karya-karya HA Dharsono, Syarif Anwar, A. Anwar dan Ananta Pinola serta Akhas Taufiq Rokan. Lebih disayangkan pula dengan karya-karya Haity Ibrahim. Dia adalah seorang pengarang perempuan, mungkin satu-satunya, pada masanya. Haity, penulis cerita pendek yang produktip dan bermutu. Jangankan karya-karyanya, bahkan keberadaannya pun sudah tidak lagi diketahui. Terakhir, sekitar tahun enam-puluhan, dia dikatakan pindah ke Jakarta. Pada masanya itu, karya-karyanya banyak dimuat di lembaran budaya “Mimbar Umum” sebuah media yang sangat memperhitungkan kualitas karya.

Sudah saatnya kita bekerja keras mencari jejak akan keberadaan karya-karya mereka yang tenggelam dan terlupakan, karena bagaimana pun di dalamnya tersimpan berbagai hal dan peristiwa yang perlu kita baca dan ketahui.

Ketika hari pertama “Dialog Kebudayaan” itu saya menyebut-nyebut nama Haity Ibrahim, seorang peserta dari Lima Laras, Yohanan, pensiunan Penilik Kebudayaan, menyebutkan Haity Ibrahim masih hidup dan menjadi tetangganya! Saya terkejut besar dan mohon kepada beliau supaya dapat mengajaknya. Saya memang banyak membaca cerpen beliau ketika masih remaja.

Besoknya muncullah seorang perempuan berkulit kuning langsat dengan gurat-gurat kecantikan masih tersisa di wajahnya, Haity Ibrahim. Segera saja pemandu acara mendaulatnya untuk membacakan karya-karyanya. Ada dua puisi yang kita sediakan dan kedua-duanya dibacakannya dengan vocal yang masih baik.

Haity merangkum kisahnya. Tahun 60-an dia diutus oleh Lembaga Kebudayaa Nasional (LKN) ke Jakarta kemudian bermukim di sana. Di sana katanya dia pernah belajar di IKJ dan latihan drama di bawah asuhan Teguh Karya. Setelah lebih tiga puluh tahun di Jakarta, atas permintaan keluarga, tahun 2000 Haity pulang ke Batubara.

“Saya sangat merindukan pertemuan seperti ini…” kesannya mengharukan. Dua belas tahun sudah pulang kampung, namun tak ada yang mengusiknya. Padahal, katanya, dia bersedia melatih para remaja dari ilmu yang didapatnya dari Teguh Karya. Luar biasa!

“Kami sering teriak berdua-dua di pinggir pantai membaca puisi.” Kata Yohanan tertawa ketika ngobrol.

Asro Kamal Rokan lahir di Simpang Dolok, Batubara, 24 Desember 1960. Menulis puisi dan cerpen. Asro membacakan cerpen-cerpennya secara tunggal di Taman Budaya, Medan. Tahun 1984 dia mewawancarai Damiri Mahmud tentang eksistensi sastra di Sumatera Utara, dimuat di “Merdeka”, Jakarta. Wawancara itu memancing polemik besar dan berkepanjangan dan disudahi dengan menggelar Seminar Sehari di Taman Budaya, Medan. Dia hijrah ke Jakarta, 1986, bekerja di Harian Merdeka. Kemudian di Harian Republika, menjadi Pemimpin Redaksi (2003-2005). Pada Juli 2005 Asro menerima Keppres dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Pemimpin Umum LKBN Antara (2005-2007). Kini, Asro bertugas sebagai Dewan Pengawas LKBN Antara dan Special Envoy for General Affair Organization of Asia Pacific News Agencies (OANA). Untuk tugas-tugasnya itu, Asro harus selalu melawat ke luar negeri. Ketika saya menghubunginya supaya dapat hadir dalam dialog ini, Asro mengatakan, bertepatan sekali dia akan berangkat ke Amerika (Sabtu, 20 Okt.) dan baru kembali tanggal 30 Okt.

Melihat potensi besar para seniman dan budayawan yang nyaris tak dikenal dan terlupakan oleh masyarakat Batubara sendiri, para budayawan yang berdialog di Balai Resto itu sepakat akan membuat berbagai kegiatan. Bersama pihak pemerintah (diwakili Asisten II Bupati Batubara, H. Helman Herdady, SH, MAP) para budayawan itu akan menggelar kegiatan masuk sekolah, lomba baca puisi, dan yang tak kurang pentingnya akan memberikan reward atau penghargaan seni kepada para sastrawan yang ikut mengukir dan mengharumkan nama Batubara. Semoga.

http://www.analisadaily.com/news/read/2012/11/04/85376/sastrawan_batubara_yang_terlupakan/#.UNDVfKx2Na8

Kini, Kritik Kritikus Sastra Sumut

$
0
0

Mihar Harahap
Harian Analisa, 4 Nov 2012

Kini, kembang kritik kritikus sastra Indonesia modern di Sumut, mengapa kuncup? Setidaknya ada 3 hal. Pertama, sejumlah kritikus telah meninggal dunia, misal B. Y. Tand, Herman KS, Ahmad Samin Siregar dan Antilan Purba. Tinggallah Damiri Mahmud, Mihar Harahap, Shafwan Hadi Umry dan yang istirahat. Untung, muncul angkatan baru seperti Yulhasni, Afrion, Suyadi San, Jones Gultom, Budi P.Hatees dan lainnya. Kritik sastra pun mengalir, walau tekanan arus tak sederas masa lalu.

Kedua, para kritikus jarang membicarakan karya sastra Sumatera Utara, apalagi karya anak muda, kecuali anak muda itu sendiri. Entah karena temperamen, multi etnis atau apa -barangkali perlu penelitian- tampaknya kritik sastra dengan karya sastra dalam beberapa angkatan agak berjarak. Contohnya, angkatan 80-an dan 2000-an terasa berjarak dengan angkatan sebelumnya. Dampaknya, generasi Sugeng Satya Dharma dan Hasan Al Bana lahir sendiri tanpa diantar kritik kritikus sastra.

Ketiga, para kritikus umumnya adalah para pencipta (pemuisi, pecerpen, penovel, pengesai dan penaskah drama). Berfungsi ganda memang bermanfaat untuk menambah pengalaman mencipta, pengayaan dan pendalaman, sehingga lahirlah kritik dan karya sastra yang pilihan dan bukan asalan. Kenyataan dan kebanyakan, pengarang terlena dengan kemeriahan (mengarang apa yang dia bisa) akan tetapi lupa dengan keutamaan (bagaimana mengkritik karya sastra itu dengan baik).

Kritik kritikus sastra Indonesia modern di Sumut dewasa ini, dapat dilihat dari 3 tempat yakni di kampus, buku-buku dan koran Di kampus, misalnya UNIMED, USU, UISU, UMSU, UMN dan NOMENSEN. Contoh, skripsi mahasiswa UISU, Habibah, 2008, “Mengapresiasi Cerpen Wanita Muda di Sebuah Hotel Mewah karya Hamsad Rangkuti” dan Rini Iriani Siregar, 2011, “Pembelajaran Metode Partisipatif Terhadap Nilai Budaya Cerpen Perawan Dari Pantai Karya Sulaiman Sambas”.

Habibah mengurai tema, plot, setting, penokohan/perwatakan, point of view dan stilistika. Rini pula dapat menemukan nilai-nilai sosial, budaya, ekonomi serta agama. Kedua peneliti tingkat sarjana ini mengulas cerpen dengan sederhana, hati-hati dan teoretis. Selain itu, ada diktat, jurnal, majalah dan makalah seminar. Semuanya, merupakan hasil penelitian/pengamatan dari dan untuk kepentingan akademik.

Kemudian, buku-buku kritik kritikus.Contoh, buku “Kompleksitas Sastra Indonesia” karya Antilan Purba, USU Press, 2007. Dalam buku, dia mengatakan puisi “Tanpa Kata” A.Rahim Qahhar adalah puisi kontemporer. Alasannya, mengutip Rachmat Djoko Pradopo, antara lain bergaya mantra, bereduplikasi kata, frasa, kalimat, imajis dan simbolis. Saya heran, mengapa mentang-mentang ada reduplikasi kata atau frasa dalam puisi itu, lantas disebut puisi kontemporer?

Apa iya puisi bergaya mantra (bagaimana gaya lain atau mengapa karena gaya) disebut puisi kontemporer? Ada apa Rchmat membuat 15 ciri puisi kontemporer layaknya mode puisi Sutardji Calzoum Bachri? Ataukah Antilan yang keliru mengutip menafsir dan memetakan pendapat orang demi kepentingan bukunya? Bahkan keliru menandai puisi Rahim bergaya mantra (bereduplikasi kata/frasa), imajis, simbolis, sementara pengucapan puisinya sebenarnya normatif, lugas dan konkrit.

Buku Menafsir Kembali Amir Hamzah karya Damiri Mahmud, BPAD, 20-12, terbit mengejutkan. Dia menolak H.B.Jassin, A.H. Johns, A.Teeuw, Sutan Takdir Alisjahbana dan Abdul Hadi W. M. bahwa antologi Nyanyi Sunyi terutama puisi Padamu Jua karya Amir Hamzah bertema religi, ketuhanan bahkan sufistis. Padahal menurutnya, bertema cinta (semisal cinta Amir pada kekasihnya Ilik Sundari atau Aja Bun) yang kandas di tengah jalan akibat persoalan keluarga, politik dan ekonomi.

Sayangnya Damiri tak mengurai Padamu Jua dan puisi lain dalam antologi itu secara perbaris perbait berurutan. Malah kembang ke kanan-kiri menyinggung pemuisi lain. Unsur-unsur pendekatan (strukturalisme-ekspresionisme) yang digunakan tak jelas diungkapkan. Apalagi ‘daftar isi’ pun tak membantu. Akibatnya, sangat mengganggu pembaca untuk memahami, merasakan dan mendalami ide-ide baru penulis buku.

Selanjutnya, kritik kritikus sastra di koran. Berbagai harian seperti Analisa, Waspada, Sinar Indonesia Baru, Mimbar Umum, Medan Bisnis, Sumut Pos, Jurnal Medan, memiliki rubrik budaya, sastra termasuk kritiknya. Bahkan terasa lebih semarak dibanding di kampus dan di buku. Meski ada pengarah, penguji, pengantar, editor skripsi, tesis dan buku, tetapi para redaktur di koran dapat bertindak lebih dinamis, ketat dan cepat menilai kritik sastra yang layak muat atau tidak.

Contoh kritik sastra itu adalah tulisanYulhasni, Mihar Harahap, Damiri Mahmud,T.Agus Khaidir, Supri Harahap dan Budi P.Hatees tentang antologi cerpen”Sam- pan Zulaiha” (SZ) karya Hasan Al Bana (Analisa-Waspada 2011-2012). Yulhasni menemukan SZ, Metamorfosis Puisi Dalam Cerpen (Waspada,01-01-2011) yakni 1).tema/karakter kedaerahan Tapsel dan 2). memindahkan kaidah puisi ke dalam bentuk cerpen. Entah mengapa, dia hanya mengurai hal kedua, 4 dari 14 cerpen yang ada.

Dalam pemindahan, dia 1). menyetir persamaan-perbedaan Rumah Amangboru dengan cerpen Ibu Senang Duduk Depan Warung, karya Jujur Pranoto, 2). menca tat pemakaian majas dan bahasa komunikasi ala Medan, 3). melihat kekuatan-kelemahan cerpen bagi pembaca awam.

Terus terang, saya kecewa dengan temuannya ini, karena tak mengurai SZ dengan metode/pendekatan frankfurt bersama tokohnya Jurgen Habermas, yang katanya lebih baik, kekinian dan tidak ketinggalan zaman.

Damiri Mahmud menulis “Muatan Lokal atau Gaya yang Membius”(Analisa, 15-07-2012). Simpulannya 1). cerpen Hasan bukan bermuatan lokal dan 2). Bergaya bahasa membius, tetapi bisa meracuni. Ternyata, simpulan ini memicu polemik, kecuali tulisan Supri Harahap “Tradisi Lisan atau Muatan Lokal” (Analisa, 29-07-2012). Dia lebih suka istilah tradisi lisan ketimbang muatan lokal sambil menegaskan Mandailing adalah Batak juga serta kelihatan mendukung tulisan Damiri.

Polemik Damiri dengan Mihar Harahap diikuti T.Agus Khaidir. Tanya Agus, apa hubungan nihilisme dengan SZ dan di mana letak absurditas cerpen Hasan, seraya mengulas pertanyaannya sendiri (Analisa, 26-08-2012). Mengingat itu, Budi P.Hatees tegas menyebut Damiri hanya menyoroti pribadi Hasan dan bukan karyanya (Analisa, 02-09-2012). Bahkan menolak pernyataannya tentang istilah ‘pelancong’, isi lebih uta-ma dari bentuk dan terlalu membesar-besarkan (Analisa, 16-09-2012).

Bagi saya, tak menarik mengeritik tema/sub tema, termasuk soal benar apa salah tentang mulok, urban dan lainnya. Bukan tak perlu, sebab tema sama pentingnya dengan bentuk. Hanya, bentuk lebih menuntut kretifitas. Kalau tema mengenai apa, siapa, mengapa cerita itu, sedang bentuk mengenai bagaimana cerita itu diceritakan. Bahkan saya beranggapan, keberhasilan cerpen cenderung ditentukan akan kebolehan bentuknya daripada keberatan/kebesaran temanya.

Oleh karena itulah, saya melihat cerpen yang terhimpun dalam antologi SZ ini berhasil, karena kebolehan bentuknya yang memikat, memesona, melebihi temanya yang kebetulan sederhana dan biasa-biasa saja. Barangkali, di sinilah letak perbedaan interpretasi dan pandangan saya dengan Damiri, sehingga harus berpolemik. Jika Damiri memandang cerpen Hasan adalah gagal, maka saya sebaliknya, adalah berhasil karena kekuatan bentuknya yang memikat, memesona pembaca itu.

Kesimpulan, pertama, kritik kritikus sastra Indonesia modern di Sumatera Utara dewasa ini, tetap ada, walau keadaannya mengalir begitu saja, kecuali sesekali datang secara mengejutkan. Meski ‘kritikus lama’ hilang dimakan usia atau ditelan masa, akan tetapi ‘kritikus baru’ muncul satu-satu. Hanya, perlu dicari kritikus sastra yang benar-benar serius, kontinu dan konsisten. Saya melihat pertumbuhan komunitas sastra sekarang ini dapat menampung dan mendukung usaha pencarian ini.

Kedua, kritik kritikus sastra Indonesia modern di Sumatera Utara dewasa ini dapat dilihat dari tiga tempat, dalam kampus, buku-buku dan koran-koran. Tempat yang semarak adalah di koran-koran ketimbang di dalam kampus dan di buku-buku. Sebab, pertumbuhan kritik sastra di dalam kampus dan buku-buku didasari oleh kepentingan akademik dan ekonomik, sedang di koran-koran lebih kepada kualitas murni sastra di mana nilai akademik dan ekonomik hanyalah dampak positifnya.

*) Penulis Kritikus Sastra dan Dekan FKIP-UIU Medan. http://www.analisadaily.com/news/read/2012/11/04/85375/kini_kritik_kritikus_sastra_sumut/#.UNd_Bqx2Na8

Pelaku Seni Sastra Sebut Disbudpar Jawa Timur Tidak Manusiawi

$
0
0

Reporter: Haris Saputra
mediajatim.com/2018/02/22

Sejumlah pelaku seni sastra di Jawa Timur mengaku kecewa kepada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur. Pasalnya, para pegiat sastra se Jawa Timur yang diundang mengikuti Training of Trainer (ToT) merasa tidak dihargai setelah hanya menerima uang Rp. 100.000 sebagai pengganti transportasi.

“Jangan berbicara soal sastra dulu bila Disbudpar tidak bisa menanusiakan manusia. Ini jelas pelecehan terhadap pelaku sastra Jawa Timur sendiri,” kata Timur Budi Raja, salah satu Peserta ToT.

Ya, Selasa dan Rabu, 20-21 Februari 2018, Disbudpar Jawa Timur mengundang sejumlah pelaku seni sastra; penulis, guru, sastrawan dan komunitas dari berbagai kabupaten di Jawa Timur untuk mengikuti ToT Bidang Seni Sastra dalam rangka meningkatkan geliat sastra di berbagai kabupaten di Jawa Timur.

Muhammad Lefand, Sastrawan asal Kabupaten Jember, merasa sangat dirugikan. Dua hari meninggalkan pekerjaannya sebagai guru hanya untuk menghadiri undangan tersebut. Apalagi, biaya transportasi dari penyelenggara separuh dari biaya transportasi yang ia keluarkan dari Jember-Surabaya.

“Ongkos bis Pulang-Pergi saja Jember-Surabaya saja sudah 120 ribu. Belum masih ongkos taksi ke tempat acara. Saya yakin mereka yang dari Banyuwangi, Situbondo, Bondowoso, Trenggalek, Pacitan, Tuban, Sumenep, Pamekasan dan kabupaten lainnya merasakan nasib yang sama,” jelasnya.

Para pelaku sastra hanya ingin diposisikan layaknya manusia. Pemberian transportasi yang tidak layak tersebut dipandang sebagai sikap memandang remeh dan sepele terhadap para pelaku sastra.

“Panitia tidak memandang masa tempuh perjalanan kami ke lokasi acara, tidak memandang urusan-urasan pekerjaan yang sengaja ditinggalkan demi menghadiri acara, dan tidak memandang tanggung jawab rumah tangga yang kamu tinggalkan selama dua hari,” tambahnya.

Berkenaan dengan hal tersebut, para pelaku seni sastra yang diundang dan merasa sudah dirugikan akan melakukan beberapa langkah di antaranya: menyampaikan keberatan persoalan tersebut secara tertulis kepada Disbudpar Jawa Timur, melayangkan surat terbuka kepada Guberur Jawa Timur, dan menginformasikan secara luas ke seluruh masyarakat melalui media massa.

http://mediajatim.com/2018/02/22/pelaku-seni-sastra-sebut-disbudpar-jawa-timur-tidak-manusiawi/

Surat Terbuka Timur Budi Raja untuk Koordinnator Umum TOT

$
0
0

Bapak Mukid, Koordinnator Umum TOT yang saya hormati…

Saya, Timur Budi Raja, mewakili teman-teman yang kemarin mengikuti pelatihan TOT (Training Of Trainer) yang diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur.

Program Disbudpar kemarin, menurut hemat saya, bila ukurannya adalah mendatangkan penulis dan guru di bidang terkait se-Jawa Timur, tentu bisa dikatakan sukses.

Antusiasme yang bisa dimaknai dari kehadiran kurang lebih 70 orang peserta dari beberapa kabupaten di Jawa Timur, setidaknya sudah cukup menjelaskan bahwa program ini disambut hangat dan baik oleh kawan-kawan penulis Jawa Timur.

Nama-nama yang terdapat di dalam list peserta adalah nama-nama yang memang berkecimpung di dunia tulis menulis. Acara berakhir baik, (meski pun kredibilitas kegiatan masih banyak yang perlu dipersoalkan di sana-sini).

Tapi benarkah kegiatan yang diselenggarakan di Hotel Utami yang memakan waktu tempo dua hari tersebut meninggalkan catatan baik bagi para peserta?

Tidak. Terlalu banyak kekecewaan dan catatan buruk dari peserta atas perlakuan panitia penyelenggara kegiatan yang melibatkan nama instansi pemerintahan di Jawa Timur ini.

Bahwa, panitia penyelenggara tampak memandang remeh dan sepele terhadap kami, para penulis yang diundang melalui surat resmi atas level Pemprov Jatim.

Ini dapat dilihat dari bagaimana sikap pihak panitia yang tidak mempertimbangkan masa tempuh perjalanan kami dari rumah masing-masing ke lokasi kegiatan diselenggarakan.

Pihak panitia kami pandang cenderung menafikan urusan-urusan kami yang kami tiadakan atau kami batalkan demi mendahulukan undangan ini dan terasa menyepelekan tanggung jawab rumah tangga yang kami tinggalkan selama dua hari penuh, dsb…

Kami mohon penjelasan dan pertanggungjawaban pihak penyelenggara sebagai pihak pengundang dalam hal ini dengan teramat sangat, sebab kami tak sedang bermain-main.

Negara ini sudah dipenuhi oleh begitu banyak tukang sulap dan para penyihir. Jangan beri kami bekal marah lebih dari ini untuk tak percaya dan kemudian menjadi sikap antipati pada akhirnya. Kami, peserta kegiatan TOT siap mengembalikan semua yang kami terima selama dua hari.

Kami menuntut transparansi terkait pengelolaan anggaran program ini. Kami membutuhkan penjelasan dan pertanggungjawaban tentang bagaimana sebenarnya sastra didudukkan dalam motivasi dan orientasi program ini, serta bagaimana para penulis akan diperlakukan.

Penjelasan dan pertanggungjawaban pihak penyelenggara kegiatan dalam bentuk apa pun, kami yakini akan menjelaskan, bagaimana kebudayaan diposisikan di ranah pembangunan, sebermula pemahaman para pengelola kebijakan yang ada.

Sebab kami para penulis, merupakan bagian yang juga tak pantas disepelekan di republik ini.

Mewakili teman-teman penulis peserta TOT,
Timur Budi Raja_
https://www.facebook.com/timurbudiraja1

Viewing all 2226 articles
Browse latest View live