Quantcast
Channel: Sastra-Indonesia.com
Viewing all 2226 articles
Browse latest View live

Antara Sastrawan dan Kritikus Sastra

$
0
0

Candra Adikara Irawan

“Jurnalisme Diam Sastra Bicara” (Seno Gumira Ajidarma)

Sehabis magrib, lampu padam. Ublik-ublik kecil menyala di atas meja-meja, membingkai lukisan-lukisan yang terpampang di dinding, hingga kami menikmati menunggu dengan saling bercakap di keremangan. Tak berapa lama, lampu menyala dan Mas Andhi Setyo Wibowo berkabar bahwa Pak Lik Rakhmat Giryadi sudah datang. Dimulailah, Selasastra #5 di Boenga Ketjil, membahas tentang kumpulan cerpen Pak Lik Giryadi yang berjudul “Mengenang Kota yang Hilang”.

Dan yang bertugas sebagai pembandingnya adalah ahli kodikologi, Mas Agus Sulton. Pak Cucuk SP membuka sesi pertemuan itu dengan membacakan sekilas cuplikan cerpen berjudul “Panu Pak Lurah”, yang lantas disambut uraian kritik dari Mas Agus Sulton. Secara singkat, Mas Agus mengkritisi tentang logika penulisan cerpen yang cenderung melompat-lompat dan teknik penulisan (berkaitan dengan konvensi bahasa,khususnya tanda baca). Pembahasan mulai mengeruh ketika Pak Binhad, Pak Robin, dan yang lainnya mulai menyinggung tentang idealisme dalam berproses kreatif ala Pak Lik Giryadi.

Maka munculah pertanyaan; bagaimana Pak Lik Giryadi mempertahankan idealismenya untuk menulis cerpen dengan gaya penulisan yang cenderung dramatik? Apakah ada misi tertentu ketika memasukan jurnalisme dalam karya sastra, seperti kata SGA “Jurnalisme diam, sastra bicara”?

Jika disederhanakan kira-kira, seperti ini jawabannya; sebagai seorang sarjana seni rupa yang bergelut dengan seni teater, maka kecenderungan untuk menciptakan sebuah cerpen yang dramatik mengalir begitu saja. Bahkan ketika Pak Binhad dan Pak Cucuk menyinggung tentang sastra filosofis, Pak Lik justru tertawa. Terkait dengan jurnalisme sastra, Pak Lik justru melempar balik pertanyaan,dengan ungkapan yang mempertanyakan pernyataan SGA tersebut. Seperti ini kira-kira; apakah fakta yang dijadikan sebagai karya fiksi bisa dianggap sebagai fakta atau fiksi? Bukankah fakta dan fiksi itu sendiri saling membaur?

Tidak ada jawaban yang jelas. Tapi diskusi berlanjut pada pernyataan Mas Sulton yang menyinggung tentang teknik penulisan, yang kemudian melebar pada pembahasan berbagai teori sastra sampai kritikus sastra; Pentingkah pengetahuan teori (postmodernisme, dll) dalam proses kreatif menulis cerpen? Bagaimana peranan kritikus sastra di mata sastrawan?

Lagi-lagi tak ada jawaban yang disepakati. Mas Agus sebagai seorang kritikus mengatakan bahwa teori dalam penulisan sastra itu penting. Sedangkan, di sisi lain Pak Lik, Pak Binhad, dan Pak Cucuk meyakini yang sebaliknya; Bagi sastrawan menulis adalah menulis. Tidak tahu teori sastra berarti kelebihan karena bisa menulis tanpa beban.Sampai kemudian muncul pernyataan dari Pak Binhad; Teori muncul dari karya sastra, harusnya semakin aneh wujudnya maka akan melahirkan teori baru.

Perdebatan tentang teknik penulisan masih berlanjut, ketika tiba-tiba muncul dalam ingatan saya tentang salah satu persyaratan tangkai penulisan cerpen Peksimida IX Jatim, di UB, yang salah satu dewan jurinya adalah Pak Lik Giryadi; Penulisan naskah harus sesuai dengan EYD. Bukankah itu tentang teknik? Lalu apakah saat melakukan penjurian, teknis itu tidak terlalu penting?

“Yang terpenting adalah cerita itu sendiri. Masalah EYD adalah formalitas yang harus tetap disampaikan walaupun tidak menjadi acuan utama,” begitu kira-kira jawaban Pak Lik yang, konon, merasa kepepet dengan pertanyaan itu.

Kekeruhan sebenarnya belum menemui titik konvensi. Ah, tapi malam yang semakin larut merayu untuk menyudahi perbincangan. Moderator tak kuasa menyimpulkan, hanya berujar; semoga perbincangan ini bermanfaat. Semua orang tertawa. Diam-diam rasanya saya memutuskan sendiri dalam hati; sastrawan dan kritikus begitu dekat tapi bisa jadi mereka tak saling merasa dekat karena persoalan idealisme masing-masing.Tapi yang jelas mereka dekat.

Sastrawan tanpa kritikus, tak akan berkembang. Kritikus tanpa sastrawan, mau apa? Ah, pikiran ini rasanya keruh. Tapi, bukankah begitu yang seharusnya? Entahlah, yang jelas konon katanya pertanyaan yang baik selalu melahirkan jawaban dan pertanyaan baru. Kami pulang, membawa jawaban dan pertanyaan yang jawabannya mungkin ada di tempat lain. Nun jauh di sana. Malam yang keruh, malam yang riuh.

Mojosongo, 25 Mei 2016
https://selasastrain.blogspot.co.id/2018/02/antara-sastrawan-dan-kritikus-sastra.html


Usaha Mencintai Hujan; Usaha Mencintaimu

$
0
0

Khoshshol Fairuz *

“Sungguh aku mencintaimu hujan, meski kemarau tlah mengubur kenangan, aku ingin memelukmu sederas hujan hari ini.” Satu paragraf dari saduran puisi dengan judul yang sama mengawali buku sekumpulan 95 puisi R. Giryadi ini menggambarkan seluruh isinya, seolah penyair ini ingin mengatakan, hujan adalah hidupku. Tapi dicekal makna dan mengalami penyempitan, maka cukuplah Usaha (untuk) Mencintai Hujan.

Puisi-puisinya banyak bernuansa kritik sosial (tikungan, orang asing, bukan negeri dongeng, jakarta, dll), tentang kedalaman kontemplasi (judul yang mengandung kata ‘hujan’), kesadaran literasi (buku, di perpustakaan), kesederhanaan (kalangan—bandar), cinta (surat penyair dan balasannya, sajak bisu buat ibu). Dll.

Dominasi ‘hujan’ sebagai acuan judul buku ini mengandung makna implisit yang sangat kuat dan perenungan yang dalam, ini ditandai dengan puisi dengan judul yang sama:

Usaha Mencintai Hujan

Sesungguhnya aku mencintai hujan dengan segala laknat yang menyerta…Lalu tubuh pun lumer oleh ingatan tentang kota yang tiba-tiba pergi entah kemana
Atau tentang dirimu yang hilang pada rimba hujan…Aku mencintaimu meski kemarau begitu panjang membakar ilalang yang bertumbuhan di tubuhku. Aku mencoba menyemai gerimis, meski di mataku geluduk memusnahkan keceriaan masa lalu.

Usaha nyata mencintai adalah penerimaan segala konsekuensi, meskipun yang dicintainya hanya ingatan, atau tanpa bekas. Tentang ada tidaknya sesuatu untuk dicintai, terlepas dari alpa dan hadirnya, bagi R Giryadi cinta adalah totalitas penyerahan hati tanpa ekspektasi kembali.

Seperti pada umumnya penyair Jawa, dalam buku ini R. Giryadi sesekali menunjukkan ke-Jawa-annya lewat pemilihan diksi-diksi berbahasa Jawa, semisal geluduk (hujan pagi ini 2), kalis (laut). Bahkan ia menyisipkan kosa kata asli jawa yang tidak ditemukan dalam KBBI, seperti medingkrang (kalangan), ngithit (bandar), mblobor (kata-kata hujan), disubya-subya (surat penyair), nonggeret (kemarau bulan juni). Seolah ada makna yang gagal disampaikan melalui puisi jika mengadopsi kosakata dalam bahasa Indonesia, memutuskan menggunakan kosakata jawa merupakan penguatan makna dan identitas diri.

Beberapa kali kita akan menemukan puisi dengan nuansa agraria, seperti dalam Hujan Kenangan yang bertitimangsa di Sumenep, Madura, penulis mencatut pohon gayam. Gayam yang berasal dari kata “ga” atau gayuh (mencari), sedangkan potongan kata “yam” yakni simbolisasi dari kata ayem (tenang). Mungkin sangat tidak familiar bagi kita orang-orang modern mengingat sangat jarangnya pemanfaatan buahnya yang harus melalui proses sebelum dimakan, akan tetapi memliki makna filosofis yang kuat, selain gayam ada trembesi dan perdu yang ditulis juga.

Sedikitnya tiga buah puisi yang bercerita lautan, menimbulkan tanya yang kuat, penulis menyukai hujan tapi tidak menuliskan banyak tentang laut dan pantai-pantainya. Padahal secara geografis daerah kelahiran R. Giryadi, Blitar, memiliki pantai eksotis, pun secara ilmiah hujan tidak akan ada tanpa proses penguapan laut. Terjadi kerumpangan, atau mungkin penulis hanya menyampaikan pesan lewat hujan saja, sebab keadilan puisi bisa jadi hanya terletak pada kefokusan obyek tunggal untuk dicintai. Tidak dicantumkannya nama Umbul Waaru, Serang, Pangi, dsb sebagai salah satu ciri khas Blitar menunjukkan bahwa penyair mencintai lautan lebih luas daripada samuderanya, dengan cinta yang entah. Ketidakikutsertaan tokoh nomor satu Indonesia juga memancing tanya, kemana sebenarnya arah puisi putra Blitar ini?

Penjelasan selanjutnya kita berada dalam kondisi spekulatif soal sejauh mana kadar licencia poetica dari seorang R. Giryadi. Pertama, ada dua judul puisi yang sama, bait awal hingga tengah sama, namun memiliki ending yang berbeda. Dua puisi itu adalah; Dongeng Pohon. Keduanya sama persis, yang membedakan adalah bait akhir dan dua gambar ember yang letaknya berbeda (ember-ember ini akan dibahas selanjutnya). Lazimnya ada aturan setiap puisi itu tercipta, akan tetapi penyair boleh melabrak kaidah bahasa selama masih menimbulkan estetika tersendiri, hal ini kemudian yang populer dengan nama licencia poetica atau legitimasi kebebasan khusus dari dunia sastra untuk para penyair. Juga, interpretasi yang bervariasi membuat puisi bersifat kontemporer, berbagai asumsi justru membuat puisi menemukan jiwanya sendiri.

Menarik ketika kita lirik desain simple dari buku Usaha Mencintai Hujan ini, ketika membuka halaman demi halaman kita akan menjumpai ada ember dengan berbagai ukuran dan posisi penempatannya, ada beberapa namun tidak semua puisi ‘diberi’ ember. Kalau tanpa tujuan dan memiliki nilai estetika tersendiri, untuk mengisi ruang kosong tanpa bait puisi kah? Mari kita petakan dari awal; hujan hanya membawa tetes, dan tetesan itu biasa tertampung dalam ember. Hujan adalah sesuatu yang disampaikan penulis, dan ember adalah ekspektasi penulis supaya pembaca bersikap bijak seperti penempatan dan jumlah ember.

Ember pertama kecil, diikuti potongan puisi Usaha Mencintai Hujan; ember kedua besar, penulis berharap dengan kemampuan pembaca yang kecil bisa menampung manfaat dan cinta yang besar; ember ketiga Pada Suatu Hari menengadah ke atas, memiliki filosofi penerimaan yang luas; ember pada puisi Bandar, kecil dan terletak di pinggir, supaya mengesampingkan nasib dan mendahulukan usaha; Pelayaran Perahu Kecil diakhiri tiga ember yang bila ditelisik akan menggambarkan betapa perlunya kita lebih dari satu ember untuk menampung perjalanan hujan kehidupan; Homo Corruptikus adalah spesies baru sejarah manusia, memiliki 3 ember yang menghadap samping seolah enggan menerima tetes praktik KKN dan usaha membuangnya; satu ember menyerong diagonal pada puisi Dongeng Pohon bermakna pilihan; begitu seterusnya hingga dituntaskan oleh ember berisi bunga mekar hasil cintanya kepada hujan: Sajak Bisu Buat Ibu.

Upaya R. Giryadi memposisikan puisi-puisinya juga terbilang ngestetika; kumpulan puisi dengan dasar kata ‘hujan’ menjadi skenario panjang yang disusun dengan teka-teki cinta. Begitu juga dengan 11 kemarau sengaja ditulis tak berurutan, dimulai dari Kemarau (16), (15), dst. Dalam puisi kemarau itu ditulis dengan menghitung mundur; ada upaya pengembalian ingatan dan memori saat musim kerontang. Rupanya penulis tak berhenti sampai sana, ada sekumpulan puisi dengan judul yang sama dan hanya dibedakan oleh angka saja; Retorika Hujan 13, 6, 4, 2 ,ini akan menjadi masalah ketika kita berbicara matematika, akan tetapi penulis mampu mengkotak-kotakkan kepala kita untuk mencari keindahan dan maknanya, dalam retorika hujan hanya ada satu angka yang bukan bilangan genap yaitu 13, penulis ingin menyempurnakan keganjilan dalam kehidupan dengan membiarkan 6, 4, 2 menggenapi sisi-sisi yang rumpang.

Pada akhirnya Usaha Mencintai Hujan telah sampai kepada Sajak Bisu Buat Ibu, sekumpulan puisi tentang ingatan dan kegundahan hati mencapai ember yang disediakan oleh ibu penyair. Penutupan rasa dari R. Giryadi dari usaha mencintai hujan yang memuarakan cinta kepada ibunya:

Ibu.
Ijinkan aku menjadi batu … aku hanya bisa jadi batu, ibu
Dari musim ke musim di kota ini, walau irama dongengmu selalu menghantuiku setiap malam.
Lik Gir, selamat! Hujan yang engkau cinta, tlah tuntas menggenangi dada.
***

*) Murid CEO Boenga Ketjil, Andhi Setyo Wibowo (Andhi Kephix).
https://selasastrain.blogspot.co.id/2018/02/usaha-mencintai-hujan-usaha-mencintaimu.html

FOLKLOR, SEJARAH LISAN, DAN REKONSTRUKSI SEJARAH *

$
0
0

Dian Sukarno **

Bismillah alhamdulillah, saya mendapat undangan istimewa untuk bertemu anak-anak muda yang melampaui zamannya. Saya katakan demikian, karena kebesaran Nusantara telah memanggil anak-anaknya untuk menampakkan wujud aslinya sebagai mercusuar dunia. Penduduk surgawi sebagaimana dikatakan oleh Syech Ahmad Saltut, seorang ulama Mesir yang berkunjung di era Presiden Soekarno, yang memapar dalam ungkapan penuh takjub; Indonesia adalah sekeping tanah surga yang diturunkan Tuhan ke dunia. Celetuk kekaguman itu bukanlah tanpa alasan, mengingat hamparan bumi, luasan langit, bentangan peristiwa, hingga plasmanutfah atau kekayaan alamnya menjadi yang terpenting bagi kelangsungan seluruh makhluk di permukaan bumi. Maka, tidak mengherankan jika Nusantara menjadi ajang perseteruan abadi para perompak berbaju modern, mulai bangsa Eropa, Amerika, hingga jazirah padang savana Mongol yang menginginkan Nusantara tunduk di hadapan duli tuannya.

Upaya-upaya pengerdilan berlangsung sangat lama dan mendarah daging, hingga kepercayaan diri menjadi titik nadir dan cenderung melupakan kebesaran pencapaian luhur nenek moyang, embah buyut, dan para winasis/ cerdik pandai. Generasi muda, para wanita, dan anak-anak disasar dengan logika-logika metodologi penulisan sejarah barat yang cenderung seenak udel menyisipkan kajian ala sudut pandang mereka. Dan anehnya diamini secara beramai-ramai oleh “kaum cendekia” dengan fanatisme mazhab keilmuannya. Sehingga…bangsa Nusantara dianggap jahiliyah, karena menganut animisme dan dinamisme. Semprul bin gendheng! Sedangkan aslinya adalah kepercayaan kapitayan yang mengejawantah dalam keyakinan Tuhan Yang Maha Tunggal.

Keyakinan kapitayan tidak terlepas dari pemahaman Ketuhanan yang dibawa para Nabi. Dan semakin banyak fakta ditemukan, kian membuktikan bahwa Kapitayan ternyata bersimbiosis dengan pemahaman Islam ala Nusantara telah ada ribuan tahun yang silam. Sejak era agama samawi yang dibawa abul anbiya Kanjeng Nabi Ibrahim. Paparan data yang selama ini kita kenal berupa bukti nisan dan jirat atau kijing dalam bahasa Jawa pada makam kuna di Leran, perbatasan antara Lamongan dan Gresik, sebenarnya adalah bukti arkeologis masa sesudahnya, atau lebih muda dari sejumlah temuan yang akan membuat kita tercengang. Ketercengangan itu semoga menjadi awal yang indah, karena kita tersadar sebenarnya para pendahulu atau nenek moyang Nusantara adalah penganut Islam yang dibawa Kanjeng Nabi Ibrahim atau lebih dikenal dengan millatu Ibrahim. Dan bukan Hindu – Budha yang didengung-dengungkan para sejarawan Barat. Kesaksian bahwa religi yang berkembang di Nusantara adalah agama Abraham, Ibrahim atau millatu Ibrahim, terdapat dalam catatan Fa Xian atau Fa Shien usai melakukan muhibah/ perjalanan dari India sekitar tahun ketujuh pemerintahan Kaisar Xiyi (411 M). Sebagai ulama senior di China ketika itu, Fa Xian mengaku singgah di Yapoti (Jawa dan atau Sumatera) dan tinggal selama lima bulan. Dalam kesaksiannya Fa Xian menguraikan;

Kami tiba di sebuah negeri bernama Yapoti (Jawa atau Sumatera). Di negeri itu, agama Abraham sangat berkembang, sedangkan Buddha tidak seberapa pengaruhnya. Bukti-bukti keculasan penjajah yang dibarengi dengan politik kristenisasi kerajaan protestan Belanda dan kerajaan protestan anglikan Inggeris dapat kita saksikan pada sejumlah tempat di tanah air. Salah satu contoh pembangunan benteng kota yang dibangun Belanda di Bangkalan, dengan maksut untuk menghambat dakwah dan syi’ar Islam yang berkembang pesat di pulau garam Madura. Kekuasaan para raja dan sultan dibatasi dan sebagai gantinya dibentuklah kadipaten (regen) Pamekasan pada tahun 1558 M dan kadipaten (regen) Sumenep dalam tahun 1885 M. Itu yang dilakukan Belanda di Madura, pada bagian lain Inggeris tak kalah licik. Melalui Letnan Gubernur Jenderal Sir Stamfort Rafles yang sangat tertarik dengan sejarah timur, membawa bukti-bukti naskah kuna, artefak, dan benda-benda arkeologis ke negerinya. Kemudian dengan kebanggaan yang semu mempopulerkan buku “The History of Java” sebagai buah karyanya. Padahal fakta sebenarnya buku itu karya salah satu bangsawan Madura bernama Sultan Abdurahman Pakunataningrat. Atas jasa Sultan Abdurahman yang menguasai bahasa Sansekerta, Kawi, Arab, Inggeris, dan Belanda, akhirnya pemerintah Kerajaan Inggeris memberi gelar Doctor Honoris Causa bidang kesusasteraan kepada Sultan Abdurahman Pakunataningrat. Menurut Taufiqurahman, pengurus yayasan Asta Tinggi, Sumenep, yang disampaikan kepada Tony Abdullah reporter radio Suara Muslim Surabaya, bahwa Gubernur Jenderal Rafles sebenarnya hanya editor buku “The History of Java” yang sangat fenomenal itu.

A…sudahlah! Sadar atau tidak generasi kekinian telah digiring dalam kubangan interregnum, artinya nilai lama sudah ditinggalkan dan nilai baru belum ditemukan wujudnya. Apalagi pikiran dan konsep hidup, sudut pandang keilmuan bangsa Nusantara telah diberangus lewat perampokan khasanah pustaka oleh penjajah barat, dalam hal ini Belanda dan Inggeris. Bahwa sekitar 200 ribu naskah kuna kita sebagai bukti peradaban Nusantara yang agung, hingga saat ini masih bertengger di perpustakaan negeri Belanda. Sedangkan 35 kontainer naskah Kesultanan Yogyakarta dan Nusantara berada di perpustakaan Inggeris. Untuk memperoleh kembali naskah-naskah karya besar nenek moyang tersebut begitu sulitnya. Apalagi ghira anak bangsa untuk mempelajari sejarah begitu lemah, itu masih ditambah budaya baca masyarakat yang jauh dibawah ambang kelayakan.

Tarik ulur menyangkut klaim kebenaran dan pembenaran sejarah Nusantara, sudah saatnya untuk dibedah, dikuliti dengan sudut pandang pewaris gen Nusantara. Sehingga diperoleh sudut pandang pembanding yang sangat mungkin menjadi aliran mengembalikan ghirah keagungan peradaban Nusantara. Dengan satu catatan, bahwa kita harus berani memulai untuk membaca sejarah sendiri dan tidak serta merta mengamini sudut pandang barat. Apalagi menyangkut inventarisasi folklor sebagai bagian kekayaan nenek moyang. Sebagaimana yang disampaikan oleh Analess, bahwa legenda adalah pintu masuk penceritaan sejarah, minimal sejarah sosial. Karena banyak data yang sering ditemui di luar data prasasti yang menjadi acuan pokok penyusunan tafsir sejarah.

Kedudukan folklor dan sejarah lisan sangat penting ketika upaya untuk merekonstruksi ulang pemaknaan sejarah mengalami jalan buntu. Kebuntuan yang merupakan muara minimnya data primer yang “dikuasai” penjajah. Untuk mencari jalan tengah dan pintas diperlukan data lain berupa folklor dan sejarah lisan. Minimal tugas sejarah sebagai pelestari nilai dapat diwujudkan. Karena belajar sejarah adalah menggali dan melestarikan nilai-nilai kemanusiaan dan kesemestaan. Maka, secara pribadi penulis untuk sementara mengamini pesan Cak Nun, budayawan Jombang, bahwa Ini jangan dipercaya, tapi jangan pula dianggap remeh! Ketika itu dilakukan, keajaiban demi keajaiban akan kita temukan. Seperti yang sering penulis alami ketika mengabadikan jejak spiritualitas Bung Karno dalam kemasan trilogi, meliputi Candradimuka, Pulung Kepresidenan, dan Pamor Surut.

Sebagai wujud syukur atas lahirnya anak-anak muda yang getol memburu dan mendokumentasikan folklor, khususnya legenda, maka saya ucapkan selamat kepada adik-adik mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang, yang telah melahirkan karya Inventarisasi Cerita Rakyat di Jombang. Semoga karya ini tetap abadi untuk dikenang dan diamalkan penghuni semesta. Salam santun, budaya, dan bahagia…
_________
Fa Xian, Catatan Tentang Negeri-Negeri Buddha, dalam Kong Yuanzhi, Silang Budaya Tiongkok di Indonesia, PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2005, hlm. 15. Herman Sinung Janutama, Majapahit Kerajaan Islam. Noura Books, Jakarta, 2014, hlm. 5.
Herman Sinung Janutama, Op. Cit. hlm. 5.
***

*) Disampaikan dalam Diskusi Buku Inventarisasi Cerita Rakyat di Jombang, Selasastera Boenga Ketjil #25, 16 Pebruari 2018.
**) Penulis adalah pemulung sejarah, pengamen budaya, dan ketua suku sanggar tari Lung Ayu Jombang. WA 081654978821
https://selasastrain.blogspot.co.id/2018/02/folklor-sejarah-lisan-dan-rekonstruksi.html

Sajak-sajak Taubat Chairul Anwar dan Damiri Mahmud

$
0
0

Nedvatuhella *
Harian Analisadaily 27/7/2014/

PADA 26 Juli merupakan ha­ri lahir penyair Chairul Anwar. Chairul lahir tahun 1922, di Medan dan meninggal dunia di Jakarta pada 28 April 1949 dalam usia sangat muda, 27 tahun. Chairul me­rupakan tokoh pelopor sastra­wan Angkatan ‘45.

Sajak-sajak Chairul banyak yang dihafal oleh siswa-siswa di tahun ‘70-80-an. Sajak-sajak yang terkenal antara lain: Kara­wang Bekasi, Senja di Pelabuhan Kecil, Diponegoro, Aku, dan Doa (Sajak-sajak cintanya banyak di­hafal dan dipuji oleh kalangan sas­trawan sebagai sajak yang me­nyentuh perasaan terdalam pa­ra sastrawan).

Chairul diperkirakan menulis sekitar 96 karya tulis, termasuk 70 buah sajak. Sajak-sajak Chairul merupakan sajak-sajak yang tak memiliki cacat kata. Chairul tak akan pernah habis dibicarakan. Bersama karyanya dia disebut se­bagai sesuatu yang majemuk. Demikian kesimpulan para ahli sastra dan bahasa. Tak salah kalau Majalah Tempo menempatkan Chairul sama besar dengan Soe­karno dan Syahrir.

Sajak yang terakhir disebut di atas, “Doa”, lengkapnya: kepada pemeluk teguh// Tuhanku/ Dalam termangu/ Aku masih menyebut na­maMu// Biar susah sungguh/ mengingat/ Kau penuh seluruh// ca­yaMu panas suci/ tinggal kerdip lilin di kelam sunyi// Tuhanku// aku hilang bentuk/ remuk// Tu­hanku// aku mengembara di ne­geri asing// Tuhanku/ di pintuMu aku mengetuk/ aku tidak bisa ber­paling.

Sajak ini ditulis sebagai rang­kaian tanya atau keadaan beserta jawabannya. Coba kita simak, ka­limat-kalimat yang menyatakan keadaan, “Dalam termangu; Biar su­sah; Aku mengembara di negeri asing; Dipintumu aku mengetuk”

Kesemuanya mengungkap ke­adaan diri yang hina sebagai hamba, dan kemudian diteruskan de­ngan kalimat kebutuhan akan ampunan dan kasih sayang Allah, sehingga berpaling pun tak bisa (pantas) lagi.

Penyair berkarakter peradang, pemberontak dan lantang ini, serta sangat-sangat lembut dan roman­tis pada perempuan, memang di­kenal sebagai sosok yang ingin be­bas dan ingin selalu menang. Lihatlah ketegasan individualnya dalam “Doa”. Kata ganti diri aku menun­jukkan sikap individual yang dalam sekali. Bahkan dalam sajak lain, Chairul memilih lang­sung kata “Aku”, sebagai judul sa­jak­nya. Ekspressi khas tegas, ma­rah, dan patah arangnya anak Medan. Jauh dengan idiom ‘Awak’ yang selalu menggambar­kan kelembutan dan kehalusan ma­syarakat Medan.

Chairul merupakan anak tung­gal pasangan Saleha dan Toeloes yang bercerai saat Chairul berusia sekitar 12 tahun. Sebagai anak tunggal, Chairul kecil sangat di­manja ayahnya dengan cara ber­lebihan. Sayangnya Chairul tak bisa menerima kenyataan pahit perceraian kedua orang tuanya.

Pada usia remaja, Chairul me­ngalami rasa tak nyaman dekat de­ngan ayahnya, yang tak pernah menganggap Chairul sudah tidak bo­cah lagi. Ibunya telah hijrah ke Jakarta. Chairul meninggalkan ayah­nya menyusul ibunya. Chairul menggambarkan hubungannya de­ngan ayahnya sebagai dua kle­wang yang selalu bergeseran.

Tempat tinggal Chairul di Me­dan, menurut beberapa orang yang mencoba menelusurinya ada di se­kitar Jalan Amaliun dan Jalan Lak­sana, Kota Maksum. Pada ta­hun-tahun 60-an, (Alm) Aldian Arifin menceritakan, pada waktu itu, para sastrawan setiap kali mengadakan acara, selalu menje­put ibu Chairul, Saleha yang ting­gal di sekitar jalan tersebut.

Selanjutnya, mari kita simak dua sajak Damiri Mahmud yang ber-thema-kan pengampunan atau pertaubatan. Damiri Mahmud merupakan Kritikus Sastra asal Su­matera Utara yang kini masih tetap selalu menulis dan diundang dalam berbagai diskusi sastra di Medan. Setiap tahunnya selalu di­undang menghadiri event-event sastra Nasional dan Internasional. Sajak pertama, “Doa Rayap”, yang merupakan sajak primadona mahasiswa-mahasiswi dalam mata kuliah Praktek Musikalisai Puisi, Kritik Sastra dan Sastra Per­bandingan di universitas-universitas Sumatera Utara. “Doa Rayap” merupakan sajak peng­ampunan kolosal. Menegur kita yang sudah jauh melenceng dari tujuan penciptaan kita sebagai ma­nusia.

Allah beri maaflah/ doa-doa ka­mi/ minta dunia /jadi rumah sendiri// berilah maaf bagi formu­la/ dan teori/ sang maharesi/ me­raup dunia/ dengan kedok demo­krasi/ mengulum antariksa/ ber­sama rayap dan sains teknologi// turun­kanlah amnesty/ bagi kami/ begitu sehat dan hidup darah/ dan dagingnya/ tetapi mati/ hati// Amin

Kemudian sajak pengampun­an pribadi, “Ujung Jarummu”, yang sungguh-sungguh bercerita tentang keadaan penyair yang ja­uh dari sang Pencipta. Ada kepe­dihan dalam hal ini ketika merasa­kan kejauhan tersebut. Mari kita simak sajak ini.

Ujung jarummu/ menusuk li­ang sunyiku/ darahnya mengalir kemana-mana/ menjadi tinta/ da­lam buku :mu/ terbaca/ bisu// Se­karang bukakan/ pintu aku masuk/ biar kujenguk/ mu/ meski dari pin­tu yang paling lapuk/ sudah la­ma sekali /hibuk/ menunggu.

Sajak diunggah dengan pilihan kata (diksi) yang khas. Liang sunyi dan ujung jarum. Melambangkan keadaan pedih,yang biasanya sa­ngat-sangat mengganggu orang-orang yang mengalami depresi akut. Gangguan kejiwaan yang berasal dari ketidaksiapan atau ke­ti­dakmampuan menyesuaikan diri (adaptasi). Baik oleh satu idea­lisme yang diyakini, atau terhalang oleh system yang berlaku.

Damiri, atau siapapun akan per­nah merasa sangat sangat jauh dari rahmat dan penjagaan Allah. Kata hibuk dalam akhir sajak, ada­lah galau dan susahnya pera­san dan fikiran. Centang prenang­nya hati, karena tak dekat dengan sang pencipta. Jauh dari rahmat Allah.

Kemudian, penyair mohon di­bukakan pintu untuk masuk kem­bali ke lindungan Allah swt, seka­lipun, lewat pintu yang paling la­puk.

Damiri Mahmud lahir tahun 1945 di Hamparan Perak, Deli Ser­dang. Beliau selalu merasa ter­lambat berkarya. Apa yang di­tu­lis Korrie Layun Rampan ten­tang kepenyairannya dalam pe­ngantar pada Kumpulan Puisinya Damai di Bumi, adalah: “Damiri Mah­mud, sebagai penyair, me­nam­pakkan kemajuan yang sa­ngat pesat, sejak berkecimpung se­cara produktif di lapangan puisi.

Beberapa puisi awal penyair ini agak kurang menarik. Terlalu inflasi dengan kata, meskipun li­riknya ringkas dan kecil. Sajak-sajak yang lebih, kemudian me­nampakkan penemuan dan peng­ucapannya personal dalam pilihan struktural sajak naratif yang liris. Dalam pemikiran yang filosofis, bahkan dalam pilihan temanya yang religius-sufistik. Kekuatan Damiri jika dibandingkan bebe­rapa penyair lainnya dapat dilihat dalam beberapa segi.”

Monumen Sejarah

Chairul Anwar sampai kini be­lum tertandingi sebagai penyair In­donesia. Masa lalu manusia In­donesia dan bangsa Indonesia ter­ukir dalam sajak-sajaknya sebagai monumen sejarah yang tak akan lapuk di panas dan dihujan. Kata-kata sebagaimana energy tak akan pernah hilang.

Demikian juga di Sumatera Utara hendaknya. Monumen kata kata yang telah ditulis banyak sas­trawan dapat dijadikan dan ditem­patkan pada porsinya. Suatu kali, beberapa orang sastrawan Sumut melewati jalan raya Indrapura, Ka­bupaten Batubara. Mereka me­li­hat rumah tempat tinggal (Alm) B. Y. Tand, penyair asal Sumut yang karya-karyanya su­dah melintas batas Nusantara, dipasang papan pengumuman akan dijual.

Di hadapan para sastrawan, Wa­kil Bupati Batubara mengata­kan akan membeli rumah tersebut dan akan menjadikannya Muse­um Sastra. Wallahuallam apakah sudah dibeli oleh Pak Wakil Bu­pati. Sudah dua tahun berlalu janji itu (Dialog Sastra Batubara, 20­12).

Menyandingkan Chairul dengan Damiri Mahmud

Cukilan yang terlalu sedikit ten­tunya dari keberadaan sejarah atau monumen Chairul yang saya tulis disini. Menyandingkannya dengan Damiri apakah sesuatu yang melenceng dari kepantasan umum? Tiga sajak yang disan­dingkan, sepertinya melahirkan vi­si baru dalam kritik dan apresia­si, serta sastra perbandingan dari ke­dua sastrawan ini. Bukankah memang sastra perbandingan se­lalu yang dicari adalah kesama­an-kesamaan. Bahkan disini, Da­miri lebih menguras energinya me­masukkan analogi fisik ke sa­jaknya. Kalau Chairul menulis “di pintumu aku mengetuk” Damiri menulis, ”dari pintu yang paling lapuk sekalipun!”

“Akulah Melayu Itu, Kau Halau Itu”, merupakan satu Puisi-Esai Damiri Mahmud yang baru saja dibukukan sebagai salah satu Puisi-Esai Terbaik dalam Lomba puisi Esai 2013.

*) Penulis pengarang, tinggal di Tanjungbalai.
http://harian.analisadaily.com/rebana/news/sajak-sajak-taubat-chairul-anwar-dan-damiri-mahmud/51035/2014/07/27

Geliat SelaSastra dan Catatan Kreatif

$
0
0

Akhmad Fatoni

Perjalanan seorang pengarang adalah perjalanan spiritual. Begitulah kiranya setiap perjalanan akan membawa efek kontemplatif yang begitu mengejutkan. Itulah kenapa saya selalu menyukai sebuah perjalanan. Sebagai wujud terimakasih saya pada sebuah perjalanan yang semakin mematangkan pola pikir, catatan perjalanan kerap hadir menyertai. Begitu juga tulisan ini yang hadir untuk mencatat-rekamkan ruang, waktu, dan peristiwa dari perjalanan (atau saat ini saya sedang gandrung menyebut dinas luar).

Selasa, 29 Maret 2016, saya sedang dinas luar. Hari itu, ada dua tugas negara yang harus dituntaskan. Pertama, menjadi juri bercerita. Kedua, bedah buku saya Meja Nomor 8. Namun catatan ini, khusus saya tulis untuk tugas negara yang kedua dan tentunya nanti pada catatan lain tugas negara pertama akan dilaporkan.

Sore itu, ketika saya berangkat menuju Boenga Ketjil (selanjutnya disebut BK) milik aktor teater kawakan Andhi Setyo Wibowo atawa yang lebih populer dengan nama Kephix, hujan sedang manja: rintik-rintik. Duh, betapa indahnya perjalanan saya bila ditemani dengan perempuan cantik yang menawan hati ini. Aih, tapi sayangnya kala itu saya harus menempuh perjalanan ke Jombang sendirian, tanpa kekasih juga tanpa kawan. Namun, ada atau tiada teman seperjalanan itu tiada merisaukan, sebab kerap saya melakukan perjalanan seorang diri.

Sesampai di BK, saya sedikit terkejut karena sudah banyak orang. Sembari memarkir motor butut kesayangan di samping empat motor lainnya, saya mulai melirik satu persatu para pengunjung. Busyet, banyak sekali para perempuan di sana dan di meja belakangnya, tentu sudah tak asing lagi yaitu Gus Binhad Nurrohmat (yang kehadirannya sudah saya ketahui sedari jauh karena adanya X-Over di depan BK) dan seorang lagi, yang baru kutahui setelahnya, Zen Sugendal. Kata Gus Bin, si penyair yang baik hati itu, ia redaktur Majalah di Tebu Ireng. Mantap nian. Dan ia nanti yang akan memandu jalannya bedah buku Meja Nomor 8.

Papan menu di BK menyuguhkan SelaSastra #3 sebagai menu spesial pada malam itu. Ya, khusus malam itu. Saya memesan kopi pahit kepada Cak Kephix (dan maafkan saya Cak Kephix urung memesan nasi goreng karena perut saya kenyang. Tadi panitia lomba sebelum pulang menyodorkan sekotak nasi. Mohon ampuni saya atas janji mentraktir pembicara yang ternyata juga tidak terpenuhi). Lalu sembari menunggu kopi disuguhkan, saya ngobrol dengan Gus Bin dan dikenalkan kepada Zen. Perbincangan dengan kawan sesama penulis, selalu mengasyikkan. Saking asyiknya obrolan acara sedikit molor. Pukul 20.10 wib, acara baru dibuka oleh Zen.

Lampu-lampu dimatikan hanya lampu sorot untuk menerangi Cak Kephik membaca yang menyala. Juga cahaya laptop dari mbak-mbak cantik yang tidak saya tahu namanya. Sesi pertama saya dipersilakan terlebih dahulu. Seperti jamaknya pada bedah buku, Zen meminta saya bercerita ikhwal terbitnya Meja Nomor 8. Mengenai hal itu, saya memaparkan tiga poin, bila secara singkat maka terdiri dari: pertama, saya menyampaikan ulang pengantar dalam buku. Saya memberi penekanan maksud dari buku itu. Makanya, ketika tiga orang menulis tentang buku itu nyaris sama (Dadang Ari Murtono, Andhi Setyo Wibowo, dan Binhad Nurrohmat yang tulisannya dijadikan topik bedah buku). Saya tidak kaget ataupun jengkel membaca ulasan itu. Sebab buku itu, jika dibaca penulis atau pembaca kritis pasti akan direspon seperti mereka atau saya menyebutnya untuk di-bully. Lantas untuk siapa buku itu? Jawabannya pada poin kedua.

Poin kedua, alasan buku ini terbit yaitu janji. Janji kepada kawan perupa yang telah membuat sketsa: Eko Prawiro atawa Eko Nono. Dan ketiga buku ini untuk pembaca agar tahu proses kreatif penulisan saya. Makanya jika dibaca penulis atau pembaca kritis, pasti tidak akan memuaskan. Namun bagi mereka yang hendak belajar menulis, akan lain cerita. Mereka akan memahami bahwa proses adalah penentu dari hasil.

Setelah itu, Zen meminta Gus Bin memaparkan materinya. Salah satunya tentang pembaca yang kurang ajar dan juga merespon alasan saya. Katanya alasan saya itu tidak nyastra. Tidak hanya Gus Bin, Cak Kephix juga tidak percaya akan karya saya itu: masak sekelas Akhmad Fatoni yang notabene seorang yang faham teori kesusastraan dan baru lulus S2 kajian sastra menulis seperti ini.

Robin Al Kautsar, salah satu sastrawan kawakan Jombang, pendapatnya menciptakan arus dari arah berbeda dengan materi diskusi dari Binhad Nurrohmat. Namun lain halnya pendapat Pak Robbin Al Kautsar. Ia memiliki pendapat lain, bahwa dunia kreatif tidak ada kaitannya dengan teori: Fatoni mungkin akan lebih jeli dan tajam dalam kritik sastra. Sebab sejatinya di situlah relevansi teori dan dunia akademisnya. Ia juga memberi contoh seorang penyair dan juga dosen, kawan kita Suyitno Ethex. Tentu teman-teman tahu bagaimana karyanya.

Ya, begitulah diskusi itu berjalan. Gayeng dan khidmat. Tentu yang lebih menarik yaitu pembukaannya tadi Cak Kephix membacakan nukilan Jalan Tak Berujung. Sihir Cak Kephix yang seorang aktor kawakan mampu menyedot perhatian para perempuan. Mereka serius menyimak dan ada yang memotret. Syahdu sekali.

Tentu selain itu semua, BK selain menyediakan ruang diskusi SelaSastra, yang kali itu sudah ketiga, juga menyuguhkan polo pendem pada pengunjung yang hadir. Saking kagetnya para perempuan pas disodori polo pendem langsung memasang wajah kaget, sebab mereka tidak memesan. Cak Kephix dengan kepekaannya menjawab: acara dimulai hidangan pun disuguhkan. Mereka pun tersenyum. Dan pasti, jika mereka berteman dengan akun FB Cak Kephix, bila SelaSastra ke-4 pasti akan menyempatkan hadir.

Pembacaan Cak Kephix yang mampu menyihir semua orang di BK. Tentu, jika Anda ingin mengundang pembaca cerpen terbaik, jangan segan mengundang beliau. Begitulah, SelaSastra saat ini menjadi alternatif ruang setelah Geladhak Sastra makin surut. Tentunya, Jombang akan kembali bergeliat melalui BK dengan SelaSastra seperti halnya Mojokerto dengan Terminal Sastra. Semoga.

31 Maret 2016
https://selasastrain.blogspot.co.id/2018/02/geliat-selasastra-dan-catatan-kreatif.html

Cincin untuk Langit: Puisi Eka Budianta untuk Tanah Kelahiran

$
0
0

Anita Dhewy
Jurnalperempuan.org 22/8/2015

Minggu (16/08) bertempat di Galeri Cemara 6, Jakarta, penyair Eka Budianta meluncurkan kumpulan puisinya yang berjudul Cincin untuk Langit. Kumpulan puisi yang dimaksudkan sebagai persembahan pribadi untuk ikut merayakan 70 tahun terbangunnya Republik Indonesia ini banyak bertutur tentang desa kelahirannya, Ngimbang, yang terletak di Lamongan, Jawa Timur. Eka Budianta yang juga merupakan Sahabat Jurnal Perempuan (SJP) sejak tahun 2013 ini mengawali acara dengan menuturkan perjalanan dan pengalaman hidupnya yang menandai fase-fase penting dalam hidupnya lewat foto-foto yang ditampilkan melalui slide show. Eka mengungkapkan bahwa kritikus sastra Indonesia HB Jassin mempunyai peran besar dalam proses penulisannya. Menurutnya HB Jassin meletakkan dasar-dasar penulisan yang baik. Eka juga menuturkan bahwa Chairil Anwar telah menginspirasi dirinya dan membuatnya menjadi seorang penyair.

Dalam acara yang dihadiri sejumlah sahabat dan kerabat tersebut penyair Jose Rizal Manua membacakan puisi Eka yang berjudul “Listrik dan Jalan Ibu”. Pembacaan puisi kemudian dilanjutkan dengan paparan Romo Mudji Sutrisno tentang Cincin untuk Langit yang berisi 45 puisi. Mudji memaparkan bahwasanya Ngimbang yang banyak disebut dalam sejumlah puisi di buku ini adalah cara pandang dan cara merasa. Selain itu kata pasar yang merupakan kata kunci kedua menurut Mudji merupakan tempat kehidupan yang memanggil kita semua, pasar adalah juga tempat untuk mengawal budaya, maka kita dapat menemukan sejumlah nama pasar disebut dalam buku tersebut. Bagi Mudji penyair adalah orang yang dengan kemampuan khusus hidup dalam kata. Dan hidup dalam kata tentunya adalah hidup dalam makna kehidupan itu sendiri.

Paparan dari Mudji Sutrisno dilanjutkan dengan penampilan Ananda Sukarlan yang diminta secara langsung saat acara untuk menunjukkan kepiawaiannya memainkan piano karena kebetulan di ruangan tersebut terdapat piano. Ananda mengungkapkan ada sekitar 14 puisi Eka yang telah ia buat menjadi musik. Diakuinya puisi Eka telah menginspirasinya dalam menciptakan tembang puitik. Dalam kesempatan tersebut Ananda memainkan Rapsodia Nusantara No.8 dan berhasil memukau hadirin. Penampilan Ananda dilanjutkan dengan pembacaan puisi oleh sejumlah perempuan. Rieke Diah Pitaloka, anggota DPR yang juga penyair membacakan puisi Eka yang berjudul “Memikirkan Ngimbang”, berikut petikannya: Marsman yang baik/Inilah Ngimbang, desaku untuk seluruh bumi/Desa tua yang membawa pesan Raja Airlangga, dengan bermacam-macam prasasti dari sebelas abad yang silam/inilah ngimbang, kampung halaman kita semua. Sementara Dhenok Kristianti membacakan dua puisi yakni “Cangkir Pecah” dan “Mencuri Senja”. Puisi yang terakhir tersebut menurut Dhenok agak romantis sehingga dia tertarik untuk membacakannya: Bayangkan, langit membisu/tidak mau tahu ada matahari yang dari pagi sampai sore berjuang membuatnya bahagia/Tapi sinarnya tidak cukup untuk menerangi cincin di salah satu jarinya/Mungkin langit tak punya jari. Penyair dari Bali Ni Putu Putri Suastini membacakan puisi Eka yang berjudul “Untuk Ibunda” yang berkisah tentang Pangeran Diponegoro: Mengapa pulau yang terindah di bumi ini jadi bersimbah darah, Ibu?/Untuk jubah berlumur darah itukah Ibu melahirkan aku di sini?/ Bagaimana jawab kita ibu, kalau ada yang bertanya/ “Apa manfaat Perang Diponegoro?”/ “Mengapa harus ada perang Jawa?” Pembacaan puisi ini diselingi lantunan mantra hingga menghasilkan pembacaan yang sangat memikat. Peluncuran buku di sore hari itu ditutup dengan ramah tamah dan foto bersama serta penandatanganan buku.
***

https://www.jurnalperempuan.org/berita/cincin-untuk-langit-puisi-eka-budianta-untuk-tanah-kelahiran

SelaSastra: Teknik Menulis dan Kerancuan-Kerancuan Lainnya

$
0
0

Mansur Muhammad

“Saya menulis dan, memang harus menulis. Setiap hari. Soal isi, pikir nanti. Apalagi teknik.” seloroh Pak Cucuk SP selaku pembicara dalam acara SelaSAstra tadi malam. Acara sederhana yang cukup unik ini diselenggarakan di kedai Boenga Ketjil milik Pak Andhi. Ruang berdesain nyentrik ini membuat nyaman siapa saja yang hadir. Entah sekedar ngobrol atau diskusi –semi resmi, seperti yang terjadi tadi malam. Banyak kalangan penulis dan penikmat sastra dari berbagai komunitas hadir di sana.

Jujur, kami terlambat datang. Sekitar pukul 20:40 baru sampai. Hampir tertinggal satu jam. Acara sudah serius ketika Pak Andhi menyambut kami dan mempersilahkan kami duduk. Diskusi sudah melebar. Sepertinya sudah selesai pembahasan buku dan segala proses kreatif penulisnya. Jadi saya hanya kebagian gelak tawa. Apa lagi, Gus Binhad. Beliau selalu mengutarakan kritiknya dengan khas. Tak banyak ba bi bu, langsung ke pokok permasalahan. Pedas memang. Namun, disampaikan dengan guyonan yang membuat suasana justru menjadi akrab.

Diskusi berjalan cukup dinamis. Ada komunikasi yang hangat antara pemateri dan audiens, atau audiens dengan audiens. Meski ada sedikit loncatan tema yang berawal dari pertanyaan salah satu peserta, tapi ini justru membuat diskusi menjadi hidup. Pemateri pun menanggapi dengan ramah. Peserta menanyakan apakah buku ‘Mengenang Kota Hilang’ adalah manifestasi dari suara suara yang sempat dibungkam seperti halnya tragedi kelabu kesusastraan Indonesia pada masa silam. Penulis, yang tak lain adalah Lek Gir (Panggilan akrab R. Giryadi) dengan enteng menjawab tidak. Jawaban sederhana namun terdapat kejujuran di sana. Beliau menulis untuk dirinya sendiri. Untuk kenangan itu sendiri. Artinya, beliau benar-benar ingin bebas dari segala persepsi yang berkembang di dalam kesusastraan. Beliau ingin menunjukan idealismenya sebagai sastrawan, ingin bebas dari segala keruwetan formal kesusastraan. Maka dari itu, beliau tak begitu menggubris pada cangkang. Dalam hal ini merujuk pada segala persyaratan yang bersifat tekstual. Seperti EYD, efektifitas sebuah kalimat, gaya-gaya penulisan juga teknik penyampaian sebuah pesan yang ingin disampaikan penulis. Sastra tidak akan pernah berhenti pada suatu karya, tambah beliau yang kemudian bercerita sedikit riwayat perjalanan hidupnya. Mulai dari menjadi seorang jurnalis, perupa, aktor, penulis naskah drama dan banyak lagi proses kreatif yang beliau lakoni. Semua ini akan mempengaruhi corak sastra beliau. Bahwa ada salah satu peserta yang menilai bahwa gaya bertutur beliau seolah cenderung dramatik –mungkin juga puitik– ini tidak bisa disangkal. Semua dilihat dari akar sastra mana penulis itu tumbuh dan lingkungan di mana penulis tumbuh. Begitulah, karya tidak bisa lepas sepenuhnya dari latar belakang dan pengalaman penulis.

Diskusi kemudian beralih pada teknik. Dalam pembahasan inilah waktu dihabiskan. Ini juga menanggapi pertanyaan salah satu peserta. Namun, pertanyaan ini justru tidak mengacu pada buku yang dibedah melainkan pada cerpen sang penulis yang sempat dimuat harian Kompas beberapa minggu yang lalu. Cerpen ini dinilai kurang berteknik dan berjalan datar-datar saja. Lebih dari itu, seakan nengamini si peserta tersebut, Gus Binhad juga menyesalkan kurang adanya perenungan yang berarti di dalamnya. Perbincangan semakin seru ketika diskusi dikuasai dua sastrawan hebat. Cucuk SP dan Agus Sulton. Seperti kalimat pembuka di atas, Cucuk SP mengaku, dalam proses kreatifnya, beliau tak pernah memberi perhatian lebih pada teknik. Teknik, masih dalam pendapatnya, hanya akan menghambat laju kreatifitas dan produktifitas kegiatan menulis itu sendiri. Lagi pula menulis harus sebebas-bebasnya, tambah beliau. Menanggapi ini, lagi-lagi Gus Binhad berkelakar.

“Lha wong Cucuk iki wes ma’rifat kok..tingkat tinggi iki..” Sontak, semua yang pada mulanya serius jadi riuh tergelak.

“Lha iya, saya kasih contoh. Ada sepasang pengantin yang baru nikah. Sebelumnya, mereka sudah merancang detail apa saja yang akan mereka lakukan di malam pertama nanti. Tapi, ketika mereka sudah berhadap-hadapan di atas ranjang, semua rencana mereka buyar. Begitu pun teknik.” timpal Pak Cucuk bersemangat.

Lantas diskusi menegang ketika kemudian Gus Binhad justru bertolak belakang dengan apa yang disampaikan Pak Cucuk. Bagaimanapun, ujarnya, seorang penulis pasti menggunakan teknik. Meskipun teknik yang digunakan tidak pernah tertulis di buku mana pun. Dan teknik, tak lebih hanyalah soal bagaimana penulis berkomunikasi. Dan pembahasan teknik menggantung begitu saja seusai pemaparan Gus Binhad ini.

Bertambah malam, diskusi lebih seru dan menantang. Acara diskusi yang diagendakan akan membedah buku anggitan Pak R. Giryadi yang berjudul ‘Mengenang Kota Hilang’ ini, seiring berjalannya acara, tema ini menjadi kabur. Pembahasan teknik meluas hingga ke filsafat dan teori-teori kesusastraan. Kami yang masih awam hanya diam mendengarkan sambil menyeruput kopi. Dan pembahasan mengenai teknik, filsafat, teori-teori kesusasteraan ini terus berjalan sampai acara selesai pada jam 23:20, molor satu setengah jam dari jadwal yang telah di tetapkan. Tapi ada rasa puas tersendiri. Acara ditutup oleh Pak Andhi dan Pak Giryadi membagikan buku-bukunya secara cuma-cuma hampir ke seluruh peserta. Tak terkecuali kami.

26 Mei 2016
https://selasastrain.blogspot.co.id/2018/03/selasastra-teknik-menulis-dan-kerancuan.html

SelaSastra? Mari Kita Nikmati Saja *

$
0
0

Inung As

Setiap satu minggu kita bisa temui Sabtu kemudian berganti Minggu pada hari berikutnya lalu Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum’at dan berulang Sabtu lagi dan berulang.Hanya tujuh hari itu dalam satu minggu.Kamis malam akrab kita kenal sebagai malam Jum’at.Sabtu malam sering disebut malam Minggu.Malam yang panjang, kata orang.Entah karena terpengaruh lagu yang tenar di akhir periode delapan puluhan sampai awal periode sembilan puluhan atau entah karena memang sebagian orang begitu menikmati malam Minggu sampai larut.Minggunya bisa digunakan untuk berlibur bersantai menjauh dari rutinitas atau sejenak jalan santai bersama keluarga atau teman-teman di jalan di hari bebas mobil, car free day. Itu bagi mereka yang mempercayai car free day itu ada.

Kita kenal tujuh hari dalam sepekan juga bersanding dengan pasaran Kliwon, Legi, Pahing, Pon dan Wage.Lima pasaran inilah yang menyertai tujuh hari dalam sepekan.Jadilah Jum’at Legi jika hari Jum’at dengan pasaran Legi atau Jum’at Pahing jika bersanding dengan pasaran Pahing dan seterusnya.Menjadikannya kombinasi unik dan berulang.

Ada beberapa hari istimewa dalam satu tahun. Mereka menyusup diantara tujuh hari dan lima pasaran yang ada. Sebut umpamanya hari Idul Fitri, Idul Adha, Natal, Nyepi, Waisak atau sebut seumpama yang lain. Hari istimewa bagi mereka yang ikut merasa memiliki dan memeriahkanya dengan ungkapan rasa hikmat.

Dalam kaedah yang mempertemukan hari dan pasaran kita belum bisa menemui hari Selasa dengan pasaran sastra.Dalam bentuk hari istimewa kita juga belum menemui hari istmewa yang dinanti dan dirayakan sebagai hari raya Selasa sastra.Kalaupun kita tulis secara berbeda menjadi selasastra yang menggabungkan kata Selasa dan kata sastra kita pun belum menemukan hari selasastra yang menggantikan satu hari dalam sistem penanggalan.Meskipun kemunculannya hanya sekali dalam empat tahunan seperti muncul dan tenggelamnya tanggal 29 Februari ketika tahun kabisat dan bukan kabisat.Menjadikan 29 Februari istimewa dari Februari diluar tahun kabisat.

Pembaca yang budiman.Selasastra menjadi bentuk usulan, jika sebutan protes yang menuntut ada dinilai keterlaluan.Mengusulkan adanya hari Selasa dengan pasaran sastra.Usulan hari selasastra. Malam selasastra adalah peristiwa ambangnya, sebagian merupakan hari lain dan sebagian yang lain adalah hari selasastra kemudian keesokanya adalah hari selasastra. Seperti kita menyebut malam Jum’at yang sebagian adalah hari Kamis dan sebagian yang lain adalah hari Jum’at. Malam jum’at adalah ambang perpisahan hari Kamis dan berganti Jum’at.

Bentuk usulan lainya bisa dengan tanpa merubah sistem penanggalan yang telah jauh ada.Bisa kita mengusulkan selasastra sebagai hari istimewa seperti hari raya tersendiri.Sebagai contoh yang baru saja kita kenal, hari santri. Bukankah itu juga sebuah hari raya?.Selasastra bisa diusulkan menjadi hari raya yang bisa diperingati setiap bulan tanpa harus merubah sistem penanggalan apapun.Tidak juga pada pasaran.Setiap orang bisa ikut merayakan hari raya selasastra.Hari raya selasastra tidak harus menghindari hari-hari tertentu dan mengkhususkan pada hari tertentu.Toh ini bukan hari raya keagamaan yang harus didasari kaedah-kaedah agama. Kita bisa merayakan Idul Fitri hanya jika Ramadhan berakhir dengan hilal satu Syawal entah ia hanya 29 hari atau 30 hari. SelaSAstra tidak begitu.Kita bisa melihat ramainya perayaan Natal setiap 25Desember.Ia bisa merupa Selasa, Rabu, Kamis maupun hari yang lain dan identitasnya tetap Natal. Selasastra bukan itu.

Kepada semua kita bisa mengusulkan SelaSAstra. Penyair, penulis, pembaca, sastrawan, budayawan, pengamen, pelajar, tukang becak, pencari rumput, koruptor, guru, tukang sapu atau siapa pun yang tanpa identitas kecuali satu identitas saja yang menjadikannya punya hak yang setara, manusia. Selama identitas itu berupa manusia, haknya sama. Belajar.Andaikan.

Pembaca yang budiman tentu bisa bersama-sama ikut merasa senang merayakan SelaSAstra dihari apapun itu terjadi.Enam belas April 2016 yang lalu, hari Sabtu Legi malam Minggu Pahing bersama mas Andy Sri Wahyudi SelaSAstra yang ke empat dirayakan.Bukankah itu seperti usulan yang terlanjur terjadi juga? Mengusulkan agar selasastra terjadi di lainSelasa seperti Sabtu itu umpamanya. Usulan ini belum tentu diterima oleh umum meski terlanjur terjadi. Umum bisa juga masih berharap agar tetap beristiqomah pada hari Selasa agar namanya tetap bersesuaian atau alasan yang lain. Ada alasan tersendiri selasastra selama ini terjadi di hari Selasa.Tidak ada hal yang aneh jika SelaSAstra di rayakan di hari apapun.Menjadikan SelaSAstra layaknya hari raya yang patut disambut dengan suka cita.Bisa terjadi di hari apapun.Secara subjektif saya menilai demikian.Bukan wewenang saya untuk mengatur dan menjadwalkan SelaSAstra terjadi. Imajinasi menembus batasan selasa dan kegiatan sastra, memunculkan pertanyaan ketika terjadi di hari lain dan menjawabnya sebagai bentuk usulan.

Enam belas April dua ribu enam belas yang lalu ada Mas Andy Sri Wahyudi, Dia adalah seorang penulis dan juga aktor pantomim yang dimiliki Jogjakarta. Kamu tahukan kalau Jogjakarta juga bagian dari Indonesia ?.Dalam perjalanannya kembali ke Jogjakarta dia menceritakan kegiatannya menyinggahi Malang, Bondowoso, Bali dan di Jombang ber-selasastra di malam Minggu kemudian besok paginya kembali ke Jogjakarta.Diantara dia bercerita disisipilah pembacaan puisi yang kemudian dilanjutkanya bercerita lisan dan gerak pantomim.

Beberapa cerita yang sedikit teringat, ketika di Malang dia menceritakan kegiatanya mendongeng dan bertemu dengan seniman instalasi di kota Malang yang mulai gelisah dengan pembangunan yang berdampak pada debit sumber air yang makin kecil. Diceritakan pula bagaimana dia kagum dengan teknik pukulan mereka. Mereka memukul-mukul drum untuk karya instalasinya sedemikian rupa menjadi bentuk yang artistik. Untuk memuaskan rasa penasaran dengan bentuk yang indah dan begitu naturalnya ditanyakan bagaimana cara memberi pukulan. Pukulan itu bukan manusia yang memberinya.Drum-drum itu hanya diangkat dan dilemparkan ke arus sungai kemudian membiarkan drum-drum itu mengikuti jeram dan batu-batu dibenturnya. Sambil berlari di daratan tepi sungai, seniman ini mengikuti drum-drumnya yang berjeram ria dan berdentum-dentum seperti begitu asyiknya menikmati petualangan jeram sambil seolah-olah memainkan simphoni yang asyik. Sampai dianggapnya cukup banyak benturan yang terjadi, drum- drum itu di angkat kedaratan dan dibawah ke tempat mereka dipajang dan ditata sehingga terlihat artistik yang entah.Saya sendiri hanya membayangkanya dari ceritanya.

Dalam persinggahanya di Bondowoso, dia bercerita tentang situs megalitikum.Megalitikum atau zaman batu besar.Besar banget.Gede banget.Secara basa Jawa Timur bagian Jombang gede banget menjadi gouwede dengan mimik dan intonasi yang menunjukan keheranan berlebih.Saya pikir pengucapan yang membuat perubahan kosa kata ini tidak dikenal di Jogja.Lagi-lagi aku membayangkan se-embuh gouwedene.Menurut dia lebih gede dari situs megalitikum di luar negeri yang embuh aku lupa namanya. Bentuknya berupa patung manusia yang menurut penduduk ada yang memiliki tinggi lebih dari lima belas meter. Ada juga sebagian lokasi dari situs itu di tambang dijadikan potongan batu-batu untuk bangunan.Tambang megalitikum.Edan banget, gouwendeng –kosa kata ala Jombang-.Sebagian situs megalitikum itu berada diantara ladang perkebunan atau pertanian penduduk.Kalau musim kemarau kita bisa melihat betapa banyak atau betapa gedenya situs megalitikum disana.Lagi-lagi seperti entah dalam bayanganku.

Dibacakanya puisi setiap dia menyudahi cerita di sebuah wilayah.Sambil terdengar musik backsound yang sebenarnya tidak benar-benar menjadikanya backsound sehingga aku mencoba mencari titik temu antara musik backsound berupa gesekan biola dan pembacaan puisi dan cerita-cerita.Gagal. Serasa mendengarkan puisi di tepian jalan raya yang sedang sibuk-sibuknya mencatat perjalanan mobil, motor dan sesekali kereta api yang rel keretanya tepat memotong jalan raya dan suaranya saling menyamarkan. Cukup indah musik itu namun belum sejalan dengan puisi dan cerita yang dibacakan.

Dalam alunan musik biola, cerita itu berlanjut menuju Bali.Sebagai aktor pantomim mas Andy tak lengkap kalau tidak menampilkan pertunjukan pantomim. Gerakan pantomim merupakan hasil tiruan dari pesan verbal maupun nonverbal seperti gejala alami tumbuhnya tunas, kobar api, hembus angin, debur ombak dan sebagainya yang membuat pantomim bisa seolah gerak tari. Malam itu diperagakanya sebuah pertunjukan pantomim yang di ambil dari cerita seorang selir raja Bali.Ada mimik kemayu dan gagah silih berganti.Menyampaikan sosok selir dan raja. Ada rasa sedih yang muncul dalam pertunjukanya kemudian menjadi mimik yang gembira dari sang selir. Meski pengorbanan sang selir menyakitkan dirinya namun kalau itu menjadi hal yang baik akan tetap menjadikanya terasa indah. Dari gerakanya saya menebak demikian.

Malam itu, selasastra terasa meriah.Selain oleh penampilan mas Andy dengan cerita perjalanannya juga penampilan pengamen dengan biolanya.Acara malam itu di akhiri dengan pembacaan puisi oleh mas Andhi Setyo Wibowo yang akrab kami panggil Kephix. Si tuan rumah di Boenga Ketjil. Bunga kecil hanya bunganya yang kecil bukan pohonnya.Bunga yang jika ditambah dengan huruf H di akhirnya menjadi bungah.Bungah kecil searti dengan kebahagiaan kecil atau kebahagiaan sederhana.Sederhana yang membahagiakan.Entah.Tak ada pertalian dengan usulan SelaSAstra.Tak perlu memaksa untuk menjadikan selasastra menjadi hari Selasa yang dimeriahkan dengan sastra.Istiqomah itu penting.Istiqomah bukan ngotot dengan keinginan.Istiqomah itu fleksibel, menyesuaikan tanpa meninggalkan.Anggaplah cukup mengusulkannya menjadi hari istimewa seperti hari raya yang bisa dirayakan dengan bahagia.Tanpa harus menetapkan pada hari tertentu.Cukup selalu ada di setiap bulanya.

Pembaca yang budiman, catatan ini bisa terlalu ngawur untuk dijadikan sebagai pedoman bertutur yang lebih mencerahkan. Maaf-maaf pembacalah yang akan menjadi hal ini menyenangkan. Meskipun maaf tidak akan bisa menyembuhkan luka, setidaknya maaf akan membuat jalan yang lebar kelak disuatu masa yang akan datang. Saya pun bisa melenggang dengan nyaman.

Pembaca yang budiman, catatan ini ditujukan sebagai dokumentasi kegiatan selasastra meski sedikit memaksakan untuk dianggap menjadi layak disebut dokumentasi.Apabila dalam catatan ini ada hal-hal tak wajar dan ngawur.Terasa berteori, mengkritik maupun hal-hal yang membuat rasa mual dan kepala pening percayalah tubuh anda sedang dilanda virus sejenis catatan dokumentasi SelaSAstra.Belum ada vaksin maupun obat untuknya.Hanya menganggapnya sebagai catatan dokumentasi berdasar perasaan dari ingatan bolong-bolong mungkin bisa membuat anda sedikit lega dan bisa melangkah dengan riang. Senyum anda yang menawan pun akan menemukan tempat untuk berteman dengan si bahagia. Memori ingatan anda bisa anda gunakan untuk menyimpan dan mengingat hal- hal yang lebih akrab dengan dunia anda.Mungkin juga ketika anda membuang hal yang tak perlu di simpan dalam ingatan, anda bisa saja menemukan kenangan dari catatan belanja ibu yang anda ingat-ingat dulu sebelum belanja.Kemudian dari situ anda bisa menceritakan ulang kenangan anda tentang catatan belanja ibu.Meski ibu tak pernah memberi kita catatan belanja hingga begitu panjang, setidaknya kita bisa mengingat setiap cerita yang memuat pesan yang lebih kuat dari sebuah perintah.Setidaknya catatan ini tetap ngawur sampai disini.

1 Mei 2016
*) Upaya dokumentasi SelaSAstra #4 Boenga Ketjil 16 April 2016
https://selasastrain.blogspot.co.id/2018/03/selasastra-mari-kita-nikmati-saja.html


SASTRA, SEBUAH TAMAN BUNGA

$
0
0

Ahmad Anshori *

“Urusan yang coba kutuntaskan, melalui kekuatan kata-kata, adalah membuatmu mendengar, membuatmu merasakan—dan yang utama adalah membuat matamu terbuka. Begitulah, tidak lebih.” – Joseph Conrad (1857-1924)

Pernyataan dari salah satu penulis terbaik Britania ini yang barangkali akan sedikit mewakili apa yang terjadi dalam diskusi budaya Selasatra #14 yang bertajuk “sastra dan realita sosial” pada Rabu (15/2/17) malam lalu di warung Boenga Ketjil, Parimono Jombang.

Meskipun memang sulit awalnya bagi pemula seperti saya untuk mencerna apa yang didiskusikan saat itu, beruntunglah karena ketiga narasumber diskusi tersebut (Rakhmat Giryadi, Tjahjono Widarmanto, Nanda Sukmana) adalah sastrawan dan dramawan luarbiasa yang dimiliki Jawa Timur, sehingga nasib kami para pemula, diperhatikan. Diskusi hangat yang diikuti sekitar 20 orang itu membahas tentang bagaimana realitas sosial muncul dalam bentuk ekspresi. Saya baru memahami kekuatan kata-kata dari pembicaraan malam itu, karena para peserta diskusi sebagian besar adalah para seniman dan pelajar yang tertarik pada dunia seni. Beberapa poin yang saya rasa penting akan saya catat disini.

Diawal diskusi mas Yon mengemukakan tiga aliran puisi yang hadir di Indonesia yakni Sapardian (merujuk pada nama Sapardi Joko Darmono) yang memiliki kekuatan pada liriknya,lalu Afrizalian ( merujuk pada puisi-puisi Afrizal Malna ) yang didominasi metafora gelap dan mengusung keterasingan (alienasi) dan aliran Rendra dengan lirik-liriknya yang lugas dan menyuarakan realitas kaum pinggiran. Semua karya sastra pada dasarnya bersinggungan denga realitas sosial. Hanya karena perbedaan gaya, maka realitasnya menjadi bias. Oleh karenanya sastra tak ubahnya seperti taman bunga, ada mawar, tulip, ilalang, bahkan rumput teki.

Ketika berbicara mengenai sastra, Pak Nanda melihatnya sebagai sebuah kerja saintifik (yang estetik), karena menurutnya proses peng-karya-an selalu tidak lepas dari pengamatan terhadap realitas sehingga kerja sastra adalah menciptakan fakta objektif. Hal ini agaknya berlawanan dengan ide bahwa seni adalah kerja ekspresi yang simbolik. Para seniman bekerja memproduksi simbol. Namun, seni walaupun tidak memuat fakta – fakta, sebenarnya juga mengungkapkan kebenaran.

Masalah yang muncul adalah bahwa situasi kesenian saat ini, yang dulunya dipandang sebagai ‘tontonan dan tuntunan’ ataupun keindahan yang berguna, saat ini nilai ‘berguna’ itu telah luntur. Apakah terjadi pemisahan antara pendidikan dan kesenian? Hal ini tentu tidak bisa dibiarkan karena meskipun ada anggapan bahwa seni bukanlah ilmu pengetahuan, seni tetap tidak bisa meninggalkan logika. Estetika dan pemikiran akan menjadi sebuah ramuan ekspresi.

Kita yang saat ini hidup di era post-modern mungkin lupa pada perdebatan di tahun ‘60an antara kelompok sastra yang menanggung tugas sosial dan sastra pengabdian estetika. Namun, bisa saja perdebatan itu diam-diam masih terjadi sampai saat ini. Karena seperti yang diungkapkan Aristoteles, sastra menjadi jalan menuju kebenaran keempat setelah agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan. Sastra menjadi tugas yang begitu berat dilaksanakan.

Politik pun tak luput dari perbincangan, bahwa karya seni memiliki kekuatan luar biasa yang ketika dibaca secara masif maka akan menciptakan realitas sosial seperti yang diinginkan (tentu saja oleh pihak yang berkepentingan). Inilah mengapa di zaman dahulu, para raja memelihara pujangga di istana. Dan apabila kita jeli, tradisi ini masih dilakukan dan bahkan efektif sampai saat ini.

Ruang ini yang kita butuhkan,seperti yang dikatakan Lek Gir ketika menutup diskusi. Dimana pemikiran-pemikiran estetik bertemu dengan logika realitas, sehingga logika dan estetika akan melahirkan sebuah penafsiran baru. Seperti yang diharapkan, bahwa seni tidak menimbulkan kesimpulan, namun menimbulkan pertanyaan. Lalu apa yang dipertanyakan? Para seniman haruslah melahirkan pertanyaan tentang kebenaran realitas yang ditemui, atau diziarahi.

*) Mahasiswa KPI ( Komunikasi Penyiaran Islam ) Universitas Hasyim Asy’ari Jombang.
https://selasastrain.blogspot.co.id/2018/03/sastra-sebuah-taman-bunga.html

Para Satrawan Cuma Dapat Honor Rp 100 Ribu

$
0
0

Dua Hari Ikut Kegiatan Disbudpar Provinsi Jatim
Ngopibareng.id 23 Feb 2018

Terlalu, itulah yang dialami para satrawan Jawa Timur. Dua hari mengikuti kegiatan Training of Trainer (TOT) yang diadakan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata tanggal di hotel Utami Jl. Juanda Sidoarjo 20 dan 21 Februari lalu, ketika acara selesai, mereka cuma diberi uang saku sekaligus uang transportasi sebesar Rp 100 ribu.

Padahal sebagian besar dari mereka yang seluruhnya berjumlah 70 sastrawan, datang dari luar kota antara lain Pacitan, Madiun, Nganjuk, Ngawi, Sumenep, Jember, Banyuwangi dan daerah-daerah lain. Beberapa peserta segera saja mengungkapkan kekecewaan mereka di media sosial, termasuk Facebook.

Tjahyono Widarmanto, sastrawan dari Ngawi yang mengikuti kegiatan ini menilai kebijakan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jatim ini menunjukkan perilaku yang tidak berbudaya, melecehkan profesi sastrawan, dan melakukan eksploitasi terhadap para sastrawan yang diundang.

Dihubungi Jumat 23 Februari siang, Tjahyono yang juga mengajar di SMA Negeri di Ngawi menjelaskan sebenarnya para peserta atas inisiatif panitia telah membuat grup Whatsapp, dan sudah mengeluhkan tentang uang saku yang mereka terima.

“Tetapi ternyata keluhan kami tidak ditanggapi oleh panitia, yang juga ikut dalam grup itu. Kami ini diundang sebagai penulis, meskipun diantara peserta ada juga yang menjadi PNS atau guru. Karena itu para peserta berharap nanti akan mendapatkan ganti uang transport, syukur-syukur juga dapat uang saku. Tetapi ternyata cuma dapat Rp 100 ribu. Kami para peserta berpendapat pasti ada yang tidak beres dengan seratus ribu itu,” katanya.

Sementara peserta lain, Muhammad Lefand dari Jember mengaku heran, kegiatan Dinas Provinsi kok memberi uang saku cuma segitu, Rp 100 ribu. “Saya itu sering ikut kegiatan seperti ini baik tingkat kabupaten maupun nasional. Di tingkat kabupaten saja saya mendapat uang transport dan uang saku Rp 100 ribu per hari. Lha ini di tingkat provinsi kok malah dapat segitu. Saya tidak melihat berapa angka yang tercantum dalam 8 lembar kwitansi yang harus saya tandatangani. Sekali lagi saya cuma heran, bukan mau menuntut atau mau macam-macam. Cuma heran,” katanya.

“Dari tempat saya ke Surabaya pulang pergi, kira-kira saya menghabiskan Rp 140 ribu. Untuk mendapat surat tanda kesehatan sebagai persyaratan peserta, saya bayar Rp 20 ribu. Karena tidak ada pemberitahuan mengenai berapa yang akan saya peroleh, berdasarkan pengalaman, saya perkirakan tiap peserta akan mendapat paling tidak Rp 400 ribu. Itu berdasarkan pengalaman saya mengikuti kegiatan baik di tingkat kabupaten maupun nasional,” katanya.

Dihubungi terpisah, Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Laboratorium, Pelatihan dan Pengembangan Kesenian pada Disbudpar Provinsi Jatim Effie Wijayati minta maaf kalau para peserta TOT itu mempersoalkan nominal yang mereka terima. “Selama tiga hari saya ada tugas di Jakarta, jadi saya tidak tahu ada persoalan yang mengganjal seperti itu,” katanya pada ngopibareng.id.

“Tetapi saya memahaminya, dan saya mohon maaf pada teman-teman penulis peserta TOT. Saya sebagai penanggungjawab kegiatan itu sebenarnya bertindak bonek, (bondo nekat). Saya ingin mencari masukan dari para penulis, yang nantinya mereka akan menjadi intsruktur di daerah untuk program penulisan. Tetapi anggaran kami sangat terbatas. Itulah yang saya sebut bonek,” jelas Effie Wijayanti.

Effie berharap masalah tidak berlarut-larut, dan pihaknya akan melakukan perbaikan untuk pelaksanaan mendatang. “Ini adalah awal, sebagai orang baru di Disbudpar saya akan banyak belajar. Karena dari titik awal ini akan ada kelanjutan-kelanjutan program kerjasama dengan penulis. Selama ini, katanya yang mendapat perhatian adalah seniman bidang seni lain seperti tari atau seni yang lain. Program untuk sastrawan belum pernah ada, jadi ini adalah awalan. Kalau dalam pelaksanaannya ada yang tidak sempurna, saya mohon maaf,” katanya. (nis)

https://www.ngopibareng.id/timeline/dua-hari-ikut-kegiatan-disbudpar-provinsi-jatim-para-satrawan-dapat-honor-rp-100-ribu-3297726

Membayangkan Bedah Buku MMKI di PDS H.B. Jassin

$
0
0

Nurel Javissyarqi *

Saya tak menyangka kalau buku “Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia” bakal dibedah di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin. Jangan-jangan ini lamunan saja, karena kebetulan tengah baca ulang buku susunannya ‘Paus Sastra Indonesia’ yang bertitel “Kontroversi Al-Qur’an Berwajah Puisi,” Grafiti 1995, tentunya lagi berseberangan. Bayangan ini menjulur pada peristiwa lampau “Ketika Jogja Menghakimi Jakarta,” karena lupa tanggal bulan tahun kejadiannya, saya telusuri di google, dimulai Jam 20.00 tanggal 28 Mei 2003 di Auditorium IAIN SuKa (UIN Sunan Kalijaga) Yogyakarta. Sebenarnya acara malam itu menggelar diskusi dua buku puisi terbitan Jendela dan Bentang Budaya, “Suatu Cerita dari Negeri Angin” karya Agus R. Sarjono, “Reruntuhan Cahaya” karya Jamal D. Rahman, yang diselenggarakan oleh Lembaga Kajian Kebudayaan Akar Indonesia, moderatornya cerpenis Joni Ariadinata. Tapi sayang, titel tema yang menyimpang tersebut terkena hukum bandul menurut saya, yakni malahan “Jogja yang dihakimi Jakarta,” lantaran mental minder tua rumah yang masih terkungkung watak kedaerahan, kala melihat orang-orang dari pusat, letak pemerintahan RI, pintu gerbang NKRI, punjernya media-media massa Nasional beserta ornamen-ornamennya.

Sidang acara 15 tahun silam itu entah kenapa saya mengikuti, padahal sudah balik kampung ke Lamongan sejak awal 2002, mungkin ada jadwal lain yang patut dikunjungi. Dalam acara KJMJ, saya hanya datang seperti hadirin lain, atau bisalah disematkan sebagai pengamat sastra amatiran abadi. Mungkin bayangan saya ini kurang layak, sebab tidak lagi tinggal di Jogja, pun bukan roda penggerak kesusastraan di Ngayogyakarta secara umum. Dan seumpama “Buku Pertama MMKI: Esai-esai Pelopor Pemberontakan Sejarah Kesusastraan Indonesia” dibahas di PDS, ini hanyalah mimpi, impian pun tak sampai ke situ, maka jadilah ‘ngimpi’ nun jauh di sebrang angan, ataukah inilah takdirnya, selepas berlarut-larut mengerjakan tulisannya, tiada jemu membenahi berulang-ulang, mengekalkan kekisaran sekeliling pula menembus bebatas perkiraan, sambil ditemani berbatang rokok di sebelah wedang kopi pengusir penat. Dan firasat acara di PDS, serupa berkah kemurahan hati cerpenis Siwi Dwi Saputro, sang ketua proyek penulisan buku “Pada Detik Terakhir, Antologi Cerpen Duet” terbitan Bajawa Press 2017, serta komentar dari Tengsoe Tjahjono mengenai MMKI, sedang diri ini lunglai tiada mampu berbuat lebih, selaksa terlanjur syukur teramat jujur ‘matur suwon’ yang terdalam sebaik-baiknya.

Kenapa bayangan bedah buku tak sampai ke PDS? Sebab saya tetap merasa cuma pengelana yang kebetulan suka baca, atau ada segarit pesimis, kalau pandangan saya diuji sebegitu dekat dalam kehidupan ini, karena tidak mungkin digubris pendapat saya di masa-masa masih bernafas, olehnya diri selalu terbiasa menempatkan perihal yang tertulis baru diserap para pembaca setelah tiada, ketika sudah nyaman memandangi gemintang beredar di tengah malam tanpa kebisingan, seperti ramalan menyerupai bom waktu yang dihawatirkan penyair Mardi Luhung dalam beberapa kali obrolan. Namun demi menggenapi, buku-buku yang tidak dilirik itu rencananya dipersiapkan di hadapan sidang susastra, barangkali di depan para guru besar sebangsanya. Mendadak saya disergap hembusan angin tiba-tiba, suasananya nanti sunyi pengunjung, atau energi terterima belum mencapai kebulatan, ataukah ini harapan manis demi tegap melanjutkan, melancarkan serangan sekaligus menggali benteng parit-parit jebakan bagi perdebatan harmonis tentunya.

Mendung hitam ramalan Mardi kian menebal kental, saat saya menawarkan MMKI agar dibedah di STKIP Ponorogo kepada Doktor Sutejo, yang dengan nada bercanda dia berkomentar; “Tulisane wong edan!” Dilanjutkan jalan sambil tertawa renyah memandang saya yang pernah melakoni perjalanan hayat serupa “Wayang kelangan gapite” istilahnya, sewaktu bermukin di kantornya SSC. Tapi diselang masa setelah baca buku itu, dia menanggapi kalau tulisan saya teramat serius penggarapannya, dan barangkali penulis asli Kota Warok merasa kurang nyaman jika MMKI didiskusikan di kampusnya, dihawatirkan membikin persinggungan paham terhadap kritikus Maman S Mahayana pun Aming Aminoedhin, yang otobiografinya Presiden Penyair Jawa Timur akan diterbitkan SSC, dan kabar lain saat bertemu pemilik Pustaka Ilalang, Alang Khoiruddin berkomentar bahwa bukunya Aming itu sempat terbit secara terbatas. Lalu pikiran ini menerawangi sikap motivator ulung Sutejo seolah berucap; “Kau kan sudah sering mengisi acara di sini, maka cukuplah, dan saatnya ke tempat-tempat yang belum terjajaki bukumu sekaligus menjelajah.”
***

Sedikitnya tiga kali saya ke PDS H.B. Jassin, dua kali tak sempat mampir; Pertama membeli buku di dekatnya bersama cerpenis Teguh Winarsho AS setelah dari kantor surat kabar Suara Pembaruan untuk mengantarkan sebendel karya novelnya yang kemudian terbit di koran itu secara bersambung “Di Bawah Hujan” edisi 10 April 2000 – 7 Juni 2000. Kini penulis novel “Kantring Genjer-genjer, dari Kitab Kuning sampai Komunis,” PuJa, Februari 2007, menjadi bos penerbitan buku di Jogja berbendera Lafal Indonesia, Araska, Parasmu, Pinang Merah, dan diantara teman-teman yang karyanya diterbitkan ialah Sri Wintala Achmad, Abidah El Khalieqy, Otto Sukatno Cr, Mahmud Jauhari Ali. Saya jalan-jalan ringan sekitar PDS waktu itu, sambil kepul-kepulkan debunya sekalian mambayang suatu hari akan menggelar acara di situ (kalau tak keliru seturut kabar terdengar lamat-lamat, ‘Paus Sastra Indonesia’ sedang dirawat di Rumah Sakit, tapi tak terjenguk lantaran saya bukan siapa-siapa, kejadian ini hampir persis semasa saya dan rombongan Sanggar Alam asuhan pelukis Tarmuzie mengunjungi museum Affandi tahun 1990, tatkala beliau juga dirawat di RS). Dan keinginan menggelar kegiatan di PDS pelahan-lahan surut melarut pudar bersamaan kesuntukan diri memasuki alam teks tanpa pedulikan sekitar, ataukah dengan gerak menjauh, Gusti Maha Welas Asih mendekati batin Siwi, demi menyadarkan diri ini pada lamunan sempat buyar tenggelam di kesendirian. Hukum tarik-ulur inilah sandaran sekaligus motivasi dalam gua kesunyian, yakni tentu berjumpa orang-orang yang sepadan suntuk pula peroleh lebih dari perkiraan biasa.

Sekitar pertengahan September 2005 kembali ke Jakarta, ini dirunut tanggal 5 Oktober memasuki Ramadhan, dan di buku “Trilogi Kesadaran” halaman 331, adanya esai “Revolusi dan Sakit Gigi,” sungguhlah teringat penulisannya di kantor SPL (Serikat Petani Lampung), tempat adiknya kawan Y. Wibowo yakni Sigit, jaraknya berkisar 2 KM dari UNILA ke selatan, dan beberapa kali ke BaLam, bertemu para penulis, Udo Z Karzi, Asarpin, Oky Sanjaya, SW. Teofani dll. Sebelum ke Bandar Lampung, di Ibukota menemui Teguh yang kali itu sudah bermukim di Jakarta, tidak seperti paragraf di atas tinggal di Yogyakarta, lalu janjian dengan Binhad Nurrohmat bertemu di Taman Ismail Marzuki, ngobrol sana-sini, jalan-jalan di PDS pun tak lupa mencari buku-buku lawas, dan setelah dirasai cukup kami saling berpisah. Sebelum itu, saya titip kepada Teguh untuk mengurusi ISBN, sebab dimulai tahun 2004 saya telah terbitkan beberapa buku kelas stensilan; cover sablonan, dalamnya fotokopian (jejak ini terekam di bukunya Maman S Mahayana “Bermain dengan Cerpen, Apresiasi dan Kritik Cerpen Indonesia,” Gramedia, Juni 2006, pada catatan kaki di halaman 56; Sebuah fenomena menarik… Hak Cipta dilindungi Akal Budhi, ISBN: Insyaallah diridhoi allah SuBhaNahuwata’ala. Saya meminta tolong ke Teguh, selain mengusahakan ISBN PUstaka puJAngga, juga penerbit teman Lamongan, Alang Khoiruddin dengan Pustaka Ilalang, dan segeralah penulis kumpulan cerpen “Tato Naga,” Grasindo 2005, berhasrat membikin penerbitan berlabel Lafal Indonesia, kemudian ketiganya menemui takdirnya masing-masing. Di sebelah PDS itulah, saya masih mengidam rasa tidak untuk bedah buku, namun membaca puisi dengan rambut gondrong ikal memanjang seperti para pujangga tempo dulu.

Kedatangan ketiga di Ibukota untuk membedah buku “Trilogi Kesadaran; Kajian Budaya Semi, Anatomi Kesadaran, dan Ras Pemberontak” PuJa (PUstaka puJAngga), Okrober 2006, di toko kitab dekat kampus Universitas Indonesia. Dalam kesempatan itu, saya berkenalan dengan Donny Gahral Adian yang termasuk pembedahnya, di sana dia banyak mendukung pandangan buku tersebut, tidak lebih berpaham kalau filsuf Timur sebagaimana diri saya (saya hanya tersenyum, lalu berpendapat bahwa kampus-kampus besar di Indonesia, semisal UI, UGM, dll, sudah sepantasnya memiliki Mazhab Sastra, Mazhab Filsafat). Sebenarnya, acaranya tidak hanya mendiskusikan “Trilogi Kesadaran,” juga novel “Dazedlove; Reportoar Mahasiswi Demonstran,” Pustaka Ilalang, 2006, karya Rodli Tl, tapi penulisnya tidak hadir. Serampungnya acara, meluncur ke kontrakannya Teguh, di sana dikenalkan cerpenis Damhuri Muhammad yang tidak jauh dari tempatnya, lalu menuju ke kediaman kritikus Maman S Mahayana, atau kali kedua ke rumahnya di daerah Bojonggede, pertama selorong paragraf di atas, dan jalan sendiri mengantarkan bendelan puisi yang akan terbit bertitel “Kitab Para Malaikat,” PuJa, Desember 2007. Di padeponkannya, saya banyak menyerap pelbagai pengetahuan kepenulisan, menggali sungguh cerita para penyair di Jakarta, pula apa saja, sebab dia termasuk ‘loman’ tidak pelit dalam membagi-bagikan keilmuannya. Jadi teringat ungkapannya terhadap para penyair yang sok bergaya dengan kata-kata; penyair udik!

Barangkali decak gelombang laut tak pernah sama, dan saya bersyukur sempat berjumpa orang-orang penting dalam dunia sastra Indonesia walau setengah tak sengaja, atau kesengajaan selepas bersesuaian ombaknya. Sebelum dapati undangan baca puisi di acara Pengukuhan Guru Besar Prof. Dr. Abdul Hadi WM di Paramadina 9-11 Juni 2008, saya tengah mendalami buku disertasinya “Tasawuf yang Tertindas: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-karya Hamzah Fansuri,” Paramadina, Mei 2001. Undangannya dari Maman, sayangnya di baliho, di koran-koran pemberitaannya tiada nama Nurel, itu diri dimaklumi, sebab saya bukan siapa-siapa, atau bisa jadi lembar undangannya tersebut inisiatif kritikus, dan malam itu pembawa acaranya Acep Zamzam Noor, saya termasuk paling muda dari para pembaca puisi, ditutup Sutardji Calzoum Bachri. Selepas acara, kritikus produktif MSM berkata kalau diri saya dinaungi dewi fortuna, barangkali sebab sikap saya baca puisi tanpa mau diiringi musik, yang diakhirnya SCB berkata bahwa puisi yang baik, tanpa musik sudah baik. Dalam kesempatan berkumpul dengan para penyair, saya serap aura-auranya, dan di selang waktu berbeda, bertemu kembali beberapa dari mereka dalam suatu acara di TIM, sehingga ada kesempatan lagi menjajakinya, disaat itu berjumpa penyair seangkatan di Jogja, Akhmad Sekhu. Sebelum menghadiri acara di Paramadina, beberapa tamu luar kota berkumpul di rumah kritikus yang nantinya menerbitkan buku “Pengarang Tidak Mati, Peranan dan Kiprah Pengarang Indonesia,” Nuansa Cendekia, Juli 2012, di situlah awal kali mengenal Sutejo bersama Kasnadi dari bumi Batoro Katong, keduanya mengidap rasa penasaran atas keberadaan PUstaka puJAngga, karena sebelumnya melihat buku PuJa di Gramedia, dan lain kesempatan menuju Lamongan, yang membuat jiwanya terbakar menerbitkan karya-karyanya lebih jauh (baca esainya “Berkaca Menulis dari Nurel” pada bukunya “Inspiring Writer,” SSC dan Pustaka Felicha, 2010).

Ke lima menghisap Jakarta, menghadiri undangan sebagai peserta JILFest yang pertama di Kota Tua, 11-14 Desember 2008, ini pun atas rekomendasi kritikus MSM. Saya ‘kelingan,’ suatu hari Afrizal Malna sms, meminta beberapa puisi untuk dimasukkan ke program kegiatannya yang bertaraf Internasional juga, dan saya tak masuk seleksi, entah tahun berapa, yang jelas ketika almarhum Fahrudin Nasrulloh masih sehat. Dalam acara Jakarta International Literary Festival, saya berkenalan dengan sastrawan ampuh Putu Wijaya, dan memberanikan diri meminta tulisannya di blog pribadinya untuk diusung ke beberapa website saya kelola, syukurlah diberi izin seluas-luasnya. Dan saya ingat betul pendapatnya soal posisi kesusastraan Indonesia dalam kancah pergaulan susastra dunia adalah belum apa-apa. Dari situ, saya meloncat turun menggali banyak informasi melalui buku-buku lama, dll, meneliti tanggal usia waktu kejadiannya, dsb, ketika WS Rendra, Budi Darma, dst, di luar negeri, dan nyatanya suara terbanyak membesarkan kabar berita di dalam negeri semata. Lain itu, mempelajari kegiatan berkelas Nasional pula Internasional, tidaklah berpengaruh ke pribadi pengarang, atau karyalah lebih bisa berbicara. Sehingga, melihat politik sastra kian semrawut, saya tak heran atau keheranan pun tidak menyentuh pengelana. Oya, di JILFest itu juga bertemu Sihar Ramses Simatupang yang nantinya membongkar buku MMKI, dan semoga berjumpa penulis kelahiran Ngimbang, yang saya penasarani, Eka Budianta.
***

Setelah mengenang yang pernah terjadi, kini menyentuh judul bakal mengalami, atau bisa juga batal menjadi, lantaran manusia hanyalah wayang yang dimainkan Sang Dalang, mudahnya hati berbolak-balik, kelahiran serta ketiadaan di genggaman Tuhan Semesta Alam, atau saya kerap menikmati sesuatu itu berawal dari panggung belum digelar, pentas teater dimainkan, sampai berkemas-kemas menyudahi, semuanya pelajaran demi depan. Kekecewaan juga kegembiraan dunia perangainya sementara, tinggal rupa-rupa di linggiran pantai tepian jurang menawan, berharap bisa mengambil hikmah sebelum surutnya tembang. Jika bedah buku Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra MMKI di PDS H.B. Jassin terlaksana, yang rencananya hari Senin 9 April 2018, Jam 15.00-18.00. Siwi beserta para panitia (Komunitas Deo Gratias), saya dudukkan di batin ini sebagaimana guru lukis Tarmuzie, almarhum KH. Abdul Aziz Masyhuri, almarhum guru nulis KRT. Suryanto Sastroatmodjo. Almarhum Gus Zainal Arifin Thoha, kritikus Maman S Mahayana, pula Sutejo, dst, atau orang-orang baik yang secara tak sengaja mengantarkan saya menafaskan harapan hampir punah. Atau barangkali, sudah tak mengharapkan selain bernikmat-nikmat berkarya, bersunyi-sepi menghisap madu kesendirian dalam ruang-ruang kata, ataukah sudah sangat lama, apakah baru memulai rasa yang dirasakan Albert Camus, “…aku menjadi seorang seniman, tanpa penolakan, tanpa persetujuan.” (Pengantar bukunya “L’Envers et l’Endroit” 1935-1936, terbitan awal 1937 di usianya 22 tahun, pengakuannya itu merujuk tahun 1935. Kalimat tersebut terdapat dalam terbitan ulangnya di tahun 1958, pada usianya yang ke 45, atau dua tahun sebelum mangkat).

Bisa jadi inilah selayang warna selendang absurdisme; “tanpa penolakan tanpa persetujuan,” sejenis berkeinginan menghapus kemapanan yang diterimanya, atau dia tidak mau kalah pamor dengan eksistensialisme Jean Paul Sartre, sang penolak Nobel Sastra, dapat terjadi juga serupa olok-olok, pula jauh keduanya lebih mempercayakan hakim penentu, yakni waktu bersegenap perangainya, dan saya sebagai pembaca seperti selampir masa nan tertunda, nafas-nafas dipompa jantung berguna, pula bisa peroleh sia-sibe menemui masa-masa kadaluarsa. Ingatlah pandangan Putu Wijaya, maka biasa sajalah, bro! Lewat ini, lebih mudah melalui tanpa dihantui apa saja selain dosa, dan tiada menemukan raut kewibawaan putus asa di atas panggung sandiwara, sebab semuanya sudah diserahkan disaat melangkah. Karena sudah memasuki paragraf sebelas, cukuplah! Lalu mari berdiskusi tanpa membawa rasa takut melebihi orang gila yang duduk di bawah gelantungan kabel listrik tegangan tinggi, atau bayi yang ditinggalkan orang tuanya di pinggir jalan, makna kata; marilah belajar sambil menghajar, dihajar demi terus belajar sampai ke liang lahat. Ah, jadi terngiang, ‘kata’ penutup pada kuliah umum yang tak boleh saya mengikutinya di STKIP Ponorogo, dari almarhum Prof. Dr. Ayu Sutarto; “Prek!”
***

5 Maret 2018
*) Pengelana waktu tinggal di dusun Pilang, desa Tejoasri, Laren, Lamongan.

Harapkan Kemajuan Sastra Aceh, Ini Kiat Nurdin F. Joes untuk Sastrawan Muda

$
0
0


(Muhrain dan Nurdin F. Joes dengan buku “Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia” karya Nurel Javissyarqi)
Muhammad

Ditemui di sela aktivitas beliau yang saat ini bekerja pada Dinas Registrasi Kependudukan Aceh, Nurdin F. Joes mengharapkan potensi Aceh di bidang kesusastraan dapat terus meningkat, sebagai penulis sastra produktif, saran-saran kepada sastrawan muda patut dijadikan energi berkesenian, Rabu (7/2/2018).

Kepada Acehsatu.com Nurdin F. Joes menuturkan beberapa hal terkait dinamika sastra Aceh terkini. Saat ini, selain terus produktif menulis sastra, beliau mengharapkan agar kapasitas serta kualitas karya sastra Aceh terus dapat berkembang.

“Sebaiknya para sastrawan lebih berfokus kepada berkarya, jadikan itu orientasi yang utama, jika ada kalanya diskusi karya, maka upayakan mengarahkan diskusi kepada solusi meningkatkan nilai mutu karya,” Papar Nurdin.

Sosok sastrawan pendiri Warta Unsyiah juga beberapa media cetak lainnya ini cukup lama berkiprah pula di bidang kehumasan serta berangkat dari redaktur budaya, tentu kapasitas jurnalisme yang dimilikinya patut diapresiasi.

“Saya bersyukur masih bisa terus produktif menulis, meskipun kesibukan di bidang pemerintahan telah banyak menyita waktu selama ini,” Ujarnya di saat turut bertukar buku karya Nurel Javissyarqi dengan buku Antologi Sastra 80 Tahun L. K. Ara “Jejak Kata” penyusun Mustafa Ismail dan Willy Ana.

Apa yang bisa dilakukan di masa depan untuk Sastrawan kita? Hal ini diuraikan secara singkat dalam poin yang disampaikan Nurdin F. Joes berikut;

a. Kurangi debat kusir, ini sangat tidak menarik dan menyita waktu serta sia-sia. b. Jangan remehkan karya orang lain, apalagi dari segi ekstrinsikalitas penulisnya, mereka yang menulis tentu telah punya pemahaman teori yang mumpuni, karenanya jangan sekali-kali mengukur kemampuan orang dari segi “orang sekolahan” atau “orang tidak (mengenyam) sekolahan,” jauhi hal ini.

c. Fokus menulis dan menulis, pelihara pemikiran utama untuk menjadi penulis, bukan pendengar karya tulis. d. Rahasia menjadi sukses menulis sastra ada pada sikap apresiatif terhadap karya pribadi Anda, apalagi terhadap karya orang.

Berbagai cara dalam menulis sastra bisa ditempuh, namun ungkap Nurdin, cara terbaik adalah jangan berhenti. Sastrawan seangkatan Fikar W. Eda ini sangat mengapresiasi karya sastra Aceh, kita punya potensi sastra jauh melampaui zaman.

Memihak kepada sastra Barat atau Timur bukanlah sebuah solusi. Kemandirian atas kesusastraan Aceh, inilah kunci kesuksesan bersama membangun peradaban melalui karya tulis sastra. Dan pertemuan singkat di sela rehat siang membuat senyum keramahan Nurdin F. Joes mekar, semekar harapan beliau untuk sastra Aceh masa depan.
***

https://acehsatu.com/harapkan-kemajuan-sastra-aceh-ini-kiat-nurdin-f-joes-untuk-sastrawan-muda/

Sejarah untuk Kita yang Berbuat

$
0
0

Seperti Review Buku “Mak, Ana Asu Mlebu nGomah!”
Anjrah Lelono Broto *

“Kita semua harus menerima kenyataan, tapi menerima kenyataan saja adalah pekerjaan manusia yang tak mampu lagi berkembang. Karena manusia juga bisa membikin kenyataan-kenyataan baru. Kalau tak ada orang mau membikin kenyataan-kenyataan baru, maka “kemajuan” sebagai kata dan makna sepatutnya dihapuskan dari kamus umat manusia.” (Pramoedya Ananta Toer, House of Glass).

Keistimewaan Buku Ini dan Agenda Ini

Didaulat untuk menjadi pengulas dalam sebuah agenda bedah buku di masa keemasan literasi dewasa ini bukanlah sesuatu yang luar biasa. Menjawab tantangan mengunggah cover buku selama sepekan di media sosial pun bisa membuat pemilik akunnya mendadak didaulat untuk mengulas buku. Tidak malu untuk menulis puisi esai dan menerima penobatan seorang Denny JA sebagai tokoh sastrawan yang berpengaruh di zaman nowpun dapat menghadirkan dirinya sebagai pengulas buku. Tetapi, didaulat menjadi pengulas buku ini di dalam agenda ini, bagi saya pribadi boleh dibilang ISTIMEWA sekali.

Lalu, ada apa dengan buku ini dan agenda ini?

Buku ini, buku yang didaulat untuk saya ulas adalah sebuah buku karya Andy Sri Wahyudi, kelahiran Mijen, Minggiran, Mantrijeron, Yogyakarta. Dalam buku ini terdapat tiga naskah repertoar teater berbahasa Jawa. Maka menjadi tinemu nalar ketika buku ini kemudian meraih Penghargaan Sastra Balai Bahasa Yogyakarta 2017 kategori Karya Sastra Jawa Terbaik. Menjadi pengulas buku ini tentu saja sangat istimewa, mengingat pacekliknya naskah-naskah pertunjukkan teater belakangan ini, terutama yang menggunakan bahasa Jawa sebagai medianya.

Apalagi ketika mengetahui, betapa seorang Barbara Hatley pun sudi menulis Pengantar dan Ikun Sri Kuncoro menulis Penutup buku ini. Belum lagi sederet nama-nama besar dalam jagad teater, sastra, maupun peta kesenian Yogyakarta seperti Joned Suryatmoko, Ahmad Jalidu, Gunawan Maryanto, dll yang menulis endorsement buku ini. Begitu istimewanya buku ini, hingga saya menuliskan judulnya pun harus di akhir paragraf ini; “Mak, Ana Asu Mlebu nGomah!” (Ibu, Ada Anjing Masuk ke Dalam Rumah, terjemahan).

Sedang agenda ini sendiri tak kalah istimewanya. Tersebutlah seorang Andhi Setya Wibowo (Cak Kephix), jebolan Universitas Muhammadiyah Malang yang kini bergiat di Komunitas Suket Indonesia, di usianya yang menginjak kepala empat mendapatkan hidayah untuk menciptakan forum diskusi sastra. Hingga kemudian CEO Waroeng Boenga Ketjil ini pun menggelar agenda periodik bertajuk “SelaSastra”, sebuah agenda bulanan yang senantiasa dilaksanakan pada hari Selasa, kecuali jika ada pemadaman listrik, banjir, maupun penthil muser(angin puting beliung).

Agenda SelaSastra edisi ke-26 (06-03-2018) inilah yang menempatkan buku di atas sebagai objek telaahnya. Karena buku yang ditelaah bersama menggunakan media bahasa Jawa, maka ada keharusan bagi pengulas, narasumber, moderator, maupun peserta diskusi untuk mempergunakan bahasa Jawa dalam komunikasi lisannya. Sebagai pengulas, saya juga diwajibkan untuk menulis makalah dengan mempergunakan bahasa Jawa.

Bagaimana? Istimewa bukan?
Sejarah yang Membayangi dan yang Dibuat

Seperti halnya dengan apa yang saya sampaikan dalam makalah berbahasa Jawa saya yang berjudul “Kepethuk Bathuk”(Pertemuan Kepala, terjemahan), bayangan (alm) Bambang Widoyo Sp (Kenthut Gapit) langsung berputar di kepala saya ketika pertama mengetahui bahwa Andy Sri Wahyudi menggunakan bahasa Jawa dalam penulisan naskah repertoar teater di buku ini. Hal ini seakan sebuah reflek mengingat selain “Rol”, “Leng”,maupun”Tuk”yang ditulisnya, sepengetahuan saya tidak ada karya naskah teater berbahasa Jawa yang berkualitas. Bambang Widoyo Sp benar-benar seperti sejarah yang senantiasa membayangi gerak-langkah perjalanan produktifitas naskah teater berbahasa Jawa.

Hadirnya bayangan tersebut dalam kepala saya ternyata tidak berlebihan, Barbara Hatley dalam Pengantar buku ini pun menyenggol kegenialan Bambang Widoyo Sp dalam penulisan naskah teater berbahasa Jawa. Hal ini pula diakui oleh Andy Sri Wahyudi, bahwa dalam perjalanan proses kreatifnya, dirinya juga pernah membaca-memainkan naskah-naskah Bambang Widoyo Sp.

Walaupun dirinya menolak disebut sebagai epigon, tetapi dirinya juga tidak memungkiri betapa Bambang Widoyo Sp-lah yang juga memberikannya gambaran konkret sebuah naskah teater berbahasa Jawa dan menginspirasi untuk membuat karya serupa tapi dengan modal literatur mindset generasi serta asupan lingkungan sosial-politik-budaya yang berbeda. Bahkan, dalam diskusi istimewa tersebut, tanpa mengecilkan seorang Bambang Widoyo Sp, Andy Sri Wahyudi lantang berkata andai kelahirannya lebih dulu maka karyanyalah yang membayang-bayangi dalam perjalanan sejarah penulisan naskah repertoar teater berbahasa Jawa. Bukan “Rol”, “Leng”,maupun”Tuk”.

Dalam buku ini terdapat tiga naskah repertoar teater. Selain, “Mak, Ana Asu Mlebu nGomah”sendiri, juga ada “Lelakon”dan “Ora Isa Mati”.Tiga naskah repertoar teater ini cenderung menyampaikan keoptimisan dalam melakoni hidup. Kepahitan penderitaan dalam hidup dan berkehidupan yang mencuat sebagai tema cerita tidak serta-merta menampilkan aura nglayung(mengeluh dan mengharapkan kematian sebagai solusi akhir, terjemahan saya) plus udan tangis(penuh kenestapaan, terjemahan) sebagimana yang berkali dihadirkan dalam karya-karya Bambang Widoyo Sp dalam catatan sejarah sebelumnya.

Naskah “Lelakon”secara lugas menyampaikan pesan bahwa hidup harus dijalani dengan kepala dingin, dengan pikiran yang waras, dan trengginas dalam mengambil inisiatif solusi. Betapa tokoh Samsinah yang terpinggirkan dalam kelola-mengelola usaha Keluarga Lukito (orang tua tokoh Nanang) tidak menyerah dan membanjirkan keluh-kesah.

Sedang di naskah “Mak, Ana Asu Mlebu nGomah!”kegetiran hidup karena menjadi korban penggusuran oleh Pengembang “Asu” Perumahan tidak bermuara pada nglayung tanpa kendhattetapi dihadapi dengan ketegaran dan keyakinan betapa kekalahan fisik tidak harus diikuti dengan kekalahan batin. Warga yang tergusur memilih membawa pergi maesan (nisan) makam sesepuh desa sebagai simbol ketidakmatian nurani. Optimisme ini semakin runcing diraut dalam naskah ketiga dalam buku ini; “Ora Isa Mati”. Orasi tokoh Ganang di bagian akhir menjadi petanda bahwa kedirian kita sebagai manusialah yang membuat kita tetap hidup dalam pemaknaan yang lebih luas.

Sekali lagi, sebagimana yang saya sampaikan dalam makalah saya di agenda istimewa ini, melalui buku istimewa ini seakan Andy Sri Wahyudi mengajak kita untuk tidak selamanya tenggelam dalam bayangan sejarah masa lalu dan tak memiliki bayangan tentang masa depan. Mengetahui sejarah itu perlu, namun memuja-mujanya secara berlebihan, mengotak-atiknya, serta menjadikannya komoditi pro-kontra bukanlah bijak bagi saya. Andy Sri Wahyudi dengan buku istimewanya menginspirasi kita semua untuk membuat sejarah sendiri yang tak kalah istimewanya.

Saya ucapkan selamat kepada Andy Sri Wahyudi atas buku istimewanya, dan terima kasih kepada Andhi Setyo Wibowo atas pendaulatannya dalam agenda istimewanya. Sungguh, kami yang membaca buku ini dan hadir dalam agenda ini merasa begitu istimewa.
***

Trowulan, 08 Maret 2018
*) Penggagas dan Kerani Lingkar Studi Sastra Setrawulan (LS3)

Catatan: Tentang jalannya diskusi dalam agenda “SelaSastra edisi ke-26” yang berkualitas, komunikatif, dan dihadiri kawan-kawan selain dari Jombang sendiri, juga ada yang dari Nganjuk, Tuban, Mojokerto, dll, akan saya tuturkan dalam tulisan yang berbeda.
https://www.kompasiana.com/anjrah_lelono_broto/5aa176e6cf01b47f6b765842/sejarah-untuk-kita-yang-berbuat

Novel Chemistry, Buah Pikir karya Akhmad Sekhu

$
0
0

Benny Benke
suaramerdeka.com 4 Mar 2018

Aura di usia 14 tahun mengalami menstruasi dan mulai ada ketertarikan pada lawan jenis. Lelaki pertama yang membuatnya jatuh cinta adalah Baskara. Tapi di awal akil balig itu mereka berdua mengalami tragedi di ladang tebu. Kejadiannya, Baskara yang mau memberi tebu tapi terpeleset jatuh menindihi tubuh Aura. Pada saat itulah dipergoki Hendra dan teman-teman genk-nya yang memfitnahnya berbuat zina.

Sesuai hukum adat desa setempat, Aura dan Baskara mendapat hukuman cambuk dan pengasingan di gudang belakang rumah. Sebenarnya itu akal-akalan Hendra yang sakit hati karena mencintai Aura, tapi ditolak.

Karena hukuman cambuk dan pengasingan, Aura terkena gangguan jiwa berat Skizofrenia dan mengalami halusinasi gubuk ladang tebu hingga remaja. Tapi justru karena itulah, Aura punya ide-ide cemerlang hingga bekerja di biro periklanan Jakarta, kariernya cepat melesat.

Sekian lama berpisah dengan Baskara, Aura yang suka internetan tak sengaja menemukan puisi berjudul “Pulang” karya Baskara, yang membuat Aura kemudian bertekad pulang ke kampung halaman. Aura ingin sekali bertemu dengan Baskara, kekasih masa kecilnya, tapi malah bertemu Hendra yang berniat sangat jahat menculik dan memerkosa dirinya.

Kembali ke Jakarta, Aura yang sudah dewasa tak sengaja bertemu Baskara di pengajian. Baskara tetap mencintai Aura, bahkan berniat ingin melamar Aura. Sayang sekali, Baskara terlambat menyatakan keinginannya untuk menikahi Aura.

Karena keduluan Hardi, yang tinggal serumah dengan Aura, yang ternyata sejak kecil cinta Aura dan sesudah dewasa ingin menikahinya. Aura tak bisa menolak Hardi ingin menikahinya karena Emak Siti, emaknya, lebih menyetujui Aura menikah dengan Hardi, yang sudah jelas bobot, bibit dan bebetnya.

Pernikahan dengan Hardi yang penuh keterpaksaan itu membuat Aura menderita lahir batin. Puncak penderitaannya, ketika Hardi meninggal dunia yang membuat Aura harus sendirian mengasuh Laras, buah hatinya dengan Hardi. Bagaimana kelanjutan hubungan cinta antara Baskara dan Aura?

Akhmad Sekhu menulis novel ini dengan kesungguhan hati. Hasilnya, beberapa orang memberi apresiasi terhadap novel ini. “Memilih cerita yang tidak mengikuti arus adalah sebuah usaha untuk menampilkan sesuatu yang berbeda. Novel “Chemistry” mengungkapkan peristiwa kehidupan yang tak banyak diungkapkan oleh penulis lain. Karya Akhmad Sekhu yang juga berprofesi sebagai wartawan menyajikan hal itu,” kata Eddy D Iskandar, novelis terkemuka itu.

“Kisah hidup manusia memang begitu rumit dengan segala kejadian, percintaan, pekerjaan hingga karakter dan kodrat yang menentukannnya. Aura yang menjadi tokoh utama dalam novel ini begitu kompleks namun memberi ruang imajinasi untuk pembacanya agar melihat segala kehidupan itu dengan cara sederhana dan indah. Novel ‘Chemistry’ menarik sebagai bacaan ketika kita yang sering sibuk mencari sebuah kebenaran dan identitas dari sekelumit kenangan masa lalu untuk melepasnya pada sebuah takdir,” tukas Happy Salma, Model, Aktris Sinetron dan Film.

“Menurut saya ceritanya menarik, begitu menyentuh, seperti kejadian sesungguhnya. Selamat dan Sukses. Semoga menjadi Inspirasi pembacanya agar selalu tawadhu dalam segala hubungan apapun. Amin,” tambah Yenny Rachman, Aktris Film.

“Pengalaman Akhmad Sekhu sebagai wartawan film dan penyair membuat novel ini seru dan filmis dalam mengantar kisah cinta Aura dan Baskara yang romantis dan penuh dengan kata-kata puitis. Kita dibuat penasaran membaca terus ceritanya sampai habis. Cara penuturannya runut, lugas dan mengalir lancar.,” komentar Ahmadun Y Herfanda, Sastrawan cum wartawan.

“Kabahagiaan terbesar dalah hidup adalah meyakinkan bahwa kita dicintai” terselip kalimat dalam novel ‘Chemistry’ Aku suka kalimat itu! Kisah cinta yang panjang terasa klasik. Tutur kata dan kalimat penuh ‘makna’. Sukses untuk Akhmad Sekhu berhasil menuliskan semua itu dengan detail dan rapih,” pungkas Rayni N. Massardi.

Apakah novel ini akan bersambut pembacanya? Semoga.

(Benny Benke/SMNetwork/CN40)
http://www.suaramerdeka.com/entertainment/detail/380/Novel-Chemistry-Buah-Pikir-karya-Akhmad-Sekhu

Geliat Warung Sastra di Kota Santri

$
0
0

(Catatan Diskusi Selasastra#5 di Boenga Ketjil Jombang)
Aditya Ardi N *

Warung Boenga Ketjil merupakan sebuah Warung milik Andhi Setyo Wibowo yang akrab disapa Kephix, seorang aktor gaek dan Teatrawan Jombang yang sudah malang melintang di dunia Teater Indonesia. Di bidang Seni dan Budaya Cita-citanya sangat mulia, ia Sering menggelar Pentas Keliling (biasanya monolog) ke berbagai kota bersama Rekannya di Komunitas Suket Indonesia, meski tak jarang harus merogoh kocek dalam-dalam sebab harus membiayai sendiri perjalanan kreatifnya. Kephix memang bukan satu-satunya ‘Tentara kebudayaan’ yang ada di negri ini, tetapi untuk wilayah jawa Timur khususnya Jombang, kegilaan dan militansinya tak perlu diragukan lagi.

Tak puas dengan hanya berteater, melalui Warung Boenga Ketjil-nya, sebulan sekali Khepix rutin menggelar diskusi Sastra bertajuk SelaSastra yang diikhtiarkan untuk menyemai tradisi literasi dan geliat sastra di kota Jombang yang “hidup segan maunya mati saja!.” Berangkat dari kegelisahan itulah barangkali kephix kemudian berhasrat untuk menggandeng teman-teman penulis baik dari Jombang dan luar kota untuk memanifestasikan Syahwat kreatifnya dalam rupa bincang buku dan pentas sastra seperti pembacaan – musikalisasi puisi, teatrilkalisasi cerpen hingga monolog.

Pada kesempatan SelaSastra#5 rabu malam pukul 19.30 Wib, 25 Mei 2016 membincang buku “Mengenang Kota Hilang” karya R.Giryadi di pandu Oleh Zen S Pimred majalah tebuireng dan Pengulasnya Agus Sulton, kodikolog dan Akademisi sastra jebolan Unair. Diskusi berlangsung gayeng, suasana santai penuh keakraban begitu terasa. Meski sudah barang tentu dalam sebuah diskusi, dalam tradisi keilmuan, lawan debat adalah kawan berpikir yang baik. Ada beberapa gagasan yang kemudian merangsek dalam diskusi setelah pembicara selesai menyampaikan makalahnya. Kumcer Mengenang Kota Hilang, diilhami oleh realitas tengik yang sering kita jumpai. Keterpinggiran kaum urban di kota besar, kejahatan sistemik, potret Kemiskinan, penindasan, penggusuran, PHK, derap modernisasi yang menggiring manusia pada dehumanisasi. Teknologi yang menyulap manusia menjadi digit angka. Dan seabrek persoalan yang silang-sengkarut di negri ini.

Dari tema besar yang disorongkan dalam kumcer Mengenang Kota Hilang secara tak langsung mengingatkan saya pada gerakan kebudayaan di Rusia yang dibidani Andrei Zdanov, Georg Lukacs, dan Gorky awal abad 20-an. Dengan Jargon ”The People Must know their history” yang sangat terkenal itu. Pada dasarnya aliran ini berpijak dari suatu sikap penolakan terhadap sastra (dan seni pada umumnya) borjuis. Sastra borjuis banyak dicirikan oleh kecenderungan mendewakan hal-hal yang bersifat teknis dan formal, yang dituduh para penganut realisme sosialis sebagai pencideraan terhadap publik sastra, karena berusaha menjauhkan sastrawan dan peminat sastra dari realitas sesungguhnya. Pendek kata sastra borjuis lebih peduli “bentuk” dari pada “isi”. Sementara dipihak lain realisme sosialis mengklaim mencoba mengangkat kenyataan dialektik ke dalam isi sastra. Sastra harus merupakan representasi kondisi objektif masyarakat yang tertindas oleh sistem kapitalis yang menindas.

Selanjutnya soal ide, gaya romantik sebenarnya lebih dominan di dalam genre sastra yang satu ini, hal ini bisa dipahami, bahwa gaya romantik memilliki kekuatan besar sebagai propaganda ideologi, hanya deskripsi yang kuat dan mendetail saja yang menunjukkan realism sosialis sebagai sastra realis; selain klaim sebagai sastra yang merepresentasikan masyarakat yang teralienasi oleh kapitalisme. Dalam perkembangannya, realisme sosialis tidak hanya subur di rusia saja, ia mewabah, dan berpengaruh di beberapa Negara, seperti beberapa nama sastrawan dunia yang revolusioner macam Gabriel G Marquez, John Steinbeck dari USA, Jean paul Sartre, Lhu Shun dari Cina.

Terlepas dari konten diskusi, saya menggaris bawahi bahwa upaya untuk mendekatkan Sastra kepada masyarakat merupakan hal yang penting untuk digagas. Salah satunya melalui diskusi sastra yang intens. Geliat sastra semacam ini saya kira, apabila rutin digelar secara tak langsung akan mengedukasi masyarakat. Dan sekali lagi tidak penting menuntut pun menyalahkan pihak-pihak lain. Semua bisa dimulai dari diri sendiri. Menjadi besar harus dimulai dari hal kecil. Saya sangat berharap kegiatan diskusi sastra ini akan berkelanjutan sehingga proses bertukar-tangkap gagasan antara penulis, seniman, dan publik seni memiliki ruang pembiakan pemikiran. Salam kreatif dari Warung sastra di kota santri. Tabik

Waroeng Boenga Ketjil, Jombang 25 Mei 2016

*) Aditya Ardi N, Penyair, lahir di Ngoro – Jombang, Jawa Timur 7 Januari 1987. Puisinya tersebar di beberapa Penerbitan bersama: Sebelum Surga Terbakar (2008), Antologi Penyair 5 Kota (2010) Puisi Sumpah Pemuda (2014), Negeri Abal-Abal (2015) dsb. Buku antologi puisi tunggalnya Mobilisasi Warung Kopi (2011). Membaca Kartini (2016) Beberapa karya puisi dan esai dimuat di mediaonline/cetak lokal maupun nasional dan beberapa jurnal kebudayaan. saat ini sedang menyiapkan penerbitan buku Puisi Epik terbarunya yang masih dalam proses. Memenangkan Green Literary Award (Jakarta, 2015) kini tinggal dan berkarya di Dusun Gresikan RT 02/RW 02, Desa Ngoro, Kec Ngoro, Kab Jombang Jawa Timur 61473.
selasastrain.blogspot.co.id/2018/03/geliat-warung-sastra-di-kota-santri.html


Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias: Wartakan Literasi Kasih

$
0
0

Adreas Anggit W., Stefanus P. Elu
majalah.hidupkatolik.com 21 Apr 2017

Para penulis Katolik menghimpun diri dalam sebuah komunitas. Melalui goresan pena, mereka siap menjadi gelombang yang mengantar biduk ke pulau pelayanan literasi kasih.

Lantunan suara saksofon persembahan Romo Aloysius Budi Purnomo menemani peserta kopi darat Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias (KPKDG) di kompleks Gua Maria Kerep Ambarawa, Jawa Tengah, medio Agustus tahun lalu. Malam itu, para penulis Katolik meringkuk dalam dekapan hawa sejuk Ambarawa sembari ditemani teh hangat. Sajian sederhana itu menjadi salah satu bagian dari temu para penulis Katolik.

Puluhan orang dari berbagai daerah berkumpul di situ. Para penulis ini datang membawa tulisan mereka masing-masing. Di situ mereka berdiskusi dan berbagi ilmu seputar dunia literasi. Sastrawan ternama Indonesia Pramoedya Ananta Toer pernah menulis, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Para penulis Katolik, entah dalam takaran paling kecil sekalipun, sedang mendedahkan sebuah titik kecil dalam masyarakat dan sejarah Indonesia.

Dari Facebook

Komunitas dengan spirit Katolik ini lahir dari kegelisahan Liberatus Tengsoe Tjahjono, penulis asal Malang, Jawa Timur. Suatu ketika, terbersit dalam bayangannya, jika penulis Katolik bisa berkumpul dalam satu komunitas pasti bisa memberi pengaruh besar dalam dunia literasi Indonesia. “Saya membayangkan gelombang samudera yang mengantarkan biduk ke pulau-pulau pelayanan kasih, penuh tenaga, dan semangat. Penulis Katolik harus bisa seperti itu. Itulah mimpi saya kala itu,” ujar Tengsoe.

Impian ini ia utarakan kepada Agnes Bemoe yang sudah malang-melintang di dunia tulis-menulis, khususnya penulisan cerita anak. Tengsoe curhat pentingnya membuat sebuah komunitas penulis Katolik dengan memanfaatkan media sosial yang digandrungi masyarakat, Facebook.

Agnes menangkap ide itu. Pada 10 Oktober 2014, Agnes membuat sebuah grup di Facebook dengan nama Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias. Nama Deo Gratias diambil dari ungkapan bahasa Latin yang berarti “Syukur kepada Allah”. Melalui nama ini, para anggota diajak mensyukuri anugerah yang Allah berikan. Pasca dibuat, sambutan para penulis Katolik dimulai. Para penulis Katolik dari Sabang sampai Merauke ikut nimbrung berbagi informasi dan sharing pengalaman via media daring ini. Para penulis juga mulai mempublikasikan tulisan-tulisan mereka di sana.

Salah satu penggerak komunitas, Eka Budianta menyebutkan, ada keuntungan menjadi anggota komunitas ini. Pertama, melalui komunitas ini, para anggota bisa mendapat inspirasi, ide, dan gagasan baru. Kedua, para penulis memiliki jaringan yang kuat, baik antara pengarang, penerbit, media, dan toko-toko buku. Ketiga, para anggota bisa mengikuti berbagai acara, seperti temu penulis, kopi darat, retret, wisata rohani, dan sebagainya.

Melalui komunitas ini juga, para anggota bisa melakukan banyak hal yang berkaitan dengan literasi; belajar tentang kepenulisan, berbagi tips kepenulisan termasuk penerbitan dan penerjemahan, mempromosikan buku, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan literasi. Saling temu di dunia maya ini berbuah dengan lahirnya karya bersama berupa antologi puisi dan cerita pendek bertema, Mewartakan Cinta Kepada Dunia. “Sebagai penulis pun bisa menjadi saksi Kristus di dunia. Puisi dan cerita pendek dapat mengajak umat Katolik semakin dekat dengan Kristus dan sesama,” ujar Tengsoe.

Temu Muka

Rasanya tak lengkap bila perjumpaan sesama penulis Katolik hanya ada di dunia maya. Pada 19 Agustus 2015, KPKDG menggelar pertemuan di Taman Ismail Marzuki Jakarta. Banyak anggota yang menghadiri pertemuan itu. Hadir pula penulis senior, seperti Arswendo Atmowiloto, Remy Sylado, dan Romo Mudji Sutrisno SJ. Melalui pertemuan ini, para penulis Katolik diajak menunjukkan identitas kekatolikan, melakukan aksi ke basis, melahirkan tulisan bermutu yang membawa pesan kasih, serta menjadikan karya tulis sebagai bagian dari aktivitas enterpreneur.

Pertemuan kedua diadakan di Gua Maria Kerep Ambarawa, 20 Agustus 2016. Animo anggota komunitas untuk hadir cukup tinggi. Tercatat, 60 orang hadir dalam temu darat di Ambarawa. “Dalam tempo sebulan baru 10 orang pendaftar. Namun menjelang hari ‘H’ peserta melonjak menjadi 60 orang,” ujar Tengsoe.

Lewat kopi darat ini, KPKDG lebih serius menatap masa depan. Para anggota sepakat untuk menjadi pewarta dan saksi iman Katolik, mencerdaskan, mencerahkan, dan menyelamatkan generasi penerus lewat literasi, serta menjadi wadah pembelajaran berkelanjutan yang kreatif, produktif, reflektif, serta penuh syukur.

Akhir Oktober tahun lalu, KPKDG kembali menggelar Writing Camp di Rumah Retret Pratista Lembang, Bandung. Pertemuan ini menghadirkan sastrawan Ayu Utami. Kepada penulis Katolik, Ayu Utami berpesan agar menjadikan Kitab Suci sebagai inspirasi dalam menulis. “Semasa kecil, saya selalu membaca Kitab Suci. Itu memberi pengaruh besar ketika menulis,” kata Ayu Utami. Sementara awal 2017 ini, Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias kembali mengadakan Pelatihan Menulis Cerpen Katolik di Wisma Lentera Kasih Kulonprogo, Yogyakarta, 11-12 Februari 2017.

Tengsoe tak menyangka, kalau KPKDG bisa aktif seperti sekarang. Pasalnya waktu itu, ketika anggota sudah mencapai 800 orang, yang aktif mengikuti program penulisan belum mencapai 10 persen. Tapi sekarang, kekhawatiran Tengsoe terjawab. Anggota di grup Facebook KPKDG kini berjumlah 1959 orang.

Tengsoe, yang sebelumnya menjadi dosen di University of Foreign Studies Korea Selatan mengatakan, penulis Katolik di Indonesia sangat banyak jumlahnya. Karya-karya mereka berisi gagasan-gagasan di pelbagai bidang, seperti filsafat, budaya, politik, pendidikan, sastra, dan lainnya. Melalui karya-karya itu, mereka berkontribusi dan memperkaya khazanah literasi Indonesia.

Mengingat kekayaan Gereja ini, maka sangat diharapkan ada regenerasi penulis Katolik. Harus ada generasi baru penulis Katolik yang mau bersuara lewat tulisan. KPKDG bisa menjadi media bagi misi ini. Ia bisa menjadi rumah bagi orang-orang Katolik yang siap belajar, berkarya, dan berbagi di bidang literasi.

Sumber Tulisan: Majalah HIDUP Edisi 11 Tanggal 12 Maret 2017
http://majalah.hidupkatolik.com/2017/04/21/5366/komunitas-penulis-katolik-deo-gratias-wartakan-literasi-kasih/3/

USAHA MENCINTAI HUJAN RAHMAT GIRYADI

$
0
0

; refleksi SelaSastra #11
Khoshshol Fairuz *

Tidak banyak orang mengerti tentang dunia perpuisian, termasuk saya yang waktu itu secara sepihak ditugasi menjadi moderator dalam bincang buku terbaru Rakhmat Giryadi atau lebih akrab dipanggil Lik Gir: Usaha Mencintai Hujan. Hanya karena rasa pengin tahu yang besar, saya manut saja dan berangkat menuju Boenga Ketjil milik Mas Andhi Kepix. Sesuai namanya, SelaSastra juga dilaksanakan pada hari selasa (6/12/2016). Hadir dalam bincang sastra sang pengulas Mas Anjrah Lelono Broto yang sudah dahulu menempati lesehan, para pegiat sastra Jombang dan penyair-penyair Mojokerto. Acara dimulai pukul 20:00 diawali dengan engkel-engkelan soal siapa dulu yang membuka, dan secara simbolik Mas Andhi Kepix menyampaikan pembukaan dengan mengucapkan salam dilanjutkan dengan penyatuan persepsi ala saya.

Kesempatan berikutnya dialihkan kepada Mas Anjrah selaku pengulas untuk menyampaikan sepasang kertas yang telah dibagi-bagikan kepada pengunjung, ulasan yang ia berikan mengenai kesusastraan Lik Gir yang mempunyai background Jawa, tentang diksi jawa yang tidak bisa ditemukan KBBI. Menurutnya, identitas penulis bisa dengan kuat secara implisit hadir tanpa menyebutkan secara nyata, akan tetapi bisa lewat coretan puisi misalnya, makna tempat berasal akan senantiasa melekat. Dia menambahkan analisa pemilihan diksi hujan pada judul bukunya secara tidak langsung menambah deretan panjang penyair yang menganut ideologi perspektif alam, sebutlah nama Sapardi Djoko Darmono dengan “Hujan Bulan Juni” dan Afrizal Malna dalam “Arsitektur Hujan”. Lik Gir ingin menunjukkan diferensiasi dari anak-anak sajaknya, atau justru kita yang sebenarnya yang sedang diperbarui opininya tentang hujan.

Alih-alih mendinginkan suasana ulasan tersebut, Lik Gir justru memperdalam diskursus malam itu, menurutnya interpretasi yang bermacam-macam tentang sebuah puisi menjadikan karya sastra menjadi lebih kaya makna. Dalam pengembaraan meniti pembelajaran puisi misalnya, Lik Gir juga tak lepas dari sosok Tengsoe Tjahjono yang menyebutkan bahwa karya sastra puisi berbeda dengan cerpen, dimana dalam naskah cerpen seolah penulis dibuat berjarak, sedang dalam perpuisian menyatu, istilahnya adalah impresif, yaitu setelah satu karya puisi dinikmati yang timbul adalah sikap kesan, tidak cukup hanya ekspresif saja. Lagi, Lik Gir dengan tanpa rasa bersalah mencatut nama Plato yang menyebutkan teori bahwa seni atau karya sastra adalah tiruan dari tiruan, Aristoteles yang tidak sependapat membeberkan toerinya bahwa karya sastra akan lebih indah dari realita ketika ia diciptakan, kedua pendapat ini kemudian dipatahkan oleh Lik Gir dengan menyebutkan teori Art Poetica, menurutnya menulis puisi adalah proses dialektika, yaitu hal bernalar dan berbahasa dengan dialog sebagai cara untuk menyelidiki suatu masalah yang diawali dengan tesis, antitesis, dan sisntesis.

Jujur dalam otak saya timbul kecemasan, bagaimana tidak? Jalannya suatu perbincangan ditentukan sedikit-banyak oleh moderator, sedang yang hadir di sana ’orang-orang besar’ semua. Tapi semua itu hanya fiktif belaka, realitanya adalah justru guyonan yang ada, meski sebentar-sebentar mulai menegang dengan keseriusan Lik Gir membawa suasana seni yang kental, atau mungkin justru para hadirin yang datang terlalu bersikap serius nyastra, rasa humornya serius, membuat diskusi menjadi hangat-hangat Wedang Uwuh.

Usai menerangkan panjang kali lebar dengan banyak istilah asing yang jarang saya dengar, kini giliran Mas M.S Nugroho yang turut hadir di sana tidak menyampaikan pendapatnya tentang puisi. Eh ternyata bukan puisi yang dikupasnya, akan tetapi ia bercerita seni rupa, tentang bahan, seni rupa yang berasal dari bahan berkualitas baik akan dengan mudah menghasilkan karya seni yang baik, berbeda halnya jika menggunakan bahan dengan kualitas yang kurang baik, maka perlu usaha lebih untuk menjadikannya menarik. Ini apa korelasinya? Ternyata puisi juga perlu bahan sama halnya dengan seni rupa, bahan perenungan yang dalam akan menciptakan karya sastra yang dominan berkelas, meski tidak mutlak.

Menariknya lagi ketika novelis flamboyan Dadang Ari M menguraikan tentang ‘pembacaan’ karya sastra dari generasi ke generasi, menurutnya proses kebudayaan jamak dihasilkan dari warisan generasi sebelumnya. Intinya, puncak kepenyairan seseorang tidak semata berdiri sendiri, akan tetapi juga karena hasil regenerasi yang terus berlanjut dari jamannya Chairil Anwar sampai Lik Gir dan selanjutnya. Senada dengan Mas Dadang, Mas Dahliargo Ciptanugraha berpendapat bahwa penulis tidak boleh ngawur, ia harus mempunyai alasan untuk menulis, entah alasan teknis maupun ilmiah. Dengan sedikit berdehem Lik Gir menjawab pelan, bahwa ia menulis puisi atau cerpen tidak serta-merta paham bagaimana cara menulis puisi atau cerpen, ia belajar menulis karena ia banyak menulis dan tahu teknik menulis setelah dirinya melewati proses menulis itu, tentunya dengan sedikit-banyak membaca buku sebagai referensi.

Malam itu sebagai upaya pemanggungan puisi, saya membacakan sedikit hasil makalah tentang ‘pembacaan’ buku Usaha Mencintai Hujan, saya menyampaikan adanya penempatan unik ember-ember di beberapa puisi tapi tidak semuanya. Ada hal menarik antara posisi ember dengan kesesuaian isi dari puisi, hal yang tidak disengaja ini menurut Lik Gir adalah kebetulan yang betul dengan diamini sendiri, iya yah bener kata mas moderator … (loh lumayan dapat nama). Lik Gir yang didampingi oleh istri tercinta menutup konser tunggalnya dengan membacakan beberapa puisi, akan tetapi ia menolak dengan lembut ketika para audiens meminta dibacakan puisi tentanng ibunda tercinta Sajak Bisu Buat Ibu, menurutnya terlalu dalam makna seorang ibu untuk dipuisikan, lalu sambil mengusap ujung matanya yang basah, Lik Gir memilih membuka puisi lain untuk dipanggungkan. Usahanya sukses, emosi para hadirin dibuat meletup-letup dengan ikut serta membacakan sekumpulan puisi-puisinya, satu-persatu mulai membaca, ada yang dengan suara pelan sebab waktu sudah terlanjur malam, ada yang justru membacanya dengan semangat berapi-api seolah menyampaikan makna paling dalam melalui suara lantang dan intonasi mantap.

Acara selaSastra edisi #11 ditutup dengan pembacaan puisi oleh CEO Boenga Ketjil Mas Andhi Setyo Wibowo alias Andhi Kepix dengan judul …………. dilanjutkan dengan salam perpisahan.

*) Murid Mas Andhi Kepix
http://selasastrain.blogspot.co.id/2018/03/usaha-mencintai-hujan-rahmat-giryadi.html

Masa Depan Literasi, Masa Depan Bangsa

$
0
0

Tjahjono Widarmanto *
cendananews.com 28 Feb 2018

Literasi memiliki cakupan makna yang luas dan lebar. Tak berhenti dimaknai sebagai keberaksaraan atau kemampuan baca tulis semata.
Demikian luasnya wilayah literasi, maka muncullah berbagai ragam literasi. Ada literasi baca tulis, ada literasi media, ada literasi sains, literasi kultural dan sebagainya.

Agar tak merentang panjang, tulisan ini membatasi pemahaman literasi sebagai kompetensi keberaksaraan dan keterbacaan. Alasan logisnya, keberaksaraan dan keterbacaanlah yang menjadi dasar dan pintu masuk menuju literasi-literasi lainnya. Tanpa memiliki kemampuan beraksara dan membaca, tak mungkin seseorang bisa meraih kompetensi literasi-literasi lainnya.

Sebagai seorang muslim, saya meyakini bahwa dasar dari keimanan saya adalah “membaca”. Itu berarti, secara teologis, agama Islam meletakkan akal dan nalar sebagai pijakan untuk mengukuhkan iman. Hal ini jelas dan diungkapkan dengan terang benderang pada ayat pertama, surat pertama, yang memfirmankan perintah membaca! Ini berarti secara eksplisit merupakan pengagungan terhadap eksistensi nalar dan ilmu.

Firman lain dalam surat Al Quran, ada pesan lain, persaksian tentang kalam atau pena yang tak lain merupakan simbol dari “membaca dan menulis”. Lagi-lagi, hal ini menegaskan tempat sangat terhormat bagi penalaran dan pemikiran. Hal itu bermakna pula bahwa membaca dan menulis, keberaksaraan dan keterbacaan adalah laku kewajiban.

Tak dapat dipungkiri bahwa saat ini dunia dan Indonesia di dalamnya, sedang melaju pada pergerakan perubahan yang cepat dan tak terduga. Tentu saja ini bukan sesuatu yang mudah dilalui, karena pada realitasnya Indonesia bermigrasi secara tiba-tiba dari kondisi yang praliterer melompat menuju pascaliterer. Apalagi tradisi kita awalnya berangkat dari tradisi lisan, kebiasaan oral, atau kelisanan.

Bukan berarti kelisanan lebih buruk dari literer. Bahkan tak bisa disangkal bahwa kelisanan telah memberikan sumbangan dalam melakukan transformasi nilai dan karakter. Namun, kelisanan punya keterbatasan yaitu tak mampu mendokumentasikan dan terhalang keterbatasan ruang untuk merawat segala transformasi nilai atau ingatan dari transformasi nilai itu.

Akibatnya, transformasi itu terputus, sedang di sisi lain, transformasi-transformasi lainnya harus terus berjalan. Tugas tradisi literasilah yang mendokumentasikan sekaligus melanjutkan proses transformasi yang sudah dilakukan tradisi lisan.

Celakanya, saat kita belum selesai dalam kelisanan, pun belum memasuki tradisi tulisan (aksara) dengan serius, baru sebatas bebas buta aksara, datanglah taufan kelisanan kedua dengan diawali kehadiran telivisi dan dilanjutkan gempuran internet, you tube, dan sebagainya.

Melalui televisi, internet, you tube dan sejenisnya, datanglah sihir-sihir sinetron dengan wajah-wajah rupawan, film-film romantisme yang dangkal, tayangan hantu-hantu, klenik dan mistik yang ajaib dan konyol, kuis-kuis yang tak memberikan ruang bagi kecerdasan, gosip-gosip genit dan murahan yang dietalasekan dengan mewah, berita-berita hoax yang menjadi mantera dan diamini khalayak.

Lalu di manakah ada kamar baca dan buku-buku yang tersisa di ruang-ruang rumah kita? Lantas adakah sisa waktu untuk membaca buku di antara kesibukan berselfie? Adakah waktu yang memberi kesempatan pada otak dan jari untuk menulis?
Buku tiba-tiba telah menjadi sejenis makhluk langka yang lebih asing dibanding kadal dan biawak.

Celakanya, tak banyak usaha yang sungguh-sungguh dan maksimal untuk itu. Tak ada perpustakaan di rumah. Di kota-kota perpustakaan seperti kuburan gelap yang menakutkan. Di sekolah-sekolah perpustakaan hanya menjadi tempat kencan dan pacaran.

Para pengelola perpustakaan hidupnya asing dengan buku. Gedung-gedung sekolah megah dan gagah tapi perpustakaannya kecil dan koleksi bukunya hanya sekedar. Siswa-siswa malas membaca buku, hanya pintar mencari data sepotong-sepotong dari google lalu ramai-ramai copy paste tanpa menalar, menelaah dan mengkritisi data.

Guru-gurunya pun setali tiga uang, memiliki rumah-rumah besar, mempunyai mobil-mobil mewah, namun tak punya perpustakaan pribadi, tak mau menyisihkan secara rutin dana untuk membeli buku sehingga hanya bangga dan takjub dengan buku-buku jadul yang jumlahnya tak lebih dari bilangan jari. Malas menulis tapi ajeg naik pangkat melalui manipulasi-manipulasi tulisan.

Dunia literasi, jagat literer, dunia teks adalah jagat pemikiran. Sebuah teks tak berhenti menjadi teks semata. Teks tak akan pernah final. Setiap teks akan melahirkan rangsangan-rangsangan pemikiran. Sebuah teks hanyalah sebuah halte yang akan berlanjut menuju halte-halte lain, berlanjut ke teks-teks lain.

Ketika kita mengingkari dan menjauh dari dunia literasi, maka kita pun menjauhi dunia pemikiran. Semakin jauh kita dari dunia pemikiran, maka kita akan menjadi bangsa yang anonim, bangsa yang tak dikenal, bangsa yang tak diperhitungkan, bangsa yang hampa dengan gagasan-gagasan.

Melalui bukunya yang cemerlang berjudul Dream World and Catastrophe (2003), Susan Buck Morss, menegaskan, peran sangat penting aksara dalam membentuk peradaban. Melalui literasi bisa dikukuhkan identitas peradaban sebuah bangsa. Semakin sebuah bangsa jauh dari literasi, semakin kabur identitasnya sebagai bangsa. ***

*) Sastrawan, guru SMAN 2 Ngawi. Tinggal di Ngawi Jawa Timur.
https://www.cendananews.com/2018/02/masa-depan-literasi-masa-depan-bangsa.html

Guru Tanpa Literasi?

$
0
0

Sutejo

Suatu hari, datanglah 4 orang guru ke rumah (tiga orang dari Bojonegoro dan seorang lagi dari Magetan), kemudian bercerita tentang pengalamannya berliterasi. Pertama, seorang guru Fisika ketika “meminjam” tulisan Yohanes Surya langsung diganti nama dirinya, kemudian menimbulkan masalah, bahkan harus “mempertanggungjawabkan” kesilapan akademiknya itu. Beliau dengan jujur mengakui kalau mengambil tulisan itu dan mengganti nama dirinya, tanpa mengerti bagaimana akibatnya. Ketika di Surabaya, sampai diminta untuk menandatangani pernyataan bermaterai untuk tidak mengulangi.

Kedua, tentang pengalaman seorang guru ketika melaksanakan program mantan Kemendikbud, Anies Baswedan, 15 menit membaca sebelum pelajaran. “Apa yang ibu lakukan?” Dia langsung menjawab tanpa merasa bersalah, “Saya suruh anak-anak membaca buku pelajaran, berkaitan dengan bidang studi saya, Pak.” Dua fenomena ini, merupakan realita unik dan ironis di dunia pendidikan kita. Padahal, program literasi sekolah sudah digemborkan Pak Menteri sejak beliau diangkat. Bahkan, tanpa mengerti jika panduan gerakan literasi sekolah itu sudah ada desain gerakan literasi sekolah berikut panduan literasi di masing-masing jenjang. Sungguh ironis.

Fenomena itu barangkali merupakan puncak gunung es dari problem literasi para guru. Idealisme kebijakan seindah apapun, tanpa pengawalan sekolah dan dinas terkait akan menjadi isapan jempol belaka. Padahal gerakan membaca menulis itu sesungguhnya baru merupakan satu sisi dari gerakan literasi sekolah yang diidealkan oleh Kemendikbud.

Jika kita menengok Desain Gerakan Literasi Sekolah (2016) yang dikeluarkan Kemendikbud maka kita akan mengenali adanya enam ragam literasi yang disasar: (i) literasi dini, (ii) literasi dasar, (iii) literasi perpustakaan, (iv) literasi media, (v) literasi teknologi, dan (vi) literasi visual. Gerakan 15 menit membaca sebelum pembelajaran itu baru merupakan gerakan literasi dasar. Dimana literasi dasar (basic literacy) hakikatnya mengamanatkan adanya kemampuan untuk mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, dan menghitung (counting). Kelima kecakapan literatif ini masih dikaitkan dengan kemampuan analisis dalam memperhitungkan (calculating), mempersepsikan informasi (perceiving), mengomunikasikan, serta menggambarkan informasi (drawing) berdasarkan pemahaman dan pengambilan kesimpulan pribadi.

Alangkah ironisnya kemudian, memahami gerakan literasi dasar dengan pola pembiasaan 15 menit di awal pelajaran, justru ditafsirkan begitu sederhana dengan membaca buku pelajaran. Bukankah salah satu kelemahan buku pelajaran itu seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan atau kesukaan anak didik? Gerakan pembiasaan sesungguhnya bermula pada hobi dan kebebasan materi baca yang sesuai dengan selera.

Tujuannya untuk menanamkan kecintaan pada literasi dasar sehingga mereka memiliki kecerdasan literasi yang memadai. Demikian juga kasus “buta kaidah” berliterasi –sebagaimana disinggung di awal tulisan ini—sesungguhnya merupakan titik nadir dari realita ironis dunia tulis guru. Tak heran mereka sering terjebak pada jual beli karya ilmiah dan aneka ragam plagiasi. Jika kondisi demikian tidak cepat disadari para guru, apa jadinya masa depan bangsa ini? Padahal tahap pembiasaan literasi dasar itu membutuhkan keteladan guru.

Guru wajib menjadi inspirasi peserta didik. Guru dengan demikian, dalam15 menit pertama pembelajaran, menarik untuk menceritakan kisah-kisah orang sukses berbasis literasi misalnya. Atau mendiskusikan buku-buku oreantasi hidup, buku-buku fiksi dan puisi yang kontekstual dengan kehidupan peserta didik. Inilah sesungguhnya tahap menarik untuk dipersentuhkan ke hati siswa sehingga mereka memiliki pengalaman “suka” hingga tak mampu dimatrakan.

Tidak saja itu, jika menengok kebiasaan Jepang yang telah memprogramkan budaya literasi ini (10 menit sebelum pelajaran), anak-anak sudah asyik berbagi karya, mendiskusikan karya, memfragmentasikan karya fiksi, dan memusikalisasikan puisi sehingga menyatu dengan kebutuhan jiwa mereka. Kreativitas dan niat besar guru karena itu, akan menjadi jawaban untuk menghilangkan penyakit “buta literasi” ini berbasis sekolah.

Bukankah kebutuhan melek literasi dalam konteks mutakhir sungguh menjadi kunci dinamika generasi dan bangsa? Jika kita tidak ingin tergulung oleh derasnya arus informasi maka guru-guru wajib memulai dan mendampingi peserta didik dengan sejumlah kreativitas kegiatan berliterasi. Melek literasi akan mendewasakan cara berpikir, menguatkan mental, dan kemampuan merespon dengan tepat setiap informasi yang mampir.

Peta literasi versi Kemendikbud itu sesungguhnya menggambarkan demikian kompleksnya persoalan melek literasi itu. Bukan sekadar melek baca dan tulis tetapi lebih dari itu mencakupi melek teknologi dan media. Sungguh mencengangkan jika kita temukan berbagai kejahatan ciber yang akhir-akhir ini merajai Indonesia. Entah itu kejahatan penipuan, seksual, kekerasan, pemerasan, plagiasi, pencemaran nama baik, sampai terbentuknya “budaya malas” berkeluh kesah di media sosial. Hal ini terjadi, salah satu penyebabnya adalah gagalnya literasi teknologi dan literasi visual.

Kembali pada literasi dasar, maka para guru –barangkali melirik buku menarik Peter Elbow berjudul Everyone Can Write. Buku yang harus dibaca oleh setiap guru. Sehingga akan menuntun kesadaran bahwa menulis itu kodrat setiap orang di satu sisi dan di sisi lain akan menyadarkan bagaimana begitu banyak pengalaman buru menulis (bad experiences of writing) yang telah menjangkiti para guru dan siswa.

Salah satu pengalaman buruk siswa itu adalah pemahaman yang menjejali kepala anak bahwa menulis itu ditentukan oleh bakat (bawaan). Menurut Elbow, tidak. Menulis itu soal latihan berulang dan pengembangan keterampilan. Pembiasaan 15 menit sebelum pembelajaran dimulai sesungguhnya berbasis pandangan yang demikian? Untuk itu, marilah bapak dan ibu guru, kita niatkan untuk mengubah generasi bermula dan bermuara dari kekuatan literasi. Pengalaman berbagai Negara maju inilah kunci terbesarnya!
***

24 Februari 2018, Ponorogo, Jawa Timur.

Membaca Pulau Tanpa Cinta Karya Jasni Matlani

$
0
0

Sunu Wasono *
sman1bojong-tegal.sch.id

Sebuah novel ditulis sastrawan untuk tujuan tertentu: mengekspresikan diri (penulis), menghibur pembaca, mempropagandakan (program, ideologi), mengkritik lembaga, mengkritik (tingkah laku) penguasa (yang korup, tamak, bengis, otoriter). Dengan tujuan apa pun, karya sastra pada dasarnya membutuhkan pembaca. Oleh karena itu, hampir tidak ada seorang sastrawan yang menulis hanya untuk diri-sendiri.

Naskah “Memang Jodoh” karya akhir Marah Rusli, misalnya, setelah sekian lama tersimpan, akhirnya —atas sejumlah pertimbangan— diterbitkan juga.[1] Pertimbangan itu antara lain pastilah dilandasi oleh pemikiran agar gagasan yang terkandung di dalam novel tersebut diketahui pembaca meskipun dari aspek tertentu Memang Jodoh bisa dipandang sebagai upaya pribadi Marah Rusli untuk menjelaskan mengapa dirinya menikahi gadis Sunda dan menolak jodoh yang disediakan orangtua serta kerabatnya di Padang. Begitu diterbitkan sebagai buku, kisah dalam Memang Jodoh menjadi milik publik. Pengalaman pribadi Marah Rusli seakan (juga) menjadi pengalaman pembaca.

Dalam konteks itu, sebuah karya sastra, khususnya novel, justru memperlihatkan kekayaan maknanya ketika tidak direduksi sebagai pengalaman pribadi penulisnya semata. Niat dan maksud pribadi penulis tidak menjadi ukuran untuk menentukan harga (makna) dari sebuah karya sastra. Pembaca mempunyai hak untuk memberi makna pada karya yang dibacanya. Di tangan pembaca, bisa jadi karya sastra seakan menjauh dari niat penulisnya dan mendekat pada (tafsir) pembaca, baik pembaca yang “akrab” maupun “jauh” dari realitas yang dirujuk karya itu. Akan tetapi, perlu dicatat bahwa mendekat dan menjauhnya karya pada pembaca tidak semata-mata dikaitkan dengan kualitas karya itu, tetapi juga berkaitan dengan sikap (keaktifan) pembaca.

Bagaimanapun, untuk menyingkap makna karya sastra, dibutuhkan keaktifan pembaca. Di sinilah letak soalnya ketika kita berhadapan dengan Pulau Tanpa Cinta karya Jasni Matlani. Bagaimanapun novel ini berpijak pada tempat asal karya itu berada. Persoalan-persoalan yang diusung dalam karya itu adalah persoalan-persoalan yang “hidup” di lingkungan diterbitkannya karya ini. Jasni Matlani adalah sastrawan Mayasia kelahiran Kampung Kebatu, Beafourt, Kedah , Malaysia pada 16 November 1962. Ia mulai menulis secara serius pada 1982. Penulis serbabisa dan produktif ini telah menghasilkan ratusan puisi, puluhan cerpen dan esai, serta beberapa novel. Karya tersebut telah dihimpun antara lain dalam tiga kumpulan puisi (Kabus, Skrip Aneh, Dongeng Perkebunan), tujuh kumpulan cerpen (Dunia Iris, Hujan Putih, Laron, Cerita Kota Kami, Negeri Malam, Pemburu Matahari, Pembunuh Anarki), tiga novel (Cinta Lestari, Burung Merah, dan Pulau Tanpa Cinta). Ia juga menerbitkan kumpulan esainya yang diberinya judul Refleksi. Sebuah buku yang berupa panduan menulis, Cara Mudah Menghayati dan Menulis Cerpen juga telah diterbitkan. Penerima SEA Write Award 2015 ini dikenal sangat progresif di Kedah. Ia menjadi pegiat sastra di Kedah dan tergabung dalam Ikatan Penulis Kedah. Bersama sejumlah penulis Indonesia, ia menjadi penggagas berdirinya Perhimpunan Sastrawan Budyawan Negara Serumpun (PSBNS).

Pulau Pandora —latar tempat atau arena permainan tokoh-tokoh rekaaan yang diciptakan penulis— dengan segala aspek yang melingkupinya berada jauh nun di sana. Terus terang, saya sebagai pembaca memiliki keterbatasan dalam menghadapi novel ini. Saya belum akrab dengan latar dan segala persoalan yang muncul di sana. Hal ini akan membawa implikasi tersendiri. Namun, untunglah karya sastra memperlihatkan sisi universalitasnya di samping menunjukkan kekhasan dan keeratannya dengan persoalan-persoalan tempat dilahirkannya karya itu. Dalam konteks itu, saya akan menempatkan diri sebagai orang awam dalam membaca dan menikmati novel ini. Apa pun catatan yang saya berikan di sini adalah hasil dari pertemuan langsung saya dengan Pulau Tanpa Cinta. Saya tidak disaranai tulisan/tinjauan orang (sebelumnya) lain.

Secara tematik novel setebal 382 halaman —384dengan biodata penulis— ini berbicara tentang kekejaman suatu rezim di Pulau Pandora yang sekilas seakan-akan menuntut pemahaman pembacanya, khususnya terkait dengan “fakta” atau “realitas” yang dirujuk. Masalahnya, Pulau Pandora sebagai nama latar dalam kisah ini merujuk ke (negara) mana? Tentu saja sebagai pembaca, kita bisa menebak dan menduga-duga, tetapi apakah hal itu diperlukan. Barangkali yang tepat adalah memperlakukan karya ini sebagai barang rekaan yang terbuka untuk ditafsirkan.

Nama Pulau Pandora pastilah bukan nama yang sebenarnya. Dalam konteks itu, seperti yang sudah disinggung sebelumnya, menganggap novel ini sebagai karya imajinatif yang bisa mengait/dikaitkan dengan realitaa di mana pun merupakan jalan yang aman daripada menganggapnya sebagai fiksi yang sarat dengan kejadian faktual yang hanya berlaku, relevan, dan tepat untuk dikaitkan dengan peristiwa tertentu di suatu tempat tertentu. Dengan demikian, tak ada beban untuk mengusut fakta apa pun ketika seorang penikmat dan pengkaji “membaca” karya ini sebab yang terlukis dalam novel ini adalah sesuatu yang bisa saja terjadi dan berlaku di mana pun. Perilaku penguasa yang tamak dan lalim sebagaimana terlukis dalam Pulau Tanpa Cinta tidak hanya (mungkin) terjadi di wilayah Pulau Pandora —apa pun yang dimaksudkan penulis— tetapi juga bisa terjadi di mana pun di bumi ini. Berangkat dari sinilah, saya akan mencoba untuk mengulas novel ini.
***

Pulau Tanpa Cinta berkisah tentang seorang penulis yang mengalami tekanan dan tindakan represif dari penguasa Pulau Pandora. Kisah dibuka dengan adegan ditangkapnya seorang penulis (Muhammad Iqbal) —narator yang dalam novel ini menyebut diri Aku— yang tengah menikmati minuman capucino di bawah sinar cahaya rembulan di sebuah kafe di Pulau Pandora bagian selatan. Ia ditangkap oleh orang-orang upahan Tuan Presiden —dalam kisah ini mereka disebut serigala— dan dibawa ke suatu tempat yang tidak diketahuinya. Dalam perjalanan menuju lokasi itu, ia teringat pada masa kecilnya di kampung bersama neneknya. Ingatan-ingatan itu muncul sebagai kisah tentang dirinya: mulai dari masa kecil di kampung, masa sekolah, hingga ia menjadi penulis yang dibenci Tuan Presiden di Pulau Pandora.

Dikisahkan bahwa Aku terlahir dari seorang ibu yang menikah pada usia muda (13 tahun). Yang berperan besar dalam pembentukan jiwa dan karakter Aku adalah neneknya. Sejak kecil ia tinggal bersama neneknya yang penuh kasih sayang (h. 34—35). Saat masih kecil, Aku menderita sakit berkepanjangan. Ia menangis terus dan baru diam saat ia tidur. Kondisi seperti inilah yang membuatnya tidak tinggal bersama ayah dan ibunya. Menurut kepercayaan orang kampung, ia tidak serasi dengan ayah-ibunya. Oleh karena itu, ia harus tinggal dan dirawat oleh orang lain. Khawatir akan mendapat perlakuan kurang baik apabila tingggal dan dipelihara orang lain yang bukan famili, sang nenek mengasuhnya.

Di bawah didikan nenek, ia menjalani kehidupan sehari-hari sebagai anak kampung yang jauh dari kemewahan. Kampung Aku terpencil dan berada di Pulau Pandora selatan, tepatnya di pinggir sungai yang airnya mengalir jernih dan dikelilingi hutan. Di kampung ini ia tumbuh sebagai anak yang tidak menyerah dengan keadaan. Ia memiliki cita-cita mulia, yakni menjadi seorang penulis. Ternyata apa yang diinginkannya tercapai. Ketika cita-cita itu terwujud (berhasil), ia mendapati realita baru: harus berhadapan dengan tangan besi penguasa Pulau Pandora, yaitu Tuan Presiden.

Apa yang membuat Aku dibenci Tuan Presiden sehingga ia ditangkap dan dijebloskan ke dalam tahanan? Tidak lain karena ia berani mengkritik Tuan Presiden melalui karya-karyanya (h.44). Lewat karya-karyanya ia telah merekam kejahatan Tuan Presiden di Pulau Pandora (h. 52). Aku adalah seorang penulis yang berani dan idealis. Katanya, “Penulis yang berani akan terus hidup seperti matahari yang muncul pada setiap pagi, selepas melalui perjalanan malam yang panjang.” (h. 47—48). Ditambahkannya bahwa ia harus menjadi penulis yang berani menyatakan kebenaran pada dunia dan tidak takut terhadap kekejaman politik. Sikap inilah yang membuat dia mendapat sebutan (digelari) penulis terkutuk yang jahanam. Sikapnya yang berseberangan dengan kehendak Tuan Presiden di Negeri Malam[2] (nama Negara di Pulau Pandora) mengakibatkan ia harus meringkuk di dalam tahanan.

Selama dalam tahanan orang upahan Tuan Presiden, Aku disiksa secara kejam dan diinterogasi. Bermacam-macam pertanyaan diajukan kepadanya. Namun, jawaban apa pun yang diberikan, direspon serigala upahan Tuan Presiden dengan siksaan yang lebih kejam. Akibatnya, ia pingsan. Dalam kondisi semacam itu, ia (jiwanya) seakan melayang dan masuk ke dunia lain, dunia yang diselimuti kabut. Ia bertemu dengan Manora, wanita-penyair yang sangat ia kagumi. Mereka mengadakan perjalanan menuju hutan lebat yang dijaga ahli sihir. Konon di tempat ini banyak orang bersembunyi, menghindar dari kekejaman Tuan Presiden. Orang-orang yang berseberangan dengan Tuan Presiden, juga para penjahat, berada di sini untuk berlindung dari kejaran Tuan Presiden. Di sini Aku dan Manora menemukan pemandangan aneh. Misalnya saat melintasi kampung, mereka dilempari batu anak-anak. Mereka —anak-anak itu— sangat menikmati dan merasa tidak bersalah atas ulahnya itu.

Ada perdebatan antara Manora dan Aku terkait dengan fenomena itu. Muncullah sejumlah nama (Shakespeare, Sayidina Abubakar, Nabi Muhammad SAW) dalam perdebatan mereka tentang perilaku anak-anak itu. Di tempat ini pula ia bertemu dengan lelaki tua. Dari perbincangan mereka dengan orang tua diketahuilah bahwa sebelum Aku datang ke situ, sudah ada penulis lain yang datang pula untuk bersembunyi.

Melalui dunia itu pula, kisah-kisah yang terkait dengan hubungan Aku-Manora dan percintaan Aku dengan perempuan sebelumnya (Mazilah) diceritakan. Manora adalah seorang perempuan yang tadinya bekerja di surat kabar, tetapi akhirnya keluar karena media itu menjadi alat Tuan Presiden. Lalu ia pun bergabung dengan Partai Gerakan Rakyat. Setelah pemimpin partai ditangkap Tuan Presiden, Manora menyamar sebagai penyair dan menulis sejumlah puisi. Dalam pandangan Aku, Manora adalah penyair terbaik di Pulau Pandora.

Pendek kata, adegan penyekapan dan penyiksaan Aku oleh serigala suruhan Tuan Presiden melahirkan kisah-kisah yang terkait dengan riwayat hidup Aku sejak kecil hingga menjadi penulis tenar di Pulau Pandora serta perjuangan dia bersama Manora dalam melawan kekejaman Tuan Presiden. Di samping itu, adegan itu telah melahirkan juga kisah-kisah tentang kekejaman Tuan Presiden sebagaimana dikisahkan dalam Negeri Malam —karya Aku— yang di dalamnya disisipkan 18 dongeng yang kesemuanya sarat dengan sindiran terhadap Tuan Presiden.

Kisah akhirnya ditutup dengan penggambaran Aku yang masih dalam kurungan serigala upahan Tuan Presiden. Meskipun fisiknya sudah dalam kondisi hancur, ia merasa bahwa jiwanya masih hidup. Ia tidak takut karena (dengan siksaan-siksaan yang dialaminya) ia telah menaklukkan ketakutannya. Ia akan terus berjuang untuk menggerakkan hati Tuan Presiden agar kembali kepada keadilan, kejujuran, dan kebenaran. Di ujung cerita, Aku pun berucap, “Aku percaya, seni dan sastera lebih abadi, lebih mendalam menghubungkan masa hadapan daripada politik atau ekonomi yang sentiasa berubah.” Sebuah keyakinan yang menyatakan idealisme dan optimisme penulis.
***

Itulah kurang lebih garis besar kisah Pulau Tanpa Cinta. Sengaja saya deskripsikan agak panjang lebar kisah novel ini agar terbayang bagaimana Matlani mengemas apa yang hendak diutarakannya lewat novel. Dari deskripsi yang mirip penceritaan kembali itu terlihat betapa kisah ini tersusun berlapis-lapis. Pulau Tanpa Cinta menampilkan tokoh Aku (Muhammad Iqbal) sebagai narator sekaligus pelaku yang terlibat dalam kisah yang dituturkannya. Cara bertutur dengan menampilkan tokoh Aku yang sepenuhnya terlibat dalam kisah tentu membawa konsekuensi tersendiri. Yang jelas tidak ada kisah sekecil apa pun yang tidak melibatkan atau luput dari pantauan tokoh Aku. Di sini Aku hadir dan melaporkan apa yang dilihat, didengar, dirasakan, dan dialaminya. Jadi, yang tampil di hadapan kita sebagai pembaca adalah segala sesuatu yang tertangkap dan diketahui Aku. Apa pun yang dikisahkan Aku tentang kejadian atau orang-orang yang mengenal atau dikenal Aku tidak terlepas dari pandangan subjektif Aku. Sepanjang kisah, khususnya pada bagian bukan dongeng, Aku sebagai pencerita harus senantiasa hadir untuk berkisah dan menyampaikan sikap subjektifnya pada pembaca.

Di sinilah kepiawaian Matlani diuji dan terlihat. Tampaknya ia tidak kehilangan akal dan tak kehabisan bahan untuk menyajikan kisah melalui mulut Aku (Iqbal), tokoh rekaan yang diciptakannya. Tokoh Aku yang terus-menerus dalam siksaan fisik serigala upahan Tuan Presiden tidak kehabisan stamina untuk bertutur, bahkan ketika yang bersangkutan dalam kondisi tak sadar masih sanggup menuturkan pengalamannya. Dalam konteks itu, patutlah Matlani diacungi jempol sebab ia seperti tak kehabisan strategi bercerita. Ketika tokoh utama novel ini “hilang” kesadarannya ia ciptakan kisah “petualangan” Aku di alam ketidaksadaraanya. Pada bagian ini justru ia manfaatkan untuk menyingkap kisah/peristiwa sebelum penangkapan tokoh Aku. Munculnya tokoh lain, seperti Manora, dalam novel ini justru disaranai peristiwa/kisah yang berlangsung di jagat ketidaksadaran tokoh Aku.

Hebatnya, Matlani bisa menjaga keeratan dan keutuhan peristiwa yang dilukiskannya lewat penuturan tokoh Aku meskipun peristiwa yang digambarkannya terjadi di alam sadar dan ketidaksadaran tokoh Aku. Keluar-masuk tokoh Aku ke dunia sadar-tak sadar atau ulang-alik peristiwa dari dan ke dunia sadar dan tak sadar dalam novel ini terlukis dan tertata sedemikian rapi sehingga secara keseluruhan bangunan cerita terjaga keutuhannya.

Saya kira keunggulan karya ini terletak di situ. Kelebihan lainnya terletak pada kesanggupan Matlani melukiskan tokoh secara irit dan bertahap. Tokoh tidak serta-merta hadir, lengkap dengan ciri dan karakternya, di hadapan kita. Tokoh Aku yang dalam kisah ini bertindak sebagai narator baru ditunjukkan namanya setelah perkenalan dan aksi tokoh itu, khususnya terkait dengan penangkapan yang dilakukan oleh orang upahan Tuan Presiden, berlangsung sekian lama. Nama Muhammad Iqbal yang tidak lain adalah Aku —sang narator— baru dimunculkan Matlani di halaman 48.

Kejadian-kejadian yang berkaitan dengan tokoh Aku pun dimunculkan secara bertahap di sela-sela kisah penangkapan dan penyiksaan tokoh Aku. Penyisipan cerita ke cerita utama penangkapan dan penyiksaan tokoh Aku sedikit demi sedikit mengisi dan membentuk cerita bulat tentang Aku. Kisah-kisah dengan informasi yang menyertainya membentuk sulaman/anyaman cerita sehingga merata di keseluruhan cerita.

Memasuki halaman 152, Matlani menambahkan dongeng —ada 18 dongeng— ke dalam kisah utama yang tampaknya berfungsi untuk memberikan gambaran yang lengkap tentang perilaku dan kekejaman Tuan Presiden. Dongeng-dongeng itu dikatakan tokoh Aku sebagai bagian dari novel Negeri Malam yang membuat ia dijebloskan oleh orang upahan Tuan Presiden ke dalam tahanan.[3] Sebuah dongeng umumnya berkisah tentang orang-orang atau tokoh-tokoh di masa lalu yang jauh dari kehidupan kini. Namun, tampaknya hal itu tidak berlaku di dalam novel ini.

Dongeng yang dimasukkan dalam kisah ini adalah dongeng-dongeng yang dikaitkan dengan Tuan Presiden. Jika dikaitkan dengan tema kisah, dongeng-dongeng ini tampaknya berfungsi menjelaskan siapa dan bagaimana tindakan Tuan Presiden. Bagaimana Tuan Presiden bertindak otoriter, menganggap penulis sebagai musuh, melihat sesuatu dengan mata sebelah, dan lain-lain dikisahkan di bagian ini.

Kisah atau dongeng yang sarat sindiran itu rupanya tidak selalu dituturkan oleh pencerita Akuan, tetapi juga oleh pencerita lain, bahkan kelihatannya hanya pada Dongeng 1 pencerita Akuan hadir. Selebihnya (dongeng-dongeng lainnya), disampaikan oleh pencerita Diaan. Di sini terjadi perubahan sudut pandang karena penutur dongeng adalah orang ketiga yang berdiri di luar arena. Namun, siapa pun penceritanya, kisah yang disampaikan masih berkisar pada kehidupan Tuan Presiden. Dengan demikian, sindiran-sindiran yang hadir di situ juga ditujukan atau terkait dengan perilaku Tuan Presiden.

Diperlukan 224 halaman (h. 152—376) untuk menampung 18 dongeng. Jumlah dongeng sebanyak itu, yang menghiasi novel Negeri Malam karya Aku yang menyebabkan ia meringkuk dalam tahanan serigala upahan Tuan Presiden, muncul dalam lamunan dan ingatan Aku saat yang bersangkutan berada dalam cengkeraman serigala upahan Tuan Presiden. Menimbang porsi yang disediakan untuk menuturkan dongeng sebanyak itu, rasanya tidaklah tepat bila bagian ini disebut sisipan belaka sebab kisah sebelumnya (non-dongeng) “hanya” mendapat ruang 151 halaman untuk menampung 7 subjudul (bagian). Jika ditambah bagian penutup yang ditempatkan di belakang —setelah dongeng 18— maka menjadi 8 subjudul (bagian).

Jadi, secara keseluruhan novel ini terdiri atas 26 bagian (subjudul), 18 bagian di antaranya diisi dongeng tentang Pulau Pandora yang di situ nama Tuan Presiden senantiasa disebut. Saya lebih senang menyebut bagian ini sebagai kisah tambahan, bukan sisipan, yang tidak terpisahkan dari bagian sebelum dan sesudahnya. Secara tematik kisah di bagian dongeng fungsional. Mengingat bagian itu erat dengan bagian sebelum dan sesudahnya, kiranya juga tidak tepat disebut sebagai “isi” yang “dibingkai” oleh kisah sebelum dan sesudahnya.
***

Sampai di sini pembicaraan masih berkisar pada teknik penyajian. Aspek tematik novel ini belum disinggung. Jika ditelusuri lewat penuturan tokoh Aku, jelaslah bahwa persoalan yang disorot dalam novel ini adalah kebengisan Tuan Presiden, penguasa Pulau Pandora. Seluruh kisah ini sebenarnya bertumpu pada apa yang dilakukan Tuan Presiden dan orang-orang upahannya serta apa yang dialami/dirasakan Aku dari kelakuan penguasa Pulau Pandora tersebut. Bagian non-dongeng jelas mengisahkan proses tertangkapnya Aku oleh orang upahan Tuan Presiden, sedangkan bagian dongeng mengisahkan perilaku Tuan Presiden sebagaimana tersurat dalam dongeng yang dikenal oleh penduduk Pulau Pandora. Baik 7 bagian di depan, 18 dongeng, maupun satu bagian penutup cerita berkisah tentang Tuan Presiden: perilaku, sikap, dan sifat atau karakternya yang keseluruhannya mencitrakan pribadi tanpa cinta, arogan, tamak, dan bengis.

Novel —apa pun gaya penyampaiannya— pastilah berpijak/berakar pada realitas tertentu. Di sini muncul pertanyaan: siapakah Tuan Presiden dan Pulau Pandora itu? Penulis novel ini sengaja tidak menyebut nama tertentu. Ia memilih jalan penyamaran, khususnya untuk tokoh-tokoh jahat seperti Tuan Presiden dan orang-orang upahannya. Ia lebih senang menyebutkan perangai tokoh itu daripada menyebut nama tertentu. Pembaca yang akrab dengan sastra Malaysia tentulah lebih bisa merasakan sindiran-sindiran yang terdapat dalam 18 dongeng pada novel ini dan bisa membayangkan siapa orang-orang yang muncul dalam kisah ini.

Saya yang tidak memiliki referensi yang cukup tentang Malaysia rasanya tidak cukup mantap —walaupun ada sejumlah isyarat dalam novel, seperti penyebutan tahun kemerdekaan dan adanya menara kembar, misalnya— untuk mengatakan bahwa Pulau Pandora tidak lain adalah Malaysia dan Tuan Presiden adalah orang yang paling berkuasa pada suatu masa di negeri jiran itu. Kalaupun “tebakan” itu benar, masih ada hal lain, yakni persoalan-persoalan yang dibincangkan antartokoh, khususnya dialog Manora dengan Aku, yang —bagaimanapun— kurang terhayati dengan baik. Oleh karena itu, rasanya lebih tepat bila persoalan-persoalan yang muncul dalam novel ini saya keluarkan dari bingkai dan konteks Malaysia untuk kemudian ditempatkan dalam konteks yang lebih luas.

Bagaimanapun, ide yang terusung dan terlukiskan dalam karya sastra, khususnya novel, universal sifatnya. Dalam konteks itulah, saya kira apa yang digambarkan Matlani dalam Pulau Tanpa Cinta bisa terjadi di mana-mana. Maksudnya, ketamakan dan kebengisan seorang penguasa seperti yang tergambar dalam novel ini bisa berlaku atau muncul di tempat atau negara mana pun, termasuk Indonesia. Dalam konteks banyaknya pejabat di Indonesia yang masuk bui beberapa tahun ini, rasanya apa yang dilukiskan Matlani dalam Pulau Tanpa Cinta sangat relevan dengan keadaan di negara kita. Ketamakan dan kesombongan tokoh-tokoh yang terlukis dalam novel itu juga dijumpai atau terjadi di negeri ini.

Sepanjang masa tema yang muncul atau digarap sastrawan rasanya berkisar pada masalah yang itu-itu juga. Masalah yang dihadapi dan melekat pada kehidupan manusia berkisar pada soal cinta, kebebasan, kemiskinan, religiusitas, kesewenang-wenangan, keserakahan, kemunafikan. Masalah-masalah itu pulalah yang senantiasa diusung sastrawan dalam karya-karyanya, baik yang lahir di masa lalu maupun kini. Yang senantiasa bergerak dan membedakan tentulah bagaimana penggarapan masalah-masalah tersebut dalam karya sastra. Dengan kata lain, kalau karya sastra bisa dipandang dari dua aspek: bentuk dan isi, sesungguhnya yang senantiasa dinantikan pembaca adalah hadirnya cara penyajian (bentuk) yang “baru”, dalam arti yang berbeda atau khas, dari karya yang dibaca sebelumnya.

Dalam konteks itu, saya sudah berusaha menunjukkan kelebihan Pulau Tanpa Cinta pada tulisan ringkas ini. Seperti disinggung sebelumnya, dalam pandangan saya, kekuatan novel ini terletak pada strategi penulis dalam menata peristiwa yang muncul dari aksi para tokoh rekaan yang diciptakan Matlani. Kalaupun ada yang perlu mendapat catatan khusus, barangkali soal tempo cerita. Secara keseluruhan kisah memang utuh dan bulat, tetapi ada aspek yang terlewatkan pada kisah ini, yakni tempo kisah yang terkesan lamban. Akan tetapi, perlu dicatat bahwa sesungguhnya hal ini merupakan konsekuensi dari model pengisahan yang menempatkan tokoh Aku sebagai narator yang tak bisa berpisah atau mengambil jarak dengan apa yang dikisahkan.

Akhirnya, tantangan bagi pembaca novel ini adalah kesabaran. Dibutuhkan kesabaran untuk bisa membaca kisah ini hingga selesai karena secara keseluruhan kisah berpusat pada diri Aku yang menyampaikan pandangan subjektifnya mengenai perilaku Tuan Presiden. Memang pada bagian dongeng terdapat perubahan cara bertutur sebagai konsekuensi dari munculnya pencerita diaan. Akan tetapi, topik/persoalan yang dikisahkannya masih berkisar pada tindak-tanduk Tuan Presiden. Dongengnya boleh beraneka ragam, tetapi semuanya mengenai tingkah polah Tuan Presiden. Baik kisah yang dituturkan Aku maupun pencerita lainnya cenderung datar yang tidak berujung pada klimaks.

Selain ditekankan perlunya kesabaran bagi pembaca, tampaknya juga perlunya ditanamkan kesadaran bahwa tiap novel memiliki kekhasannya masing-masing yang menuntut sikap terbuka bagi pembacanya. Horison pembaca harus siap berubah untuk menyesuaikan diri dengan karya yang senantiasa bergerak sepanjang masa. Para pembaca yang menunggu-nunggu kemunculan rumitan, tegangan, dan klimaks dalam menghadapi novel, mungkin akan sedikit kecewa ketika membaca Pulau Tanpa Cinta. Sebaliknya, para pembaca yang luwes dan tidak punya target tertentu dalam menghadapi novel, boleh jadi akan menemukan keasyikan dan kenikmatan tersendiri saat membaca Pulau Tanpa Cinta. Terlepas dari persoalan itu, Pulau Tanpa Cinta telah hadir di tengah-tengah kita. Tugas kita untuk menyambut dan menghargainya sebagai bukti bahwa kita mencintai sastra dan peduli dengan apa yang dilukiskan di dalamnya.
***

Dalam sebuah tulisannya, Budi Darma mengatakan bahwa karya sastra yang baik justru mengungkapkan dunia yang seharusnya menurut moral tidak terjadi. Di bagian lain, penulis novel Rafilus itu menambahkan bahwa karya sastra yang baik diwarnai oleh kritik sosial. Akan tetapi, menurutnya, karya sastra semacam itu menjadi baik bukan karena kritik sosialnya, melainkan unsur estetikanya.[4] Matlani lewat Pulau Tanpa Cinta telah menyampaikan banyak kritik sosial terkait dengan realita yang dijumpai di negerinya yang seharusnya secara moral tidak terjadi. Kritik yang dikemas secara estetis dalam novelnya itu kiranya juga relevan dengan keadaan di negeri kita yang perilaku sebagian elit politiknya memperlihatkan kemiripan dengan tokoh-tokoh yang dilukiskan Matlani dalam Pulau Tanpa Cinta. Marilah kita renungkan dan petik pelajaran yang terkandung dalam novel ini agar Indonesia tidak menjadi negeri tanpa cinta.
[]
___________________
DR. SUNU WASONO, Lahir di Wonogiri, 11 Juli 1958. Menamatkan S1 di Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Indonesia (1985), S2 di Program Pascasarjana UI (1999), dan S3 di Program Studi Ilmu Susastra FIBUI (2015). Sejak April 1987 diangkat sebagai staf pengajar di FIBUI. Ia pernah menjadi dosen tamu di La Trobe University, Melbourne, Australia (1992). Sejumlah tulisannya (resensi, kritik, esai) telah dipublikasikan di jurnal ilmiah (Wacana, Susastra, Jurnal Kritik), antologi, dan di berbagai media massa: Suara Karya, Kompas, Pelita, Republika, Jawa Pos, majalah Horison, Bende, Syir’ah. Bukunya yang telah terbit adalah Sastra Propaganda (2007). Sejumlah hasil penelitiannya yang dikerjakan, antara lain, bersama Sapardi Djoko Damono, Melani Budianta, Saini K.M., Jakob Sumardjo, dan Bakdi Sumanto dibukukan dalam Membaca Romantisisme Indonesia (2005), Jejak Realisme dalam Sastra Indonesia (2006), dan Absurdisme dalam Sastra Indonesia (2007). Sejumlah tulisan kritiknya juga telah dibukukan dalam Konstelasi Sastra (1990), Sastra untuk Negeriku (2004), Dari Kampus ke Kamus (2005), Esai Sastra Bandingan dalam Sastra Indonesia Modern (2003), H.B. Jassin Harga Diri Sastra Indonesia (2001), Membaca Sapardi Djoko Damono (2011), dan Mahaguru yang Bersahaja (2016).
http://www.sman1bojong-tegal.sch.id/mading/membaca-pulau-tanpa-cinta-karya-jasni-matlani/

Viewing all 2226 articles
Browse latest View live