Quantcast
Channel: Sastra-Indonesia.com
Viewing all 2226 articles
Browse latest View live

Membaca Sebuah Usaha Kilas Baca “Usaha Mencintai Hujan” Karya R. Giryadi

$
0
0

Anjrah Lelono Broto *

Adalah sebuah keberkahan tiada terkira ketika seorang Andhi Setyo Wibowo (CEO Boenga Ketjil) mengontak saya untuk menjadi pengulas buku kumpulan puisi “Usaha Mencintai Hujan” karya R. Giryadi. Keberkahan tersebut tentu saja mengarah pada sang pengarangnya. Bagi insan seni kebudayaan di Jawa Timur, nama R. Giryadi tentu saja bukanlah nama yang asing. Penyair, dramawan, penulis lakon, cerpenis, jurnalis, dan sederet atribut ciamik lainnya melekat pada diri pria kelahiran Blitar yang sekarang bermukim di Sidoarjo dan akrab dengan panggilan “Lik Gir” ini. Sungguh, adalah sebuah keberkahan karena apalah artinya apa yang saya miliki dibandingkan dengan ilmu serta pengalaman beliau yang telah malang melintang di blantika perkesenian-perkebudayaan di Jawa Timur, Indonesia.

Keberkahan itu pula yang menuntun saya untuk tahu diri dan tak berani menamakan tulisan ini sebagai ulasan, melainkan sebagai “laporan hasil baca” (meminjam istilah Mas Dosen Anton Wahyudi yang tengah berjihad menjadi ayah dan suami yang bertanggungjawab). Sebagai laporan hasil baca, posisi saya tentu saja adalah salah satu pembaca di antara belantara pembaca dan calon pembaca buku kumpulan puisi “Usaha Mencintai Hujan” karya R. Giryadi ini. Demikian pendahuluan ini, semoga dimaklumi siapa saja yang nanti membaca tulisan ini.

Ilmu alam telah mengajarkan bahwa hujan merupakan peristiwa presipitasi (jatuhnya cairan yang berasal dari atmosfer yang berwujud cair maupun beku ke permukaan bumi) berwujud cairan. Hujan membutuhkan keberadaan lapisan atmosfer tebal supaya dapat menemui suhu di atas titik leleh es di dekat dan di atas permukaan Bumi. Definisi ini juga mengajarkan bahwa ada sebuah proses yang berharga untuk lahirnya sebuah hujan. Ada sebuah momentum suhu udara tertentu yang tidak serta merta terjadi begitu saja, melainkan dari sebuah pertemuan, bahkan mungkin friksi, yang dapat memicu kelahiran sebuah hujan.

Membaca atau tidak kelahiran hujan dari perspektif ilmu alam ini, hujan (berikut sekian atributnya seperti mendung, petir, gerimis, dll) telah menjadi unsur primadona dalam kelahiran karya-karya seni di tanah air. Dari kacamata pembacaan saya, hal ini karena kondisi geografis Indonesia yang berada di lintasan garis khatulistiwa sehingga hanya mengenal dua musim; kemarau dan penghujan. Andaikata, Indonesia di wilayah empat musim, besar kemungkinan unsur yang menjadi primadona karya seni di tanah air adalah salju, musim gugur, dll.

Dalam dunia kepenyairan di tanah air, “Sajak Bulan Juni”nya Sapardi Djoko Damono dan “Arsitektur Hujan”nya Afrizal Malna yang paling kita kenal. Padahal, saya yakin tidak hanya mereka berdua yang menulis puisi tentang hujan, hampir semua penyair di tanah air juga menulis puisi yang berkaitan dan atau menggunakan unsur-unsur hujan dalam karyanya. Gak percaya? Tambah koleksi buku puisi anda! (Jangan sekedar mencari di dunia maya karena itu menghambat kesungguhan anda untuk membeli buku karya sastra!)

Dalam kata pengantar buku ini, sang penyair telah menyambaikan latar belakang pemilihan judul dengan diksi “hujan” sebagai objeknya. Selain karena merasa bahwa mayoritas dari puluhan puisi di buku ini bertema hujan, nampaknya sang penyair memang menantang pembaca dan calon pembaca bukunya untuk menemukan kebaruan (dan atau boleh dibilang keberbedaan) dengan tema-tema hujan yang telah disentuh-diangkat sebagai judul dan tema sekian banyak penyair, cerpenis, novelis, komponis. Terutama tafsir hujan yang diketengahkan Sapardi Djoko Damono dalam “Hujan Bulan Juni” dan Afrizal Malna dalam “Arsitektur Hujan”. Ungkapan penyair dalam kata pengantar buku ini seakan merupakan proklamasi dari sang penyair bahwa melalui buku ini dirinya ingin melepaskan diri dari hegemoni tafsir hujan yang telah kaprah diterima oleh publik pegiat dan penikmat sastra di tanah air. (Dari puisi-puisi sampeyan di buku ini, saya yakin sampeyan telah membaca keduanya. Ini pembacaan saya, Lik, tolong nanti diproklamasikan sebenar-benarnya).

Judul buku ini diambil dari judul puisi ke empat belas dari puluhan puisi dalam buku ini. Sebuah puisi dengan empat bait dan sembilan belas baris, yang baris pertama dan keduanya lantang (dalam pembacaan saya) mengatakan; “Sesungguhnya aku mencintai hujan dengan segala laknat yang menyertai.” Dan di dua baris akhirnya, sang penyair dengan lembut berbisik; “… mengubur kenangan. Aku ingin memelukmu sederas hujan hari ini.” Ketika sang penyair memilih puisi ini sebagai judul buku, tentu telah melewati sekian banyak pertimbangan. Sementara, pemilihan ini tentu menggiring pula opini pembaca dan calon pembacanya tentang sebuah usaha yang dilakukan oleh sang penyair untuk mencintai hujan. Padahal, pembacaan saya hingga baris terakhir puisi ini hanya menemukan bahwa hujan adalah simbolisasi dari suatu kenyamanan yang lama tak dirasakan oleh diri yang sang penyair. Entah kenyamanan tersebut berupa keadaan di mana orang-orang sekelilingnya mau dan mampu memahami kegelisahannya seperti di masa lalu? Ataukah entah kenyamanan itu berupa kedekatan dengan orang yang dicintainya? (Ihir, icik2 ahemmmm. Sepurane, Lik.)

Tentang puisi-puisi lainnya dalam buku puisi ini yang mayoritas memang bertema hujan, saya tidak akan memantul-mantulkan struktur fisik maupun batinnya dengan puisi yang dipilih sebagai judul. (karena itu akan menghabiskan berlembar-lembar tulisan dan sumpah, Lik, melelahkan). Namun, satu hal yang saya apresiasi adalah kecerdasan sang penyair untuk memilah-memilih judul-judul puisi karyanya untuk dibukukan. Kecerdasan itu menggoyangkan pinggulnya pada pemilihan judul puisi yang memiliki benang merah satu sama lain, baik dari sisi diksi, tipografis, suasana, maupun irama.

Sebagai penutup, saya senantiasa meyakini bahwa karya sastra merupakan cerminan paling jujur kedirian pengarangnya. Buku kumpulan puisi “Usaha Mencintai Hujan” ini juga jujur menggambarkan kedirian R. Giryadi yang saya kenal, sebagai teaterawan, sebagai penulis naskah, sebagai cerpenis, sebagai jurnalis, dan sebagai orang Blitar yang besar di Surabaya dan bermukim di Sidoarjo. Selamat, atas terbitnya buku ini.

Semoga pembaca buku ini diberkahi dan menemukan keberbedaan tafsir hujan dari sebelum-sebelumnya.
***

*) Teman CEO Boenga Ketjil, Andhi Setyo Wibowo (Mas Kephix)
http://selasastrain.blogspot.co.id/2018/03/membaca-sebuah-usaha-kilas-baca-usaha.html


Ketika Sastra Indonesia Diijon

$
0
0

Ahda Imran
pikiran-rakyat.com 13 Mar 2018

DALAM catatannya Facebook-nya (4 Februari 2018), Soni Farid Maulana ada menyebut ihwal kagaduhan setelah terbitnya buku 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh (2014). Buku yang salah satu pangkal kegaduhannya adalah munculnya nama Denny JA (DJA) sebagai salah seorang tokoh, karena puisi esai ”temuannya” yang dianggap jadi fenomena sastra.

Di situ Soni mencatat bahwa Maman S. Mahayana ­mengundurkan diri sebagai anggota Tim 8, bahkan mengembalikan honorariumnya.

Rupanya, urusan pengembalian duit ini sa­ngat mengusik Denny JA (DJA) ­sehingga ia berkomentar, ”Setahu saya ­Maman S Mahayana tak pernah ­memulang honor penulisannya. Mohon ditanya pada Kang Maman, ia ­pulangkan dananya 25 juta itu kepada siapa?”

Pertanyaan DJA yang reaktif ini sa­ngat menarik. ­Alih-alih sebagai pertanyaan, ia sesungguhnya melontarkan pernyataan membantah catatan Soni ihwal Maman Mahayana. Pertanyaannya, dari mana DJA tahu bawa Maman Mahayana belum mengembalikan honornya? Dalam kapasitas apa DJA mengurusi urusan honor Tim 8? Bukankah ia tidak punya posisi apa pun dalam tim penyusunan buku itu kecuali orang yang dipilih oleh Tim 8 sebagai salah seorang tokoh paling berpengaruh?

Begitu awal dari skandal yang terjadi empat tahun yang lalu, yang ternyata terus berbiak dan kini menamakan dirinya Gerakan Puisi Esai Nasional, gerakan yang tentu saja masih dimotori oleh DJA. Tak tanggung-tanggung, konsultan politik termasyhur itu kini bergerak lebih masif dan sistematis demi mencari pembenaran atas klaim ketokohannya sebagai pembaru dalam dunia sastra. Ada 34 buku kumpulan puisi esai yang terbit dari 170 penulis yang berasal dari 34 provinsi, yang setiap provinsi diwakili oleh satu kumpulan puisi esai. Semua itu demi apa yang disebutnya sebagai memotret batin Indonesia. Potret batin yang lahir de­ngan cara mengijon puisi.

Ijon puisi artinya?puisi esai yang di­tulis oleh 170 penulis itu bukan lahir dari proses keinginan mereka menulis puisi esai. Melainkan ditulis karena konsekuensi menerima ajakan menulis satu bentuk puisi, dengan segala atur­an dan arahannya, dengan honor lima juta rupiah. Kesediaan itu dituangkan dalam bentuk kontrak meski puisi esai itu belum ditulis, yang kelak hak cipta puisi esai itu ada di tangan DJA.

Alih-alih benar menghadirkan potret batin Indonesia, karya 170 penulis esai itu terasa menjadi ironi.

Arahan dan aturan

Bagaimana mungkin seorang penulis yang menulis dengan sejumlah arahan dan aturan yang telah ditentukan, tema, bentuk, tengat waktu, dan segala pasal dalam kontrak, tulisannya bisa dibaca sebagai suara batin? Bisakah suara batin manusia diijon? Lalu potret apa yang sebenarnya lebih hadir dari mekanisme ijon batin ­seperti itu, atau jangan-jangan se­betulnya lebih mencerminkan potret hasrat DJA di tengah gelanggang ­sastra Indonesia?

Selain melalui lomba menulis puisi esai yang begitu besar, kemunculan puisi esai memang selalu melalui ijon. Oleh karena itu, hingga hari ini belum pernah ada penulis yang menulis puisi esai di luar demi lomba dan pesanan yang diadakan oleh tim DJA. Jangan lagi dalam bentuk buku yang diterbitkan oleh penerbit di luar jaringan DJA, terlebih yang biaya penerbitannya ditanggung sendiri oleh penyairnya. Oleh karena itu, logis juga mencurigai bahwa tulisan para sastrawan dan kritikus senior Indonesia dalam bunga rampai ”Puisi Esai Ke­mungkinan Baru Puisi Indonesia”, atau yang termuat dalam Jurnal Kritik, lahir dari proses ijon serupa itu.

Ijon sebagai siasat yang banyak ­dipakai para tengkulak dalam masyarakat pertanian tempo dulu, mudah kita temukan dalam banyak ihwal. Dunia seni rupa pernah juga diheboh­kan oleh skandal goreng-menggoreng, ketika banyak cukong bersedia membeli karya terbaru seorang pelukis yang namanya menyugesti pasar, ­meski kanvasnya masih kosong. ­Jangan sebut lagi dalam dunia politik. Para petualang politik sangat terampil mengadopsi kelakuan para pengijon demi membeli suara. Sistem ijon adalah muslihat dari radikalisme modal dalam berbagai kepiawaiannya membuat pembenaran.

Radikalisme modal, terutama di dunia seni, sangat sulit dideteksi. Tak ada undang-undang dan konstitusi yang dilanggarnya. Termasuk mana­kala radikalisme modal, yang bekerja lewat sistem ijon itu, membuat beragam klaim seperti dinyatakan DJA, yang segera diamini dan diimanioleh para ”karyawannya”, bahwa telah lahir angkatan baru dalam sastra Indonesia, Angkatan Puisi Esai.

Dipaksa lahir

Lepas dari perdebatan penting tidaknya suatu angkatan, bisakah sebuah genre disebut telah melahirkan angkatan baru bagi sejarah sastra Indonesia sementara sejarah itu dipaksa lahir dari sistem ijon? Sejarah kerap memang harus diciptakan sebagai­mana sejarah adalah bagian dari kerja politik. Termasuk kerja dari seorang pengijon yang hasratnya sedang ”di­sejarah-sejarahkan”, sebagaimana ­kerja sistematis sebuah skandal yang ”dimarketing-marketingkan”.

Melengkapi pernyataan tentang kelahiran Angkatan Puisi Esai, dengan nada yang bijak dan merendah DJA mengatakan bahwa 170 penulis puisi esai itu adalah para Foundingfather Angkatan Puisi Esai. Namun, di balik pernyataannya yang bijak dan merendah itu, timbul kesan bahwa tanggung jawab atas apa yang dinyatakannya sendiri sebagai kelahiran Angkatan Puisi Esai, tidak berada di pundaknya sendirian. Selain pernyataan tersebut mengandung klaim bahwa kelahiran angkatan tersebut merupakan aspirasi banyak orang, DJA juga sedang ­mengirim isyarat pada 170 penulis agar berdiri mati-matian melawan para penentang dan membela angkatan yang baru mereka lahirkan itu.

Terhadap para penentangnya yang muncul dalam berbagai aliansi, termasuk yang membuat petisi penolakan yang telah ditandatangi oleh lebih dari 3.000 orang, DJA menyebut mereka sebagai orang-orang yang hidup dalam pola pikir lama, yang gemetar di depan perubahan dan inovasi-inovasi baru. Termasuk yang ngotot bersikap menolak motif-motif ekonomi dalam proses penulisan puisi, atau yang membiarkan puisi tetap dalam keagungannya yang mengawang-awang, dan terpisah dari kehidupan nyata. Oleh karena itu, perubahan harus dilakukan, genre baru harus dilahirkan, pro-kontra harus diciptakan, berapa pun biayanya.

Mencermati pernyataan DJA dan sekalian rekayasa yang dilakukannya dengan radikalisme modal seperti yang dilakukan oleh para pengijon dalam masyarakat pertanian dulu,?baiknya kita cermati benar ke arah mana tudingan telunjuk DJA diarah­kan. Mengijonkan sastra Indonesia demi hasrat mendapat pengakuan sebagai pembaru?di tahun-tahun penuh pilkada ini rasanya tak perlu kaget ­benar. Tak ada yang berubah dengan pola pikir radikalisme modal, masih dengan pola pikir lama, yaitu?memakai sistem ijon. Sistem yang terlalu ter­hormat untuk ditaruh sebagai pro-kontra, apalagi memadangnya sebagai polemik.
***

http://www.pikiran-rakyat.com/hidup-gaya/2018/03/13/ketika-sastra-indonesia-diijon-421153

Pastor Albert: Banyak Orang Diselamatkan Lewat Tulisan

$
0
0

Felix
Indonesiamediacenter.com

Untuk meningkatkan budaya literasi yang baik di bagi umat Nasrani (Katolik dan Protestan), maka Universitas Katolik Widya Karya Malang (UKWK) membuat satu gebrakan baru yakni mengadakan Workshop Menulis Cerpen Satu Paragraf (Pentigraf) yang diadakan di Aula UKWK selama dua hari sejak Sabtu dan Minggu (8-9/7/2017) kemarin.

Workshop Menulis Pentigraf ini merupakan gagasan dan kerjasama antara Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Katolik Widya Karya dengan Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias (KPK DG).

Kegiatan ini diikuti oleh ratusan orang yang terdiri dari para guru (guru PAUD, SD, SMP, SMA/ SMK) lintas agama, kaum muda lintas agama, pemerhati literasi, pendidik/ dosen, anak sekolah, dan orangtua. Dan kegiatan ini dibuka oleh Rektor UKWK Pastor Albertus Herwanta OCarm.

Dunia literasi, menurut pandangan Pastor Albert, demikian dipanggil, merupakan suatu dunia yang sungguh bernas dan menantang karena di dalamnya terdapat miliaran ilmu yang kini belum disentuh, dan dipelajari oleh orang-orang Nasrani.

“Lembaga UKWK punya tanggung moral yang besar terhadap dunia literasi dan setiap potensi yang ada seharusnya dikembangkan dengan baik. Sehingga menjadi kekayaan yang akan dibagikan kepada orang lain. Kendala yang sering dihadapi mahasiswa adalah menulis. Kita menjadi Katolik atau Kristen Protestan, karena kita telah memulainya dengan menulis. Sejarah Yesus dimulai dari menulis. Dari tulisan-tulisan yang ada di dalam Kitab Suci itulah, yang akhirnya membawa kita untuk mengenal Yesus Kristus,” kata Pastor Albert.

“Menulis itu kebudayaan. Tanpa menulis, manusia (kita) akan kehilangan kebudayaan. Menulis itu memang susah kalau tidak mau berlatih. Karena tidak mau menulis, akhirnya tidak produktif. Banyak orang yang pada akhirnya diselamatkan lewat tulisan. Banyak orang yang merasa terhibur karena lewat tulisan. Banyak orang yang merasa sedih karena lewat tulisan. Banyak orang yang saling menyalahkan karena lewat tulisan. Tulisan itu harus bisa menjadi budaya. Karena di dalam budaya yang baik, akan pula melahirkan tulisan dan manusia yang baik pula,” tambah Pastor asal Jawa Tengah ini.

Antonius Agus Mahendro Sekretaris Nasional KPK-DG, dalam pandangannya menyatakan, deo gratias selalu membawa kabar sukacita bagi semua manusia lewat literasi. Karena itu, menulis bukanlah hal baru atau hal baku. Melainkan, menulis itu seorang manusia telah “menyerahkan” dirinya dan berjumpa dengan orang lain lewat tulisan. Dan lewat tulisan pula, sesama manusia dengan sendirinya dapat saling menukar informasi serta pengalaman dan pengetahuan.

“Empat issue di dalam Deo Gratias yang akan diangkat untuk dibahas yakni nasionalisme, radikalisme, ekologi, dan masyarakat terbuka (masyarakat ekonomi). Jangan main-main dengan tulisan. Empat issue itu yang akan membuat kita lebih giat lagi dalam menulis. Jangan takut untuk menulis,” pesan Mahendro, mengingatkan.

Penyair Tangsoe Tjahyono, mengungkapkan bahwa dalam elemen-elemen narasi itu, terdapat alur/ konflik, tokoh, latar, dan tema.

“Menonton film, itu sama seperti menonton konflik. Membaca buku, itu sama seperti membaca konflik. Alur itu adalah konflik yang dibuat oleh si penulis. Di dalam alur itu, hiduplah konflik. Ada konflik batin, konflik suara hati, dan lain sebagainya. Nah, sebagai penulis, bagaimana menyikapi konflik itu. Bagi saya pribadi, seorang penulis lewat tulisannya bisa menawarkan pesan moral dengan cepat, mesti harus berbelit. Dan, bagi saya, menulis itu rekreasi yang murah. Karena ada imajinasi yang liar, yang tumbuh di dalamnya,” kata Penyair kelahiran Jember, Jawa Timur ini.

Sedangkan Sastrawan Eka Budianta, kosakata seorang penulis adalah saldo. “Kalau seorang penulis punya kosakata yang baik, misalkan 200 kata, itu belum bisa membuat (menulis) cerita. Minimal harus punya kosakata yang banyak. Baik saja tidak cukup. Harus banyak. Banyak juga tidak menjamin, kalau tidak ditekuni dengan membaca dan menulis,” kata Sastrawan Eka.

Selain mengajak peserta workshop untuk mulai menulis (mencintai dunia literasi), Eka juga menyarankan peserta untuk memulai menulis dengan mengikuti langkah sederhana yakni memanfaatkan media sosial, mengoptimalisasi diskusi (harus lebih sering dan focus), dan meningkatkan produktifitas serta kualitas karya.

Agung Widyatmoko (45 tahun) ketika ditanya mengenai manfaat apa yang didapat dari mengikuti workshop pentigraf? “Menambah pengetahun dan ilmu. Karena saya sudah lama vakum dengan dunia literasi. Dulunya saya sering menulis di blog. Sekarang di facebook. Artinya, dengan saya mengikuti kembali workshop pentigraf ini, saya akan diperkaya serta diingatkan untuk kembali memulai proses kreatifitas menulis,” kata peserta dari Surabaya ini.

Sementara itu Gabriella Amalinda Dwi K, mahasiswi keperawatan RKZ Malang, mengungkapkan kegembiraannya bahwa dirinya sudah sangat lama vakum di dunia literasi. Tapi dengan kembali mengikuti workshop pentigraf, dirinya ingin kembali membangkitkan literasi yang dulunya sempat membuatnya dikenal karena keseringan menulis. “Mungkin ya ini saatnya bagi aku untuk bangkit dan memulai kembali menulis. Bagiku, dunia literasi (baca- tulis) harus dihidupkan kembali di kalangan umat Katolik dan Protestan. Kalau tidak dihidupkan kembali, akan sangat mempengaruhi citra gereja Katolik dan Protestan,” tegasnya.
***

http://www.indonesiamediacenter.com/2017/07/pastor-albert-banyak-orang-diselamatkan.html

RE-DEFINISI JAWA TIMUR, PUISI BISA APA?

$
0
0

Khoshshol Fairuz

DKJT melalui komite sastranya mengadakan sayembara dengan tema karya “Re-definisi Jawa Timur”. Memang secara histori dalam perkembangan sastra Indonesia di Jawa Timur masih didominasi puisi. Jawa Timur masih merupakan provinsi penghasil puisi ketimbang provinsi penghasil prosa. Apakah dengan demikian puisi berhak memiliki porsi untuk me-re-definisi-kan Jawa Timur. Ini pula yang menggugah hati CEO Boenga Ketjil, Andhi Setyo Wibowo, lewat kajian SelaSastra mengundang para pegiat sastra Jatim untuk merumuskan atau lebih tepatnya berdiskusi soal lokalitas, dan tentu saja puisi.

Penyair Binhad Nurrohmat berpendapat jika lokalitas hanya dilihat dari aspek batas atau yang membatasi, tentu kita telah melupakan sesuatu yang justru adalah pusat masalah. Menurutnya lokalitas yang harus dipahami adalah ketika itu diposisikan sebagai perspektif, sebuah cara pandang untuk menemukan nilai. Misalnya Aditya Ardi atau Dadang Ari M yang tidak hanya berbicara idiom dan semangat kultur saja, akan tetapi lebih kepada mengangkat khazanah lokal yang berlatar kebudayaan. Orang Madura berbicara kemaduraannya, orang arek berbicara warna urban, Mojokerto berbicara soal lokalnya yang kental, dan pembaca berhak menafsirkan kelokalan itu.Seperti sebuah narasi yang mempengaruhi kehidupan saat ini, lokalitas menurutnya adalah sesuatu yang dinamis, tidak melulu didominasi pada masa lampau.

Masih menurut Binhad, lokalitas selain bisa dipahami secara sosiologis, juga dapat didekati dengan cara normatif. Sosiologis lokal Jatim hari ini tidak bisa disamakan dengan masa lalu. Kondisi sosio-kultural pegiat sastra sekarang tidak bisa menjadikan Surabaya sebagai pusat, daerah-daerah lain hari ini bisa eksis berkarya dan tidak lagi terkungkung kepada birokrasi. Singgungan langsung yang sedemikian hebat itu membawa kita ke tahap normative, bagaimana lokalitas tidak hanya berbicara budaya, akan tetapi memiliki khazanah ekspresi ucap. Menurutnya Jatim tidak memiliki sikap tegas untuk membangun cara pandang tertentu yang jika orang melihat, ia akan mengatakan Jatim. Cara pandang yang dimaksud adalah tentang keberbedaan Jatim sebagai ciri khas, identitasnya kabur seiring jarangnya penyair yang mengangkat khazanah tersebut. Sebagai referensi yang ditunjuk, “Kitab Syair Jancuk Jaran” memiliki potensi untuk itu, akan tetapi Binhad kembali menanyakan apakah jancuk itu benar-benar Jawa Timur dan representasi dari keseluruhan Jawa Timur?

Berbicara lokalitas, Yusri Fajar (penyair dan dosen) memiliki pendapat sendiri. Menurutnya lokalitas itu sebagian termaktub dalam buku “Kartograf” kumpulan puisi penyair Jawa Timur. Kontribusi penyair muda di dalamnya memang bertujuan untuk melihat potensi lokalitas yang belum tergali secara komprehensif, mereka dalam fase pencarian jati diri. Menurutnya itu penting, sebab pasca 28 Oktober 1928 atau jauh setelah Indonesia selesai diproklamirkan, para penyair kita khususnya berlomba-lomba untuk menampilkan kekayaan local. Ini mungkin bisa dianggap sebagai penguatan identitas bangsa, akan tetapi tanpa disadari justru Barat melihat itu sebuah hal yang eksotis, indah dan memiliki daya tarik yang tinggi. Sikap Barat ini diartikan Yusri bermuatan politis seperti apa yang Belanda lakukan selama lebih dari tiga abad.

Hadir juga dan memberikan kuliah malam adalah Tengsoe Tjahjono. Dia secara personal menarik tema diskusi menjadi lebih intern lagi. Menggali nalar kritis dengan mengawali pendapatnya melalui pertanyaan: sebenarnya Indonesia itu apa? Dia berharap sebagai bangsa yang memproklamirkan diri memiliki nama, juga harus mengerti apa itu Indonesia. Baginya Indonesia bukan benar-benar Indonesia yang dikenal dari pengertian di buku-buku sejarah. Orang asing yang tertarik tarian misalnya, mereka datang ke Indonesia namun justru yang ditemukan adalah tari kecak di Bali. Mereka ingin mempelajari gamelan atau wayang, yang mereka temui ya Jawa, bukan Indonesia. Pertanyaan ini kemudian mendapatkan anggukan kepala dari Yusri Fajar yang mendeskripsikan Indonesia sebagai “sesuatu” saja. Bukan bangsa, bukan kebudayaan, bukan nama.

Pertanyaan berikutnya yang dihadirkan oleh Tengsoe Tjahjono, dan tak kalah dalam, adalah apakah kita benar-benar Jawa Timur? Dia juga menaruh rasa curiga bahwa kasus Jawa Timur senada dengan diskursus nasional tersebut.Yakni bahwa jangan-jangan Jawa Timur juga tidak ada dan hanya diposisikan sebagai “sesuatu”. Memang secara administratif ada, akan tetapi tinjauan yang diangkat adalah local sosio-kultural, lalu term apa yang bisa menjadi jawaban dari itu semua. Tengsoe membuat analogi sederhana dari negeri ginseng Korea Selatan. Dia menyampaikan bahwa Korea sebagai satu identitas yang dilatarbelakangi oleh agama Budha, saat ini secara fisik sudah kabur. Pakaiannya, operasi plastiknya, gaya hidup dan budaya hedonisnya tidak mencerminkan ajaran leluhur. Budha tidak hadir dari sisi fisik akan tetapi di atas itu semua Tengsoe berpendapat bahwa lokalitas adalah berbicara spirit, bukan tampilan empiriknya. Sekali lagi, perubahan adalah keniscayaan.

Ketika terjadi kebimbangan suatu masyarakat dengan identitas dirinya, Tengsoe melakukan pendekatan intropeksi dengan istilah bahwa manusia selalu berada dalam ‘Ruang Antara’. Jika mendefinisikan diri saja sudah tidak bisa, maka akan sulit untuk mendebatkan siapa yang akan bertanggungjawab membuat suatu identitas. Dia menambahkan sedikit tentang Jawa dan pakaiannya yang tidak akan pernah sinkron dan akan terus berubah. Menurutnya identitas itu bukan pertanyaan “Siapa kamu?”, akan tetapi identitas adalah pernyataan “Bagaimana kamu menjadi kamu”.

Berkaitan dengan “rasa Jawa” ini, Yusri Fajar menceritakan tentang sepasang bule yang naik kereta api uap. Di depan sepasang bule itu duduk sepasang orang Jawa. Saat si wanita bule merasa kepanasan, buru-buru lelakinya mengambil kipas untuk kemudian ngipasi supaya tidak gerah. Melihat adegan itu, selanjutnya salah satu dari orang Jawa itu berkomentar, “Mas, Mas … sampean kok njawani”. Istilah perhatian kepada pasangannya, bisa disebut njawani. Seolah-olah menjadi atau melakukan sesuatu dipandang sebagai, meskipun orang yang mengatakan njawani adalah orang Jawa, dan orang yang diberi label njawani adalah seorang bule.Yusri seperti ingin menunjukkan bahwa ada semacam teori rekonstruksi lokalitas pada setiap era dimana perubahan dianggap wajar.

Robin Al-Kautsar, seorang pengamat dan kritikus sastra turut menyuguhkan pendapatnya tentang re-definisi. Ia juga mempertanyakan tujuan dari perumusan re-definisi itu apa dan bagaimana. Menurutnya dalam diskursus sastra akan selalu menemui disiplin ilmu lain seperti terminology, universalitas, dan globalisasi yang justru subur di dunia prosa, bukan di dalam puisi. Karena dalam perkembangannya, dunia sastra pasti memiliki dua sayap, yakni substansi dan sayap label. Aspek label ini lebih bersifat arbitrer tanpa sedikitpun menyentuh ranah substansi. Menurutnya jika hanya label, siapa saja bisa melabeli hal ini, terutama otoritas tertinggi yang berpengaruh. Dan jika ini terus dipertahankan maka kemungkinan besar akan mengalami pengaburan makna. Dia menambahkan mesti ada asumsi yang diandaikan dengan garis tegas; mau dibawa kemana.

Di bagian lain Binhad Nurrohmat mengatakan bahwa sebuah lokalitas akan dikenali ketika dia berada bukan dalam lingkungannya. Seperti orang Jombang yang merantau ke Jakarta memakai sarung, ciri kota santri menjadi trade mark tersendiri. Namun juga definisi wilayah masih rancu ketika dihadapkan dengan budaya. Menurutnya ini menjadi pekerjaan rumah bagi pegiat literasi dan para kaum un-literasi. Baginya meski dengan berbagai macam metode yang akan digunakan tetapi kalau tidak bisa memberi rumusan pasti, hanya akan membuang waktu sia-sia. Dalam keyakinannya, Binhad mengatakan definisi yang berhasil dirumuskan oleh kaum un-literasi adalah definisi yang dilakukan oleh para antropolog. Definisi inilah yang mungkin, memiliki porsi lebih untuk me-re-definisi Jatim. Dirinya berasumsi jika definisi diibaratkan sebagai kerangkeng, sementara Jatim adalah sesuatu yang dinamis dan terus berubah-ubah, maka Jatim tidak akan menemukan ciri awal yang mengindikasikan bahwa itu adalah Jawa Timur dalam pengertian yang sebenarnya.

Tanggapan dan perhatian yang demikian besar dari komite sastra DKJT kepada para penyair menggelitik Tengsoe Tjahjono. Dirinya kembali mempertanyakan mengapa puisi? Padahal untuk menciptakan identitas, sastra semestinya berperan menjadi data sekunder. Bisa apa puisi? Puisi yang kita kenal sekarang adalah puisi dengan muatan local yang sulit dimengerti. Puisi juga adalah sebuah karya sastra dengan nilai subyektivitas yang sangat tinggi. Sementara penerimaan public terhadap karya semodel puisi sangat rendah karena karakteristiknya tadi.
***

selasastrain.blogspot.co.id/2018/03/re-definisi-jawa-timur-puisi-bisa-apa.html

PANGGUNG TEATER LAMONGAN

$
0
0

Pojok Seni Maret 2018
Rodli Tl

Baru kemarin 24 Maret 2018 Panggung Teater Lamongan dapat tontonan yang menarik. Tepatnya di panggung teater sangbala. Tiga pementasan yang diproduksi tiga komunitas itu tampil dengan gaya bertunjukan yang berbeda. Diantaranya adalah Teater Klaras Indonesia, Doet Teater dan Teater Ginyo. Ketiga-tiganya adalah komunitas teater asli kota soto.

TEATER KLARAS INDONESIA
Komunitas Teater Klaras Indonesia adalah Teater Kampus dari STITAF Lamongan. Ia menyajikan pentas dengan lakon Sang Mandor. Pementasan yang dimainkan dengan durasi 30 menitan ini mampu menyampaikan gagasan naskah yang sudah tidak asing bagi para dramawan. Walau dengan energi para aktor yang baru saja mengepakkan sayapnya di teater dan tata musik yang sederhana, pementasan ini memiliki kekhasan sendiri sebagai komunitas teater yang kerja kolektif dalam bidang artistiknya cukup kompak. Bagi mereka, aktor yang baik adalah aktor yang berpentas, dan aktor yang paling baik adalah aktor yang tidak pernah puas hanya satu, dua kali pementasan.

DOET TEATER
Komunitas teater yang baru lahir ini mementaskan naskah Akudiat dengan lakon Dewa Mabuk. Naskah yang keluar dari mainstream kenaskahan teater, seperti halnya naskah Mesin Hamlet. Naskah ini butuh kecerdasan sutradara dan actor untuk memainkannya lantaran setiap kalimat memiliki gagasan yang seakan berdiri sendiri. Menjadi berkecamuknya puluhanide itu yang sebenarnya dari dan menjadi puluhan gagasan naskah yang mapan.

Doet Teater dengan keaktoran khas Jirin TM, pementasan ini menjadi lumayan menarik dengan usahanya untuk memainkannya seperti teater sirkus. Agus Zamroni atau Liem selaku sutradara mampu membaca potensi yang dimiliki aktor dan para awaknya untuk menyajikan pentas Dewa Mabuk ini menjadi pentas yang menarik walau hanya berdurasi 20 menit.
Doet Teater menambah jumlah teater indie yang produktif di kota Lamongan. Diantaranya Sangbala Children dan Next Theatre, Teater Ginyo dan Doet Teater.

TEATER GINYO
Teater Ginyo telah memainkan pentas monolog Ratna Manggali yang dikenal anak dari dukun sakti yaitu Calon Arang dengan ilmu hitamnya leak. Pementasan ini disutradarai Lukman Tohek dan diaktori Lupita dan Alfin. Peñata artistiknya adalah Johan Bakak.

Pementasan yang berdurasi 30 menit ini mampu mengajak emosi penonton larut pada artistik hindu yang realis. Dibukanya pementasan dengan kemunculan Ratna Manggali dari penonton lalu melakukan penghormatan pada roh ibunya yang berada di kamar pribadinya. Pentas tersebut diakhiri dengan tarian halusinasi Ratna Manggali dengan Bahula yang pernikahannya tidak didasari cinta. Pilihan pengadeganan dengan tarian tersebut membuat pementasan ini diakhiri dengan kesan yang sempurna atas derita Calon Arang yang ditanggung anaknya, Ratna Manggali

Tiga nomor pementasan teater Lamongan tersebut pasti menjadi data panjang sejarah seni pertunjukan teater lamongan. Selamat berkarya, selamat menghidupi yang hidup.

Lamongan, 26 Maret 2018
Pojok Seni Sangbala
Rodli TL (penonton).

Apresiasi Sastra #11: Parade Obrolan 10 Karya dalam Semalam

$
0
0


Apresiasi Sastra #11: Parade Obrolan 10 Karya dalam Semalam
Senin, 23 April 2017 (18.30- 23.59 WIB) di Radio Buku
Jl. Sewon Indah No:1 Panggungharjo, Sewon, Bantul
(Dekat Kampus ISI) Yogyakarta

ESAI:
Dongeng Panjang Literasi Indonesia
Karya: Yona Primadesi
Pembicara: Dwi Cipta

Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Karya: Nurel Javissyarqi
Pembicara: Aguk Irawan MN

Moderator: Ahmad Naufal

PUISI:
Perempuan dalam Semedi tanpa Dupa
Karya: Evan Ys
Pembicara: Yoseph Yapi Taum

Kotak Cinta Karya: Shiny.ane el’poesya
Pembicara: Fitriawan Nur Indrianto

Moderator: Dian Dwi Anisa

NOVEL:
Darah Muda
Karya: Dwi Cipta
Pembicara: Yona Primadesi

Ini Kali Tak Ada yang Mencari Cinta
Karya: Sergi Sutanto
Pembicara: Prima Sulistya

Moderator: Agus Mulyadi

KUMCER:
Daun-Daun Jatuh yang Menghapus Luka
Karya: Darju Prasetya
Pembicara: Akhiriyati Sundari

Pesawat Kertas
Karya: Noor H. Dee
Pembicara: Evan Ys

Moderator: Ahmad Suhairi

TERJEMAHAN:
Duapuluh Puisi Cinta dan Satu Nyanyian Putus Asa- Pablo Neruda
Penerjemah: Saut Situmorang
Pembicara: Alfin Rizal

Percakapan dengan Franz Kafka – Gustav Janouch
Penerjemah: Sigit Susanto
Pembicara: An Ismanto

Moderator: Fair Naza

PERFORMANCE:
Musikalisasi Puisi
Tetek Tatum

Undangan Acara Bedah Buku di PDS H.B. Jassin

$
0
0


Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Buku Pertama:
Esai-esai Pelopor Pemberontakan Sejarah Kesusastraan Indonesia
Karya: Nurel Javissyarqi

Moderator: Eka Budianta
Pembedah: Sihar Ramses Simatupang
Pemantik Diskusi: Sunu Wasono dan Sofyan RH. Zaid

Hari/ tanggal: Senin, 09 April 2018
Pukul: 15.00 – 18.00 WIB
Tempat: Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin,
Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat

Dimeriahkan Pembacaan Puisi oleh:
Nurel Javissyarqi
Veronika Ninik
Murnierida Pram

Musikalisasi Puisi dari Sanggar Teater Jerit

Kami selaku panitia acara:
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias (KPK DG)
Menantikan kehadiran Sahabat sekalian. Salam Sastra!

Membaca Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia:

$
0
0


Membaca Subyektivitas (Nurel) atas Subyektivitas (Ignas Kleden dan Sutardji Calzoum Bachri)
Siwi Dwi Saputro *

Telah hadir buku Esai (mungkin kritik juga) yg berjudul Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia yang ditulis oleh Nurel Javissyarqi. Buku setebal 500 halaman ini semakin mengukuhkan pandangan bahwa kritik sastra itu merupakan karya kreatif juga.

Sastrawan menafsirkan hidup dan lalu menuliskan ke dalam karya sastra. Kritikus sastra menafsirkan karya sastra dan lalu menuliskannya dalam bentuk kritik sastra.
Jadilah kritik sastra sebagai karya re-kreasi. Kreasi atas kreasi, tafsir atas tafsir.

Nah, dalam buku ini Nurel dirangsang oleh tafsir Ignas Kleden atas puisi Sutardji Calzoum Bachri. Sebagai tafsir sangat mungkin subjektivitas Ignas Kleden muncul. Subjektivitas inilah yang mendorong subjektivitas Nurel membedahnya kalimat demi kalimat, paragraf demi paragraf. Buku ini merupakan kritik atas kritik. Subjektivitas atas subjektivitas. Sangat menarik untuk dibaca. Siapa tahu nanti juga akan lahir kritik atas buku ini. Anda harus membacanya. (Tengsoe Tjahjono)

Semelah mbah buyut…(mantra diajarkan oleh embah putri dan emak saya).
Saya meniru Sabrank Suparno dengan mengucapkan mantra juga untuk mengawali bahasan tentang buku MMKI ini, walaupun mantra Sabrank terkait dengan penjualan buku.

Sebelum masuk ke buku, ijinkan saya cerita sedikit ketika saya bertandang ke FIB UI. Saya langsung jatuh cinta dan simpatik kepada M. Yoesoef, Kepala Departemen Susastra. Ketika kami bertemu, saya utarakan maksud saya dan ringkasan tentang buku ini. Respon yang saya dapat langsung menukik pada persoalan: ada esainya Ignas Kleden di buku ini? Kredo Sutardji juga ada? Begitu tanyanya. Langsung saya mendapatkan beberapa point yang ingin saya punguti.

Kembali ke buku.
Pertama-tama ketika melihat judul bukunya saja dan membaca nama Nurel tertera sebagai penulisnya, saya langsung pusing. Walau hanya mengenal Nurel lewat tulisan-tulisan yang di posting di facebook, saya sudah dapat merasakan kepusingan itu sejak membaca embrio buku ini yang di posting di status facebook Nurel, dan kemudian diberinya komentar sendiri. Komentarnya itu berupa lanjutan paragraf yang ditulis pada status yang di posting.  Karena cukup mengikuti apa yang menjadi kelakuan dan kebiasaan Nurel, maka tak mengherankan bagi saya, kalau kemudian status dan komennya itu disembunyikan atau malah dihapus sekalian untuk kemudian di file dan disimpan rapi untuk dikompilasi menjadi satu paragraf.

Secara keseluruhan buku MMKI memang memusingkan. Barangkali kalau ditulis dengan gaya bahasa yang lugas dan tidak berbelit-belit akan lebih dapat diterima oleh semua kalangan. Juga pemilihan beberapa kosa kata yang tidak lazim dipakai menjadikan buku ini semakin terkesan mbulet (berbelit-belit) dan nggladrah (tidak fokus, tersebar kemana-mana). Perlu diperhatikan bahwa kita menulis adalah untuk dibaca oleh orang lain. Agar tidak terjebak pada apa yang dikritiknya seharusnya penulis menghindarkan diri dari cuci tangan dan ikut bertanggungjawab dengan apa yang ditulisnya.

Sejauh yang saya ketahui, buku MMKI ini memang lama sekali penyusunannya. Jika dilihat dari tanggal awal yang tertera di bagian pertama disana tertulis 15 Juni 2011/23 malam Juni 2015 dan 26 Oktober 2015. Saya tak tahu pasti penanda apakah ini, tapi mungkin Nurel ingin mengatakan bahwa bagian pertama ini diawali penulisannya pada tanggal 15 Juni 2011, dan dibaca ulang dan diedit lagi pada tanggal-tanggal yang tertera belakangan. Bagian akhir buku ini ditulis pada Agustus 2017. Enam tahun adalah waktu yang panjang, maka tak mengherankan kalau buku ini penuh dengan kajian mendalam yang dilakukan penulisnya selama kurun waktu tersebut. Suatu kurun waktu yang berdarah-darah.  Nurel mengatakan bahwa penulisan buku ini 80 persen dikerjakannya pada kurun waktu 15 juni 2011 dari bagian I sd 26 Oktober 2012 bagian XXIII. Otomatis dalam kurun waktu satu tahun lebih ini, sudah 80 persen dari buku ini digarap. Sedangkan sisanya diselesaikan pada tahun 2013 sd 2017.

Syukurlah. Nurel sendiri menyadari kalau membaca bukunya pasti membuat pembaca pusing. Kalau boleh dianalogikan dengan salah satu slogan You scratcth my back I scratch yours. Ini salah satu kata-kata ampuh yang dapat menggambarkan bagaimana digdayanya Soeharto pada zamannya. The Smiling General, Raja Jawa dan banyak sebutan lain yang melekat. Kesemuanya itu terpaut dengan istilah diatas. Istilah yang menggambarkan bagaimana suatu keterkaitan yang akibatnya bisa baik ataupun buruk.

Kepusingan yang dibuat Nurel untuk para pembacanya juga banyak sekali. Ada beberapa hal yang saya catat disini:
1. Penggunaan kata-kata bahasa daerah yang tidak ada keterangan dalam bahasa Indonesia. Dijamin para pembaca yang tidak punya bahasa ibu bahasa Jawa akan pusing lebih dari tujuh keliling.
2. Cara penulisan catatan kaki yang langsung tempel pada tulisan, membuat buku ini terkesan ruwet dan tidak luwes. Juga buku-buku yang jadi bahan bacaan tidak ditulis dalam bagian tersendiri dalam Daftar Pustaka. Walaupun Nurel berdalih itu pilihannya, namun sebaiknya untuk edisi revisi atau buku-buku selanjutnya tidak dilakukan.
3. Banyak kata-kata yang salah ketik atau typho dan suara bakti. Seharusnya suara bakti muncul kalau kata itu dibunyikan atau disuarakan bukan dalam teks. Contoh suara bakti terlampir pada kata-kata yang dicetak tebal.
4. Banyak pemilihan kata-kata yang tidak baku, sehingga sebagai pembaca dan saya kesulitan mengkonsultasikannya pada KBBI ataupun PUEBI. Semisal Nurel lebih suka memilih kata dinaya daripada daya. Apabila salah ketik dinaya dengan huruf kapital D, maka akan berbeda maknanya dan maksud tujuannya. (daftar terlampir)
5. Penulisan yang tidak lazim misal dll ditulis &ll. Atau saya yang kurang update. Disini Nurel juga tidak konsisten menuliskannya. Ada sebagian menggunakan dll dan sebagian lain memakai &ll.

Membaca MMKI memang memerlukan ekstra tenaga, demikian juga apabila ingin membedahnya. Memberikan komentar. Tak kurang seorang Tarmuzie, yang notabene guru Nurel berucap : “Kejam”. Kekejaman itu pula rupanya yang mungkin menyurutkan langkah Binhad dan juga yang lain urung membedah buku ini. Kalau boleh menyitir kata-kata Nurel di bukunya “Kritik itu semacam saudara tidak mukrim, sudah menikah masih boleh digugat balik untuk membatalkan wudhunya”. Mungkin juga karena alasan ini atau juga mungkin karena alasan lain buku ini terlahir dari subyektivitas Nurel, seperti yang ditulis oleh Tengsoe Tjahjono (diatas).

Namun demikian demi menjawab atas subyektivitas yang dilekatkan kepadanya, saya menemukan juga obyektivitas yang dilakukan Nurel tentang kajiannya.
Saya menangkap 6 hal yang esensi dari buku ini secara keseluruhan:

A. Kritik Nurel akan Esai Ignas Kleden
Nurel menganggap posisi Ignas Kleden yang abu-abu, antara mau mengkritik atau memujanya. Disisi lain IK mau mengkritik, namun disisi lain tak ada atau kurang keberanian atau malas dan enggan untuk mengkritik SCB. Jadilah esai IK ini menjadi kurang ketajamannya dan yang ada adalah upaya membelokkan atau mencarikan Alibi kalau dalam istilah SCB untuk karya SCB. Hal ini dikupas tuntas oleh Nurel di setiap paragrafnya. Dari upaya memaknai kata semisal perbedaan antara menerobos dan membebaskan, antara upaya dan usaha. Selanjutnya dapat dilihat di buku pada Bagian I. Disini Nurel lengkap menuturkan tentang makna, jenis kata, bentuk kata dan tata bahasa dari Menerobos

Lebih lanjut Nurel memberontak, bahwa seharusnyalah sesuatu yang menjadi mitos itu telah melalui kurun waktu yang lama, setidaknya satu abad, sehingga gagasannya sudah teruji. Sekarang yang terjadi, kebanyakan orang, mahasiswa ataupun  juga para pengkritik enggan membaca, lebih senang mendengar cerita dan kurang memupuk daya nalar sehingga boleh dikatakan banyak para perilaku sastra terpukau pada kupasan-kupasan yang dinalarkan, dialog yang diandaikan memperkuat bangunan yang hendak dicanangkan, ketakutan tidak sesuai. Atau lebih singkatnya semacam ketakutan pada nama besar.

Hal itu juga terlihat pada esai Ignas Kleden yang mengesankan Ignas Kleden tidak berani terang-terangan berseberangan dengan SCB. Tidak hanya Ignas Kleden yang berlaku demikian, pun juga Sapardi Djoko Damono yang menyatakan “Jadikan Sastra sebagai seni Bukan Ilmu Sekolah”. Demikian juga dengan Abdul Hadi WM. Dami N. Toda.

B. Alibi
Kritik kedua adalah tentang Alibi dalam puisi adalah alibi kata-kata. Nurel sangat tidak berpendapat dengan istilah ini, karena alibi itu berkonotasi buruk dan mengesankan tidak bertanggungjawab. Dalam hal ini, SCB tidak bertanggungjawab atas karyanya. Sebagai perbandingan Nurel mengutip kata Pablo Picasso “Seni adalah kebohongan yang memungkinkan  kita untuk menyadari kebenaran”.

C. Kredo Puisi
Saya kutipkan kata-kata SCB dari halaman 167 buku MMKI “Sebagaimana Tuhan tidak bisa dimintakan pertanggungjawabannya atas ciptaannya, atas mimpinya, atas imajinasinya”. Salah satu kata yang juga ditentang Nurel, karena disini SCB menempatkan Tuhan sebagai sosok yang tak bertanggungjawab. Nurel memberikan pembandingnya dengan cerita Nabi Musa. Bayangkan bila Tuhan menyuruh Musa untuk melempar tongkatnya, tapi tak membuat mukjizat dengan mengeluarkan ular dari tongkat Musa. Apa yang terjadi? Pun demikian dengan hasil puisi dan karya sastra lainnya. Penulisnya tak bisa lepas tanggungjawab.

Pembahasan tentang kata terdapat ini dapat dilihat di Kredo Puisi SCB hal 425. Sejalan hal ini ada satu keberatan Nurel tentang apa yang dikatakan Taufiq Ismail tentang kuasa kata  yaitu tentang penyair adalah penguasa kata-kata. Menurut Nurel ini merupakan hal yang sangat gegabah. Lebih tragisnya lagi, di banyak kehidupan sehari-hari, kata-kata seorang penyair kalah ampuh dengan kata-kata yang diungkapkan politisi.

D. Kun Fayakun
Tentang Kun Fayakun, Nurel menolak keras apa yang dikatakan oleh SCB yang mengartikan Kun Fayakun sebagai Jadi maka jadilah dan Jadi lantas jadilah. Bahkan Nurel menyebutnya sebagai sangat ugal-ugalan (hal 492) dengan bertingkah “melupa dan mengingat”. Kata-kata ini yang mengingatkan saya pada salah satu baris syair lagu Hotel California dari Eagles “Some dance to remember, some dance to forget”. Kun Fayakun seharusnya diterjemahkan dengan Jadilah maka Jadilah. SCB telah dengan berani mengubah kata perintah menjadi kata benda. Nurel membandingkannya dengan kalimat dari Rene Descartes “Cogito Ergo Sum” yang artinya “Aku berpikir maka aku ada”, bagaimana kalau diubah menjadi “Aku pikir maka aku ada.” Mungkin disini lebih jelas maksudnya.

Istilah ini mengingatkan saya pada salah satu ayat Kitab Suci yaitu Kitab Kejadian 1:3  yang menyebutkan Berfirmanlah Allah: “Jadilah terang.” Lalu terang itu jadi. Mungkin ini dapat sedikit menjelaskannya. Dengan mengacu pada Jadilah adalah kata perintah, maka di bagian ini saya mau tidak mau harus memihak Nurel. Allah berfirman: Jadilah terang, lalu terang itu jadi. Pembahasan panjang lebar tentang hal ini terdapat mulai halaman 136.

E. Hari Sastra
Hari Sastra Indonesia diperingati setiap tanggal 3 Juli yang disamakan dengan lahirnya sastrawan Abdul Muis. Maklumat ini atas gagasan Taufiq Ismail. Lagi menurut Nurel, para senior ini telah kehabisan akal dalam penciptaan karya yang lebih ampuh dari sebelumnya dan lebih banyak mencari jalan agar tetap dianggap eksistensinya.

F. Sumpah Pemuda dan hari Puisi Indonesia
Tentang Sumpah Pemuda ini, SCB dkk juga menafikan peran tokoh-tokoh dibalik Sumpah Pemuda. Hal itu terlihat dalam kata-kata SCB yang menganggap bahwa kesadaran masyarakat banyak pada waktu itu dengan berbangsa satu, bertanah air satu dan juga berbahasa satu itu belum ada, masih in absentia. Keberadaannya masih di depan sadar. Hal ini bisa terjadi karena SCB malas untuk  dan kurang rendah hati untuk membaca karya-karya tokoh Sumpah Pemuda yaitu M. Yamin.

Demikian pula dengan deklarasi hari Puisi Indonesia yang mengambil hari lahir Chairil Anwar, 26 Juli sebagai Hari Puisi Indonesia. Lagi disini Nurel berteriak keras, pertama dalam mukadimah pendeklarasian hari Puisi, SCB dan kawan-kawan berpegang pada teks Sumpah Pemuda yang dianggap sebagai puisi pendek dan lalu memakai hari lahir Chairil Anwar sebagai hari Puisi Indonesia, sementara disisi lain, terlontar kabar dari HB. Jassin bahwa Chairil Anwar tak lebih seorang penyadur.
Fakta ini semakin menunjukkan kalau SCB kurang rendah hati untuk membaca karya-karya terdahulu, karya-karya M. Yamin.

LAIN-LAIN
Dari nggladrahnya buku ini, sebenarnya dapat ditemukan beberapa pengetahuan tentang tasawuf, tentang tata bahasa Indonesia, tentang filsafat, tentang sejarah dan juga kajian sosiologis dan seni. Kalau Nurel membayangkan para mahasiswa sastra harus belajar filsafat juga mungkin harus menulis sesuatu yang lebih menukik tajam ke persoalan inti. Mengingat di UI, di FIB ada departemen Filsafat. Dan mengingat Filsafat adalah cabang dari semua ilmu, maka pastinya sudah ada pengantar ilmu filsafat diberikan kepada para mahasiswa. Mungkin kalau Nurel menulis dan berdasar pada rambu-rambu atau tatanan penulisan ilmiah semacam thesis atau disertasi, maka tidaklah mustahil kalau impian untuk tampil atau memberikan kuliah umum di Brunell University dapat kesampaian.

Ada beberapa Pengetahuan Umum yang terdapat di dalam buku ini semisal tanggal lahir raja Louis, tanggal lahir Chairil Anwar dan juga Abdul Muis. Juga pengetahuan tentang Kayu besi. Juga ada petikan syair lagu, semisal dari Eagle, Hotel California (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia), tentang Aesop Fable “cerita tentang Rubah yang tak bisa memetik buah anggur, lalu menggerutu barangkali buahnya masam”. Yang tak kalah menarik adalah perjalanan spiritualnya ke bumi Nuca Nepa atau Pulau Ular. Tentang Nuca Nepa atau Pulau Ular sebaiknya dibuat satu buku tersendiri. Perjalanan imajiner yang sungguh sayang jika dilewatkan tetapi terlalu membuat bosan apabila diikutsertakan di buku ini. Boleh diambil beberapa paragraf sebagai pengantar tentang lingkungan atau alam tempat seseorang dilahirkan dan dibesarkan. Lingkungan, adat istiadat, kebiasaan dan budaya sangat berpengaruh pada seseorang termasuk dalam proses pembentukan mindset atau cara berpikir. Bukan rahasia karakteristik orang kota, orang desa, orang gunung, orang pantai atau orang pedalaman dapat terbaca dari tingkah laku sehari-hari. Tak kurang di salah satu novelnya Romo Mangun mengungkapkan hal ini, tentang perempuan gunung dan perempuan dusun. Tentang perempuan pantai dan perempuan kota. Kalau tidak salah ada di novel Lusi Lindri, salah satu dari novel triloginya.

Karena Nurel berpijak memakai tanah kelahiran Ignas Kleden dalam menelaah karya-karyanya, maka akan lebih memudahkan bagi kita untuk juga mengetahui latar belakang Nurel. Bisa dilihat di halaman biografi. Mungkin imajinasi tentang Bengawan Solo dapat membantu.

Juga beberapa catatan atau kutipan dari Wikipedia, biarkan para pembaca mencari dan membacanya sendiri. Seperti kata-kata dalam dialog imajiner dengan M. Yamin. Tak usah beralasan biar menambah beberapa halaman.

Agar tulisan ini mampu melewati zaman dan berbagai kepentingan aturan yang kemungkinan akan menderanya, apabila dimungkinkan akan ada edisi revisi, hendaknya Nurel mencoba menulis ulang dalam bentuk thesis yang tertata rapi dan ikut aturan baku, semisal penggunaan catatan kaki, daftar literatur yang dibaca, alangkah elok kalau ditulis dalam bab tersendiri. Hal ini diperlukan untuk memudahkan pembaca dan mungkin peneliti untuk melalukan pengecekan dan counter attack. Saya rasa para penulis yang bukunya dijadikan bahan bacaan akan merasa senang dan bangga bila karyanya tercantum dalam daftar pustaka. Dan bagi penulis sendiri, boleh berbangga akan banyaknya literatur yang dibaca, sehingga studi literatur yang dilakukannya dapat terdokumentasi dengan baik dan tak menutup kemungkinan akan jadi bahan kajian di kelak kemudian hari. Juga alangkah lebih classy lagi kalau di dalam buku diberikan indeks, sehingga memudahkan pembaca atau peneliti mencari kata-kata kunci di halaman-halaman yang bertebaran di buku ini.

Satu lagi yang ingin saya sampaikan, di buku ini Nurel mengkritik akan sebutan Presiden Penyair dan beberapa sebutan lain. Tapi Nurel sendiri terjebak pada satu predikat atau julukan yang dipilihnya, yang dikiranya aman tanpa ada protes yaitu : pengelana. Pengelana bisa di sama artikan dengan pengembara. Kata dasar kelana, kata benda yang artinya mengadakan perjalanan ke mana-mana tanpa tujuan tertentu; kembara. Nah disini letak persolannya. Kalau menyebut diri sebagai pengelana berarti tak mempunyai tujuan tertentu. Sehingga buku yang ditulis ini menjadi tak ada maknanya, kalau ditulis tanpa ada tujuan. Sebaiknya pilihlah sebutan lain dan itu bukan pengelana. Nanti bisa juga terjebak bahwa buku ini hanya semacam klangenan, penggembira yang tak ada isi pengetahuan yang dapat diserap.

Akhirnya, sampai ketemu di bedah buku 9 April dan 3 Mei. Syalom.
eof
Sds. 31.3.2018

Daftar terlampir:

1. intah 38 intan, 2. 69 hasana 69 khasanah, 3. 75 Webset 75 Website, 4. 78 &st 78 dst, 5. 78 Krakalau 78 Krakatau, 6. 79 Jatung 79 Jantung, 7. 81 Memangfaatkan 81 memanfaatkan, 8. 85 Dll 85 99, 9. 86 Mana 86 garis miring….perlu penjelasan, 10. 86 diasmak ??, 11. 93 bermain jaratan93 bermain jaranan, 12. 97 Pelahan 97 perlahan, 13. 97 Sedaya bantul 97/98 sedaya pantul, 14. 100 Howking 100, 15. 104 Awalkali 104 tidak ada awalkali. Awal kali?, 16. Pelitian 104 penelitian, 17. 106 Hiasa 106 Hiasan?, 18. 113 rabahan113 rabaan? Atau rebahan?, 19. 113 Dipunggah 113 perlu jabaran lebih lanjut, 20. 114 Rating 114 ranting, 21. 114 kerkataan114 perkataan?, 22. 121 Bejawa 121 Bajawa, 23. 123 Betebaran 123 bertebaran, 24. 127 Ternging 127 terngiang, 25. 134 Hali 134, 26. 134 Deladapan 134 238 ??, 27. 134 cekeremes ??, 28. 134 memunjeri ??, 29. 149 Dipatenken 149 dipatenkan, 30. 153 perkembaangan perkembangan, 31. 165 Khasana 165, 32. 166 akli ??, 33. 166 Aesop fox 166 pindah ke halaman utama, 34. 167 Menyuruny 167 menyuruhnya, 35. 167 Renuangan 167 renangan, 36. 170 Sinahui 170 sianui?, 37. 175 kemengslean mengsle: ???, 38. 175 Asatir (legenda) 175 harusnya huruf besar Asatir, 39. 179 Ritua 179 Derrida…bertanya tanya?, 40. 206 Mugil 206 mungil, 41. 207 Kintir 207 dikasih penjelasan, 42. 226 Jleguran di blumbang 226 dikasih penjelasan, 43. 232 Daya 232 bukan dinaya?, 44. 239 Sim sala bim 239 sim salabim?, 45. 240 Grubyag grubyug 240 penjelasan, 46. 244 Mederai 244 menderai, 47. 245 Banter 245 bahasa Indonesia, 48. 253 Fitna 253, 49. 253 Pergeserak 253 pergerseran?, 50. 253 Wedar 253 Indonesia please, 51. 254 Pangling 254, 52. 257 Noted halaman 257, 53. 269 Dikator 269 diktator, 54. 269 Ngelokro 269 bahasa Indonesia, 55. 270 terlunta-lunda terlunta-lunta, 56. 270 mempuni mumpuni, 57. 301 Pemengaruh 301 pengaruh, 58. 305 Lansung 305 langsung, 59. 323 Howking 323 Hawking?, 60. 377 uang ketas uang kertas, 61. 383 fabebook facebook, 62. 405 yepyur 405 mengepyurkan?, 63. 450 melubagi 450 melubangi, 64. 454 ketagikan 454 ketagihan, 65. 454 kemuliaannya kemuliaannya, 66. 455 Dikjaya 455 digjaya atau digdaya?, 67. 468 Lowak 468, 68. 490 Sinahu 490, 69. 494 Diprekes 494 Indonesia please, 70. Hilaf, 71. Ilangkah, 72. Dll, 73. Penuwaan, 74. Pegapesane (titi kelemahan) pengapesane, 75. Hianat, 76. Akli, 77. Ijtihat, 78. Festifal, 79. Ksatri, 80. Pelahan, 81. Didedah, 82. digelilingi, 83. pebukitan, 84. menjelmah.

*) Penulis yang bergabung di Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias (KPKDG)


CATATAN DARI SEORANG PEMBACA MMKI

$
0
0


Iskandar Noe
Buku:
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
MEMBONGKAR MITOS KESUSASTRAAN INDONESIA
Buku Pertama: Esai-esai Pelopor Pemberontakan Sejarah Kesusasteraan Indonesia
Penulis: Nurel Javissyarqi
Penerbit:
PuJa (Pustaka puJAngga), Lamongan
Arti Bumi Intaran, Yogyakarta @2018
ISBN: 9786027731905

1 . Tentang Saya Sebagai Pembaca

Sebelum menuliskan catatan tentang buku: Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia (Selanjutnya: MMKI), maka saya merasa perlu untuk menempatkan diri saya ditempat mana saya berada dalam konteks sebagai pembaca. Pertama, saya adalah orang yang gemar membaca, artinya gemar mendapatkan sesuatu berupa pengertian-pengertian baru, hiburan, dan sensasi-sensasi lain dari hasil pembacaan teks. Dari alasan yang pertama ini terkandung cerita mengenai bagaimana saya mendapatkan buku MMKI. Ketika saya melihat paparan cover buku ini di Facebook (FB) sebenarnya saya sudah tertarik ingin membacanya, tetapi untuk pengadaan buku itu sudah terlambat, karena anggaran pembelian buku saya setiap bulan sudah meluncur ke tempat lain. Untunglah promotor buku ini berbaik hati untuk mencatat saya dalam daftar pre-order, hingga beberapa hari kemudian saya bisa menerima kiriman bukunya, dan kemudian berkesempatan membacanya. Alasan yang kedua adalah: Sebagai salah satu pembaca tentu saja saya tidak mewakili pembaca yang lain. Sebagaimana alasan pertama yang saya sebutkan tadi, membaca saya ibaratkan mirip dengan menonton suatu pertunjukan, entah itu pertunjukan wayang kulit, orkes dangdut, konser musik atau bioskop. Buku adalah tiket masuk, isi buku adalah tarian penulisnya dan saya menonton di situ. Sebagai penonton tentu saya berhak tertawa, tepuk-tangan bersorak, diam maupun berteriak1. Sama-sama menonton, posisi saya tentu berbeda dengan dewan juri yang berhak memberi nilai sesuai dengan kriteria-kriteria tertentu untuk sebuah ajang pertunjukan kontes menyanyi misalnya. Tetapi saya masih berhak memilih juara favorit yang dipilih oleh para penonton. Disini saya mengupayakan sebagai penonton yang dengan serius dan takzim menonton dan menikmati pertunjukan selesai. Bayangkan sesudah pertunjukan, saya diwawancarai oleh seseorang dengan pertanyaan: “Bagaimana menurut anda pertunjukan tadi?” Jawaban yang saya berikan tentu saja tidak seluruhnya obyektif meskipun saya berusaha keras. Selalu saja ada unsur subyektivitas itu pasti2. Apalagi MMKI bukanlah buku biasa sebagaimana mengutip Tengsoe Tjahjono: Dalam buku ini Nurel dirangsang oleh tafsir Ignas Kleden atas puisi Sutardji Calzoum Bachri. Sebagai tafsir sangat mungkin subjektivitas Ignas Kleden muncul. Subjektivitas inilah yang mendorong subjektivitas Nurel membedahnya kalimat demi kalimat, paragraf demi paragraf. Buku ini merupakan kritik atas kritik. Subjektivitas atas subjektivitas3.

2 . Tentang Sosok Fisik Buku MMKI

Cover : Begitu saya menimang-nimang buku MMKI yang berukuran extra half quarto setebal tidak kurang 500 halaman ini, yang saya lakukan pertama adalah melihat cover halaman depan. Cover itu separuh diisi oleh lukisan surealistik dengan dominasi komposisi warna tanah yang tidak begitu menyolok: Sebuah perahu kayu dengan tulisan lambung huruf jawa dan hanya tersisa kata le-ga. Perahu itu ditumpangi mahluk jadi-jadian, dan tentakel besar menyeruak masuk ke lambung kapal. Nampak tatapan penumpang di anjungan itu tertuju kepada seseorang yang berjalan meninggalkan perahu dengan tutup kepala berupa kotak bujur sangkar yang diberi tanda tanya. Kaki seseorang itu dibelenggu dengan rantai dan bola. Separuh cover depan diisi dengan judul buku, diikuti dengan sebuah paragraf kutipan. Secara keseluruhan cover depan buku ini terasa berdesak-desak dengan pesan awal yang mau disampaikan, tetapi saking berdesak-desaknya teks dan gambar disitu, pembaca malah tidak dapat menagkap maksudnya secara optimal. Kutipan paragraf di depan nampak membingungkan, misalnya terbaca beberapa singkatan MASTERA, SCB yang baru diketahui setelah kita membuka bukunya. Demikian pula apa yang termuat di sampul belakang, sebagai pembaca saya berharap menemukan semacam endorsement atau testimoni yang berisi elusidasi 4. Maksud penulis dengan kutipan-kutipan yang terpampang di situ mungkin untuk menggarisbawahi bagian-bagian penting uraian yang ada di dalam buku. Semacam highlight. Tetapi yang ditemukan justru percikan kutipan-kutipan yang terkesan hilang ujung-pangkalnya.

Sub Titles: Memasuki halaman IV, halaman sub-titles, ditemukan nama-nama penyunting, setting-layout dan Design Cover. Saya menduga, penyunting bertindak juga sebagai proof-reader. Jika memang demikian, salah satu tugas penyunting adalah mengamankan seluruh maksud teks bahkan diharapkan tidak ada kesalahan sampai titik zero error. Adalah ironis jika buku segagah MMKI ini memiliki relatif banyak salah ketik atau bahkan menampilkan istilah maupun kosa kata baru yang pembaca harus meraba sendiri maksud istilah dan kosa kata itu. Catatan berkaitan dengan hal ini telah didaftar dengan cukup lengkap oleh Siwi D Saputro5. Bagi saya sebagai pembaca, kasus ini mengesankan kerja editor yang kurang teliti atau kalau tidak ya tergesa-gesa untuk kejar tayang, hingga apa boleh buat harus abai terhadap wilayah penting yang sebenarnya menjadi skala prioritas tampilan teks.

Pengantar dari Penulis: Halaman V, Pengantar dari Penulis. Saya mengharapkan adanya semacam keterangan tentang: How to Use This Book, artinya penulis mengantarkan kepada pembaca apa yang mau disampaikan oleh sekujur isi buku dalam bentuk sebuah ringkasan dengan paragraf tersendiri yang termuat dalam pengantar itu. Karena isi buku ini adalah mengkritik sebuah kritik, maka mau tak mau pembaca harus membaca lebih dulu apa yang dikritik. Materi yang dimaksud dilampirkan pada halaman Lampiran (halaman 411 dan seterusnya)6. Diharapkan juga, penulis mempersilahkan pembaca untuk “loncat” dulu ke Lampiran supaya membaca keseluruhan apa yang mau dikritisi, sehingga ketika memasuki Bagian 1 dan Bagian-Bagian selanjutnya, dengan serta merta pembaca sudah bisa mengikuti tiap paragraf yang dikritisi oleh penulis.

Bagian-Bagian. Terdapat dua puluh lima Bagian yang mengupas satu per satu paragraf. Sayang sekali tiap judul Bagian-Bagian tersebut hanya menyatakan judul yang serupa, dan menyatakan urutan angka kupasan saja yang berbeda. Misalnya: Bagian IV – Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia (kupasan ketiga dari paragraf awal, lewat esainya Dr. Ignas Kleden). Sebagai pembaca saya lebih merasa nyaman jika pada judul setiap Bagian tidak melulu menampilkan urutan kupasan, tetapi mengandung sub-judul. Taruhlah misalnya pada Bagian II, setelah judul utama, dilengkapi sub-judul: Mengusut kata “Menerobos”, misalnya begitu. Jadi si pembaca akan lebih fokus akan maksud penulis bahwa di Bagian tersebut didedah kata “menerobos” dengan segala kaitannya. Hal ini diharapkan berlaku pada judul Bagian-Bagian yang lain. Sebagai pembaca, saya menemui kesulitan pada setiap bagian untuk menemukan hal terpenting apa sih yang akan disampaikan oleh penulis pada bagian tersebut. Saya seperti menikmati tarian elok yang ditarikan oleh penulis sepanjang tiap bagian, tetapi tidak menemukan hal kritis terpenting yang mau disampaikannya pada Bagian itu. Mungkin juga di wilayah ini, saya boleh dicurigai sebagai pembaca yang strukturalis, yang menuntut MMKI ditulis secara struktural sebagai layaknya textbook. Tetapi memang begitulah, karena MMKI adalah sekumpulan esai, bukan novel fiksi. Saya tidak keberatan dengan tarian yang dilakukan oleh penulis pada setiap Bagian yang ditulisnya, tetapi menurut saya, tarian itu beresiko mengendurkan daya kritik dan mengurangi daya ketajamannya. Maka pada setiap akhir Bagian, saya menyarankan disediakan sebuah paragraph yang berlaku sebagai epilog untuk menyimpulkan gagasan utama Bagian tersebut dan ringkasan kritik yang telah dituliskannya. Jika tidak demikian, maka tulisan setiap Bagian berkesan nggeladrah.

3 . Beberapa Simpulan

Sebagai Pembaca, saya merasakan perlu ekstra tenaga untuk membaca MMKI. Mempelajari dulu tulisan Ignas Kleden dan Sutardji Calzoum Bachri pada lampiran. Niscaya memang harus saya baca dulu agar memahami apa yang dikritik oleh penulis MMKI- Nurel.

Editor dari MMKI seharusnya tidak melakukan kesalahan, baik itu kesalahan typo dan salah cetak yang sejenis, demikian juga dengan istilah-istilah yang tidak baku dan relatif baru diberi catatan kaki, dan penjelasan seperlunya sehingga (dari sisi pembaca) pembacaan teks menjadi lebih nyaman tanpa pembiaran melewati teks-teks yang kurang dimengerti oleh pembaca.

Secara keseluruhan MMKI menyampaikan banyak pesan. Ini nampak pada kepiawaian penulis mengumpulkan sekian banyak potongan esai, sayang sekali tidak ada daftar bacaan dan referensi yang dicantumkan disana. Daftar referensi, Daftar Pustaka, menurut saya sangat penting, sebab orang hanya bisa berkarya dengan memakai pundak orang lain sebagai acuan. Hal ini selain sebagai penghargaan atas karya orang lain itu, juga untuk mempermudah pembaca mengenali urutan pemikiran yang disampaikan oleh penulis.

Catatan ini dibuat ketika pembacaan MMKI masih berlangsung, dan jangan lupa bahwa catatan ini disusun oleh seorang pembaca yang tidak mewakili pembaca lainnya, dengan kata lain barangkali mengandung lebih banyak subyektivitas daripada obyektivitasnya.

Wassalam. Ever Onward.
__________________________________

1 Menonton, dalam ungkapan Jawa: Ndelok, singkatan dari: Kendel alok atau berani berteriak.

2 Bandingkan misalnya dengan Martina Rysová pada Suroso @2015: Kritik sastra adalah bidang diskusi sastra, yang, melalui ulasan teks dan teks-teks lain bertujuan untuk menginterpretasikan, mengevaluasi dan mengklasifikasikan karya sastra. Kritik sastra bertujuan untuk membedakan dalam karya sastra nilai aktual dari yang tidak nyata, dan menilai serta mengevaluasi kualitas karya sastra. Meskipun kritik sastra berdasarkan aturan teori sastra, juga berlaku rasa estetika mereka, sehingga setiap kritik tidak dapat melepaskan kesan subjektif dari penulisnya.

3 Tengsoe Tjahjono sebagaimana dikutip Siwi D. Saputro; FB 31/03/2018

4 Perlakuan baik, semacam apresiasi ringkas.

5 Ibid, Siwi D Saputro, FB 31/03/2018.

6 Sebuah catatan tambahan, diharapkan Lampiran ini disertakan selengkapnya termasuk catatan kaki. (Lihat catatan kaki di halaman 424). Karena dari catatan kaki seringkali maksud teks dapat lebih diketahui maksudnya.

MAKHLUK TAWADUK DANARTO

$
0
0

Maman S Mahayana

Danarto, salah seorang cerpenis terbaik Indonesia, pergi meninggalkan kita, Selasa, 10 April 2018, Pukul 20.59, di Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta Selatan. Sebuah sepeda motor, siang tadi, 13.30, menabraknya di depan Kampus UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Jakarta. Setelah dibawa ke rumah sakit yang berada di depan kampus itu, sastrawan yang terkenal dengan cerpennya “Godlob” itu dilarikan ke Rumah Sakit Fatmawati. Di rumah sakit itulah, Allah SWT, membawanya pulang.

Inalilahi wa inailaihi rojiun …
Sastra Indonesia kehilangan sosok sastrawan penting negeri ini. Kita sungguh berduka! Indonesia berbela sungkawa! Kini kita hanya dapat bertegur sapa dengannya lewat sejumlah cerpennya yang inspiring. “Lempengan-Lempengan Cahaya,” “Rintrik,” “Rebulan di Dasar Kolam,” “Asmarandana,” “Abracadabra” atau sebuah cerpennya yang judulnya bergambar hati dengan anak panah yang mengucur darah, dan cerpen lainnya adalah beberapa karyanya yang berhasil mengangkat sastra Indonesia di mata dunia. Cukup banyak karya Danarto yang sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing. Dan Danarto, tetaplah Danarto yang tawaduk dan rendah hati.

Bersama Abdul Hadi WM, Sutardji Calzoum Bachri, Kuntowijoyo, Fudoli Zaini, Arifin C Noer, Rendra, Putu Wijaya, dan sederet panjang sastrawan seangkatannya, sastrawan kelahiran Sragen, Jawa Tengah, 27 Juni 1940, gencar menyuarakan sastra sufistik yang lalu ramai menjadi polemik di berbagai media massa dasawarsa 1980-an. Spirit kulturalnya, “Kembali ke Akar, Kembali ke Sumber“ telah membuka ruang kebebasan berkreasi seniman berbagai cabang seni untuk menggali dan mengaktualisasikan tradisi dan akar budaya yang melahirkan dan membesarkan sastrawan kita. Maka, mistik Jawa berkelindan dengan tasawuf atau filsafat eksistensialisme, sebagaimana yang dapat kita jumpai dalam karya-karya Danarto, Kuntowijoyo atau Fudoli Zaini. Dongeng yang tak perlu repot-repot dengan logika formal, menjadi kisah jungkir-balik yang memukau dan mengasyikkan. Cerpen-cerpen Danarto menjadi kisah yang penuh sihir dan kita, pembaca, asyik-asyik saja menikmatinya.

Gerakan eksperimentasi naik daun. Sumber-sumber spiritualitas mistik Jawa, Bali, Melayu, Cirebon, dunia pesantren, dongeng dalam tradisi lisan, dan mitos-mitos yang bertebaran dalam kultur etnik Nusantara, seketika menjadi seni kontemporer yang modern dan absurd. Lalu muncullah berbagai istilah asing, seperti absurdisme, stream of consciousness (arus kesadaran), realisme magis, dan entah apa lagi, disematkan pada karya para sastrawan yang kemudian disebut sebagai Angkatan 70. Danarto lewat antologi cerpennya Godlob, Adam Ma’rifat, Berhala, Gergasi, dan Setangkai Melati di Sayap Jibril, tetap menjulang sebagai maestro.

Danarto … pergi mendadak! Kita terhenyak kaget. Lalu, lantunan doa dan alfatihah terus mengalir melempangkan jalannya ke surga.

Sebuah kisah kecil yang pernah disampaikan seorang mahasiswa tiba-tiba mencelat! Inilah kisahnya:

Saya lupa nama mahasiswa itu. Ia kelimpungan mencari cerpen-cerpen karya pemenang Nobel dari Mesir: Naguib Mahfudz untuk bahan skripsinya. Saya merekomendasikan nama Danarto. Mereka pun saling mengontak—tentu lewat telepon kantor atau rumah. Mahasiswa itu memohon agar Danarto meminjamkan buku karya Naguib Mahfudz itu. Ia akan mengembalikannya selepas difotokopi. Keduanya sepakat bertemu di satu tempat pada jam tertentu. Danarto datang lebih awal.

Lebih satu jam Danarto menunggu si mahasiswa. Ia cemas, khawatir ada sesuatu menimpa mahasiswa itu. Untunglah ia punya alamat tempat kostnya. Maka, Danarto pun meluncur ke sana. Sampai di alamat yang dituju, mahasiswa itu tergolek tidur. Ia lupa janjinya pada Danarto.

Menjelang sore, mahasiswa itu bangun. Ia terkejut. Di depan pintu kamar kostnya, tergeletak sebuah buku fotokopian, antologi cerpen Naguib Mahfudz. Itulah buku yang sekian lama pontang-panting dicarinya. Di antara lembaran buku itu, ada secarik kertas dengan tanda tangan Danarto. Isinya: “Tadi saya menunggu lama. Karena engkau tak juga datang, saya khawatir sesuatu menimpamu. Maka, saya memutuskan datang, mencari alamat tempat kostmu. Dan Alhamdulillah, ketemu. Saya sudah fotokopikan buku yang kau pesan. Semoga bermanfaat.” Tertanda: Danarto!

Setelah menyelesaikan skripsinya, mantan mahasiswa itu entah bekerja di mana. Tetapi, ia tidak dapat melupakan makhluk tawaduk yang bernama Danarto. Sebab, ketika ia minta maaf dan menanyakan biaya fotokopian buku itu, Danarto enteng saja menjawab: “Tidak apa-apa. Saya bahagia telah membantumu. Semoga skripsimu segera selesai!”

Saya takjub mendengar kisah mahasiswa itu. Dari matanya menetes bening bulir-bulir air mata.
Danarto …

11 April 2018, Bojong Gede.

BAYANGAN DAN KENYATAAN BEDAH BUKU DI PDS H.B. JASSIN

$
0
0

I. Membayangkan Bedah Buku MMKI di PDS H.B. Jassin
Nurel Javissyarqi (i)

Saya tak menyangka kalau buku “Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia” bakal dibedah di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin. Jangan-jangan ini lamunan saja, karena kebetulan tengah baca ulang buku susunannya Paus Sastra Indonesia tersebut yang bertitel “Kontroversi Al-Qur’an Berwajah Puisi” (Grafiti, 1995), tentunya lagi berseberangan. Bayangan ini menjulur pada peristiwa lampau “Ketika Jogja Menghakimi Jakarta,” karena lupa tanggal bulan tahun kejadiannya, saya telusuri di google, dimulai Jam 20.00 tanggal 28 Mei 2003 di Auditorium IAIN SuKa (UIN Sunan Kalijaga) Yogyakarta. Sebenarnya acara malam itu menggelar diskusi dua buku puisi terbitan Jendela dan Bentang Budaya, “Suatu Cerita dari Negeri Angin” karya Agus R. Sarjono, “Reruntuhan Cahaya” karya Jamal D. Rahman, yang diselenggarakan oleh Lembaga Kajian Kebudayaan Akar Indonesia, moderatornya cerpenis Joni Ariadinata. Tapi sayang, titel tema yang menyimpang itu terkena hukum bandul menurut saya, yakni malahan “Jogja yang dihakimi Jakarta,” lantaran mental minder tua rumah yang masih terkungkung watak kedaerahan, kala melihat orang-orang dari pusat, letak pemerintahan RI, pintu gerbang NKRI, punjer-nya media-media massa Nasional beserta ornamen-ornamennya.

Sidang acara 15 tahun silam itu entah kenapa saya mengikuti, padahal sudah balik kampung ke Lamongan sejak awal 2002, mungkin ada jadwal lain yang patut dikunjungi. Dalam acara KJMJ, saya hanya datang seperti hadirin lain, atau bisalah disematkan sebagai pengamat sastra amatiran abadi. Mungkin bayangan ini kurang layak, sebab tidak lagi tinggal di Jogja, pun bukan roda penggerak kesusastraan di Ngayogyakarta secara umum. Dan seumpama “Buku Pertama MMKI: Esai-esai Pelopor Pemberontakan Sejarah Kesusastraan Indonesia” dibahas di PDS, ini hanyalah mimpi, impian pun tak sampai ke situ, maka jadilah ‘ngimpi’ nun jauh di sebrang angan, ataukah inilah takdirnya, selepas berlarut-larut mengerjakan tulisannya, tiada jemu membenahi berulang-ulang, mengekalkan kekisaran sekeliling pula menembus bebatas perkiraan, sambil ditemani berbatang rokok di sebelah wedang kopi pengusir penat. Dan firasat ke PDS, serupa berkah kemurahan hati cerpenis Siwi Dwi Saputro, sang ketua proyek penulisan buku “Pada Detik Terakhir, Antologi Cerpen Duet” terbitan Bajawa Press 2017, serta komentar dari Tengsoe Tjahjono di facebook mengenai MMKI, sedang diri ini lunglai tiada mampu berbuat lebih, selaksa terlanjur syukur teramat jujur matur suwon yang terdalam sebaik-baiknya.

Kenapa bayangan bedah buku tak sampai ke PDS? Sebab tetap merasa cuma pengelana yang kebetulan suka baca, atau ada segarit pesimis kalau pandangan saya diuji sebegitu dekat dalam kehidupan, karena tidak mungkin di-gubris (ditanggapi) pendapat saya di masa-masa masih bernafas, olehnya diri selalu terbiasa menempatkan perihal yang tertulis baru diserap para pembaca setelah tiada, ketika sudah nyaman memandangi gemintang beredar di tengah malam tanpa kebisingan dunia, seperti ramalan menyerupakan ‘bom waktu’ yang dikhawatirkan penyair Mardi Luhung dalam beberapa kali obrolan. Namun demi menggenapi, buku-buku yang tidak dilirik itu, rencananya dipersiapkan di hadapan sidang susastra, barangkali di depan para guru besar dan sebangsanya. Lalu mendadak disergap hembusan angin tiba-tiba, suasananya nanti sunyi pengunjung, atau energi terterima belum mencapai kebulatan, ataukah ini harapan manis demi tegap melanjutkan, melancarkan serangan sekaligus menggali benteng parit-parit jebakan bagi perdebatan harmonis tentunya.

Mendung hitam ramalan Mardi kian menebal kental, saat menawarkan MMKI agar dibedah di STKIP PGRI Ponorogo kepada Doktor Sutejo, dengan nada bercanda dia berkomentar; “Tulisane wong edan!” Dilanjutkan jalan sambil tertawa renyah memandang saya yang pernah melakoni perjalanan hayat serupa “Wayang kelangan gapite” istilahnya, sewaktu bermukin di kantornya SSC. Tapi diselang masa setelah baca buku itu, dia menanggapi kalau tulisan saya teramat serius penggarapannya, dan barangkali penulis asli Kota Warok merasa kurang nyaman jika MMKI didiskusikan di kampusnya, dikhawatirkan membikin persinggungan paham terhadap kritikus Maman S. Mahayana pun Aming Aminoedhin, yang otobiografinya Presiden Penyair Jawa Timur akan diterbitkan SSC, dan kabar lain saat bertemu pemilik Pustaka Ilalang, Alang Khoiruddin berkomentar bahwa bukunya Aming itu sempat terbit secara terbatas. Lalu pikiran ini menerawangi sikap motivator ulung Sutejo seolah berucap; “Kau kan sudah sering mengisi acara di sini, maka cukupkanlah, dan saatnya ke tempat-tempat yang belum terjajaki bukumu sekaligus menjelajah.”
***

Sedikitnya tiga kali saya ke PDS H.B. Jassin, dua kali tak sempat mampir; Pertama membeli buku di dekatnya bersama cerpenis Teguh Winarsho AS, setelah dari kantor surat kabar Suara Pembaruan untuk mengantarkan sebendel karya novelnya, yang kemudian terbit di koran itu secara bersambung “Di Bawah Hujan” edisi 10 April 2000 – 7 Juni 2000. Kini penulis novel “Kantring Genjer-genjer, dari Kitab Kuning sampai Komunis” (PuJa, Februari 2007), menjadi bos penerbitan buku di Jogja dengan bendera Lafal Indonesia, Araska, Parasmu, Pinang Merah, dan diantara teman-teman yang karyanya diterbitkan ialah Sri Wintala Achmad, Abidah El Khalieqy, Otto Sukatno Cr, Mahmud Jauhari Ali. Saya berjalan-jalan ringan sekitar PDS waktu itu, sambil mengepul-kepulkan debunya sekalian mambayang suatu hari menggelar acara di situ (kalau tak keliru seturut kabar terdengar lamat-lamat, Paus Sastra Indonesia sedang dirawat di Rumah Sakit, tapi tak terjenguk lantaran saya bukan siapa-siapa, kejadian ini persis semasa saya dan rombongan Sanggar Alam asuhan pelukis Tarmuzie, mengunjungi museum Affandi tahun 1990, tatkala beliau dirawat di RS). Dan keinginan menggelar kegiatan di PDS perlahan surut melarut pudar, bersamaan kesuntukan diri memasuki alam teks tanpa pedulikan sekitar, ataukah dengan gerak menjauh, Gusti Maha Welas Asih mendekatkan batin Siwi, demi menyadarkan saya pada lamunan sempat buyar tenggelam di kesendirian. Hukum tarik-ulur inilah sandaran sekaligus motivasi di dalam gua kesunyian, yakni tentu berjumpa orang-orang sepadan suntuk pula peroleh lebih dari perkiraan biasa.

Sekitar pertengahan September 2005 kembali ke Jakarta, ini dirunut tanggal 5 Oktober memasuki bulan Ramadhan, dan di buku “Trilogi Kesadaran” h. 331, adanya esai bertitel “Revolusi dan Sakit Gigi,” sungguhlah teringat penulisannya di kantor Serikat Petani Lampung, tempat adiknya kawan Y. Wibowo yakni Sigit, jaraknya berkisar 2 KM dari UNILA ke selatan, dan beberapa kali ke BaLam, bertemu para penulis, Udo Z Karzi, Asarpin, Oky Sanjaya, SW. Teofani &ll. Sebelum ke Bandar Lampung, di Ibukota menemui Teguh yang kali itu sudah bermukim di Jakarta, tidak seperti paragraf di atas masih tinggal di Yogyakarta, lalu janjian dengan Binhad Nurrohmat bertemu di Taman Ismail Marzuki, ngobrol sana-sini, jalan-jalan di PDS tidak lupa mencari buku-buku lawas, dan setelah dirasai cukup, kami saling berpisah. Sebelum itu, saya titip kepada Teguh untuk mengurusi ISBN, sebab dimulai tahun 2004, saya telah menerbitkan beberapa buku stensilan; cover sablonan, dalamnya fotokopian (ii). Saya meminta tolong ke Teguh, selain mengusahakan ISBN PUstaka puJAngga, juga penerbit teman Lamongan, Alang Khoiruddin dengan Pustaka Ilalang, dan segeralah penulis kumpulan cerpen “Tato Naga” (Grasindo 2005), berhasrat membikin penerbitan juga berlabel Lafal Indonesia, kemudian ketiganya menemui takdirnya masing-masing. Di sebelah PDS itulah, saya masih mengidam rasa tidak ingin bedah buku, namun membaca puisi dengan rambut gondrong ikal memanjang seperti para pujangga tempo dulu.

Kedatangan ketiga di Ibukota untuk membedah buku “Trilogi Kesadaran; Kajian Budaya Semi, Anatomi Kesadaran, dan Ras Pemberontak” PuJa (PUstaka puJAngga, Okrober 2006), di toko kitab dekat kampus Universitas Indonesia. Dalam kesempatan itu, saya berkenalan dengan Donny Gahral Adian yang termasuk pembedahnya, di sana dia banyak mendukung pandangan buku tersebut, tidak lebih berpaham kalau filsuf Timur sebagaimana diri ini (saya hanya tersenyum, lalu berpendapat bahwa kampus-kampus besar di Indonesia, semisal UI, UGM, dll, sudah sepantasnya memiliki Mazhab Sastra, Mazhab Filsafat). Sebenarnya, acaranya tidak hanya mendiskusikan “Trilogi Kesadaran,” juga novel berjudul “Dazedlove; Reportoar Mahasiswi Demonstran” (Pustaka Ilalang, 2006), karya Rodli Tl, tetapi penulisnya tidak hadir. Serampungnya acara, meluncur ke kontrakannya Teguh, di sana dikenalkan cerpenis Damhuri Muhammad yang tidak jauh dari tempatnya, lalu menuju kediaman kritikus MSM, atau kali kedua ke rumahnya di daerah Bojonggede; pertama selorong paragraf di atas, dan jalan sendiri mengantarkan bendelan puisi yang akan terbit “Kitab Para Malaikat” (PuJa, Desember 2007). Di padeponkannya, saya banyak menyerap pelbagai pengetahuan kepenulisan, menggali sungguh cerita para penyair di Jakarta, pula apa saja, sebab dia termasuk loman tidak pelit dalam membagi-bagikan keilmuannya. Jadi teringat ungkapannya terhadap para penyair yang sok bergaya dengan kata-kata; penyair udik!

Barangkali decak gelombang laut tak pernah sama, dan saya bersyukur sempat berjumpa orang-orang penting dalam peta sastra Indonesia walau setengah tidak sengaja, atau kesengajaan selepas bersesuaian ombaknya. Sebelum mendapati undangan baca puisi pada acara Pengukuhan Guru Besar Prof. Dr. Abdul Hadi WM di Paramadina 9-11 Juni 2008, saya tengah mendalami buku disertasinya “Tasawuf yang Tertindas: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-karya Hamzah Fansuri” (Paramadina, Mei 2001). Undangannya dari Maman, sayangnya di baliho, di koran-koran pemberitaannya tiada nama Nurel, itu bisa dimaklumi, sebab saya bukan siapa-siapa, atau bisa jadi lembar undangannya tersebut inisiatif dari kritikus, dan malam itu pembawa acaranya Acep Zamzam Noor, saya termasuk paling muda dari para pembaca puisi, ditutup Sutardji Calzoum Bachri. Selepas acara, kritikus produktif MSM berkata kalau diri saya dinaungi dewi fortuna, barangkali sebab sikap saya membaca puisi tanpa mau diiringi musik, yang diakhirnya SCB berkata bahwa puisi yang baik, tanpa musik sudah baik. Dalam kesempatan berkumpul dengan para penyair, saya serap aura-auranya, dan diselang waktu berbeda, bertemu kembali beberapa dari mereka dalam suatu acara di TIM, sehingga ada kesempatan lagi menjajakinya, disaat itu berjumpa penyair seangkatan di Jogja, Akhmad Sekhu. Sebelum menghadiri acara di Paramadina, beberapa tamu luar kota berkumpul di rumah kritikus yang nantinya menerbitkan buku “Pengarang Tidak Mati, Peranan dan Kiprah Pengarang Indonesia” (Nuansa Cendekia, Juli 2012), di situlah awal kali mengenal Sutejo bersama Kasnadi dari bumi Batoro Katong, keduanya mengidam rasa penasaran atas keberadaan PUstaka puJAngga, karena sebelumnya melihat buku PuJa di Gramedia, dan lain kesempatan menuju Lamongan, yang membuat jiwanya terbakar hingga menerbitkan karya-karyanya lebih jauh. (iii)

Ke lima menghisap udara Jakarta, menghadiri undangan sebagai peserta JILFest pertama di Kota Tua, 11-14 Desember 2008, ini pun atas rekomendasi kritikus MSM. Saya jadi kelingan, suatu hari Afrizal Malna sms, meminta beberapa puisi untuk dimasukkan ke program kegiatannya yang bertaraf Internasional juga, dan saya tak masuk seleksi, entah tahun berapa, yang jelas ketika almarhum Fahrudin Nasrulloh masih sehat. Dalam acara Jakarta International Literary Festival, saya berkenalan dengan sastrawan Putu Wijaya, dan memberanikan diri meminta tulisannya di blog pribadinya guna diusung ke beberapa website yang saya kelola, syukurlah diberikan izin seluas-luasnya. Dan ingat betul pendapatnya soal posisi kesusastraan Indonesia dalam kancah pergaulan susastra dunia ialah belum apa-apa. Dari situ, saya meloncat turun menggali banyak informasi melalui buku-buku lama, meneliti tanggal usia waktu kejadiannya, ketika W.S. Rendra, Budi Darma, &st di luar negeri, dan nyatanya suara terbanyak membesarkan kabar berita di dalam negeri semata. Lain itu, mempelajari kegiatan berkelas Nasional pula Internasional, tidaklah berpengaruh ke pribadi pengarang, atau karyalah yang lebih bisa berbicara. Sehingga, melihat politik sastra kian semrawut, saya tak heran atau keheranan pun tidak menyentuh pengelana. Di JILFest itu juga, bertemu Sihar Ramses Simatupang yang nantinya akan membongkar buku MMKI, dan semoga berjumpa penulis kelahiran Ngimbang yang saya penasarani, Eka Budianta.
***

Setelah mengenang yang pernah terjadi, kini menyentuh judul bakal mengalami, atau bisa juga batal menjadi, lantaran manusia hanyalah wayang yang dimainkan Sang Dalang, mudahnya hati berbolak-balik, kelahiran serta ketiadaan dalam genggaman Tuhan Semesta Alam, atau saya kerap menikmati sesuatu itu berawal dari panggung belum digelar, pentas teater dimainkan, sampai berkemas-kemas menyudahi, semuanya pelajaran demi ke depan. Kekecewaan juga kegembiraan dunia perangainya sementara, tinggal rupa-rupa di linggiran pantai tepian jurang menawan, berharap bisa mengambil hikmah sebelum surutnya tembang. Jika bedah buku Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra, MMKI di PDS H.B. Jassin terlaksana, rencananya hari Senin 9 April 2018, Jam 15.00-18.00. Siwi beserta para panitia (Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias), saya dudukkan di batin ini sebagaimana guru melukis Tarmuzie, almarhum KH. Abdul Aziz Masyhuri, almarhum guru menulis KRT. Suryanto Sastroatmodjo. Almarhum Gus Zainal Arifin Thoha, kritikus Maman S. Mahayana, pula Sutejo, dst, atau orang-orang baik yang secara tidak sengaja mengantarkan saya menapaskan harapan hampir punah. Atau barangkali, sudah tak mengharapkan selain bernikmat-nikmat berkarya, bersunyi-sepi menghisap madu kesendirian dalam ruang-ruang kata, ataukah telah sangat lama, atau apakah baru memulai rasa yang dirasakan Albert Camus, “…aku menjadi seorang seniman, tanpa penolakan, tanpa persetujuan.” (iv)

Bisa jadi, inilah selayang wewarna selendang absurdisme; “tanpa penolakan tanpa persetujuan,” sejenis berkeinginan menghapus kemapanan yang diterimanya, atau dia tak mau kalah pamor dengan eksistensialisme Jean Paul Sartre, sang penolak Nobel Sastra, dapat terjadi juga serupa olok-olok, pula jauh keduanya lebih mempercayakan hakim penentu, yakni waktu bersegenap perangainya, dan saya sebagai pembaca seperti selampiran masa yang tertunda, nafas-nafas dipompa jantung berguna pula bisa peroleh sia-sibe menemui masa-masa kadaluarsa. Ingatlah pandangan Putu Wijaya, maka biasa sajalah, bro! Lewat ini, lebih mudah melalui tanpa dihantui apa saja selain dosa, dan tiada menemukan raut kewibawaan putus asa di atas panggung sandiwara, sebab semuanya sudah diserahkan disaat melangkah. Karena sudah memasuki paragraf sebelas, cukuplah! Lalu mari berdiskusi tanpa membawa rasa takut melebihi orang gila yang duduk di bawah gelantungan kabel listrik tegangan tinggi, atau bayi yang ditinggalkan orang tuanya di pinggir jalan, makna kata; marilah belajar sambil menghajar, dihajar demi terus belajar sampai ke liang lahat. Ah, jadi terngiang, ‘kata’ penutup pada kuliah umum yang tidak diperbolehkan saya mengikutinya di STKIP Ponorogo, dari almarhum Prof. Dr. Ayu Sutarto; “Prek!”

II. Kenyataan Bedah Buku MMKI di PDS H.B. Jassin

Lalu datanglah semboyan;
“Akulah Jala Suta, memberontak
adalah siasatku menghormati nenek moyang.” (v)

Mungkin sebaiknya pada pembukaan buku MMKI saya cuplik selarik syair dari “Balada Jala Suta” di bagian paling ujung bait terakhirnya, agar tidak dikira tak menghargai para senior, lebih jauh kaum pendahulu susastra, khususnya di bumi Nusantara. Ini saya ungkap sebab di hadapan hadirin bedah buku 9 April 2018 di PDS H.B. Jassin kemarin, seolah saya tak memiliki rasa hormat sama sekali bagi mereka. Atau dari awal tidak menyangka sebegitu cepat reaksi kata-kata, ketika usia penulis telah menginjak kepala empat, saya jadi terbayang awal perjalanan dahulu; kata-kata yang keluar dari tubuh ini masih saja mendekam di rak-rak buku, menanti panggilan waktu entah. Barangkali ungkapan ini muncul, lantaran melihat timbulnya reaksi kekhawatiran begitu hebat di hadapan hadirin, kalau-kalau sejarah susastra Indonesia bakal runtuh oleh kedatangan tamu bersendalkan jepit dari desa, sehingga terlontarlah kalimat dari mulut ini secara spontan hendak mendinginkan suasana, “Saya tak ada urusan dengan sastra, pun sejarah kesusastraan Indonesia,…” Atau dari itu, malah menguatkan gambaran ketakutan mereka yang tampak jelas, sedangkan yang memiliki mental tangguh tenang-tenang saja seperti Arie M.P. Tamba memantau dari jauh, seolah sudah khatam makna suatu perjalanan.

Hasan Aspahani datang mengikuti acara dan saya baru mengenalnya langsung selepas bedah buku, tepatnya mendatangi kami berempat; saya, Sofyan, Sihar dan Shiny, kala duduk santai ngobrol sambil menghisap rokok pelahan, menantikan waktu agak sepinya para penumpang kereta api menuju Bojong Gede ke kediaman Maman S. Mahayana. HA lantas balik menemui penulis kumpulan cerita “Memorabilia & Melankolia,” Agus Noor (Gambang Buku Budaya, 2016), AN tidak tampak, mungkin serupa Asrizal Nur yang tidak mengikuti lajunya acara, hanya nongkrong di kursi luar entah apa dibenaknya, dan atau diri ini sudah tanak jenis-jenis diskusi beserta perangainya, dikarena pernah tinggal lama di Jogja. Kembali ke dalam gedung; bayang-bayang paragraf awal itu muncul setelah saya berdiri tegas di depan mikrofon menghadapi para hadirin, guna menjawab komentar Sihar Ramses Simatupan dengan agak emosi, lantaran tidak mengupas pokok-pokok soal buku, tapi malahan merambahi lanturan pikirannya terhadap posisi dirinya di dalam peta susastra, ini mungkin sebab makalahnya belum rampung dibuatnya, ditambah para pengunjung belum baca, jadi pertanyaan serta pernyataannya, seolah saya sedang memberedeli pamor keseluruhan tradisi susastra di Indonesia atas giringan bola Sihar, makanya saya katakan, “Saya hanya membelejeti hal-hal yang keterlaluan saja,…” sebab di antara berjejernya realitas, pun betebaran bumbu-bumbu sedap malam yang bisa menimbulkan tingkah tergelincir sekaligus sanggup menggelincirkan pembaca.

Adalah ada selayang lubang-lubang di buku itu seakan menanti tanggapan para penyimak guna menuliskan lebih, lantaran penglihatannya dirasai ngambang, atau sebelumnya saya sangat berharap Sihar membuat benturan kuat antar teks, sehingga diskusinya mencapai ujung-pangkal temuan yang diharapkan, namun sayangnya itu tidak terjadi. Oleh karenanya dengan tegas saya katakan, demi sampai pada titik kejelasan, “esainya Ignas Kleden itu sekadar jalan, sketsa, jalur rel kereta api yang nantinya menjalar menerus…” dan yang jelas saya sangat berterimakasih atas masukan Sunu Wasono, tanggapan Maman S. Mahayana, Remi Novaris, pandangan Eka Budianta, tidak lupa kritikan membangun dari Siwi Dwi Saputro dan Iskandar Noe atas tulisannya, semuanya ditampung lantaran segala di alam dunia ini tidak lebih ladang belajar, selaras agama mengajarkannya. Bisa jadi, reaksi saya berdiri sambil melihat keseluruhan hadirin, dikarena pengantar Eka serta perkataan Sihar, ditambah mimik mereka yang melihatnya seperti memojokkan buku saya seolah hasil dari mengada kedatangannya, maka bacalah, dan padahal sudah saya tebarkan di fb, blog, website, sebagaimana saya memantau tulisan-tulisan mereka yang beredar di koran-koran, website dan buku-buku, atau memang watak insan kerap lalai sekaligus melenakan, hingga tidak mengira tenaga alam yang melimpah kerap tidak disadarinya, atau sikap meremehkan sering memperdaya sampai palingling melihat realitas, serupa kelembutan bulir-bulir air hujan selalu mendatangkan bahaya banjir besar di Ibukota.

Barangkali, bukan sejenis batu-batu kali atau kerikil di dasar sungai, ketika saya berkata-kata dengan suara meninggi, “Hantam saja buku ini, bongkar buku ini, hancurkan buku ini, bakar habis buku ini, atau kritik sampai tuntas,…” biar bayang-bayang gelapnya awan menghitam di udaranya lekas sirna menuju tepi-tepi cakrawala ke dada, agar tidak menjelma hantu dalam kekisaran kepala, tetapi rasanya saya selalu tetap menjelma momok rindu, selantunan kata almarhum guru saya, KRT. Suryanto Sastroatmodjo, “Beri aku sepantun hening, Wahai semua yang jauh.” Dan pastikan, saya tidak akan melupakan kawan-kawan di Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias; Gengsi Sutjahjo, Arie Yani, Tantri, &st, tidak lupa Tengsoe Tjahjono yang memperkenalkan MMKI sampai di kedalaman jantung kota Jakarta, meski tak sempat hadir di tengah-tengahnya seturut menyaksikannya. Lalu mengenai laku “Kun Fayakun” di sebalik buku “Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia,” Insyaallah ditulis dilain waktu, “Kun Fayakun” senada lempengan kesaksian Siwi, “Istilah ini mengingatkan saya pada salah satu ayat Kitab Suci yaitu Kitab Kejadian 1:3 yang menyebutkan Berfirmanlah Allah: “Jadilah terang.” Lalu terang itu jadi.” (vi) Maka, ketika masih ada menganggap “Kun” bermakna “Jadi,” mengira MMKI ngawur, tulis saja tanggapannya, sebab obrolan sebentar-sebentar menguap ke udara, tersapu angin jalanan membentuk gosip buatan lekas sirna, maka bukalah kembali kitab saudara, beritahu manusia dari desa ini, seorang yang tak terpelajar di bangku-bangku kuliah, agar mendapatkan hardikan sepadan imbang dari masa ke masa.

Teringatlah keberangkatan menuju PDS H.B. Jassin sedari rumah menuju stasiun Babat diantarkan adik Arif Setiawan, tentu selepas sungkem kepada kedua orang tua, dan dalam perjalanan mengingat beberapa tahun lamanya, mungkin telah menempuh waktu sepuluh tahun tidak ke Jakarta, lalu rasanya akan sering ke Ibukota, ini sekadar membaca kebiasaan alam yang pernah terlaksana. Sebab keadaan di stasiun masihlah sepi, kami ngopi dulu di warung emperan jalan raya menuju Jombang, tepatnya di depan toko yang malamnya pada ditutup, lalu ke stasiun sambil melihat waktu menunjukkan jam keberangkatan masih lama juga, sampai diri ini diseret oleh lamuan panjang teringat buku-buku pernah singgah; Sam Ratulangi, Soekarno, Hatta, H.B. Jassin, tak lupa ‘si binatang jalan’ Chairil, dan kata-kata atas lelembaran makna berkisaran sejarah mendekam purba di tubuh ini, telah lama membuyar serasa datang kembali dengan paras ayu rupawan menyambangi saya yang tengah duduk menanti kedatangan kereta. Kota Babat saya pilih permulaannya, karena riwayatnya lebih tua dari Kota Lamongan, pun kata Babat mengingatkan kitab-kitab lama semisal Babad Singosari, Babad Kediri, Babad Diponegoro (meski ini lain), pula istilah Babat Alas, hal itu memasukkan ke alam bawah sadar, hingga ketika di depan hadirin, saya sering melontarkan kata-kata Babat, tentunya bukan Soto Babat, bro!
***

Saya berangkat Jam 22.06 WIB, 6 April 2018 dihari Jum’at malam Sabtu, sampai stasiun Pasar Senin Jam 10.40 pagi, terus meluncur ke jalan Cikini Raya No: 73 Taman Ismail Marzuki, menemui Siwi, Endang, dan entah berapa lama hampir sebungkus rokok habis, datanglah Arie Yani, disusul Tantri, tatkala namanya disebut, ini mengingatkan saya pada penulis novel sejarah “Revolusi di Nusa Damai” K’tut Tantri, perempuan asal Skotlandia yang keranjingan bela tanah air tumpah darah kita bersama Bung Tomo, Soekarno, hingga menembus pengakuan Kemerdekaan RI ke jantung negeri Paman Sam, lalu dilanjutkan Agus Sulton asal Jombang mampir sedari kampus UI, dan kami ngobrol bersama lagi, sampai waktu menunjukkan agar AS segera balik ke tanah Kota Santri, demi menyesuaikan tiket jadwal penerbangan ke Kota Pahlawan, tak lupa berpamitan, sebab tidak bisa mengikuti acara dihari lusanya, sorenya kami berputar-putar sekitar PDS mencari inapan, mungkin sebab malam minggu, banyaklah kamar pada penuh, dan sampailah di tempat yang teduh. Lantaran cukuplah lelah saya nyenyak istirah, ketika Jam 03:46 WIB terjaga, ditanggal 8 April 2018 pagi mendapatkan inbox sedari Iskandar Noe berupa resensi buku, rasanya ini menyambut acara bedah buku MMKI, dan siang harinya saya menuliskan tanggapan, ah, kalimat panjang ini mengingatkan seorang yang menyarankan agar tidak digunakan, demi mudah dimengerti, namun pikiran ini terus membantah, ‘Lawong kata-kata dalam puisi yang tiada juntrungnya entah dari bahasa jin atau demit, di hadapan para kritikus banyak yang memahaminya. Hingga detik-detik masa ke tempat acara, belumlah kelar merampungkan, yang sengaja saya masukkan dalam catatan menjawab tulisan Siwi sebelumnya, maka terpaksa berangkat sambil meninggalkan tanda, lalu di parkiran PDS berjumpa pertama kali dengan Gengsi Sutjahjo, melihat Sihar dan Sofyan lewat, tidak lama kami menyusul lalu bersalaman, Sihar ternyata lupa karena potongan rambut saya cepak, Sofyan tak mengira di hadapannya ialah Nurel, dan sambil merokok kami berbagi cerita, tidak lama kemudian masuklah ke ruangan no smoking, no seks, no drugs (tertawa).

Saat mencatatkan ini, terdengarlah kabar dari kritikus Maman S. Mahayan, bahwa Danarto telah berpulang menghadap kepada-Nya; Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Tidak begitu lama, MSM duduk menghadap laptop menuliskan kenangan atas kepergian “Makhluk Tawaduk Danarto” (Judul tulisannya), dan serampungnya ditulis, saya diminta membacakan untuk disimaknya, oleh sebab kondisi badannya lelah, karena semalamnya juga menulis, ini mengingatkan kepada almarhum Kiai saya, K.H. Aziz Masyhuri, yang sempat meminta merevisi bahan-bahan bukunya yang hendak cetak ulang, “Ensiklopedi 22 Aliran Tarekat dalam Tasawuf,” Pengantar: Habib Muhammad Lutfie bin Ali bin Yahya, Prof. Dr. KH. Said Aqiel Siradj MA., serta Martin van Bruinessen. Lalu saya melanjutkan pelacakan ke beberapa foto acara di PDS, menyusuri beberapa fb kawan sembari memostingnya di blog, lantas lapar pun mengajak makan, tentu masih di kediaman MSM, diteruskan membersihan piring, ini pula mengingatkan kepada kyai saya, sewaktu menuntun beliau ke tempat seminar di Universitas Muhammadiyah Malang, atau hal itu sejenis lelaku mencari berkah meskipun tanpa diperintah, karena keduanya saya anggap guru, walau berbeda pemikiran, berseberangan paham, berlainan pandangan, misalkan. Kini masuki paragraf tujuh, maka cukuplah, yang menurut hitungan Jawa ini bermakna Pitulungan (Pertolongan), dan seirama waktu semoga almarhum penulis kumpulan cerita pendek “Godlob,” mendapatkan pertolongan-Nya, memperoleh ampunan sekaligus menerima pahala yang terindah, ganjaran selayaknya kaum berilmu semestinya, maka hambur-hamburkanlah surah pembuka, al fatihah kepadanya…
***

Sepertinya catatan ini minta diteruskan, saya balik ke Lamongan sedari rumahnya MSM sekitar Jam 9 pagi, jalan bersama terlebih dulu ke Bogor sekadar di stasiun untuk memudahkan tidak naik ojek atau tidak turun lagi nantinya kala balik ke stasiun Senin, namun nyata kereta dari Kota Hujan tidak berhenti di Pasar Senin, tetapi pada stasiun sebelum serta sesudahnya, sedang saya pilih melampaui stasiun bernama Hari itu terlebih dulu, lalu ke asal tujuan Pasar Senin. Dalam perjalanan pun saya tak jenak duduk lama-lama, apalagi melihat seorang ibu yang berdiri di samping, makanya mempersilahkan duduk di kursi yang saya tempati, meski jaraknya berkisar dua jam. Oya, di stasiun Bogor berjumpa kembali dengan Sofyan, sepertinya tengah ada kegiatan bersama kritikus, lantas berpisahlah saya dengan keduanya, kala kereta ke Senin sudah datang. Dan titik lawatan kata-kata ini saya utarakan kepadanya berucap, “Semua yang terlewat akan saya catat bagi bahan pelajaran,” MSM menimpali dengan ungkapan “Waduh, nama saya akan masuk dalam buku yang buruk.” Maka sebelum berlanjut, mohon maaf sungguh karena suara-suara untuk menuliskan ini seolah tidak terbendung, sekaligus menyesal sangat di atas kecerobohan saya, sehingga sang kritikus harus menginstal ulang laptopnya, dan sampai kini mungkin selamanya, menyesalkan lelangkah meminjam barang-barang orang lain meski seizin pemiliknya.

Terus terang saya sadar betul tulisan pengelana ini dalam tahap proses, seibarat burung masih belajar mengepakkan sayap-sayapnya, serta belum tahu cara mengapung di udara bebas pun tak paham sebaik-baiknya memanfaatkan tekanan angin padat suhu udara di ketinggian, semisal bentuk kecurigaan mereka terhadap penelusuran di buku MMKI yang diragukan kebenarannya, di sini pun saya mengalami keraguan hebat pada beberapa cara yang sudah menjadi bahan pelajaran di sekolah, seperti kecurigaan atas pembaca yang jarang mendapati titik-titik hening selarik-larik alam pedesaan tanpa kepentingan lain tiada hasrat lebih, namun larut mengutarakan paham kebeningan itu sendiri. Atau bagaimana lekas-lekas menganggap jelek pun keliru, kalaulah belum mendialogkan badan kata-kata seimbang di meja bedah misalnya, di sini seyogyanya saling menyadari bahwa kata-kata terbangun sekaligus membangun dunia sunyinya sendiri-sendiri, dan ‘rayuannya’ ada yang memakai dalil (teori) dari pelbagai pelajari yang pernah dikenyam pula lewat cara lain, dan atau makna keberhasilan menimbulkan nilai bagi masing-masing karya, semisal saya tak bisa jenak di tengah keramaian berdesak-desakan kepentingan. Adalah sosok buku tidak lebih ladang kesunyian, sampai sebagian orangnya mengira sudah bertuah lalu berhasrat menempati ruangan mitos atau mereka telah mengolah tujuannya, dan saya tak lebih mengikuti air mengalir, kadang hanyut memusar pun naik-turun mengiyakan tekstur takdir atas jalan yang dilalui.

Secara jelas, ada yang melewati jalur ‘rayuan’ metodologi pun jangan salah ada memanfaatkan teknik bercerita, saya jadi teringat ungkapan Junaid al Baghdadi yang disampaikan oleh Awalludin GD Mualif, bahwa “cerita adalah tentara Allah.” Dan kalaulah muncul (membedah) lewat beberapa gaya, bisalah sedikit-sedikit saya belajar darinya. Balik pada perjalanan pulang kampong ke desa; secara ‘kebetulan,’ meski teori ini sudah kerap terpatahkan di beberapa tempat. Saya menaiki kereta api kelas ekonomi Kertajaya dari Pasar Senen ke Kota Lamongan, kode bookingnya UYSV57, gerbong nomor 8 di kursi 8C, jam keberangkatannya 14.00 WIB. Di beberapa pemberhentikan, saya dan beberapa orang keluar demi memanfaatkan betul masa singkat menghisap rokok ke luar gerbong, sebelum di stasiun Cirebon, saya melihat Sihar keluar untuk menikmati rokok; meski kerap tak sampai sebatang, kereta mulai berangkat, ini serupa seni berkejaran dengan waktu, SRS tidak mengira serasa saya pun tak menyangka berjumpa kembali sebegitu cepat, katanya ia hendak ke Surabaya atas tuntutan pekerjaan demi membiayai atau rampungnya gelar S2. Dan bisa dipastikan, setiap berhenti di stasiun saling menyapa, bercerita ulang bedah buku kemarin serta soal lain. Mungkin di benak pembaca menganggap lagu tulisan ini tiada nilainya, tapi cobalah terka, kalau melampuai usia beberapa tahun, tentu bisa dipahami dengan kadar berbeda, bagi yang pernah merasakan peristiwa kehilangan. Sewaktu saya hendak turun di stasiun Lamongan, mencari-cari SRS ke beberapa gerbong tidak ketemu, yang sebelumnya dalam gerbong 9, (“Jangan-jangan hendak membuat mitos,” ini teringat perkataan Sofyan kepada Remi Novaris, sewaktu tak sengaja bertemu kembali dalam kereta api menuju Bojonggede selepas acara bedah buku MMKI), semoga Sihar tidak menghindari pertemuan terakhir itu, lantas batin ini tertawa ngakak.

Perlu pembaca ketahui, kepulangan saya tidak lagi bersendal jepil, tapi sudah bersepatu plus kaos kaki baru atas pemberian kritikus MSM, Alhamdulillah bisa dipakai untuk bedah buku tanggal 3 Mei 2018 nanti di kampus UI, dan karena saya biasa membaca tanda, meski tanda-tandanya ada yang tak berkenan menyapa (membaca), diri ini memaknai pemberian tersebut seakan-akan menghadiahi lelangkah saya berikutnya memasuki kampus-kampus lainnya di Indonesia, atau tengah mewariskan tapak-tapak kritikus tanpa disadarinya, walaupun di hadapan MSM peristiwa itu tampak profan semata. Menyoal sendal jepit, memang kerap jadi perhatian publik di bawah kaki saya, tidak hanya di PDS H.B. Jassin, sewaktu mengikuti ujian terbukanya doktor Sutejo di Universitas Negeri Surabaya pun terjadi dan tempat lain. Ini tidaklah fatal dibandingkan saya menghadap para kyai sepuh NU dengan tidak memakai songkok, bercelana jeans berkaos lengan pendek, mungkin saat-saat itu kesopanan, ketawadhuan terhadap bentuk lahirian, diri tempatkan dalam hati, dan untung tidak bercelana pendek seperti kebiasaan almarhum Bob Sadino, coba bayangkan. Dan sebab mencapai paragraf sebelas di bagian ini sudahlah, seturut angka Jawa bermakna ‘Sakwelase : Menanti datangnya kasih sayang.’ Bagi yang penasaran kodebooking keberangkatan saya menaiki kereta kelas ekonomi dari stasiun Babat inilah: WPNZXS, pada gerbong ke 2, tempat duduknya di kursi 9C. Lagi-lagi masih C, mungkin MMKI senilai C di hadapan mereka yang belum menerbitkan buku secara utuh, meski ada lanturan panjang, setidaknya bukan dari kumpulan esai-esai terpilih yang terpisah lantas sengaja disatukannya, salam dari saya: 86, Wassalam…

5 Maret 2018 LA
Bojong Gede, Paseban, Depok
– Pilang, Laren, Lamongan, 14 April 2018.


_________________________________

(i) Pengelana yang kebetulan suka baca…

(ii) Jejak ini terekam di bukunya Maman S. Mahayana “Bermain dengan Cerpen, Apresiasi dan Kritik Cerpen Indonesia” (Gramedia, Juni 2006), pada catatan kaki di h. 56; “Sebuah fenomena menarik… Hak Cipta dilindungi Akal Budhi, ISBN: Insyaallah diridhoi allah SuBhaNahuwata’ala,…”

(iii) Baca esainya Sutejo, “Berkaca Menulis dari Nurel” dalam bukunya “Inspiring Writer” (SSC dan Pustaka Felicha, 2010).

(iv) Pengantar bukunya “L’Envers et l’Endroit” 1935-1936, diterbitan awal 1937 pada usianya yang ke 22 tahun, pengakuannya itu merujuk pada tahun 1935. Kalimat tersebut terdapat dalam terbitan ulangnya tahun 1958, dalam usianya yang ke 45, atau dua tahun sebelum dia mangkat.

(v) (3 Oktober 2000, Kadipaten Kulon 49C Yogya) dari antologi puisi “Balada-balada Takdir Terlalu Dini” (Cetakan I, FKKH Yogyakarta, Mei 2001, Cetakan II, Lintang Sastra dan PuJa, Januari 2006).

(vi) “Membaca Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia: Membaca Subyektivitas (Nurel) atas Subyektivitas (Ignas Kleden dan Sutardji Calzoum Bachri),” 31.3.2018, 2 April 2018 sastra-indonesia.com

NOVEL SEBAGAI WACANA

$
0
0

Tengsoe Tjahjono

1. Pengantar
Menurut Abrams (1981:119) novel merupakan ragam tulisan yang merupakan bagian dari prosa fiksi. Sebagai karya narasi novel dibedakan dengan cerita pendek dan dari karya yang menengah panjangnya yaitu novelet. Novel memberi peluang untuk hadirnya banyak tokoh, pertikaian dan alur yang kompleks, pengembangan lingkungan secara lebih luas, eksplorasi terhadap tokoh secara mendalam.

Istilah novel untuk sebagian besar bahasa-bahasa Eropa adalah roman yang berasal dari romance. Dalam bahasa Inggris istilah tersebut diambil dari bahasa Italia novella yang berarti ‘sebuah hal baru yang kecil’, sama halnya cerita pendek dalam fiksi. Pada abad ke-14 di Italia banyak koleksi roman yang besar, sebagian serius dan sebagian yang lain amat memalukan. Salah satu karya besar itu adalah Decameron karya Boccacio, yang banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Sejak saat itu istilah novella atau dalam bahasa Jerman novelle selalu digunakan sejajar dengan novellete: prosa fiksi yang memiliki panjang menengah.

Sebagai karya sastra novel sekan-akan bertentangan dengan kebenaran dalam merekam pengalaman kemanusiaan, amat paradoksal. Memang karya sastra selalu mengambil bahan dari realitas pengalaman hidup sehari-hari. Tetapi, pengalaman hidup itu telah ditafsirkan pengarang. Griffith pun menyebutkan bahwa the total form of a work represents its interpretation (1982:14). Karya sastra merupakan sebuah dunia imajinasi. Dunia imajinasi itu lahir dari sebuah pandangan pengarang terhadap dunia.

Pandangan dunia yang diungkapkan ke dalam karya sastra itu bersifat subjektif. Pengarang akan mengungkapkan pandangan dunianya mengenai bagaimana dunia itu menurutnya. Masing-masing pengarang akan memiliki pandangan dunia yang berbeda atas peristiwa atau hal yang sama.

Novel merupakan ekspresi dari pribadi yang menulisnya. Kepribadian, perasaan, dan kepercayaan pengarang akan terlihat dalam karyanya. Meskipun pada suatu ketika pengarang dengan sengaja mengambil jarak dengan ciptaannya, tetapi bahwa karya merupakan hasil dialog personalnya dengan lingkungan tidak dapat diingkari. Sebagai dialog personal, pengarang sengaja atau tak sengaja telah mengkomunikasikan dirinya melalui teks novel yang dihasilkannya. Banyak pengarang memutuskan bahwa keterkaitan antara dirinya dengan persoalan yang mereka angkat merupakan hal yang tak terelakkan. Hal tersebut pada akhirnya justru melahirkan keunikan daya ungkap, keunikan karya.

Salah satu dampak sifat ekspresif karya sastra adalah manakala kita membaca karya sastra, yang ingin kita temukan justru pemikiran pengarang. Kita tertarik atau kita menemukan ‘sesuatu’ justru karena ‘kehadiran’ pengarang dalam karyanya. Bahkan kita membaca pula karya-karya lain dari pengarang yang bersangkutan untuk menemukan lebih banyak lagi pengalaman dari pengarang itu. Kita membaca karya Ahmad Tohari demi melihat pengalaman Ahmad Tohari, membaca karya Umar Kayam untuk mengetahui pengalaman Umar Kayam.

Boulton (1975) menjelaskan bahwa novel dalam menggambarkan hidup nyata berusaha sungguh untuk menampilkan kebenaran. Peristiwa atau hal dalam novel kita ketahui tidak terjadi, tetapi dibuat agar dirasakan seperti benar terjadi. Pengalaman hidup nyata tidaklah sama antara manusia satu dengan lainnya. Banyak orang membaca novel dengan maksud untuk mencocokkan kebenaran hidup yang dialaminya dengan pengalaman lain yang terdapat dalam novel. Pembaca akan memperoleh pengalaman baru yang akan memperkuat atau bisa jadi mengubah pandangannya mengenai hidup itu.

Pada umumnya novelis besar berkecenderungan untuk menyajikan pelbagai kebenaran mengenai gambaran kehidupan. Dalam hal tertentu ia tidak jauh berbeda dengan sejarahwan. Sejarahwan mencoba untuk menyusun koherensi, narasi yang bermakna mengenai sesuatu saat manusia tinggal dan hidup di situ. “Sesuatu” itu terlihat sangat hebat, penuh perubahan, berupa mata rantai tanpa putus, penuh laporan yang keliru, rangkaian peristiwa dunia yang membingungkan, berisi pelbagai emosi yang kontradiksi, kacau-balau, tidak logis, tak dapat dipahami secara utuh. Demikian pula, seorang novelis akan melakukan seleksi dan memakai pola tertentu untuk mencoba mendekati pergolakan yang kacau-balau atau letupan buram dari kehidupan manusia, dan mencoba menatanya dalam urutan sebab-akibat yang jelas.

Menurut Boulton (1975:28) tidak ada novel yang mampu memberikan kebenaran total seperti agama, filsafat, atau teori politik; tetapi novel yang baik selalu akan memberikan kepada pembaca beberapa pandangan atau sikap mengenai kebenaran secara fragmentaris. Sebuah novel besar akan menyajikan kompleksitas dan multi-impresi kehidupan dan problematikanya, mengkomunikasikan pelbagai wawasan, baik secara tersurat maupun tersirat.

2. Fakta dan Fiksi dalam Novel
Secara konvensional novel selalu didudukkan sebagai karya fiksi. Fiksi selalu dipertentangkan dengan fakta. Akibatnya novel diklaim sebagai karya yang jauh dari kebenaran, lebih-lebih bila dikaitkan dengan persoalan pemikiran, karena ia hanya merupakan rekaan. Pandangan semacam itu menurut Kleden hanya cocok untuk sementara disampaikan kepada siswa SD atau SMP. Secara lengkap Kleden menulis sebagai berikut.

Persoalan tentang fakta dan fiksi dalam kesusastraan dan ilmu sosial (atau dalam ilmu pengetahuan pada umumnya) rupanya tidak luput dari berbagai pandangan yang bahkan dalam dirinya sendiri sudah penuh dengan fakta dan fiksi itu sendiri. Menganggap bahwa dunia sastra adalah dunia yang fiktif, sedangkan dunia ilmu sosial misalnya adalah dunia yang menyajikan fakta, barangkali masih mempunyai kegunaan didaktis untuk memberikan penjelasan sementara kepada anak-anak SD dan SMP tentang apa itu kesusastraan, tetapi pastilah tidak banyak membantu tercapainya pengertian yang mendekati kenyataan tentang wujud dunia sastra itu sendiri (1998:5).

Menurut Subagio Sastrowardoyo (dalam Kleden, 1998:12) pemahaman bahwa sastra merupakan hasil khayalan berdampak buruk, baik bagi pengarang maupun bagi publik pembaca. Bagi pengarang, anggapan tentang khayal ini membuat mereka akan memandang sastra sebagai “hasil lamunan tentang alam yang berada di luar kehidupan nyata”. Bagi pembaca, anggapan tentang khayal itu membuat mereka menganggap “kesusastraan sebagai hiburan saja atau paling jauh sebagai hiasan hidup yang indah dan menarik tetapi tidak esensial, yang bisa dikesampingkan di tengah-tengah kesibukan sehari-hari yang sungguh-sungguh”. Sastra, menurut Subagio Sastrowardoyo, dibangun oleh imajinasi yaitu “daya tangkap batin yang secara intuitif memperoleh tanggapan atau visi yang benar tentang pengalaman dan kenyataan.”.

Sehubungan dengan istilah imajinasi seringkali terjadi salah kaprah dalam penggunaannya. Ia sering disamakan dengan ilusi, khayalan, dan fantasi. Menurut Tedjoworo (2001:22) fantasi lebih berkaitan dengan daya untuk membayangkan sesuatu, khususnya hal yang tidak real atau hal yang tidak mungkin terjadi. Fantasi sering disamakan dengan khayalan, sedangkan khayalan sering dipakai pula untuk menerjemahkan kata illusion. Padahal ilusi itu ialah “ide, keyakinan, atau kesan yang salah tentang sesuatu; persepsi atau konsepsi yang keliru tentang sesuatu”. Fantasi pada umumnya selalu dikaitkan dengan gambaran objek yang tidak mungkin, dan memang tidak ada dalam kenyataan, imajinasi dipahami sebagai daya yang menghasilkan gambaran objek yang mungkin (=dapat ada) atau logis. Imajinasi tidaklah bersangkutan dengan penggambaran objek yang membabi buta dan serabutan tentang suatu objek (yang statis atau dinamis) maupun konsep tertentu.

Sastra memang imajinatif. Imajinasi bukanlah fantasi, sebab imajinasi selalu bermula dari kenyataan dan menghasilkan sesuatu yang mungkin. Untuk memahami makna imajinasi secara lebih baik, Kleden merasa perlu untuk memahami lebih dahulu tiga istilah yang menjadi sumber pengertian dan salah pengertian mengenai kenyataan dan rekaan. Ketiga istilah itu ialah data, fakta, dan fiksi.

Data sebagai bentuk plural dari datum dalam bahasa Latin berarti sesuatu yang sudah diberikan. Sesuatu dianggap data bila kenyataan itu dianggap diberikan oleh alam kepada indra manusia. Kebenaran ilmu empirik memerlukan data, sebab kebenaran itu dianggap hanya berasal dari alam yang dapat ditangkap oleh indra manusia. Alam tidak pernah menipu, veracitas naturae (the truthfulness of nature).

Fakta berasal dari kata factum dalam bahasa Latin yang sejajar dengan kata bahasa Inggris done. Sesuatu menjadi fakta kalau dia merujuk pada tindakan (behavior). Dalam sejarah kenyataan-kenyataan itu dianggap dibuat dan dilakukan oleh manusia melalui tindakan-tindakannya dan karena itu menjadi fakta. Fakta adalah hasil tindakan manusia sebagai homo-agens atau makhluk yang bertindak dan berbuat. Kladen menegaskan bahwa baik data maupun fakta selalu berhubungan dengan indra manusia. Data diterima oleh indra manusia sedangkan fakta dilakukan oleh indra manusia.

Karena itulah dalam pikiran positivisme maupun behaviorisme fiksi diartikan sebagai sesuatu yang tidak dapat ditangkap oleh indra. Padahal dalam bahasa Latin kata fictio yang berakar kata fingere lebih sedikit menunjukkan segi nonrealnya. Dalam bahasa Inggris kata fictio lebih dekat pada to fashion, to form, to construct, to invent, to fabricate. Jadi fiksi berarti sesuatu yang dibuat, dibentuk, dikonstruksi, dibuat-buat, dibangun. Jika ada unsur rekaan dalam fiksi tidak terletak pada segi real dan nonrealnya tetapi pada segi konstruktif, inventif, dan kreatifnya.

Bahkan pada pandangan cultural studies sastra dianggap sebagai suatu teks budaya atau dokumen sosial, sastra dilihat sebagai representasi sosial. Mereka tidak tertarik untuk mendapatkan jouissance, suatu kenikmatan tekstual yang muncul misalnya oleh ketakterdugaan metafor dan imaji yang lazimnya disediakan oleh teks sastra. Akibatnya mereka lebih tertarik pada yang di luar sastra, daripada sastra itu sendiri, pada konteks daripada teks (Sahal, 2002). Sastra, menurut pemahaman Sahal mengenai cultural studies, dikaji demi kepentingan menyingkap bekerjanya kontestasi kuasa dalam setiap praktik penandaan itu.

Padahal menurut Lucy R. Lippard dalam eseinya Trojan Horse: Activists Art and Power (1983) kaum activist artists menyatakan bahwa melalui karya-karya yang politis, mereka tidak berniat melakukan perubahan nilai, atau perubahan sosial, apalagi dalam sekejap, tetapi menempuh strategi “oposisi” terhadap dominasi dan represi. Melalui kedudukan oposisi ini kesenian mengajukan “gambaran-gambaran alternatif, metafora, atau informasi yang dibentuk berupa humor, ironi, kemarahan, ataupun rasa haru” agar “wajah dan suara yang selama ini tak tampak dan bungkam bisa dilihat dan didengar” (Supriyanto, 2002:177). Dari uraian Supriyanto tersebut terlihat bahwa teks dan konteks tidak dapat saling dilepaskan. Teks merupakan strategi oposisi terhadap konteks kontestasi kuasa. Bahkan, Herbert Marcuse berpendapat bahwa seni/sastra harus merupakan ungkapan dari alienasi masyarakat.

Bagi Marcuse, seni/sastra secara hakiki haruslah merupakan ungkapan dari alienasi masyarakat, menampakkan kesadaran akan ketidakbahagiaan orang berhadapan dengan dunia yang terpecah belah, karena kemungkinan-kemungkinan yang tak terwujud, harapan-harapan yang diingkari. Kesenian harus mengungkapkan adanya dimensi manusia dan alam yang tertekan dan tertindas. Kaum seniman harus menunjukkan dalam karya-karyanya suatu dimensi yang dalam kenyataan sosial yang ada belum atau tidak diwujudkan. Mereka harus ‘mentransendir’ kenyataan yang ada (Sudarminta, 1983:132).

Novel sebagai fiksi harus diartikan sebagai sesuatu yang dikonstruksi, diinvensi, dikreasi. Sesuatu yang dikonstruksi, diinvensi, dan dikreasi itu bisa berupa data, fakta, atau realita secara lebih luas. Ideologi, pemikiran, perasaan, dan sebagainya sebenarnya juga merupakan realitas-realitas, fakta-fakta, data. Hal itu sejajar dengan pandangan Michel Foucault mengenai wacana. Wacana tidak dipahami sebagai serangkaian kata atau proposisi dalam teks, tetapi sesuatu yang memproduksi yang lain (sebuah gagasan, konsep atau efek). Wacana dapat dideteksi karena secara sistematis suatu ide, opini, konsep, dan pandangan hidup dibentuk dalam suatu konteks tertentu sehingga mempengaruhi cara berpikir dan bertindak tertentu (Eriyanto, 2001:64).

Novel sebagai sebuah wacana bukanlah fiksi semata, sejauh bagaimana kita memandang pengertian fiksi itu dan sekaligus bagaimana kita memahami pengertian fakta. Sebab, menurut Sahal (1998:3) garis demarkasi antara fakta dan fiksi, antara ilmu/ filsafat/ laporan jurnalistik dan sastra yang tadinya ditarik secara tegas dan distingtif sekarang pun melumer. Bahkan Zeldin (1994) merasakan bahwa berkat sumbangan dari narasi, dia menulis sebuah sejarah masyarakat modern yang batas antara ilmiah dan imajinatif terlihat kabur.

Salim (dalam Pengantar untuk terjemahan Hayat dan Karya tulisan Geertz, 2002: v) menulis sebagai berikut.
…, di dalam karya-karya yang dianggap menyajikan fakta terkandung imajinasi dan subjektivitas. Persoalannya juga bukan lagi sekadar besar-kecilnya kadarnya, tetapi bahwa kenyataan ini tak dapat dielakkan. Dalam banyak hal, apa yang disebut fakta sesungguhnya adalah sesuatu yang fiktif. Seementara itu yang disebut fiksi, tak sepenuhnya imajinatif dan subjektif. Karya seorang novelis atau penyair, bukan turun tiba-tiba dari langit, tetapi hasil dari pergumulan dan pengalaman sosialnya. Artinya, karyanya pada dasarnya juga menyajikan fakta. Keduanya pada akhirnya sama-sama menyajikan “fakta”, yakni fakta yang telah ditafsirkan. Atau keduanya sama-sama merupakan fiksi: suau ciptaan atau konstruksi.

Novel lahir dari tangan seorang pengarang, tetapi pengarang yang tidak bebas dari atmosfer, baik itu atmosfer budaya, sosial, kepentingan, hegemoni, dan sebagainya.

3. Pandangan Novelis tentang Fakta dan Fiksi
Dalam novelnya Namaku Hiroko Nh. Dini menulis, “Jika dalam kehidupan ada persamaan nama maupun cerita seperti yang terdapat dalam buku ini, tentulah itu hanya merupakan suatu kebetulan.” (1994:9). Ada satu hal yang perlu dikritisi atas ungkapan Dini tersebut yaitu bahwa persamaan nama dan peristiwa antara novel dan kehidupan nyata hanya sebuah kebetulan belaka. Sebuah novel lahir dari kesadaran pengarang dalam berdialog dengan fakta dan data yang dijumpainya dalam hidup nyata. “Kebetulan” dalam konsep Dini tentu bukan kebetulan yang tanpa disengaja, tetapi kebetulan yang lahir dari rekayasa kreatif atas fakta dan data. Peristiwa dalam cerita bukan semata-mata peristiwa yang lahir dan bergolak dalam diri pengarang tetapi peristiwa yang direkonstruksi atau didekonstruksi dari realita yang ada. Artinya, peristiwa dan nama dalam cerita tidak sepenuhnya kebetulan.

Dalam pengantarnya terhadap novelnya Anak Tanahair: Secercah Kisah Ajip Rosidi menulis, “Meskipun roman ini menyangkut peristiwa-peristiwa sejarah dan banyak nama yang disebut di dalamnya benar-benar ada, namun tokoh-tokoh dan jalinan alurnya adalah hayalan semata-mata.” (1985:6). Jadi, dalam novel terdapat realita historis di satu sisi dan realita imajinasi pada sisi yang lain. Jembatan antara realitas historis dan realitas imajinatif itu adalah kesadaran kreatif pengarang. Tampaknya novel tidak dapat melepaskan dari bingkai sejarah, dimensi ruang dan waktu yang ada, sebab justru di situlah pengarang bergelut dan bergulat. Novel sebagai dunia ciptaan, bukanlah sebuah galaksi baru, juga bukan sekadar proyeksi dari peristiwa sejarah. Dalam novel justru bertemu jagad besar (semesta ini) dengan jagat kecil (dunia batin pengarang), fakta dan data pada satu sisi dengan fiksi pada sisi lainnya.

Sikap Dini dan Rosidi itu berbeda dengan sikap Merari Siregar. Siregar dalam mengantarkan novelnya Azab dan Sengsara menulis, “Hal-hal dan kejadian yang tersebut dalam buku ini, meskipun seakan-akan tiada mungkin dalam pikiran pembaca, adalah benar belaka, cuma waktunya terjadinya kuatur – artinya dibuat berturut-turut – supaya cerita itu lebih nyata dan terang.” (1985:7). Berdasarkan ungkapan Siregar tersebut terdapat tiga hal penting yang menyangkut persoalan novel. Pertama, hal atau kejadian dalam novel itu benar adanya, artinya ia ditulis berdasarkan data dan fakta. Kedua, novelis melakukan seleksi terhadap data dan fakta tersebut kemudian menatanya sedemikian rupa, baik dari sisi pengaluran dan penokohan. Terdapat proses fiksionalisasi. Ketiga, pembaca melakukan interpretasi terhadap teks novel yang berakibat kepada heteregonitas pemahaman.

Yang menarik adalah pernyataan Budi Darma ketika mengawali novelnya yang berjudul Ny. Talis (Kisah mengenai Madras). Darma menulis, “Semua kisah dalam novel ini, kecuali musibah yang menimpa para pesertanya, seharusnya benar-benar terjadi.” (1996:vii). Ungkapan “seharusnya benar-benar terjadi” mengandung implikatur bahwa kejadian dalam novel itu tidak benar-benar terjadi. Inferensinya kisah dalam novel tersebut kemungkinan bisa saja terjadi, bahkan sebenarnya musibah yang menimpa para tokoh kemungkinan juga bisa saja benar-benar terjadi. Ungkapan “seharusnya benar-benar terjadi” menunjukkan bahwa kejadian dalam novel dan kejadian dalam hidup nyata bukanlah hal yang mesti bertolak belakang.

Ungkapan “kecuali musibah yang menimpa para pesertanya” menunjukkan bahwa Darma tidak ingin merekayasa hal-hal buruk yang menimpa tokoh-tokohnya dalam novel yang ditulisnya. Andaikan terjadi musibah, musibah itu murni konsekuensi logis yang harus dialami oleh para tokoh itu dalam mengarungi perjalanan hidupnya. Artinya, tokoh ciptaan dalam novel itu bergerak secara alamiah didorong oleh logika-logika bumi, bukan hanya logika-logika idea.
Bahkan dalam kumpulan noveletnya yang berjudul Si Gila: Kembali kepada Fitrah Muhammad Ali menulis:

demi Allah
sesungguhnya apa yang
dipaparkan
tentang orang-orang ini
adalah fakta nyata terjadi
tiada sangsi
anak-anak zaman ini
melihat, mengingat dan
mencatat peristiwa
ini
(1998:5)

Muhammad Ali bahkan bersumpah bahwa peristiwa dalam novel yang ditulisnya benar-benar bersumber dari peristiwa yang sungguh-sungguh dijumpai dalam realita. Berdasarkan pandangan itu terbaca jelas bahwa terdapat data dan fakta dalam sebuah novel. Sedangkan fiksi lebih pada proses pemaparan data dan fakta itu ke dalam bentuk cerita.

Tampaknya, bertolak dari pandangan beberapa novelis itu, semua pengarang menyadari bahwa novel tidak sepenuhnya fiktif. Artinya, dijumpai unsur data dan fakta dalam setiap novel. Data dan fakta itu bisa hadir sebagai rangsangan atau sumber ilham, atau bisa pula hadir sebagai latar atau tema sentral dalam kisah yang ditulisnya. Tetapi, karena novel bukan sekadar proyeksi realitas, ada unsur kreatif yang dimiliki pengarang yang mampu mengubah data dan fakta itu menjadi sebuah dunia ciptaan yang unik. Fiksi berkaitan dengan usaha membangun, membentuk, mengkonstruksi, mengembangkan, dan menyusun data dan fakta itu menjadi “sesuatu” yang baru.

4. Struktur Teks Novel
Dalam novel selalu terdapat bagian teks yang merupakan pengaluran, pelukisan latar, komentar pencerita, dan monolog maupun dialog. Novel yang memiliki durasi panjang (bila dibandingkan dengan cerita pendek atau novelet) tidak akan membangun struktur teksnya hanya dengan pengaluran semata, atau hanya dengan dialog saja. Sebab, bila hal itu dilakukan novel itu akan menjemukan karena pembaca dihadapkan pada ekspresi yang monoton, tidak bervariasi.

Pengaluran pada hakikatnya ialah merangkai tindakan tokoh dari waktu ke waktu secara kausalitas. Tindakan itu bisa berupa perilaku fisik, misalnya berjalan, mengejar, duduk merenung, dan sebagainya; maupun perilaku rohaniah yang berisi gagasan, pemikiran, perasaan, dan sebagainya. Dalam tataran wacana ekspresi semacam itu dapat digolongkan sebagai wacana narasi.

Berikut ini contoh wacana narasi dalam novel Jantera Bianglala karya Ahmad Tohari. Tohari sedang mengisahkan apa yang diperbuat Bajus.
Hampir tengah hari Bajus menghidupkan mesin Jipnya hendak pulang. Srintil sudah membeli jajanan, pepaya dan selai pisang, tetapi Bajus yang membayarnya. Lepas dari daerah pantai Bajus membelokkan jipnya, masuk ke halaman sebuah penginapan. Sejenak Srintil tertegun (1986:171).

Di samping itu dalam novel juga terdapat pelukisan latar, baik itu berupa latar tempat, waktu, maupun latar sosial. Pelukisan latar ini di samping bertujuan untuk membangun imaji faktual agar cerita tampak hidup, juga bertujuan untuk menggambarkan suasana jiwa, hati, maupun batin tokoh. Pelukisan latar termasuk jenis wacana deskripsi. Seperti telah diuraikan pada bagian sebelumnya, wacana narasi dan deskripsi ini tergolong jenis wacana tulis, pada umumnya bersifat transaksional.

Berikut ini contoh wacana deskripsi yang terdapat dalam novel Ketika Novel Berwarna Merah karya Hamsad Rangkuti. Rangkuti berusaha melukiskan suasana hiruk-pikuk lalu lintas di sebuah perempatan jalan yang ber-traffict lihgt.

Ketika lampu berwarna merah, mobil-mobil di ujung jalan itu berhenti membiarkan mobil-mobil dari jurusan yang berlainan melintas di tengah-tengah perempatan itu. Debu tidak nampak beterbangan di udara yang panas di atas jalan aspal yang licin itu. Deru mobil-mobil yang melintas itu membisingkan. Asap hitam disemburkan lubang-lubang knalpot, sehingga dari balik kaca para sopir udara tampak menjadi hitam. Mobil-mobil itu melintas cepat menepiskan angin dan menggoyang pohon hias di sepanjang tepi jalan (2001:1).

Menurut Sudjiman (1988:80) di samping berkisah, pencerita juga dapat memberikan komentar terhadap apa yang dikisahkannya itu. Ada pun komentar penderita itu ada yang langsung ditujukan kepada pembacanya, ada yang ditujukan kepada tokoh, dan ada pula yang tidak langsung ditujukan kepada pembaca walaupun komentar itu dimaksudkan untuknya. Komentar bisa berupa ragam lisan atau tulis yang bersifat transaksional.
Berikut ini contoh komentar pencerita terhadap perilaku masyarakat yang menjadi latar dalam novel Tanah Baru, Tanah Air Kedua karya N.H.Dini.

Di mana pun, di tempat-tempat umum, selalu terdapat orang-orang yang tidak mempunyai alat tulis! Padahal mereka datang ke sana sudah mengetahui akan membutuhkannya. Di kantor pengiriman telegram, di instansi-instansi pemerintah, dan ini di Dinas Tenaga Kerja. Mereka adalah orang-orang yang cukup berpendidikan. Seharusnya mengerti bahwa alat tulis diperlukan guna mengisi buku tamu maupun formulir ((1997:1-2).

Seperti telah diuraikan sebelumnya, dalam novel akan dijumpai struktur dialog dan juga monolog. Menurut Waluyo (1994:225) jika pada saat bercerita pengarang menguraikan cerita tokoh, maka dalam dialog, pengarang menuliskan percakapan para tokoh.
Secara lengkap Waluyo menulis begini.

Bahasa yang digunakan bukan lagi ragam bahasa tulis, namun ragam bahasa lisan, bahasa yang komunikatif. Dalam ragam bahasa lisan dibenarkan adanya dialek, adanya penghematan bahasa, dan adanya bahasa yang tidak baku. Bahasa dialog biasanya pendek-pendek dan tidak lengkap, karena ucapan tokoh yang satu dilengkapi oleh jawaban tokoh lainnya. Prinsip-prinsip pragmatik berlaku dalam dialog. Bahasa dialog adalah bahasa “speech act” yang memerlukan cara pemahaman yang berbeda dengan bahasa cerita biasa.

Berdasarkan pendapat Waluyo tersebut tampak bahwa dialog tergolong ragam lisan yang bersifat interaksional. Ia juga merupakan wacana percakapan. Berikut ini contoh dialog dalam novel Supernova karya Dee.

Sorot mata Ruben yang tadi terbang mendadak jatuh. Ia menatap Dhimas tak percaya, “Kamu pernah belajar teori keos?”
“Excuse me! Teori keos? Aku baru saja menggubah puisinya Attar, salah satu mistik Sufi ….”
“Ah ya! Sufisme, teori keos, teori relativitas, fisika kuantum … kadang-kadang aku berpikir semua itu berasal dari satu kotak Pandora, hanya beda jaman, beda bahasa. Kamu sadar betapa indahnya puisi itu? Dan betapa relevannya dengan apa yang kubilang tadi?”
“Memangnya kamu bilang apa?” (2001:6-7).

Bahkan, menurut Sudjiman (1988:84) di samping dialog juga terdapat monolog dalam novel. Dalam monolog seorang tokoh berbicara dengan dirinya sendiri atau berbicara seorang diri saja. Monolog itu cenderung lisan, tetapi bersifat transaksional. Berikut ini contoh monolog yang diucapkan Srintil dalam hatinya saat dua orang pemuda dari Jakarta ingin membeli tubuhnya dalam novel Jantera Bianglala karya Ahmad Tohari.

Kini kelelakian muncul lagi dalam diri dua orang pemuda dari Jakarta. Duh, Pengeran! Aku belum tahu harus bagaimana menghadapi laki-laki meski dulu bertahun-tahun aku merasa bangga menjadi pemangku nalurinya (1986:97).

5. Simpulan
Sebagai sebuah bangunan kreatif novel memiliki dua pondasi penting yaitu: (1) pondasi idea dan (2) pondasi ekspresi. Dalam pondasi idea hendaknya novel ditempatkan sebagai karya yang tidak sepenuhnya rekaan karena dalam novel ditemukan anasir data dan fakta. Fiksi bukan berkaitan pada ada-tidaknya fakta atau real-tidak realnya cerita, tetapi lebih pada bagaimana data dan fakta itu dipaparkan oleh pengarang. Pemaparan merupakan wujud pondasi ekspresi. Dalam pemaparan itu akan dijumpai pelbagai jenis wacana yang mengekspresikan bagian teks yang merupakan pengaluran, pelukisan latar, komentar pencerita, dan monolog maupun dialog.

DAFTAR RUJUKAN
Abrams, M.H. 1981. A Glossary of Literary Terms. New York: Holt, Rinehart and Winston.

Ali, Muhammad, 1998. Si Gila: Kembali kepada Fitrah. Surabaya: Diantama

Boulton. Marjorie. 1975. The Anatomy of the Novel. London: Routledge & Kegan Paul.

Darma, Budi, 1996. Ny. Talis (Kisah mengenai Madras). Jakarta: Gramedia.

Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LkiS.

Dee. 2001. Supernova. Jakarta: Truedee Books.

Dini, Nh. 1994. Namaku Hiroko. Jakarta: Gramedia.

Dini, Nh. 1997. Tanah Baru, Tanah Air Kedua. Jakarta: Grasindo.

Geertz, Clifford, 2002. Hayat dan Karya: Antropolog sebagai Penulis dan Pengarang (Terjemahan Landung Simatupang). Yogyakarta: LkiS.

Kleden, Ignas. 1998. “Fakta dan Fiksi tentang Fakta dan Fiksi: Imajinasi dalam sastra dan Ilmu Sosial”. Kalam. Edisi 11-1998. hlm.5-35.

Rangkuti, Hamzad. 2001. Ketika Lampu Bewarna Merah. Jakarta: Kompas.

Rosidi, Ajip, 1985. Anah Tanahair: Secercah Kisah. Jakarta: Gramedia.

Sahal. Ahmad, 1998. “Musykilnya Representasi” . Kalam. Edisi 11-1998. hlm.3-4.

Sahal. Ahmad, 2002. “”Cultural Studies” dan Tersingkirnya Estetika” dalam JB Kristanto dan Nirwan Ahmad Arsuka, 2002. Bentara: Esei-Esei 2002. Jakarta: Kompas.

Siregar, Merari. 1987. Azab dan Sengsara, Jakarta: Balai Pustaka.

Sudarminto, J. 1983. “Kritik Marcuse terhadap Masyarakat Industri Modern” dalam M. Sastrapratedja (ed.). 1983. Manusia Multi Dimensional: Sebuah Renungan Filsafat. Jakarta: Gramedia.

Sudjiman, Panuti. 1998. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.

Supriyanto, Enin, 2002. “”Cultural Studies”, Kritik Seni dan Apresiasi” dalam JB Kristanto dan Nirwan Ahmad Arsuka, 2002. Bentara: Esei-Esei 2002. Jakarta: Kompas.

Tedjoworo, H. 2001. Imaji dan Imajinasi: Suatu Telaah Filsafat Postmodern. Yogyakarta: Kanisius.

Tohari, Ahmad. 1986. Jantera Bianglala. Jakarta: Gramedia.

Waluyo, Herman J. 1994. Pengkajian Cerita Fiksi. Surakarta: Sebelas Maret University Press.

Zeldin, T., 1994. An Intimate History of Humanty. New York: Harper Collins.
http://tengsoe.blogspot.co.id/2009/05/novel-sebagai-wacana.html

ANTARA MINAT BACA DAN SELERA BACA

$
0
0

Tengsoe Tjahjono *
tengsoe.blogspot.co.id

Membaca merupakan salah satu kegiatan bahasa yang amat vital dalam masyarakat modern dan lebih-lebih di kalangan akademisi. Dalam masyarakat setiap hari puluhan koran, majalah, bahkan buku-buku selalu diproduksi dan dipasarkan. Di dalam semua jenis media itu akan dijumpai informasi mengenai pengetahuan, berita, lapangan pekerjaan, iklan, dan sebagainya, yang mau tak mau harus diserap oleh masyarakat modern tersebut. Kecuali, jika masyarakat modern tersebut, hanya modern dalam dimensi waktu, bukan modern dalam dimensi kultural. Membaca, seharusnya, menjadi kebutuhan hidup masyarakat ini. Rosidi (1983:86) menegaskan bahwa pengetahuan sebagian besar tidaklah didapatkan dari bangku sekolah, melainkan melalui buku. Banyak orang mengatakan bahwa buku itu sesungguhnya merupakan universitas yang paling baik.

Sedangkan di kalangan akademisi membaca menjadi jantung kehidupan mereka. Informasi yang diberikan guru atau dosen tentu amat terbatas. Untuk memperluas cakrawala akademik mereka buku merupakan sarana yang mesti diakrabi. Tanpa membaca buku seorang akademisi akan berjalan di lorong gelap. Analisis yang mereka lakukan terhadap segala persoalan hanya akan bersifat intuitif tanpa teori yang telah diuji kebenarannya melalui pelbagai penelitian. Akibatnya pembahasannya hanya akan seperti orang berbincang di warung kopi atau di tengah padang penggembalaan. Acapkali terjadi ‘debat kusir’ karena masing-masing pribadi hanya akan menonjolkan subjektivitas intuisinya. Hal itu disebabkan tidak adanya referensi yang mendukung atau menunjang kajiannya. Di situlah kegiatan membaca diperlukan oleh para akademisi.

Finochiaro dan Bonomo (1973:21) menjelaskan bahwa membaca berarti mengambil atau memahami arti dari bahan cetakan atau tulisan. Karena itulah membaca memang memerlukan persyaratan tertentu bagi pembaca agar ia dapat memahami makna tersebut. Menurut Nurhadi (1987:123) untuk memperlancar proses membaca, seorang pembaca harus memiliki modal: (1) pengetahuan dan pengalaman, (2) kemampuan berbahasa (kebahasaan), (3) pengetahuan tentang teknik membaca, dan (4) tujuan membaca.

Ada satu batasan membaca yang amat komprehensif yaitu: “Membaca adalah proses pengolahan bacaan secara kritis-kreatif yang dilakukan dengan tujuan memperoleh pemahaman yang bersifat menyeluruh tentang bacaan itu, dan penilaian terhadap keadaan, nilai, fungsi, dan dampak bacaan itu.” (Oka, 1983:17).

Oleh karena itu membaca bukan sekadar ‘melafalkan huruf-huruf’, tetapi lebih pada kegiatan jiwa untuk mengolah apa yang kita baca. Mengolah dalam arti kita tidak harus menyerap begitu saja isi bacaan tersebut. Kita dituntut memiliki sikap kritis-kreatif. Jadi kita harus menerima secara kritis-kreatif apa yang kita baca. Kita harus memikirkan nilai apa yang terkandung dalam bacaan, apa fungsinya, dan yang terpenting apa dampaknya bagi diri sendiri dan bagi masyarakat pembaca secara luas.

Menurut Smith (1973:36) membaca bukan semata-mata proses visual. Ada dua macam informasi yang terlibat dalam kegiatan membaca. Pertama, informasi yang datang dari depan mata. Kedua, informasi yang terdapat di belakang mata. Informasi yang terdapat di depan mata ialah huruf-huruf. Sedangkan, informasi yang terdapat di belakang mata ialah isi dan pesan yang terkandung dalam bacaan itu. Memahami isi bacaan itu menuntut pembaca untuk memiliki kemampuan berpikir dan bernalar. Edward L. Thorndike pun mengatakan bahwa reading as thingking dan reading as reasoning.

Sudahkah Kita Membaca?
Selama ini selalu ada pernyataan bahwa kita belum mempunyai budaya baca. Atau, dengan kata lain minat baca kita rendah. Benarkah demikian?

Ketika saya berjalan-jalan di toko-toko buku, entah di Gramedia, Togamas, atau lainnya, selalu saya lihat berjubel orang di sana. Berjubel untuk memilih dan membeli buku. Anak-anak, remaja, dan kelompok usia dewasa ada yang mengerumuni buku-buku komik terjemahan dari Jepang juga novel-novel anak muda. Saat berada di dalam bus, kereta api, atau pun pesawat udara, acapkali kulihat banyak penumpang yang membaca di tempat duduknya. Panorama itu sekilas membuktikan bahwa minat membaca buku sudah ada.

Bahkan, jika kita sempat anjangsana ke perpustakaan-perpustakaan perguruan tinggi, kita juga akan melihat para mahasiswa yang hilir-mudik mencari buku di rak-rak. Sementara, di meja-meja baca pun terlihat mahasiswa sedang suntuk menghadapi beberapa buku. Fenomena itu sepintas menunjukkan bahwa di kalangan mahasiswa pun membaca buku sudah menjadi kebutuhan.

Tetapi, benarkah itu merupakan indikasi bahwa minat baca telah tumbuh di antara mereka? Tampaknya kita harus secara kritis menanggapinya.

Jika kita perhatikan secara cermat yang banyak dikerumuni orang di dalam toko buku itu ialah gerai komik dan novel-novel teenage. Anehnya, segala umur terdapat dalam kerumunan itu. Komik dan novel teenage telah menjadi booming sekarang ini. Pembaca Doraemon, Sinchan, Detektif Conan, dan sebagainya bukan anak-anak atau remaja saja, mahasiswa pun tampak keranjingan dengan bacaan jenis itu. Hal itu tentu merupakan fenomena yang unik dan menarik di Indonesia.

Jadi, jika kita bicara mengenai minat baca, minat baca telah tumbuh di antara mereka. Tetapi, bagaimana dengan selera baca mereka? Selera baca tampaknya berjalan dengan trend bacaan yang ada. Artinya, pembaca kita dalam memilih bacaan bagai memilih makanan sejenis pizza, fried chicken, hot dog, dan sebagainya. Tanpa pernah berpikir apakah makanan itu sesuai dengan anatomi lambungnya yang diciptakan untuk hidup bertahan di daerah tropis. Tanpa pernah mengkaji apakah gizi yang terkandung dalam makanan itu sesuai dengan kebutuhan gizi masyarakat kita yang selalu diterpa sinar matahari.

Membaca dapat dianalogikan dengan makan. Makanan yang kita pilih tentu makanan yang penuh kandungan gizi, mineral, protein, vitamin, dan sebagainya sehingga mampu menyehatkan kita. Bacaan pun harus mampu menyehatkan jiwa kita. Bacaan itu setidak-tidaknya harus mampu memperluas cakrawala pengetahuan kita serta lebih jauh harus bisa mencerdaskan kita sebagai pembaca.

Fungsi bacaan tentu bukan sekadar untuk menghibur. Anderson (1972:214) mencatat beberapa tujuan membaca sebagai berikut.
1. Membaca untuk menemukan rincian atau fakta (reading for details or facts). Jadi, dalam hal ini membaca bertujuan untuk memperoleh gambaran objek atau fakta secara rinci dan akurat. Misalnya membaca perihal keadaan kota Sumenep pada waktu malam minggu.

2. Membaca untuk menemukan gagasan utama (reading for main ideas). Dalam hal ini membaca bertujuan untuk memahami gagasan atau pikiran-pikiran yang disajikan penulis melalui karyanya. Misalnya membaca artikel yang berjudul “Sudah Siapkah Kita Melaksanakan Pilkada secara Langsung?” Dengan membaca artikel itu kita berharap menemukan pikiran-pikiran penulis perihal sisi negatif pilkada secara langsung misalnya.

3. Membaca untuk mengetahui urutan dan organisasi sebuah teks tertulis (reading for sequence or organization). Apabila kita akan membeli buku, sebaiknya kita membaca lebih dahulu daftar isi buku tersebut. Daftar isi itu merupakan gambaran garis besar buku tersebut. Dari situ akan terlihat urutan bahan dan sekaligus penataannya. Organisasi berpikir pengarang akan tercermin oleh daftar isi itu.

4. Membaca untuk menyimpulkan (reading for inference). Hal ini bisa kita lakukan manakala kita telah menyelesaikan satu teks bacaan sampai tuntas. Dalam sebuah buku yang terdiri atas beberapa bab atau subbab proses inferensi bisa dimulai pada akhir setiap subbab, bab, dan pada akhirnya setelah kita membaca secara menyeluruh isi buku itu.

5. Membaca untuk mengelompokkan (reading for classify). Jika kita bekerja di perpustakaan kita dituntut untuk mengelompokkan buku secara benar, mana yang buku filsafat, kebudayaan, sains, sejarah, dan sebagainya. Indikasi pengelompokan itu dapat dilihat dari judul buku atau baru dapat ditentukan kelompoknya bila kita telah membacanya.

6. Membaca untuk menilai (reading to evaluate). Hal ini biasa dilakukan dalam kegiatan meresensi buku. Ketika meresensi buku seorang peresensi akan membaca dengan tujuan untuk menilai isi, bahasa yang dipakai buku itu, dan sistematika penyajiannya. Pada akhirnya peresensi akan memberikan rekomendasi atas dasar hasil penilaiannya terhadap buku itu: apakah buku itu layak dibaca atau justru tidak usah dibeli, apakah buku itu mengandung pesan moral yang baik atau justru kebalikannya, dan seterusnya.

7. Membaca untuk membandingkan atau mencari perbedaannya (reading to compare or contrast). Dalam setiap bacaan tentu akan dijumpai banyak hal atau peristiwa. Dalam buku kesehatan misalnya kita harus bisa menentukan apakah polio itu sejenis penyakit karena virus atau bukan. Untuk itu kita dituntut membandingkan polio ini dengan penyakit lain dan jika diperlukan mencari perbedaannya.

Jika kita mencermati tujuan membaca menurut versi Anderson itu, kita berhak bertanya kepada mahasiswa yang gemar membaca Sinchan: tujuan yang mana yang hendak digapai? Jawabannya hanya satu: hiburan. Kalau itu jawabannya maka mahasiswa itu tidak akan pernah dicerdaskan oleh bacaan sejenis Sinchan tersebut. Gizi apa yang diperolehnya untuk kepentingan jiwanya setelah membaca Sinchan? Mungkin ia akan mengatakan bahwa gizi akan diperolehnya dari buku lain, bukan Sinchan. Dengan Sinchan ia hanya ingin dihibur. Tapi, benarkah ia membaca buku jenis lain?

Memang benar bahwa perpustakaan banyak dikunjungi mahasiswa. Hanya saja mahasiswa yang berkunjung ke perpustakaan rata-rata mereka yang sedang mengerjakan tugas makalah dari dosennya atau tugas akhir berupa skripsi. Untuk menulis skripsi pun mereka membaca skripsi yang sudah ada, kemudian mengutip beberapa bagian kajian pustaka dan metode penelitian. Andaikan tidak harus menulis makalah atau skripsi, mereka akan terlihat mojok memegang HP bersms-ria. Jadi, motivasi yang benar untuk membaca ternyata belum begitu tampak.

Adakah mahasiswa atau kita secara umum dengan penuh kesadaran membeli buku untuk memperkaya khazanah pengetahuan kita? Mungkin jawabannya: ada, tetapi tidak banyak. Dan yang tidak banyak itu akan berkilah bahwa sekarang ini harga buku mahal. Benarkah mahal? Sebab di sisi yang lain mereka dapat membeli pulsa telepon seluler100 ribu rupiah tiap bulan. Hal itu berarti bahwa penyebab utama bukan pada mahalnya buku tetapi justru pada motivasi yang tidak ada, serta tampaknya buku belum menjadi prioritas dalam hidup mereka.

Subsidi Pemerintah untuk Buku
Peningkatan minat baca memerlukan sarana-prasarana. Sarana penting dan harus tersedia ialah BUKU itu sendiri. Bagi masyarakat kelas menengah ke atas, seperti yang saya sebutkan di atas, harga buku tentu bukanlah alasan. Tetapi, bagi masyarakat kelas menengah ke bawah buku menjadi benda yang amat mewah. Oleh karena itu, pemerintah harus menyediakan subsidi bagi pengadaan buku murah tersebut.

Saat saya bersekolah pada tahun 1970-an buku bukanlah sesuatu yang mempersulit kehidupan keluarga saya. Semua buku pelajaran disediakan di perpustakaan sekolah, saya tinggal meminjamnya. Sehingga setiap awal tahun ajaran baru kami tak pernah merasa khawatir mengenai keuangan untuk membeli buku. Mengapa di masa sekarang ini hal itu tak dapat dilakukan? Bagi saya ini merupakan sebuah kemunduran.

Di samping buku-buku pelajaran di perpustakaan juga tersedia buku-buku referensi lain. Misalnya: novel, ensiklopedia, kamus, buku pengerahuan umum, filsafat, dan sebagainya, yang jumlahnya tidak hanya 1 atau 2 eksemplar, tetapi cukup untuk klas yang beranggotakan 40 siswa. Dengan cara demikian peningkatan minat baca bukan sekadar slogan kosong tetapi dibarengi dengan penyediaan sarana-prasarana.

Menurut Rosidi (1983:18) rendahnya minat baca bangsa Indonesia sekarang ini disebabkan terutama oleh rendahnya daya beli. Rendahnya daya beli itu disebabkan oleh rendahnya penghasilan umumnya bangsa kita. Oleh karena itu, jika perlu pemerintah membangun toko buku murah di setiap kota yang diperuntukkan bagi masyarakat kelas menengah ke bawah itu.

Peningkatan Minat Baca
Minat baca itu hendaknya ditumbuhkan sejak anak usia dini, terutama melalui lembaga pendidikan. Kegemaran membaca bukanlah aktivitas yang tumbuh dengan sendirinya dalam diri setiap anak. Membaca merupakan kebiasaan yang harus ditanamkan, dipupuk, dibina, dibimbing, dan diarahkan. Pembinaan tersebut hendaknya diarahkan bukan hanya pada teknik membacanya tetapi juga pada pemilihan bahan bacaan. Anak harus dilatih untuk memilih bacaan dengan memperhitungkan aspek moral, bahasa, dan kesesuaiannya dengan kebutuhannya.

Luwarsih Pringgoadisurjo (1974) menyebutkan ada 3 klasifikasi buku untuk anak, yaitu: (1) buku referens (buku untuk memperoleh informasi), (2) buku studi (buku untuk membina pengetahuan), dan (3) buku rekreasi (buku untuk menikmati dan menghayati pengalaman). Jadi, anak hendaknya dilatih untuk memilih jenis-jenis buku tersebut yang akan memperluas cakrawala pengetahuan dan pengalaman mereka.

Kegiatan itu sangat bisa dilakukan di sekolah, lebih-lebih dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) sekarang ini. Persoalan yang muncul adalah: (1) tersediakah buku-buku di perpustakaan sekolah secara memadai, baik secara kualitas maupun kuantitas, dan (2) sudah siapkah guru-guru (bukan hanya guru Bahasa Indonesia, karena membaca merupakan keharusan setiap mata pelajaran) mendampingi siswa membaca?

Memang, diakui atau tidak, ada beberapa penghambat kegiatan peningkatan minat baca ini, antara lain:
(1) Orang dewasa (baik guru maupun orang tua) tidak menunjukkan kegemaran membaca yang pantas diteladani anak-anak atau siswa.
(2) Kurang tersedianya buku-buku bermutu, bahkan koran atau majalah, terutama di rumah, yang mendorong anak rindu membaca.
(3) Banyak orang tua menganggap buku bukan merupakan prioritas penting, sehingga tidak merasa perlu membelinya untuk anak-anaknya.

Peningkatan Selera Baca
Tak ada salahnya anak-anak membaca Sinchan, Kobo-Chan, Doraemon, dan sebagainya. Tetapi, orang tua harus mengimbangi minat baca anak-anak itu dengan menyediakan buku-buku pengetahuan populer (buku pengetahuan yang ditulis dengan cara sederhana, bahasa yang mudah dipahami anak, penuh dengan gambar warna-warni, dan sebagainya) yang juga tersedia di toko-toko buku. Dengan cara demikian, selera baca anak-anak diarahkan ke pelbagai dimensi baca yang membuat anak diperkaya jiwanya.

Di usia SMP anak-anak di samping komik mulai diperkenalkan dengan novel-novel teenage. Artinya, anak mulai diajak untuk berpindah dari wilayah gambar ke wilayah lambang verbal. Hal ini penting sekali untuk melatih daya abstraksi mereka. Untuk mendapatkan pengetahuan umum anak sudah diarahkan untuk mampu membaca ensiklopedia secara cepat dan akurat misalnya. Setahap demi setahap bobot buku yang dibaca anak harus berubah, sehingga di SMA atau perguruan tinggi mereka tidak lagi kecanduan Sinchan. Sinchan sudah menjadi masa lalu mereka seharusnya.

Itulah sepintas pemaparan saya mengenai minat baca. Bagi saya minat baca sebenarnya sudah tumbuh dalam diri kita. Hanya saja minat baca tersebut tidak diimbangi dengan pertumbuhan selera baca secara benar. Akibatnya, walau kita sudah membaca, kita tetap tidak dicerdaskan oleh bahan bacaan kita. Kita harus mau menumbuhkan kesadaran diri memilih bahan bacaan yang sungguh bergizi.

Di samping itu budaya baca bisa tumbuh bila tersedia buku-buku bacaan dan perpustakaan. Karena itu, campur tangan pemerintah dalam bentuk pemberian subsidi terhadap penyediaan buku murah sangat dinantikan. Tanpa itu semua peningkatan minat baca hanya akan menjadi sebuah utopia.

DAFTAR RUJUKAN
Anderson, Paul S., 1972, Language Skills in Elementary Education. New York: Macmillan Publishing Inc.

Finnocchiaro, Nary & Michael Bonomo, 1973. The Foreign Language Learner: A Guide for Teacher. New York: Regents Publishing Company Inc.

Oka, I Gusti Ngurah, 1983. Pengantar Membaca dan Pengajarannya. Surabaya: Usaha Nasional.

Rosidi, Ajip, 1983. Pembinaan Minat Baca, Bahasa dan Sastra. Surabaya: Bina Ilmu.

Smith, Frank, 1973. Psycholinguistics and Reading. New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc.

TENGSOE TJAHJONO, lahir di Jember 3 Oktober 1958. Penyair yang mempunyai hobi membaca ini merupakan staf pengajar di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FPB Unesa Surabaya. Di samping itu ia juga mengajar di Universitas Widya Mandala Surabaya, Universitas Brawijaya Malang, dan STKIP PGRI Sumenep. Puisi, cerpen, novel, bahkan naskah drama telah ditulisnya, di samping beberapa buku di bidang sastra. Artikel-artikelnya dimuat di pelbagai media seperti Jawa Pos, Surabaya Pos, Surya, Republika, Kompas, Horison, dan sebagainya.
http://tengsoe.blogspot.co.id/2009/05/antara-minat-baca-dan-selera-baca.html

Sandiwara itu Propaganda!

$
0
0

(Resensi Buku Sandiwara dan Perang Anggitan Fandy Hutari)
Bandung Mawardi
Lampung Post, 14 Juni 2009

Fragmen sejarah sandiwara pada masa Jepang terkuak dan memiliki arti dalam buku ini. Studi Fandy Hutari seperti menggenapi kerja H.B. Jassin dalam studi Kesusastraan di Masa Jepang (1969). Masa pendudukan Jepang (1942-1945) kerap diklaim sebagai masa menentukan untuk perubahan nasib kesusastraan dan sandiwara. A. Teeuw, Ajip Rosidi, Jakob Sumardjo, dan H.B. Jassin mengakui bahwa masa pendek itu telah memberi ruh lain dalam pembentukan sastra Indonesia modern. Bagaimana dengan nasib sandiwara?

Peringatan H.B. Jassin (1969: 7): “Menafikan kesusastraan dalam zaman Jepang adalah menafikan suatu wajah kehidupan dalam perjalanan membentuk sejarah.” Peringatan itu pantas menajdi dalil untuk kehadiran buku Sandiwara dan Perang sebagai studi atas nasib sandiwara dalam masa pendudukan Jepang. Penulis buku ini mengakui bahwa sejarah sandiwara pada masa Jepang tak mungkin diabaikan dalam alur sejarah teater Indonesia modern. Sandiwara pada masa itu kental dengan intervensi kekuasaan untuk propaganda. Wajah politis itu kerap terpinggirkan dan terabaikan dalam sejarah sandiwara modern Indonesia. Fandy Hutari dengan teliti melakukan pendataan dan penafsiran dalam konteks zaman 1940-an untuk mengetahui proses pembentukan sandiwara Indonesia modern dalam bayang-bayang kolonial.

Proses penulisan buku ini mendapati stimulus dari buku Mobilisasi dan Kontrol: Studi tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa (1942-1945) garapan Aiko Kurasawa, artikel Sandiwara di Zaman Jepang (1978) tulisan Kamajaya, Film Indonesia Bagian I (1900-1950) garapan Taufik Abdullah, S.M. Ardan, Misbach Yusa Biran, Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia garapan Jakob Sumardjo.

Penulis melakukan penelusuran sejarah sandiwara mulai dari 1925-1941 sebelum sampai pada fokus nasib sandiwara pada masa pendudukan Jepang. Tahun 1925 diakui penulis sebagai fase menentukan untuk pembaharuan dalam jagad sandiwara. Pembaharuan itu sebagai pembeda atas zaman stambul atau opera. Contoh pembaharuan tampak pada Perkumpulan Sandiwara Miss Riboet Orion (1925) dengan pimpinan Tio Tek Djien dan Perkumpulan Sandiwara The Malay Opera Dardanella (1926) dengan pimpinan A. Piedro. Dua kelompok sandiwara itu terlibat dalam persaingan sengit untuk meraih perhatian publik dengan garapan pertunjukkan modern.

Persaingan tergambarkan dalam buku Gelombang Hidupku: Dwi Ja dari Dardanella (1982) anggitan Ramadhan K.H. Persaingan tampak dalam perang reklame dengan menghabiskan dana 6.000 gulden pada 30 Oktober 1931. Dardanella memainkan lakon Dr. Samsi dan Miss Riboet Orion memainkan lakon Gagak Solo. Persaingan sengit dan mahal membuat Miss Riboet Orion bubar pada tahun 1934 dan Dardanella mencapai puncak popularitas meski dalam waktu singkat. Dardanella pun tamat riwayat pada tahun 1935 karena tokoh-tokoh kunci melakukan pentas keliling Asia.

Dua kasus dua perkumpulan sandiwara itu jadi representasi kondisi surut dalam sandiwara Indonesia sejak 1938 sampai 1941. Popularitas film pada masa itu juga ikut mempengaruhi sandiwara mati suri karena tokoh-tokoh sandiwara hijrah ke film dan publik gandrung menikmati tontonan film. Ajip Rosidi (1965) mencatat bahwa pada masa surut itu hanya ada terbitan dua naskah sandiwara: Pembalasannya anggitan Sa’adah Alim dan Gadis Modern anggitan Adlin Affandi. Kehadiran dua naskah itu tak sanggup menggairahkan jagad sandiwara pada tahun 1940-1941.

Pendudukkan Jepang pada tahun 1942 menjadi titik balik untuk kehidupan sandiwara dalam wajah lain. Jepang memakai propaganda sebagai dalil untuk legitimasi kekuasaan. Sendenbu (Departemen Propaganda) dibentuk untuk menagani sistem dan operasionalisasi propaganda dengan memanfaatkan fil, surat kabar, pamflet, buku, poster, foto, siaran radio, pidato, seni pertunjukkan tradisional, dan seni sandiwara modern. Fandy Hutari menafsirkan bahwa sandiwara modern dipilih sebagai alat propaganda karena dapat menggelorakan perasaan orang banyak. Penguatan untuk propaganda dalam sandiwara tampak kentara mulai tahun 1944-1945.

Sendenbu dalam praktik propaganda dibantu oleh Keimin Bunka Shidoso (Kantor Pusat Kebudayaan) dengan tugas: (1) mempromosikan kesenian-kesenian tradisional Indonesia; (2) mendidik dan melatih seniman-seniman Indonesia; (3) memperkenalkan dan menyebarkan kebudayaan Jepang. Realisasi dari kerja Sendenbu itu adalah pendirian Sekolah Tonil di Jakarta pada tahun 1942. Sekolah ini memiliki tujuan untuk mendidik penulis naskah profesional, aktor, dan kerabat sandiwara dengan orientasi untuk propaganda.

Beberapa catatan menyebutkan bahwa sejak 1942 sandiwara seperti menemukan ruh kembali untuk mengisi fragmen sejarah Indonesia. Armijn Pane menengarai kebangkitan itu mendapati pengaruh dari program propaganda Jepang. Perkumpulan sandiwara pun tumbuh dengan gairah zaman antara lain: Tjahaja Asia, Bintang Soerabaja, Dewi Mada, Tjahaja Timoer, Bintang Warnasari, Sinar Sari, Persafi, dan Maya. Perkumpulan Sandiwara Penggemar Maya berdiri pada 27 Mei 1944 dengan tokoh Usmar Ismail, El Hakim (Aboe Hanifah), Rosihan Anwar, D. Djajakoesoema, dan Surjo Soemanto. Kelompok ini jadi bukti pembaharuan sandiwara modern di Indonesia meski susah melepaskan diri dari pengaruh kolonial Jepang dengan dalil propaganda.

Propaganda berasal dari bahasa Latin propagare berarti perluasan atau penyebarluasan. Harry Shaw (1972) mengartikan propaganda sebagai informasi, ide-ide, atau gosip yang disebarluaskan untuk mendukung atau menghancurkan seseorang, kelompok, gerakan, keyakinan, lembaga, atau bangsa. James E. Comb dan Nimmo (1994) mengartikan propaganda sebagai ikhtiar mempengaruhi opini dan tingkah laku (Sunu Wasono, Sastra Propaganda, 2007).

Konsep dan teknik propaganda dalam masa Jepang dijelaskan Fandy Hutari dalam tiga media: (1) propaganda dalam pertunjukkan perkumpulan sandiwara; (2) propaganda melalui siaran sandiwara radio; dan (3) pesan propaganda dalam naskah lakon sandiwara.

Dalil propaganda itu kentara dalam pengumuman di koran Asia Raya (20 September 1943) mengenai sayembara mengarang cerita sandiwara oleh Keimin Bunka Shidosho. Tema sayembara adalah anjuran tentang semangat cinta tanah air, keikhalasan berkorban demi kepentingan umum, dan semangat membela tanah air. Pemenang sayembara: F.A. Tamboenan (Poesaka Sedjati dari Seorang Ajah), J. Hoetagalung (Koeli dan Roomusya), A.M. Soekma Rahayoe (Banteng Bererong), S. Yamamato (Kemenangan Tertanggoeng), R. Srimoertono (Penginapan Noesantara), dan Nakao Masakozu (Seroean Zaman). Sandiwara memang pantas jadi propaganda? Begitukah?

http://kabutinstitut.blogspot.co.id/2009/07/sandiwara-itu-propaganda.html

Dari Diskusi Buku Dua Penyair Lekra di FIBUI Depok

$
0
0

Asep Sambodja
asepsambodja.blogspot.co.id

Buku Puisi-puisi dari Penjara karya S. Anantaguna dan Nyanyian dalam Kelam karya Sutikno W.S. merupakan wakil dari sastra Indonesia yang hilang. Demikian pendapat Hilmar Farid dalam Diskusi Buku Dua Penyair Lekra yang diselenggarakan oleh Departemen Susastra FIB UI bekerja sama dengan IKSI FIBUI dan Penerbit Ultimus Bandung di Auditorium Gd. IV FIBUI pada Kamis, 25 Februari 2010. Lebih lanjut Hilmar Farid mengatakan, minimal dari dua buku puisi ini bisa dijadikan skripsi oleh mahasiswa. “Kalau bisa menjadi tesis akan lebih baik,” katanya. Sebab, “kehadiran sastra Lekra sekarang ini menjadi keping-keping sastra Indonesia yang hilang.”

Thomas Rieger, pengamat sastra Indonesia dari Jerman yang menghadiri acara diskusi ini menekankan perlunya kita membicarakan kembali kanon sastra Indonesia. Sebab, menurut Thomas, ada fenomena menarik bahwa yang menjadi arus utama (mainstream) dalam sastra Indonesia itu objeknya hanya secuil dari keseluruhan korpus (data) yang ada. Ia mempertanyakan, kok begitu banyak pengucilan di Indonesia. Selain sastra Lekra, yang mengalami pengucilan lainnya adalah sastra Melayu Tionghoa yang secara kuantitas jumlahnya banyak sekali, juga sastra picisan.

Thomas menjelaskan bahwa sastra picisan banyak ditulis oleh sastrawan-sastrawan yang juga wartawan pergerakan, karenanya mereka dimusuhi Belanda. “Ada sebuah disertasi mengenai Balai Pustaka, bahwa mereka secara terencana memberlakukan penerbitannya sebagai upaya politik yang sadar menentang nasionalisme. Mereka (Belanda) juga menerbitkan dongeng-dongeng Eropa, seperti Kucing Bersepatu Lars, tapi sudah dimanipulasi dari cerita aslinya. Dan dongeng ini diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa daerah di Indonesia dan dipolitisasi. Jadi, memang ada kanonisasi kolonialisme. Sudah saatnya kita mengikis habis sisa-sisa kolonialisme,” urainya.

Wahyu Awaludin, mahasiswa Program Studi Indonesia yang menjadi pembicara dalam diskusi tersebut mengakui bahwa generasi seusia dia yang lahir pada tahun 1980-an dan 1990-an tidak kenal dengan yang namanya Lekra. Ini disebabkan karena ada pihak yang mencoba menghilangkan atau menggelapkan sejarah. Ia sudah berusaha browsing di google dan twitter mengenai Lekra, namun informasi mengenai Lekra sangat minim. Demikian pula ketika ia mencari nama S. Anantaguna dan Sutikno W.S.

Fay, panggilan akrab Hilmar Farid, menjelaskan bahwa ketika ia masuk jurusan Sejarah FSUI (sekarang FIB UI) pada 1987, ia sudah mengenal Lekra, meskipun Lekra tidak diajarkan dalam sejarah sastra. “Saya cari bahan sendiri, karena saat itu buku-buku yang berbicara mengenai PKI, Lekra, kiri, dibekukan pemerintahan Orde Baru. Lekra memang tidak dikenalkan dan bahkan disingkirkan secara sistematis,” ujarnya. “Kenapa generasi sekarang tidak tahu, itu karena memang dibuat tidak tahu.”

Lilie Suratminto, dosen Program Studi Belanda, menyesalkan adanya pelarangan buku-buku Lekra. Ia menceritakan ketika masih duduk di Sekolah Dasar (SD), ia sudah disuruh gurunya membaca Atheis, Cerita dari Blora, Layar Terkembang, dan lain-lain. “Jadi, dulu kami membaca karya-karya para sastrawan dari kelompok manapun, dan saya merasa bahwa semuanya berisi hal-hal yang baik,” katanya. “Sayang sekali kalau sekarang ini hal-hal yang semacam itu masih dilarang.”

Menurut Fay, sastra Indonesia tidak utuh kalau tidak membicarakan sastrawan Lekra. Demikian pula sastra Indonesia sebelum perang tidak akan utuh kalau tidak membicarakan Mas Marco Kartodikromo, Semaun, dan lain-lain. Lebih lanjut Fay mengatakan bahwa puisi-puisi Anantaguna dan Sutikno W.S. memiliki kekuatan. “Ada semacam the power of writing. Puisi-puisi yang lahir di penjara itu memiliki kekuatan dengan sendirinya.”

Fay melihat bahwa kedua penyair Lekra itu menulis puisi di penjara antara lain untuk menghibur diri mereka sendiri. Mereka ditahan, tidak diadili, tidak dijatuhi hukuman. Dan, begitu dilepaskan dari penjara hanya diberi selembar kertas yang menyatakan mereka tidak terlibat G30S. “Makanya puisi-puisi ‘Hari-hari Tak Punya Siang’ terasa begitu kuat. Saya yakin mereka menulis puisi tidak berharap mendapat hadiah sastra. Mereka hanya berdialog dengan diri mereka sendiri. Puisi-puisi ini merupakan kesaksian yang jujur,” tegas Fay.

Sunu Wasono yang menyoroti teks kedua penyair itu menemukan kekuatan puisi-puisi itu meskipun tidak dikaitkan dengan konteksnya. “Puisi ‘Nyanyian dalam Kelam’ menjadi semacam pendirian Sutikno W.S. dalam berpuisi. Sementara puisi-puisi Anantaguna memperlihatkan keberagaman bentuk,” ujarnya.

Sunu menilai puisi-puisi Lekra semacam ini perlu diterbitkan ulang, agar generasi muda bisa mengenal sastrawan-sastrawan Lekra kembali. Ia menceritakan bahwa ketika bekerja di PDS HB Jassin pada tahun 1980-an, ia memang pernah melihat adanya surat edaran dari Depdikbud (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan)—sekarang Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas)—yang isinya berupa seruan agar buku-buku kiri disingkirkan.

Putu Oka Sukanta sebagai moderator diskusi ini mengingatkan bahwa dulu pada 1960-an kesenian dan kebudayaan Indonesia pada umumnya menjadi besar bukan karena Lekra, melainkan karena kebudayaan Indonesialah yang besar, kesenian rakyatlah yang tumbuh, dan Lekra hanya menjadi pendorongnya. “Jadi, jangan menganggap bahwa dulu kesenian dan kebudayaan Indonesia itu besar karena Lekra. Bukan, nanti kita jadi ge-er.”

Putu yang juga seorang penyair yang merangkap sebagai ahli akupunktur ini menjelaskan bahwa setidaknya sastrawan Lekra itu sudah dibunuh tiga kali. Pertama, pasca peristiwa G30S, sastrawan Lekra dibunuh. Kalau tidak dibunuh, ditahan. Kedua, buku-buku karya sastrawan Lekra dilarang. Ketiga, selamanya mereka menjadi tahanan, karena tidak pernah diadili. Dan, begitu bebas karena tidak terlibat G30S, KTP mereka harus dicap ET (eks tapol).

Putu juga memberi catatan, perlu ada penelitian lebih dalam lagi mengenai empat hal. Pertama, kenapa Lekra didirikan. Kedua, kenapa mereka memakai paham seni untuk rakyat. Ketiga, apa itu semboyan 1-5-1. Keempat, bagaimana hubungan antara Lekra dengan PKI.
Acara diskusi ini dimeriahkan dengan pemutaran film Tjidurian 19 karya sutradara Lasja F. Susatyo dan Muhammad Abduh Aziz, pertunjukan KIPAS (koreografer Madia Patra), pembacaan puisi Kinanti Munggareni, dan musikalisasi puisi oleh Sasina IKSI. Sasina memusikalisasikan puisi “Lagu Tanpa Nada” karya S. Anantaguna dan “Dari yang Selalu Menjalinku” karya Sutikno W.S.

Hadir dalam diskusi ini adalah penyair S. Anantaguna, Sutikno W.S., Syarkawi Manap, Sudjatmiko, Svetlana Dayani, Koesalah Subagyo Toer, Truly Hitosoro, Bilven Sandalista, Melody Violine, I Gusti Ayu Agung Mas Triadnyani, dan ratusan pengunjung yang memenuhi ruang auditorium.

Citayam, 25 Februari 2010
Asep Sambodja
http://asepsambodja.blogspot.co.id/2010/02/dari-diskusi-buku-dua-penyair-lekra-di.html


Lamunan ke Brunel University, ataukah di UI?

$
0
0

Menjawab Siwi Dwi Saputro dan Iskandar Noe
Nurel Javissyarqi *

“Jadi, kawinlah dengan kenyataan, bukan dengan kritik.”
(“Kritik,” Jakob Sumardjo, Kumpulan Esai “Orang Baik Sulit Dicari,” Penerbit ITB: 1997).

I. Ke Brunel University, ataukah di Universitas Indonesia?

Mulanya saya baca di bagian muakhir yang ditaruh JS sendirian serupa paragraf terpencil; saya sangka kalimat dalam tanda petik tersebut semacam menyindir, namun terlambat terketahui oleh baru melihatnya di malam 17 Januari tahun ini. Ataukah itu ramalan terhadap pembukaan buku MMKI (Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia, Penerbit PUstaka puJAngga & Arti Bumi Intaran, 9 Januari 2018), yang awal penulisannya di tahun 2011: “Kritik itu semacam saudara tidak muhrim (boleh dinikahi), dan ketika sudah menikah (mengkritik), masih dapat membatalkan wudhunya (masih dapat digugat balik). Jikalau kritik dari sesama muhrim bisa disebut nepotisme (perkoncoan), bukanlah kritik (karena tidak boleh dinikahi), atau pujiannya tidak mampu mempengaruhi nilai. Dan kritik yang berhasil, sekali sentuh di manapun, sanggup membatalkan seluruh bidang tubuh yang dikritisi.” Tapi setelah menyimak dari awal esainya hingga tuntas, ternyata saya pun sudah, pula tengah melakoni peran yang diharapkan Jakob.

Tulisan kali ini berupa jalinan pecahan-pecahan paragraf antara bayangan kelewat ke Brunel University, hendak bedah buku di PDS H.B. Jassin, menjawab catatan Siwi beserta Iskandar Noe. Langsung saja, bisa jadi, jadi-jadian juga boleh, Stanley Wells maupun Dr. William Leahy mengintip website pustakapujangga.com tepatnya “Bagian 17, IV : 4/12/2012, lalu mematenkan pendapat meneguhkan pandangannya, selepas saya sangkal paham kampusnya yang meragukan kekaryaan Shakespeare (MMKI h. 176-179), atau seirama itu beberapa bulan kemudian terbitlah buku “William Shakespeare Beyond Doubt” yang diluncurkan bertepatan ulang tahun sastrawan Inggris tersebut yang ke 449 (bbc.com 23/4/2013), demi menghapus gambaran buram keragu-raguan dunia Internasional, mengenai karya-karya WS yang adiluhung sekaligus melimpah.
***

5 Maret 2018 saya memposting catatan di fb “Membayangkan Bedah Buku MMKI di PDS H.B. Jassin” (Jadwalnya 9 April 2018 atas sokongan penuh Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias), terunggah di website sastra-indonesia.com 6 Maretnya, lalu pagi itu jalan ke Jombang mengikuti SelaSastra Boenga Ketjil, yang sebelum berangkat menorehkan status di fb; “Membayangkan Bedah Buku di Brunel University?” lantaran kritik saya yang terdapat dalam buku itu. Senin 21 Maret, terdengarlah kabar dari Siwi seolah ngimpi, kalau MMKI hendak dibedah di UI. Jangan-jangan Prodi Susastra Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, tidak mau kecolongan atas lolosnya saya dari Taman Ismail Marzuki, dan sebisik berita segera didiskusikan di bulan Mei tanggal tiga. Besoknya tanggal 22 Maret saya ke Jombang kembali untuk mendaftarkan anak sekolah ke jenjang Aliyah di Denanyar, maka perjalanan esok seperti mempertebal lamunan. Istilah ‘kecolongan’ kerap muncul di batin ini, semisal ada hajatan sastra tetapi diabaikan, lantas menguatkan diri meyakini memperoleh lebih, atau perihal itu sekadar perasaan pribadi, selayang ngimpi neng njerone impen.

Setelah dari Jombang catatan ini dilanjutkan. Saya mengenal tradisi bedah buku mulanya di Yogya, sebelum tahun 2000 sudah sering menghadiri acara diskusi, pertanggungjawaban karya, kadang menyerupai pembantaian, dan meski belum menerbitkan buku, saya terbiasa mengamati situasinya; sering mengujinya lewat pertanyaan-pertanyaan sulit, juga menilai buruk kekaryaan yang dibedah, kalau kecewa karena tidak sesuai bayangan penulisnya, misalkan karya seorang senior yang bertitel, namun belum melampaui impian saya idamkan; hal ini berlangsung terus bersamaan bacaan pun seringnya mengikuti kajian buku untuk menimang alunan alam teks dan realitas. Dan kali menggelar bedah buku “Balada-balada Takdir Terlalu Dini” di Taman Budaya Yogyakarta tahun 2001, kekhawatiran datang kalau-kalau yang pernah saya pojokkan karyanya balik menyerang, atau mengandaikan mereka balas dendam, tetapi itu tak terbukti, atau mereka tidak membelejeti sebagaimana saya melancarkan serangan. Ketika muncul gelagat berulah (ini mengingatkan awal mengikuti ajang diskusi), saya merasakan nikmat memperoleh masukan berguna, untuk mematangkan posisi demi lelangkah selanjutnya, seminimal tahu kedudukan karya di antara kisaran pendapat saat itu. Pengalaman ini menempa diri terus berkarya, olehnya setiap menulis sudah mempersiapkan dibedah, dihakimi, dilecehkan. Dan bergembira seumpama yang membelejeti (membongkar lebih) karya saya tersebut sembada dengan karya-karyanya.
***

Dukungan terhadap Shakespeare tidak lebih atas berita yang disiarkan bbc.co.uk 9/9/2007, dan saya baru menentukan arah bersamaan menuliskan Bagian XVII : IV, serta bisa jadi melodinya saling tindih. “Saya percaya dengan teori yang mengatakan karya-karya itu adalah kolaborasi sekelompok orang. Saya tidak yakin, satu orang saja mampu melakukannya,” ungkap Sir Derek Jacobi, maka bacalah MMKI. Prof Wells menambahkan, “Saya rasa fenomena itu dikarenakan kesombongan, bahkan kemarahan bahwa seorang rakyat jelata dapat menulis karya yang begitu jenius” 23/4/13. Ini semua dimulai dari Leahy, dekan Sastra Inggris kampus Brunel University London, sang penyusun Jurusan S2 pertama mengenai studi tentang siapa penulis karya-karya Shakespeare. Lantas teori mengenai keterlibatan Bacon pun Marlowe, ditolak keras pakar studi WS, Dr. William Leahy.
***

Ketika MMKI dalam proses cetak, saya tulis tiga paragraf di bawah ini untuk menghibur diri: “Kemungkinan salah cetak miring jadi tegak, sudah ditanggulangi dengan tanda petik.” Para pembaca buku itu, pasti bertanya-tanya, “Kenapa kupasannya hanya sampai paragraf lima dan enam, lewat esainya Dr. Ignas Kleden?” Karena kitab tersebut jilid pertama, tetapi bisa disebut kelanjutan buku MTJK SCB (PuJa & SastraNesia, 2011), dan tentulah masih mendedah paragraf berikutnya, menuntaskan yang sepantasnya diluruskan dari ke-mengsle-annya. Kalau ada yang memandang langkah ini bukan kritik sastra lantaran mempertajam benar-salah, tidak mengurai seyogyanya suatu karya, serta gagasan dari kaca mata susastra, tidaklah masalah. Sebab saya menempati kursi pelajar yang menimba pengetahuan serupa murid yang ngotot ingin mencari punjer-nya manfaat keilmuan.

Perihal mengkhawatirkan setelah buku terbit ialah ditemukan keluputan tidak disengaja, atau setengah disengaja, sebab awan nafsu menyegerakan diterbitkan, meski prosesinya sangat hati-hati memakan waktu lama. Selain kekhilafan ‘kata’ juga kealpaan program alatnya, misalkan di laptop tercetak miring, saat masuk computer percetakan menjadi tegak, lalu di komputer tampak benar, ketika sudah dipelat mengalami perubahan, olehnya sebelum-sesudah itu menimpa, saya biasa menambah tanda petik untuk menanggulangi kecelakaan sejenis, sekiranya pada tataran yang diperlukan mengenai teksnya.

Hal-hal tersebut sering terjadi, tersebab hampir semua buku saya dalam penggarapan layoutnya mencapai waktu-waktu genting aura terpojok, lantas memutuskan nasib karya menyerupai Keris Gandring. Dan lain jikalau diterbitkan di penerbit besar yang mana pihak pengoreksinya banyak, pun berbeda dibandingkan hasil thesis pula disertasi, karena melewati para pakar dosen penguji. Sedang sekumpulan penguji saya, tiada lain pecahan diri pribadi, masa-masa luang membenahi tulisan, wewaktu senggang membaca ulang, praktis tidak memiliki pengukur-timbangan, selain menimang usia karya di dalam perjalanan hayat. Jadi, kalau ada yang berbicara profesionalitas, tidaklah layak kekurangan mereka diseberang kerja saya didudukkan sejajar, sebab mempunyai lidah kelemahan masing-masing.
***

Setelah buku terbit, saya berjarak sekitar dua bulanan lalu menyimak ulang perlahan, dan masa di antaranya digunakan menulis soal-soal lain yang tentu berhubungan buku selanjutnya, di sisi menikmati perasaan senang. Ketika sudah ‘tidak sayang lagi’ mencoret-coret lelembarannya guna membenahi kembali dalam rentangan waktu agak matang, seibarat tanaman pepadi mulai membunting, buah-buah jagung temanten, kejiwaan bergeser, kepribadian mengembang, atau pecahan peristiwa di antara lelaku menggumuli balik sudah peroleh letak lain tempat berbeda, semisal bahan-bahan buku dicampur ulang dari tenggang masa ‘bulan-bulanan’ ke tahun, terus berputar hingga jatuh tempo terbitnya.

Contoh setiap bagian mengalami perevisian menyentuh angka 11 kali, perkaliannya menempati reruang nafas tersendiri, semacam melatih anak-anak karya berolah, berlenggang, duduk tenang pula menyerupai hantu bergentayangan, dan pembacaan tersebut memberi infus, penambahan-pengurangannya akan mengekalkan yang sepantasnya diam setatap ketampanan tak terbantah. Pengoreksian terus-menerus berasal ketidakpuasan, atau ada beberapa paragraf belum sampai menggayuh standar yang diinginkan. Adalah kekiniannya masa lalu, sekarang pun akan datang, menyedot dialog panjang dalam kesunyian pergolakan, nafas-nafas memberi pekerti diolah balik, dan kedewasaan makna mendiami letak masing-masing kelas sambil berharap tidak terkira sedari perkiraan liar menerka. Di sini cara menenangkan diri meraup untung selepas istirah, membenahi soal meski terlihat sepeleh, atau ketergantungan masa waras hingga ambang batas, dan yang tak terkendali berasal tapak demi tapak menemui hal terselip mencapai letak persembunyian, ruang kata berbeda warna, nafas kata berlainan aura, ini tak lebih keuntungan dari sebuah penantian.

Pada titik-titik ini menemukan kesalahan ketik, kekeliruan kata, khilaf huruf, paragraf tak elok disenandungkan, pemborosan kutipan, yang seharusnya miring tercetak tegak, tulisan agak-agak sulit ditangkap dalam kedudukan nikmat seturut standar penulis, dan perasaan malu meski tidak sampai memalukan tujuh turunan, karena berangkat dari sikap kehati-hatian, mewaspadai bentuk pemberontakan atas diri pribadi pula para pembaca budiman, atau berusaha mengurangi langkah mencla-mencle. Maka kuda-kuda kata patut ditegakkan dengan hujaman terdalam, sehingga tidak pangling melupakan proses betapa gampang. Mungkin pembaca turut membayangkan, otak kecil si bodoh ini bergelut dengan waktu, berusaha fokus sambil memanasi gairah, meredam semangat menggelora, demi benang-benang usia memasuki lubang jarum kreativitas, lalu keluar kata-kata bersulaman waktu menggenapi karya, dan jarum penulisan kadang hilang atau lupa menaruhnya, maka dicarinya ataukah memakai jarum lain, kemudian sepilihan itu menjelma corak pandangan.

Seperti masa bisa ketelisut, kreativitas tak tersangkut, olehnya buku-buku referensi tidak boleh berpindah demi memudahkan ingatan ke posisi awal, atau saat jalan keluar melancongnya indra, keramaian dalam kepala mengikut, lantas kesuntukan menebalkan garis-garis yang sepantasnya. Pun tidak memungkiri kala membaca ulang membenahi tulisan lama, kata-kata diawasi kembali, memeriksanya, lalu menegakkan kalau-kalau condong, atau memata-matai pada jarak kesadaran berbeda, apakah nanti maknanya khianat ataukah tetap bersetia, menetapkan arahan sesuai melodi keaslian, mengatur titik-titik tertentu yang dapat menghipnosis, atau goda membuat pembaca mengikuti napasan sesuai tuangan yang diinginkan, berdasarkan urutan kemauan, setelah berulangkali mendiagnosa akibat-akibat yang terjadi, pun memberi tali kendali sekiranya bisa meliar, maka diberilah pemberhentian, lalu memperkirakan nilai penerimaan-penolakannya, menghadiahkan waktu-waktu mengatur napas pembaca, dituntun keinginan luar serupa laku arif kebajikan, pun memerlukan tenggang rasa diantara pelbagai rupa pembaca.
***

II. Siwi Dwi Saputro

Saya ucapkan terima kasih kepada Siwi yang menyempatkan diri membaca MMKI sekaligus menulis catatan kekeliruan salah ketik, serta berharap cetakan berikutnya menggunakan Catatan Kaki, bukan Catatan Perut seperti yang saya lalui, pula berkeinginan adanya Daftar Pustaka dari buku-buku referensi secara mandiri. Di sini saya terdiam mengamini, tapi entah apa yang terjadi nanti. Setidaknya kini saya jawab Daftar Lampiran dalam catatannya yang berjudul: “Membaca Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia: Membaca Subyektivitas (Nurel) atas Subyektivitas (Ignas Kleden dan Sutardji Calzoum Bachri).”

1. intah : intan, 2. 69 hasana : khasanah, 3. 75 Webset : Website, 4. 78 &st : dst, 5. 78 Krakalau : Krakatau, 6. 79 jatung : jantung, 7. 81 memangfaatkan : memanfaatkan, 8. 85 dinaya?, 9. 86 mana : perlu penjelasan, 10. 86 diasmak?, 11. 93 bermain jaratan : bermain jaranan?, 12. 97 pelahan : perlahan, 13. 97 sedaya bantul?, 98 : sedaya pantul, 14. 100 Howking?, 15. 104 awalkali : awal kali?, 16. 104 pelitian : penelitian, 17. 106 hiasa : hiasan?, 18. 113 rabahan : rabaan?, rebahan?, 19. 113 dipunggah : perlu penjabaran, 20. 114 rating : ranting, 21. 114 kerkataan : perkataan?, 22. 121 Bejawa : Bajawa, 23. 123 betebaran : bertebaran, 24. 127 ternging : terngiang, 25. 134 halil?, 26. 134 deladapan 238 ??, 27. 134 cekeremes?, 28. 134 memunjeri?, 29. 149 dipatenken : dipatenkan, 30. 153 perkembaangan : perkembangan, 31. 165 khasana?, 32. 166 akli?, 33. 166 Aesop fox : pindah ke halaman utama, 34. 167 menyuruny : menyuruhnya, 35. 167 renuangan : renangan, 36. 170 sinahui : sianui?, 37. 175 kemengslean : mengsle?, 38. 175 asatir : harusnya huruf besar Asatir, 39. 179 ritua?, 40. 206 mugil : mungil, 41. 207 kintir : dikasih penjelasan, 42. 226 Jleguran di blumbang : dikasih penjelasan, 43. 232 daya : bukan dinaya?, 44. 239 Sim sala bim : sim salabim?, 45. 240 Grubyag-grubyug : dikasih penjelasan, 46. 244 mederai : menderai, 47. 245 banter : bahasa Indonesia, 48. 253 fitna?, 49. 253 pergeserak : pergerseran?, 50. 253 wedar : Indonesia?, 51. 254 pangling?, 52. 257 : Noted halaman, 53. 269 dikator : diktator, 54. 269 ngelokro : bahasa Indonesia, 55. 270 terlunta-lunda : terlunta-lunta, 56. 270 mempuni : mumpuni, 57. 301 pemengaruh : pengaruh, 58. 305 lansung : langsung, 59. 323 Howking : Hawking?, 60. 377 uang ketas : uang kertas? 61. 383 fabebook : facebook, 62. 405 yepyur : mengepyurkan?, 63. 450 melubagi : melubangi, 64. 454 ketagikan : ketagihan, 65. 454 kemuliaanya : kemuliaannya, 66. 455 dikjaya : digjaya atau digdaya?, 67. 468 lowak?, 68. 490 sinahu?, 69. 494 diprekes : Indonesia?, 70. hilaf?, 71. ilangkah?, 72. Dll?, 73. Penuwaan?, 74. Pegapesane (titik kelemahan) : pengapesane?, 75. hianat?, 76. akli? 77. ijtihat?, 78. festifal?, 79. ksatri?, 80. pelahan? 81. didedah?, 82. vi digelilingi?, 83. pebukitan?, 84. menjelmah? 85. 380 musah : mudah?
***

Inilah jawaban mengakui salah ketik sebab memang keliru, pun ada yang masih ditangguhkan:
1. intan, 2. khasanah, 3. Website, 4. &st : bentuk ini disengaja dengan harapan tampak manis tak membosankan, yang bukan bermakna tidak konsisten, lantaran bukan persoalan keutamaan nilai, 5. Krakatau, 6. jantung, 7. memanfaatkan, 8. dinaya : harapannya dengan menampilkan kata ‘dinaya,’ sudah mewakili atau menyerapi kata ‘daya-dinaya’ ; dalam wilayah susastra serupa ‘daya ketaatan, kesungguhan, keseriusan bersastra, lebih luas kepada ilmu pengetahuan,’ tapi rasanya belum berhasil jika sekadar kata ‘dinaya,’ atau apakah tetap menggabungkan dua kata tersebut, guna terang di alam maknanya (?), 9. mana : sudah tercetak miring ; masuk wilayah sakral, bersimpan linuwih, kesaktian, 10. diasmak : disuwuk, didoakan ; suara komat-kamitnya mulut orang bermantra disertai bau asap dupa kemenyan, ada yang sambil menggosok-gosokkan kedua telapak tangan, 11. jaratan : harusnya cetak miring, permainan yang mungkin telah punah di pedesaan Jawa Timuran, mirip bermain Jumpritan, 12. Pelahan : Apakah tidak diperkenankan mencoba menuliskan ‘perlahan’ dengan ‘pelahan’ dan ‘perbukitan’ dengan ‘pebukitan,’ seperti kata ‘bepergian.’ Atau lebih jauh berhasrat bentukan jamak mengalami ringkasan fisik, semisal kupu-kupu menjelma kekupu, bebunga &st, mungkin ini terbentur aturan yang sedang berkuasa, dinamakan aturan lantaran saya belum menyetujui sebagai hukum berbahasa. 13. sedaya bandul (bukan pantul, meskipun maknanya hampir sama) yang di h. 98 benar : sedaya pantul.

14. Hawking, 15. awal kali, 16. penelitian, 17. hiasan, 18. rabaan, 19. dipunggah : diangkat, diterjemahkan, ditafsirkan, dijabarkan, dilantunkan sampai merambah meluas, 20. ranting, 21. perkataan, 22. Bajawa, 23. Betebaran : disengaja menghilangkan huruf ‘r’-nya, 24. Terngiang : penulisan ‘ternging’ di sana, sebab godaan cerita teksnya berhubungan indra pendengaran, dan mungkin merasa puas sehingga luput tanpa memberi keterangan, atau sebaiknya memakai kata ‘terngiang’(?), 25. dalil, 26. deladapan : tersentak kaget, yang seharusnya dicetak miring, 27. cekeremes : rendah, jelek, tulisan tangan seburuk jejak jemari kaki-kaki ayam, 28. memunjeri : dari kata bahasa Jawa ‘punjer,’ bisa bermakna ubun-ubun, titik inti atau pusat, 29. dipatenken : ini disengaja lantaran teringat mantan Presiden Soeharto, namun di h. 149 belum menemukan, barangkali di h. lain, 30. bukan kata ‘perkembangan’ yang kebanyakan huruf ‘a’-nya, namun terdapat dalam kata ‘keberadaan,’ 31. khasanah, 32. akli : akal, nalar; tengok h. 165, : istilah sedari kata bahasa Arab ini sepertinya sudah banyak yang memakainya, 33. ungkapan itu menjelma nada deringan umum, khasanah dari Timur pun Barat biasa menggunakannya, semacam hukum, nilai, moral, kaidah yang telah disepakati para ahli ilmu hikmah, 34. menyuruhnya, tetapi Siwi malah khilaf menghilangkan huruf ‘a’-nya, ‘menyuruny.’

Biar tidak membosankan saya bercerita sedikit, ini antara jiwa ketaatan, kepatuhan berbahasa secara baik sekaligus benar, disamping keinginan berontak. Jauh sebelum ini, tepatnya di buku “Trilogi Kesadaran; Kajian Budaya Semi, Anatomi Kesadaran, Ras Pemberontak,” diri saya berkeinginan agak merombak perkataan dari bahasa Indonesia, semisal kata ‘dialog’ ditulis ‘dialok,’ ‘batin’ dengan ‘bathin,’ &ll yang otomatis para senior melontarkan teguran keras. Setidaknya hasratnya sampai memasukkan logat Jawa, semisal lagu tenarnya Mbah Surip “Tak Gendong,” saat lagu tersebut terkenal, dalam jiwa ini merasa gembira, karena kata ‘tak’ di sana, bukan bermakna ‘tidak,’ namun berarti ‘akan, hendak,’ hebatnya lagi sebanding kata ‘aku atau saya.’ Bentuk-bentuk godaan itulah yang kerap mengusik di dalam berkarya, tetap mengikuti pakem atau mencari pelepasan dengan corak lain, yang bukan menyerupai langkah putus asa. Tidakkah kemunculan bahasa Indonesia yang terterima dalam diri seseorang, setindak paksaan terhadap pertumbuhan berbahasa atau mempengaruhi jenjang kesadaran pribadinya? Sementara jiwa muda terus menggelora bergejolak meliar, terkadang tidak sanggup menguasai keadaannya.
***

35. renuangan, tidak ada di h. 167 : adanya di h. 170 : renungan, 36. Sinahui : sianui (saya tak menemukan di h. 170), 37. ke-mengsle-an : tidak pas, kurang sesuai, agak mendekati kata ‘ber-geser,’ ; kata ‘mengsle’ mulai kerap muncul dalam bahasa Indonesia di beberapa buku terbitan Jogjakarta selepas peristiwa Reformasi 1998, dan kata Jogja pun kini sudah jarang atau kurang diperkenankan untuk digunakan, seolah diharuskan menulis dengan kata Yogya (Yogyakarta), 38. asatir (Asatir), kenapa harus besar huruf ‘A’-nya? Tidakkah aturan ditulis besar-kecilnya huruf, masih terbuka ruang perdebatan di beberapa perkara atau di sini merasa keberatan, 39. ritual, 40. mungil, 41. kintir : terhanyut, terseret arus, 42. Jleguran di blumbang : ‘berenangan bebas di kolam renang,’ 43. di h. 232, tidak saya temukan kata dinaya (dan memang kata daya), kalau ada, itu merujuk kata ‘daya-dinaya,’ 44. Sim sala bim, sim salabim : saya menemukan ada yang ditulis terpisah pun ada yang digabungkan, terus apakah KBBI sudah bertanya kepada para pesulap, yang asli dituliskan seperti apa? Para ahli bahasa sebaiknya bertanya pula kepada yang punya keahlian di bidangnya, dan adanya kesengajaan agar tidak membosan secara tampilan.

Agar tidak sepaneng (tegang), berceritalah kembali. Semisal kurang nyaman walau sudah tentram, atau di sini gulungan ombak lautan tiada tertebak lonjakannya, tapi tentu mengikuti hukum alam; aturannya menempa logikanya masih-masing dan penyesuaian perlu sekiranya tidak berakibat fatal. Dalam posisi berbeda, kadang merasa iri dengan para senior ketika ada kesalahan ketik dalam tulisannya, kaum pembacanya seolah mengabaikan, membiarkannya setindak pemakluman, saat itulah mengalami kecemburuan hebat. Dan biasanya pada tulisan saya, kala memasukkan kata-kata dari bahasa Jawa dengan kalimat panjang keterangan, guna maknanya sampai tidak lepas dari perkiraan penalaran, jangkauan angan pembaca. Bolehkan agak memaksa, seperti bahasa Indonesia mengharuskan melantunkan kata-kata berbahasa INA?
***

Grubyag-grubyug : senada peribahasa air di daun talas, 46. menderai, 47. banter : sering, rapat, kerap, cepat, kencang, keras, 48. fitnah, 49. per-geser-an, 50. me-wedar-kan : membuka rahasia, menguraikan, menerjemahkan, menafsirkan. Dan alangkah manis betapa elok, sebelum kata me-wedar-kan, ada kata-kata “yang mampu,” 51. pangling : heran atas perubahan, takjub terhadap rupa perpindahan, 52. durung : belum, 53. diktator, 54. ngelokro : malas hingga ambang putus asa, 55. terlunta-lunta, 56. mumpuni : dengan memakai kata tersebut agaknya keberatan, sebab ‘mempuni’ lebih dekat maksud dasarnya, ‘empu’ m-empu-n-i : seorang yang ahli di bidangnya. Memang tidak ada awalan ‘m,’ terus dari mana kata dasarnya ‘mumpuni?’ Adakah akhiran ‘ni’?, dan bagaimana bisa KKBI menjelmakan kata ‘mampu’ membentuk ‘mumpuni,’ aneh juga kan?, 57. pengaruh, 58. langsung, 59. Hawking, 60. uang kertas, 61. facebook, 62. men-yepyur-kan : menebarkan, menyebarkan, 63. melubangi, 64. ketagihan, 65. kemuliaannya, 66. digdaya, 67. loak, 68. sinau, 69. diprekes : dikecilkan, diringkus, diringkas, dikerdilkan. Selanjutnya dari nomor angka 70 sampai 84, tidak menyebutkan halamannya, jadi sekadar membenahi sedari lampiran Siwi, pun kini saya tengah menyimak ulang demi menanggulangi kecelakaan sejenis.

70. khilaf, 71. alangkah, 72. saya memang kerap memakai rupa lain akhiran yang menunjukkan jumlah; &ll, &st, &sb, &lsb, sebangsanya, mungkin pernah menggunakan akhiran penambahan lewat kata-kata segerombolannya hingga sebangsatnya, guna terlihat cantik senada, 73. penuaan, 74. pengapesane : pengapesan : titik kelemahan, letak mematikan, ujung maut, 75. khianat, 76. akli : akal, 77. ijtihad, mungkin sebab jiwa ke-Jawa-an saya, ataukah kesenimanan diri yang menjadikan kata serapan dari bahasa Arab, saat jemari lincah menari tidak sengaja menulis ‘ijtihat,’ atau godaan begitu kuat agar kata ‘ijtihat’ tidak ditulis ‘ijtihad,’ ; tapi dengan huruf ‘t,’ dikarena secara tampilan menyerupai pedang, dan pelbagai macam rayuan kreatif semoga tidak kebablasan, 78. festival, 79. Ksatria : kesatria ; karena sering baca buku-buku berejaan lama, jadi kerap lena hingga lupa cara menuliskan lewat ejaan yang disempurnakan, 80. pelahan (lihat perkara sebelumnya), 81. didedah : dij(e)lentrekkan ; diuraikan, diterjemahkan, ditafsirkan, dibongkar, dibaca ; disimak sampai kedalamannya, 82. vi digelilingi : dikeliling, di sini buaian berontak pun muncul, sebab paragraf yang diketengahkan menggelikan, sehingga godaan kuat menyusupkan salah ketik agak menyetujui, demi mendekati kata ‘geli,’ 83. pebukitan (lihat di atas), 84. menjelma 85. mudah.
***

Kini saya bercengkerama dengan Siwi secara pribadi. Kata ‘pribadi’ tak lebih penghormatan kepadanya yang menuntaskan bacaan secara apik nun cantik, atau tidak mengira ada yang mau suntuk baca tulisan pemula, pengaku pelajar tapi tidak di bangku sekolah. Penghargaan terberi, lantaran sadar karakter tulisan saya rapat berjalin erat, sehingga Siwi tidak keliru menyebutkan: “Syukurlah. Nurel sendiri menyadari kalau membaca bukunya pasti membuat pembaca pusing. Kalau boleh dianalogikan dengan salah satu slogan You scratcth my back I scratch yours. Ini salah satu kata-kata ampuh yang dapat menggambarkan bagaimana digdayanya Soeharto pada zamannya. The Smiling General, Raja Jawa dan banyak sebutan lain yang melekat. Kesemuanya itu terpaut dengan istilah diatas. Istilah yang menggambarkan bagaimana suatu keterkaitan yang akibatnya bisa baik ataupun buruk.”

Gulungan rantai itu sengaja dibangun demi maujud (hadir) daya-dinaya sekuat barisan tentara mencipta benteng pertahanan hidup, sebab sadar betul pengelana bukan siapa-siapa yang tentu dianggap kerdil, dungu, serakah, ngawur, &hal-hal buruk ditimpakan anak kemarin sore. Dan tidak punya daya, &lsb, karena keterlaluan asyik menyendiri, maka berikhtiar betul guna demi sepyuran kata-kata yang tanggal dari jemari sanggup mewakili seluruh nafas kehidupan yang terasai, dan mengakui kadang tak memberi kesempatan pembaca jauh menelanjangi teks-teks perwakilan pribadi, atau lebih nyaman jaman mendatang menerimanya, karena saya percaya orang sungguh menemukan orang-orang sepadan, menyoal waktu hanyalah rahasia Tuhan. Di batas tertentu keyakinan kuat digoyang hebat keraguan dahsyat, memojokkan rasa percaya diri berulang, minder, was-was, inilah peperangan yang terus bergejolak mencari kesejatian. Maka kagetlah, ketika Siwi telah baca keseluruhan diri teks dalam kesadaran kelana, pun memberikan kritikan atas penamaan pengelana, jadi teringatlah lagu Raja Dangdut, Rhoma Irama “Kelana 2.”

Saya tak tahu pasti kenapa Siwi menyeret MMKI ke UI, ada mungkin setelah baca kisah saya sewaktu bedah buku “Trilogi Kesadaran” di sekitar kampus itu, tempatnya di toko buku, bukan di auditorium, lantas timbul kasih yang tertunda, atau jangan-jangan merasakan saya mengidam memasuki Universitas Indonesia lewat bayangan seorang Tardjo, pekerja kasar yang memasang kaca-kaca jendela di perguruan tinggi nomor wahid tersebut, yang terdapat dalam tulisan saya bertitel “SASTRA Versi Iklan Kecap INDONESIA.” Ataukah sebab perjalanan saya ke bencah Nuca Nepa, demi memasuki kedirian Ignas Kleden. Ah, sudahlah… biarlah itu menjadi rahasia masing-masing diri, sebagaimana menyembunyikan sesuatu dibalik teks, atau sejarah teks siapa yang lebih tahu, kecuali sang pengguratnya, itu pun masih dibungkus keganjilan yang tidak terjangkau. Dalam bagian I & III di bawah ini agaknya tengah menjawab tulisan Siwi, “Dari Yang Terekam Di Acara Bedah Buku Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia : Sebuah Catatan Tengah,” dan kalau ada kekurangan, bisalah nanti masuk ke catatan saya selanjutnya.

III. Iskandar Noe

Jam 1:53 WIB, Iskandar Noe mengirimkan sebuah catatan semacam resensi, seakan menyambut bedah buku MMKI di Jakarta pertama kali, dan saya membuka paketannya lewat inbox fb Jam 3:46 Pagi 8 April 2018 lantaran ngelilir, lantas dengan hati senang setengah bangun dari alam mimpi, sebab pagi-pagi mendapati kiriman yang elok, secantik masa-masa penantian seorang pengantin muda, dan sambil baca terus terbayang beberapa hal mengenai prosesi penggarapan buku. Bayangan tersebut tidak lebih senada lontaran Noe dalam tulisannya; lamunan nantinya berjumpa pula dengan pembaca strukturalis, sedikitnya sepengakuan Noe disaat melayangkan catatannya, “Mungkin juga di wilayah ini, saya boleh dicurigai sebagai pembaca yang strukturalis, yang menuntut MMKI ditulis secara struktural sebagai layaknya textbook.” Pada titik-titik membentang segaris pilihan tegas dari perjalanan, saya tak lagi bimbang menentukan arah dengan tidak memakai cara bersesuaian kalimat tuntutan Noe. Itu bisa jadi selaras laguan umum kebiasaan orang Indonesia yang kerap melihat latar seseorang dari pendidikannya, dan karena sadar sekadar berijazah Aliyah, S1 pun tidak lulus namun lolos, pula saya amati tulisan berbentuk rapi seperti akademisi kampusan, tapi jika penulisnya tidak memiliki titel rangkap, sering diabaikan pembaca serta kurang diapresiasi sebagai karya ilmiah, meski telah melewati penelitian panjang menukik dalam, misalkan bukunya penyair Iman Budhi Santosa “Profesi Wong Cilik: Spiritualisme Pekerja Tradisional di Jawa” (Yayasan Untuk Indonesia, 1999, dicetak ulang Basabasi Yogyakarta, 2017), yang sampai kini belum dilirik guna dibicarakan dalam gedung bertingkat perguruan tinggi di Indonesia, maka corak saya pilih sekalian liar penggarapan selaku langkah penulisan, lantas diri ini agak condong ke filsafat proses yang barangkali telah ada sebelum Alfred North Whitehead hadir, dan dalam padaitu bersentuhan realitas sebagai pengelana haus belajar, berlatih melenturkan jemari dalam tarian hidup yang diamanahkan takdir ke dalam kehidupan.

Lamunan sekelebat Noe sudah saya perkirakan kedatangannya, atau harapannya dimungkinkan menemukan jalanan remang-remang, kiranya direcoki hal-hal yang menurut saya masuk dalam kategori sunah, tapi seolah disadarkan pula olehnya, “…Bagi saya sebagai pembaca, kasus ini mengesankan kerja editor yang kurang teliti atau kalau tidak ya tergesa-gesa untuk kejar tayang, hingga apa boleh buat harus abai terhadap wilayah penting yang sebenarnya menjadi skala prioritas tampilan teks.” Terus terang hidup saya agak kocak bin ndagel, seperti di buku itu adanya penyunting bukanlah penyunting buku semestinya, namun penyunting diri alias istri saya. Kata ‘skala prioritas’ dicatat sebagai masukan berharga, lalu mengenai beberapa kasus memberatkan sudah terjawab dalam percengkeramaan saya bersama Siwi, dan yang belum diketengahkan di sini:
***

Sejatinya saya berharap para pembaca buku MMKI pun buku-buku lainnya dari titian jemari ini, masuk meracuni pembaca yang sukanya liar-liaran, pemilik watak tidak senang didekte berjiwa pelik hingga curiga ke batas ganjil dirinya sendiri, namun tidak menutup kemungkinan yang lain. Karena terang, saya dengan buku-buku semacam pengantar kurang berminat, dan kecurigaannya besar, dibandingkan berhadapan kitab-kitab yang sama liarnya, buat pembaca seperti saya lebih memberi ruang lebar, hingga seolah tidak tertakar, namun tetap kagum sekaligus terima kasih kepada Noe yang mungkin dibenaknya menganggap buku saya kurang layak dibaca, bisa jadi serasa menikmati buku yang buruk dari segi apapun, tetapi tetap dibaca hingga tuntas, itung-itung melatih kesabaran diri sejalan cara bersetia.

Noe menulis, “Terdapat dua puluh lima Bagian yang mengupas satu per satu paragraf. Sayang sekali tiap judul Bagian-Bagian tersebut hanya menyatakan judul yang serupa, dan menyatakan urutan angka kupasan saja yang berbeda. Misalnya: Bagian IV – Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia (kupasan ketiga dari paragraf awal, lewat esainya Dr. Ignas Kleden). Sebagai pembaca saya lebih merasa nyaman jika pada judul setiap Bagian tidak melulu menampilkan urutan kupasan, tetapi mengandung sub-judul. Taruhlah misalnya pada Bagian II, setelah judul utama, dilengkapi sub-judul: Mengusut kata “Menerobos”, misalnya begitu. Jadi si pembaca akan lebih fokus akan maksud penulis bahwa di Bagian tersebut didedah kata “menerobos” dengan segala kaitannya.” Lantas saya melompat segambaran Noe meloncat ke Halaman Lampiran buku sebelum memasuki Bagian-bagiannya, dan lencungan saya menuju ingatan lawas pada embrio buku; memang awalnya ada selayang membikin sub-judul serupa keinginan Noe, tapi rasanya tingkah itu menutup lahan lain, dikarena dari MMKI berikhtiar terbitnya serupa ‘novel-novel ajaib, puisi esai bim salabim tampilannya’ yang terus berjalin bergentayangan, tiada pengulangan tetapi bagian-bagian selanjutnya selain mengurai pokok garapan pun penegasan dari kupasan sebelumnya, dan rasanya sayang jika uraian melimpah, mungkin ada perangai nggeladrah (lanturan) itu diberikan tanggul, sebab saya menginginkan juga turunnya para pembaca nekat terjun bebas ke lautan membiru luas dari ketinggian tebing cumar tanjung karang, bukan sekadar menyusuri tubuh bengawan yang tanggulnya kerap jebol dikala penulisan tiba-tiba hadir gagasan lebih gemilang.
***

Olenya tak mau terjebak saran Noe seperti lontarannya, “Maka pada setiap akhir Bagian, saya menyarankan disediakan sebuah paragraph yang berlaku sebagai epilog untuk menyimpulkan gagasan utama Bagian tersebut dan ringkasan kritik yang telah dituliskannya. Jika tidak demikian, maka tulisan setiap Bagian berkesan nggeladrah.” Impian itu tentu saya tinggalkan, sebab tidak mau terpenjara tulisan sendiri seperti takdir Ken Arok, namun sekaligus agak-agak ‘menginginkan kesalahpahaman’ pembaca, atau memancing banyak tafsir sekalian mengurung penafsir melewati gaya-gaya gemulai secorak tarian, makna kasarnya MMKI pun mengundang selisih paham, dan sangat suka kalau ada pembaca sepintas terjebak dalam kepahamannya yang didasari watak serampangan hingga tidak sempat menghisap isi kandungan buku dengan cepat. Ini saya lakukan, sebab tak ingin pembaca betapa mudah menangkap pandangan buku dengan gampang, makanya ada lagu kesengajaan membikin pembaca muak, semisal tiap bagian ada foto saya, harapannya mereka misuh-misuh (memaki), mengira narsis &lsb, sehingga tidak tuntas dibacanya, demikian juga takdir cover buku menderita parah di atas nasib berdesak-desakan kepentingan serupa umbul-umbul kampanye.

Lalu Iskandar Noe berkata lembut, “Secara keseluruhan MMKI menyampaikan banyak pesan. Ini nampak pada kepiawaian penulis mengumpulkan sekian banyak potongan esai, sayang sekali tidak ada daftar bacaan dan referensi yang dicantumkan disana. Daftar referensi, Daftar Pustaka, menurut saya sangat penting, sebab orang hanya bisa berkarya dengan memakai pundak orang lain sebagai acuan. Hal ini selain sebagai penghargaan atas karya orang lain itu, juga untuk mempermudah pembaca mengenali urutan pemikiran yang disampaikan oleh penulis.” Saya akui tidak memberi ruang Daftar Pustaka di tempat tersendiri, tapi kurang tepat dikatakan “Ini nampak pada kepiawaian penulis mengumpulkan sekian banyak potongan esai, sayang sekali tidak ada daftar bacaan dan referensi yang dicantumkan disana.” Yakni potongan esai yang mungkin dimaksudkan kutipan saya, adalah sudah mencantumkan seluruh atau hampir 97% ada referensinya, berupa Catatan Perut di tubuh esai, ada di sisinya dan halaman lain ketika terlanjur mengurai pengamatan sampai referensinya ditaruh di belakang jauh, pun ini pula agar pembaca terperangkap menghakimi tulisan dengan cepat atau enteng, dan kalau menulis, saya bisa jawab lebih leluasa, sekurangnya bisa mengisi halaman buku selanjutnya, atau permainan tersebut boleh dikatakan strategi berperang, disaat menghadapi yang kurang sepaham, dan yang 3% tidak menampilkan referensi, anggap selaku nunut ngeyop tayangan iklan sebatas mampir ngombe yang saya rasa tidak harus diunggah, sekiranya bukan bahasan inti. Dan yang menjadi kutipan bersifat langsung, atau tidak diramu dengan anggapan pribadi, kalau itu yang dikritisi, sebab tidak mau dituduh mengetahui sesuatu yang bukan haknya pembaca seperti saya secara menyeluruh. Serta mengiyakan kalau ada anggapan memakai jalan adu domba terhadap kutipan-kutipan tersebut, ini tidak lain biar nikmat guna, sambil menanti terbitnya tuntutan dari pembaca yang lebih baik daripada saya tentunya.
***

Karena Noe menulis dalam catatannya yang bertitel, “Catatan dari Seorang Pembaca” mencantumkan kata-kata berikut ini, “Catatan ini dibuat ketika pembacaan MMKI masih berlangsung,…” Maka sampai di sini, lantas berharap kelanjutan dari keberlangsungan di atas pembacaan buku itu menjadi kian menarik guna dialog panjang antar pembaca, sehingga akan perolah masukan berharga untuk kematangan saya berproses, dan tidak lupa harap pemakluman lebih kalau tulisan pengelana, adanya perangai kurang pantas tidak layak, sedikit-banyak kurang ajar, tidak lain ingin sungguh mendapat pengalaman bernilai. Barangkali langkah ini seungkapan Jakob Sumardjo, tidak berkawin dengan kritik, namun menikahi kenyataan; jadilah terang wajib belajar terus berlatih menajamkan ujung pena, menahan kantuk dan kemalasan, terus diharuskan menggumuli realitas bercampur teriakan mentari, memetik kembang di taman-taman kasat mata. Akhirnya tidak mengharuskan iri serupa pegunungan yang banyak puncaknya, sekaligus malu berharap mencapai gunung suci. Barangkali ingin menjadi sebatang pohon di segugus gunung yang di-Rahmat-I, sealunan “Kitab Zabur” dalam “Surah Perarakan Kemenangan Allah” ayat 17, yang diterbitkan ulang oleh Pustaka Marwa, 2006:

“Hai gunung-gunung yang banyak puncaknya, mengapa kamu memandang iri kepada gunung suci yang dikehendaki Allah menjadi tempat-Nya bersemayam? Sesungguhnya, Allah akan bersemayam di sana untuk selama-lamanya!”

LA, Jakarta
20 April 2018 LAmongan-Jombang.
*) Pengelana waktu yang kebetulan suka baca..

MENGGIRING KE WILAYAH TANDA TANYA

$
0
0

Monolog untuk Buku MMKI – Nurel Javissyarqi
Iskandar Noe

Ya, awalnya catatan saya untuk MMKI bersifat teknis. Yang saya kritisi itu fisiknya kerna yang saya lihat dan pahami lebih dulu kan sosok fisiknya. Itu mulai dari Cover, Sub-titles, Pengantar dan Bagian- Bagian. Dan simpulan saya pada catatan waktu itu ya lebih bersifat umum. Saya juga berpesan pada penulisnya bahwa saya belum selesai membacanya.

Lantas ada perubahan catatan?

Nah, Nurel lewat messenger meminta saya membuat catatan lagi. Memang tidak mudah mencerna MMKI secara keseluruhan. Buku itu seperti lukisan dengan lapis-lapis (layers) yang tidak dipisahkan. Membacanya harus jeli juga, bak menatap selembar peta besar dengan berbagai simbol-simbol disana dan harus dibaca legendanya. Tetapi sebagai pembaca, saya mencoba dua hal: Pertama mencoba menyelesaikan bacaan dan memahami sejauh kemampuan saya. Yang kedua, mencoba memberikan catatan seperti yang saya uraikan sekarang ini. Tentu saja kemudian saya mengirimkannya kepada Nurel, dengan harapan semoga ini semua ada manfaatnya bagi kita.

Menggiring ke Wilayah Tanda Tanya. Apa maksudnya?

Ya, itu permintaan untuk catatan yang saya buat kemudian: Mari kita giring semuanya ke ranah tanda tanya (?) Karena baru disitu kita bebas memahami totalitas makna teksnya. Seraya saya mengutip Rendra: Didalam ilmu surat, tak ada juara nomor satu, oleh sebab masih ada ribuan teks yang tersembunyi atau gampang-gampangan dilewati begitu saja. Awalnya sebelum pembacaan selesai, saya berpendapat: Ini teks kok arahnya kemana-mana, terkesan nggladrah. Pendapat itu sebenarnya justru muncul ketika kurang meneliti gaya bahasa yang digunakan. Kesan itu muncul pada pihak pembaca, kerna tanpa adanya pembaca, sebuah teks tak mempunyai pengaruh apa-apa. Ia hanya bayang-bayang yang tak dapat berbicara. Hubungan teks dan makna tidaklah begitu sederhana. Tidak sesederhana seperti mengibaratkan kopi didalam cangkir yang dapat dituang begitu saja tanpa kita menambahkan sesuatu pada isinya. Dalam pengertian ini… (Dan kalau saya boleh mengutip catatan Sunu Wasono tentang MMKI sebagaimana dikutip oleh Siwi D Saputroi ): ….. walau karya ini masih di wilayah abu-abu. Dianggap Analisa Wacana bukan, dianggap Novel juga bukan. Kalau beberapa subyektivitas Nurel (tentang penjelajahan dia kemana-mana dalam proses menulis buku itu dihilangkan) dan diskursus terhadap karya SCB dibangun lebih kuat maka akan menghasilkan rekomendasi yang mantab. Wilayah abu-abu sebagaimana dikemukakan oleh Sunu Wasono menurut saya hanya mencerminkan batas ketegasan antara polarisasi hitam-putih. Bagi saya wilayah itu boleh jadi adalah yang saya maksudkan sebagai wilayah tanda tanya (?). Semua pernyataan di situ harus diakhiri dengan tanda tanya. Saya pikir Nurel akan setuju, senada dengan pengakuannya: … Sebab tulisan saya bukan jawaban finis, tetapi tetapi serupa jawaban Jung bersama Freud atau bentuk lain dalam bersikap. Olehnya, rasa teggang juga sama berkesempatan, tidak menutup ruang bantahan yang terurai kini. Tentu diterjemahkan sendiri lebih lapang isinya daripada pengelanaan ini. Maka yang tertanda bisa disebut dugaan awal, yang sudi didialogkan jikalau hadir sanggahan…ii. Menurut saya, jika wilayah tanda tanya itu dibuka (atau pinjam istilah Nurel: Sudi didialogkan), semua hal didalam MMKI bisa diteruskan dalam ruang yang lebih bebas.

Mengapa anda mengatakan di situ ada ruang lebih bebas?

Karena diruang tanda tanya (?) itu saya sebagai pembaca bisa agak kreatif. Sebagai pembaca kan saya harus memahami corak teksnya. Saya pikir di ruang itu saya akan mampu merasakan hubungan pribadi dengan lebih mendalam bagaimana teks itu dituliskan. Beda halnya kalau saya mengambil jarak dan menentukan kaidah-kaidah sebagaimana catatan saya yang awal kepada Nurel: Seharusnya bagian itu ya harus begini, harus begitu, editing itu ya harus begini-begitu. Namun setelah membacanya hingga selesai, teks MMKI (menurut saya) tidak bisa diperlakukan begitu. Sebuah teks akan menjadi karya, kalau teks itu bekerja pada diri seseorang. Hal yang saya lupakan waktu itu adalah bahwa petualangan Nurel tidak berhenti disitu. Serupa itu pula, saya sebagai pembaca juga berusaha menempatkan diri sepanjang pembacaan teks dalam posisi petualang yang rela menangguhkan sebentar pandangan sendiri, karena hanya dengan cara begitu teks akan muncul dan mengatakan sesuatu yang lain daripada yang kita duga sebelumnya. Maka dalam proses tafsir (Eksegesi: Yunani; yang berarti: mengeluarkan), adalah sesat jika kita menganggap bahwa “makna” adalah sejumlah pernyataan yang sifatnya “tetap dan obyektif” dan yang harus dikeluarkan dalam teks. Pada kenyataannya teks baru akan menjadi hidup kalau ada pembaca yang mendengarkannya dengan baik.

Anda ingin mengatakan bahwa penulis dan pembaca harus bekerja sama dengan baik?

Tentu saja: Ya. Sebagai pembaca (mudah-mudahan pembaca yang baik), saya harus menghormati kata-kata dan struktur teks bacaan. Sebenarnya teks dan struktur itu benar-benar memerlukan peranan kita ketika membaca, memahami dan menemukan keterkaitannya. Membaca lantas bukan pasif. Ia adalah kegiatan batin yang khas: Tindakan memberi makna pada teks. Pembaca yang berlaku sebagai pembaca adalah sebuah unsur struktural dalam teks yang hidup dan berbicara. Oleh karena itu pemberian makna pada teks pun pada gilirannya berpindah dari keadaan yang tersembunyi menjadi subyek yang berbicara: Apa yang terselubung menjadi aktual. Itulah sebuah penyingkapan, itulah perwahyuan. Sebuah teks (cerita, syair) hanya dapat berkembang melalui pembaca yang mampu membacanya dengan baik. Tanggung jawab lebih diberikan kepada “makna teks” daripada “teks itu sendiri”.

Kalau begitu, teks bernada Historis-Kritis pada MMKI sudah pada posisinya yang paling tepat?

Bukan paling tepat, oleh sebab perlu pemahaman pada lingkup waktu yang tersendiri. Jika kita amati pada kondisi pembacaan saat ini, kita memberikan makna pada teks yang disusun untuk membahas teks tentang kisah yang terjadi beberapa tahu silam, meskipun nampaknya kisah itu sudah pernah beredar dan sudah diketahui sebelumnya. Namun kisah itu tetap harus dikemukakan dengan jelas. Yang menjadi masalah di sini adalah jika ada gaya penulisan yang tidak memperhitungkan bahwa kegiatan membaca atau menafsirkan teks memiliki sumbangan yang sangat berarti dalam hal pemberian makna. Pendekatan yang saya maksudkan di sini adalah pendekatan yang mau “memahami” sekumpulan teks (baca: MMKI) dalam lingkup waktunya sendiri. Hal ini akan mengasumsikan bahwa teks-teks itu datang dalam waktu dan barangkali juga kultur yang mungkin sudah berbeda. Sebaiknya memang kita tidak meremehkan perbedaan-perbedaan ini, sekalipun itu barulah separuh dari kenyataan yang sebenarnya. Kita tidak bisa memutlakkan hal itu karena tanpa kita sadari bisa jadi telah menyesatkan kita. Kebenaran dasar yang kita pegang adalah keyakinan bahwa teks-teks itu (baca: MMKI) ditulis dengan baik. Nah, jika kemudian teks-teks itu beruntung mendapatkan pembaca-pembaca yang baik, maka tidak diperlukan kategori-kategori: “Meleset”, “sudah lama lewat” ataupun “sangat berbeda”. Maka sebagai produk dari suatu upayaiii perumusan yang teliti, dimana teks-teks itu sendiri telah disusun sedemikian rupa, teks telah mampu untuk berbicara bagi dirinya sendiri. Karena teks-teks apapun dapat menyatakan dan menjelaskan diri dengan baik, asal ada sedikit latihan dari pihak pembaca untuk membacanya dengan baik.

Dalam kaitan dengan MMKI, seberapa jauh teks itu hidup?

Teks yang dilahirkan oleh penulis dan dipublikasikan akan mengalami perjalanan jauh dari asalnya, dan ia tidak akan bisa diputar kembali. Ia seperti bayi yang baru lahir, dan semenjak tali pusarnya dipotong, ia mulai perjalanan itu. Ia akan mengarungi waktu, ruang dan kultur yang jadi tempat hidupnya. Boleh jadi, suatu kali ia akan sampai juga di tempat yang jauh dari tahun kelahiran dan konteks pemahaman masyarakat yang berbeda dari tempat ia dilahirkan. Toh apabila suatu kali kepada teks-teks itu dilakukan dekontekstualisasi, dikeluarkan dari konteksnya (sebuah istilah yang kurang enak didengar) teks-teks itu masih juga hidup sekalipun penulis, pendengar dan konteks tempat teks itu lahir sudah tiada. Teks yang baik tentu sudah dirancang harus bekerja sendirian dan dapat berdiri sendiri. Sudah dirancang untuk dapat melampaui konteksnya yang asli. Penulis teks tentu tahu bahwa ia bisa berjalan mengawal teksnya untuk memberikan penjelasan, menghilangkan salah paham dan hal-hal lain yang melingkupinya. Tetapi di sisi lain ia harus meninggalkan produknya bahkan secara radikal supaya teks itu dapat mengurus dirinya sendiri. Dengan ini penulis akan memutuskan untuk melengkapi teksnya agar teks tetap hidup, melalui sarana-sarana, tanda-tanda dan nuansa-nuansa yang mampu bertahan dalam perjalanan waktu. Sekali teks-teks itu dilepaskan, teks-teks itu akan berkelana dalam waktu dan konteks yang senantiasa berubah. Ia berjumpa dengan publik yang senantiasa baru, ia menerima penjelasan lain yang selalu baru, pembaca baru. Terjadi pula nantinya perubahan makna yang diberikan pembaca kepada teks. Kita lantas bisa mengatakan: Teks- teks itu tidak mati, tetap sama dalam perjalanan waktu, tetapi ia selalu berubah: Itulah teks yang hidup ketika dibaca. Ia akan menerima sejarah yang panjang dan isi yang semakin kaya. Ia secara terus menerus mengisi ruang tanda tanya (?) dengan pertanyaan yang senantiasa baru dengan isi yang semakin kaya…

Melihat bahwa teks akan selalu hidup, apakah anda masih bersikeras menyarankan perubahan sosok fisik MMKI dalam tampilannya?

Sebenarnya saya rasa kalau diupayakan tampilan baru, itu secara teknis sangat memungkinkan dan tidak ada persoalan. Tetapi memang perlu kerja keras bak merobah lay-out bangunan. Mengenai hal ini sudah dijawab oleh Nureliv. Misalnya tentang pemisahan catatan kaki: Baginya 97% tulisannya sudah mengandung referensi berupa catatan perut di tubuh esai itu sendiri sisanya 3% tidak mengandung referensi. Pemisahan itu memang kenyamanan baca menurut versi saya sebagai pembaca yang juga tidak mewakili pembaca yang lain. Sebagai pembaca tentu perubahan akal budi akan selalu ada, dan perubahan makna yang diberikan pada teks boleh saja berbeda termasuk tata cara lay-out yang saya sebutkan tadi. Hal itupun boleh jadi tidak menjadi skala prioritas utama, tetapi bagi saya seni membaca adalah ketika penulis melahirkan teks-teksnya justru supaya mereka dapat terus hidup. Sementara di sisi pembaca tidak berusaha menutupinya baikpun dari cakrawala asal usulnya, sebab hal itu akan menjadi pendekatan yang berat sebelah kalau tidak mau dibilang pemerosotan. Memang mengetahui banyak mengenai diri penulis, maksud dan keadaanya itu menarik, tetapi itu bukan hal terpenting. Yang terpenting adalah hal yang dikatakan oleh teks-teks itu sendiri, yakni dunia yang ia munculkan, nilai-nilai yang ia sandang, dan kemudian setelah itu disusul dengan konfrontasi, pengaruh timbal balik, ketegangan dan kadang pertentangan-pertentangan dari semua hal itu dengan kenyataan dan nilai-nilai dari pembacanya. Jika boleh mengutip Riceoeurv, secara harafiah dikatakannya bahwa kekuatan dari hal-hal yang dituliskan itulah yang menggerakkan penulis. Sejatinya penulis teks tertangkap dan terdorong oleh masalah yang ingin ia ungkapkan. Pada sisi yang bersebelahan, pembaca dapat tertangkap dan terdorong oleh hal yang sama. Penulis mendapatkan ilham secara langsung oleh apa yang ingin ia ungkapkan, sementara kenyataan bahwa ia telah mempublikasikan teksnya adalah bukti bahwa ia puas dengan hasil perumusannya. Bila di wilayah ini pembaca cukup memahami cara-cara yang terwujud dalam teks, maka pembaca juga dapat berhubungan langsung dengan apa yang dimaksudkan. Hal ini disebabkan oleh sesuainya daya kekuatan dan arahan dari pengungkapan itu. Dalam pikiran pembaca, setiap kali akan tercipta dunia yang dimunculkan oleh teks. Dunia di sini adalah dunia kata-kata yang muncul dihadapan mata batin kita, sekaligus dunia yang dimunculkan pada masa kini. Jadi kembali ke pertanyaan di atas, apakah saya (sebagai pembaca) bersikeras menyarankan perubahan sosok fisik MMKI dala tampilannya: Jawaban tetap: “ya” tetapi itu bukan yang terpenting, yakni ketika setelah saya selesai membaca dan cukup memahami cara-cara yang terwujud dalam teks.

Jika MMKI adalah subyektivitas Ignas Kleden berhadapan dengan subyektivitas Nurel dan anda kini terlibat sebagai pembaca dengan subyektivitas anda, bagaimana anda menerangkan wahana intersubyektivitas ini?

Sebenarnya keinginan saya sebagai pembaca adalah menempatkan diri terhadap jangkauan historis teks yang disusun dalam buku tersebut, tetapi jangkauan ini tidak terlalu baik jika dibanding dengan daya kekuatan yang diungkapkan oleh teks itu sendiri dan kontak dengan masa kininya. Karena teks hanya hidup di dalam dan oleh proses pemberian makna. Kepada makna teks, kita dapat memberikan ungkapan begini: Pertama, Teks dapat dimengerti (this text make sense). Kedua, Saya mencoba memahami teks ini (We try to make sense of this text). Ungkapan yang pertama tadi berasal dari teks, yaitu subyek yang berbicara dan ungkapan kedua adalah dari subyek yang mendengar dan yang memberi makna yaitu pembaca. Dalam ilmu tafsir/ hermenutik, percakapan kedua sisi ini adalah wahana intersubyektivitas. Saya juga ingin mengatakan bahwa sumbangan produktif dari pembaca masih dapat dikemukakan dari sisi lain: Apabila kita membuka buku, kita tidak lagi bisa bersikap netral, tidak bisa lagi obyektif. Pada saat itu kita sebagai pembaca telah memperlihatkan suatu pertimbangan nilai. Sederhananya: Kita berharap menemukan sesuatu yang berharga dalam buku tersebut. Jadi membaca itu didahului oleh suatu keputusan: Keputusan untuk membaca. Kemudian terjadi proses membaca. Disitulah ada sisi subyektivitas, kerna itulah satu-satunya cara menghidupkan teks. Tentu pembacaan itu tidak berarti untuk bisa berfantasi seenaknya. Bisa saja hal itu dilakukan tetapi hanya merugikan teks. Oleh karena itu selama pembacaan memerlukan sikap menjaga keseimbangan diri secara terus menerus, berusaha untuk mempertanggungjawabkan kecenderungan untuk tidak menyisipkan atau memberi warna dan tekanan yang terlalu banyak dalam bacaan. Dengan kata lain, pembaca perlu mengendalikan subyektivitasnya. Sejujurnya di tahap ini saya sendiri dengan kegemaran saya membaca, agak lama untuk belajar tidak mengingkari subyektivitas semacam itu. Tetapi menurut hemat saya kemudian, kita tidaklah perlu merasa malu karenanya, bahkan sebaliknya justru memanfaatkannya dengan baik demi teks yang dibaca. Demikian pula ketika pertama kali berhadapan dengan MMKI: Wah, ini bacaan berat, begitu kesan awal saya. Ini subyektivitas versus subyektivitas dan harus dibaca dengan subyektivitas lain. Namun dengan niatan yang cukup baik (semelah mbah buyut, kalau pinjam istilah Siwi D Saputro) saya toh mulai membacanya. Dan ketika dibaca, makna-makna di dalamnya akan muncul berkat adanya daya khayal yang kita gunakan dalam menjumpai teks. Keteribatan kitalah yang menciptakan intersubyektivitas, dan dengan demikian aktualitas pesan teks itu tidak lagi menjadi masalah.

Setelah intersubyektivitas itu anda sadar, lantas bagaimana anda menikmati keseluruhan buku MMKI. Saya kira anda tidak menyelesaikan pembacaan buku itu tuntas secara keseluruhan karena waktu baca yang demikian singkat. Tetapi bagaimana anda menggambarkan kejadian pembacaan itu secara keseluruhan?

Memang benar, terlalu berat untuk menyelesaikan MMKI. Saya meloncat-loncat. Sekali lagi saya setuju dengan sinyalemen Sunu Wasono: “Kalau beberapa subyektivitas Nurel tentang penjelajahan dia kemana-mana dalam proses menulis buku itu dihilangkan dan diskursus terhadap karya SCB dibangun lebih kuat maka akan menghasilkan rekomendasi yang lebih mantab”… yang saya tidak sependapat dari catatan Sunu adalah penghilangan riwayat proses menulis buku. Saya lebih sependapat kalau bagian itu direlokasikan ke bagian lain misalnya sebagai lampiran agar kita mendapatkan dua keuntungan sekaligus. Pertama, Diskursus perdebatan tentang karya SCB menjadi lebih fokus. Kedua, Kisah proses menulis buku itu bisa dinikmati dengan ruangnya sendiri yang jauh lebih anggun, karena kisah itu juga menarik. Ada alasan kuat mengapa pertanyaan “Bagaimana tepatnya riwayat teks itu tersusun?” itu pertanyaan yang baik dan berguna dalam menghadapi isi buku. Alasan pertama adalah menasihatkan agar kita tidak secara langsung memberikan jawab atas pertanyaan: “Apa sih isinya?” karena pertanyaan ini menghadapi jebakan yang berbahaya. Bahaya yang pertama dapat digambarkan seperti ini: “Oh ya, saya tahu, saya menangkapnya. Teks itu berisi tentang hal ini dan hal itu”. Itulah jebakan pertama: Kita terlalu yakin telah menemukan makna teks. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah kita menangkap beberapa isyarat dari teks yang dalam batin lantas kita kelompokkan menjadi tema-tema tertentu tetapi tanpa memperhitungkan berbagai isyarat yang belum kita sadari. Selanjutnya, tanpa kita sadari sebagai pembaca yaitu ketika telah dipengaruhi oleh harapan dan prasangka dan pandangan sendiri, Itulah jebakan kedua. Maka adalah sangat bermanfaat bila pembaca belajar secara sadar membongkar gambaran yang dibentuk melalui teks dan kembali kepada keadaan awalnya, atau bersikap sama sekali sebagai pemula dengan memperlakukan teks tanpa rasa curiga. Tentu sebagai pembaca tidaklah mudah bersikap kreatif sekaligus waspada atau benar-benar memahami kecenderungan diri sendiri. Orang yang sangat terbuka sekalipun seringkali gagal dalam hal ini. Maka karena yang kita baca adalah produk literer, konsekwensi yang paling dekat adalah tuntutan mutlak untuk memperlakukan teks-teks itu secara serius dari awal sampai akhir dalam keberadaan literernya, karena makna cerita hanya akan muncul melalui proses percakapan antara pembaca dan teks…. Dari situlah saya membagi MMKI dalam tiga bagian penting yang sebenarnya masing-masing berdiri sendiri: Pertama adalah naskah yang ditulis oleh Ignas Kleden sebagai naskah yang nantinya akan dikritisi oleh Nurel, kedua, naskah yang ditulis oleh Sutardji C Bahri sebagai bagian dari Kritik Ignas Kleden (pun sebagai naskah yang berdiri sendiri milik Sutardji) dan ketiga adalah MMKI yang ditulis oleh Nurel. Maka andai tiga naskah ini masing-masing dibundel dan diletakkan dalam rak buku, saya akan bisa meringkaskan ceritanya: Ignas Kleden memberi apresiasi pada Sutardji, itu ada di buku yang ini. Naskah yang diapresiasi oleh Ignas adalah buku ini, yaitu puisi- puisi Sutardji. Dan kedua buku itu didedah lagi oleh Nurel dalam MMKI, yaitu buku yang ini. Maka suatu ketika jika saja orang berbicara tentang puisi Sutardji, saya bisa bilang: Oh, itu pernah diapresiasi oleh Ignas, dan beberapa tahun kemudian dibedah kembali oleh Nurel.

Ya, tetapi sampai terakhir anda tidak menyinggung sama sekali substansi per bagian dari MMKI. Mengapa begitu? Padahal itu substansi intinya.

Memang saya tidak terlalu berhenti berlarut-larut pada dua puluh lima bagian yang ditulis oleh Nurel. Saya memang berjalan menapaki tiap bagian-bagian, tetapi saya hanya berhenti sejenak di situ. Barangkali disitu saya bisa pinjam istilah Nurel: Abstraksi miring agar menerima jalan-jalan yang ada. Bayangkan pembacaan MMKI ini sebuah perjalanan melalui dua puluh lima stasi. Saya harus berhenti di tiap stasi dan melihat apa yang ada di sana sebelum beranjak berangkat ke stasi berikutnya. Bayangkan juga saya berjalan bersama Nurel melalui stasi-stasi itu, sementara Nurel menceritakan setiap bagian dengan detail, dan saya kewalahan menangkapnya, meskipun ia supah berupaya menceritakan dengan irama yang disesuaikan dengan daya tangkap saya. Dua stasi pertama ia bercerita tentang kata menerobos. Kenyataanya sisa di benak saya tetap kaku dan tak kuncung cair karena di benak saya kata menerobos sepadan dengan “short cut”, menyudet, serupa dengan sudetan sungai Bengawan Solo di daerah Bojonegoro yang disudet supaya aliran air lebih menempuh jalan pendek dan tidak berbahaya bagi luapan air ke desa-desa sekitarnya. Di sinilah, saya menggiring argumen Nurel ke wilayah tanda tanya (?) biarlah suatu kali ada pengertian baru yang “nyungsep” ke benak saya sampai terjadi pencerahan baru. Di dua stasi berikutnya Nurel mempersoalkan kata “upaya” dengan semua argumen kritisnya. Saya tetap saja berkutat pada terjemahan upaya dari kata “effort”. Dan saya giring juga semua argumen Nurel setidaknya dalam dua bagian itu kedalam ranah tanda tanya (?) semoga nantinya juga ada peluang pengertian baru. Bagian enam, Nurel memakai perumpamaan tipuan optis: Kalau sebuah pensil dimasukkan kedalam air, ia nampak bengkok dan nampak lebih pendek, sebagaimana di bagian berikutnya Ia mempersoalkan kekaburan arti (vagueness). Lantas yang ada di benak saya pun saya giring ke wilayah tanda tanya: Kalau begitu, bagaimana dengan musikalisasi puisi? Puisi Taufiq Ismail yang dinyanyikan oleh Bimbo atau Ahmad Albar, yang dengan meriah diikuti para penggemarnya menggemakan sepotong bait syair itu: Mengapa kita bersandiwara? Adakah itu sebuah vagueness? Jika sepotong karya literasi muncul dalam kultur pop, bolehkah?. Kalau puisi SCB dimiring-miringkan lalu meloncat jadi hentakan rap: zz bck zb zb zb dst dst, lantas? Apakah lantas ini yang dibilang oleh Nurel di bagian delapan: Bagaimana Jika intan keluar dari mulut anjing, apakah ia tetap mulia?. Bagaimana pula jika sebuah ungkapan “paribasan” lama: Air Susu dibalas dengan air tuba, diplesetkan menjadi Air susu dibalas dengan Air Asia, karena kemarin saya mentraktir segelas susu dan kawan saya membalasnya dengan membelikan tiket sebuah maskapai penerbangan yang kebetulan namanya pakai air juga. Saya masih tetap berkutat dengan apa yang saya pikir bahwa nenek moyang kita tidak bodoh dengan paribasan. Ungkapan dalam paribasan itu cuma “mrucut”vi dan itu harus dievaluasi, di sunting ulang, bukan untuk mengembalikan kepada genggaman lagi supaya tidak “mrucut ulang” tetapi menghargai proses mrucut yang manusiawi itu sebagai bagian dari proses sebuah sejarahvii. Dalam hal semacam slogan saya pikir budaya nenek moyang cukup “wise/wicaksana” menempatkan katup pelepas, misalnya penempatan “punakawan” pada repertoir wayang kulit semalam suntuk pada wilayah adegan khusus yang disebut “goro-goro”. Wajah-wajah para panakawan yang bermuka “ngguyokna” dan dialog mereka adalah perwakilan argumentatif terhadap apa yang ditulis Nurel pada bagian sepuluhviii. Ia bukan “Nrimo ing pandum” tetapi justru mengapresiasi keadaan sesuai dengan posisi dan kodratnya sebagai punakawan (baca: rakyat kebanyakan). Semua itu tetap saya giring ke wilayah anda tanya (?)

Sampai di Bagian Duabelas, saya harus berhenti di sini. Karena saya temukan apa yang jadi pikiran Nurel: Dugaa-dugaan awal yang sudi didialogkan. MMKI tidak berhenti di sini. Pengelanaan ini sampai di wilayah tanda tanya (?) seperti saya usulkan sebagai judul catatan saya ini. Bagian yang menarik dan membutuhkan pembacaan tersendiri (Bagian 20 sampai dengan 24) membutuhkan frekuensi batin yang lebih tenang untuk dapat dibaca kembali, selain juga pengalaman-pengalaman batin yang membutuhkan keseimbangan saya sebagai pembaca dan “timeline” yakni waktunya untuk perwahyuan teks-teks itu bisa “kawedar” lebih dalam. (Bagian 20 dan 23). Dan harap bersabar karena bagian itu bukan bacaan “biasa”…. ***

Menutup catatan ini, saya ingin sampaikan bahwa sebagai pembaca (mudah-mudahan sebagai pembaca yang baik), sedikit banyak saya meniru penulis MMKI dengan cara menyukai bahasanya dan menggumulinya selama beberapa hari. Bagi saya, ini sebuah kesenangan memecahkan teka-teki pada sebuah bacaan. Mungkin saja saya tidak dapat menikmati seluruh keindahan MMKI, tetapi tentu tidak akan berakibat fatal seandainya tetap dibuka “Wilayah Tanda Tanya (?)” sebagaimana usulan saya. Tentu tidak sepenuhnya saya memahami dan memberi makna yang tepat pada teks yang tersebar di sekujur MMKI, namun saya percaya bahwa seluruh teks MMKI telah disusun sedemikian rupa untuk menyampaikan pesannya tersendiri. Dan jika tidak berhenti atau semakin berupaya memahami bagaimana, sarana-sarana apa saja yang dipakai, maka kita akan semakin melihat struktur, teknik dan menembusnya ke dalam. Demikianlah harapan….

Wassalam
Noe – Depok, Tanah Baru 2104/2018

Catatan Akhir/ End Notes:

i Siwi D Saputro, Dari Yang Terekam Di Acara Bedah Buku Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia : Sebuah Catatan Tengah; Facebook 18 April 2018

ii MMKI halaman 63, paragraf 3

iii Nurel tidak begitu berkenan dengan istilah upaya, ia membenturkannya dengan istilah: Semangat atau perjuangan. MMKI halaman 20 paragraf 1 atau halaman 24, paragraf 5. Saya tetap memakai istilah “upaya” atas padanan terjemahan dari effort (Inggris)

iv Pada: Lamunan ke Brunel University ataukah di UI; Nurel Javissyarqi FB 19/04/2018

v Jean Paul Gustave Ricoeur (1913-2005) Phenomenology & Hermeneutic – “Paul Ricœur”. Inamori Foundation. Archived from the original on 23 May 2013. Retrieved 15 December 2012.

vi Tak sengaja lepas dari genggaman

vii  MMKI halaman 40 paragraf 1

viii  MMKI halaman 47 paragraf 2

Catatan sebelumnya http://sastra-indonesia.com/2018/04/catatan-dari-seorang-pembaca-mmki/

Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia di Kelas GSB Sabena Jogja

$
0
0

MEMBONGKAR MITOS KESUSASTRAAN INDONESIA DI GSB
Awalludin GD Mualif

Gerakan Surah Buku (GSB) bersama Nurel Javissyarqi
Tanggal 27-28 April 2018, Pukul 21.00-03.00 WIB
Kelas GSB Sabena Jl. Taman Siswa
No: 13 a, Wirogunan, Yogyakarta.


Susastera, sebagai jagat dari tumbuh kembangnya kata-kata; dia selalu meruangi setiap pikir dan rasa manusia. Kata-kata, bisa berfungsi sebagai media komunikasi antar sesama, dapat pula bagi penyampai ideologi, dakwah, kritik, dan sebagainya.

Malam sabtu kemarin, saya menyempatkan datang ke salah satu komunitas anak muda di Yogyakarta, yang memiliki ghirah merawat kata-kata dengan cara mereka sendiri, tepatnya Pukul 23.30 Wib. Saya kira, Surah Buku yang di pandegani Pak Is, (begitulah kawan-kawan surah memanggilnya; Tu-ngang Iskandar) sudah usai, namun dugaan saya salah. Ternyata di jam-jam itu, suasana “Gerakan Surau Buku” sedang hangat-hangatnya.

Nurel Javissyarqi sebagai penulis buku MMKI, menjadi nara sumber utama. Dengan gayanya yang khas, dia membabar isi buku yang ditulisnya. Beberapa nama besar di jagat kesusastraan Indonesia, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Sapardi Djoko Damono, Dami N. Toda, Taufiq Ismail, dan lain-lain, dia kritik, dikarena kesalahan-kesalahannya yang dianggap mencederai dunia susastra dan fatal. Setidaknya itulah yang dia paparkan.

Tentu saja, tensi suhu sekitar “Surau Buku” semakin malam menuju dini hari kian menghangat mendekati panas, karena tidak sedikit dari kawan-kawan muda Yogya yang mendamba iba bisa seperti para penyair senior. Wal hasil, busur-busur tanya dari gandewa resah menghujani Nurel silih berganti. Dialektika pun terbangun.

Sebagian besar tanya mereka seputar; “Apa dan dimana letak kesalahan dari para penyair yang Nurel kritik,” “Berapa lama menyelesaikan buku ini,” “Teknik penulisan seperti apa yang Nurel pakai, sampai pada menggunakan teori apa,” “Dan mengapa, enam paragraf dari eseinya Ignas Kleden dijadikan lima ratus halaman, bukankah hal itu buang-buang peluru.”

Di antara busur-busur tanya yang terus saja menghujani Nurel, sepertinya terselip busur ‘Pasopati’ dari salah seorang pecinta penyair yang Nurel kritik itu, nun melesak kencang menghantam, namun Nurel Javissyarqi tetap selamat dari senjata pusaka Arjuna tersebut.

Dalam situasi serupa itu, ajang pembacaan puisi menjelma pendingin suhu. Dan beberapa kawan membacakan karya puisinya. Suasana pun agak meredah. Selepas itu, diskusi dimulai lagi. Pada session ba’da pembacaan puisi, suasana masih menghangat, tetapi kehangatan yang meruangi, bukan lagi kehangatan yang mengancam Nurel, namun berganti menjadi decak kagum, entah.

Jarum jam telah menunjukkan Pukul 02.45 Wib, GBS pun harus disudai. Para audiens dan nara sumber pun mulai lelah, lalu yang tersisa hanyalah resah. Di penghujung acara semalam, Nurel menutupnya dengan membacakan puisi yang dia abdikan sebagai mahar pernikahannya. Setelah itu, kami semua kembali ke dalam jagat kata masing-masing.

Keterangan foto: group WA
GSB @hendrikemul, @kirno
Salam kopi Hitam, 28 April 2018.

Ungkap Tu-ngang Iskandar; “Barangkali ya, selain ruang berdialektika, di kelas Gerakan Surah Buku (GSB) Sabena juga tempat bertamasya. Maka setiap kali berlangsung surah, kita los stang, berbicara merdeka sambil haha hihi, hingga akhirnya kita sadar, bahwa subuh telah tiba.”
***

Bangkitlah Manusia si Pemikir dari Aceh (homo sapiens dari Aceh)!

$
0
0

Tu-ngang Iskandar


Menceritakan tentang Aceh di hadapan kawan-kawan mahasiswa Aceh di Yogyakarta adalah suatu malu tersendiri bagi saya. Karena saya yakin bahwa pemuda-pemudi yang belajar ke luar Aceh telah membekali dirinya dengan identitas yang mapan tentang keAcehan, setidaknya pengetahuan yang cukup tentang realitas yang terjadi di Aceh saat ini, sebelum kemudian menunjukkan diri di hadapan oran-orang dari berbagai penjuru lain dan menyampaikan sesuatu tentang Aceh.

Walau sejujurnya saya juga ikut khawatir dalam berpikiran seperti di atas, karena sangat mungkin juga bahwa yang hadir di sini adalah kepala-kepala boh leupieng (kelapa yang dilobangi tupai atau yang labil berpegang pada tangkainya), yang hanya melakukan prosesi belajar karena di dorong oleh gaya-gayaan semata, agar dianggap keren dari kampung halamannya, agar dilihat sebagai orang yang memiliki pikiran atau otak. Namun pada kenyataannya hanyalah tengkorak tanpa isi, yang sangat mudah dimasuki oleh berbagai angin jahat dan liar dari tempat-tempat sampah, hingga tidak mampu mendeteksi dirinya sendiri sebagai manusia si pemikir (homo sapiens), dan lebih layak ditendang ke sana ke mari seperti halnya bolaboh leupieng.

Manusia si pemikir dari Aceh (homo sapiens Aceh), menjadi harapan terakhir masyarakat Aceh atas berbagai kehancuran di Aceh, baik yang telah terjadi maupun yang sedang berlangsusng. Bahwa tiada jalan lain yang harus ditempuh untuk mengangkat orang Aceh ke tempat yang lebih menjanjikan, kecuali dengan sebuah kecerdasan dan kebijaksanaan (hasil berfikir) yang mapan. Apalagi kaum berpendidikan, yang jelas harus menggunakan otaknya itu untuk mengubah keadaan buruk menjadi baik, dan bukankah otak kita itu tidak sekedar untuk mengisi ruang kosong dalam tempurung kepala kita? Maka gunakanlah.

Pengembangan berfikir tentu bisa diukur dari cara kita bersikap terhadap lingkungan atau reaksi untuk berbagai ilmu pengetahuan yang terdapat di sekitar kita. Kepekaan terhadap sumber-sumber ilmu yang bergerak seperti dari pergaulan sosial ataupun dari sumber-sumber tetap lain seperti buku-buku sangat berpengaruh dalam mengasah berfikir dan membentuk karakter diri. Seseorang yang hanya menghabiskan waktu dengan bermain game di tempat tidur sehabis pulang kuliah tentu akan berbeda tingkat intelektualnya dibandingkan dengan orang yang memilih bergaul sambil berdiskusi tentang berbagai hal. Begitupun dengan orang-orang yang hanya sibuk bergaul, tanpa menyempatkan diri membaca buku-buku penting. Kenyataan bahwa orang-orang terbaik selalu muncul dibalik meja-meja diskusi dan rak buku.

Melakukan proses berfikir adalah juga suatu cara dalam membersihkan kabut tebal yang ada dalam kepala kita sendiri. Belajar adalah tentang suatu jalan yang kita tempuh dalam rangka menggapai pikiran kita yang utuh. Berbagai motivasi belajar jangan sampai menghapus berbagai hal penting yang ingin kita gapai di dunia ini. Karena seringkali kesia-siaan dalam berjuang itu muncul ketika dalam melakukan proses, motivasinya adalah bersifat badani dan personal semata. Makanan yang enak, pakaian mahal lagi bermerk, perempuan yang banyak, mobil dan rumah mewah, hiburan yang gemerlap, ketenaran,kekuasanan, atau uang yang melimpah, merupakan orientasi dari proses belajar yang kita tempuh ini. Orientasi yang menganggap bahwa kesempurnaan hidup atau kemerdekaan terletak pada kenikmatan badani itu telah berlaku pada pendahulu kita, dan sangat mungkin itu pun bisa terjadi pada kita, ketika kita dibutakan dengan kabut di dalam hati dan pikiran.

Merefleksikan itu semua, mari kita mundur sejenak menuju 1000 Tahun Sebelum Masehi (SM), di mana kesadaran besar telah muncul setelah kenikmatan yang sifatnya badani itu tidak mampu membuktikan apa-apa tentang kesempurnaan atau kemerdekaan hidup. Kesadaran itu terjadi pada orang Yunani, sebuah bangsa yang pada awalnya hanya menghabiskan hidup dengan meminum anggur, bermain perempuan, menikmati tarian perangsang birahi, menyanyi lagu-lagu yang dapat menyenangkan, dan berolahraga untuk tetap bisa menikmati kelezatan yang ternyata semu itu. Beruntunglah mereka, fajar kemudian menjemput, untuk beranjak dari kebodohan itu semua. Lalu ahli-ahli filsafat dan sejarah Yunani pun menulis buku-buku, menggubah seni-seni menjadi mencerahkan, dan muncul di mimbar-mimbar untuk berpidato. Di mana menjadi guru bagi sesamanya adalah jalan awal yang mereka tempuh, seperti halnya Jepang setelah bom Hiroshima. Sekarang, bukankah kita pun telah mengenal nama-nama besar yang mendunia dari Yunani, lewat pemikirannya yang mencerahkan, seperti Plato, Aristoteles, Socrates, Homerus, Aristophanes, Aeschylus, Thucydides, dan masih banyak lainnya.

Kesadaran puncak dalam menuju kesempurnaan hidup seperti yang ditunjukkan bangsa Yunani bukankah pernah juga dibuktikan oleh bangsa Aceh di masa lalu? Itu bisa kita lihat dari hadirnya kitab-kitab buatan ulama Aceh sampai ke pelosok-pelosok di Asia Tenggara, melalui hikayat-hikayat yang bisa membangunkan lelaki-lelaki Aceh dari empuknya kasur dan hangatnya pelukan istri untuk menuju medan tempur penuh sakit dan darah, lewat hadihmaja-hadihmaja yang sampai sekarang masih relevan diikuti, dan berbagai jenis ukiran-ukiran indah yang dapat mencerahkan seperti yang terdapat di batu-batu nisan Aceh.

Betapa besarnya pengaruh berfikir, hingga mampu merubah sebuah tatanan dunia. Lalu apakah selama ini kita membudayakan berfikir? atau setidaknya belajar cara berfikir? itu semua adalah pertanyaan yang seharusnya muncul pada diri yang mengaku sebagai kaum intelektual seperti mahasiswa. Berfikir memang selalu muncul ketika kita sedang menghadapi masalah. Tapi apakah otak kita terlalu kecil untuk menampung berbagai persoalan yang menyelimuti masyarakat banyak, hingga hanya mampu mendeteksi persoalan kita sendiri untuk dipikirkan dan diselesaikan sendiri. Ini terletak pada sejauhmana kebinatangan personal itu mampu kita taklukkan sendiri, lalu maju lebih jauh ke dalam sisi kemanusiaan.

Aceh Butuh Dipikirkan

Sebagaimana bangsa lainnya yang kita akui keberadaannya karena berfikir, bangsa Aceh juga harus mampu bangkit untuk menunjukkan bahwa Aceh itu masih “ada” dan bukan hanya sebagai nama dari salah satu provinsi di Indonesia, bukan juga karena di sana dengan mudahnya tumbuh ganja, bukan pula karena orang Aceh mampu berperang puluhan tahun lamanya, dan bukan juga karena tsunami pernah menghantam negeri paling barat Pulau Sumatra itu, melainkan “adanya” karena “Aceh itu berfikir”, seperti kata-kata yang dilontarkan oleh Rene Descartes, seorang filsuf ternama dari Perancis, yang berbunyi; “aku berfikir maka aku ada” (Latin: cogito ergo sum).

Memikirkan Aceh tentunya bisa dari manapun, termasuk dari balik Gunung Merapi ini sekalipun. Aceh layaklah kita pikirkan atau jika lebih hinanya kita dikasihani, sebagaimana seorang tua renta yang sedang mengemis untuk menunggu dipulihkan rasa sakitnya. Bukankah tidak ada tangan, hati, dan pikiran yang lebih dekat dengan Aceh selain anaknya sendiri? Itu adalah kita, “anak Aceh”. Sebagai anak Aceh, kita tidak sekedar dituntut untuk punya rasa tanggungjawab yang lebih, namun juga harus memiliki “rohnya Aceh”, sebagai identitas; seperti ketangguhan dalam mental, keteguhan dalam mempertahankan kebenaran, dan kesetiaan pada perintah Tuhan. Dan selama kita mempunyai ilmu, ditambah dengan iman, tidak mungkin kebodohan yang bersenjata dan kelaliman yang kuat itu menang. Yang dibutuhkan adalah saling mendukung dan bukan melakukan pembunuhan karakter atau saling menekan kemajuan sesama. Orang-orang terdekat harus menjadi pendorong dan guru yang baik dalam proses belajar atau untuk menuju kesuksesan di berbagai bidang. Bukankah kehebatan orang Aceh sedemikian dikenal ketika menjadi guru bagi orang-orang di Nusantara ini tempo waktu? yaitu dengan mendidik orang-orang yang kelak sebagai cikal bakal hadirnya Wali Songo di Pulau Jawa.

Berfikir Lewat Organisasi Nyata

Khususnya di Yogyakarta, ratusan mahasiswa dari berbagai penjuru Aceh berdatangan ke sini tiap tahunnya. Memang, menuntut ilmu di perguruan tinggi adalah salah satu tujuan utama. Namun yang tidak kalah pentingnya adalah memiliki kesadaran dalam mengembangkan diri lewat berorganisasi dan bergaul dengan orang-orang berfikiran lain dari berbagai tempat. Organisasi adalah salah satu ruang terpenting dalam membangun mental kepemimpinan. Sesuatu yang tanpaknya semakin tidak perlu untuk dijalani bagi mahasiswa yang berduniakan layar gesek seperti sekarang ini. Di mana bagi mereka, berorganisasi mungkin cukup dengan membuat grup pada media sosial, dengan program membagi-bagikan tautan semacam “apam keubeue” tiap semenit sekali.

Ya, kita memang tidak butuh orang-orang yang pikirannya sekaku itu, yang mengagungkan teknologi, namun merendahkan pikiran, hati, dan segenap tubuh, yang telah sejak sekian lama menjadi ibu dari segala kelahiran benda-benda canggih di muka bumi. Kita harus bergerak lebih jauh untuk mengalaminya sendiri, dengan segenap jiwa-raga, dalam membangun diri ini senyata mungkin, yang bisa ditempuh lewat berorganisasi atau bersosialisasi dengan orang-orang cerdas dan bijak. Karena tidak mungkin juga merasakan atmosfir kota pendidikan ini hanya lewat jendela kampus, tempat tidur dan kamar mandi. Semuanya harus dialami, dirasakan, atau dinikmati. Itu sebelum waktu menjemput kita pulang dan kemudian mempertanggungjawabkan segala yang pernah kita dapatkan di sini.

Belajar berorganisasi atau bersosialisasi tidak juga dengan mendirikan berbagai macam perkumpulan baru tanpa aktifitas seperti yang banyak terjadi belakangan ini. Kita bisa belajar dari organisasi nyata yang telah lebih dulu mumpuni, dan tidak bisa lewat organisasi kampung yang kita bangun tadi sore. Karena bukankah tujuan kita berorganisasi itu untuk mengenal orang lain yang belum kita kenal dan belajar banyak dari mereka?

Di Yogyakarta, terdapat satu organisasi besar yang menaungi berbagai perkumpulan lain, baik yang berasal dari kabupaten maupun kampus-kampus. Ia adalah Taman Pelajar Aceh (TPA), organisasi yang telah lama menjadi saksi dan berperan penting atas lahirnya intelektual-intelektual di Aceh. Di sinilah kawan-kawan bisa saling mengasah kemampuan diri, berorganisasi untuk menyatukan Aceh yang tanpa sekat suku-suku, dan belajar lebih jauh untuk memahami dunia dengan identitas yang mumpuni. Akhirnya, semua hanya bisa ditempuh dengan berfikir dan melakukan apapun senyata mungkin. Selamat mengalami.

[Tulisan ini adalah materi yang dikeluarkan Tu-ngang Institut pada tanggal 19 Desember 2015, dalam acara Malam Keakraban mahasiswa Aceh di Yogyakarta, yang diadakan Taman Pelajar Aceh (TPA) Yogyakarta]
http://mrfailusuf.blogspot.co.id/2016/03/bangkitlah-manusia-si-pemikir-dari-aceh.html

BUKU : ESAI DAN KRITIK SASTRA

$
0
0

Sepilihan Esai & Kritik Sastra
Copyright © Pusat Pembinaan
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Cetakan Pertama, Juli 2017
ISBN: 978-602-6447-29-6
KURATOR/ EDITOR: MAMAN S MAHAYANA
PERANCANG SAMPUL: ARIMUKTI WARDOYO ADI
PENATA LETAK: CYPRIANUS JAYA NAPIUN

Diterbitkan oleh Pusat Pembinaan
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Jakarta dengan Kosa Kata Kita

Hak Cipta dilindungi oleh Undang-undang. Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis

Daftar Isi:

SAMBUTAN
Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
– Prof. Dr. Dadang Sunendar, M.Hum.

PENGANTAR
Kepala Pusat Pembinaan Badan Pengembangan
dan Pembinaan Bahasa – Gufran A. Ibrahim

KATA PENGANTAR MAMAN S MAHAYANA

DAFTAR ESAI

1. Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru: Sutan Takdir Alisjahbana
2. Persatuan Indonesia: Sanusi Pane
3. Kesusastraan dan Rakyat: Sutan Sjahrir
4. Kritik Ukuran Sendiri: J.E. Tatengkeng
5. Membuat Sajak Melihat Lukisan: Chairil Anwar
6. Peranan Balai Pustaka dalam Perkembangan Bahasa Indonesia: Nur St. Iskandar
7. Pembahasan Orang-Orang yang Kenes: Asrul Sani
8. Mengapa Konfrontasi: Sudjatmiko
9. Arah Seni Berisi: Sekitar Soal :Tendens”: Bojoeng Saleh
10. Mencari Tokoh bagi Roman: Iwan Simatupang
11. Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia: Pramoedya Ananta Toer
12. Proses Lahirnya Manifes Kebudayaan: D.S. Moeljanto
13. Universalitas Daripada “Humanisme Universal”: Bur Rasuanto
14. “Kakaren” Simposium Kritik Sastra: Achdiat Kartamihardja
15. Tuhan, Imajinasi dan Kebebasan Mencipta: HB Jassin
16. Eros dan Sastra: D.A Peransi
17. Proses Pendangkalan dalam Pemikiran Sastra Kini: Wiramo Soekito
18. Imajinasi, Observasi dan Intuisi pada Cerpen “Langit Makin Mendung”: Bahrum Rangkuti
19. Penyair Sebagai Bendahara Sabda: Dick Hartoko
20. Romantisisme dalam Sastra Indonesia: Boen S. Oemarjati
21. Kritik Sastra Indonesia Mencari Kambing Hitam: Dami N. Toda

Sambutan: Sastra Indonesia Berfungsi sebagai Peneguh Jati Diri Bangsa

Sastra tidak lahir dari kekosongan. Ia ada, tumbuh, dan berkembang sebagai hasil kreativitas penulisnya melalui pemikiran, pengalaman, dan penghayatannya terhadap realitas kehidupan sosial. Oleh karena itu, sastra juga sering dianggap sebagai cermin kehidupan masyarakat. Dalam lingkup yang lebih luas, sastra juga menjadi simbol peradaban suatu bangsa.

Sebagai bagian dari kekayaan budaya bangsa, sastra Indonesia diharapkan dapat berfungsi sebagai peneguh jati diri bangsa dan solidaritas kemanusiaan. Untuk mendukung hal itu, kami menyambut dengan gembira terbitnya antologi ini.

Mudah-mudahan hadirnya antologi ini dapat menjawab kerinduan masyarakat akan adanya bahan bacaan yang bermutu dan sekaligus dapat menjadi rujukan yang memadai dalam bidang kesastraan. Selain itu, kami juga berharap agar antologi ini mampu menginspirasi lahirnya karya-karya sastra baru yang tidak kalah dari segi mutunya.
Antologi ini juga diharapkan menjadi bahan bacaan bagi pelaksana Gerakan Literasi Nasional sekaligus sumber penting pengembangan pendidikan karakter yang sedang digiatkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Jakarta, Juni 2017

Prof. Dr. Dadang Sunendar, M.Hum.
Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa

Pengantar : Sastra untuk Gerakan Literasi Nasional

Ada dua rekomendasi penting yang dihasilkan Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia (Munsi) I tahun 2016 lalu. Dua rekomendasi tersebut adalah perlunya pelaksanaan Munsi II di tahun 2017 dan perlunya penerbitan antologi puisi, cerpen, dan esai sastra, termasuk karya sastrawan peserta Munsi I.

Kedua rekomendasi tersebut telah terealisasi pada tahun 2017 ini. Pertama, penyelenggaraan kegiatan Munsi II tahun 2017, yaitu diskusi sastrawan tentang peran sastra dalam perawatan kebinekaan Indonesia dan, kedua, peluncuran antologi puisi, cerpen, serta esai sastra. Diskusi sastra merupakan cara penting para sastrawan se-Indonesia menyampaikan pemikirannya terkait dengan upaya pembangunan karakter anak bangsa yang berorientasi pada penghargaan dan penghormatan atas kebinekaan, suatu kecakapan hidup warga yang akhir-akhir ini menjadi masalah serius dalam bangunan keindonesiaan kita. Sementara itu, penerbitan dan peluncuran antologi puisi, cerpen, serta esai sastra adalah salah satu cara penguatan pembelajaran sastra di sekolah melalui penyediaan bahan bacaan sastra yang memadai.

Penerbitan dan peluncuran karya sastra atas kerja sama Pusat Pembinaan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan penerbit Kosa Kata Kita, bersamaan dengan Munsi II tahun 2017 menjadi sangat penting ketika kita menemukan fakta bahwa karya-karya sastra bermutu tidak selalu tersedia secara memadai di sekolah-sekolah di seluruh Indonesia. Bahkan, ihwal penyediaan antologi karya sastra ini menjadi semakin penting manakala kita mengetahui bahwa sejak Gerakan Literasi Nasional (GLN) diluncurkan Kemendikbud tahun 2015, hingga kini, soal ketersediaan bahan bacaan, termasuk bacaan sastra, masih menjadi masalah mendasar yang belum teratasi. Padahal, syarat dasar bagi pelaksanaan pembiasaan membaca sebagai langkah mula-mula GLN adalah ketersediaan bahan bacaan yang memadai.

Dalam kerangka penyediaan bahan bacaan GLN inilah, Munsi II tahun 2017 ingin memberikan oleh-oleh karya sastra klasik—puisi, cerpen, dan esai sastra—sastrawan ternama dalam edar sastra Indonesia serta puisi terpilih peserta Munsi I 2016. Dua “kategori” antologi ini diharap bisa membentang “lautan waktu”—meminjam istilah penilai dan penyelaras antologi ini—kepengarangan lintas-generasi sastrawan Indonesia, suatu hal penting dalam peta kemajuan dan pemajuan sastra Indonesia.

Tentu saja, antologi ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangsih bagi dua hal penting tentang sastra dan literasi membaca. Pertama, mendaras linimasa kebersastraan sastrawan ternama Indonesia agar anak-anak sekolah punya kesempatan menapaki karya-karya bermutu dalam pembiasaan dan pembisaan membaca karya-karya hebat. Kedua, memperkenalkan sastrawan yang datang kemudian dengan karya-karya yang menandai semangat zamannya.

Selamat ber-Munsi II 2017. Ambillah tugas pembangunan jiwa bangsa melalui penguatan pembelajaran sastra di sekolah dengan cara gerakan membaca “satu bulan satu karya sastra bermutu” dan pembaruan model pembelajaran apresiasi sastra.

Jakarta, Juni 2017.

Gufran A. Ibrahim
Kepala Pusat Pembinaan
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa

Bersambung…
Postingan : http://sastra-indonesia.com (http://pustakapujangga.com)

Viewing all 2226 articles
Browse latest View live