Quantcast
Channel: Sastra-Indonesia.com
Viewing all 2226 articles
Browse latest View live

Tuhan, Imajinasi Manusia, dan Kebebasan Mencipta

$
0
0

H.B. Jassin

SIFAT 20 menyebutkan bahwa Tuhan Melihat. –Apakah Ia punya Mata? Tuhan Mendengar. –Apakah Ia punya Mulut? Punya Lidah? –Kalau Tuhan bisa murka sebagaimana dikatakan dalam Al-Quran, mengapa Ia tidak bisa Tersenyum atau Tertawa?

Tidak! Tidak semua itu!! Apa pun pertanyaan kita dan apa pun jawaban kita, senantiasa Ia lebih dari mempunyai sifat dan keadaan yang bisa kita gambarkan. Ia adalah Mukhalafat lil hawadith, beda dari segala yang baru.

Tuhan terlalu Besar untuk bisa dimengerti. Kita hanya dapat menggambarkan-Nya dengan kemampuan kita masing-masing dan kita tahu bahwa gambar itu bukan Tuhan. Tetapi sebagai manusia pencari, kita mau menggambarkan-Nya juga, seperti kata Amir Hamzah:

Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa

Maka apabila seorang pengarang atau seorang pelukis menggambarakan Tuhan dengan kata-kata, dengan lukisan, ataupun dengan patung, dia tahu bahwa itu bukanlah Tuhan, tapi Ide Ketuhanan. Demikian pula orang lain, umat yang melihat, mereka tahu bahwa itu bukanlah Tuhan, tapi ide Ketuhanan.

“Untuk melihat pekerjaan Tuhan, lihatlah pekerjaan diri sendiri,” kata penyair Rumi. [1] Tentulah bukan maksud Rumi hendak menghina Tuhan dengan ucapan ini.

Larangan untuk “mempersonifikasikan” Tuhan, sekalipun hanya dalam imajinasi, sama dengan meniadakan Tuhan dalam hati sanubari kita.

Jangankan Kenyataan Tuhan, kenyataan manusia saja pun tidak dapat dicakup oleh manusia. Tatkala seorang pengarang membuat sebuah novel tentang diri saya, [2] saya tidak merasa bahwa pengarang itu telah berhasil melukiskan seluruh eksistensi diri saya dan meskipun ada sudut-sudut negatif yang disorotinya, saya tidak merasa terkena, karena pandangan itu adalah pandangan dari sudut si pengarang belaka. Saya merasa lebih tahu dan dapat mempertanggungjawabkan apa yang dianggap sebagai kesalahan saya dari sudut yang baik. Dan saya tidak perlu marah, karena bagaimana pun juga, suatu hasil karya adalah hasil imajinasi artistik yang tidak identik sama dengan kenyataan objektif.

Dengan demikian saya pun tidak berpendapat bahwa Tuhan menjadi murka, karena manusia masing-masing mempunyai tanggapan yang terbatas mengenai Zat-Nya yang tidak tersebut dan tidak terbayangkan secara lengkap apalagi sempurna. Zat-Nya yang entah berapa dimensional hanya kita tanggapi dengan pikiran kita sebagai manusia yang tiga dimensional.

Orang menguatirkan apabila tuhan digambarkan dengan sifat-sifat manusia, mungkin orang akan terlalu meremehkan-Nya. Misalnya Ia digambarkan pilek (selesma), sakit keras atau mungkin juga mati. –Zat yang Maha Tinggi tak mungkin mati dan Ia tidak mati meskipun orang seribu kali mengatakan Ia telah mati. Mati hanyalah pengertian dalam benak si pengarang, atau dalam arti yang lain sebagaimana matinya-Nietzsche ialah Ide Ketuhanan dalam hati manusia yang memperalat Tuhan untuk kepentingan dirinya sendiri.

Beberapa tahun yang lalu saya bercakap-cakap dengan seorang pelukis yang mengatakan bahwa ia merasa tertekan jiwanya karena tidak leluasa dapat mengekspresikan dirinya dengan lukisan akibat larangan dalam agama. Ia pun ingin mengembangkan bakatnya dalam seni pahat, tapi senantiasa ia terbentur pada orang-orang yang melarang pemahaman bentuk benda yang bernyawa, baik manusia maupun binatang.

Saya kira seniman-seniman Barat dalam hal ini mempunyai kebebasan yang lebih besar dan sejarah nabi-nabi menjadi sumber yang tak kering-keringnya bagi imajinasi seniman-seniman Barat yang kaya. Mereka menggambarkan kelebihan Nabi Isa, peristiwa-peristiwa dalam perjalanan hidupnya menyebarkan cinta kasih sampai-sampai kepada kematiannya yang penuh pengorbanan dan penderitaan. Mereka dalam imajinasinya menghayati kembali perjalanan hidup nabinya dan orang yang melihat karya-karya mereka pun dapat merasakan kembali suasana pengabdian yang tulus dan ikhlas itu. Dengan demikian agama dan Ketuhanan bukan sesuatu yang berada di luar diri, tetapi dihayati dengan badan dan jiwa.

Malahan Tuhan digambarkan sebagai orang tua yang turun dari awan-gemawan membawa seorang bayi yang akan dititiskannya ke dalam rahim gadis bernama Maria yang sedang lelap tidur di bumi. Si pelukis pastilah tahu bahwa yang digambarkannya itu bukanlah Jeus yang pernah hidup dan bukan pula Tuhan yang lain dari segala yang lain, tapi ide abstrak yang diaktualisasikan supaya dimengerti oleh manusia.

Dalam tahun 1948 timbul heboh karena sebuah sandiwara radio Bahrum Rangkuti –sekarang Kepala Pusroh Angkatan Laut Republik Indonesia-berjudul Sinar Memancar dari Jabal An-Nur di mana ditampilkan adegan Nabi Muhammad menerima wahyu yang pertama di Gua Hira melalui mikrofon. Rapat raksasa diadakan di mana-mana sebagai protes, karena peristiwa itu dianggap sebagai penghinaan terhadap agama dan Rasulullah. Tapi tatkala drama itu juga dimuat dalam majalah,[3] tidak ada reaksi apa-apa

Disayangkan bahwa dalam polemik yang terjadi tidak dikemukakan alasan-alasan ilmiah berdasarkan ayat-ayat Al-Quran dan hadis, pun tidak dicoba dimengerti persoalan dari sudut perkembangan teknik modern dan ilmu jiwa masyarakat yang dinamis.

Pengarang Di Bawah Lindungan Ka’bah pun pernah diserang karena ia sebagai ulama mengarang roman-roman yang bertemakan percintaan. Padahal melalui roman pun pengarang dapat menjalinkan pikiran yang tinggi-tinggi dan mulia-mulia dan dengan demikian mengisi jiwa manusia.

Kita telah menikmati film-film dari Barat menceritakan perjalanan hidup Nabi-nabi seperti Quo Vadis, King of Kings, The Ten Commandments, Buddha. Dalam Quo Vadis diperlihatkan bagaimana Nabi Isa as. Menyebarkan ajarannya dengan berbagai penderitaan. Dalam The Ten Commandments bagaimana Nabi Musa as. menerima wahyu yang pertama dari Tuhan dan mukjizat Tuhan membelah Laut Merah jadi dua untuk memberi jalan kepada pelarian kaum Yahudi menyelamatkan diri dari kejaran tentara Fir’aun.

Dan kita bertanya kapankah para sineas Indonesia memfilmkan pula peristiwa-peristiwa bersejarah dalam Al-Quran dan sejarah gemilang kerajaan-kerajaan Islam dalam masa jayanya?

Kebebasan mencipta adalah soal yang penting dipikirkan dan disadari oleh para seniman, terutama seniman muda yang hendak mengabdikan seninya sebagai dakwah agama. Dan ini perlu dibicarakan dalam tingkat yang lebih tinggi dan iklim yang jernih, lepas dari emosi yang berkobar-kobar dan meluap-luap.

Socrates telah dipaksa minum racun karena ia dianggap berbahaya mengajarkan cara berpikir yang logis dialektis kepada para pemuda dalam mencari kebenaran. Ia dihukum oleh orang-orang yang takut akan kebenaran. Tapi kebenaran tidak turut binasa bersamanya.

Jakarta, 11 November 1968

[Horison, Tahun II No.11, November 1968]

[1] Menurut Oemar Amin Hoesin, Gelanggang Sastra, Jakarta, Penerbitan Pustaka Islam (1953), muka 48.

[2] Idrus, Perempuan dan Kebangsaan, majalah Indonesia, tahun I No.4, Mei 1949.

[3] Indonesia, Tahun I No. 6, Juli 1949.

Tulisan sebelumnya: http://sastra-indonesia.com/2020/02/kakaren-simposium-kritik-sastra/

Sepilihan Esai & Kritik Sastra, Copyright © Pusat Pembinaan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Cetakan Pertama, Juli 2017, ISBN: 978-602-6447-29-6, KURATOR/ EDITOR: MAMAN S MAHAYANA, Hak Posting: PUstaka puJAngga (PuJa).


8. Cerita Mini Karya Ahmad Yulden Erwin *

$
0
0

1. GENOSIDA AZTEC

Kabarnya, dalam suatu upacara religius selama empat hari, para imam suku Aztec pernah mencabut jantung empat puluh ribu orang selagi hidup dan menggelindingkan kepala-kepala tanpa batang leher dari puncak piramida. Upacara pengorbanan manusia itu dilakukan di kuil untuk membalas kebaikan Dewa Matahari yang telah mengorbankan darahnya demi mencipta semesta. Anehnya, yang terpenggal itu justru kepala-kepala para budak dari suku Indian lainnya.

Namun, selang beberapa waktu kemudian, suku Aztec pun “hilang” tanpa diketahui sebabnya. Lalu bangsa Eropa yang beradab dan luar biasa religius masuk ke bekas wilayah-wilayah suku Aztec. Tanpa ampun mereka membantai penduduk Indian yang menganggapnya sebagai dewa-dewa agung. Tampaknya kolonialisme telah menulis ulang riwayat suku Aztec sebagai kisah cermin dua sisi yang, tentu saja, tak akan pernah menampilkan wajah asli pembuat cermin itu sendiri.

_________________________

2. KRITIKUS PEMABUK

Kadang, di saat-saat subjektif dan terambung hangat anggur, seorang pemabuk bisa salah tafsir mencium bau aroma kopi dengan aroma wine 1876—tersesat di semak bulu hidungnya. Ia bilang kepul asap kopi itu sama sekali tak menyemburkan bau empati. Sayangnya, tanpa ia sadari, seekor kutu busuk tengah menghirup sedikit bau ampas di atas anusnya. Buat urusan kritik bau bawah sadar ini, pemabuk itu memang narsis sejati.

______________________________

3. HUJAN TIDAK JADI TURUN SORE ITU

Hujan tidak jadi turun sore itu, seperti hujan yang turun sore kemarin, atau dua hari kemarin, atau tiga hari kemarin, atau satu minggu kemarin—karena di mata Garmin hujan memang tak pernah turun sore itu. Gadis yang bermata hitam itu, seperti setiap gadis pada lukisan-lukisan Jeihan, selalu berdiri di halte bus yang sama. Bukan, ia bukan menunggu bus di sana, sebab ia tak peduli pada setiap bus yang datang dan pergi. Ia hanya menanti hujan yang tak akan pernah turun sore itu.

Suatu hari seorang ibu tua bertanya kepada Garmin, “Kamu menunggu bus jurusan mana?” Garmin tersenyum dan menjawab, “Saya menanti hujan yang turun sore kemarin?” Seorang mahasiswa, seorang buruh bangunan, seorang pedagang es cincau, seorang bocah kelas tiga SD, seorang polisi juga pernah bertanya perihal yang sama. Dan Garmin, dengan senyum yang sama, dengan keteguhan hati yang sama, menjawab, “Saya menanti hujan yang turun sore kemarin.”

_________________________________

4. SAYA ADALAH PRESIDEN SEGELAS AIR INI

Pagi begini sesak oleh berita tentang seorang sahabat yang ditahan polisi sekira 18 jam, serasa-rasa hidup sekarang lebih mirip satu cara kuno untuk bertahan, sepotong instink untuk saling menikam dengan cara yang elegan. Tidak mengerikan, hanya sedikit membikin sayu bangkit dari perasaan. Atau mirip sebuah percakapan dengan bayangan, dan kita akan semakin sulit menentukan mana sebenarnya subjek yang tengah bercakap dan mana yang dipercakapkan.

Saya berselancar di alam maya dengan perasaan kering. Hidup yang aneh di antara bit-bit digital, tidak mencium wangi uap kopi, pagi lewat begitu cepat. Saya membaca acak beberapa situs berita, sastra, lukisan, dan politik—tidak menarik. Lalu, tiba-tiba mata saya terjeda satu puisi karya penyair dan editor kelahiran Washington, Matthew Zapruder. Kalimat-kalimat puitiknya terasa seperti gumam, seperti sebuah dialog lirih satu jurusan yang disusupkan ke dalam narasi, sedikit peduli musik, lebih fokus pada citraan visual, serta, dengan halus, mengaburkan urutan waktu di dalam teks. Begini saya terjemahkan secara bebas satu puisi karya Matthew Zapruder yang saya petik dari buku puisinya, “Come On All You Ghosts (2010)”:

SALJU APRIL

Hari ini di El Paso semua pesawat terlelap di landasan. Dunia hadir dalam jadwal tertunda. Semua konsultan politik minum wiski, menjaga kepala mereka tetap tertunduk, dan mendongak hanya agar bisa menatap bekas luka perempuan pelayan yang memakai tombol-tombol mesin ketik sebagai kalung. Gemirincing tatkala pelayan itu membawakan mereka minuman. Di luar jendela-jendela kaca pesawat raksasa benar-benar tertutup salju, salju yang memenuhi sayap. Saya merasa tak lain baterai pengisi daya ponsel. Setiap kepercayaan nenek moyang hanya sebagian dilindungi. Saya tidak ingin bicara di telepon dengan seorang bidadari. Pada malam sebelum saya terlelap saya sudah bermimpi. Tentang kopi, tentang jenderal kuno, tentang beberapa wajah patung yang masing-masing memiliki ekspresi kekal salah satu perasaan saya. Saya memeriksa perasaan saya dan tak merasakan apa-apa. Saya naik sepeda biru di tepi gurun. Saya adalah presiden segelas air ini.

Ah, Matthew, di sana engkau menulis sepotong puisi politik dengan laju semantik yang sedingin salju dan tetap mampu membangkitkan rasa haru. Dan di sini, Zapruder, di sini, saya hanya mampu berharap presiden negeri ini tetap menjadi segelas air, bukan segumpal batu, atau sepotong monolit.

_________________________

5. SARUNG DAN STALIN

Sudah lama tidak pakai sarung. Terasa nyaman dan santai. Sebelum tidur, bisa baca dulu satu bab buku Young Stalin; buku sejarah yang ditulis dengan detil, dengan ironi yang halus oleh seorang penulis muda Inggris, Simon Sebag Montefiore. Sarung dan Stalin, perpaduan yang kontras, terasa jauh dan (mungkin) dapat menarik rasa ambang, meski kita tetap bisa memilih untuk melupakannya.

__________________________

6. SOCRATES DAN SEORANG SAHABATNYA

Menjelang Socrates menjalani prosesi minum racun dari tangan sang Dewi Keadilan, seorang sahabatnya, pemuda paling progresif pada masanya, bertanya: “Mengapa kau rela menerima hukuman bunuh diri itu, Socrates, meski kau tak bersalah?” Dengan tenang Socrates menjawab: “Karena aku menghormati hukum.” Pemuda pemberani itu, yang mungkin tak mewarisi selera satir pahit ala Socrates, masih tampak tak mengerti, kedua matanya berkaca-kaca menatap Socrates dengan tenang menenggak racunnya.

____________________________

7. KEMBARANKU

Ini adalah kisah kembaranku, Ahmad Julden Erwin, dalam semesta paralel yang lain. Umur empat tahun ia telah lancar membaca dan, dasar bengal, yang pertama kali dibacanya justru kisah sepasang manusia pertama terusir dari surga. “Aku tak mau, pokoknya tak mau masuk sekolah yang cuma nyanyi-nyanyi!” tolak kembaranku setelah ditawari ayahnya masuk TK di seberang rumahnya. Sebagai semacam petisi kepada ayahnya, untuk membuktikan bahwa ia layak masuk SD, maka ia tulis ulang kisah pengusiran Adam dan Hawa dari surga. Saat tengah malam, ia letakkan lima lembar surat petisi tentang kebengalan sepasang manusia pertama itu di meja kerja ayahnya. Alhasil, saat umurnya genap lima tahun, terpaksalah sang ayah berjuang habis-habisan agar putra pertamanya itu bisa masuk SD dan, sudah pasti, dengan alasan belum cukup umur, ditolak di sekolah negeri mana pun. Hanya satu sekolah swasta yang cukup berani, dengan alasan kekurangan murid, menerima kembaran bengalku itu. Di samping pintu ruang ibu kepala sekolah, Ibu Miriam, sebuah papan nama tercantel agak miring di dinding: SD 1 Muhammadiyah Tanjungkarang (sebuah lambang matahari hijau di samping kanan). Alangkah senang ia bisa bersekolah, tak jarang jam lima subuh telah pula ia kenakan seragam putih-merah. Tiada sedikit pun raut kecewa terbit di wajah polosnya, meski jelas-jelas ia bersekolah di SD yang lokalnya cuma tiga, gentengnya bocor, lantainya tanah, dan, seperti telah menjadi takdir ilahi, gelap tanpa listrik. Tentu saja, yang patut disyukuri, setelah lonceng jam istirahat berdentang tiga kali, ruang kelasnya langsung beralih fungsi jadi tempat berteduh sepasang kambing kacang milik ibu kepala sekolah.

Umur tujuh tahun ia jadi penggila komik Gundala Putra Petir. Dan itulah masanya ia melupakan komik pengusiran manusia pertama dari surga. Umur delapan tahun ia keranjingan bertualang “main ban”. Ini permainan favorit anak-anak lelaki Gang Sidodadi masa itu. Jadi, bila kedua orang tuamu tak mampu membelikan sepeda mini, janganlah cepat-cepat mewek. Pakai otakmu! Maka, terciptalah satu penemuan cemerlang yang membuat Babah Cian pemilik toko sepeda mini di Pasar Koga garuk-garuk kepala. Inovasi luar biasa itu adalah menggelindingkan ban motor bekas dengan sepotong kayu sebagai kemudinya. Usai sekolah, bersama teman-temannya satu gang, bertualanglah ia main ban hingga ke kaki Gunung Banten. Waktu itu musim jambu air tengah moncreng-moncrengnya. Bersaing dengan puluhan monyet gunung, geng anak-anak main ban yang kehausan itu kalap berpesta jambu air. Sebelum maghrib pulanglah ia beradu kencang menggelindingkan ban motor bekas bersama teman-temannya. Sampai di sini, bolehlah kita sedikit berimajinasi bahwa yang ada di dalam kepala anak-anak lelaki Gang Sidodadi itu justru adegan mereka tengah beradu kencang menggowes sepeda mini–yang tentulah seumur-umur tak bakal mereka miliki. Menjelang umur sembilan tahun ia telah jadi pecandu komik Si Buta dari Goa Hantu. Dan itulah masanya ia mengucapkan sayonara kepada permainan paling inovatif, sekaligus paling ilusif, temuan anak-anak Gang Sidodadi (Johan Moncong, Rudi Pitak, Dawam Menges, Ijal Koreng, Candra Ingus, uh, dimanakah kalian kini?)–satu tahun sebelum “bom kenaikan harga minyak dunia” memakmurkan keluarga Bapak Pembangunan Indonesia.

Pada ulang tahunnya yang kesembilan, ia naik motor plat merah Suzuki A-100, ia dibonceng ayahnya ke toko buku Alaydrus. Itulah satu-satunya toko buku di kotanya yang menjual komik nabi-nabi pada masa TVRI sedang getol-getolnya menggemakan Era-Tinggal-Landas. “Pilihlah tiga komik. Jangan lupa, tetap rajin belajar,” kata ayahnya. Dengan hidung kembang-kempis gembira, sesekali tercium bau parfum Arab yang menyengat, ia memilih tiga buku komik: satu komik tentang kisah Nabi Yusuf yang, oleh kakak-kakaknya, dicemplungkan ke sumur tua bersama seekor srigala terluka; serta dua seri komik perjuangan Nabi Muhammad yang berperang mempertahankan satu-satunya sumber air bagi kaum Muhajirin di sumur Badar. Namun, dengan ragu-ragu, ia juga tengah menimang-nimang dua seri pertama komik silat Raden Kian Santang. Ayahnya tersenyum dan berkata: “Ya sudah, boleh ambil lima komik.” Bukan kepalang ia senang, rasanya seperti hendak bersalto ia meniru adegan Raden Kian Santang melawan ular raksasa di Gua Lumut. Ayahnya tak tahu bahwa sejak beberapa bulan lalu ia telah keranjingan komik silat. Setelah mereka pindah ke rumah kontrakan bergaya Belanda, terpaksa pula ia pindah sekolah (akhirnya ia bisa juga masuk SD Negeri!), ia melakukan semacam pengenalan lingkungan dengan kelayapan di gang-gang sekitar rumah kontrakan baru ayahnya. Tiga siang usai menggambar tiap simpang jalan pada peta buta ingatannya, sampailah ia di satu wilayah tersembunyi tempat penyimpanan harta karun imajinasinya, bernama: KEDAI KOMIK FREINDS–dulu sering ia sebut “Gua Pertapaan si Buta”. Sejak itu, usai pulang sekolah, hampir tiap hari selama sekitar dua jam lebih ia memuaskan hasrat pengembaraan lorong waktunya ke masa lalu dengan membaca berbagai komik silat di gua-harta-karun-imajinasinya. Uang saku sekolahnya yang pas-pasan tak lagi sudi ia jajankan pisang goreng atau combro Mak Kempot, tetapi telah ia dermakan demi perawatan “kitab-kitab sejarah bergambar” di kedai komik Freinds milik Om Kribo. (Di manakah kau KINI, Om Kribo? Apakah istrimu masih suka ancam-ancam cerai bila tak lekas kau ganti kerja?). Begitulah, lewat komik-komik silat karya Djair dan Ganes TH, sang pengembara cilik lorong waktu itu menyusuri jejak-jejak sejarah penindasan bangsanya. Jaka Sembung, Si Tolol, Jampang Jago Betawi, Taufan, Krakatau, dan, tentu saja, Si Buta dari Goa Hantu–itulah sederet judul komik silat yang membuatnya betah “bertapa” berjam-jam di kedai komik Freinds. Tak jarang ibunya memuntir kuping pertapa kecil itu setiap kali ia pulang sore dan tak memberi alasan tepat ke mana ia menghilang. Kisah-kisah silat dengan latar pergulatan sejarah-rakyat-jelata, jatuh-bangun berkehendak hidup merdeka, itulah cacing hendak jadi naga, amatlah kerap membuat mata bocah delapan tahun itu memerah. Pelan-pelan tumbuhlah dalam kesadarannya: hidup memang tak selalu mudah, apa lagi di negeri yang selalu terjajah.

________________________

8. KRITIKUS PEMABUK, II

Ini pendapat sedikit ada aroma Tao Te Ching. Seorang pemabuk yang, dengan argumen sedikit lucu dan sedikit sedih, bilang lebih lembab 1 + 1 = 2 daripada 1 – 1 = 0. ketika dibantah bahwa keduanya berbeda secara metode dan, jelas sekali, tak bisa dibandingkan; sang pemabuk kita ini langsung singut-singut kelinci dan mendengking gaya keledai dicambuk: “Lagi-lagi, kau kering emosi.” Saya pikir, sudah saatnya ia mengendus aroma kopi tahi musang pada sebaris silogisme matematis ala A.N. Whitehead.

________________________
Cerita Mini ©2012 – 2014
________________________

*) Ahmad Yulden Erwin lahir di Bandarlampung, 15 Juli 1972. Ia telah menerbitkan kumpulan puisi “Perawi Tanpa Rumah” (2013), “Sabda Ruang” (2015), “Hara Semua Kata” (2018) “Perawi Tanpa Rumah (Edisi revisi, 2018), “Perawi Rempah” (5 besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2018).

7. Cerita Mini Karya Ahmad Yulden Erwin *

$
0
0

1. EDWARD TEACH

Awal abad ke-18, di tengah putaran arus balik Atlantik yang tak terduga, setelah habis-habisan membela Ratu Anne dalam perang suksesi tahta Spanyol melawan Raja Philip V dari Prancis, angkatan laut Inggris membuang sebagian prajuritnya di kepulauan Bahama. Tiga tahun kemudian, salah satu prajurit terbuang itu, yang paling cerdas dan berani, namun tak cukup pandai menjilat atasannya, mengutuk dirinya menjadi kepala bajak laut paling ditakuti di perairan Amerika Utara. Sejak itu, mulai dari Boston hingga North Carolina, mengombaklah lagenda kebengisan kepala bajak laut yang misterius. Berjanggut panjang, pembaca loyal kitab kejadian pada malam-malam badai hingga laut tenang, pengunyah daging hiu mentah dan batang rumput laut, bertopi hitam laksamana angkatan laut Inggeris yang keempat ujungnya disulut sumbu meriam, serta, tak lupa, berselempang tujuh pucuk pistol siap picu yang bergagang perak di bagian depan mantel kulitnya–ialah sang lagenda penuntut balas angkatan laut Inggris: Kapten Blackbeard.

________________________

2. ARGUMEN HITAM

Awal musim semi 1835, William Stanton, anggota kongres paling konservatif dari California, saat menatap sehamparan bunga kapas di ladang miliknya, secara tak terduga, ia menemukan satu argumen cemerlang. Perbudakan itu baik, pikirnya, sebab orang kulit hitam telah melakukan eksodus-suci dari Afrika yang kafir ke Amerika yang Kristen. Tepat saat seekor elang hitam terbang menodai langit senja, masih secara tak terduga, seolah Gabriel turun membisikkan ilham paling suci ke telinganya, Stanton dengan keyakinan yang tak tergoyahkan mengubah kata perbudakan menjadi “Institusi Khas Selatan”.

_________________________

3. ABSURDITAS DAVID REID

“Mengerikan, cuaca menjelang badai pagi ini memang mengerikan,” gerutu David Reid, “seperti kulup penis selesai diparut.” Perlukah kujelaskan siapa penggerutu itu? Baiklah, dengan satu kalimat akan kuurai benang-Ariadne muasal lelaki dengan brengos duri-duri kaktus itu menggerutu bagai para penyair Beat era 60-an. David Reid, seorang sopir taksi di Manhattan, lahir 46 tahun lalu di kota Belfast (tepatnya di satu lingkungan yang terkenal paling kacau dengan dentam FN, AK-47, dan bom C-4 atas nama kasih tak berbalas Jesus Kristus).

Saat ini, dalam kegamangan khas para imigran gelap, ia tengah menunggu kelahiran anak pertamanya. Menurut prediksi dokter kandungan bertarif murah, yang tinggal dua blok dari apertemennya, anak pertamanya akan lahir dua hari lagi. Karena itulah ia memutuskan bekerja dua kali lebih ngotot. Setelah berpatroli mencari penumpang di sekitar Broadway, ia pun memutuskan parkir di depan sebuah hotel murahan di Brooklyn; yang tampak muka terlihat seperti wajah kuyu seorang penari telanjang saat pulang pagi. Dan hujan, sama sekali jauh dari bayangan romantis penyair Inggris abad pertengahan, menerpa dengan sengit kap depan taksi kuningnya.

Samar-samar, di samping pintu depan hotel, ia melihat seorang bocah lelaki berdiri dengan pandangan kosong. Mantel hujan dan tas ransel beroda di sampingnya, sama sekali tak mampu menyelamatkan wajah inosen bocah lelaki itu dari metafora menyedihkan: seperti patung tembaga yang telah berabad terabaikan–coklat, dingin, murung, dan abu-abu.

___________________________________

4. JOHN

New York City tak selalu menyeramkan, juga tak terlalu eksotis, buat seorang pengembara paruh baya yang terombang-ambing dalam rasa hampa eskistensialis era 50-an. John, sahabatku itu, adalah seorang penyair jenius menurutku, begitu terseret dalam pukau sihir lunatik Narcissus. Tak heran bila ia begitu bangga menyebut dirinya seorang asing di tengah kota yang juga asing. Saat aku menuliskan catatan ini, sempat terpikir olehku bahwa cekam rasa asing itulah yang membuatnya memilih New York City sebagai salah satu kota persinggahannya.

Aku berkenalan dengannya dalam suatu pameran lukisan karya para pelukis abstrak ekspresionis di The Museum of Modern Art (MoMA)—sebuah museum seni yang, gedungnya lebih mirip hotel bertingkat, terletak di Midtown Manhattan. Siang itu, awal musim semi, masih kuingat jelas dalam serabut kenanganku, ia terpaku di depan satu lukisan “tetesan cat” karya Jackson Pollock. Ronanya memancarkan kekaguman sekaligus kesedihan misterius. Berkacamata tebal, ia duduk terpaku selama hampir sepuluh menit di sebuah bangku panjang, tanpa bergerak sedikit pun, sekitar lima meter di hadapan lukisan cat minyak berjudul “One: Number 31, 1950”.

Saat itu aku merasa ia lebih mirip satu patung perunggu di sebuah taman tua yang mulai gerimis. Rautnya inosennya tak bisa sembunyi dari mataku, seolah memancarkan kepedihan mendalam yang hanya mungkin tertanggungkan oleh seorang pencuri api di bukit Olympus. Sekitar tiga meter dari samping kanannya aku berdiri dan mengamatinya beberapa saat. Aku memutuskan melangkah mendekatinya. Aku berkata dalam hati: “Patung perunggu yang hidup ini pastilah bisa jadi sahabatku.” Suatu keyakinan naif yang benar-benar tak pernah kusesali hingga saat ini.

Begitulah awalnya aku, seorang mahasiswa antropologi—sekaligus seorang suami dengan dua putri yang cantik—berusia tiga puluh satu tahun, terjebak dalam cinta segitiga yang kompleks. Aku mencintai seorang lelaki, sekaligus mencintai seorang perempuan yang kelak justru menjadi kekasih dari lelaki yang kucintai.

____________________________

5. UNTUKMU, YANG KELAK DAPAT MERASAKAN…

Terasa ada yang lembab saat mata saya menatap satu lukisan lanskap ekspresionis karya Vincent van Gogh, “Plain Near Auvers”. Betapa ajaib, sekaligus asing, saat terpikir oleh saya bagaimana van Gogh bisa melukis sebuah lanskap biru muda dengan begitu indah, begitu bergelora, begitu hidup pada pertengahan musim panas di sebuah desa terpencil di Prancis Selatan, tepatnya pada bulan Juli 1890, bulan saat kematian datang menjemputnya. Seolah ia dengan hari-harinya tersisa menyerap seluruh daya hidup dalam dirinya dan menuangkan “keajaiban” alam di atas kanvasnya.

Tatkala saya tengah menatap warna-warna cerah yang lembut begitu, serasa-rasa ada tangan gaib menarik saya masuk ke dalam lukisan itu, menuntun saya berjalan-jalan ke tengah bentangan ladang biru muda–seolah kami berjalan di permukaan laguna dengan batang-batang gandum dari kristal air berkilau di kiri-kanannya, terasa dingin saat tersentuh kulit. Mendadak terpikir oleh saya bahwa van Gogh tidak hanya sekadar melukis satu pemandangan ladang desa, tetapi ia telah melukiskan jiwa dari setiap lanskap, jiwa dari benda-benda, jiwanya sendiri.

Sungguh, dini hari begitu, saya seakan merasakan duka terdalam Vincent van Gogh tatkala ia selesai menggoreskan warna terakhir di atas kanvasnya. Memiringkan kepala, ia sedikit menarik sudut bibirnya, dan tersenyum. Menghela napas perlahan, menggosok sebelah daun telinganya dan, dengan mata yang menyiratkan kebahagiaan dan keikhlasan purna, ia menitikkan air mata. “Untukmu, yang kelak dapat merasakan jiwa dari lukisan ini—” demikian ia berbisik. Sebelum sunyi.

___________________________

6. MAK EROH, PEREMPUAN PENAKLUK PADAS

Perempuan paruh baya itu tak kenal R. A. Kartini, apalagi membaca surat-suratnya yang indah, yang kata-katanya mampu mengobarkan api perlawanan terhadap feodalisme dan kolonialisme di tanah Jawa–sebab ia, perempuan tua yang nekat melakukan sendiri perubahan bagi masyakatnya, memang sejak kecil sudah buta huruf. Orang-orang kampung menggelarinya Mak Eroh Perkasa (sebagian lagi menyebutnya gila); satu gelar yang dilatari perjuangan melawan kekeringan, yang, bahkan, akan membuat R. A. Kartini mencium punggung tangannya–bila saja pejuang emansipasi perempuan dari Jepara itu masih hidup hingga tahun 1988.

Kesal oleh kelembaman penduduk kampungnya yang bertahun-tahun hanya pasrah membiarkan tanah mereka dicekik kekeringan, Mak Eroh, janda dari Kampung Pasirkadu-Tasikmalaya, mengambil keputusan nekat melawan kemarau dengan cara yang paling gila. Ia berencana, usai membajak sepetak sawah tadah hujan warisan suaminya, akan memahat tebing batu setiap hari untuk menembus punggung delapan bukit di kaki Gunung Galunggung. Ia tahu, jika kelak ia berhasil membuat saluran air di punggung bukit-bukit itu, maka air Sungai Cilutung dari kampung tetangganya akan mengalir dan memadamkan kemarau yang bertahun-tahun telah melanda kampungnya.

Awalnya, ia menawarkan gagasannya itu kepada Pak Lurah. Namun, aparat desa yang lemah gemulai perangainya itu dengan mimik memelas menganggapnya sedang sakit panas, lalu memberinya sedikit uang untuk berobat ke puskesmas. Tak sudi menyerah, ia tawarkan lagi solusi cemerlang itu kepada lima tetangga lelakinya, yang berprofesi sebagai pemecah batu, dan mereka semua menganggapnya gila. Setelah itu Mak Eroh tak lagi berniat untuk meminta bantuan kepada siapapun. Berbekal peralatan warisan suaminya: cangkul, linggis, dan tali areuy (sejenis tali rotan); ia pun memulai rencana gilanya dengan membulatkan tekad sekeras buah kelapa.

Pada suatu siang, sedikit lewat terik tengah hari, ia bergantung di tali areuy yang diikat erat ke satu padas di puncak bukit, lalu mulai menghantamkan ujung linggisnya ke dinding tebing. Begitulah, dari hari ke hari, ia menghantam kutuk kekeringan di kampungnya. Satu setengah bulan kemudian, tebing padas sepanjang 45 meter itu pun berhasil ia tembus. Melihat kegigihan Mak Eroh, beberapa lelaki warga kampung yang semula mencibirnya mulai tergerak ikut membantu. Hingga suatu petang, setelah dua tahun enam bulan menghantam punggung delapan bukit sejauh 4,5 km, ia pun bisa menatap lega aliran air yang jatuh melewati sela-sela batu tak jauh dari belakang rumahnya. Itulah satu-satunya sumber air yang ada di kampungnya.

Dua tahun kemudian, kabar keperkasaan perempuan paruh baya dari satu kampung terpencil di Propinsi Jawa Barat itu, akhirnya mampir juga ke telinga Menteri Negara Lingkungan Hidup. Mak Eroh pun diundang ke Istana Negara di Jakarta untuk menerima penghargaan Kalpataru sebagai Pejuang Lingkungan Hidup. Setiba kembali di rumahnya, Mak Eroh hanya tersenyum menatap selembar sertifikat dan piala penghargaan Kalpataru yang baru diterimanya dari Presiden Soeharto. Sambil menatap piala Kalpataru yang bentuknya seperti akar pohon beringin, ia berpikir kenapa Bapak Presiden tak memberinya pompa mesin saja agar air sungai dapat mengalir lebih deras ke kampungnya. Ia tak dapat menemukan alasannya. Namun, sepasang mata hitam Mak Eroh memancarkan binar bahagia saat ia memandang pohon rambutan di halaman depan rumahnya mulai berbuah. Ia berpikir untuk berbagi beberapa ikat buah rambutan itu kepada tetangganya, para tukang batu yang pernah menganggapnya gila dan, tentu pula, kepada Pak Lurah yang baik hati serta lemah gemulai nyalinya.

Esok harinya, menjelang senja, bersama putri dan cucunya yang masih balita, ia berziarah ke makam suaminya. Pelan-pelan ia letakkan piala Kalpataru dan seikat buah rambutan di depan nisan suaminya. Diiringi suara jengkrik menyambut terbenamnya matahari, Mak Eroh menutup doanya dengan suara lirih sambil mengelus nisan suaminya: “Terima kasih, Akang… Terima kasih.” Sehembus angin menggoyang reranting pohon kamboja; berdesir lembut menyentuh kedua pelupuk matanya yang berkaca-kaca.

_____________
*) Ini adalah sinopsis cerita yang terinspirasi dari kisah nyata, meski hingga hari ini tak kunjung bisa saya tuliskan secara lengkap. Selain meraih penghargaan Kalpataru pada tahun 1988, Mak Eroh juga mendapat penghargaan dari Presiden Megawati tahun 2002, Menteri Peranan Wanita, PBB, Walhi dan Menteri Lingkungan Hidup. Pada tahun 2004 perempuan perkasa dari Pasirkadu-Tasikmalaya Propinsi Jawa Barat ini wafat. Sekarang namanya diusulkan oleh masyarakat menjadi nama satu jalan di Kabupaten Tasikmalaya.

_________________________

7. SUMBER

Ada senarai hari ketika beberapa sahabat bertanya tentang sumber asli dari tulisan-tulisan saya, dan terutama, terkait sejarah-sejarah “miring”, baik dari dalam atau apalagi dari luar Indonesia. Dengan berat hati, demi kebaikan bersama, tanpa bermaksud menyinggung kelembutan budi Tuan dan Puan semua, barang sesamar saya hanya bisa berkata, “Anggaplah saya sekedar menulis fiksi belaka, kebenarannya bukan terkait rantai verifikasi fakta, tetapi ada di dalam lubuk hati Anda.”

________________________
Cerita Mini ©2012 – 2014
________________________
*) Ahmad Yulden Erwin lahir di Bandarlampung, 15 Juli 1972. Ia telah menerbitkan kumpulan puisi “Perawi Tanpa Rumah” (2013), “Sabda Ruang” (2015), “Hara Semua Kata” (2018) “Perawi Tanpa Rumah (Edisi revisi, 2018), “Perawi Rempah” (5 besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2018).

Puisi Terlalu Tragedi

$
0
0

Bandung Mawardi *

Di Kompas, ia sering tampil dengan opini. Cerpen turut disajikan ke pembaca. Puisi? Para pembaca Kompas mungkin jarang mengenali keampuhan lelaki asal Jogjakarta itu melalui halaman puisi. Opini-opini di Kompas memang bermaksud “menasihati” atau mengingatkan pembaca mengenai hal-hal darurat atau rawan prihatin. Aku kadang membaca serius, kadang merasa sudah mengerti sejak di judul dan alinea awal-akhir. Di halaman 6 atau 7, Indra Tranggono itu esais besar di Kompas. Ia pun muncul di Kedaulatan Rakyat dan Solopos. Aku menganggap halaman di Kompas mengesahkan Indra Tranggono itu budayawan, sebutan sulit mendapat arti terang di Indonesia. Rajin beresai menjadikan orang bergelar budayawan?

Aku memilih memberi sebutan ke Indra Tranggono adalah pesajak. Dulu, ia mengadakan kirab puisi di majalah remaja Hai. Puisi-puisi membuktikan olahan estetika dengan tema-tema biasa, tak bermaksud mencari celah untuk moncer seperti Joko Pinurbo atau Afrizal Malna. Ia menempuhi jalan estetika biasa, ada di Jemaah pesajak tanpa ledakan dan capaian menggemparkan. Puisi demi puisi ditulis mencari halaman-halaman di majalah. Pemuatan memberi kelegaan mendapatkan pembaca, tak usah dihitung jumlah pembaca atau ketelanjuran orang jadi penggemar.

Biografi pesajak itu terdapat di buku berjudul Tugu: Antologi Puisi 32 Penyair Yogya (1986) susunan Linus Suryadi AG. Di halaman 228, terbaca nama Indra Tranggono Puspito. Nama itu sama dengan Indra Tranggono, kolomnis di Kompas? Ia lahir, bersekolah, berkuliah, dan bekerja di Jogjakarta. Puisi-puisi pernah dimuat di antologi Gunungan dan Prasasti. Di data diri, ia mengaku pernah bercita-cita ingin menjadi penjaga gedung bioskop agar selalu gratis menonton film. Konon, cita-cita gagal tercapai. Ia malah menjadi seniman. Sang ibu bangga mengetahui Indra Tranggono sregep menulis puisi.

Pada masa 1980-an, rezim Orde Baru itu produsen perintah ingin Indonesia makmur, maju, dan terhormat. Soeharto malu jika Indonesia masih malas, bobrok, letih, kemproh, umbelen, bodoh, dan miskin. Indonesia harus tampil ke muka berdandan elok dan mentereng di segala hal. Swasembada beras mendapat pengakuan FAO di tahun 1984. Taman Mini Indonesia Indah berhasil mengubah tumpukan tuduhan Indonesia “jerawatan” atau “panunan”. Indonesia dengan perintah-perintah Soeharto terlarang menghuni kubangan seribu buruk.

Di hadapan rezim Orde Baru, kaum intelektual dan sastra sregep bersuara dengan protes atau kritik. Pada masa 1980-an, para pembaca sastra lumrah disuguhi puisi-puisi mengandung protes sosial atau kritik pembangunan. Indra Tranggono maih muda dan belum gendut. Ia menulis puisi tapi tak sekeras rombongan puisi gubahan Rendra. Ingat sastra melawan atau mengejek rezim, ingat Rendra ketimbang Indra Tranggono. Aku tentu tak bakal menghapus urun puisi dari Indra Tranggono. Puisi pantas teringat ada di jalan gampang terkena gebuk dan omelan pemerintah.

Puisi berjudul “Kota Renta 1” dimuat di majalah Hai edisi 24-30 Maret 1987. Puisi panjang berakibat seri 2, 3, 4, atau 5 tak mendapat ruang untuk pemuatan. Indra Tranggono mungkin cuma mengirim seri 1, belum ingin membuat sesak halaman puisi di Hai. Aku menduga seri 2 atau 3 pernah pula dimuat di Hai tapi aku belum berhasil membeli dan mengoleksi. Puisi bertema kota, mengurutkan pelbagai sindiran dan pengharapan. Indra Tranggono marah secara sopan dan melucu.

Dua bait “pemanasan” bagi pembaca di akhir 2018. Cara membaca terasa wagu, terpisah jauh dari 1987. Indra Tranggono menulis: Inilah kotaku rumah bagi semua/ terbangun dari tulang-tulang renta/ berpagar sukma-sukma bergetar/ berlampu hasrat-hasrat berpijar// Kotaku tertatih-tatih/ membangun persembunyian/ bagi petualang-petualang/ saat terdesak diserang. Kota masih belum bernama. Alamat tak terbaca. Apakah kota di puisi itu Jakarta atau Jogja? Pesajak di Indonesia masa 1980-an cenderung malu menggamblangkan nama kota atau berharap kota di puisi berlaku bagi semua kota seantero Indonesia. Pengimajinasian kota berlebihan melupakan alamat lengkap. Kota jadi tempat samar, membingungkan, anonim.

Tuduhan paling gampang: kota itu bernama Jogja. Indra Tranggono berada di Jogja. Kota itu tempat atau alamat kemunculan para pesajak kondang di Indonesia, dari masa ke masa. Indra Tranggono terbentuk di kota-puisi. Di kota, ia menggubah puisi mengurusi kota dengan diksi-diksi mengoreksi dan menasihati. Kota mengalami perubahan-perubahan membikin cemas, marah, getun, dan lara. Di puisi, pesajak menunaikan protes dibaca umat sastra, bukan pemerintah atau para majikan bermodal besar. Umat sastra pun ada di hadapan halaman puisi milik majalah remaja, berbeda taraf dari Horison.

Aku mungkin ingin mengutip sekian bait untuk mengerjakan esai. Inginku esai bias mejeng di Kompas atau Jurnal Ruang. Kemauan mengutip puisi gubahan Indra Tranggono itu menggairahkan ketimbang memilih kalimat-kalimat di esai dijadikan kutipan di tulisanku. Di mataku, Indra Tranggono itu pesajak. Ia mengerti kota, mengisahkan di puisi bergelimang sinis. Dua bait mengenai nasib buruk kota: Kini kotaku sibuk dirias/ menjadi gadis belia dan bregas/ langkah berderap-derap/ nyali berharap-harap// Kini kotaku bukan rumah bagi semua/ penggusuran di mana-mana/ warung-warung, rumah-rumah kardus/ disulap jadi bar, restoran, bioskop atau kampus. Kota itu terpuruk di buruk. Aku mulai ragu kota itu Jogja. Dua bait mengarahkan kota itu Jakarta. Aku ikhlaskan kota di puisi adalah Jakarta. Perkara ingin mengetahui perubahan di Jogja mendingan membaca puisi dan esai garapan Linus Suryadi AG.

Di puluhan esai, Indra Tranggono sering menggunakan ungkapan dan ajaran Jawa dalam produksi kritik atas pelbagai masalah di Indonesia. Ia bereferensi Jawa, malu mengutip pemikiran dari tokoh-tokoh ternama asal Eropa dan Amerika Serikat. Di puisi terbaca kaum remaja di masa Orde Baru, rasa Jawa itu belum tampak. Ia mungkin ingin “menasional”, tak perlu menaruh Jawa di puisi. Para remaja pasti bingung dan merepotkan orangtua jika si pesajak boros memasang Jawa di puisi bertema kota.

Di bait terkurung tanda petik, aku membaca kemarahan tertahan: “Agar kota senantiasa belia/ rumah-rumah uzur harus digusur/ agar warna gemerlap tak bakal luntur/ agar peradaban senantiasa terukur.” Bait bertanda kutip boleh digunakan dalam demonstrasi atau dibaca di muka umum sebelum diskusi “mengejek” kebijakan-kebijakan rezim Orde Baru. Dulu, aku pernah bertemu Indra Tranggono. Ia bukan pemilik suara keras. Bait itu dibacakan saja oleh mahasiswa gondrong, rajin merokok, dan kumal. Dampak puisi tentu menghasilkan teriakan dan tepuk tangan. Indra Tranggono jangan memaksa membaca dengan suara keras di muka mikrofon. Eh, mikrofon sudah direbut Afrizal Malna, dimiliki dari masa 1980-an sampai sekarang.

Membaca puisi keras dan melulu protes cepat memberi letih. Aku lupa belum minum segelas air bening. Ragaku berkeringat meski di luar hujan rintik. Puisi itu sumber sumuk. Aku ingin tiduran sambil berimajinasi romantic seperti di film-film picisan Indonesia. Aku ingin berpisah dari bait terakhir paling panjang tanpa harus merenungkan selama 3 jam: dendang kepayang/ gedung-gedung ngangkang/ pabrik-pabrik bergoyang/ hari-hari basah/ manusia berkeringat di mesin nasib yang payah/ Inilah kotaku/ terbangun dari tulang-tulang renta/ tapi tak lagi untuk semua/ Inilah kotaku yang angkuh/ kuburan bagi semua. Puisi terlalu tragedi. Aku sudah capek. Begitu.
***

5 Januari 2019
*) Bandung Mawardi, Kuncen Bilik Literasi.
Puisi Terlalu Tragedi

Mengakhiri Marjinalitas Naskah Lakon

$
0
0

Indra Tranggono *
Kompas, 13 April 2008

DUNIA naskah lakon kita mungkin adalah dunia sunyi dan marjinal. Ini, antara lain, ditandai dengan kelangkaannya. Soal ini telah lama menjadi keprihatinan kolektif publik teater. Dalam Festival Teater Jakarta 2007 Desember lalu, isu itu kembali mencuat.

Kenapa soal itu terjadi? Mari, pelan-pelan kita usut.

Pertama, belum banyak naskah lakon terbit sebagai buku seperti halnya karya sastra yang lain, novel, cerpen, dan puisi. Ini sangat terkait dengan asumsi: naskah drama kurang diminati publik. Sehingga para penerbit kurang berani ”berjudi” dengan pasar.

Kedua, naskah drama lebih banyak ditulis dalam bentuk manuskrip, fotokopian atau stensilan yang dicetak dalam jumlah terbatas. Naskah itu biasanya ditulis oleh kalangan pelaku teater untuk menjawab kebutuhan pementasan. Begitu selesai dipentaskan, lakon itu membeku di almari alias tidak beredar, sehingga tidak diapresiasi kalangan yang lebih luas. Dan biasanya, naskah lakon tersebut memiliki karakter yang ”spesifik”: memiliki idiom-idiom khas yang kadang asing bagi orang lain. Ini terkait dengan proses kelahiran naskah itu sendiri: ditulis berdasarkan karakter dan orientasi estetik tertentu sebuah grup di mana penulis lakon itu bergabung. Dengan kata lain: tidak sedikit naskah lakon yang ditulis lewat proses ”unik” itu tidak memiliki kebakuan atau konvensi yang bisa ”dipahami” kalangan umum. Bahkan kadang, naskah itu hanyalah menjadi semacam embrio saja dan baru ”menjadi” seiring dengan proses pementasan. Artinya, penjadian lakon itu berlangsung dalam proses eksplorasi teater.

Ketiga, soal dokumentasi. Kita belum banyak muncul bank naskah. Dan kalau toh ada, maka bank naskah itu belum dikelola secara serius seperti perpustakaan di kampus atau perpustakaan daerah/negara. Sementara, banyak perpustakaan di berbagai lembaga belum berminat mendokumentasi naskah lakon. Persoalan ini menjadikan naskah lakon benar-benar marjinal.

Ekspresi personal

Sebagai sastra tulis, naskah lakon belum menjadi pilihan ekspresi banyak penulis, seperti cerpen, novel, dan puisi. Dari penulis yang sedikit itu, kita mengenal nama-nama pengarang yang muncul pada era 1950 hingga 1970-an seperti Kirjomulyo dengan karyanya antara lain, Penggali Intan, Senja dengan Dua Kelelawar , Bambang Sularto (Abu), Iwan Simatupang (Petang di Taman, Bulan Bujur Sangkar) Motinggo Boesye (Malam Pengantin di Bukit Kera, Barabah, Malam Jahanam) dan naskah lama lainnya yang bergaya realis yang mencerminkan kegelisahan eksistensial manusia.

Meskipun tidak ditulis secara instan, keberadaan naskah lakon kita masih dalam posisi ”dalam rangka” (pinjam istilah Umar Kayam). Artinya, sangat sedikit para penulis yang memang sejak awal berniat menulis lakon sebagai ekspresi personal. Biasanya hal itu terkait dengan program pementasan. Sebut saja, misalnya, Rendra (Bengkel Teater), Putu Wijaya (Teater Mandiri), Arifin C Noer (Teater Ketjil), Ikranagara (Teater Saja), Nano Riantiarno (Teater Koma), dan Danarto yang menulis lakon Obrok Owok-Owok Ebrek Ewek-ewek untuk Teater Alam. Masih ada nama lain: Afrizal Malna (Teater SAE), Emha Ainun Nadjib, Simon Hate, Fajar Suharno (Dinasti), Heru Kesawa Murti (Teater Gandrik), Bambang Widoyo Sp (Gapit Solo), Cindil Gunawan Maryanto, Ugo Prasad (Garasi), Joned Suryatmoko (Gardanalla) Eko Tunas (Teater Lingkar), dan lainnya.

Dengan menulis naskah sendiri, mereka merasa menemukan orientasi estetis, kultural dan sosial yang sesuai dengan ”cita-cita” kesenian dan kebudayaan mereka. Tradisi ini akhirnya menguat dalam jagat penulisan lakon di Indonesia. Dalam soal ini, Rendra bisa dibilang sebagai pelopornya. Dialah salah satu sosok penting yang membumikan teater modern di Indonesia, baik secara kultural, sosial maupun estetik. Lihat karyanya, Mastodon dan Burung Kondor, Sekda, Perjuangan Suku Naga, dan lainnya. Umumnya, naskah lakon yang ditulis oleh Rendra dan para penulis lain di atas bercorak non-realis dan banyak mengandung nilai-nilai pemikiran kritis atas situasi dan kondisi sosial, politik, dan budaya era Orde Baru yang represif. Naskah lakon, di situ, bukan hanya menjadi ekspresi estetis, melainkan juga ekspresi sikap sosial/politik atas hegemoni negara.

Tradisi lomba

Tidak bergemuruhnya dunia penulisan naskah lakon sangat terkait erat dengan sempitnya ruang sosialisasi atau ”pasar” naskah lakon. Jika banyak media massa cetak sangat bermurah hati memberikan ruang bagi puisi, cerpen, atau novel (cerita bersambung), maka hal itu belum berlaku umum bagi naskah lakon. Dalam sejarah, harian Kompas pada tahun 1980-an pernah memuat naskah lakon Panembahan Reso karya Rendra sebagai cerita bersambung. Pemuatan itu menandai kembalinya Rendra dan Bengkel Teater-nya ke panggung, setelah belasan tahun dilarang penguasa Orde Baru. Pemuatan itu sangat mengejutkan. Publik seni-budaya Indonesia pun memberikan apresiasi: Kompas berani melawan arus pasar dan menumbuhkan apresiasi yang luas atas naskah lakon.

Sesungguhnya, perkembangan penulisan naskah lakon di Indonesia lebih banyak didorong tradisi lomba. Lihatlah, misalnya, upaya Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang rutin menyelenggarakan lomba penulisan lakon pada era 1970-an dan 1980-an. Dari lomba itu muncul nama-nama penting: Putu Wijaya, Wisran Hadi, Kuntowijoyo, Vredi Kastam Marta, Yudhistira Adi Nugaraha, dan lainnya. Putu melahirkan Aduh, naskah absurd yang dianggap merupakan salah satu pencapaian terbaik sastrawan asal Bali itu. Sedangkan Kuntowijoyo melahirkan Topeng Kayu yang kuat dengan spiritualisme. Vredi melahirkan Syeich Siti Jenar, lakon kontroversial yang menantang pemikiran dan penghayatan agama.

Akhirnya, jika kita menginginkan kondisi yang subur/kondusif bagi penulisan naskah lakon, maka perlu banyak rangsangan secara eksternal: lomba, penerbitan buku, pementasan, publikasi, edukasi/apresiasi, kritik, penghargaan, dan perpustakaan/bank naskah. Maka, pasar naskah lakon itu pun, pelan-pelan, akan terbangun, sehingga naskah lakon tidak lagi menjadi sunyi, marjinal dan menggigil kesepian.

________________
*) Menulis Beberapa Lakon; Pernah Terlibat dalam Sejumlah Pementasan Teater Gandrik dan Komunitas Pak Kanjeng.
http://cabiklunik.blogspot.com/2008/04/esai-mengakhiri-marjinalitas-naskah.html

Menggagas Novel Pengganti Skripsi

$
0
0

Dhoni Zustiyantoro
Suara Merdeka, 28 Sep 2014

Universitas Gadjah Mada Yogyakarta memunculkan wacana bahwa novel dapat menggantikan skripsi. Gagasan tersebut dinilai dapat menjadi sarana mendorong kemunculan banyak sastrawan muda berkelas. Hal itu sekaligus menjawab kegelisahan akan minimnya sastrawan sekelas Rendra, Umar Kayam, atau Sapardi Djoko Damono (Koran Tempo, 8 Agustus 2014).

Gagasan itu menarik untuk diperbincangkan dan sudah sepatutnya disambut baik oleh pengajar dam akademisi, tentu yang memiliki program studi maupun fakultas sastra. Betapa tidak, selama ini motivasi untuk menulis fiksi masih minim, bahkan di kalangan mahasiswa dan pengajar sastra di perguruan tinggi. Di kampus, produktivitas kepenulisan kreatif masih menjadi hal mewah. Meskipun terdapat mata kuliah kepenulisan kreatif, namun tuntutan itu seakan berhenti pada tugas. Mahasiswa sastra belum mampu memproduksi sastra, baik dari sisi kuantitas maupun kualitasnya.

Tentu kita tak bisa sepenuhnya menyalahkan perguruan tinggi. Karena telah semenjak lama para penyair yang ambil bagian dalam jagat kesusastraan baik dalam tataran nasional maupun daerah justru tak lahir dari rahim pawiyatan itu. Berharap para lulusan dan, mungkin pengajar di dalamnya, untuk berada pada jalur estetis-kepengarangan ibarat jauh kendang dari penari. Karena mereka dengan mudah bisa berkilah, ”tugas kami mengamati, menelaah, meneliti, mengkritik, bukan menjadi sastrawan…”

Belum Bersambut

Menggantikan skripsi dengan novel maupun karya sastra lain tentu bukan hal yang mustahil. Namun pada kenyataannya, gagasan yang sebenarnya telah lama dan berulang-ulang terlontar ini belum juga disambut baik oleh perguruan tinggi. Alih-alih memberi perhatian, banyak pengajar terjebak pada penelitian sastra yang terbatas pada proyek yang menghasilkan profit. Mereka hanya melakukan telaah secara kondisional: mengkaji sastra jika ada proyek dan pengabdian, mendekati tenggat penerbitan jurnal, atau dikirim untuk ikut diterbitkan dalam seminar sastra.

Sama halnya dengan skripsi mahasiswa, yang digadang-gadang banyak memberi telaah terhadap karya, hanya memenuhi rak perpustakaan. Semenjak selesai diujikan skripsi itu nyaris hanya dibaca oleh penulis, pembimbing, dan penguji. Maka, boleh dikata, keberpengaruhan ”sastra” dari perguruan tinggi hampir bisa dikata gagal dan tak mampu memberi daya hidup terhadap kehidupan sastra itu sendiri. Lantas, patutkah kita berharap dari tempat tersebut sastra bakal tumbuh subur, dengan melegalkan novel sebagai pengganti skripsi?

Tak sulit merealisasikan gagasan besar di atas. Hal yang sama, tentang skripsi yang dapat digantikan dengan karya, jauh-jauh hari telah dilakukan oleh banyak jurusan seni, seperti seni rupa yang meliputi lukis, kriya, patung, hingga desain, termasuk juga seni musik dan tari. Mahasiswa dari pelbagai jurusan tersebut diperbolehkan membuat tugas akhir berwujud karya. Lantas, mengapa sastra belum mampu, untuk menyebut tak berani, melakukan hal serupa?

Tentu dibutuhkan standar agar sebuah ”produk” dianggap mampu mewakili mahasiswa layak dan patut lulus, termasuk melalui pembimbingan dan pengujian oleh sejumlah ahli. Dan, skripsi-lah yang dianggap sebagai produk akhir yang memenuhi standar tersebut. Orientasi kekaryaan, dalam hal ini novel, belum dianggap produk intelektual yang mampu berdaya saing seperti halnya produk seni lain. Novel selalu saja berada pada diskursif cerita rekaan, yang seakan tak layak untuk mengantar kelulusan mahasiswa sebagai kaum intelektual.

Elitisitas skripsi tentu dapat dilihat dari sejumlah teori yang digunakan untuk melakukan kajian. Berada pada ranah ilmiah, ada hal-hal yang dapat dinilai secara jelas, baik dari segi nalar ilmiah, pemilihan dan pengoperasian teori sehingga bermuara pada hasil. Kesemua itu lantas dipertanggunjawabkan pada uji skripsi. Dalam arti, ada kejelasan standar dan mutu yang telah lama dilakukan sehingga muncul. Namun bukan hal yang tidak mungkin menjalankan gagasan di awal.

Libatkan Pengarang

Secara teknis, pembimbingan dalam proses penciptaan novel pun bisa melibatkan pengarang yang dianggap mumpuni, tentu dengan tetap melibatkan campur tangan pihak universitas. Pengajar pun harus bersikap terbuka terhadap pengarang. Hal itu karena, diakui atau tidak, perguruan tinggi justru acap berjarak dengan pengarang. Bukan tidak mungkin peleburan antara pengarang dan pengkaji bisa jadi menimbulkan friksi antara ”yang idealis” dan ”yang akademis”.

Uji ahli pun diperlukan untuk mengukuhkan novel benar-benar layak sebagai sebuah tugas akhir. Dalam tahap ini, selain diperlukan lagi pengarang lain di luar pembimbing, juga dibutuhkan pembaca sastra. Hal itu diperlukan, selain agar novel memiliki standar estetis tertentu, juga sekaligus menepis anggapan bahwa novel hanya sekadar karya rekaan yang bisa dibuat dengan ngawur.

Satu hal paling penting dari gagasan besar tersebut adalah memfasilitasi mahasiswa agar mampu membuat novel yang bisa memberi kontribusi. Itu jika kita ingat bahwa novel pengganti skripsi telah melalui tahapan pembimbingan intensif dan uji ahli juga pembaca sastra. Idealisme pengarang pun jangan ditenggelamkan oleh kekangan para pembimbing. Karena bagaimanapun, dalam proses penciptaan, pengarang selalu ingin mendobrak konvensi atau yang telah lebih dulu disajikan pengarang lain. Pembimbingan bisa lebih diarahkan pada proses kreatif dan pendalaman karakter dan cerita.

Setelah berwujud novel, tugas berikutnya tentu menerbitkannya supaya bisa semakin banyak dikonsumsi khalayak. Mahasiswa tentu berharap karyanya dilirik penerbit besar sehingga dapat menasional, terlebih jika novel yang ia buat memenuhi standar tertentu, apalagi jika pengarang yang terlibat tersohor. Namun tentu tak mudah mencapai tataran tersebut. Cara yang kemudian acap ditempuh adalah menerbitkannya secara self publishing, menerbitkan sendiri.

Sebagai gambaran, jika ditebitkan secara mandiri, sebuah buku dengan ketebalan 150 halaman membutuhkan dana sekitar Rp 800 ribu. Jika menghendaki untuk dicetak lebih, pengarang tinggal mengganti biaya cetak per buku dengan biaya tak lebih dari Rp 30 ribu. Distribusi karya, yang secara langsung berkait dengan pendapatan pengarang, dapat dilakukan secara gerilya. Bisa melalui sentra kebudayaan, diskusi, sarasehan, hingga menitipkannya kepada dosen supaya menjadi salah satu referensi mengajar di kampus.

Biar terus-menerus mendapat perhatian, novel juga harus diperbincangkan dan berada pada ranah kritik dan pengkajian sastra. Dalam hal ini, harus ada peran sinergis dengan para akademisi dan kritikus sastra untuk mendorong kualitas novel pengganti skripsi.

Ya, boleh jadi ketakutan sering terlampau lebih besar dari apa yang bakal terjadi. Terlebih, tak banyak yang berani mengkritisi atau mengubah aturan yang selama ini tercantum dalam sistem pendidikan tinggi.

Sepertinya novel harus menempuh jalan lebih panjang untuk bisa mengganti skripsi.
***

Menggagas Novel Pengganti Skripsi

Eros dan Sastra

$
0
0

D.A. Peransi

Akhir-akhir ini banyaklah diterbitkan roman dan cerita yang dengan jelas sekali menggambarkan fakta-fakta seksual. Beginilah kebohongan-kebohongan terbesar itu dilakukan atas nama kejujuran dan keterusterangan. Penentuan sinis bahwa dunia sudah demikian dan bahwa hal-hal tersebut lebih baik, juga diceritakan, bukanlah kebenaran yang terakhir. Amatlah berfaedah untuk mencoba sampai pada pengertian dan dengan demikian sikap sebenarnya terhadap lektur semacam itu.

Tidak mudah untuk memperoleh wawasan ke dalam persoalan-persoalan batas ini, karena batas-batas ini memang terbatas dan memiliki kemungkinan senantiasa berubah dan bergeser. Banyak kata yang dulunya dianggap tak patut diucapkan kemudian dipakai masuk dalam rangka penggunaan umum. Betapa sering mode wanita dikatakan tidak susila, untuk kemudian dipakai setiap wanita. Keterbatasan norma inilah yang menjadi titik bertolak serta spekulasi mereka yang pro kebebasan-kebebasan baru, dengan tak ingat bahwa ketidakmampuan untuk menentukan norma/ kaidah secara tepat dan mutlak, tak selalu berarti tidak ada norma.

Untuk kita yang hidup masa kini soalnya menjadi ekstra sukar, karena orientasi kita terguncangkan. Kita baru saja keluar dari hidup kemasyarakatan yang diikat oleh kaidah-kaidah susila tradisional, yang kurang punya tempat dalam rangka hidup modern. Tidak sedikit orang yang tergelincir dan terjerumus. Penerangan seksual yang dulunya hampir tak ada, tak perlu, semakin akut dan mendesak keadaannya dalam kurun waktu di mana dalam seni, pakaian dan bahasa tak lagi jelas perbedaan anatomis antara wanita dan pria. Kiranya tak ada zaman yang lebih tepat daripada masa ini, di mana misteri seksual begitu hidup.

Zaman-zaman berubah. Begitu pula norma-norma.

Penolakan dan reaksi terhadap tradisi nenek-moyang kita berlangsung secara teratur dan umumdan didukung oleh beraneka faktor hingga tidak begitu gampang untuk mensketsakan rupanya. Reaksi jelas dapat kita saksikan di bidang pakaian (mode), seni, dan hubungan antar-seks, yang secara tegas mengemukakannya. Amatlah menyangsikan seperti misalnya dalam filmdan iklan. Kurang tepat kiranya kalau perkembangan-perkembangan ini terlalu dianggap sebagai kemunduran masa lampau, karena dapat dianggap sebagai keuntungan apabila orang dilahirkan tanpa prasangka  dalam hidup kemasyarakatan dewasa ini. Pemungkiran terhadap apa yang lengkap alami tak lagi dipupuk pada mereka, begitu pula rasa ingin tahu yang sehat dan kepura-puraan yang tidak dapat dihindari sebagai konsekuensinya. Dan memang, di masa lampau kenaifan dan ketidaktahuan sering-sering amat menyulitkan.

Orang, terus saja menanyakan: kesalahan apa yang sebenarnya terjadi pada penelanjangan yang diarahi? Bukankah di daerah-daerah tropis orang hampir tak berpakaian? Di manakah letak kesalahannya, apabila wanita dan pria saling bertemu dan berhubungan dalam keadaan seperti ketika mereka diciptakan?

Pertanyaan-pertanyaan yang mula-mula menimbulkan guncangan-guncangan tertentu lambat-laun tak lagi diperhatikan, dan persoalannya dianggap sudah selesai. Mungkin penelanjangan ini bisa berlaku bagi patung-patung batu, tapi tidak buat manusia.

Batas yang membedakan apa yang diperoleh dan apa yang tidak, memang bergeser, tergantung pada waktu dan tempat. Tetapi bagaimanapun juga: Ada batas yang tak dapat dilalui, tanpa kita merasa bersalah. Telah dicoba untuk menyisihkan rasa malu dengan menyodorkan alasan-alasan praktis, dan yang bersifat anti-prasangka agamawi. Pada hakikatnya ini tidak lain daripada melarikan diri secara panik dari misteri yang meliputi kelainan diri-sendiri, dan manusia sesama. Tidak lain daripada penyerahan tak bersyarat dan gagap terhadap apa yang disebut cinta. Ketidakmaluan tidak lain dari familiaritas yang kesusu.

Dari sebab itu, patung bisa telanjang tapi manusia mesti berpakaian.

Dengan mengambil apa yang dipaparkan sebagai latar belakang itu mesti kita tinjau perkembangan roman.

Kita di sini berhadapan dengan pelbagai gejala yang berkembang secara paralel, yang secara radikal telah merombak tata susila dewasa ini. Dari sebab itu penilaiannya pun harus berbeda-beda. Bahasa kini dipergunakan dengan lebih berani. Hal-hal yang dahulu tidak boleh diucapkan sekarang telah masuk rangka penggunaan umum. Rasa malu terhadap penelanjangan kian hari kian berkurang. Baik dalam seni rupa maupun dalam natura. Pergaulan anak anak yang berbeda kelamin lebih bebas.

Kalau fakta-fakta ini kita pandang secara lepas, tampaknya memang tak berarti sama sekali. Tapi ini tak lain daripada gejala-gejala berubahnya, bergesernya suatu  pandangan terhadap manusia. Orang tidak mau lagi melihat manusia sebagai roh yang diinkarnasikan, sebagai Geist-in-Welt yang justru malu karena ia juga merupakan badan, daging. Dewasa ini manusia juga menghargai badannya. “Aku bukan mempunyai badan, tapi aku adalah badan.” Dan amatlah menyangsikan kalau orang melanjutkan, “Aku adalah hanya badan.”

Bahwa dalam pandangan-pandangan ini tersimpul penolakan terhadap pandangan-pandangan tradisional, sudah jelas. Lebih-lebih karena opini-opini tersebut mengarah pada satu tujuan, yakni hasrat untuk menikmati secara lebih intens. Dalam gejala-gejala setiap hari  hal tadi kita temukan. Reklame tak henti-hentinya menyerukan bahwa nilai dan hidup manusia justru terletak dalam memperoleh kenikmatan badani secara lebih banyak, bahwa nilai dan makna wanita justru terletak pada penonjolan keindahan badannya secara terbuka. Dan yang terletak sentral padanya adalah penghayatan (beleving) dari kenikmatan-kenikmatan badan manusia yang paling tinggi, yaitu seksualitas.

Dengan jelas sekali affiche-affiche film dan alat-alat kecantikan mengarah pada seksualitas tersebut. Tidak saja untuk film tetapi juga untuk alat-alat rumah tangga, transport dan lain sebagainya.

Roman mempunyai kurve perkembangan sendiri yang secara kasar dapat digambarkan sebagai proses perkembangan dari penemuan Aku (diri). Janganlah ini dianggap terlampau simplistis.

Dengan ini bukan dimaksud untuk mengatakan bahwa generasi-generasi lampau tidak menangkap apa yang tersembunyi  di balik manusia, tapi roman meraba-raba dengan percobaan-percobaan persona fiktifnya kemungkinan-kemungkinan aku  dan manusia. Dalam petualangan mencari diri-sendiri manusia mengorientasikan diri pada situasi kultural di mana ia ada. Barangkali karena ia lambat-laun akan menjadi manusia-massa dengan lebih intens, dan dengan sadar ia mencari individualismenya.

Kalau ia hidup dalam struktur ekonomi yang pada pertamanya ditunjukkan pada produksi alat alat penikmat dan bukan pada alat-alat pemenuh kebutuhan, maka dalam fantasi ia tak henti-hentinya mencari kenikmatan-kenikmatan yang lebih tinggi. Apabila perang mengajar padanya bahwa eksistensi badannya adalah sesuatu yang tragis sekali, maka bertambahlah hasrat untuk menghayati hidup ini, seintens-intensnya.

Kalau tabu-tabu masyarakat mulai runtuh maka manusia akan berpetualangan dalam lapangan baru yang baru saja ia peroleh, yakni: Kebebasan. Sebagai kosmopolit maka ia dalam eksperimen-eksperimennya mencoba memiliki adat-istiadat negeri-negeri lain. Tidak mengherankan apabila hampir semua garis perkembangan menuju ke daerah erotik, karena di lapangan tersebut kenikmatan badan dapat dikecap tanpa belenggu, dan seintens-intensnya, juga karena avontur individu yang terbesar dialami dalam pertemuan-pertemuan amoreus antarseks.

Di pihak lain dicoba untuk merencanakan suatu erotik sebagai stelsel yang sama sekali buta terhadap kesucian atau pun dosa.

Pertanyaan akan keuntungan atau ruginya, menentukan jalan-jalan yang akan kita tempuh. Pandangan-pandangan baru ini mempunyai satu tendens kemasyarakatannya yang asasi: mereka berpihak pada penghayatan seluas-luasnya dari erotik; mereka anti-larangan yang menyebabkan erotik berkeliaran dalam ruang yang gelap. Tendens yang sama inilah yang juga dengan leluasa mengajar, kadang-kadang dalam pembicaraan-pembicaraan liris, sering pula dengan sifat ilmiah pembicaraan yang minta kebebasan untuk mengadakan eksperimen dan sekaligus pula untuk menyesalkan adanya kesadaran dosa yang hanya menyulitkan manusia.

Kita bisa temukan ini pada D.H. Lawrence, Henry Miller atau buku-buku poket yang tersebar di setiap toko buku. Dengan penggambaran ekstatis dan detail dari permainan erotis ini sekaligus pula muncul motif seberangnya: kemualan terhadap tradisi yang menyebut ini dosa. Semua buku itu menggali temannya dari konflik antara roh dan daging, hukum dan alam. Pahlawan modern tidak lagi mempunyai pertentangan-pertentangan dalam hatinya. Ia tidak sentimental, pun tidak dingin. Ia adalah petualang yang mempunyai pengalaman banyak dengan wanita yang dihampirinya secara kasar. Rasa-rasa telah digantinya dengan kejujuran. Ia tidak berjanji, tidak meminta, tapi cuma merebut dan membuang. Katanya: atas nama kebebasan dan alam.

Bisa dimengerti bahwa dari pihak lain kesangsian tradisi merencanakan jaringan larangan dengan hasil yang terletak di seberang maksud semula. Roman adalah gambaran dari pergerakan ini. Apa yang diceritakan sudah lama atau belum pernah terjadi. Pembacalah, yang memberi hidup pahlawannya. Dan yang ingin dengan sugesti pengarang mengadakan eksperimen dengan masa depan pahlawan ini. Begitulah, secara teratur terpupuk kebebasan erotik.

Manusia memang makhluk yang senantiasa melampaui batas-batas pemberian alami. Dunia yang diberikannya, yang alami, diubahnya dengan alat-alat yang ia temukan. Dengan demikian dunia dimanusiakannya, setiap kali ia memungkiri eksistensi momen-nya. Ia membangun diri dalam arti bahwa ia tidak terlalu membebaskan diri dalam pemuasan kebutuhan-kebutuhannya, yang bersifat kebinatangan. Binatang tidak mengenal pembatasan.

Tapi manusia bekerja, ia tahu akan lahir dan matinya. Manusia melarang dirinya sendiri untuk menjadi binatang. Tentang larangan tadi kita kini sedikit sekali membicarakannya. Larangan tersebut telah menjadi umum dan usang. Kalau manusia bisa maka ia akan memungkiri kebinatangannya. Dengan kematian dan perkembangbiakan manusia berada dalam alam, di mana bukanlah individu yang memegang peran tetapi hidup daripada jenis-jenis. Manusia memungkiri ini dan mencemoohkan ketelanjangan yang membelenggu dirinya, untuk apa sendirian.

Dalam semua kebudayaan, seksualitas dipagari dengan larangan-larangan, di mana incest adalah larangan yang paling nyata. Di seberang kenaifan kebinatangan berdirilah aktivitas seksual dari manusia yang diwarnai dengan rahasia dan larangan. Masyarakat tidak mengorganisasikan seksualitas tapi mengatur pelarangan-pelarangan terhadap larangan agak berat sebelah, tapi tidak seluruhnya salah, adalah definisi Baudelarie yang mengatakan, bahwa: Kenikmatan paling tinggi dan cinta terletak pada kepastian melakukan yang salah (dilarang), seperti korban adalah pelanggaran dari larangan untuk membunuh, begitulah perkawinan adalah kadar ritual dari seksualitas yang diperbolehkan.

Dalam arti yang paling absolut larangan ini berkisar pada ketelanjangan. Pelarangan terhadapnya adalah tema umum dari erotik. Erotik adalah penelanjangan sebagai dan menyangkut kebalikan dari suatu gaya hidup yang telah ditentukan sebagai satu-satunya gaya yang benar. Tapi di belakangnya terdapatlah rasa-rasa bagian-bagian dan gerak-gerak badan yang bisa memalukan kita. Memang, ini adalah sebagian dari eksistensi manusia, tapi toh bagian yang mesti dirahasiakan. Terlampau naif kiranya apabila orang berpendapat bahwa seksualitas bagi kita amat alami, dan tak bermasalah, dan bahwa kita sebaiknya berhenti malu-malu. Tapi justru bidang seksualitas inilah yang merupakan lapangan, di mana keganasan dan kehalusan saling bertetangga; di mana mati secara samar-samar hadir dalam hidup pun mulai berkembang.

Erotik dan etik saling membantu dan mengisi, tapi tak pernah bisa didamaikan.

Apa yang terpapar di atas sudah cukup jelas untuk menyimpulkan, bahwa apa yang diserukan oleh nabi-nabinya yaitu kebebasan dan alam tidaklah insani dan dengan demikian tindak susila. Tidak itu saja. Tapi juga illusoir sekali, a fool’s paradise dalam arti harfiahnya. Akhirnya apa yang mereka arahi bukan tidak berbahaya karena pengejaran kenikmatan membawa mereka kepada keganasan.

Perang sabil terhadap pornografi tidak gampang karena para pramukanya yang memperjuangkan kejujuran absolut tak lain dan tak bukan merupakan penipu-penipu besar. Film-film yang terus terang menggambarkan ketidaksusilaan dan keganasan tak menyembunyikan apa-apa pada publik, juga tidak bagaimana tokoh-tokohnya sampai pada ajal. Penulis crime stories dan cerita-cerita cinta penuh naluri tak banyak berbeda. Koleksi foto-foto telanjang dijual dengan alasan: memenuhi kebutuhan seniman akan model. Cerita-cerita fantasi dengan momen-momen erotis ditulis secara massa-produksi, katanya untuk memperluas wawasan orang.

Kalau pornografi kita batasi sebagai kesenjangan untuk melukiskan yang obscene dan untuk menimbulkan rasa-rasa yang bersangkutan dengan itu pada pembacanya, maka tentu akan ada satu yang boleh muncul, tapi faktanya adalah bahwa pencetakan buku-buku itu disertai oleh motif-motif kuasi baik. Begitulah obscene ini menjadi pengertian relatif, seluruhnya tergantung pada situasi kultural dan kemampuan pembaca.

Sebagai akhir mesti kita simpulkan: Pornografi yang jujur tidak ada. Sementara pornografi yang tidak jujur itu karena licinnya bisa meloloskan diri dari tanggapan masyarakat yang mau membela diri terhadap keruntuhan batin. Dipermudah lagi karena dalam kurun zaman di mana norma-norma seksual memegang peran besar, kita amat sukar membatasi dengan jelas apa sebenarnya yang disebut obscene itu.

Tidak bisa kiranya kita harapkan tindakan-tindakan yang bersumber pada hukum. Persoalannya jangan diisolasi dengan hasil kehilangan proporsi. Apakah kita bisa menahan percobaan yang disodorkan oleh pornografi, tergantung dari pertanyaan apakah kita memiliki kesadaran akan harga diri, apakah kita dengan memaklumi kebadanan kita, menolak untuk merosot ke arah niveau binatang.

Itu memang soal kata hati, yang mesti dijaga terhadap profanisasi! Begitulah kesusilaan berarti penyadaran norma-norma etis dan estetis. Estetis, karena dipertimbangkan segi-segi kualitatif yang menjaga harga kita. Etis, karena mendorong kita ke arah yang baik.

Nritya Sundara, akhir April 1961

[Dikutip dari Sastra No.5 Tahun II, 1962, hlm. 29-30]

Tulisan sebelumnya: http://sastra-indonesia.com/2020/02/tuhan-imajinasi-manusia-dan-kebebasan-mencipta/

Sepilihan Esai & Kritik Sastra, Copyright © Pusat Pembinaan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Cetakan Pertama, Juli 2017, ISBN: 978-602-6447-29-6, KURATOR/ EDITOR: MAMAN S MAHAYANA, Hak Posting: PUstaka puJAngga (PuJa).

PUISI-PUISI NEZAR PATRIA

$
0
0

Kompas, 2 Juli 2016

PELAJARAN GEOGRAFI

Sebelum memalingkan wajah
Kita memutar bola bumi

Mencari peta kenangan di sekolah
Belajar mengukur kebahagiaan remaja
Yang terkejut oleh ciuman pertama

Kita tahu dulu ia bukan hal sia-sia
Hingga kota-kota ini menjelma taman api
Melalap segala terlihat di Google Earth

Lalu sebuah zoom-in menjadi buram:
Mengapa kotamu legam
Dan kotaku dingin seperti logam?

Setelah memalingkan wajah
Kita adalah makhluk asing di bumi.

2016

MENGHADIRI PENGAJIAN RUMI

Alif.

Pada Alif aku belajar segala awal menuju Ya. Dia muncul suka-suka dari balik kitab, lalu mengabarkan sebelum ada cahaya, semesta adalah setangkup gelap. Ia tak takjub melihat bumi hanya sebutir debu, karena di kerjap mata kakinya terayun bima sakti. Begitulah kau ada dan tiada seperti Alif berjalan menuju Ya. Aku tak paham. Ia mungkin dongeng dari mereka yang kurang tidur siang. Rumi selalu mengantuk sewaktu aku bertanya soal rahasia-rahasia.

Ba.

Ada lelaki tambun berbaring di pematang. Ia Ba, perut bulatnya tak berhenti berguncang karena tertawa. Wajahnya selebar teratai di kolam air mata. Dia mengatakan aku tak sampai ke nirwana jika tergoda sebundel arsip bagaimana cara bergembira. Ia mengambil segulung kertas, lalu menulis: “Samsara adalah sumur daya cipta bagi segala termasuk menimba kata bahagia”.

Ta.

Aku duduk bermuka-muka bersama Ta, dan segera ia membuatku jadi skizofrenia. Segala yang melintas pada Ta akan terbelah dua: langit-bumi, air-tanah, bahagia-derita. Aku tak bisa membaca mana lebih baik, ke kanan atau kiri. Di kanan bersarang para pesolek pemuja diri. Aku lebih suka ke kiri karena begitulah Rumi mengajariku mengaji. Ia tak menghujah jika aku hilang arah. Ia hanya berbisik di antara benar dan salah ada sebuah savana, dan dia akan menemuiku di sana.

2015-2016

MEMBACA TANDA BACA

/1/
yang tak kita pahami dari tanda baca
dulu ada garis lurus ke hatimu
tak bersimpang dan menikung

/2/
di aortaku dia menderas
ke jantungmu dia menyerbu
begitu lama, dan terus begitu

/3/
ada sepotong hati di dalam laci
sebuah titik yang tak lagi berhenti
sesuatu yang bebas dari tanda petik

/4/
begitu lama dia membatu
begitu lama tak berwaktu
ke arahmu dia kembali menderu

/5/
Ia semacam cinta tanpa tanda seru

2016

____________
*) Nezar Patria, lahir di Sigli, 5 Oktober 1970. Lulus dari Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta (1997), dan program pasca sarjana untuk studi politik dan sejarah internasional di London School of Economics (LSE) pada 2007. Bekerja sebagai wartawan di sejumlah media, antara lain Majalah Berita Mingguan TEMPO (1999-2008), ikut mendirikan portal berita VIVA.coid (2008-2014), dan menjadi Wakil Pemimpin Redaksi CNNIndonesia.com (2014-2015). Kini bekerja di The Jakarta Post sebagai Digital Editor in Chief, dan tercatat sebagai Anggota Dewan Pers mewakili unsur wartawan. Selain menjadi wartawan, dia juga pembaca rakus karya sastra. Menulis sejumlah esai dan puisi, serta ikut menjadi wali sekolah di Komunitas Tikar Pandan, Banda Aceh.
https://puisikompas.wordpress.com/2016/07/07/puisi-nezar-patria-2/


Naskah Teater: PUNK

$
0
0

Zaman Pasca Reformasi sampai Pasca Pilpres
Viddy AD Daery *

(Untuk pementasan dengan durasi 30-45 menit).
Sinopsis:
Segerombolan anak-anak Komunitas Punk bernama “Nam-Punk,” karena menyukai angka 6, diserupakan dengan lambang 69 di bendera mereka -pada suatu hari sehabis berapresiasi seni di markasnya yang kumuh dan pesing- didatangi beberapa tokoh partai politik tua maupun muda. Mereka ingin merekrut kaum Punkers untuk konstituen mereka yang baru, menyambut pemilu yang akan datang. Anak-anak Punk yang anti-kemapanan diajak berpolitik? Maukah mereka? Lalu apa yang terjadi?

Pemeran Utama:
Kit: Remaja berusia 22 tahunan, tokoh non formal Genk Punk “6-Punk”, selalu bersama teman-temannya sejumlah 6 orang Punkers (2 wanita, 1 di antaranya berjilbab hitam –memang, mereka menyukai kostum warna hitam, berlobang-lobang serta ditambahi asesoris bermacam-macam).

Gus Uzur: tokoh politik tua usia 55 tahunan, perawakan gemuk, selalu memakai batik, dan kopiah, berjalan mengenakan tongkat.
Kadam: 35 tahunan, asisten pribadi Gus Uzur, berkostum sama dengan tuannya, memelihara jenggot agak panjang, dan beberapa figuran.

Adegan Dimulai:
Setting:
Pojok GOR (Gedung Olahraga) Republik Jontor yang kumuh, kotor, penuh sampah, bau kencing, alkohol, muntahan, dan sebagainya menjadi satu dengan puing-puing berserakan persis Indonesia Raya.
Di dinding-dinding yang sudah kusam, karena lama terlantar tak pernah diperbarui catnya, retak-retak penuh coretan grafiti berbau sex, pornografi, anti pemerintah, anti kapitalisme, anti orang tua, tetapi sayang Ibu.
Juga tertempel dua poster yang memuja tokoh Grup Punk, dan satu poster semboyan: NgEROCK 24 JAM KECUALI SEDANG NgOROCK!!!

(Adegan dimulai dengan berdentaman suara Musim Punk-Rock Super bising, yang vocalnya kayak orang demam.

SFX: Terdengar suara bising musik rock super underground yang tidak bisa dibedakan suaranya, antara musik dengan tembakan mitraliyur perang dunia.

Enam Punkers (2 wanita) berjoget uyel-uyelan ala Punk-Rock yang tidak beraturan, malah mirip orang berkelahi.

Setelah beberapa lama, kemudian Kit, tokoh kelompok non formal “6 Punk” menepuk tangan, dan langsung saja musik cadas keras terhenti seketika, lantas semuanya yang menari berhenti ajojing dengan tidak beraturan, tidak serta merta, serba tidak beraturan -semaunya.

Kit: Hai teman-teman! Hari ini ada rejeki tiban! Kita mendapat sumbangan dari “seorang hamba Alloh” berupa 1 krat bir!!!
Punk 2 / cewek: Ya Ollooooh…hamba Alloh kok nyumbang bir?
Punk 3 / cowok: Alaaa… itu hamba Syetan namanya!
Punk 4/ cewek berjilbab: Hee… tokek! Hamba Syetan ya kita semua…!!!
(Semua tertawa terbahak-bahak dan terkikik sepuasnya sebebas-bebasnya).

Kit: Sudah, sudah, Coy! Mari kita syukuri sumbangan dari orang yang nggak mau disebutkan namanya tuh! Mari nyante pesta bir sambil berapresiasi seni… ayo siapa yang mau mulai?
Punk 2: Bonar tuuh! Dia baru pulang nyusu emaknya di Tarutung, Medan! Coba barangkali dia mau nyanyi Buteeeeeettt… (Semua ketawa ngakak).

Punk 5 / Bonar / berlogat Batak: Ah, kau ini… cemmana bilang Punker nyusu Ibu?
Boleh juga kalau nyusu tante-tante susu gede?!
(Semua Punkers ketawa, sambil kemudian mulai membuka bir dan menenggaknya, lantas ada yang gelegeken dahsyat… semua pesta ketawa gembira).

Punk 5 / Bonar : Oke, oke… aku tidak, menyanyilaah… aku punya oleh-oleh yang lain… puisi Batak gambaran dari kampong Ibuku, di mana semua orang sudah puzzziiing, karena harga-harga naiiik terus mengikuti BBM yang naik teruuuzzz… hanya harga diri kitalah yang turun!

(Bonar baca puisi). Puisi…. monggo dibikin… puisi teler absurd.
(Semua tepuk tangan meriah, dan bersuit-suit).

Punk 4 / cewek berjilbab: Kalau masalah pusing harga naik terus, bukan cuma urusan orang Bataklah Bonar. Seluruh Republik Jontor ini juga pening aku… pening aku..! (meniru akting Ruhut Batak yang memukul-mukul dahi ala di sinetron Gerhana).

Punk 3: Aku gak mau kalah reek! Punker Suroboyo asli Cuuk…
Aku mau nyanyi lagu kebangsaan kita “Punk Rock Panas Dingin”.
Kalian yang kesetrum pingin ikut nyanyi bolehlah ikutan nyanyi bareng!
(Musik SFX berbunyi, Punk 3 mengacungkan jemari tangan, dan menggerakkan acungannya ke kanan ke kiri ala superstar rock di panggung… dan semua temannya mengikuti).

Punk 3 diikuti teman-temannya:
Panas-panas-panas-panaaaaaaas
Anget-anget-anget-angeeeeeet
Dingin-dingin-dingin-dingiiiiiiiin
Anyep-anyep-anyep-anyeeeeeeeeep…

Panas -dingin,panas- dingin tubuhkuuuuu
Anget-anyep-anget-anyep bathukkuuuuuuu (2 X)

Kalau panas tolong dinginkaaaaan
Kalau dingin tolong hangatkaaaaaan (2 X)

Panas-dingin-panas-dingin
Panas-dingin-panas-dingin (8 X)

Semua sembuh, karna kasih sayang-Muuuuu
Semua sembuh, karna cinta suci-Muuuuuu
Semua sembuh, karna persahabatan yang aaaaabbbaaadddiiii….
(Lalu semua toast dengan khusyuk, seakan mereka semua baru berzikir, lalu saling keplakkan tangan, dan akhirnya bertepuk tangan).

Punk 6: Oke, penampilan berikutnya, aku Punker nJombang !
Aku mau menyanyi lagu irama Punk-Slow… ini lagu keramat warisan embahku…
Simak baik-baik yaa…

Tombo ati iku lima sak wernane
Kaping siji moco Qur’an sak ma’nane…

Semua meledek:
Alaaa… brentiii… brentiii… wooee… wooeee!
Masak Punkers dikasi lagu yang letoy…
Bikin semangat hidup kita lemes gak enerjik maaaan!

Kit bangkit, lalu bersuara lantang: Sudah, sudah, Coy!!!
Kuingatkan ya… kita-kita ini orang Punk harus punya solidaritas tak terbatas kepada sesama Punk…
Kita ada di sini kan karena MUAK dengan orang-orang di luar sana, yang selalu memberi hidup ini penuh dengan batasan-batasan…
(Kit diam sejenak memandang berkeliling, teman-temannya menyimak).

Hidup harus begini gak boleh begitu!
Atau harus begitu gak boleh begini!
Begini begitu begini begitu begini ni ni niiiii
Begini begitu begini begitu begitu tu tu tuuuuu
(diulang-ulang meniru Benyamin S., dan teman-temannya menirukan Kit, sang pemimpin non formal itu). Setelah itu, semua ketawa lepas, menertawakan hidup ngakak sepuasnya…

(Terdengar Suara Bedug dan Adzan lamat-lamat).
Kit: Subhanallooohhh… Naah! Sudah tiba waktunya sholat ashar! Ishoma! Ishoma!
Aku mau sholat ashar dulu, yang mau ikut ayuk…
Yang gak mau sholat silahkan nyante aja…
Kit bangkit diikuti Punk wanita berjilbab, mereka masuk ke balik panggung
Teman-teman Punk yang lain terus menikmati bir dan bersenda gurau.
***

Tiba-tiba datang seorang tokoh Partai usia tua, terkenal dengan nama Gus Uzur, atau dipanggil Gus Zur. Gus itu datang disertai seorang Kadam atau kyai muda staf ahli yang berjenggot agak panjang. Di belakang tampak 2 bodyguard sangar menjaga.

Gus berjalan terbata-bata seperti orang tua, melangkah dengan tongkat di tangan, diiringi Kadam yang selalu bawa buku agenda, pulpen, dan senantiasa siap mencatat apa-apa perintah Gus Uzur.
Dua bodyguard berpenampilan serem dan sangar menjaga di belakang, mata mereka jelalatan ke kiri-kanan dengan kewaspadaan yang berlebihan.

Gus: Assalamu’alaikum adik-adiik… Yok opo kabare rek? (sok akrab)
Para Punkers: Wa’alaikum salaam…emm maaf, siapa ya?
Kadam: Waaduuh, kalian ini kuper! Hidup tertutup siiih…
Masak gak tahu tokoh terkenal kayak gini!
Ini Gus! Gus Uzur! Tapi cukup dipanggil Gus saja!
Sudah tahu ?
Punkers: Mmm… siapa ya Gus itu?
Kadam : Kampungan! Gus itu tokoh Partai Besar! PMR atau Partai Memperalat Rakyat! Naah, tahu kan sekarang?

Punkers: Maaf.. enggaaaak!
Kadam: Masya Alloh… jadi yang kalian tahu apa saja?
Punkers: Banyaak… Nazi, Swastika, Sex Pistols, 69, Musik Rock, Bir, Rokok…
Kadam: Naudzubillahi min ndzaalik! Kalian ini hamba-hamba syetan!
Kalian calon penghuni neraka nomoer satu!!!!
(Keadaan jadi tegang… Para Punkers bersikap menantang, maka Gus segera mendinginkan suasana).

Gus: Maaf, maafkan Kadamku yang kasar ya adik-adik!!!
Kadam,… minggir! Kamu jangan kasar begitu doong.
Syetan juga hamba Alloh kok! Ya kan adik-adik?
Punkers: Setujuuuu, Gus!
(Keadaan menjadi cair lagi).

Gus: Naah, begini ya, eh… ngomong-ngomong sudah pada minum bir 1 krat belum?
Punk : Sudaah, Gus! Kok Gus tahu sih, kalau kami barusan minum bir 1 krat?
Gus: Lhooo…wong yang mbelikan saya kok… hamba Alloh itu sayaa…cuma saya nggak mau riya’…kita itu kalau amal nggak mau menonjol-nonjolkan diri… takut pahalanya hilang…
Punk: Waah terimakasih ya Gus.
(Semua Punkers menyalami Gus. Mereka salaman biasa saja. Namun Kadam marah-marah lagi).

Kadam: Hei! Nggak tahu sopan santun ya! Kalau salaman dengan Gus itu harus pakai nyium tangan!
(Punkers bingung lagi… lholhak lholhok…).
Gus: Sudah, sudah, Kadam! Giiitu aja kok repoot… Kamu nggak tahu ilmu politik ya… pelajaran politikmu belum lulus Kadam!
Sudah kamu diam dulu!
Di sini ini pakai bahasa politik, jangan pakai bahasa pondok pesantren! Paham?
Kadam dan para bodyguard: Pahaaaaam…..
(Para Punkers tertawa terbahak-bahak, Kadam dan para bodyguard tersinggung, tapi Gus menenangkan mereka).

Gus: Gini ya adik-adik… kalian ini kan punya tujuan hidup kan? Nah, tujuan hidup adik-adik ini apa sih sebenarnya?
Punk 3: Ngerock! Ngebir ! Ngesex!
Kadam: Astaghfirullah hal adziim…
(Gus memberi isyarat tangan, melarang anak buahnya bereaksi berlebihan).

Begitu Kadam pergi, lalu masuklah Kit dan Punkers berjilbab, mereka agak bingung dan merasa surprise serta bangga, karena melihat Gus tokoh besar kok berada di kalangan lingkungan mereka.

Kit: Waah, ada tamu besar rupanya… Assalamu’alaikum Gus! Anda tokoh favorit saya!
Gus: Okkkee… okeee… jadi begini adik-adik… saya menawari kalian semua jadi underbow Partai saya….
Kit: underbow itu apa????
Gus: Underbow ituuu… semacam Organisasi Sayap atau organisasi pendukung… jadi gini… Pemilu yang barusan berlangsung… kan Organisasi Underbouw Partai kami, ada beberapa… misalnya:
Ban Serep… anggotanya adalah para preman penambal ban.
Ben Jol… anggotanya adalah para preman berkepala botak.
Komunitas Pasien RSJ… anggotanya adalah para pasien dan alumnus orang Gila.
Dan beberapa lagi… Nah sekarang kita akan bikin Komunitas Punkers Syari’ah…

Gus: Yaaa, aku ngerti, itu tujuan utama kalian. Atau kesenangan hidup kalian yang paling utama. Tapi kan ada yang sekunder, atau yang kedua yang justru dalam jangka panjang bisa membuat hidup kalian lebih enak daripada sekarang.

Punkers : Kami nggak ngerti Gus. Apa itu ya?
Gus: Yaa misalnya ingin jadi Menteri! Atau anggota DPR! Atau minimal menjadi anggota Partai Besar! Mendapat seragam, mendapat kartu anggota, mendapat identitas yang jelas, menjadi orang berguna! Naah bagaimana?

(Para Punkers makin bingung. Bagi mereka, masalah politik adalah masalah yang jauh tinggi di awang-awang, asing bagi mereka, masalah paling penting dalam keseharian para anak Punk adalah musik rock, makan-minum, dan rokok).

Punkers: Kami bingung Gus! Jangan ajak kami bicara yang muluk-muluk, mendingan ajak kami makan siang ajalah… sudah sore begini kami belum makan siang… perut kami lapar!

Gus: Ooo begitu to? Oke, oke itu masalah kecil. Kadam, tolong beli nasi bungkus untuk adik-adik Punk ini!
(Kadam segera melesat pergi membeli nasi bungkus).

Tentunya kita akan gelontor Dana untuk operasi kegiatan… paling tidak anggaran Nasib Bungkus dan Bir sudah pasti kita adakan.
Naah… gimana setuju???

(Kit berfikir mewakili teman-temannya).
Kit: Hmmmm baiklah Gus… kami mewakili teman-teman menyatakan Setuju, tapi ada syarat… yaitu… Komunitas Pendukung kami juga anda perbolehkan jadi anggota Onderbow… gimana???
Gus: Hmmmm…. boleh-boleh… tentu saja boleeehhhh… jadi kamu mau tambahkan anggota Onderbow apa saja???
Kit: Komunitas Pecinta Kucing… Komunitas Pecinta Anjing… Komunitas Pecinta Reptil… dan Komunitas Pemburu Hantu Pocong….

Gus: Huuuahahahahaaaa… baguuusss… itu ide sangat baguuuusss… aku setujuuuuu!!!! Tos doong!!!

(Gus mengajak semua anggota Punk bertos).
Tos.
Tos.
Tos.
Tos.
Lalu semua berjoget diiringi lagu Dangdut merdu ala Suket Teki…

LAMPU MENUJU GELAP
LAYAR PUN TURUN

Griya Ugahari Margonda, 17 Agustus 2009
Laren, Lamongan, Jawa Timur, 25 Februari 2020.

_________________
*) Viddy Ad Daery, penyair, novelis, wartawan, budayawan, dan pembuat filem. Lahir di Lamongan, 28 Desember 1961. Kini suka mengembara di seluruh pelosok Nusantara, negeri paling ajaib di dunia, demi mencari ilham karya serta menyebarkan setetes ilmunya. No Kontak: 0856 481 50 681. Yang ingin mementaskan lakon Drama ini, mohon menghubungi penulisnya, terima kasih.

MALAM DAN HUJAN YANG SINGGAH

$
0
0

DI PELABUHAN MENENG DAN TERMINAL KAPURAN


(Ayam Jantan, Cat minyak di kanvas, lukisan Ndix Endik)
Taufiq Wr. Hidayat *

Angin dari Selat Bali tiba juga pada tiang-tiang di Pelabuhan Meneng. Pelabuhan utama Jawa dan Bali di utara kota Banyuwangi itu, menyerbakkan aroma lautan ketika malam, pagi dan senja hari. Perusahaan penyeberangan yang dikelola orang-orang luar. Sedang perusahaan penyeberangan milik pemerintah setempat, bangkrut. Kau akan menemui “anak-anak logam” yang berkulit hitam kebiruan, menyelam memungut uang logam ke dasar lautan. Para penjual kacamata, dan mereka yang bepergian. Orang-orang asing datang dari Bali, kembali ke Bali, beli makan di tempat mewah, lalu menikmati gunung Ijen yang dipahat cor-coran. Sedang masyarakat masih saja bertani, berkebun, berdagang. Mereka tak ambil bagian dari industri. Hanya korban. Korban yang setiap saat dibawa-bawa namanya, disanjung-sanjung kesabarannya, diberi pelatihan supaya bisa bekerja, dan didatangkan “tukang ceramah” untuk mencekokkan agama pada ketakberdayaan, yang disebut-sebut sebagai kedaulatan dan yang mewakili suara Tuhan waktu pemilihan umum. Sejak kapan Tuhan bersuara melalui rakyat, dan apa bukti rakyat mendengar suara-Nya? Tanya seseorang dari balik kegelapan.

Nama Pelabuhan Tanjung Wangi yang disematkan negara, tak pernah dipakai masyarakat. Orang tetap menyebut pelabuhan itu Pelabuhan Ketapang atau Pelabuhan Meneng. Begitu juga terminal di utara pelabuhan. Orang menyebutnya Terminal Kapuran, tapi negara memberi nama Terminal Induk Sritanjung. Dari soal nama saja, negara selalu memaksa masyarakat. Sehingga jangan heran, bila lidah masyarakat tak patuh pada nama pemberian negara. Di situ, kau saksikan terminal yang bernafas seolah sekarat di antara bukit-bukit berkapur di barat. Pabrik semen. Dan udara yang tak bersahabat bagi paru-paru manusia. Bis-bis malam keluar-masuk pada lambung terminal yang selalu sepi. Dulu pada tahun 1990-an, terminal tersebut ramai. Angkutan antardesa dan kecamatan yang disebut “lin”, mengangkut penumpang sampai penuh. Bokong harus digeser sedikit demi sedikit, agar tempat duduk yang sempit cukup. Kernet seringkali keluar pintu mobil, karena mobil sesak hendak meledak. Anak-anak sekolah. Dan orang-orang yang akan berbelanja atau pulang dari kota. Terus ke arah utara dari Terminal Kapuran, kau akan bertemu Pantai Kampe. Di pantai itu, tersimpan bangunan dan alat perbaikan kapal yang terbengkalai. Kebutuhan dan harapan manusia, selalu dikalahkan politik. Dan hukum menjadi senjatanya yang ampuh.

Sebelum Terminal Kapuran, tepat depan pintu masuk pelabuhan Meneng sebelah utara, tumbuhlah warung tepi jalan yang memanjang. Orang menyebutnya Warung Panjang. Di warung yang memanjang itu, perempuan-perempuan penghibur setengah baya menanti tamu; sopir, laki-laki kesepian, dan entah siapa lagi. Perempuan-perempuan malam di sana rata-rata perantau, datang dari tempat jauh, mencari nafkah dengan mengadu tubuh dan nasibnya. Sekarang Warung Panjang yang kumuh dan legendaris telah diratakan petugas. Barangkali negara tidak ingin melihat kekumuhan dipamerkan di tepian jalan. Agar dunia tak jijik. Menolak pelacuran yang terang-terangan dan murah. Maka kemudian lahirlah hotel-hotel besar ke dunia, megah dan mewah. Prostitusi yang purba tak pernah bisa kau kira musnah hanya lantaran tempat praktik prostitusi dimusnahkan. Tapi tenang saja, masih ada warung cukup bersih, yang tatkala malam masih menyimpan perempuan-perempuan yang cukup muda dengan tubuh yang montok. Karaokean. Dangdutan. Dan bir. Di mana para penikmat malam dengan uang pas-pasan, dapat meraih surga semalam dengan harga terjangkau dan bersahabat. Malam selalu membawakan udara dingin dari lautan, seolah membisikkan harapan yang setiap saat melintas di antara hujan, yang secara samar bersijingkat di jalan kecil itu, dan yang seringkali kau ajak singgah demi sekadar air melepaskan dahaga. Kadangkala harapan yang melintas, kau biarkan saja berlalu. Kau biarkan saja ia tertatih melewati jalanan yang panjang, tanpa siapa-siapa, sendiri, tak ingin ada yang memahami dan mengerti, terus berjalan entah sampai kapan.

Kata orang entah siapa, kepedihan selalu mengajak manusia berlari. Ia akan lari ke harum parfum perempuan asing, lantaran rumahnya sesak kesibukan sehari-hari tanpa kemesraan yang bermakna, sementara kebutuhan sehari-hari kian hari kian melambung tinggi. Ketenteraman rumah tangga pun sering diukur dengan pencapaian materi. Apa boleh buat? Toh pada kenyataannya, mereka yang terhimpit akhirnya menemui kejatuhan, kebimbangan, dan hidup yang tak berhasil diberinya judul. Tapi siapa bilang mereka yang mapan tidak juga melarikan diri? Mereka pun melakukan pelarian diri secara membabibuta dari kenyataan, karena tak kebagian peran aktual atau diteror kebosanan hidup yang mencekam kepada moral dan agama. Sampai-sampai membuat agama dan moral tampil berwajah tolol dan kaku. Orang mencari sesuatu yang tak nyata untuk menyelesaikan perkara-perkara nyata yang pelik dan tak bisa dibereskan. Ada “hidup yang tergadai, pikiran yang dipabrikkan, dan masyarakat yang diternakkan,” kata WS. Rendra. Di tengah kenyataan yang menghanguskan hati, rutinitas yang seragam, doktrin-doktrin keyakinan yang membatu, kepastian teknologi yang harus, manusia menjadi robot yang pikirannya “dipabrikkan” dan hak hidupnya “diternakkan” kehendak-kehendak kekuasaan dan kebendaan di dalam atau di luar dirinya. Nyanyian kematian terhadap kemanusiaan dilantunkan dengan hikmat dan menyedihkan. Banyuwangi didatangi orang: Tumpangpitu digali emasnya, gunung dan hutan lindung diperkosa. Di sana, perkara Omnibus Law yang mencemaskan, Revitalisasi TIM entah buat siapa, RUU Ketahanan Keluarga, sepakbola yang menyimpan api dan selalu kisruh, Pancasila yang dipertegangkan dengan Agama. Di situ pula, orang melihat banjir yang tak masuk akal, tanah longsor yang mengubur siapa saja. Corona jadi ketakutan juga guyonan. Para mantan ISIS yang ingin pulang, berita dan informasi penculikan anak yang meresahkan. Ada berita yang salah atau kenyataan yang keliru? Ataukah peristiwa yang tak sempat dicerna dalam kesadaran hukum dan kemanusiaan?

Di antara segalanya, ada yang memang terasa hilang. Dalam kegelisahan yang kelam, WS. Rendra mencemaskan tanya dalam sajaknya “Doa di Jakarta”. Ia galau. “Ketika air mata menjadi gombal,” katanya. Sedangkan semua komunikasi dan informasi cuma rangkaian “kata-kata menjadi lumpur becek” belaka. Ia menoleh ke semua arah, kemudian bertanya dalam cemas yang menggemas: ”di manakah kamu?” ujarnya. “Di manakah tabungan keramik untuk uang logam? Di manakah catatan belanja harian? Di manakah peradaban?”

Barangkali kecemasan Rendra mencekam sampai jendela, tatkala ia berada di ibukota. Ia tak menulis sajaknya di Meneng dan Kapuran, nama pelabuhan dan terminal di ujung timur pulau Jawa. Namun kecemasan dan gelisah yang sama, tentu bertemu. Keadaan yang tak berbeda. Kepedihan yang serupa. Yang dibeli negara, yang terbengkalai pula pada akhirnya. Kesia-siaan yang tak dapat didaur ulang menjadi kemungkinan.

Siapa yang mau pulang dalam kesepian? Siapa yang mabuk di antara lampu-lampu, perempuan-perempuan malam dengan segenggam harapan di balik celana dalamnya? Di stasiun Ketapang, sebelum pintu, jalan berbatu. Sejumlah warung. Orang-orang datang dan pergi. Ia menyimpan wajahmu di situ. Orang-orang ramai, dan negara mendirikan bangunan dari telur ular. Setiap kemegahan pasti meminta tumbal, menyelenggarakan penghisapan. Memang demikiankah hukum sejarah? Ada yang tenggelam di Selat Bali yang mengamuk, ada yang pergi ke stasiun Ketapang, ada yang menanti di bawah atap darurat, ada yang tertawa menikmati minuman, ada yang mengebor gunung, ada yang berpesta pora, ada yang terluka. Di sana, di tepi pelabuhan, rumah-rumah malam dihuni perempuan malam, tanpa nama tanpa harapan. Mereka tak membutuhkan identitas, bahkan ingin mengubur identitasnya di antara sampah yang mengalir pelan di sungai yang menuju muara. Kadangkala kau mencari sepi di sana, mencoba menemukan mimpi anak-anak yang bersih tawanya. Dan kau akan menemukan sepi mengambang bagai bangkai anjing berperut gembung. Ada yang bergembira, ada yang berduka. Tapi tetap saja: di manakah kini kamu berada? “Ada yang jaya, ada yang terhina,” kata Rendra. Kemudian tepat di jantung kenyataan dan peristiwa, ia bertanya gelisah: “dan saudara berdiri di pihak yang mana?” ujarnya. Sedang di segenap wilayah Banyuwangi, festival ramai sekali. Persoalan hidup semakin tak mudah untuk dikenali, cukup berikan pesta pada derita dan ketimpangan, maka semua akan tampak baik-baik saja, ujar Julius Caesar dengan wajah yang pongah.

Barangkali dengan menghikmati pedih dan komedi, akan membawa manusia kembali kepada sunyi guna melihat dirinya sendiri. Sahdan setiap manusia, sejatinya dari sunyi. Ia akan merindukan sunyi kembali. Ada yang menyadarinya, lalu pulang dalam sunyi. Tapi ada pula yang tak menyadari, sampai jiwa-raganya dihancurkan keramaian dan meladeni segala keinginan kekuasaan. Konon menurut cerita lama—orang boleh menyebutnya dongeng atau agama, di dalam kesunyian, terdapatlah sang aku. Karena sesungguhnya sang aku, katanya. Tak pernah beranjak sejengkal pun dari sunyi yang asing dan tersembunyi. Kemudian singgahlah malam dan hujan pada atap-atap bulan Pebruari di Pelabuhan Meneng dan Terminal Kapuran yang tampak tua, lelah, tapi terus ingin tetap remaja. Ia yang di pedalaman sunyi itu, berkata-kata tanpa bersuara, dan merangkai nyanyi tanpa bunyi.

Ketapang, Banyuwangi, 2020

*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab IBlis” (PSBB, 2018), “Agama Para bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.

PUISI DAN SEJARAH YANG TERLUPAKAN

$
0
0

Peresensi: Anugrah Gio Pratama

Judul: Tigris
Genre: Kumpulan Sajak
Penulis: Goenawan Mohamad
Penerbit: DIVA Press
Terbit: Agustus 2019
Tebal: 160 hal.
ISBN: 978-602-391-740-2

Puisi tidak melulu berbicara tentang cinta dengan sejumlah kata-kata yang puitis dan manis. Lebih dari itu, puisi mampu mencatatkan segala hal dari yang paling sederhana hingga yang tak tersentuh akal manusia. Puisi memang selalu menghadirkan kejutan-kejutan lewat daya imajinasi para penyairnya. Goenawan Mohamad (GM), salah satu penyair Indonesia yang sering menghadirkan kejutan-kejutan tersebut.

Inilah yang akan dirasakan para penikmat puisi (sajak) ketika baca buku terbaru karya GM bertitel Tigris. Judul yang sederhana, karena hanya menggunakan satu kata, tapi jangan tanya bagaimana isinya. Tentu kaum penjelalah alam puisi akan berulang kali dibuat takjub dengan gaya naratif yang khas dari seorang GM, serta caranya yang luar biasa, tatkala menyajikan sejarah di dalam puisi.

Beberapa puisi di buku Tigris pernah hadir juga dalam kumpulan puisi Goenawan Mohamad yang berlabel Fragmen, terbitan Gramedia Pustaka Utama. Puisi-puisi yang telah hadir antara lain: Soneta Dua Dentang, Ada Sebuah Dinding, Marco Polo, dan beberapa puisi lain. Namun jangan khawatir, mayoritas puisi yang menghiasi buku ini masih baru, dan belum terpublikasi di buku GM sebelumnya.

Buku Kumpulan Sajak Tigris menyajikan banyak hal dari sejarah yang kini mungkin telah dilupakan, atau pura-pura dilalaikan sebagian manusia. Mari melihat cuplikan puisi berikut:

//Pada jam mati, /akhirnya mereka temukan waktu /yang kering //Tapi di pagar jalan ke arah Aegea /mereka tak lagi temukan nama-nama.//

Penggalan puisi “Dengan Sepatu Kecil Anak-anak Menyeberang” di atas merupakan sebuah catatan sejarah yang menyedihkan. GM mempersembahkan untuk Aylan Kurdi, sang bocah Suriah berumur tiga tahun yang menjadi berita utama di seluruh dunia setelah tenggelam di Laut Tengah, sebagai salah satu bagian dari krisis pengungsi Suriah.

Seakan lewat puisi itu, GM mengingatkan kita sebagai pembaca sekaligus manusia untuk menangkap kembali catatan sejarah yang menyedihkan. Tujuannya, demi menyadarkan dan membangkitkan rasa simpati kita sebagai manusia. Kita tahu perang saudara di tanah Suriah yang melatarbelakangi peristiwa krisis pengungsi Suriah masih terjadi hingga kini. Mungkin inilah yang ingin diangkat GM pada puisinya, agar ada kepedulian terhadap saudara-saudara kita yang sampai sekarang mengalami kesulitan.

Selain puisi di atas masih banyak lagi puisi dalam buku Tigris karya Goenawan Mohamad. Total ada sekitar 70 puisi, dan hampir sebagian besar berbicara tentang sejarah yang pernah terjadi. Dan sebelum menutup tulisan ini, saya menyampaikan satu kekurangan buku Tigris, adalah tidak adanya ilustrasi. Meskipun ini tidak fatal, tetapi ilustrasi merupakan instrumen penting yang apabila ditambahkan di sebuah buku akan meningkatkan nilai-nilai estetiknya. Selebihnya buku Tigris memiliki banyak keunggulan yang patut dimiliki dan dibaca tentunya.

PERIHAL KITAB KELAMIN DAN PENGAMAT KELAMIN

$
0
0


Fatah Yasin Noor

Taufiq Wr. Hidayat (Fiq) adalah penulis produktif. Penulis yang benar-benar menulis, dan penulis benar. Hampir semua orang bisa menulis. Tapi tidak benar-benar sebagai penulis. Yang benar-benar penulis tidak banyak. Apalagi ingin menjadi penulis lepas. Sastrawan lepas, budayawan lepas, penyair lepas. Semua lepas-lepas. Sebab jadi penulis lepas itu, harus melalui sekian banyak syarat. Salah satunya, tidak tergoda masuk ke penerbit kapitalis. Segalanya memang butuh uang. Tapi uang bukan segalanya.

Penulis lepas itu seperti burung di alam bebas. Taufiq Wr. Hidayat bukan seperti burung berkicau di dalam sangkar. Fiq adalah burung berkicau di alam bebas. Uang akan datang dengan sendirinya. Dan memang naif ada orang mengejar uang. Kita pastikan ia orang gila. Sementara itu, penulis bukan orang gila. Burung tidak makan uang. Uang bisa mendapatkan Lovebird.

Judul-judul buku Taufiq Wr. Hidayat bisa bicara banyak. Bisa menjadi perkara yang berkepanjangan. Buku terakhir yang terbit adalah “Kitab Kelamin”. Di sampul belakang “Kitab Kelamin” itu, ada komentar Rachmat Sarmadhan. Mengaku sebagai pengamat kelamin. Tapi saya tidak yakin. Boleh jadi ia bisa membayangkan kelamin saat memandang perempuan cantik di acara “Tribute Yon’s DD dan Catur Arum” kemarin (Jumat, 21 Februari 2020) di sebuah hotel mewah di Banyuwangi.

Rachmat Sarmadhan, orang yang mengaku sebagai pengamat kelamin tersebut, minta penjelasan lebih lanjut perihal dirinya. Karena nama Rachmat Sarmadhan ada dalam tulisan saya. Sampoerna Hijau dulu, nanti akan saya jelaskan panjang kali lebar, kata saya. Pengepulan (asap), itu penting. Bisa mencairkan suasana, melunakkan batin. Disanding dengan kopi Nongko. Tidak bisa duduk hanya satu dua jam. Dengan demikian, biasanya nasi bungkus datang menyusul. Dan tidak harus banyak omong. Sebab diam adalah kecelakaan. Rachmat Sarmadhan tampak lucu kalau diam. Maksudnya kalau dia diam melihat kawannya tak punya rokok. Ini sebagai klarifikasi. Tentu saja ini gara-gara “Kitab Kelamin” Taufiq Wr. Hidayat yang nyentrik itu. Akan saya jelaskan hubungan antara “Kitab Kelamin” dengan “si pengamat kelamin”. Tentu ada alasannya. Ada kaitannya. Adalah luar biasa pengamat kelamin ikut kasih komentar. Terus terang (sang), saya orgasme. Tidak menduga kalau Rachmat Sarmadhan adalah pengamat kelamin. Sebab selama ini yang saya ketahui, Rachmat Sarmadhan pecinta sastra budiman. Tentu saja tidak ada yang salah. Yang ditestimoni bukan kelamin. Lucunya di situ. Ini nyatanya menjadi garis lucu baru dalam khasanah penerbitan sastra maupun non-sastra. Tidak ada salah ketik. Ini bukan Rancangan Undang Undang.

Membaca judul buku Taufiq Wr. Hidayat saja, tak ada orangtua mengharuskan anaknya yang milenial membaca buku ini. “Kitab Kelamin” Taufiq Wr. Hidayat jelas tidak mengandung selangkangan. Orangtua pun terjebak oleh judul. Kaum milenial terjebak oleh bacaan dewasa. “Kitab Kelamin” bisa disandingkan dengan “Kitab Iblis”. Keduanya adalah karya monumental Fiq, di samping buku Fiq “Serat Kiai Sutara” yang setebal 600 halaman yang mengagumkan. Kadang kita temukan esai di “Kitab Kelamin” menyelinap di “Kitab Iblis”. Buku “Kitab Iblis” pun menjebak para ustadz dan kiai gadungan. Sejumlah paranormal yang biasa berkawan dengan jin merasa kecewa. Ternyata iblis yang dicarinya di “Kitab Iblis” adalah dirinya sendiri. Begitu liciknya (meminjam istilah Yon’s DD), ratusan esai Taufiq Wr. Hidayat itu saling berkelindan.

Burung yang terbang bebas itu bernyanyi dengan beraneka nada. Tak satu pun perkara besar di dunia dibiarkan sepi. Orang-orang kecil diajak bicara. Tak jarang disuguhi kopi, dibelikan sebungkus Sampoerna Hijau. Dan kekuasaan harus diwaspadai. Kalau perlu pakai satu setengah mata-mata. Sistem demokrasi di republik ini harus dibongkar karena terlalu lama mengenakan topeng. Burung selalu berkicau setiap hari. Celakanya, yang sering kita dengar kicauan burung dalam sangkar. Suaranya memang terasa merdu dan murni. Si tuan-puan terhibur, girang punya piaraan menawan hati. Taufiq Wr. menyadari hidup dan kehidupan ini penuh paradoks. Membebaskan diri dari kerangkeng tuan-puan yang terhormat adalah satu syarat lain untuk menjadi penulis yang benar-benar penulis. Karakter harus tawadhu (rendah hati) hanya ke kiai yang benar-benar kiai. Istikomah dan “sendiko dawuh” (kedua telapak tangan bersidekap di depan dada). Manusia yang memiliki karomah itu tak lain dan tak bukan ialah Kiai Sutara. Ia adalah kitab suci berjalan. Berjalan sesuai fitrahnya. Tapi selalu menjadi rahmat bagi semesta alam. Pengetahuan datang dalam kepekaan membaca keadaan.

Esai Taufiq Wr. adalah rangkaian kata-kata yang tak selalu mengandung makna. Selebihnya, sebagian besar, mengandung pesan: jadilah seorang pemikir. Kata-kata harus dimainkan. Dan bahasa mengandung bunyi, seperti suara burung. Menulis menjadi asik, bahwa kata-kata, di samping mengantarkan pengertian, ia pun menyimpan banyak makna. Sebuah esai Taufiq Wr. Hidayat adalah rangkaian kata dalam bahasa yang utuh. Gaya bahasanya menjadi kebiasaan yang tetap: mengalir seperti sungai yang bening dan sejuk. Kita bisa mancing ikan di sana. Tapi kita pun merasakan ada jeda untuk menarik nafas, seperti meliuk mengikuti kelokan sungai ke muara. Jeda itu sebentuk informasi tentang pemikiran sejumlah tokoh. Datang dari Barat dan Timur. Juga pemikir dunia yang dianggap hebat. Taufiq berusaha membumikan pemikiran tokoh itu. Sengaja dikutip, diterjemahkan dengan bahasanya sendiri. Kemudian dikaitkan, menguatkan topik yang tengah ia perbincangkan. Dalam proses menulis, ada ingatan pada penulis lain, juga sekian tempat dan peristiwa. Taufiq Wr. Hidayat terasa begitu mudah memungut kenangan. Kehidupan di Wongsorejo misalnya, menjadi gambaran yang menjiwai narasi dalam esainya yang tak usai-usai. Daerah kering di Utara Banyuwangi itu menjadi sumber kreatif. Juga perihal pasar Rogojampi dan Kiai Sutara.

Banyuwangi, 2020.

CERITA NH DINI SEBAGAI TEKS AUTOETNOGRAFIS

$
0
0


Djoko Saryono

Dalam khazanah metodologi kualitatif ilmu sosial dan budaya beberapa tahun belakangan terus berkembang autoetnografi (autoethonopraphy). Autoetnografi sudah melampaui bidang disipliner, bahkan melampaui bidang multidisipliner, sudah masuk bidang transdisipliner. Kendati istilah autoetnografi ini dibentuk dengan memadukan istilah autobiografi dan etnografi, pengertian atau konsep autoetnografi sudah melampaui paduan makna autobiografi dengan etnografi. Maknanya, autoetnografi bukan sekadar penjumlahan autobiografi dan etnografi, tetapi peleburan autobiografi dengan etnografi yang melahirkan autoetnografi.

Mengapa demikian? Kata Stembers (1990), karena “transdisciplinary (adalah) creating a unity of intellectual frameworks beyond the disciplinary perspectives”. Kata Basarab Nicolescu dalam Methodology of Transdisiciplinarity – Levels of Reality, Logic of the Included Middle and Compexity, 2010:27). “Transdisciplinarity concerns that which is at once between the disciplines, across the different disciplines, and beyond all disciplines. Its goal is the understanding of the present world, of which one of the imperatives is the unity of knowledge”. Tak heran, autoetnografi sering dimaknai atau dikonsepsikan sebagai kajian kualitatif ilmu sosial dan budaya yang bertolak dan berpangkal dari pengalaman diri sendiri yang bertungkus lumus dengan kebudayaan untuk memahami dan mendeskripsikan kenyataan sosiologis atau sosiokultural tertentu.

Berkenaan dengan itu, perlu dicamkan benar bahwa autoetnografi bermula, berpangkal, dan bersumber pada pengalaman sendiri dan cerita pribadi, bukan pengalaman dan cerita orang lain. Ini dimaksudkan untuk memahami dan memaparkan matra-matra kebudayaan yang sedang atau telah membentuk diri atau justru dibentuk oleh diri sendiri, yang menjadi kenyataan sosiologis atau sosiokultural. “Autoethnography begins with a personal story, in this case my strory about adoption and family”. Demikian ujar Sarah Wall dalam Easier Said than Done: Writing an Autoethnography (2008) yang memaparkan pengalamannya mengadopsi anak berumur 10 tahun menjadi bagian keluarganya. Lebih lanjut, tegasnya, dari pengalaman adopsi itu dipaparkan perubahan sosial yang mengikuti sebagai sebuah kenyataan soiologis. Ini menandakan bahwa hulu autoetnografi adalah pengalaman diri sendiri dan cerita pribadi dan muara autoetnografi adalah lukisan kenyataan sosiologis atau sosiokultural.

Oleh sebab itu, autoetnografer (autoethnographers) bekerja dengan berfokus pada diri sendiri, budaya, dan tulisan deskriptif, naratif atau puitis. “Autoethnographers vary in their emphasis on auto- (self), -ethno- (the sociocultural connection), and -graphy (the application of the research process)”, tandas Sarah Wall (2008). Tidak mengherankan, seorang autoetnografer perlu berpikir serupa pengamat-pemikir budaya sekaligus menulis serupa pengarang; “thinking like an ethnographer, writing like a novelist”, jelas Carolyn Ellis dalam The Ethnographic I: A Methodological Novel about Autoethnography (2004:330).

Pengalaman Ayu Sutarto (2006) menjadi seorang manusia Jawa sesungguhnya yang dituangkan dalam tulisan Becoming A True Javanese: A Javanese View Of Attempts At Javanisation (2006) menggambarkan cara kerja seorang etnografer. Kerja Ayu bermula dari pengalaman dan cerita diri Ayu Sutarto sendiri, yang kemudian berproses menjadi manusia Jawa sejati (berbudaya Jawa), dan selanjutnya diangkan dalam tulisan naratif semi deskriptif. Demikian juga karya Sarah Wall (2008) berjudul Easier Said than Done: Writing an Autoethnography yang menceritakan pengalaman pribadinya mengadopsi anak berumur 10 tahun bisa menjadi contoh cara kerja seorang autoetnografer.

Contoh lain cara kerja seorang autoetnografer yang menceritakan pengalaman pribadi di bidang pendidikan, kemudian berlanjut memaparkan kenyataan-kenyataan sosiokultural, dan selanjutnya dituliskan dengan gaya naratif dapat dicermati dalam Academic Autoethnographies: Inside Teaching in Higher Education karya Daisy Pillay, dkk (2016). Buku berjudul Music Autoethnographies: Making Autoethnography Sing/Making Music Personal (2009) suntingan Brydie-Leigh Bartleet and Carolyn Ellis juga menggambarkan dengan baik cara-cara kerja para autoetnografer musik.

Ada empat konsekuensi cara kerja seperti tersebut bagi seorang autoetnografer. Pertama, seorang eutoetnografer itu perlu menjadi seorang pengingat atau pencatat yang tekun dan baik atas pengalaman diri sendiri dan cerita pribadi baik bersifat emosional maupun empiris. Kedua, seorang autoetnografer itu pengamat dan pencatat yang cermat dan rajin atas pelbagai matra sosiokultural atau budaya yang membentuk diri sendiri dan atau dibentuk oleh pengalaman diri sendiri dalam sepanjang atau fase tertentu kehidupannya. Ketiga, seorang autoetnografer itu pemikir dan penanggap yang jernih dan tangguh tentang pelbagai matra budaya yang telah membentuk dirinya atau dibentuk oleh dirinya. Keempat, seorang autoetnografer harus dapat menjadi seorang penulis yang fasih menurutkan dan menceritakan pengalaman diri sendiri dan cerita pribadi agar dapat tersungging atau terlukis budaya yang bertungkus lumus dengan dirinya.

Untuk itu, seorang autoetnografer perlu memiliki empat hal. Pertama, ketekunan merefleksikan, mengingat, mencatat, dan mengartikulasikan pengalaman-pengalaman dirinya sendiri dan cerita-cerita pribadinya di tengah habitus kehidupan berkebudayaan. Kedua, ketajaman dan kecermatan mengamati, menggali, menelisik, dan menyelidiki keadaan dan ekologi kebudayaan yang menjadi habitus kehidupannya sebagai kenyataan sosiologis. Ketiga, ketangguhan dan kekokohan memikirkan, merangkaikan, menyimpulkan, dan memaknai hubungan-hubungan pengalaman diri sendiri dan cerita pribadi dengan kenyataan sosiologis kebudayaan yang bertungkus lumus dengan kehidupannya. Keempat, kefasihan dan kepiawaian menuliskan, menceritakan, dan memaparkan pengalaman diri sendiri dan cerita pribadi yang bertungkus lumus dengan kebudayaan sebagai kenyataan sosiologis. Empat hal tersebut menuntut seorang autoetnografer menjadi sosok transdisipliner dan transdimensional yang memerlukan wawasan kecendekiawanan.

Atas hal tersebut kita bisa bertanya di sini: dapatkah seorang Nh Dini diposisikan atau diperankan sebagai seorang autoetnografer, bahkan ditabalkan sebagai seorang autoetnografer? Secara impresif saya merasakan bahwa sosok Nh Dini dapat ditempatkan sebagai seorang autoetnografer yang telah memilih dan membaktikan hidupnya untuk mengingat dan mencatat pengalaman dirinya sendiri dan cerita pribadinya di tengah pelbagai interaksi kebudayaan yang membentuk dirinya atau dibentuk oleh dirinya, dan kemudian menuliskannya sebagai teks naratif tentang sesuatu atau memuat suatu tema dan pesan, dalam hal ini disebut oleh Nh Dini sebagai cerita kenangan. Hal ini didasarkan empat pertimbangan sebagai berikut.

Pertama, dalam pengakuannya tentang proses kreatif yang termuat dalam Naluri yang Mendasari Penciptaan (2009) dengan tegas Nh Dini memaklumatkan diri, “Saya adalah pengarang. Saya adalah pengamat dan pemikir”. Dalam maklumat ini peran pengarang, pengamat, dan pemikir disandangnya secara serempak, paralel dengan peran seorang autoetnografer yang lazim di dunia ilmu sosial dan budaya. Dapat dibayangkan, setiap melukiskan pengalaman diri dan cerita pribadinya yang bertungkus lumus dengan pelbagai corak tradisi dan kebudayaan ke dalam karya tekstualnya, secara serempak Nh Dini bergelut dengan fakta, berimajinasi dengan bebas, berpikir dengan ketat, dan bernalar dengan persuasif selain memainkan perasaan hati. Jika kita baca secara cermat, detail, dan hati-hati bisa dikatakan karya-karya Nh Dini baik cerita pendek maupun cerita panjang yang disebutnya cerita kenangan selalu menampilkan jejak-jejak diri seorang pengarang sekaligus pengamat dan pemikir yang jeli dan cermat.

Kedua, dalam berkarya Nh Dini selalu bermula, berpangkal, dan bersumber pada pengalaman dirinya dan cerita hidupnya sendiri, sebagaimana pernyataannya, “Itulah garis besar yang saya alami [baca: ketercelupan Nh Dini dengan cerita, kesenian, dan kebudayaan Jawa – DS], yang menjadi dasar atau latar belakang kecintaan saya akan “cerita-cerita”. Seperti tecermin dalam tulisan Naluri yang Mendasari Penciptaan, bahkan Nh Dini merupakan seorang pencatat pengalaman diri dan cerita hidupnya sendiri yang tekun, detail, dan berdaya tahan luar biasa selain seorang pengarsip catatan yang baik.

Tidak heran, ketiga, Nh Dini menyebut teks-teks naratif yang digubahnya sebagai cerita kenangan, dan malah menolak sebutan novel atau roman yang disematkan oleh orang lain. Dalam bahasa atau budaya Indonesia, cerita kenangan sering bersulih dengan berita kenangan, yang membayangkan peristiwa nyata dan pengalaman diri sendiri pada masa lalu, sehingga teks-teks naratif Nh Dini selalu memercikkan perbauran antara cerita dan berita, antara imajinasi dan sofistikasi pikiran, antara fakta yang ketat dan fiksi nyang metaforis, antara observasi yang cermat dan figurasi bahasa yang hidup.

Kalau dibaca dan diresapi secara reflektif malah dapat dikatakan di sini bahwa semua teks yang digubah Nh Dini pada dasarnya merupakan cerita kenangan, mulai teks yang digubah pada zaman Orde Baru seperti Sebuah Lorong di Kotaku, Pertemuan Dua Hati, dan Langit dan Bumi Sahabat Kami sampai teks yang digubah pada zaman pascareformasi seperti Dari Rue Saint Simon ke Jalan Lembang (cerita kenangan kedua belas), Dari Parangakik ke Kampuchea, Dari Fontennay ke Magallianes, La Grande Borne, dan Argenteuil. Bahkan Pada Sebuah Kapal dan Tirai Menurun yang diakui sebagai novel ‘beneran’ yang bagus di dalam perbendaharaan sastra Indonesia masih terasakan kental dan tebal nuansa pengalaman dirinya sendiri, cerita kenangannya sendiri.

Oleh karena itu, keempat, karya-karya Nh Dini berupa teks naratif yang ditulis pada masa Orde Baru dan masa pascareformasi senantiasa menampilkan kesinambungan, keterkaitan, keterjalinan, dan hubungan erat serta keserupaan antara satu dan yang lain. Dengan kata lain, antara satu karya dan karya lain Nh Dini bukanlah sebuah patahan cerita kenangan, patahan pengalaman dirinya sendiri. Dalam bahasa lebih akademis, bisa dikatakan, seluruh karya Nh Dini yang notabene cerita kenangan memiliki hubungan intertekstualitas yang sangat kuat dan lekat.

Hubungan intertektualitas yang kuat dan lekat tersebut berporos pada empat hal. Pertama, pengalaman faktual yang diingat dan dicatat dengan detail dan cermat. Kedua, hasil-hasil pengamatan yang tekun dan cermat sepanjang perjalanan diri Nh Dini. Ketiga, deskripsi-deskripsi pikiran dan gagasan yang tajam tentang sesuatu yang terkait dengan tema, misalnya kesetiaan berumah tangga, makna lembaga perkawinan, nasib kesenian tradisi Jawa, dan ketidakadilan gender dan sosial. Terakhir, kelima, imajinasi, figurasi bahasa, dan gaya penuturan yang realis(tis), detail, bahkan “njelimet” dan terkesan lamban pergerakan ceritanya.

Keempat hal tersebut senantiasa terlukis jelas-tegas dalam cerita-cerita kenangan yang sudah digubahnya, sejak Sebuah Lorong di Kotaku sampai Pondok Baca Kembali ke Semarang. Ini semua merupakan konsekuensi logis kepengarangan Nh Dini yang paralel dengan seorang autoetnografer, bahkan peran Nh Dini sebagai autoetnografer. Tak berlebihan kalau dikatakan di sini bahwa NH Dini memberikan sumbangsih pembaharuan fiksi Indonesia, baik dari segi bentuk, substansi maupun konten fiksi Indonesia. Lebih dari itu, NH Dini telah menawarkan sebuah kerja perlawanan tekstual-simbolis terhadap kebekuan dan ketakadilan sosial budaya.
***


[Hari ini, 84 tahun lalu, lahir ke dunia NH Dini, salah seorang sastrawan Indonesia yang menancakan tonggak capaian penting dalam babakan fiksi Indonesia. Selamat harlah NH Dini. Ini sebuah kado apresiasi tak berarti].

Dona Flor dan Kedua Suaminya, Jorge Amado

$
0
0

Fatah Anshori *

Ketika mendengar nama Brasil, yang terkenang di kepala saya hanya sebuah negara dengan keahlian bermain sepakbola yang berlebihan. Kita tidak pernah menengok ke dalam, mengulik kehidupan negara lain. Sementara kita sebagai sebuah negara terlalu banyak mengenal diri sendiri, mengenal bejatnya pemerintahan yang suka menggelapkan uang pajak, mengenal rakyatnya yang segan mengambil pesangon dari seorang calon wakil rakyat untuk memberikan suaranya secara cuma-cuma dalam pemilihan umum, mendengar berita kebakaran hutan, mendengar kasus penculikan, pemerkosaan, bahkan pembunuhan. Mungkin sebagai seorang warga negara kita terlalu banyak mengenal diri sendiri dan terlau sedikit mengenal apa yang terjadi dengan negara lain. Kita seakan terlalu mudah menilai seseorang dari berita atau kabar yang kerap beredar. Yang jarang kita sadari tentu saja di balik itu semua ada hal-hal lain yang belum kita ketahui, ada sesuatu yang masih tertutupi.

Membaca Dona Flor dan Kedua Suaminya seperti sedang mengintip lebih jauh ke dalam tubuh Brasil. Novel ini tidak melulu membicarakan tentang bola, atau bahkan mungkin sama sekali tidak membicarakan bola. Sebagaimana yang kita tahu bahwa Brasil adalah negara produsen penghasil pemain-pemain sepakbola berkualitas dunia. Novel ini bahkan sama sekali tidak menyentuh tentang itu semua. Kita akan di bawa ke sebuah tempat di sekitaran Bahia, Itapoa, Rio Vermelho, dan beberapa tempat di jantung Brasil yang sama sekali asing di telinga. Jorge Amado, penulis yang dilahirkan di Brasil timur laut ini, seakan ingin menunjukkan hal lain tentang Brasil yang tidak melulu sepakbola. Sebagai sebuah negara juga memiliki adat, budaya, mitologi, dan tentu saja hal-hal gelap, atau perkara-perkara cacat yang dianggap menyimpang oleh sekelompok manusia yang menganggap dirinya suci. Seperti skandal, cabul, perjudian dan hal-hal lain yang dilarang dalam kitab umat beragama. Brasil juga melakukan itu semua.

Di sini saya tidak akan mengisahkan secara runtut bagaimana kisah ini terjadi dari awal hingga akhir. Karena tentu saja saya tidak akan ingat detail-detail dari awal hingga akhir. Sejauh saya membaca novel harus saya akui Dona Flor dan Kedua Suaminya adalah novel yang sangat sulit saya pahami dan terlalu lama untuk merampungkannya. Di awal-awal saya sangat sulit menikmati novel ini. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang sedang dibicarakan? Tempat seperti apakah ini? Pertanyaan-pertanyaan itu seolah seperti jutaan lalat yang mengerubungi kepala saya. Amado membuat saya serupa anak kecil yang dilempar ke hiruk pikuk kehidupan masyarakat asing. Novel ini menurut saya terlalu Brasilian, di sana-sini bertaburan istilah asing Brasil, semisal compadre, bastar dan masih banyak lagi. Kita akan dibuat bekerja lebih keras ketika membacanya. Dituntut untuk membuka laman akhir untuk melihat dengan sabar arti istilah-istilah asing yang bertaburan di sepanjang pembacaan novel ini. Ditambah lagi point of view yang diambil Amado sangat tidak biasa, entahlah saya sendiri juga tidak terlalu yakin dengan ini, mungkin ini semacam prasangka saya sendiri, Amado menjadi narator yang terlalu tahu ia lincah keluar masuk isi kelapa setiap tokohnya, narator tidak menceritakan kisah ini hanya berdasar pengakuan atau sudut pandang dari seorang tokoh saja. Dan di awal pembacaan saya merasa ini sangat berat dan mungkin juga karena terlalu banyak tokoh yang disebutkan sekilas saja, tokoh-tokoh itu serupa orang-orang yang berpapasan dengan kita ketika berjalan di sebuah keramaian. Dan tentu saja kita tidak sempat berkenalan dengan mereka satu persatu, kita mungkin hanya akan teringat wajahnya sekilas saja, dan jika bertemu di suatu tempat dan waktu yang lain, ingatan kita mungkin sedikit terusik, namun tidak bisa memastikan di mana kita pernah menjumpainya.

Entah kenapa novel ini membuat saya memikirkan perihal baik dan buruk yang mana keduanya adalah bagian dari hidup, dan kita tidak perlu membunuh salah satunya. Analogi ini ditunjukkan oleh tiga tokoh penting dalam novel ini, Dona Flor, Vadinho, dan Dokter Teodoro. Dona Flor di sini memerankan psikis manusia, ia selalu mengalami tekanan batin. Vadinho, tentu saja lebih cocok memerankan hal buruk yang menurut pandangan umum sangat tercela, ia seorang bergajul, penjudi kelas berat, dan bercinta dengan siapapun yang ia mau, tentu saja ia sangat serampangan, dan sama sekali tak bermoral termasuk ketika di ranjang. Sebaliknya Teodoro adalah perihal baik, lelaki yang menjadi suami kedua Dona Flor ini sangat terpandang, seorang dokter, pemilik apotek, dihormati, juga sangat sopan begitu juga ketika di ranjang. Sebagai psikis manusia Dona Flor sangat tersiksa setelah kematian Vadinho suami pertamanya meski seorang bajingan tidak pernah diharapkan masyarakat, yang kerap memalak uangnya, juga segan menyakiti hati Flor berkali-kali, namun satu yang membuat Flor tidak bisa melupakannya dan sangat kehilangan ketika ia telah mati adalah kejujurannya dalam perihal tidak bermoral. Vadinho mampu melakukan hal-hal yang barangkali tidak bisa dilakukan oleh orang lain termasuk Teodoro, suami kedua Flor, menurut pandangan Masyarakat secara umum sangat berada dan tentu saja sopan, begitu juga ketika diranjang. Dan tentu saja sebagaimana psikis orang normal, Dona Flor tidak cukup bahagia meski sudah memiliki Teodoro, yang berada, berkecukupan, sopan, namun masih ada yang kurang. Dona Flor masih merindukan sisi kekurangajaran Vadinho ketika bercinta. Setidaknya hanya ia yang bisa melakukan segala yang dianggap orang bejat, rusak, invalid yang sesekali memang dibutuhkan dan entah kenapa terasa indah.

Dan pada akhirnya saya kembali teringat sebuah ucapan, membaca novel seperti kata Eka dalam salah satu jurnalnya adalah sebuah usaha kecil meneropong suatu tempat di mana kita asing dengan segalanya.

__________________
*) Fatah Anshori, lahir di Lamongan, 19 Agustus 1994. Belajar menulis sejak pertengahan 2014, dan novel pertamanya “Ilalang di Kemarau Panjang” (2015), dll. Website: fatahanshori.wordpress.com

PUISI-PUISI CINTA JALALUDDIN RUMI

$
0
0

Penerjemah: Ahmad Yulden Erwin *

1
Aku bukanlah orang Nasrani, Aku bukanlah orang Yahudi, Aku bukanlah orang Majusi, dan Aku bukanlah orang Islam. Keluarlah, lampaui gagasan sempitmu tentang benar dan salah. Sehingga kita dapat bertemu dalam “Suatu Ruang Murni” tanpa dibatasi berbagai prasangka atau pikiran yang gelisah.

2
Dalam terang-Mu aku belajar mencintai. Dalam keindahan-Mu aku belajar menulis puisi. Kau senantiasa menari dalam hatiku, meski tiada seorang yang melihat-Mu, dan terkadang aku pun ikut menari bersama-Mu. Dan, sungguh, “Penglihatan Agung” inilah yang menjadi inti dari seniku.

3
Hakikat Yang Maha Pengasih hadir secara langsung laksana sinar matahari yang menerangi bumi. Namun, kasih-Nya tiada berasal dari berbagai bentuk yang ada di bumi. Kasih-Nya melampaui setiap bentuk yang ada di bumi, sebab bumi ini dan segala isinya tercipta sebagai perwujudan dari kasih-Nya.

4
Jika kau ingin melihat wajah-Nya, maka tengoklah pada wajah sahabatmu tercinta.

5
Sekian lama aku berteriak memanggil nama-Mu sambil terus-menerus mengetuk pintu rumah-Mu. Ketika pintu itu terbuka, aku pun terhenyak dan mulai menyadari sesungguhnya selama ini aku telah mengetuk pintu dari dalam rumahku sendiri.

6
Demi Allah, ketika kau melihat Jatidirimu sebagai Yang Maha Indah, maka kau pun akan menyembah dirimu sendiri.

7
Di mana saja kau berada, apa pun keadaanmu, cobalah selalu menjadi seorang pecinta yang senantiasa dimabuk oleh kasih-Nya. Sekali kau dikuasai oleh kasih-Nya, maka kau akan hidup menjadi seorang pecinta yang hidup bagaikan dalam pusara. Dan kau akan tetap hidup hingga hari kebangkitan itu tiba, lantas kau pun akan dibawa ke dalam surga dan hidup kekal selamanya. Namun, jika kau belum menjadi seorang pecinta, maka pada hari pembalasan seluruh pahalamu tak akan dihitung.

8
Pada Hari Kebangkitan, orang-orang akan berjalan sempoyongan. Di depan-Mu, mereka akan menggigil dengan wajah pucat karena ketakutan. Maka, aku akan memeluk kasih-Mu dan berkata kepada mereka: “Mintalah apa saja; mintalah atas namaku.”

9
Ketika aku mati sebagai manusia, maka para malaikat akan datang dan mengajakku terbang ke langit tertinggi. Dan ketika aku mati sebagai malaikat, maka siapa yang akan mendatangiku? Kau tak akan pernah dapat membayangkannya!

10
Hari ini, seperti hari lainnya, kita terjaga dengan perasaan hampa dan ketakutan. Namun, janganlah tergesa melarikan diri dari kenyataan pahit ini dengan pergi berdoa atau membaca kitab suci. Lepaskan semua tindakan mekanis yang berasal ketaksadaran diri. Biarkan keindahan Sang Kekasih menjelma dalam setiap tindakan kita. Ada beratus jalan untuk berlutut dan bersujud kepada-Nya.

11
Diamlah! Cinta adalah sebutir permata yang tak bisa kaulemparkan sembarangan umpama sebutir batu.

12
“Mintalah sesuatu kepada-Ku,” begitu Kau berkata suatu ketika. Aku tertawa dan berkata: “Aku telah cukup bersama-Mu. Tanpa kehadiran-Mu, seluruh dunia ini hanyalah sebatang kayu yang mengapung dan terombang-ambing di samudera-Mu.”

13
Yakinlah, di Jalan-Cinta itu: Tuhan akan selalu bersama-Mu.

14
Tak ada pilihan lain bagi jiwa, selain untuk mengasihi. Namun, pertama kali jiwa harus merangkak dan merayap di antara kaki para pecinta. Hanya para pecinta yang dapat lepas dari perangkap dunia dan akhirat. Hanya hati yang dipenuhi dengan cinta yang dapat menjangkau langit tertinggi. Bunga mawar kemuliaan hanya dapat bersemi di dalam hati para pecinta.

15
Segalanya yang kau lihat mempunyai akarnya dalam dunia yang tak terlihat. Bentuk akan berubah, namun intisarinya tetaplah sama.

16
Ketika sedih, aku bersinar bagaikan bintang pagi. Ketika patah hati, hakekatku justru tersingkap sendiri. Ketika aku diam dan tenang seperti bumi, tangisku bagaikan guntur yang menggigilkan surga di langit tertinggi.

17
Hati manusia selalu terbuka dan dapat menerima segalanya: semua yang baik dan buruk menjadi bagian dari Sufi.

18
Aku kehilangan duniaku, ketenaranku, dan pikiranku. Ketika matahari terbit, maka semua bayang-bayang lenyap. Aku berlari mendahului bayang-bayang tubuhku yang lenyap saat aku berlari. Namun, cahaya matahari itu berlari mendahuluiku dan memburuku, hingga aku pun terjatuh dan bersujud pasrah ditelan samudera kilau-Nya yang mempesona.

19
Aku ingin melihat wajah-Mu pada sebatang pohon, pada matahari pagi, dan pada langit yang tanpa warna.

20
Karena Cinta segalanya menjadi ada. Dan hanya karena Cinta pula, maka ketiadaan nampak sebagai keberadaan.

21
Badan ini hanyalah suatu cermin surga. Energinya membuat para malaikat cemburu. Kemurniannya membuat malaikat Seraphim terkejut. Dan Iblis yang berdiam di urat-urat syarafmu pun menggigil takut.

22
Kau lebih mahal dibanding surga dan bumi. Apa yang bisa kukatakan lagi? Kau tak mengetahui bahwa selama ini segala yang berharga telah menjadi milikmu. Janganlah menjual dirimu dengan harga murah, sesungguhnya dirimu sangatlah mahal di mata Tuhan.

23
Cintaku pada-Nya adalah hakikat jiwaku. Hidupku adalah gelora yang selalu merindukan-Nya. Aku hidup seperti seorang gipsi pengembara, aku tak pernah menetap di tempat yang sama, namun setiap malam aku selalu bernyanyi dan menari ditemani bintang-bintang di bawah langit yang sama.

24
Kematianku adalah perkawinanku dengan keabadian.

25
Meski aku terbakar habis, namun aku tetap tertawa, karena abuku masih tetap hidup! Aku telah mati ribuan kali: namun abuku selalu menari dan lahir kembali dengan ribuan wajah baru.

26
Di gurun pasir tanpa batas, aku kehilangan jiwaku, dan menemukan bunga mawar ini.

27
Aku telah melihat wajah mulia Sang Raja. Dia adalah mata dan matahari surga. Dia adalah teman seperjalanan dan penyembuh semua mahluk. Dia adalah jiwa dan alam semesta yang melahirkan jiwa-jiwa. Dia menganugerahkan kebijaksanaan pada kebijaksanaan, kemurnian pada kemurnian. Dia adalah tikar sembahyang bagi jiwa orang-orang suci. Setiap atom di tubuhku berlompatan sambari menangis dan berseru: “Terpujilah Tuhanku.”

28
Apa pun yang mereka katakan atau pikirkan, aku tetap ada di dalam Kau, karena aku adalah Kau. Tak seorang pun dapat memahami hal ini, sampai ia mampu melampaui pikirannya sendiri.

29
Jika kau dapat bertemu dengan Jatidirimu meski hanya sekali, maka rahasia dari segala rahasia akan terbuka bagimu. Wajah dari Yang Maha Tersembunyi, yang ada di luar alam semesta ini, akan nampak pada cermin persepsimu.

30
Setiap penglihatan tentang keindahan akan lenyap. Setiap perkataan yang manis akan memudar. Namun, janganlah kau berputus asa, karena mereka semua datang dari sumber yang sama, dari Keabadian. Masukilah Keabadian itu, maka kau akan melihat segala sesuatu tumbuh dan berkembang, memberi hidup baru dan kegembiraan baru bagimu.

31
Ayat-ayat Tuhan itu tersimpan di hati langit yang paling rahasia. Suatu hari, seperti hujan, ayat-ayat Tuhan itu akan jatuh dan menyebar, hingga misteri Keilahian akan tumbuh menghijau di seluruh dunia.

32
Jika kau berputar mengelilingi matahari, maka kau pun akan menjadi matahari. Jika kau berputar mengelilingi seorang Guru, maka kau pun akan bersatu dengan-Nya. Kau akan menjadi sebutir permata, jika kau menari mengelilingi-Ku. Dan kau akan berkelip seperti emas, jika kau menari mengelilingi-Nya.

33
Kau hanya memerlukan aroma anggur, karena makrifat akan menyala dengan sendirinya dari kesunyian hatimu setelah mencium aroma anggur itu, seperti juga nyala api akan tersilap dan berkobar dari aroma anggur! Bayangkan jika kau adalah anggur itu sendiri.

34
Sufi adalah seorang lelaki atau seorang perempuan yang telah patah hati terhadap dunia.

35
Kekasih, beri aku kesempatan untuk selalu mengetahui bagaimana cara menyambut-Mu, dan sulutlah obor di tangan-Mu agar membakar habis rumah ke-ego-an di dalam diriku.

36
Sembunyikan rahasia-Ku dalam harta karun jiwamu. Sembunyikan perasaan ekstase itu dalam dirimu. Jika kau menemukan Aku, maka sembunyikan Aku dalam hatimu. Sadarilah kemabukan ini sebagai Kebenaran Mutlak!

37
Ingatlah bahwa Nabi Muhammad pernah berkata: “Satu penglihatan tentang-Nya adalah suatu berkah yang tak terhingga.” Setiap daun dari sebatang pohon membawa seuntai firman dari dunia yang tak terlihat. Lihatlah, tiap-tiap daun yang jatuh ke tanah sebagai suatu berkah dari-Nya. Segala sesuatu di alam ini senantiasa menari dalam harmoni, bernyanyi tanpa lidah, dan mendengar tanpa telinga, ya, semua itu adalah berkah yang tak terhingga dari-Nya.

38
Isi aku dengan anggur dari hening-Mu, biarkan anggur itu merendam pori-poriku, hingga Keindahan dari Yang Maha Agung akan terungkap kepadaku. Inilah arti berkah bagiku!

39
Jika kau mendefinisikan dan membatasi “Aku” dengan berbagai konsepmu, maka kau akan kelaparan dengan dirimu sendiri. Lalu “Aku” pun akan jatuh ke dalam suatu kotak yang terbuat dari kata-kata, dan kotak itu adalah peti mayatmu sendiri.

40
Aku tidak tahu siapa sebenarnya “Aku”. Tetapi, ketika aku berjalan ke dalam diriku, maka aku pun terkejut: ternyata “Aku” adalah suara milik-Mu, gema yang terpantul dari “Dinding-Keilahian”.

41
Jatidiri kita adalah Cahaya. Cinta-Ilahi adalah Matahari-Keagungan. Sinar-Nya adalah firman. Dan mahluk adalah bayang-bayang-Nya.

42
Perkecillah dirimu, maka kau akan tumbuh lebih besar daripada dunia. Tiadakan dirimu, maka Jatidirimu akan terungkap tanpa kata-kata.

43
Ketika kami mati, jangan cari pusara kami di bumi. Tetapi, temukan di dalam hati para pecinta.

44
Ketika pikiran dilampaui, maka keindahan cinta pun datang menghampiri, berjalan dengan anggun, serta membawa secangkir anggur di tangannya. Ketika cinta dilampaui, maka Yang Maha Esa pun datang menghampiri–Ia adalah Zat yang tak dapat diuraikan dengan kata-kata dan hanya bisa disebut sebagai “Itu”.

45
Setiap orang yang tinggal jauh dari sumber-Nya, dari Jatidirinya, maka ia akan selalu rindu untuk kembali ke masa ketika ia masih dipersatukan dengan-Nya.

46
Surga dibuat dari asap hati yang terbakar habis. Dan mereka yang diberkahi Tuhan adalah orang yang hatinya telah terbakar habis.

47
Awan-awan berada dalam keheningan meski penuh dengan berjuta kilat. Cinta akan memberi kelahiran baru bagi para filsuf berkepala batu. Jiwaku adalah ombak dalam samudera kemuliaan-Mu. Dan dalam keheningan: alam semesta beserta segala isinya tenggelam di dasar samudera kemuliaan-Mu.

48
Manusia ibarat suatu pesanggrahan. Setiap pagi selalu saja ada tamu baru yang datang: kegembiraan, kesedihan, atau pun keburukan; lalu kesadaran sesaat datang sebagai seorang tamu yang tak diduga. Sambut dan hibur mereka semua, sekalipun mereka semua hanya membawa dukacita. Sambut dan hibur mereka semua, sekalipun mereka semua dengan kasar menyapu dan mengosongkan isi rumahmu. Perlakukan setiap tamu dengan hormat, sebab mereka semua mungkin adalah para utusan Tuhan yang akan mengisi rumahmu dengan beberapa kesenangan baru. Jika kau bertemu dengan pikiran yang gelap atau kedengkian atau beberapa prasangka yang memalukan, maka tertawalah bersama mereka dan undanglah mereka masuk ke dalam rumahmu. Berterimakasihlah untuk setiap tamu yang datang ke rumahmu, sebab mereka telah dikirim oleh-Nya sebagai pemandumu.

49
Saat kau datang ke dunia ini, suatu tangga telah ditempatkan di depanmu, dan tangga itu akan mengantarmu kepada-Nya. Dari bumi ini, kau pun naik menjadi tumbuhan. Dari tumbuhan kau pun naik menjadi hewan. Setelah itu kau pun naik menjadi manusia–mahluk yang mewarisi pengetahuan melalui akal dan iman. Lihatlah, tubuhmu merupakan turunan dari debu, tetapi bagaimana bisa tubuhmu menjadi begitu sempurna? Lalu, mengapa kau takut dengan kematian? Ketika kau berhasil melampaui bentuk manusia ini, maka tak diragukan lagi kau akan menjadi malaikat dan membumbung melampaui lapisan-lapisan langit tertinggi. Tetapi, janganlah berhenti di sana, bahkan badan surgawimu itu akan tetap tumbuh menjadi tua, lampaui lagi surga itu dan melompatlah ke dalam “Samudera Kesadaran Yang Maha Luas”. Biarkan dirimu–yang bagaikan setetes air itu–menjelma seratus samudera. Tetapi, jangan berpikir bahwa hanya setetes air itulah yang telah menjelma samudera, sebab samudera juga telah menjadi setetes air.

50
Sssttt! Diamlah! Dengarkan suara dalam dirimu. Ingatlah firman pertama-Nya: “Kita melampaui setiap kata.”

_______________________________
Biodata Singkat Jalaluddin Rumi
_______________________________
Rumi–nama lengkapnya, Maulana Jalaluddin Rumi Muhammad bin Hasin al-Khattabi al-Bakhri–lahir di Balkh (Afghanistan sekarang) pada tanggal 30 September 1207. Para Orientalis di Barat mengakui Rumi sebagai penyair yang terbesar dari semua penyair mistik yang pernah ada dalam peradaban Islam. Dan para sufi di Timur Tengah mengakui bahwa karya-karyanya dianggap sebagai Al-Qur’an kedua karena kedalaman maknanya. Jalaluddin Rumi adalah pendiri “Tarekat Mevlevi” di Turki. Sebelum Perang Dunia II, pengikut Tarekat Mevlevi berjumlah 100.000 yang tersebar di seluruh Balkan, Afrika, dan Asia. Tidak ada penyair di dalam sejarah–tidak juga Shakespeare atau Dante–yang secara nyata mempunyai dampak pada peradaban seperti yang dilakukan oleh Rumi. Dan tak ada puisi yang mampu membangkitkan ekstase mistik dan kebahagiaan kepada pembacanya seperti puisi-puisi yang ditulis oleh Rumi.

Rumi adalah satu pribadi di antara sedikit pribadi di bumi yang memiliki kesadaran universal–selain Ramakrishna, Aurobindo, dan Kabir–yang dihasilkan oleh agama, dan telah mewarnai kehidupan serta peradaban manusia dengan kemuliaan Cinta. Maka, pada saat ini, ketika kita membutuhkan suatu inspirasi untuk mencintai dunia yang tengah terancam kehancuran, ketika kita sudah melupakan identitas Keilahian, kebahagiaan, serta tanggung jawab kemanusiaan kita, Rumi hadir sebagai seorang pemandu dan seorang saksi atas kemuliaan Tuhan serta keagungan jiwa manusia. Rumi hadir membawa esensi agama yaitu Cinta yang universal. Bagi Rumi, Cinta melebihi semua dogma agama, Cinta hadir untuk memeluk keseluruhan ciptaan, Cinta adalah hakekat agama yang mempersatukan seluruh umat manusia di dalam cahaya Keilahian.
***
____________________________________
*) Puisi-puisi Rumi di atas diterjemahkan pertama kali ke dalam bahasa Indonesia oleh Ahmad Yulden Erwin pada 21 Juli 2009. Terjemahan ini telah banyak beredar di internet. Sumber dari terjemahan ini berasal dari buku “The Way of Passion, a Celebration of Rumi” by Andrew Harvey. Jeremy P. Tarcher/Putnam, a member of Penguin Putnam Inc. New York.
____________________________________


Puisi-Puisi Nezar Patria

$
0
0

Kompas, 16 Des 2012

Malin Kundang

Bahkan saat dikutuk menjadi kepompong batu, engkau kalahkan suntuk panjang itu dengan menggambar kembali dirimu. Titik demi titik, lalu garis, dan sebuah bentuk. ”Ini bukan metamorfosis yang sulit,” katamu. Mereka tak tahu. Sebelum menjadi batu, jiwamu adalah kupu-kupu.

2012

Kutaraja, 1874

Di Kuala, ada lagu serdadu kumpeni
”Jayalah Willem, sebelum pagi.”

Pada laras senapan yang ria
Ayat-ayat sembunyi
di arus kali,
Lidah naga menari.

Dari Kuala, ya dari Kuala
Kapal-kapal bergerak,
Dari mulut kanon
bau mesiu merambat.

Di Kutaraja, ada doa bergema
”Tuwanku, kami bersiap mati.
Jiwa merdeka, berkalung kenanga.”

Langit gelap
dalam mimpi yang kedap.

Bulan runcing,
berlari di ujung lembing
Pedang kelewang bersijingkat,
dalam khianat.

Siapa menukar sangkur
dengan dusta sungai anggur?

Di jantung Kutaraja
pada subuh hitam itu,
Kumpeni ria bernyanyi
”Jayalah Willem, sebelum pagi.”

2010

Cinta dalam Setengah Blues

Cinta, katamu, adalah tangga nada
dan kau pun mulai menyusun not buta

Kudengar piano itu berdenting, garing
Ada suara saksofon, monoton

Mungkin kau tak mengerti
Cinta bukan partitur biasa

Tak bisa dimainkan dari la
Lalu berhenti sebelum si

2012

_______________________
*) Nezar Patria lahir di Sigli, 5 Oktober 1970. Ia bekerja sebagai wartawan, dan berkumpul di Komunitas Tikar Pandan, Banda Aceh.
https://puisikompas.wordpress.com/2012/12/17/puisi-nezar-patria/

Puisi-Puisi Abi N. Bayan

$
0
0

Mereka Bukan Tentara, tapi Mereka Berpangkat

Anak-anak kecil itu
telah mengangkat senjata
memerangi segala yang berangkat
senjata mereka adalah bambu yang pelurunya
mereka buat dari buah pepaya, gora, dan daging kelapa.

Di atas tanah merah, kerikil
batu hitam, dan batu rijang
di kaki gunung
di bawah pohon sagu
kelapa goji, dan pohon pala

di bibir sungai, dan paka-paka ombak
di antara alang-alang, dan loloro
setiap hari mereka berperang:
saling mengejar, saling menembak,
tapi mereka tak pernah saling membunuh.

Sebab yang mereka inginkan
bukan kemenangan atau kemerdekaan
mereka hanya menginginkan kehidupan
dan yang mereka perangi adalah hari depan
hari yang akan membunuh kebiasaan mereka.

Kini anak-anak itu telah mati tanpa nisan,
tak tahu siapa yang akan menghidupkannya.

Morotai, 2020.

Piring Buatmu

Aku ingin menjadi piring buatmu
bila sehabis makan———kau lelah
letakkan aku di tiris-tiris rumah tua itu
biarkan hujan yang membersihkan tubuhku
atau letakkan saja aku di bibir pantai berteluk itu
biarkan pasang mengambilku, dan membawaku ke laut
lalu saksikanlah berapa banyak ikan yang saling merebut
sisa-sisa makananmu yang kau tinggalkan di sekujur tubuhku.

Morotai, 2019.

Kembali ke Madrasah
—Firzi Nurdin

Bila esok
kau tak melihat lagi
anak-anak itu duduk
melingkar di taman
menjelajahi lautan
di lipatan buku-buku

atau kau
tak mendengar lagi
puisi dan suara kultum
menggema—
menderu di taman itu

datanglah
ke teras rumah
yang pernah kita duduk
yang di dalamnya
kau pernah berdiri
sebagai seseorang
yang dipanggil guru

aku telah mengajak
mereka kembali, ke
Madrasah yang aku percaya, kelak
akan jadi mimbar dari segala mimbar
perpusatakaan dari segala perpustakaan.

Aku yakin,
di Diniyah,
mereka akan tumbuh,
mekar, merdeka, dan berbuah.

Morotai, 2019.

Di Kota Tua

Di bahu jalan
kau merasakan jejak
yang letih dan sepi itu
pulang kepada kepalamu
sebagai tamu tak diundang

kau tatap gedung-gedung
yang berdiri di jalan-jalan
seperti huruf, dan tabel-tabel
yang meliuk-liuk di sebuah layar
yang baru saja kau tinggalkan

sementara suara
yang kau lemparkan ke udara
tak jua menemui alamatnya
kau pulang membawa
bergerobak-gerobak gelisah
yang tak ada sapinya.

Ternate, 2020.

Musim Cengkeh Bagi Kami

Musim cengkeh bagi kami adalah pulang
pulang ke tanah ibu, pulang kepada kebun.

Di puncak, di bawah pohon,
di atas steleng, kami rayakan pertemuan.

Angin adalah media paling jujur
mengirimkan tigalu dan lagu kami ke mana-mana.

Daun, ranting, dan suara burung-burung
adalah instrumental, penggiring lagu, dan tigalu kami.

Di atas steleng, salapa adalah nasib kami yang selalu kosong
kami tak henti-henti mengisinya dengan riang, dengan juang.

Sebab kami tak ingin terbuang dari negeri
yang jalannya penuh likuan dan kepalanya penuh tipuan.

Ternate, 2020.

Keterangan:
tigalu: seruan/panggilan ketika di hutan.
steleng: tempat injak/duduk di pohon cengkeh.
salapa: karung untuk mengisi cengkeh yang telah dipetik.

__________________
*) Abi N. Bayan, lahir di Desa Supu Kec. Loloda Utara, Kab. Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara, 14 September 1990. Anak dari Hi. Naser Dano Bayan, dan Hj. Rasiba Nabiu. Kini tinggal di Morotai sebagai guru MA Nurul Huda, dan Pembina Sanggar Nurul Huda Gotalamo. Tahun 2019, menerima Anugerah Sastra Apajake (kategori penyair), dan salah satu nomine Anugerah Sastra Litera 2019. Karyanya tergabung beberapa antologi, diantaranya: Antologi Puisi Dari Negeri Poci 9: Pesisiran (2018), Perjumpaan: Antologi Sastra, Festival Sastra Bengkulu (2019), Membaca Asap (2019), Antologi: Situs Kota Cinta dalam Puisi (2019), dll. Karyanya pernah dimuat di Majalah MAJAS Edisi-3, dan di Website Sastra-Indonesia.com Nomor Kontak: 081343630934. Email: abibayan1990@mail.com

KEHADIRAN PERPUSTAKAAN

$
0
0


Djoko Saryono

/1/
Marilah sejenak kita ingat kembali keberadaan, kedudukan, dan peranan perpustakaan dalam kebudayaan dan peradaban manusia. Sejarah membuktikan bahwa kemajuan kebudayaan dan peradaban di berbagai belahan dunia dilandasi oleh adanya lembaga pendidikan yang memiliki perpustakaan yang kuat dan terkemuka pada satu sisi dan pada sisi lain adanya tradisi literasi yang kokoh dan terbuka.

Demikian juga kemajuan bangsa-bangsa di pelbagai penjuru dunia ditandai oleh kemampuan merespons secara setimpal atas bermacam-macam perubahan yang menyodorkan kebutuhan, tantangan, dan ancaman baru. Kemampuan merespons secara setimpal tersebut berkembang berkat adanya lembaga pendidikan yang memiliki perpustakaan yang sanggup menemukan, mentransformasikan, dan menyebarluaskan pengetahuan, ilmu dan teknologi pada satu pihak dan pada pihak lain berkembangnya tradisi literasi yang mantap.

Sebagai ilustrasi, pada masa lampau, bangsa Sumeria di wilayah Mesopotamia – yang sering dianggap sebagai wilayah lahirnya kebudayaan dan peradaban yang maju pada masanya – mampu membangun kebudayaan dan peradaban yang cemerlang berkat adanya pusat pembelajaran dan tradisi literasi yang mantap. Betapa tidak, pada Abad XXX SM, bangsa Sumeria sudah menghasilkan tulisan epik indah berjudul Gilgamesh, yang masih dapat kita nikmati hingga sekarang. Demikian juga bangsa Cina, jauh pada abad-abad Sebelum Masehi, sudah memiliki tradisi literasi yang mantap dan menghasilkan berbagai karya tulis yang sanggup melintasi berbagai zaman, misalnya Analecta, Art of War, dan Tao The Ching yang tetap laris dibeli dan dibaca orang sampai sekarang.

Pada kisaran abad-abad kedelapan sampai keenam Sebelum Masehi, bangsa India kuna juga sudah menghasilkan karya langgeng-menggobal Mahabharata, Ramayana, dan Tata Bahasa Panini berkat berkembangnya tradisi literasi dan pusat-pusat pembelajaran. Pada abad-abad Sebelum Masehi, Yunani Kuna sudah menjadi pusat intelektual, pembelajaran, dan literasi yang menghasilkan karya-karya tulis yang bisa dinikmati oleh manusia zaman sekarang. Bahkan Plato, salah seorang pemikir besar Yunani Kuno, sudah mendirikan perguruan tinggi Academia, yang dianggap sebagai universitas pertama di dunia, dengan tradisi simposium [symposium = pesta minum anggur kalangan intelektual aristokratis seraya berdiskursus persoalan tertentu] yang bisa membuahkan bermacam-macam wacana tulis yang dapat kita baca dan menginspirasi hingga sekarang.

Jangan dilupakan pula, Alexandria (Iskandariah), sebuah kota indah di Mesir, pada masa lampau sangat maju dengan perpustakaan yang luar biasa baik dari koleksi pustakanya maupun peran sosiokultural dan epistemik-intelektualnya. Demikian juga kegemilangan dan kejayaan Baghdad pada masa Abbasiyah, yang ditandai oleh kemajuan pengetahuan dan ilmu yang mengagumkan, disokong oleh Perguruan Tinggi Nizamiyah yang memiliki perpustakaan luar biasa, tradisi literasi yang kuat, dan tradisi keilmuan yang terbuka.

Semua ilustrasi tersebut menunjukkan betapa perpustakaan memiliki keberadaan, kedudukan, dan peranan yang fundamental, vital, dan strategis dalam memajukan tradisi intelektual, tradisi keilmuan, dan tradisi literasi. Selanjutnya hal tersebut memajukan kebudayaan dan peradaban berbagai bangsa di dunia.

/2/
Dapat dikatakan bahwa pada permulaan zaman modern sampai pascamodern sekarang tetap tampak kedudukan dan peranan fundamental, vital, dan strategis perpustakaan termasuk perpustakaan lembaga pendidikan bagi kemajuan intelektual, literasi, dan keilmuan, yang selanjutnya mendorong kegemilangan kebudayaan dan peradaban berbagai bangsa. Pada zaman modern, harus diakui, kemajuan bangsa-bangsa Eropa, Amerika, Rusia, dan Cina ditopang oleh tradisi literasi, intelektual, dan keilmuan di lembaga pendidikan dan masyarakat pada satu sisi dan pada sisi lain disangga oleh keberadaan, kedudukan, dan peranan perpustakaan yang begitu berarti di lembaga pendidikan dan masyarakat.

Tentu kita ingat bahwa Renaisans yang dimulai di Prancis dan Aufklarung (Pencerahan) yang dimulai di Italia, yang kemudian mampu membebaskan seluruh Eropa dari Abad Kegelapan, disangga oleh kasmaran dan kegandrungan intelektual, literasi, dan keilmuan yang diwadahi lembaga pendidikan, pembelajaran, dan perpustakaan. Universitas Cambridge, Universitas Oxford, dan Universitas Leiden beserta perpustakaan masing-masing yang sangat representatif dan signifikan, menjadi pusat intelektual, literasi, dan keilmuan yang membawa kemajuan dan keunggulan bangsa Eropa.

Demikian juga Harvard University, Stanford University, dan Massachusetts Institute of Technology beserta perpustakaan masing-masing pada satu sisi dan pada sisi lain Congress Library telah menjadi pusat intelektual, literasi, dan keilmuan sekaligus lambang kemajuan dan keunggulan Amerika dalam berbagai bidang kehidupan, mulai bidang ilmu, teknologi maupun ekonomi dan militer. Perguruan tinggi di Rusia yang memiliki perpustakaan representatif juga menjadi pusat intelektual, literasi, dan keilmuan, yang selanjutnya membawa kemajuan dan keunggulan Rusia. Perguruan tinggi di Cina beserta perpustakaan masing-masing yang sangat representatif dan mutakhir telah menjadi tonggak intelektual, literasi, dan keilmuan. Ini semua menunjukkan, perguruan tinggi beserta perpustakaan masing-masing yang representatif dan memiliki vitalitas menjadi sumbu dan hulu kemajuan dan kejayaan berbagai bangsa di dunia.

Sebab itu, dapat dibilang, kemajuan dan kejayaan suatu bangsa didasari oleh adanya tradisi intelektual, literasi, dan keilmuan yang baik dan mantap. Pada umumnya tradisi tersebut ditumbuhkembangkan di lembaga pendidikan beserta perpustakaan masing-masing yang representatif dan inklusif serta mampu membentuk komunitas epistemik yang tangguh. Di sinilah keberadaan, kedudukan, dan peranan perpustakaan sebagai pusat sumber belajar, intelektual, literasi, dan keilmuan demikian fundamental, vital, dan strategis. Untuk itu, perpustakaan lembaga pendidikan perlu ditempatkan sebagai fundamen pokok “bangunan” lembaga pendidikan satu sisi dan pada sisi lain harus difungsikan sebagai pusat sumber belajar, intelektual, literasi, dan keilmuan sedemikian rupa.

Bahkan sosok sebuah kota pun harus dilandasi atau diberi fondasi perpustakaan kota di ruang yang strategis. Apalagi sebuah kota yang mendeklarasikan diri sebagai kota cerdas. Aneh, sebuah kota cerdas tak punya fundemen perpustakaan yang menjadi ikon dan taman pengetahuan, literasi, dan keilmuan. Sudahkah kota-kota kita, yang ramai-ramai mendaulat diri sebagai kota cerdas, memiliki perpustakaan kota yang representatif dan semarak?
***

Cinta Semanis Racun, Penerjemah Anton Kurnia

$
0
0


Fatah Anshori *

Sebenarnya banyak sekali pertanyaan yang menuntut saya untuk menyelesaikan buku kumpulan cerpen, Cinta Semanis Racun yang dikumpulkan dan diterjemahkan oleh Anton Kurnia.

Salah satunya adalah apa alasan suatu cerpen dapat dimuat dan dibaca oleh pembaca dalam skala internasional. Namun sejauh saya membaca hingga habis, saya masih belum tahu jawaban yang tepat atas pertanyaan saya sendiri. Hanya saja ada sedikit bagian-bagian tentang cerpen yang saya mengerti.  Seperti teknik menulis atau membuat cerita, gambaran sosial tentang masyarakat dunia, dan masih banyak kepingan-kepingan lain tentang cerpen yang tidak bisa saya katakan semuanya disini.

Cerpen-cerpen yang ada dalam buku kumpulan Cerpen Cinta Semanis Racun. Sebagian besar dari cerpen-cerpen yang terkumpul di buku tersebut memang pernah dimuat di koran nasional, Kompas, Jawa Pos, Suara Merdeka, dan kawan-kawannya tentu saja. Memang seperti yang telah dituliskan di daftar pustaka, cerpen-cerpen yang terkumpul dalam buku ini didapatkan dari beberapa kumpulan buku cerpen dunia, koran, majalah, jurnal dan terakhir adalah situs Words Without Borders. Itu adalah sebuah situs yang ternyata telah memuat dan menerjemahkan cerpen-cerpen dunia ke dalam bahasa Inggris.

Saya sebenarnya tidak begitu banyak mengerti tentang cerpen hanya saja saya suka dan barangkali terobsesi dengan cita-cita naif saya untuk menjadi penulis sekelas mereka yang karyanya diterjemahkan ke berbagai bahasa di dunia. Dan tentu saja saya suka membaca, meski harus saya akui, tidak semua apa yang saya baca dapat saya pahami dan benar-benar masuk di kepala saya. Entah memang kepala saya yang bermasalah atau memang karya-karya mereka yang menuntut untuk dibaca berulang-ulang agar pembaca yang tolol seperti saya, tahu diri. Tapi entahlah, sebelum saya melipir kemana-mana. Izinkan saya berusaha berbicara sedikit tentang cerpen-cerpen dunia ini.

Kita mulai dengan Cerpen-Cerpen Asia Timur, tentu saja kita akan bertemu dengan Haruki Murakami, ia kembali membawa cerita yang plotnya kerap membuat saya merasa percaya diri, bahwa plot itu seperti seni, tidak usah direncanakan sejak awal dan akan terbentuk sendiri seiring kita menuliskan cerita tersebut. Baru saya sadari ternyata itu yang bisa saya ambil darinya. Kemudian,Yokomitsu Riichi, Ryunosuke Akutagawa, Gao Xingjian, Mo Yan dengan Cerpennya, Obat Mujarab. Sebelumnya saya pernah membaca cerpen ini di sebuah situs lakonhidup. Cerpen ini menceritakan tentang usaha seorang anak dan ayah mencuri empedu dari mayat seseorang yang baru saja di eksekusi di dekat jembatan yang dilakukan oleh pemerintah pada sekelompok orang. Cara menturkan masalah serius dengan setting yang tidak lazim, membuat saya harus menandai namanya sebagai penulis yang kelak harus saya baca bukunya.

Selanjutnya kita beranjak ke Asia Selatan dan Timur Tengah. Kita akan bertemu Etgar Keret, Parwin Faiz Zadah Malal, Saadat Hasan Manto, R.K. Narayan, Taslima Nasrin, Ibrahim Samu’il, Khushwant Singh, Zakaria Tamer. Diantara nama-nama itu mungkin yang kerap jadi perbincangan adalah Etgar Keret. Beberapa cerpennya pernah saya baca dari blognya Bernard Batubara. Efektivitas bercerita Keret yang tidak berlarut-larut adalah salah satu cirinya. Namun diantara nama-nama itu yang paling berkesan dan saya suka adalah R.K Narayan, seorang penulis India. Cerpennya, Di Bawah Pohon Beringin menceritakan tentang seorang kakek yang selalu bercerita di bawah pohon beringin. Yang saya suka Narayan berhasil membuat rasa penasaran saya terpancing di awal-awal cerita. Entah kenapa saya merasa ia telah menjadi narator yang lincah dengan humor yang juga pas.

Cerpen-cerpen Afrika Utara, kita akan bertemu dengan Nadine Gordimer, dan banyak lainnya. Namun yang berhasil mencuri perhatian saya adalah cerpen, Ular Berbisa dari Tahar Ben Jelloun. Saya suka cara Tahar memainkan plot yang tampak seolah memiliki dua plot dalam satu cerita. Namun pada akhirnya kita akan tahu bahwa dua plot tadi ternyata saling berhubungan.

Di Cerpen-Cerpen Amerika Utara, kita akan bertemu nama-nama besar seperti Ernest Hemingway, O. Henry, Jack Kerouac, Edgar Allan Poe. Di cerpen Amerika Utara ini, Ernest Hemingway dan O. Henry adalah dua orang yang paling membuat saya tertarik, cara menulis mereka menurut saya benar-benar rapi. Kalimat yang mereka pakai adalah kalimat-kalimat yang sederhana. Cara visualisasi yang sangat kuat sehingga pembaca benar-benar mampu untuk memahami apa yang ingin digambarkan penulis. Namun tidak jarang juga penulis hanya melipir saja. Tapi tetap menyenangkan, mereka menunjukkan cara melipir yang tidak membosankan.

Sementara di Cerpen-Cerpen Amerika Latin dan Karibia. Kita akan bertemu dengan Roberto Balano, Jorge Luis Borges, Julio Cortazar, Carlos Fuentes, Gabriel Garcia Marquez, Juan Rulfo, dan masih banyak lagi. Beberapa waktu yang lalu saya sempat berfikir, seiring semakin luas bacaan kita maka akan semakin banyak pula kita terpengaruh. Mungkin semacam itu, seiring waktu kita akan bosan pada hal-hal yang mainstream selanjutnya kita akan mencari jeda dan beralih ke hal-hal baru yang tidak membosankan, mungkin seperti itulah cara sebuah karya menjadi beragam. Begitu juga dengan menulis, semenjak membaca karya-karya cerpen dunia, jujur banyak sekali yang tidak saya mengerti tentang struktur kepenulisan, sudut pandang, plot, atau bagaimana humor-humor yang membuat narator tampak menyenangkan di mata pembaca. Sedikit banyak saya yakin nama-nama besar itulah yang mempengaruhi penulis-penulis setelahnya.

Cerpen-cerpen Eropa Timur. Di kawasan ini ada Anton Chekov, Fyodor Dostoyevsky, Franz Kafka, Leo Tolstoy, dan beberapa yang lain. Hampir keseluruhan saya suka dengan cerpen mereka, namun disini saya sedikit tertarik dengan Anton Chekov yang mempunyai latar belakang seorang Dokter. Mulanya saya berpikir bahwa profesi paling tidak akan mempengaruhi karya-karyanya, namun di cerpen Varka Hanya Ingin Tidur, Anton Chekov seperti tidak menampakkannya sama sekali. Namun ia hanya mengulas bagaimana psikologi seorang Varka, keseharian seorang pembantu rumah tangga yang tidak diberi kesempatan untuk beristirahat sama sekali dan ending cerita yang membuat saya termenung bahwa Chekov ingin memberi pelajaran pada kaum elit dengan ending yang tragis.

Cerpen-cerpen Eropa Barat dan Skandinavia, kita akan bertemu dengan James Joyce, Guy de Maupassant, Salman Rushdie, Dacia Maraini, Angela Carter, dan masih sangat banyak nama-nama lain yang belum begitu akrab ditelinga saya. Kawasan ini saya tertarik dengan Salman Rushdie. Di cerpennya, Wawancara ia menceritakan tentang seseorang yang tengah berusaha mencari pekerjaan, namun ia selalu gagal dalam tes interview. Setelah kian lama ia baru sadar bahwa orang yang menjadi pewawancara di setiap perusahaan adalah orang yang sama. Sampai disini saya suka cara Salman membuat konflik, bermula dari kejadian-kejadian yang kerap kita temui sehari-hari. Namun ia seolah dengan mudah membuat lompatan, atau konflik yang tidak lazim. Yang mana kita tahu apapun di dunia ini yang berbau tidak lazim, atau anti mainstream sering membuat orang-orang tertarik, entah itu gila, tidak waras, atau semacamnya. Di dalam hati kita pasti mengumpat, mencaci, namun kita tidak sadar telah terseret untuk memperhatikan ketidaklaziman itu. Mungkin itulah yang telah berhasil Salman Rushdie lakukan di cerpennya.

Terakhir Cerpen dari Australia dan Oseania. Hanya ada dua penulis Peter Carey dan Thomas Keneally.
Cerpen-cerpen dunia seperti itulah yang termuat dalam buku kumpulan cerpen Cinta Semanis Racun, memang tidak seluruh cerpen mampu saya ulas disini. Terakhir saya menyadari bahwa cerita mungkin hanyalah sebuah cerita, tentang untuk apa, kenapa, dan dituliskan dengam cara apa. Jika semua cerita diciptakan atau dituliskan untuk memberi pelajaran moral dan sebagainya yang baik-baik, tentu kita akan membenci cerita yang tidak memiliki pesan moral, terutama jika seluruh tokoh yang hidup didalam cerita tidak memiliki kesadaran berbuat baik alias bajingan seperti yang ada di novel Cantik Itu Luka. Tentu kita akan mengumpat ini cerita buruk bahkan mungkin cerita yang gagal. Namun di dunia ini terlalu banyak sekali cerita entah itu baik ataupun buruk dan terlalu banyak teknik bercerita yang di gunakan setiap penulis. Maka mungkin cerita tetaplah cerita tentang bagaimana kita menikmatinya, dan melihatnya dengan sudut pandang yang berbeda.

Sebenarnya saya membaca cerpen-cerpen dunia tidak lain karena ingin belajar banyak bagaiamana cerpen-cerpen yang bagus itu dituliskan dan tentang apa saja, bagaimana tekniknya,  banyak sekali yang masih belum saya ketahuhi. Terakhir tentang Inses intelektual, yang pernah Eka Kurniawan singgung di Jurnalnya. Ini tentang keluh kesah seseorang karena seluruh cerpen yang ia kirimkan ke media tidak pernah dimuat. Dan dengan sengaja atau tidak sengaja sang editor lantas berkicau di medsos, agar si penulis belajar dari cerpen-cerpen yang telah dimuat di media tersebut. Dan tentu saja itu akan menyebabkan perkawinan sedarah kata Kang Eka, sebagaimana kita tahu perkawinan sedarah akan menimbulkan banyak penyakit dan kelemahan. Oke, mungkin maksudnya seperti ini, Eka menganjurkan agar kita tidak hanya belajar dari cerpen-cerpen lokal, ia mengharuskan agar kita membaca dunia, agar inses yang kita lakukan menghasilkan varietas-varietas baru. Cerpen-cerpen baru yang lebih segar dan berbau sedikit antimainstream. Paling tidak ini sebagai wujud inses saya agar keturunan tidak sering sakit-sakitan dan suka batuk-batuk.

________________
*) Fatah Anshori, lahir di Lamongan, 19 Agustus 1994. Belajar menulis sejak pertengahan 2014, dan novel pertamanya “Ilalang di Kemarau Panjang” (2015), dll. Website: fatahanshori.wordpress.com

Lima Puisi Ahmad Yulden Erwin tentang Syria

$
0
0


DI SYIRIA YANG LAIN

Ibu-ibu menangis
Di Syria, Syria yang lain

Sepasang bom
Meledak pagi itu
Atau di pagi-pagi yang lain

Batu apung, ampas nanas,
Perahu mengambang di laut,
Seakan coretan pada pasir.

Di pantai yang lain
Anak-anak menangis
Dan menyebut Ahriman

Sebagai harapan
Atau napas yang dingin.

‘Dunia jelas bukan rumus
Fibonacci, tapi jangan pula
Bertanya kapan kami akan mati.’

Tiga paku baja, tiga kawat
Berkarat, semacam rompi tua,
Dan sepasang bom di tengahnya.

AYAT PERDAMAIAN

Mereka menyatakan
Hidup adalah perdamaian

Dan kembali menjatuhkan bom,
Menembaki kepala balita
Atau ibu tua, sebelum
Menyusun sebuah rencana

‘Tak ada yang abadi
Bahkan untuk setiap surga
Di muka bumi, tak ada yang abadi.’

Mereka menyatakan
Hidup adalah keadilan, bahkan
Ketika kau dicekik mereka,
Tujuh anak kecil itu masih tertawa
Dan mengirimkan salam perdamaian

Di dasar neraka, yang muram
Dan sia-sia, Iblis mengirimkan ayat
Terakhirnya: ‘Semua adalah senjata!’

SEBELUM KAMP ZAATARI

Tiga belas jam dari sini
Kau akan melihat matahari

Dunia akan menyambut kita
Dengan terang cahaya

Di kamp pengungsi, kebenaran
Seakan roti, meski tanpa bumbu,
Kau akan lekas menyimpannya

‘Di sana tak ada mortir,
Tak ada bekas tembakan, Abi?’

Itu hanya kamp pengungsi, Amer,
Setiap anak akan melagukan barzanji

Di kamp pengungsi, keadilan
Adalah kata kerja, kemiskinan
Hanya lambung tanpa kurma, bisakah

Kau mengerti, Bana, tiga belas jam
Dari sini, kau tak akan melihatku lagi?

BAGI AMER ALMAOHIBANY, SYRIA

Balon-balon ini
Tidak akan hilang,
Kecuali kita siap melepasnya

Namun, selalu kau jaga balonmu
Dan terus bermain dengannya

Di antara puing rumah
Kau berlari di sana, di luar
Jam sekolah, dan sia-sia

Balon-balon ini
Tidak akan terbang,
Meski mereka berisi udara

Di sini kita akan melupakan
Semua, dan menyumpal perut kita
Dengan tawa, ketika pulang

Akan kau temui sepasang mayat,
Itulah ibu-bapak kita

‘Sekarang, kau siap melepas
Balon-balon itu, Kakak?’

Mungkin ya, mungkin juga tidak,
Mereka milik orang tua kita,
Mereka telah dirampas
Dari tangan Tuhan yang perkasa

LELAKI TUA DARI ALEPPO

Kau mendengarkan musik
Dan memandang reruntuhan
Di depan matamu, kamar itu

Seakan parade kebencian
Atau jazirah yang dikutuk malam
Dan kau terus menafsirnya

Sebagai asap pipa—atau aubade
Dari tanah yang dijanjikan—
Seakan doa atau hadrah Arab lama

Kamarmu, kamar dari masa lalu,
Atau hanya penjara terbakar,
Ketika satu gramofon terus bertahan

Di balik ingar, ‘Tiga puluh mobil antik
Yang dirampok dan dihancurkan,
Sekarang bertahan di dalam mimpimu.’

Tua adalah sebuah himne
Ketika tak ada lagi orang mendengarkan

April 2018

Catatan:
Lima puisi ini sudah dicetak dan diterbitkan di dalam buku puisi “Perawi Rempah”, Penerbit Lampung Literature, Juni 2018, karya Ahmad Yulden Erwin.

Viewing all 2226 articles
Browse latest View live