Quantcast
Channel: Sastra-Indonesia.com
Viewing all 2226 articles
Browse latest View live

HERMENEUTIK HANS-GEORG GADAMER

$
0
0


Fuad Nawawi *

Pembuka

Hermeneutik bukanlah sebuah istilah modern, melainkan sebuah istilah kuno yang dapat ditelusuri sampai zaman Yunani. Istilah ini terkait dengan Hermes, tokoh dalam mitologi Yunani yang bertindak sebagai utusan dewa-dewa untuk menyampaikan pesan ilahi kepada manusia. Hermeneutik dalam bahasa Inggris hermeneutics berasal dari kata Yunani hermeneuein yang berarti menerjemahkan atau bertindak sebagai penafsir.[1] Di dalam kegiatan menerjemahkan sebuah teks, kita harus memahami lebih dahulu teks tersebut. Menerjemahkan bukan hanya sekedar menukar kata asing dengan kata dalam bahasa kita, melainkan juga memberikan penafsiran. Dengan demikian, hermeneutika diartikan sebagai sebuah kegiatan atau kesibukan untuk menyingkap makna teks. Pada perkembangan kemudian, teks dimengerti secara luas sebagai jejaring makna atau struktur simbol-simbol, segala sesuatu yang mengandung jejaring makna atau struktur simbol-simbol adalah teks. Perilaku, tindakan, norma, mimik, tata nilai, isi pikiran, percakapan, benda-benda kebudayaan, obyek-obyek sejarah dan seterusnya adalah teks. Karena semua hal yang berhubungan dengan manusia dimaknai olehnya, yaitu kebudayaan, agama, masyarakat, negara dan bahkan seluruh alam semesta, semuanya adalah teks. Jika demikian, hermeneutika diperlukan untuk memahami semua itu.[2]

Sebelum konsep hermeneutika diperbaharui secara radikal oleh Heidegger dalam bukunya Sein und Zeit/Being and Time, pada mulanya hermeneutika dimaknai sebagai penafsiran teks kuno atau tafsir kitab suci yang digawangi Schleiermacher dan sebagai pendasaran metodologis yang bersifat universal untuk ilmu-ilmu sosial yang dirintis Wilhelm Dilthey. Saat itu, hermeneutika belum menjadi perhatian atau tema pokok filsafat. Hermeneutika menjadi sebuah kajian filosofis yang berbobot, baru mengemuka lewat terbitnya buku magnum opus Hans Georg Gadamer –selanjutnya disebut Gadamer- yang berjudul Wahrheit und Methode/Truth and Method. Penulis dalam esai ini mengelaborasi hermeneutika Gadamer, yang meliputi kritik Gadamer terhadap teori hermeneutik sebelumnya, apa yang menjadi pokok-pokok hermeneutik Gadamer, implikasi filosofis hermeneutik Gadamer dan kritik Habermas terhadap hermeneutik Gadamer.

  1. Kritik Gadamer terhadap Teori Hermeneutik Sebelumnya.
  2. a. Kritik Terhadap Romantisme Schleiermacher.

    Hermeneutik Schleiermacher memusatkan diri pada upaya memahami keasingan dalam teks-teks kuno. Schleiermacher berkehendak untuk menghadirkan kembali makna dari masa silam seutuh-utuhnya agar kesalahpahaman dengan pembaca masa kini dapat diatasi. Tindakan memahami diandaikan sebagai rekonstruksi atas produksi teks atau makna yang seolah bisa steril dari keterlibatan penafsirnya dalam kekiniannya. Dengan demikian, hermeneutik romantis Schleiermacher dikategorikan sebagai hermeneutik reproduktif.[3]

    Yang dilupakan oleh teori ini, menurut Gadamer, adalah pengarang dan pembacanya masing-masing sudah senantiasa bergerak di dalam wilayah saling-pemahaman yang berbeda. Tindakan memahami, lanjut Gadamer, bukanlah sebuah representasi atas makna dari masa silam, melainkan sebuah peleburan antara cakrawala/horizon masa silam dari pengarang dan horizon masa kini dari pembaca.[4]

    b. Kritik Terhadap Historisme[5] Wilhelm Dilthey

    Menurut Gadamer, Wilhelm Dilthey –selanjutnya disebut Dilthey- belum keluar sepenuhnya dengan cara pandang cartesian yang dikritiknya. Dua hal yang dikemukakan Gadamer untuk mengkritik Dilthey. Pertama, Dilthey berpandangan bahwa kita ditentukan sejarah, maka kita dapat mengetahui sejarah sebagai fakta. Dalam arti ini lalu pengetahuan sejarah berciri universal, yaitu melampaui sejarah konkret. Pandangan ini bertentangan dengan historisitas itu sendiri yang mengandaikan bahwa kita manusia bergerak di dalam sejarah dan tidak mengatasinya. Kedua, kesadaran historis Dilthey masih dipahami sebagai kesadaran akan sejarah, bukan sebagai kesadaran dalam sejarah. Kesadaran historis Dilthey merupakan hasil refleksi yang seolah-olah bisa keluar dari sejarah, seperti pandangan burung di atas bumi dan dengan cara itu menemukan fakta obyektif. Padahal, menurut Gadamer, pengetahuan kita sendiri menyejarah. Ada yang lebih primordial daripada kesadaran atau pengetahuan akan sejarah, yakni kesadaran yang ditentukan dan dipengaruhi oleh sejarah.

    Dengan mengkritik kedua tokoh tersebut, Gadamer berpendapat bahwa pembaca tidak dapat kembali ke masa silam untuk menemukan makna asli yang dimaksud penulis teks. Kesadaran kita juga tidak berada di luar sejarah, melainkan bergerak di dalam sejarah, sehingga pemahaman kita juga dibentuk oleh sejarah. Dengan ungkapan lain, pemahaman kita berada di dalam horizon tertentu. Setelah mengkritik Schleiermacher dan Dilthey, pada paragraf berikutnya, penulis menjelaskan solusi yang ditawarkan Gadamer melalui subbab kedua: pokok-pokok hermeneutik Gadamer.

    1. Pokok-pokok Hermeneutik Gadamer

    Sebelum masuk penjelasan tentang pokok-pokok hermeneutik Gadamer, penulis lebih dahulu menjelaskan keterpengaruhan teori hermeneutik Gadamer oleh sang Guru, Heidegger. Kerangka hermeneutik Gadamer berangkat dari paradigma Hiedegger tentang dimensi ontologis manusia, yakni cara berada Dasein. Gadamer mengembalikannya pada interpretasi pada umumnya yang juga dilakukan dalam ranah keseharian. Seseorang yang mencoba untuk memahami tak terlindung dari distraksi makna-makna yang telah ada sebelumnya yang tidak berasal dari hal-hal itu sendiri. Bila memahami selalu melibatkan makna yang telah ada sebelumnya, suatu pra-struktur pemahaman, tidak akan ada interpretasi obyektif sebagaimana dikejar Schleiermacher dan Dilthey. Pra struktur pemahaman ini diadaptasi Gadamer menjadi konsep prasangka. Prasangka ini bersumber dari otoritas dan tradisi. Manusia, menurut Gadamer tidak bisa keluar dari tradisi, tiada pemahaman yang bekerja sendiri, tanpa prasangka, karena dalam setiap pemahaman bekerja unsur-unsur dari otoritas dan tradisi.

    Pra-struktur pemahaman Heidegger yang sudah disinggung di atas itu terdiri dari tiga unsur yaitu Vorhabe, Vorsicht dan Vorgriff. Menurut Gadamer, Heidegger mendiskusikan lingkaran hermeneutik pertama-tama bukan sebagai usaha pemahaman praktis, melainkan dimaksudkan untuk memberikan deskripsi cara pencapaian pemahaman melalui interpretasi. Heidegger mengatakan bahwa jika seseorang ingin memahami sesuatu, ia membawa latarbelakang tradisi yang telah ia miliki sebelumnya. Unsur pertama dalam hermeneutik ini disebut dengan Vorhabe (Fore-have). Selanjutnya, dalam membuat penafsiran, orang itu selalu dibimbing oleh cara pandang tertentu. Maka dari itu dalam setiap tindak pemahaman ia selalu didasari oleh apa yang telah dilihat sebelumnya. Itulah unsur yang dinamakan Vorsicht (Fore-sight). Unsur ketiga yang menjadi syarat pemahaman adalah konsep-konsep yang memberi kerangka awal yang diistilahkan dengan Vorgriff (Fore-conception).[6] Ketiga unsur inilah yang dikembangkan Gadamer menjadi pokok-pokok hermeneutiknya sebagai berikut:

    a). Peleburan Cakrawala (Fusion of Horizon).

    Memahami sesuatu, menurut Gadamer, bukanlah sebuah representasi atas makna dari masa silam, transposisi diri atau teman sezaman dengan pengarang di masa lampau seperti yang diusulkan Schleiermacher cukup problematis, karena kita, sebagai pembaca, sudah mempunyai suatu cakrawala untuk menempatkan diri kita sendiri dalam situasi historis. Oleh karena itu, menurut Gadamer, setiap proses pemahaman adalah sebuah peleburan antara cakrawala masa silam dari pengarang dan cakrawala masa kini dari pembaca. Kedua cakrawala itu tidak berada dalam posisi via a vis. Keduanya hanya dapat dimengerti kalau dilihat hubungan yang ada di antara mereka. Mencari makna dari masing-masing per se adalah tindakan sia-sia. Dengan demikian, dalam kesadaran sejarah orang dituntut untuk bersikap waspada atas keunikan cakrawalanya sendiri yang pada gilirannya mampu membedakan dirinya dari cakrawala tradisi meskipun disadari bahwa tidak akan pernah ada suatu rekonstruksi historis secara menyeluruh.

    b). Sejarah Pengaruh (Effective History Consciousness)

    Memahami sejarah tidak hanya berarti bahwa kita memahami fenomena sejarah, seperti misalnya memahami isi karya-karya masa silam, melainkan juga memahami pengaruh-pengaruh karya itu dalam sejarah. Yang disebut terakhir ini kurang mendapat perhatian Dilthey dan justru diangkat menjadi pokok pemikiran Gadamer sekaligus kritiknya terhadap historisme Dilthey. Istilah sejarah pengaruh mengacu pada keterlibatan kita dalam sejarah, yakni suatu situasi yang di dalamnya kita sebagai pelaku-pelaku sejarah tidak melampaui sejarah.

    Terkait dengan penjelasan sejarah pengaruh, Budi Hardiman memberikan ilustrasi begini: seorang peneliti sejarah memahami fenomena sejarah, seperti misalnya peristiwa gerakan 30 September 1965, dengan mengambil jarak. Hasil pemaparannya diklaim sebagai obyektif karena tanpa keterlibatan peneliti di dalamnya. Pengetahuan obyektif tentang sejarah itulah kesadaran sejarah yang dibanggakan pencerahan Eropa sebagai prestasinya. Gadamer melawan kepongahan intelektual seperti itu. Menurutnya, peneliti dengan kesadaran sejarah itu justru tidak menyadari bahwa pengambilan jarak yang dia lakukan saat meneliti itu merupakan sebuah situasi hermeneutis yang di dalamnya ia juga berada di bawah pengaruh-pengaruh zamannya sendiri. Paparan sejarah seorang peneliti mencerminkan sedikit banyak kekuatan-kekuatan pengaruh, seperti kepentingan-kepentingan ideologis, politis, kultural, ataupun ekonomis, yang mengarahkan penelitiannya.[7]

     

    1. Implikasi filosofis hermeneutik Gadamer

    Gadamer berpendapat bahwa interpretasi bukanlah rekonstruksi ataupun representasi makna dari masa silam, melainkan interseksi antara tradisi dan kekinian penafsir sedemikian rupa sehingga dihasilkan sesuatu yang baru. Hermeneutik tidak berciri reproduktif, melainkan produktif. Dengan demikian, bagi Gadamer, pemahaman terhadap teks merupakan hasil peleburan cakrawala-cakrawala. Dari pendapat tersebut mengimplikasikan bahwa  kebenaran tidak hanya bersifat historis, yakni bergerak dalam ruang dan waktu, melainkan juga tidak mungkin dicapai suatu kebenaran final dan absolut.[8]

    Pandangan itu mengandaikan bahwa kebenaran bukanlah sesuatu untuk ditemukan, seolah-olah suatu kebenaran utuh telah ada dan menanti untuk ditemukan melainkan sesuatu yang dibuat. Kata “dibuat” di sini bukan dalam pengertian direkayasa misalnya lewat retorika, melainkan dalam pengertian bahwa praktik-praktik otoritas dan tradisi yang mengisi horison hermeneutis itu yang mengisi kebenaran. Kebenaran muncul dari hubungan-hubungan kompleks tradisi dan otoritas yang membentuk horizon pemahaman kita.[9]

    1. Kritik Habermas Terhadap Hermeneutik Gadamer.

    Habermas mengkritik hermeneutik Gadamer terutama terkait tradisi dan klaim universal dari hermeneutik. Menurut Gadamer, konsep memahami bergerak di dalam tradisi dan otoritas tertentu, karena kita adalah makhluk sejarah yang memahami dalam horizon tradisi tertentu, yang tentu dijaga oleh otoritas tertentu. Memahami tak lain daripada kesepahaman atau persetujuan dengan tradisi. Kita tidak dapat melampaui tradisi karena kita tidak mungkin melampaui tradisi. Singkatnya, Gadamer mengandaikan adanya konvergensi antara hermeneutik dan tradisi. Tidak setuju dengan Gadamer, Habermas berargumentasi bahwa tradisi tidak hanya untuk diteruskan, kita dapat juga putus darinya karena kita tidak bersikap pasif terhadap tradisi dan otoritas, melainkan juga bersikap kritis, sehingga penerimaan atas legitimitas tradisi juga tergantung pada refleksi kita atasnya.

    Yang dipersoalkan Habermas bukan elemen tradisi dan otoritas dalam pemahaman, sesuatu yang dalam keadaan normal bisa saja tanpa masalah, melainkan hubungan-hubungan kekuasaan di dalamnya. Jadi, Gadamer terlalu fokus pada proses pemahaman dan mengabaikan fakta bahwa pemahaman itu juga dikendalikan oleh kekuasaan. Habermas memasukkan dimensi kekuasaan sebagai sebuah unsur sentral dalam memahami teks. Menurut Habermas, bahasa bukanlah sesuatu yang netral, karena bahasa juga dapat menjadi medium kekuasaan dan dapat dipakai untuk membenarkan hubungan-hubungan kekuasaan. Hermeneutik sebagai pemakaian bahasa, sebagaimana dijelaskan oleh Gadamer, menurut Habermas hanyalah sebuah momen dari proses sosial yang terkait dengan kekuasaan terorganisasi. Bila kita mengabaikan elemen ini, hermeneutik hanya akan terjebak ke dalam sikap konservatif dan bahkan naif membenarkan tatanan yang ada.

    Kritik Habermas terhadap gagasan Gadamer tentang hermeneutik universal bahwa hermeneutik tidak dapat diterapkan di semua pengetahuan, misalnya tidak berlaku di ilmu alam. Ada batas lain yang dapat ditemui oleh hermeneutik sehingga klaim universalitasnya sulit dipenuhi yaitu ketika seorang penafsir berhadapan dengan teks-teks yang tidak lazim (abnormal), maksudnya bahasa dan perilaku yang tidak dimengerti oleh penutur atau pelakunya sendiri. Habermas menunjuk kepada kasus psikopatologis dan kasus perilaku kolektif hasil indoktrinasi. Kedua kasus tersebut, menurut Habermas, mengalami komunikasi yang terdistorsi secara sistematis.

    Solusi Yang Ditawarkan: Hermeneutik Kritis[10]

    Mengatasi kedua kasus tersebut, Habermas mengajukan hermeneutika kritis dengan memakai metode psikoanalisis Freud dan kritik ideologi Marx. Habermas membedakan hermeneutik biasa dengan psikoanalisis. Hermeneutik biasa menghadapi teks-teks yang memuat ingatan subjektif tentang sejarah hidupnya dalam kondisi-kondisi normal. Di sini penulis teks dipandang mengetahui dirinya dan secara sadar mengungkapkan struktur-struktur simbolis dalam teks itu. Seorang penafsir lalu berupaya memahami teks itu “dari dalam” untuk mengetahui apa yang dimaksudkan. Makna-makna struktur simbolis itu dipelajari dengan kecurigaan hanya terhadap intervensi tak sadar dari kondisi-kondisi eksternal, misalnya konteks sejarah si penulis sendiri. Yang dihadapi psikoanalisis justru teks-teks yang mencurigakan dari segi internal penulis. Struktur-struktur simbolis yang terungkap tidak dengan sadar dimaksudkan demikian, karena si penulis atau subyek mengalami gangguan-gangguan internal atau simtom-simtom neorosis. Struktur-struktur simbolis yang diungkapkan telah terdistorsi dari maksud sesungguhnya oleh penyakitnya. Dengan demikian, jika hermeneutik biasa menghadapi language game yang berfungsi baik, psikoanalisis menghadapi language game yang telah menjadi kacau susunannya.

    Dengan adanya unsur-unsur tak sadar dan terselubung itu, psikoanalisis melampaui hermeneutik biasa. Psikoanalisis bermaksud menembus makna-makna simbolis yang ada di permukaan yang tidak dicurigai oleh hermeneutik biasa sampai menemukan motif-motif tak sadar dari subyek. Dalam psikoanalisis, digabungkan dua metode lain menjadi satu yaitu analisis bahasa dan penelitian psikologis. Karena itu, metode yang ditemukan Freud ini tidak dapat disamakan dengan hermeneutik biasa dan menurut Habermas, lebih tepat disebut hermeneutik dalam atau hermeneutik kritis. Sebagai hermeneutik kritis, psikoanalisis berusaha menerjemahkan teks itu sampai dapat dipahami baik oleh orang lain maupun subyek itu sendiri. Dengan kata lain, menurut Habermas, psikoanalisis menerjemahkan ketidaksadaran menjadi kesadaran.  Dalam praktek klinis, hermeneutik biasa tidak akan mampu menafsirkan struktur simbolis yang dihasilkan subyek karena hermeneutik biasa hanya ingin mengatasi kesulitan dalam komunikasi dua subyek yang terpisah secara historis, kultural, dan sosial dan bukan terpisah oleh taraf normalitas psikis. Dalam keadaan patologis, subyek tidak akan mampu mencapai saling pemahaman timbal balik karena struktur simbolis yang seharusnya rasional terdistorsi secara psikis. Komunikasi yang terganggu ini tidak memerlukan seorang penafsir hermeneutis biasa, melainkan seorang analis yang mengajari subyek untuk dapat memahami bahasanya sendiri. Analis mengajarnya untuk membaca teks yang telah didistorsikannya sendiri lalu mengajarinya bagaimana menerjemahkan struktur-struktur simbolis privat itu ke dalam bahasa publik.

    Habermas memahami tekhnis analitis dari psikoanalisis itu termasuk sebagai refleksi diri. Refleksi diri menurut Habermas adalah tindakan rasio yang menyebabkan ego dapat membebaskan diri dari dogmatisme atau kesadaran palsu. Di dalam refleksi diri, ego menjadi transparan terhadap dirinya sendiri dan terhadap asal usul kesadarannya sendiri. Di dalam kegiatan refleksi, kita sebagai ego tidak hanya memiliki kesadaran baru tentang diri kita sendiri melainkan bahwa kesadaran baru itu mengubah hidup eksistensial kita sendiri. Tindakan mengubah hidup itu adalah tindakan emansipatoris. Karena di dalam refleksi diri kesadaran dan tindakan emansipatoris itu menyatu, dalam kegiatan refleksi, rasio kita langsung menjadi praktis. Refleksi diri, lanjut Habermas, adalah intuisi sekaligus emansipasi, pemahaman sekaligus pembebasan dari ketergantungan dogmatis. Dengan demikian, refleksi diri adalah kegiatan kognitif yang memuat kekuatan emansipatoris karena kegiatan ini didorong oleh kepentingan yang inheren di dalam rasio kita sendiri, yaitu kepentingan emansipatoris.

    Habermas mengungkap tiga alasan lain kenapa pengetahuan analitis itu dikategorikan sebagai refleksi diri. Pertama, pengetahuan analitis mencakup baik unsur kognitif maupun afektif dan motivasional. Pengetahuan semacam ini adalah kritik karena didorong oleh pengetahuan dan kebutuhan akan perubahan praktis. Keadaan patologis pasien tak lain dari kesadaran palsu yang dapat dihancurkan hanya dengan kehendak, dengan apa yang disebut Habermas sebagai passion for critique. Di sini kepentingan pasien untuk sembuh, kepentingan emansipatoris, merupakan syarat suksesnya terapi. Dengan kata lain, suksesnya terapi bukan terutama disebabkan oleh pengarus analis, melainkan pada refleksi diri dari pasien sendiri. Kedua, dalam proses terapi ditekankan agar pasien tidak menghubungkan penyakitnya dengan penyakit fisik melainkan harus memandangnya sebagai bagian dari kediriannya sendiri. Dalam proses itu, ego si pasien mengenal dirinya sebagai kedirian yang terasing karena penyakitnya dan ia harus mengidentifikasikan diri dengan kedirian yang terasing itu. Dalam hal ini pasien mengemban tanggung jawab moral atas penyakitnya sendiri. Dan di sini, menurut Habermas, rasio teoritis dan rasio praktis tidak dapat dipisahkan karena terapi merupakan suatu moral insight. Ketiga, dalam proses terapi itu, analis membuat dirinya sendiri sebagai alat pengetahuan, tidak dengan menyingkirkan subyektifitasnya, melainkan dengan suatu pelaksanaan terkendali. Untuk menyembuhkan pasien, analis menghayati peranan si pasien, yaitu peran seorang penderita yang sedang berusaha membebaskan diri dari penyakitnya. Dengan kata lain, analis harus sungguh terlibat secara mendalam di dalam pengalaman-pengalaman pasiennya. Melihat proses analitis tersebut, tampaklah bahwa pengetahuan analitis bukannya tanpa kepentingan karena terapi diperoleh sejauh pasien didorong oleh kepentingan emansipatoris untuk sembuh dan sebaliknya analis didorong kepentingan yang sama untuk membebaskan pasien. Sebagai refleksi diri, psikoanalisis menyatukan kognisi dan afeksi, rasio teoritis dan rasio praktis dan akhirnya menyatukan pengetahuan dan kepentingan.[11]

    Sampai di sini, Habermas telah menunjukkan bagaimana psikoanalisis menjadi contoh ilmu kritis pada level individual. Habermas juga mencoba mengintegrasikan psikoanalisis Freud ini ke dalam materialisme sejarah Karl Marx untuk menunjukkan bagaimana ilmu kritis yang masih ada di dalam bentuk program itu diterapkan dalam realitas sosial. Di atas secara implisit telah terkandung suatu persoalan yaitu tentang normalitas psikis. Masalah ini menarik karena menjadi titik tolak bahasan Habermas tentang psikoanalisis sebagai kritik sosial. Habermas melihat adanya kesamaan dan perbedaan antara Marx dan Freud dalam memahami masyarakat dan kebudayaan. Meskipun di dalam istilah yang berbeda, Freud juga membedakan kekuatan-kekuatan produksi dan hubungan-hubungan produksi. Seperti Marx memahami masyarakat, Freud memahami kebudayaan sebagai sarana manusia untuk melampaui taraf kondisi-kondisi eksistensi hewan. Manusia melampaui hewan dalam dua aspek. Pertama, manusia memiliki kemampuan dan pengetahuan untuk mengendalikan kekuatan-kekuatan alam dan menimba hasilnya untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhannya. Kedua, untuk mendistribusikan hasil-hasil alam ini manusia mengatur interaksinya satu sama lain melalui pranata-pranata sosial. Kedua aspek ini saling tergantung dan tumpang tindih karena tiga hal. Pertama interaksi secara mendalam dipengaruhi oleh pemuasan naluri-naluri yang dimungkinkan oleh hasil-hasil alam itu. Kedua, manusia dapat memakai sesamanya seperti ia memakai alam, entah memperlakukannya sebagai obyek kerja entah sebagai obyek seksual. Ketiga, setiap individu sesungguhnya adalah musuh kebudayaan meskipun kebudayaan merupakan kepentingan manusiawi universal untuk pemeliharaan diri kolektif. Menurut Habermas, pada alasan ketiga inilah terdapat perbedaan antara Freud dan Marx.

    Berbeda dengan Marx yang memandang pranata-pranata sosial sebagai penataan kepentingan-kepentingan yang memungkinkan berfungsinya sistem kerja sosial, Freud memandangnya dalam kaitannya dengan represi atas dorongan-dorongan naluriah, maka pranata sosial adalah musuh individual juga. Penataan kepentingan dalam pandangan Marx berakar pada struktur kelas dan terdistorsi oleh struktur itu sehingga keuntungan dan kewajiban sosial didistribusikan menurut struktur kelas. Represi sosial dipaksakan secara universal tak tergantung pada struktur kelas. Dalam hal-hal di atas, menurut Habermas, terdapat perbedaan konteks pemahaman atas penataan institusional antara Freud dan Marx. Jika Marx memahaminya sebagai penataan pembagian kerja, Freud memahaminya sebagai penataan tekanan atas pembagian kerja sosial itu. Dengan kata lain, Freud tidak memahaminya dalam konteks tindakan instrumental, melainkan dalam konteks interaksi. Untuk menjaga kelangsungan sistem pemeliharaan diri kolektif itu yang perlu diatur bukanlah kerja, melainkan tekanan atas kerja itu.

    Berbicara tentang materialisme sejarah Marx, Habermas menunjukkan bahwa Marx tidak menghasilkan ilmu sebagai kritik karena memahami aktivitas revolusioner yang mendorong proses pembentukan diri dalam konteks tindakan rasional bertujuan. Pengetahuan yang dihasilkan dengan paradigma kerja bukanlah pengetahuan refleksif, melainkan produktif. Menurut Habermas, kegiatan revolusioner itu harus dipahami dalam konteks tindakan komunikatif. Hal ini, menurut Habermas, tidak dipahami Marx dan kekurangan Marx ini dapat diatasi oleh teori Freud. Freud memahami pranata-pranata kekuasaan dan ideologi-ideologinya sebagai tindakan komunikatif yang terdistorsi. Pranata-pranata telah menukarkan kekuasaan eksternal dengan tekanan internal permanen yang menghasilkan komunikasi yang terdistorsi yaitu ideologi-ideologi sebagai kepuasan substitusi.[12]

    Mengapa Marx tidak dapat memahami kekuasaan dan ideologi sebagai komunikasi yang menyimpang? Marx mendasarkan diri pada pengandaian bahwa manusia membedakan dirinya dari hewan saat ia mengubah tingkah laku adaptifnya menjadi tindakan instrumental. Dari pengandaian ini, ia memahami sejarah sebagai penataan fisik atas tindakan-tindakan instrumental. Karena itu pula tindakan revolusioner emansipatoris dipahami dalam kategori tindakan rasional-bertujuan. Berbeda dari Marx, Freud mendasarkan diri pada pengandaian bahwa manusia membedakan dirinya dengan hewan saat ia berhasil mengubah tingkah laku yang dikendalikan oleh naluri-naluri menjadi tindakan komunikatif. Jika Marx meletakkan kerja sebagai dasar alamiyah dari sejarah, yang oleh Freud dipahami sebagai dasar alamiyah dari sejarah adalah penataan fisik atas tindakan-tindakan komunikatif dalam kategori-kategori dorongan-dorongan naluriyah yang berlebihan dan penyalurannya. Apa tujuan dari langkah-langkah perkembangan masyarakat itu? Di sini kita sampai pada semacam cita-cita atau utopia yang termuat dalam teori kritis Habermas tentang masyarakat, yaitu terciptanya suatu masyarakat yang berinteraksi dalam lingkup komunikasi bebas penguasaan.

    Dengan demikian bagi hermeneutik kritis yang digagas Habermas, memahami bukanlah sekedar mereproduksi makna sebagaimana Schleiermacher dan Dilthey dan juga bukan sekedar memproduksi makna baru yang terarah ke masa depan, seperti pada Heidegger dan Gadamer, melainkan membebaskan penulis dari komunikasi yang terdistorsi secara sistematis yang telah menghasilkan teksnya. Lazimnya, hermeneutik bertujuan agar pembaca memahami teks, tetapi hermeneutik kritis bertujuan agar penulisnya memahami teks yang ditulisnya sendiri sehingga ia bebas dari distorsi-distorsi yakni dalam psikoanalisis memperoleh kesembuhan dan dalam kasus kritik ideologi memperoleh otonomi.  Hermeneutik kritis melampaui hermeneutik biasa dalam arti bahwa metode ini berupaya keras untuk menemukan motif yang tidak disadari pelakunya. Memahami bagi Habermas sebagai emansipasi (praksis pembebasan). Memahami secara kritis metodologis merupakan praksis pembebasan dari kesepahaman semu hasil dominasi untuk mencapai kesepahaman rasional yang bebas dominasi.[13]
    ***

    Catatan:

    [1] Richard E Palmer, Hermeneutika, Teori Baru Mengenai Interpretasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 16-17.

    [2] Budi Hardiman, Seni Memahami (Jakarta: Kanisius, 2015), h. 11-12.

    [3] Palmer, Hermeneutika, Teori Baru Mengenai Interpretasi, h. 220.

    [4] Edi Mulyono, Belajar Hermeneutika Dari Konfigurasi Filosofis Menuju Praksis Islamic Studies (Yogyakarta: Ircisod, 2013), h. 151-152.

    [5] Historisme adalah pandangan yang diwakili madzhab sejarah yang mewarnai lanskap intelektual Jerman abad ke-19 lewat para filolog dan penulis sejarah seperti August W. Boeck, Leopold von Ranke. Madzhab ini melawan filsafat sejarah Hegel yang menurut mereka terlalu metafisis dan ingin mendasarkan sebuah penelitian sejarah yang empiris. Sejarah ingin dipahami tidak dari skema metafisis dan teleologis, melainkan dari peristiwa dan konteksnya yang empiris. Menurut pandangan ini peristiwa-peristiwa sejarah hanyalah ungkapan zamannya yang dapat diakses sebagai fakta-fakta obyektif. Selengkapnya baca Hardiman, Seni Memahami, h. 164-165.

    [6] Agus Darmaji, “Dasar-Dasar Ontologis Pemahaman Hermeneutik Hans-Georg Gadamer,” Jurnal Refleksi Vol. 13 (2013): h. 473.

    [7] Hardiman, Seni Memahami, h. 176-177.

    [8] Palmer, Hermeneutika, Teori Baru Mengenai Interpretasi, h. 265-269.

    [9] Hardiman, Seni Memahami, h. 185.

    [10] Budi Hardiman, Kritik Ideologi, Menyingkap Kepentingan Pengetahuan Bersama Jurgen Habermas (Yogyakarta: Buku Baik, 2004), h.  218.

    [11] Mohammad Anas, Rekonstruksi Epistemologi Ilmu Pengetahuan, Analitis Kritis-Dialogis Jurgen Habermas Dan M. Abid Al-Jabiri (Malang: UB Press, 2018), H. 129-131.

    [12] Listiyono Santoso, Epistemologi Kiri (Yogyakarta: Ar-Ruzz Press, 2013), H. 240-241.

    [13] Hardiman, Seni Memahami, h. 230-231.

    _____________
    *) Fuad Nawawi: adalah seorang calon doktor pada UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Sehari-hari ia masih mengajar mengaji di kampungnya, di samping itu ia masih sempat belajar menulis esai pada Akademi Menulis-Dunia Sastra Kita.


DUNIA JAWA DI MATA NH DINI: PANTULAN NOVEL TIRAI MENURUN

$
0
0


Djoko Saryono

/1/
Menurut NH Dini sendiri, selain novel Pada Sebuah Kapal, novel Tirai Menurun merupakan novel serius yang penting dalam kepengarangannya. Berbeda dengan novel Pada Sebuah Kapal yang mengisahberitakan dunia lintas-batas budaya di tengah hamparan pergaulan dan kehidupaan multinasional, novel Tirai Menurun mengisahberitakan dunia Jawa di tengah proses perubahan sosial budaya yang gencar-masif. Bisa dikatakan, novel Tirai Menurun adalah novel NH Dini yang paling kuat, tebal, dan kental menggambarkan dunia Jawa khususnya dunia wong cilik Jawa.

Dunia wong cilik Jawa dijadikan NH Dini sebagai ajang menceritakan perubahan sosial budaya Jawa di masyarakat Jawa. Di samping segi-segi sosial budaya Jawa yang lain, yang menurut saya amat menarik dari novel Tirai Menurun adalah gambaran dinamika perubahan nilai sosial budaya di kalangan wong cilik Jawa. Hal itu menyangkut nilai spiritual, filosofis, dan etis Jawa yang dihayati dan dipedomani oleh kalangan wong cilik Jawa.

/2/
Penghayatan ketaudihan, pengetahuan Kejawen, dan pemahaman keimanan adalah beberapa nilai spiritual Jawa yang tergambar kuat di dalam novel Tirai Menurun. Teks Tirai Menurun menampilkan nilai ketauhidan yang dihayati dan diikuti oleh orang-orang kecil Jawa. Beda dengan Pengakuan Pariyem, teks Tirai Menurun mengisahberita¬kan orang-orang kecil di lingkungan desa dan kesenian tradisional (orang-orang yang berkecimpung di dunia wayang wong) yang berada di luar pusat lingkaran konsentris Kerajaan Mataram Islam atau BJ pedalam¬an. Di samping itu, orang-orang kecil yang dikisah¬berita¬kan bukanlah pembantu sejenis Pariyem, melainkan orang-orang mandiri: Simbok, Pak Cokro, Pak dan Bu Carik Jayus, dan yang utama ¬Kedasih, Kintel, Sumirat, serta Wardoyo.

Pengha¬yatan dan pengamalan nilai ketauhidan dalam teks Tirai Menurun dapat diketahui dengan memperhatikan sikap dan perilaku tokoh-tokoh novel. Dengan sudut pandang diaan, pengarang teks Tirai Menurun memaparkan kesadar¬an tauhid zati (kemaha¬kuasaan Tuhan) Simbok Kedasih sebagai berikut: “Kedalaman lubuk hatinya mengetahui bahwa makanan bukan satu-satunya tiang kesejahteraan, karena kelanggengan yang mutlak tidak akan pernah akan ada. Yang dikhawatirkan adalah persediaan buat masa depan. Itulah pikiran yang juga dia warisi dari bapaknya Simbok, yang turun dari sifat-sifat kakeknya Simbok. Langsung di malam kesripahan, ketika mereka pulang dari kuburan, Sumirat turut duduk mende-ngarkan pembicaraan apa yang akan dikerjakan Simbok. Tiga generasi: neneknya Sumirat, Simbok dan Paman, dan Sumirat sendiri. Semuda itu dia daiajar bahwa kehidupan ditentukan oleh Gusti, tetapi diolah oleh akal dan rasa manusia sendiri. Menurut garis itu, di masa hidupnya, kakeknya Sumirat selalu berusaha mendapatkan hasil yang lebih dan yang lebih lagi. Perkataan usaha tidak pernah dilupakan di dalam pondok mereka. Bapaknya Sumirat menuruti ajaran itu pula” (TM:63)

Kesadaran tauhid zati tersebut lebih didasari oleh kesadaran purbani lubuk hati orang kecil dan kesadaran komunalitas dari desa yang jauh dari pusat budaya Jawa¬. Bukan didasari oleh kesadaran keberagamaan tertentu. Alam semesta¬lah dan tradisi lisan lebih mengajari kesadaran berketuhanan kepada Simbok Kedasih daripada pengetahuan rasional atau tarikat tertentu. Mereka tidak pernah mempelajari tarekat tertentu atau menjalani kehidupan asketis tertentu untuk memupuk kesadaran tauhid. Dalam teks Tirai Menurun dikatakan: “Meskipun sebagian besar dari masa bodoh dalam hal doa-doa agama, mereka semuanya menghargai kenduri dan selamatan¬. Dalam rundingan kemarin, mereka telah sepakat berhemat demi kepentingan yang masih hidup. Uang simpanan lebih berguna untuk kebutuhan lain-lain daripada buat tahlilan, uang selamatan serta makanan, suguhan atau berkatan”(TM:66).

Selain itu, dalam teks Tirai Menurun, ada pula kesadaran tauhid zati yang lebih didasari oleh pengetahuan kejawaan atau Kejawen. Di sini kesadaran tauhid berkembang berkat pengetahuan-pengetahuan kejawaan yang dihayati dan dipelajari. Kesadaran tauhid yang berpang¬kal pada Kejawen tersebut tentu saja merupakan akomodasi atau kompromi berbagai paham kepercayaan, mistisisme, agama primitif, dan agama Islam. Hal ini terlihat pada kesadaran tauhid yang dihayati dan atau diikuti oleh Pak Carik, Karso, Wardoyo, dan Kintel.

Teks Tirai Menurun menggambarkan hal tersebut sebagai berikut. “… Kalau seorang anak telah menemukan jalan kepercayaan¬nya pada umur sebegitu, Wardoyo yakin pasti bakal langgeng. Dia bergembira untuk anaknya. Dia sendiri masih seperti Pak Cokro, seperti Mas Tirto dan lain-lainnya yang menganut kawruh Jawa, menekuni kepercayaannya yang mantap terha¬dap Gusti. Walaupun dia tahu kebanyakan doa dalam bahasa Arab, dia mengucapkan apa yang dia rasakan dalam rohani¬nya dalam bahasa Jawa”. Ada pula gambaran begini: “Kini tergantung kepada kehendak Tuhan Yang Mahakuasa. Seperti kata Tirto, kita berasal dari tidak ada menjadi ada karena Yang Kuasa. Sekarang diusahakan berdirinya rom-bonga¬n anak wayang yang baru. Kalau Tuhan meridoinya, tentu berhasil. Sebaliknya, jika Dia mempunyai rencana lain, kita hanya bisa pasrah. Setidak-tidaknya kita sudah bergerak, berjuang menuruti naluriah kita” (TM:424).

Lebih lanjut dalam teks Tirai Menurun digambarkan begini: “Beberapa waktu berlalu, Wardoyo mencoba memusatkan perhatiannya ke layar kaca di atas rak buku. Televisi membe¬rikan siaran Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Mahaesa. Dia juga Maha Pemurah, kata Mirati. Dia tidak dapat dibohongi dan Dia melihat serta mengetahui ketidakrelaan Wardoyo saat itu. Saya malu dan saya minta maaf, Gusti, kata Wardoyo di dalam hati” (TM:434). Tokoh Kintel digambarkan mengatakan sebagai berikut: /”Tahu doa-doanya, Dik Kintel?”/”Doa bahasa Jawa, Mas. Tuhan juga mengerti bahasa Jawa, kok, “katanya. Kemudian dia menambahkan bahwa ketika masih berada di desa, dia juga berdoa begitu jika ternah yang dijaganya akan mempunyai anak. Wardoyo tertawa perlahan seorang diri’. (TM:196)

Petikan-petikan di atas juga menyiratkan bahwa kesadaran tauhid Pak Carik, Karso (Kintel), dan Wardoyo bercorak abangan. Maksudnya, ciri-ciri abangan tampak dalam kesadaran tauhid mereka. Orang-orang kecil yang berasal dari desa dan bergerak mempertahankan salah satu aspek BJ, yaitu wayang orang, wayang wong.

/3/
Teks Tirai Menurun tidak menggambarkan keimanan orang-orang kecil yang bermasa¬lah pelik-dilematis. Dalam teks tak tergambar sebuah dilema keiman¬an. Tetapi, sosok keimanan orang-orang kecil Jawa yang dalam kadar tertentu “sedikit bermasalah”. Keiman¬an orang-orang kecil di dalam teks ini digambar¬kan ti-dak kepada selain-Nya meskipun kemaksiatan dan kenistaan kadang-kadang mengotori keimanan itu. Tokoh utama dan tokoh sampinga¬n seperti Kedasih, Kintel, Sumirat, Wardoyo, Karso, Pak Jayus dan Bu Jayus dapat dikata¬kan memiliki keimanan yang monoteistis meskipun mereka tergolong pemeluk Kejawen atau abangan.

Bagi mereka, kejawen atau abangan ini tidak lebih jelek dan tidak lebih baik daripada Islam karena sama-sama memperc¬a¬yai dan menyem¬bah Gusti Allah. Sebagai sikap batin, aspek moralitas keimanan orang abangan juga tidak kalah dengan Islam. Disebutkan dalam teks Tirai Menurun sebagai berikut: “Pak dan Bu Carik Jayus mengagungkan hukum moral meskipun tidak sembahyang secara Islam. Mereka mengakui sendiri sebagai penganut abangan, tetapi memiliki garis kebajikan yang tidak kalah lurusnya dari ibadah-ibadah agama ajaran para kiai. Amal mereka juga besar, tidak terbatas lingkungan tertentu” (TM:241).

Demikian dikisahberitakan di dalam teks sebagai berikut:/”Sempat sembahyang, Nang?”, tanya Bu Carik/ “Sangat tidak teratur, Bu. Hanya kalau hari Jumat, sering kali mendapat kesempatan ke mesjid. Saya menjadi abangan, seperti Bapak,” sahut Karso sambil memandang ke arah Pak Carik./”Kalau bapakmu sama sekali tidak sembahyang. Hanya tirakatnya kuat. Setua sekarang itu dia tetap kuat puasa, kadang kala ngebleng empat puluh hari tidak makan nasi atau rempah-rempah” (TM:252). Petikan ini tampak memberikan citra positif dan baik aspek moralitas keimanan orang-orang abangan.

Hal tersebut menunjukkan bahwa – dari segi keimanan – antara abangan dan Islam tidak perlu dipertentangkan. Teks Tirai Menurun tampak menegaskan bahwa abangan juga Islam sehingga apresiasi orang abangan kepada Islam juga baik. Di samping itu, abangan hanya merupakan fase keberagamaan manusia. Pada pada saatnya dan akhirnya akan bertransfor¬ma¬si menjadi Islam. Diungkapkan dalam teks begini: “ Bagi Wardoyo, kebangkitan Islam di tanah air akhir-akhir itu sangat mengesan¬kan. Dia perhatikan, di kalangan kaum muda banyak yang melaksanakan ibadah dengan ketekunan baru. Beberapa kali dia mendengarkan kotbah di radio. Umumnya sekarang menarik. Wawasan para pembicara itu jauh lebih terbuka. Lebih berisi sifat-sifat kemanusiaan dan toleransi tinggi terhadap orang-orang beragama lain. Hal ini sungguh amat menyenangkan bagi pendengar”.

Lebih lanjut, di dalam teks juga terdapat gambaran sebagai berikut: “/Di kalangan anggota Krido kini juga semakin banyak yang bersembahyang lima waktu. Bulan puasa tidak dilewat¬kan seperti dulu, melainkan diisi dengan pengendalian nafsu yang dapat ditiru. Meskipun di antara mereka juga tetap ada yang bermain kartu atau minum tuak, mengelompok di belakang tirai pada saat pertunjukan usai./ Wardoyo membuka kembali buku-bukunya mengenai Islam. Dia pelajari ulang apa yang dulu pernah dia ketahui. Dari perpustakaan di samping Krido bermain, dia meminjam buku-buku lain sebagai pelengkap. Supaya dia bisa lebih memahami lagi. Dan dia senang sekali ketika anak sulungnya dengan Sumirat menjalani lima waktu sehari. (TM:421)’. Transformasi keberislaman ini merupakan proses religiokultural yang dapat dialami oleh siapa saja. Apalagi oleh wong-wong cilik semacam Wardoyo.

Di dalam teks Tirai Menurun nilai keimanan digambarkan dalam sikap dan laku eling, awas, pracaya, dan mituhu. Berbagai tokoh digambark¬an mampu selalu eling, awas, pracaya, dan mituhu kepada Tuhan Yang Maha-esa. Eling paling dasar dan umum diwujudkan dengan rasa syukur dan te-rima kasih kepada Tuhan Yang Mahaesa secara terus-menerus. Diungkapkan dalam teks sebagai berikut:”Saya juga selalu berterima kasih kepada-Nya karena dibesar¬kan oleh Anda berdua,” kata Karso (TM:252)”. Di bagian lagi dikatakan begini: “Tidak hentinya ibu Sumirat mengingatkan anaknya supaya bersyukur kepada Gusti Yang Maha Pemurah, karena telah mempertemukan mereka dengan perempuan seperti Bu Usup” (TM:264).

Secara kelembagaan, eling juga bisa diwujudkan dengan ritus dan ritual atau ibadah, terutama shalat lima waktu. Hal ini jelas dari pelbagai petikan di atas. Kemudian pracaya dan mituhu diwujud¬kan antara lain dengan pengakuan kuasa Tuhan Yang Mahatung¬gal atau kemahakuasaan Tuhan atas segala yang dimiliki dan diterima manusia. Dengan sudut pandang diaan, di dalam teks hal ini digambarkan pada diri Bu Krijo dan Karso. Petikan berikut ini menggambarkan hal tersebut: “Bu Krijo menambahkan, bahwa soal mati, rezeki, dan jodoh, sudah ditakdirkan oleh Gusti. Tidak ada seorang pun yang bisa mengubahnya. Pendek kata, gadis-gadis itu harus berterima kasih kepada Tuhan kalau kelak mendapat pasang¬an hidup yang utuh, tidak cacat, dan tidak mempunyai kebiasan memukul” (TM:267).

Pada bagian lain teks dinyatakan demikian: “Di antaranya yang paling sering dia pikirkan ialah, konon manusia di dunia ini tidak dapat menghindari tiga ketentuan. Satu adalah datangnya kabegjan atau keberuntungan. Dua, bahwa manusia tidak mungkin mengelak jika tiba masanya bertemu dengan jodohnya. Dan yang ketiga, manusia tidak pula bisa menghindarkan diri dari pesti yang berarti datang¬nya kematiannya. Malam itu Karso tidak tahu mana dari ketiga ketentuan itu yang telah ataupun akan dia temukan.”

/4/
Teks Tirai Menurun mencoba menggambarkan ketakwaan orang-orang kecil desa yang berurbanisasi ke kota –terutama kota Semaran¬g. Tokoh-tokoh utama dan tokoh-tokoh samping¬an, yaitu Kedasih, Kintel, Sumirat, Wardoyo, Karso, Pak dan Bu Carik Jayus, Pak Cokro, Simbok, dan Yu Irah, adalah orang-orang abangan yang menyadari keabangannya, tetapi tetap menghar¬gai atau mengapre¬siasi tinggi Islam. Mereka bertakwa dalam arti menyadari atau merasakan keselaluhadiran Tuhan, merasakan perlindungan Tuhan, dan menerima segala ketetapan Tuhan.

Di dalam teks, dengan sudut pandang diaan, digambarkan bahwa Sim¬bok, misalnya, selalu merasa kedermawanan-Nya melalui kedermawan¬an bumi: “… ladang itu adalah sebagian dari bumi. Dan bumi bersifat pemberi. Simbok telah melihat bukti kedermawanannya” (TM:69). Demikian juga, dengan kebesaran jiwanya, Simbok merasa perlindungan Tuhan, takut akan murka Tuhan, dan merasa selalu optimis atas segenap anugerah Tuhan: ”Tidak, simbok tidak pernah mengeluh. Tuhan sangat melindungi keluarga Simbok meskipun Dia telah terlalu cepat mengambil suaminya. Barangkali suami itu pernah mempu¬nyai kesalahan besar di masa hidupnya sehingga hantu penjaga bukit perkebunan mengambilnya menjadi pembantu mereka. Kalau memang demikian, itu juga sudah kehendak Tuhan. Reze¬ki dan kehidup¬an baik di kota itu pun diberikan Tuhan kepada Simbok, sebab itu dia takut untuk menjadi rakus.” (TM:158).

Tokoh Karso, dengan sudut pandang diaan juga, di dalam teks digambar¬kan selalu berdoa sebagai wujud kesadaran akan keselaluhadiran Tuhan di dalam hidupnya. Meskipun demikian, sebagai abangan, doanya tidak sama dengan tuntunan agama Islam yang “murni”. Akan tetapi, hal ini tidak perlu dipersoalkan sebab yang penting dia mengerti. Digambarkan di dalam teks demikian: “Orang-orang tua yang membawanya bekerja di sawah juga memberitahukan doa-doa dengan bentuk lain, dan dia mengerti artinya sehingga mudah diingat sampai sekarang. Doa-doa itu terdiri dari campuran bahasa Jawa dan bahasa Arab, dileng-kapi serangkaian kata yang berisi suku kata berakhiran sama, amat enak didengar. Sebelum tidur, sebe lum makan, sebelum masuk ke sungai untuk mandi, ada doa-doa tersendiri.” (TM:184)

Tokoh-tokoh lain di dalam teks Tirai Menurun umumnya juga digambar¬kan selalu berusaha menerima ketetapan Tuhan dan menyadari keselaluha¬diran Tuhan dalam segenap hidup dan kehidupan mereka. Meskipun demikian, ketakwaan ini tidak dapat dikatakan konsisten sebab tindakan, perbuatan, dan perilaku mereka sering tidak mencerminkan budi luhur. Meskipun ada, ketakwa¬an yang berwujud pengembangan budi luhur, luhuring pambudi, tidak begitu tampak pada tokoh-tokoh di dalam teks Tirai Menurun. Memang, ada beberapa tokoh utama dan sampingan, misalnya Simbok, Pak dan Bu Jayus, Pak Cokro, dan Wardoyo, yang digambarkan berusaha mengem¬bang¬kan budi luhur.

Namun, pada umumnya tokoh-tokoh sampingan Tirai Menurun yang sebagian besar awak wayang orang digambar¬kan oleh pengarang abai terhadap budi luhur. Dalam teks, hal ini terlihat pada perbuatan dan perilaku yang tergolong maksiat dan nista, misalnya berjudi, bermain perempuan, dan penyeleweng¬an. Ini bisa dianggap suatu bentuk ketidakserasian ucapan atau batin mereka dengan tindakan atau perilaku mereka. Walaupun demikian, hal ini dapat juga dipahami sebagai suatu wujud problematik ketakwaan di kalangan orang-orang kecil yang wawasan dan kesadaran religiositasnya kurang bisa terangkat oleh perkembangan ekonomi, sosial, dan pendidikan.

/5/
Nilai keutamaan manusia Jawa bermakna kemampuan dan kesanggup¬an manusia Jawa untuk tidak merugikan dan menyusahkan siapa pun dan apa pun. Menurut Serat Dewaruci, keutamaan dicirikan oleh pengabdian dan pengorbanan secara sungguh-sungguh, tanpa bertanya, seperti Bima atau Wrekudara. Demikian juga di dalam Serat Tripama disebutkan bahwa keutama¬an berarti pengor¬banan total sebagai¬mana dilakukan oleh Patih Suwondo, Kumbokarna, dan Adipati Karna. Secara umum, keutamaan dicirikan oleh kesukaan mengheningkan cipta, kesucian jiwa, kebersihan hati, kebenaran bertutur dan berlaku, kemampu¬an merawat diri, dan kelihaian memikat-menyenang¬kan hati sesama. Dalam bahasa Jawa hal ini tertuang dalam konsep — antara lain — amasuh budi, mulat sarira, susila anoraga, menep, rila, nrima, temen, dan sabar.

Oleh N.H. Dini, di dalam teks Tirai Menurun, semua itu disebut kehalusan budi dan kebajikan sifat dan sikap manusia. Lebih lanjut, diungkapkan oleh Dini bahwa keutamaan relatif penting dalam BJ. Orang-orang yang berbuat maksiat dan nista, misalnya berjudi dan bermain perempuan, bukan orang yang utama karena tidak memiliki kehalusan budi dan kebajikan. Dalam teks Tirai Menurun, pada waktu menggambar-kan sifat dan perilaku awak wayang orang yang senang berjudi dan bermain perempuan setelah pertunjuk-an selesai, pengarang menyatakan demikian. “Ternyata hidup di malam hari tidak banyak memberi tempat kepada kehalusan budi dan kebajikan dalam sifat maupun sikap yang dalam filsafat Jawa disebut kauta¬man.” (TM:93

Dalam teks Tirai Menurun, nilai keutamaan dipersonifikasikan di dalam diri Wardoyo. Wardoyo digmbarkan sebagai citra manusia utama dari kalangan orang kecil menurut pandangan tradisi Jawa. Orang yang benar-benar mulat sarira, penuh pengabdian dan pengorbanan, dan mengembangkan budi luhur antara lain dalam wujud ora milikan (sebab milik nggendong lali), roso syukur, roso mapan, ora mata duiten, dan ora ma-lima. Sebagai awak wayang orang, Wardoyo digambar¬kan tidak suka berjudi dan main perempuan, tetapi senang tirakat.” (TM:93¬).

Dalam perspektif pengetahuan Jawa, Wardoyo tidak pernah melang¬gar pan¬tangan mo-lima, yaitu madat, madon, main, maling, minum. Wawasan¬nya luas dan tergolong intelek. “Wardoyo bukan semba¬rang anak wayang. Dan dia bangga menjadi anak wayang intelek, pernah mengecap bangku MULO hampir tamat. Asahan jiwa dan otak telah dia peroleh dari guru asing maupun Jawa, dari buku-buku tulisan Latin dan Jawa — bahkan Melayu Arab gundul pun …” (TM:288). Kawruh Jawa dikuasainya dengan baik. “Gamelan, wayang, fisafat sudah mendarang daging, mendasari setiap gerak dan setiap ucapan. Batin maupun lahir” (TM:315). Pengabdian dan pengorbanannya untuk melestarikan budaya Jawa khususnya wayang orang total dan habis-habisan (TM:315).

Meskipun orang kecil yang tidak kaya, dia tidak membiarkan diri terjerat oleh keinginan material. Dengan penuh idealisme, baginya persaudaraan dan kehangatan antarmanu¬sia jauh lebih penting daripada kekayaan material. “Wardoyo memang tidak berbakat mencari kekayaan. Nilai sesuatu hasil kerja atau perbuatan tidak selalu harus dibayar atau diimbali dengan benda maupun uang” (TM:289). Prahara rumah tangga dihadapi dengan sabar, tabah, dan penuh hikmat. Kesusahan dan kebutuh¬an material teman-teman sesama awak wayang orang dibantu diatasinya (TM:395). Dalam keadaan hidup seperti tersebut, ” Wardoyo merasa amat bersyukur … merasakan kemapanan …” (TM:395¬). Semua itu menunjukkan keutamaan diri Wardoyo. Jadi, dengan sifat, sikap, dan perilaku yang disandangnya, Wardoyo menjadi contoh citra manusia utama Jawa yang masih konservatif di tengah-tengah ¬berbagai perubah¬an sosial, budaya, ekonomi, dan politik.
***

[Eyang Putri NH Dini memiliki tanggal kelahiran sangat istimewa. Jatuh pada tahun kabisat: 29 februari -yang hanya ada empat tahun sekali. Tegasnya, kita hanya bisa merayakan ultah NH Dini empat tahun sekali. Sebab itu, patut kita rayakan dengan memberikan macam-macam hadiah atau penghargaan, dan ini semacam hadiah bagi Eyang Putri NH Dini dalam ultahnya ke-84 tahun. Dan dari esai tentang Novel Tirai Menurun di atas, kita tahu bahwa kejawaan NH Dini sangat kental sekaligus tebal, meskipun dia seorang pelintas-batas budaya]

Catatan terkait: http://sastra-indonesia.com/2020/03/cerita-nh-dini-sebagai-teks-autoetnografis/

PETANG HARI PERTELON SUKOWIDI

$
0
0

Taufiq Wr. Hidayat *

Sebelum memasuki kota Banyuwangi, dari arah utara, kau akan dicegat lampu merah di pertelon jalan. Menoleh ke kiri, tepat di pertelon itu, tumbuhlah pohon beringin jenis benjamina. Pohon itu tak begitu tua. Tapi setidaknya ia telah berusia 30 tahunan. Cukup untuk menyusun sebuntal kenangan. Pohon beringin itu telah berkali-kali dipangkas, berkali-kali tumbuh lagi, bermusim-musim menjadi saksi siapa pun yang pernah lewat di pertelon Sukowidi, pertelon jalan yang tak mungkin dipisahkan dari kota Banyuwangi. Pertelon Sukowidi itu seolah gerbang memasuki kota Banyuwangi dari arah utara.

Lurus melewati lampu merah, sebuah jembatan. Wilayah itu disebut Kanalan. Entah bagaimana muasalnya. Mungkin di situ dulu terdapat kanal-kanal. Lingkungan kecil di Kelurahan Lateng. Ada toko kelontong orang China. Toko jamu, busana, dan warung sate orang Arab. Pemakaman dekat sungai. Dan pohon mangga yang tua. Ketika petang datang, orang-orang hidup melihat lampu-lampu kota. Ada yang berjualan bawang ke pasar Banyuwangi ketika subuh hari. Jalan lurus yang bercabang. Trotoar yang ramai pada siang hari.

Tikungan di pertelon Sukowidi dari arah barat itu seringkali memakan korban. Seruas jalan yang menurun tajam, tepat di ujung turunan, menikung mendadak. Beberapa kali truk besar tak sanggup menikung, atau remnya blong. Terjadilah kecelakaan. Kemudian ke barat pertelon Sukowidi, berbeloklah ke kanan sebelum rel. Kau akan bertemu sebuah stasiun kereta kecil, bersih, dan berdiri sendiri di antara sawah dan kebun. Ketika senja, matahari menyinari atap stasiun itu. Itulah Stasiun Argopuro, Klatak, Kalipuro. Digunakan sekitar 1985. Ia punya dua jalur lurus. Ia masih memasukkan penumpang. Namun kereta api yang lewat hanya satu, yakni kereta api Pandanwangi. Usia stasiun Argopuro sangat cukup menyusun kenangan dalam ingatan seseorang. Senja yang memerah akan tiba pada atap stasiun kecil yang indah itu, serasa kita ingin berumah di sana. Begitu tatkala pagi, cahaya pagi menyiram halamannya yang kecil, yang menyimpan kenangan entah siapa. Di situ, orang masih melakukan perjalanan.

Ingatan yang disusun oleh pikiran selalu menghanyutkan. Ada “yang pernah ada” atau “yang pernah terjadi”. Seringkali “yang pernah terjadi” itu begitu bersih tak bernoda. Orang akan memaklumkan tiap dosa di masa lalu, ketika pada hari ini ia mengalami kehilangan. Barangkali bagi Derrida, meski tak ada yang boleh dilupakan, tak boleh ingat digusur oleh lupa, bukan berarti yang lalu tak boleh dimaafkan dan dimintakan maaf. Melainkan keadilan—seabsurd apa pun itu, tetap harus ditegakkan dalam kehidupan manusia sekuat tenaga. Lantaran ia menjadi ukuran kekokohan kemanusiaan pada hari ini, pada hari-hari yang akan datang. Dan manusia melanjutkan hidupnya. Ada orang menyebut kenangan. Kenangan tak lain “yang pernah terjadi” sebagai realitas, namun tak lagi memiliki eksistensi pada realitas hari ini. Ia hanya hidup dalam ingatan, di mana pikiran merangkainya bersama kehendak manusia, menjelma rangkaian yang menakjubkan seolah tak tergantikan. Ia boleh jadi sebentuk narasi kelam, sakit hati, kehancuran, atau sepenuhnya kegelapan. Atau boleh jadi, pikiran merangkainya dalam ingatan manusia berupa gerimis, malam, seulas senyum, dan sepucuk surat yang harum. Bagi Freud, represi tak akan utuh. Tetapi ia datang kembali tatkala lembar kesadaran seseorang tengah menurun. Ia akan menjelma mimpi atau igauan yang merupakan gambaran acak sebagai penafsiran atau pemaknaan yang polos terhadap represi. Dan kenyataan aktual, tak pernah bisa dibentuk pikiran sebagaimana ia menyusun realitas “yang pernah ada/terjadi” dalam ingatannya. Lantaran kenangan tak memiliki eksistensi pada hari ini. Sedangkan kenyataan hari ini, memegang eksistensi sebagaimana adanya. Ia tak dapat diotak-atik semau-maunya. Tetapi kehendak manusia, selalu mendorong atau bekerjasama dengan pikiran untuk merealitas-hari-inikan kenangan sebagai kenyataan yang tanpa eksistensi dalam diri manusia itu. Di sinilah, kesadaran kemanusiaan sesungguhnya menjadi penting untuk ditegakkan, agar ia tak ditelan masa lalu yang hanya menyimpan sakit hati, atau romantika cengeng yang mengharu-haru. Bagi Nietzsche, kenyataan senantiasa menggoda untuk disentuh dan dielus, dikuasai sepuas-puasnya. Ia terlampau seksi hanya sekadar disaksikan. Akan tetapi manusia tak bisa menunggu sambil memohon kenyataan menanggalkan pakaian, lalu ia dapat menggagahinya dengan sepenuh kehendak. Kenyataan tak dapat dimiliki secara mutlak. Tetapi kehendak dan pikiran manusia yang diliputi masa lalu, rasanya enggan menerima kenyataan yang eksistensial tersebut. Kehendak dan pikiran terus menerus bekerjasama supaya narasi dari masa lalu mewujud, sehingga dapat dinikmati sebagai kenikmatan empiris. Namun ia telah tertinggal. Ketertinggalannya entah di mana. Kenyataan yang dimasuki manusia, tak terjamah. Ia tak tahu bagaimana tiba-tiba masuk dalam kenyataan, dan bagaimana ia menemukan jalan keluar. Dan pada “yang telah berlalu”, seyogianya manusia berhikmat, mencoba mengenali dirinya pada kenyataan hari ini, atau menatap apa yang akan datang.

Di situ dulu, di Sukowidi itu, saya punya seorang kawan. Dia wartawan lokal. Menulis puisi, meski tak produktif. Pencinta musik blues. Ia hidup sendiri. Berjalan pincang karena cacat lahir. Berambut panjang. Ia hidup dalam kemelaratan di sebuah kota yang kian hari kian tak punya tempat bagi orang-orang melarat. Selain hanya sebentang rimba. Kemiskinan hanyalah olok-olok, cuma alat untuk mencari sponsor dan popularitas. Kawan penyair itu telah meninggal dalam kemiskinan. Alangkah sosok seorang manusia sungguh tak tergantikan. Bagi Ibn Arabi, Tuhan—walau tentu maha semau-mau-Nya, tidak pernah mengulangi “penampakan-Nya” pada makhluk yang bernama manusia. Kita pun tahu—pelan atau cepat menyadari, ketika seorang manusia pergi, seburuk atau sebaik apa pun ia—ada bahasa yang juga telah pergi bersamanya entah ke mana. Atau ada khasanah yang tak mungkin ditemukan kembali, lenyap dari dunia. Kawan penyair itu pernah menulis puisi perihal Sukowidi pada petang hari. Baginya, Sukowidi seolah 12 bar chord blues, dengan tempo kecemasan. Chord mayor yang selalu digelayuti minor. Ia mengungkai kesendirian. Melungsurkan tanya. Kesepian. Keterasingan. Ketika petang, katanya. Sukowidi menerima kembali kepulangannya dalam keadaan kalah dari kesehari-harian, dengan hati yang telah babak-belur dihantam kenyataan.

Dan di pertelon Sukowidi, lampu menyala ketika petang datang. Pada suatu petang, gerimis jatuh di situ. Kendaraan dari luar kota, datang berjejal di lampu merah. Mau masuk kota. Sedang dari arah selatan, kendaraan-kendaraan melaju, berjubal mau keluar dari kota. Orang-orang datang dan pergi. Ada yang telah terjadi, tengah terjadi, akan terjadi. Peristiwa dan perlintasan silih berganti. Musim-musim hinggap pada dahan pohon beringin di pertelon Sukowidi. Di situ, mungkin pernah ada orang berteduh entah siapa, di bawah pohonnya yang rindang. Menunggu tak tahu apa. Sementara kota Banyuwangi tumbuh, terus tumbuh. Orang-orang datang membawa semen, menanam hotel mewah, dan membawa alat-alat berat untuk menambang emas. Sedang penguasa tertawa bersama pesta-pestanya yang terjadwal rapi dalam aneka perayaan-perayaan sepanjang tahun. Apa pun yang sampai padamu dari para penguasa itu, hanyalah gincu!

Sukowidi, 2020.

*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab IBlis” (PSBB, 2018), “Agama Para bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.

Membaca Ritus Khayali

$
0
0


Fatah Anshori *

masih selalu kunanti, wangi/ senyap tubuhmu yang sedikit mencuat/ sebagai ziarah ritus sunyi khayali/ yang makin digandrungi tukang sajak. (Ritus Khayali, hlm. 28)

Ritus Khayali adalah buku kumpulan puisi tunggal Astrajingga Asmasubrata yang ditulis dalam rentang waktu 2015 – 2016, sebelum menerbitkan buku kumpulan puisi terbarunya, Miryam. Dalam buku Ritus Khayali terhimpun 92 puisi Astrajingga yang tampaknya sebagian besar berbicara tentang kesunyian, kesedihan, kemuraman yang sepertinya memiliki konotasi sama antara satu dengan yang lain, yakni sebuah keadaan yang tidak menyenangkan. Meski begitu sebagaimana dikatakan Rendy Jean Satria, dalam membacakan puisi-puisinya, Astrajingga selalu tampa enerjik, semangat dan penuh improvisasi. Seakan-akan dari itu kita tahu Astrajingga tidak pernah tenggelam dalam kesunyian di puisi-puisinya.

Beberapa puisi Astrajingga yang membicarakan kesedihan ditunjukkan dalam puisi yang berjudul Antara; dengan apa atau karena/ yang bagaimana: ini kesedihan/ kuhadapi tanpa Sedih?/ dalam puisi tersebut tampak seolah aku lirik ingin sekali keluar dari kesedihan yang telah datang kepadanya sebagai suatu kesusahan yang nyata. Dan ia telah berusaha menghadapi dengan tidak hanya diam, aku lirik berupaya untuk bertanya, meski ia tahu jawaban belum tentu datang dengan mudah. Sebuah kesedihan memang selalu datang tanpa pernah diharapkan, ia datang tiba-tiba, dan hanya atau memang selalu menghadirkan kesusahan, namun adakah sebuah cara untuk menghadapinya tanpa tanpa kita merasa sedih atau terbebani? Seolah itu menjadi pertanyaan bagi setiap orang yang pernah mengalami kesedihan.

Di buku ini kesunyian seakan ditunjukkan memiliki berbagai bentuk, warna, bahkan juga aroma. Kesunyian seperti suatu benda nyata yang bisa dipegang dan kita mainkan sesuka hati. Sehingga kita merasa tak ada suatu kejanggalan di sana. Tapi dalam kenyataannya, sunyi adalah sesuatu yang abstrak dan relatif, tak ada keadaan yang tepat untuk menggambarkannya, barangkali untuk sebagian orang yang mencintai keramaian tentu kesunyian adalah suatu keadaan yang sangat tidak diharapkan dan mungkin menakutkan. Namun apakah selalu seperti itu? apakah kesunyian selalu menakutkan, berwarna hitam, berbau anyir, dan tidak terlalu dibutuhkan?

Dalam buku Ritus Khayali, seolah kesunyian adalah segalanya. Kita bisa tenggelam ke dalam jurang yang sangat dalam, tak memilik dasar, dan sangat mengerikan. Di satu sisi kita juga akan dibuat merindukan kesunyian sebagaimana kesunyian yang menenangkan, menentramkan, dan membuat kita betah berlama-lama di sana. Selanjutnya jika kita sudah terbiasa, kesuanyian bisa menjadi hal yang lumrah yang setiap hari selalu kita lihat dan rayakan.

Seperti dalam puisi Wilayah Tak Bernama Tak Ada Dalam Peta; di wilayah yang entah ini, langkahku kehilangan jejaknya. aku seolah/ tapi tak seolah dibekap kesunyian yang amat jahanam, bahkan/ ketika bayangan perempuan silam melintas aku tak mampu/ menyebut nama atau melambaikan kisah-kisah buram. Di puisi tersebut kita seolah tahu, saat aku lirik sedang berada dalam suatu tempat yang asing, bahkan sebuah langkah juga kehilangan jejaknya. Aku lirik seperti merasa atau tidak merasa, kesunyian tiba-tiba datang dan membekap, memeluk erat si aku lirik. Namun kesunyian di sini tak memiliki konotasi kesunyian yang menyenangkan, sebaliknya kesunyian diartikan sebagai sebuah bencana yang tidak diharapakan kedatangannya. Kesunyian yang datang itu hanya membuat si aku lirik semakin susah. Ketika membaca larik ketika bayangan perempuan silam melintas, aku lirik tak mampu melakukan apapun meski hanya sekedar menyebutkan sebuah nama atau sekedar melupakan suatu kisah tidak menyenangkan. Dan itu ditegaskan dengan umpatan ‘jahanam’ oleh aku lirik ketika kesunyian datang membekapnya.

Selanjutnya dalam puisi Sekedar Braga yang Bernyawa; jejak masa silam malih menjadi bangkai/ sementara sepi dengan kukunya tajam/ mencengkeram hatiku seerat tambang/ pada sekibar bendera di tiang pancang./ kita kembali menemui sunyi yang menakutkan, meski dalam penggalan sajak tersebut penyair lebih memilih menggunakan diksi ‘sepi’ dari pada ‘sunyi’. Pada akhirnya sepi dan sunyi memiliki arti harfiah yang hampir sama, tidak ada bunyi atau suara apapun; hening; senyap. Dan dalam sajak Sekedar Braga yang Bernyawa, penyair kembali menggambarkan kesepian atau kesunyian yang menyakitkan, kesunyian yang memiliki kuku-kuku tajam untuk mencengkeram erat. Tentunya bisa dibayangkan kesunyian macam apa yang memiliki kuku-kuku tajam.

Sementara dalam puisi Sajak Mabuk seperti ada warna berbeda dalam penggambaran penyair terhadap kesunyian. Ini bukan kesunyian seperti dalam dua puisi sebelumnya. berikut saya kutip beberapa larik: aku takjub pada mereka/ yang berkhidmat dalam kesunyian/ kadang aku menginginkan/ bisa juga ambil bagian/ walau cuma di tepi-tepi malam/ dari beberapa larik puisi dalam Sajak Mabuk ini, saya rasa jelas sekali ada sebuah kerinduan untuk masuk ke dalam kesunyian, berkhidmat atau menakzimi kesunyian itu sendiri, seakan kesunyian adalah sesuatu yang memiliki segalanya sehingga membuat aku lirik takjub, terpesona dan berhasrat untuk memilikinya. Saya berasumsi dalam puisi ini kesunyian bukanlah sesuatu yang perlu ditakuti, tapi sebaliknya. Dan sebagaimana umumnya sesuatu yang selalu diinginkan adalah sesuatu yang baik, sesuatu yang menyenangkan, sangat berharga, sehingga dalam sajak tersebut aku lirik tetap sangat menginginkannya meski hanya di tepi-tepi malam yang barangkali memiliki konotasi yanga amat sedikit jumlahnya.

Kondisi kesunyian yang seperti dalam puisi Sajak Mabuk, seolah ditegaskan lagi dalam puisi Ritus Khayali; masih selalu kunanti, wangi/ senyap tubuhmu yang sedikit mencuat/ sebagai ziarah ritus sunyi khayali/ yang makin digandrungi tukang sajak/ di puisi ini kesunyian seakan selalu menjadi sesuatu yang amat dirindukan, meski datangnya dalam bentuk lain, semacam kenangan yang samar dan masih abstrak, belum berbentuk. Namun aku lirik seolah telah menjadikan kesunyian yang abstrak itu menjadi sesuatu yang konkret dan bahkan ia ingin menakziminya sebagai sebuah ritus atau upacara suci kesunyian yang tertata, meski itu hanya sebuah utopia yang belum jadi nyata. Sesuatu itu telah menjadi candu sehingga barangkali batasan antara abstrak dan konkret  telah memudar dan menjadi samar-samar. Sebagaimana kita tahu sesuatu yang telah menjadi candu—entah itu baik atau buruk—sudah tentu selalu dinanti, dirindukan, dan amat dibutuhkan. Seakan-akan si pecandu tak akan bisa hidup jika tak mendapatkannya.

Namun bagaimana jika kesunyian itu datang berkali-kali, di puisi Aforisme, seolah peristiwa itu telah ditegaskan. Dalam larik; “Selamat sunyi, penyair!” seperti ingin menunjukkan bahwa kesunyian juga pantas untuk dirayakan sebagai sesuatu yang lumrah. Sebagaimana ucapan selamat lainnya, yang diucapkan dengan intonasi yang ramah dan bersahaja. Sehingga di sini kata ‘sunyi’ seolah memiliki konotasi sebuah kondisi yang tak perlu disesali–bukan sebuah fenomena atau tragedi–hanya perlu dirayakan sebagaimana kondisi sehari-hari, semacam ibadah yang telah menjadi kebiasaan. Sebagaimana disebutkan Rendy Jean Satria dalam epilog untuk buku Ritus Khayali, mengatakan bahwa dalam kesunyian yang seakan-akan abadi. Satu-satunya kesempatan untuk keluar dari kegelisahan itu, adalah dengan cara untuk menghadapinya bagai seorang satria kelana yang membawa pedang di atas kuda putih. Sepertinya itulah upaya yang sudah berhasil dilakukan penyair dalam menyikapi kesunyian yang datang berkali-kali padanya. Ia tidak pernah lari, memungkiri, atau mengabaikan. Tapi sebaliknya ia peluk kesunyian-kesunyian itu sekaligus merasakan suka serta duka lara yang dibawa olehnya, sehingga kesunyian yang datang seperti memiliki warna-warna yang meriah.

Terlepas dari itu semua di dalam buku puisi Ritus Khayali, seperti nampak sekali usaha Astrajingga untuk mengeksplorasi puisi-puisinya, dengan cara mencari tubuh yang pas dengan berkunjung ke puisi-puisi penyair pendahulunya, membacanya, mengolahnya menjadi puisi orisinal miliknya, dan pencarian itu seolah belum berhenti. Sehingga di sana-sini akan kita temukan diksi-diksi, juga gaya ucap yang kerap kita jumpai pada penyair-penyair tanah air seperti, Joko Pinurbo, Sapardi Djoko Damono, dan Afrizal Malna (sejauh yang saya tahu hanya tiga nama itu yang bisa saya tangkap). Meski saya yakin Astrajingga Asmasubrata sebagai penyair kontemporer telah banyak sowan ke puisi-puisi penyair-penyair tanah air maupun mancanegara. Barangkali seperti itulah seorang pembelajar sejati, ia seperti musafir yang terus berkelana tanpa mengenal lelah mengarungi luasnya hamparan bumi yang entah seberapa luasnya.

Sekali lagi membaca Ritus Khayali, tidak hanya tentang sunyi yang kelam dan menakutkan, lebih dari itu Ritus Khayali mengajak kita untuk menyelami dan tersesat di kesunyian-kesunyian yang multitafsir.
***

______________________
*) Fatah Anshori, lahir di Lamongan, 19 Agustus 1994. Belajar menulis sejak pertengahan 2014, dan novel pertamanya “Ilalang di Kemarau Panjang” (2015), dll. Website: fatahanshori.wordpress.com

MEMBACA KEMBALI SIMO GEMBONG

$
0
0

~ sekadar ocehan ringan ~


Sunlie Thomas Alexander *

Buku cerita silat serial Mahesa Kelud ini kubeli di emperan Pasar Pembangunan, Pangkalpinang, tak lama setelah lulus SMA. Harganya Rp 1.500.

Itu jaman ketika buku cersil populer membanjiri kios-kios sewa buku di Indonesia sebelum akhirnya tergusur oleh kehadiran komik manga Jepang terbitan Elex Media Komputindo. Dan kukira kita bisa mencatat satu hal yang baik di sini: Terlepas dari soal mutu bacaan, barangkali kita boleh mensyukuri minat baca yang tampaknya cukup marak pada masyarakat menengah ke bawah kita masa itu, di kalangan pelajar maupun umum.

Aku masih ingat betul bagaimana kala itu tas sekolah kami kerap terisi dengan buku-buku cersil macam begini; yang kami baca secara sembunyi-sembunyi di tengah pelajaran. Jika ketahuan, risikonya ya buku disita oleh guru atau diusir keluar dari kelas. Kernet angkot, supir truk, pembantu rumah tangga, ibu-ibu, sampai pengamen dan preman jalanan yang nongkrong di terminal pun seringkali kita dapati sedang berasyik-khusyuk tenggelam dalam bacaan di tangan. Itulah, menurutku, jaman dimana kita dengan lebih mudah bisa menemukan orang-orang Indonesia membaca buku di bis atau kereta api.

Selain novel cersil, tentu ada beragam versi bacaan lain: cerita horor, novel percintaan, dan stensilan porno. Tetapi toh penghujung tahun 90an adalah era kejayaan cerita silat lokal. Kita dapat menyebut banyak serial pop terkemuka: Pendekar Naga Putih, Pendekar Pulau Neraka, Dewa Arak, Pendekar Hina Kelana, Dewa Linglung… Dan yang terpopuler di antara semuanya tentu saja serial Wiro Sableng karya Bastian Tito. Ia boleh dibilang bacaan sejuta umat tak kenal usia seperti halnya cersil karya Kho Ping Hoo yang terlebih dahulu populer. Bahkan sampai hari ini (setelah dua kali ia difilmkan dan sekali diangkat menjadi serial TV yang canggung), pikirku, hanya sedikit orang Indonesia yang tidak mengenal karakter pendekar urakan bersenjata kapak dengan angka keramat 212-nya ini.

Ya, Wiro Sableng adalah sebuah fenomena. Meski pada masa itu kami belumlah paham mengapa ia selalu terasa lebih istimewa dibanding yang lain, kecuali bahwa bahasanya memang lebih enak dibaca dan kisahnya jauh lebih seru-menegangkan.

Namun sekarang jika ada bertanya, kenapa Wiro bisa menjadi serial cerita silat yang paling dicari pada jaman itu, kukira hal ini lantaran keseriusan seorang Bastian Tito sebagai penulis.

Dalam soal setting tempat misalnya, apabila para pengarang cersil pop lain umumnya terkesan meremehkan latar, Bastian cenderung memberi pembacanya setting lokasi yang cukup terperinci, mulai dari berbagai tempat di tanah Jawa dan pulau Andalas hingga menyeberang ke Daratan Tiongkok dan Jepang. Lengkap pula dengan pengetahuannya akan tradisi-kultur serta ragam istilah bahasa setempat. Ia juga tampak tidak canggung menghidupkan berbagai peristiwa dalam novelnya di sisi panggung besar sejarah. Bahkan tak jarang berani menukik jauh ke jantung peristiwa sejarah yang diangkatnya ke dalam jagat pengisahan.

“Saya melakukan kerja riset sebelum menulis,” demikian ungkapnya dalam sebuah wawancara majalah yang pernah kubaca. Yang dalam hal ini, dengan kata lain ia memang memiliki kesungguhan dalam mengarap cersil-cersilnya yang cuma dijual dengan harga semangkuk bakso itu.

Keistimewaan lain dari penulis berdarah Minang ini adalah penokohannya yang cukup kuat. Belajar dari banyak khazanah cerita silat Tiongkok, Bastian cenderung pula melahirkan karakter-karakter pendekar yang “antihero”—yang tidak lurus selurus mistar dan tidak putih seputih kapas, bahkan justru kerapkali tampak berkebalikan dengan para pahlawan konvensional. Sehingga dengan gampang kita pun menemukan dalam ketiga karya masterpiece-nya (Wiro Sableng, Mahesa Edan, Mahesa Kelud): para pendekar yang setengah sinting, pemalas, penuh bimbang, genit mesum, nyaris bloon, pemarah dan ringan tangan, atau buruk rupa.

Mahesa Kelud, kukira, adalah karakter pendekar rekaannya yang relatif “bersih” ketimbang Kesablengan Wiro dan Mahesa Edan yang pengantuk. Namun demikian, toh tetap saja padanya kita bersua dengan sesosok pendekar sejati yang dibesarkan dan digembleng oleh karakter laknat.

Betapa tidak. Simo Gembong gurunya Mahesa, atau yang bertahun-tahun bersembunyi di puncak Gunung Kelud sebagai Embah Jagatnata merupakan seorang tokoh silat golongan hitam yang menjadi momok dunia persilatan. Selain berilmu tinggi tanpa tanding, Simo juga terkenal sebagai pembunuh, perampok, dan pemerkosa perempuan yang sangat sadis dan keji terhadap korban-korbannya. Bahkan kedua orangtua Mahesa sendiri notabene adalah korban kebiadaban tokoh ini.

Hingga sampailah pada suatu titik cerita, ia konon dijamah oleh rasa sesal atas perbuatan-perbuatannya dan memutuskan untuk menyepi. Tetapi lantaran hatinya tak juga serta merta tenang, ia akhirnya menculik anak salah satu korbannya untuk ia gembleng sebagai murid dan diberinya nama Mahesa.

Dan hal ini bukannya tanpa pamrih. Simo Gembong mengembleng Mahesa menjadi seorang pendekar dengan tujuan agar sang murid dapat mencari Pedang Samber Nyawa dan menggunakan senjata sakti itu untuk membunuhnya suatu hari. Sebab, berkat kesaktian yang ia miliki, Simo Gembong syahdan tak bisa dihabisi dengan senjata apapun kecuali Pedang Samber Nyawa.

Namun apa boleh. Sebelum ajal berpantang mati, begitulah ujar-ujar dalam dunia persilatan. Mahesa nyatanya tidak berhasil memperoleh Pedang Samber Nyawa karena dibohongi oleh Dewi Maut dengan pedang palsu.

Sehingga Simo Gembong yang diam-diam merasa kecewa kemudian memutuskan untuk turun gunung sendiri menyambangi Dewi Maut, kekasihnya pada masa muda itu di Lembah Maut. Tetapi kini bukan lagi untuk mencari Pedang Samber Nyawa yang asli, melainkan lantaran ia berhasrat hidup bersama sang kekasih yang memiliki ajian awet muda itu. Dan di tengah perjalanannya ke Lembah Maut tersebut, ternyata sifat dan nafsu kejinya kembali kambuh: tergiur oleh keelokan seorang pengantin perempuan yang berpapasan dengannya di jalan, Simo Gembong kemudian menculik dan memperkosa si pengantin. Lalu selanjutnya korban-korban pun mulai berjatuhan lagi di tangannya.

Ya, cersil-cersil Bastian Tito tidak hanya menghadirkan kepada kita sekadar tokoh-tokoh cerita yang tak hitam-putih di permukaan, tetapi ragam karakter dengan watak dan kejiwaan yang memang begitu kompleks. Dimana di dalamnya, kita seperti diajak untuk menyadari varian kemungkinan kita sebagai manusia, yang kerapkali tak terbaca, tak terselami, sulit ditebak, bahkan oleh diri kita sendiri.

Dari karakter Simo Gembong misalnya, kita seakan melihat bagaimana sebagai manusia, kita adalah sesuatu yang terus-menerus bergerak sekaligus justru tidak sungguh-sungguh bisa beranjak. Kita memang bisa berubah pada suatu titik momen atau kapanpun, menjadi lebih baik atau menjadi semakin buruk; namun kita juga senantiasa berpotensi untuk berpaling kembali kepada sosok kita sejak mula. Tatkala pertaubatan yang tampaknya murni bisa jadi bukanlah sesuatu yang bersifat nasuha sebagaimana halnya keburukan.

Simo Gembong hanyalah penulisan ulang atas diri kita yang gampang berinstropeksi tetapi rentan pula merepetisi kesalahan.[]

____________
*) Sunlie Thomas Alexander memiliki nama lahir Tang Shunli, (lahir di Bangka, Kepulauan Bangka-Belitung, 7 Juni 1977), sastrawan berkebangsaan Indonesia keturunan Tionghoa. Ia dikenal melalui karya-karyanya berupa cerpen, puisi, esai, kritik sastra, catatan sepak bola, dan ulasan seni yang dipublikasikan di berbagai surat kabar serta jurnal yang terbit di Indonesia dan di luar negeri: Kompas, Jawa Pos, Koran Tempo, Media Indonesia, Horison, Suara Merdeka, Jurnal Cerpen Indonesia, Jurnal Poetika, Kedaulatan Rakyat, DetikSport, Jurnal Ruang, Gong, Lampung Post, Bangka Pos, Hai, Nova, Hakka Monthly, dll. Tahun 2016, menerima beasiswa residensi penulis di Taiwan dari Menteri Kebudayaan Republik China Taiwan, dan tahun 2018 menerima beasiswa residensi ke Belanda dari Komite Buku Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Humanisme dalam Cerpen Katastrofa

$
0
0

Rika Wijayanti

Saat membaca cerpen Kompas edisi 20 September 2015, judul adalah hal pertama yang tampak dalam penglihatan kita. Katastrofa? Kata asing ini menimbulkan berbagai pertanyaan dan asumsi perihal isi cerpen tersebut. Baiklah, mari kita tengok pada kamus. Menurut KBBI, katastrofe adalah penyelesaian (akhir) suatu drama, terutama drama klasik yang bersifat tragedi. Setelah membaca cerpen karya Han Gagas ini, penyelesaian cerita memang menjadi sorotan karena memberi kesan haru yang kuat dan menjadi jawaban atas teka-teki yang disusun penulis pada ceritanya. Mengapa seorang petugas stasiun yang tadinya cuek terhadap Astrid, tiba-tiba menghampirinya setelah Astrid bercengkerama dengan seorang gadis cacat? Mengapa seorang petugas stasiun sampai mengetahui dan memahami kehidupan seorang anak yang buta dan bisu? Dan masih banyak pertanyaan lain yang jawabannya menjadi jelas ketika pembaca sampai di akhir cerita.

Di bawah judul ada ilustrasi gambar yang selalu disajikan dalam cerpen Kompas. Gambar tersebut menampilkan seorang wanita yang tersenyum menggandeng seorang anak yang tampak menyeramkan, terutama pada matanya yang putih (tidak ditampilkan bola hitamnya). Ilustrasi ini sesuai dengan deskripsi yang dibuat penulis.

Saat Astrid meregangkan tubuh, tiba-tiba muncul sosok kecil dari dalam gerbong yang mangkrak. Langkahnya pincang. Terbawa hatinya, Astrid mendekat tapi ia nyaris mati ketakutan saat melihat sepasang mata anak itu yang mendelik. Bulatan hitamnya nyaris tiada, bagian putihnya melotot sempurna!

Selain ilustrasi tokoh, saya juga tertarik pada gambar dan background warna yang ditampilkan. Mengapa background gambar si wanita adalah awan yang berwarna biru, sedangkan background gambar si anak seperti pohon berwarna coklat kekuningan? Pada cerpen ini dikisahkan bahwa Astrid membantu si gadis kecil, ibarat langit yang berada di atas (tangan di atas = memberi). Berdasarkan psikologi warna, warna biru muda memberi kesan menenangkan pikiran, komunikatif, perlindungan, kelembutan, cinta, kedamaian, kepercayaan, panutan, kestabilan, kepercayaan diri, persahabatan, harmoni, dan kasih sayang. Hal ini sesuai penokohan Astrid dengan pembawaan yang tenang dan penuh kasih sayang membelai rambut si gadis cacat dan mengajaknya berbicara. Sementara itu, background gambar si anak seperti pohon berwarna coklat kekuningan. Warna coklat menunjukkan bumi, pohon juga tumbuh di bumi (di bawah = menerima).

Membaca bagian awal cerita, pembaca sudah disuguhi dengan deskripsi latar dan tokoh yang cukup menarik. Hal ini mengingatkan saya pada penulis yang menurut saya, gaya pendeskripsian ceritanya tidak tertandingi, ialah Ahmad Tohari. Kedua penulis menggambarkan latar secara jelas. Namun, menurut saya terdapat perbedaan mengenai gaya deskripsi antara kedua penulis ini. Deskripsi dari Han Gagas sangat jelas, apa adanya, dan sedikit mengandung unsur estetika, sementara deskripsi dari Ahmad Tohari tidak hanya jelas dan estetik, tetapi juga meninggalkan kesan yang mendalam yang membuat setiap deskripsinya terasa memiliki makna tersendiri. Saya merasa dalam deskripsi Ahmad Tohari ada kekuatan ruh pada setiap kosakata yang digunakan, sedangkan deskripsi Han Gagas seperti tidak ada ruhnya. Sebagus apapun kata yang dipakai, tanpa ruh, maka hanya dibaca sepintas lalu tanpa meninggalkan kesan pada pembaca. Mungkin ini soal rasa. Temukan perbedaannya pada kutipan berikut ini.

Kereta itu berhenti di wilayah kehidupan orang-orang pinggir rel. Kehidupan yang sungguh merdeka dan berdaulat, sedang mulai bergerak. Tetapi, sebagian besar mereka masih terbaring dalam gubuk-gubuk kardus yang menyandar ke tembok pembatas jalur-jalur rel. Ada yang hanya tampak kaki, dan tubuh mereka terlindung di bawah atap sangat rendah lembaran rongsok. Dan di sebelah kanan rangkaian kereta, di balik semak yang meranggas dan berdebu, seorang lelaki dan anak kecilnya sudah bangun. Di dekat mereka ada perempuan masih tertidur, berbantal buntalan kain melingkar di atas gelaran kardus. Wajah perempuan yang masih lelap itu tampak lelah. Tetapi gincu bibir dan bedak pipinya tebal. Entahlah, mungkin perempuan itu tadi malam berjualan birahi sampai pagi. (Anak ini Mau Mengencingi Jakarta? karya Ahmad Tohari)

Bandingkan dengan kutipan cerpen Katastrofa karya Han Gagas di bawah ini.

Begitu Astrid turun di sebuah stasiun kecil yang lengang, cahaya rembulan membius sepasang rel membuatnya tampak lebih pucat dan kaku. Lampu-lampu merkuri berpendar redup membuat segalanya tampak murung. Penumpang yang turun tak lebih dari tiga orang, kecuali Astrid, mereka bergegas ke pintu keluar.

Dingin makin menggigit tulang, jarum jam menunjuk pukul 02.30, Astrid merekatkan jaket, dan duduk di sebuah kursi panjang di koridor stasiun. Toko-toko telah tutup padahal perutnya keroncongan. Seorang petugas stasiun memerhatikannya sebentar lalu kembali mengurung diri dalam siaran televisi di depan loket karcis yang tutup. (Katastrofa karya Han Gagas)

Sayangnya, Han Gagas juga kurang mengeksplor kosakata untuk deskripsinya. Pengulangan kata untuk deskripsi pada satu judul cerpen, bahkan pada dua judul cerpen bukan menjadikannya sebagai ciri khas penulis, tetapi justru terkesan membosankan untuk dibaca dan menunjukkan miskin kosakata. Seharusnya penulis dapat lebih fokus lagi pada pemilihan kata, sehingga tidak terkesan ‘hanya itu-itu saja’. Pengulangan terjadi pada kata ‘menyengat’ untuk mendeskripsikan bau tubuh sekaligus bau mulut dalam cerpen Katastrofa.

Anak itu hanya diam. Bajunya kumal robek bau apak, dan tubuhnya yang penuh daki membuat bau tubuhnya menyengat tajam. Astrid sesekali menahan napas. (Katastrofa karya Han Gagas)

…………. Mulutnya menguap memerlihatkan gigi-gigi kuning dan kotor, menguarkan bau tak sedap yang menyengat, Astrid menahan napas, dan memalingkan muka. Sikapnya terbaca si petugas. (Katastrofa karya Han Gagas)

Selain itu, rupanya pengulangan deskripsi juga terjadi pada cerpennya yang lain yang berjudul Gila.

Anak itu hanya diam. Bajunya kumal robek bau apak, dan tubuhnya yang penuh daki membuat bau tubuhnya menyengat tajam. Astrid sesekali menahan napas. (Katastrofa karya Han Gagas)

Walaupun bukan pejabat atau jendral cepak, aku memang ditakuti orang banyak. Katanya aku gila karena tubuhku yang menjijikkan dengan rambut gimbal sebahu, celana kumal robek bau apak, dada telanjang penuh daki, meracau sepanjang jalan, dan tertawa-tawa sendirian. Padahal, menurut perasaanku, aku sama sekali tidak gila. Malah yang paling waras di antara para manusia yang mengaku normal. (Gila karya Han Gagas)

Selanjutnya, saya tertarik juga pada kepiawaian Han Gagas dalam mengolah latar. Latar pada cerpen ini adalah stasiun pada dini hari saat kondisi sepi. Pemilihan yang sangat tepat dengan penokohan, meskipun tidak disebutkan secara spesifik stasiun mana yang dimaksud. Sosok gadis kecil disebutkan takut terhadap kerumunan orang, ia hanya akan keluar saat stasiun sepi. Waktu dini harilah yang sangat tepat untuk mendukung penokohan ini. Selain itu, saya lebih tertarik lagi pada pemilihan latar tempat, yaitu stasiun. Stasiun banyak digunakan penulis untuk menggambarkan kehidupan rakyat bawah yang penuh sengsara. Lagi-lagi, saya ingat pada cerpen Anak ini Mau Mengencingi Jakarta? karya Ahmad Tohari yang juga mengambil latar cerita di stasiun. Cerpennya terbukti sukses. Meskipun sama-sama berlatar tempat di stasiun, tetapi masing-masing penulis selalu memilih sisi yang berbeda sesuai isi dan maksud cerita yang digarapnya. Hal ini mengungkapkan tingginya kreativitas penulis.

Sayangnya, bagaimana kehidupan Astrid tidak diekspos di cerpen ini, padahal penulis sudah melayangkan beberapa kali kalimat yang menimbulkan penasaran pembaca terhadap latar belakang kehidupan tokoh Astrid. Tampaknya, penulis membiarkannya berlalu begitu saja.

Penjelasan petugas itu bagi Astrid terlalu banyak, ia bosan dengan kata-kata, ia mengelus rambut anak itu yang rasanya seperti mengelus dirinya sendiri, rasanya ada kesepian yang sama, kesendirian, dan derita yang sama sebagai sesama perempuan.

“Mbak tak perlu merasa bersalah, dunia memang kejam, kabarnya ibunya ingin anak itu mati dalam kandungannya, ia minum banyak pil, namun nyatanya anak itu lebih kuat dari obat aborsi, ia lahir dalam keadaan yang begitu menyedihkan.”

Astrid hanya diam, perasaannya ngilu.
“Ibunya, apakah punya alasan?”
“Apa maksud Mbak?”
“Apakah ibunya korban perkosaan?” tanya Astrid. Ia ingat nasibnya sendiri, ia tahu pula bahwa korban perkosaan bisa hamil.
“Tidak, tidak. Kakeknya tak menyetujui pernikahan mereka.”
“Kakek? Masihkah ada kejadian itu di jaman sekarang.”

Percakapan Astrid dengan penjual makanan di atas juga memiliki ketidakjelasan yang menimbulkan tanya, tetapi jawabannya tidak ada. Memangnya nasib seperti apa yang dialami Astrid? Apakah ia korban perkosaan yang akhirnya hamil? Hal ini tidak dibahas dan diselesaikan oleh penulis. Penulis yang memulai, harusnya juga dia yang menyelesaikan.

Pada kutipan tersebut penulis juga memunculkan fenomena aborsi di masyarakat. Akibat obat aborsi seorang anak terlahir cacat. Hal ini memberi pesan moral pada pembaca untuk tidak melakukan praktik aborsi. Cara penyampaian pesan yang tidak bertele-tele.

Cerpen Katastrofa mengangkat tema humanisme. Han Gagas sepertinya memang fokus pada penggarapan tema ini. Katastrofa mengisahkan tentang seorang gadis cacat korban keegoisan orang tuanya. Gadis tersebut tinggal di gerbong yang mangkrak di sebuah stasiun. Akan tetapi, sebenarnya hidupnya tidak sebatang kara karena ada kakeknya yang bekerja sebagai petugas stasiun yang apabila ditelisik, menyayangi cucunya dan berusaha melindungi cucunya dari mara bahaya. Berkat kakeknya juga gadis itu memiliki tempat untuk berteduh, bahkan tempat untuk tinggal, yaitu di gerbong kereta yang mangkrak. Hal ini tidak dapat tercapai jika sang kakek tidak bekerja sebagai petugas stasiun.

Cara kakek melindungi cucunya sangat unik. Kakek yang tadinya cuek pada kehadiran Astrid, tiba-tiba berbicara banyak hal mengenai gadis yang diajak Astrid ngobrol. Hal ini menunjukkan bahwa kakek mengkhawatirkan dan berusaha melindungi cucunya, meskipun tidak diungkapkan secara langsung. Maksud ini menguat pada saat kakek memperingatkan Astrid seperti pada kutipan berikut.

“Hati-hati di jalan, percayalah kau tak perlu membawanya lebih jauh dari warung di ujung stasiun. Sesudah ia makan, biarlah ia kembali ke sini, dan kau melanjutkan perjalanan!” teriak petugas itu dengan nada panggilan kau yang aneh, tak lagi bersikap sopan santun seperti tadi. Kali ini ada nada perintah yang otoriter dalam ucapannya. (Katastrofa karya Han Gagas)

Terlepas dari apapun, saya sangat mengapresiasi cerpen ini. Humanisme dalam kehidupan mengingatkan saya pada berbagai peristiwa yang mengetuk nurani di Indonesia. Kemanusiaan agaknya telah banyak tercerabut dari manusia-manusia Indonesia. Fenomena percobaan aborsi misalnya. Bagaimana seorang ibu sanggup membunuh anaknya sendiri? Ke mana perginya kemanusiaan? Lalu, bagaimana dengan anak-anak hasil hubungan di luar nikah yang diperlakuan tidak pantas, bahkan sering disebut anak haram? Anak-anak itu suci, mereka hanyalah korban, sedangkan manusia menghakimi seenaknya. Han Gagas melalui cerpennya mengajarkan kita banyak hal, salah satunya mengenai cara memperlakukan seorang anak yang sering disebut anak haram oleh masyarakat. Hal ini disampaikan melalui tokoh petugas stasiun yang notabene kakek si gadis cacat yang menjadi korban keegoisan orang tuanya. Meskipun petugas stasiun tidak menyetujui pernikahan anaknya, dia tetap menyayangi cucu yang ditinggalkan oleh anaknya.

Di sisi lain, dari tokoh Astrid kita juga disadarkan untuk tidak menghina orang cacat, bahkan lebih baik membantunya. Tokoh Astrid memperlakukan sosok gadis cacat dengan sangat manusiawi. Meskipun gadis kecil itu buta dan bisu, Astrid tetap mengajaknya berbicara layaknya manusia normal. Peristiwa ini cukup menghentakkan nurani kita. Di kehidupan nyata, kejadian yang sering kita temui justru orang memperolok orang-orang cacat, terutama anak-anak yang kurang mendapat pendidikan moral yang baik. Di sinilah nilai kemanusiaan untuk saling menghargai dan membantu sesama dimunculkan.

Selain itu, dari tokoh gadis buta dan bisu pun kita juga dapat belajar sesuatu tentang kemanusiaan. Seorang gadis yang buta dan tuli juga memiliki perasaan dan dapat berpikir. Gadis kecil itu menjawab pertanyaan Astrid dan berterimakasih melalui senyumannya.

“Apakah kau nyaman tinggal di gerbong itu?” tanya Astrid ragu. Ia tak tahu apakah bocah ini mengerti atau tidak, ia hanya mengikuti nalurinya untuk mengajaknya berbicara.

Gadis kecil hanya melenguh pendek. Tanpa disadari Astrid, dia berdiri, menundukkan badan, dan tersenyum, bibirnya lebih tampak seperti menyeringai, lalu berjalan terseok-seok menyusuri rel kembali. (Katastrofa karya Han Gagas)

Dari lelaki tua penjual makanan di warung tenda kaki lima, kita juga diajarkan suatu hal yang berharga. Ia melantunkan lagu kenangan.

Widuri elok bagai rembulan… oh sayang…
Widuri indah bagai lukisan… oh sayang…. (Katastrofa karya Han Gagas)

Kata ‘widuri’ pada bait lagu tersebut dalam bahasa Jawa adalah batu mulia, permata. Penjual itu bernyanyi sambil melayani si gadis cacat. Secara tidak langsung dapat dimaknai bahwa gadis cacat diibaratkan sebagai permata yang harus dilindungi dan diperlakukan sebagaimana layaknya manusia. Meskipun fisiknya tidak sempurna, tapi ia bagai permata di dalamnya. Hanya perlu diberi kasih sayang dan dirawat dengan baik, maka sinarnya akan terpancar bagai permata.

Cara penyampaian nilai yang halus dan menarik dari seorang Han Gagas melalui katastrofe yang mengharukan berikut ini.

“Ya, kalau tanpanya, bagaimana bisa seorang gembel boleh tidur seenaknya di gerbong yang walaupun mangkrak, stasiun ini juga jawatan resmi milik pemerintah.”

Dari kejauhan, Astrid melihat si petugas mendekati langkah anak itu, meraih tangan kanan, dan menggandengnya berjalan. Lampu merkuri yang paling dekat dengan mereka berkedip-kedip seperti hendak mati. Angin masih bertiup kencang menghempas tenda warung. Astrid menguatkan kelopak matanya, menahan air mata yang hendak jatuh.
***

http://rika-wijayanti.blogspot.com/2017/02/humanisme-dalam-cerpen-katastrofa.html

HUJAN PERAPATAN LATENG

$
0
0

Taufiq Wr. Hidayat *

Hujan. Sebagaimana berabad-abad lampau, tetaplah titik-titik air yang jatuh ke bumi. Berkilau bagai butiran kristal waktu terkena cahaya lampu. Merintik ke atas aspalan. Ke atas atap-atap rumah. Kemudian air hujan itu, mengaliri pepohonan, menetes dari ujung-ujung dedaunan. Orang memumikan kenangan dengan ingatan yang dibubuhinya penanda. Mumi-mumi kenangan itu pun basah terkena hujan. Dan ada yang menanti entah siapa di sana, sambil melupakan usia, atau berpura-pura lupa pada usia.

Di Perapatan Lateng, Kota Banyuwangi itu, hujan seakan malas menimpa lampu merah. Toko-toko jamu dan pewangi orang Arab. Aspalan berkilau basah terkena lampu jalan dan lampu kendaraan yang berdesakan. Bengkel sepeda. Toko baju di barat perempatan jalan itu sudah tutup. Toko baju yang dulu ramai. Pada tahun 1990-an, tiap hampir lebaran, seorang ibu membawa anaknya membeli baju di toko tersebut. Lampunya terang. Lantainya bersih. Sekarang redup. Toko baju yang bernama Toko Wijaya itu pernah mashur, sekarang tutup, tinggal bangunan bertingkat yang mulai tak terawat. Toko lama yang kalah bersaing dengan toko-toko baju yang lebih besar, murah, dan bagus. Lewatlah di situ. Kau akan merasakan, Perapatan Lateng menyimpan kenangan yang dalam, seolah ingin bercerita namun tak sanggup berkata-kata. Jalanannya yang kesepian tatkala malam larut mengental, bagai berkisah banyak peristiwa masa kecil entah siapa, yang disimpannya dengan begitu pedih, setia, haru, dan sia-sia. Tepat di sebelah kiri Perapatan Lateng dari arah utara, ada lapak penjahit. Lapak penjahit itu entah sudah berapa lama di sana. Hari-hari berganti, zaman berubah, musim demi musim telah berlalu, lapak penjahit di sana masih menerima kain untuk dikerjakannya. Lapak penjahit setelah lampu merah itu seolah kekal, seolah sudah ada di situ sejak dunia baru saja tercipta. Entah baju siapa saja yang telah dijahitnya. Seragam kantor, seragam sekolah, baju ke pesta, atau barangkali baju seorang kekasih. Lapak penjahit itu bagai tak peduli pada kendaraan-kendaraan yang melaju dengan resah di sekitarnya, ia seolah cuek terhadap kesibukan semesta. Ia sibuk sendiri dengan pedal mesin jahitnya yang kuno. Perapatan Lateng menyimpan setiap peristiwa yang silih berganti di dalam dirinya. Ada beberapa tempat dan keadaan yang telah berubah, ada orang yang pergi tak tentu rimba. Perapatan Lateng berusaha menyimpan apa saja yang masih mungkin disimpannya. Dan tak ada yang bertanya perihal derita keperihan, luka-lara duka nestapanya dalam menyimpan ingatan yang tak pernah dibukukan atau dimonumenkan dengan tepuk tangan panjang dan perhatian-perhatian. Namun ia pun dengan apa daya, melepas apa saja yang memang harus ia lepaskan, hilang ditelan waktu. Dan di situ, daun-daun yang menguning dari pohon peneduh jalan berjatuhan, gugur ke bumi. Kemudian ada hati yang juga menggugurkan dedaunannya, bagai bunga-bunga jambu air saat hujan jatuh, seperti kehilangan yang tak mungkin lagi ditemukan. Yang mustahil kembali diutuhkan. Atau ingatan pada keadaan—entah apa, yang tak mungkin dirangkaikan kembali bagai sedia kala.

Perapatan Lateng tak terpisahkan dari kehidupan orang sehari-hari, manusia yang di sana sebagai “orang perapatan”. Ada warung kopi milik orang Madura di timur lampu merah, bengkel, dan toko busana perempuan. Pagi selalu ramai. Kaum makelar, para juru tagih, pengangguran, wartawan, dan tak tahu siapa lagi nongkrong di situ, melewati jeda waktu yang tak dimengerti.

Perapatan Lateng seolah mensahihkan dalil Heidegger yang rumit dan ganjil. Dasein sejatinya menidak pada pandangan, bahwa manusia adalah subyek yang lepas dari ruang-waktu sejarah. Baginya, manusia “ada di situ” senantiasa. Yakni dalam ruang dan saat yang tentu. Ia “ada-dalam-dunia” (in-der-welt-sein/being-in-the-world). Ia adalah kerangka aturan fundamental manusia. Ketakterkaitan spasial manusia (dasein) dan ruang (dunia) yang ditinggali, mengakibatkan segala ruang tidaklah kosong (netral). Dunia telah senantiasa dimengerti pada landasan struktur ontologis “dasein” yang meninggali. Di situ terdapat “dunia pejalan”, “dunia penyanyi”, dan lain-lain. Itulah kiranya afirmasi Heidegger: manusia itu menyejarah. Ia mustahil melompat keluar dari titik pijak kesejarahannya, ia adalah “being-in-the-world”. Ia kepastian yang sangat faktual dan niscaya. Tetapi “ada di situ” berbeda telak dengan benda, atau selain manusia. Seumpama “ada” uang dalam dompet, dapat disebut keterkaitan pada kaitan spasial. Ada jarak, dan yang terpisah. Sedang manusia “ada” dalam Perapatan Lateng, mengandaikan relasi dia dengan perapatan tersebut bukanlah keterkaitan spasial. Bukan yang tercerai, yang lain, atau yang dua hal. Ia “ada” dalam ruang tertentu, ia “meninggali” ruang tertentu itu. Ia “mengutuh” di situ.

Seperti sebuah buku sejarah yang panjang, hujan di Perapatan Lateng memang selalu membuka ruang-ruang kisah dalam dada. Ia sebentuk harapan yang datang untuk menemui bumi kerinduan. Jendela mengembunkan pertanyaan-pertanyaan yang gemar, dalam, dan tiada henti-hentinya. Tapi hujan di situ, pun merintik di kabel listrik, mesin-mesin, orang-orang yang pergi tanpa mantel dan payung. Di situ berdiri Masjid Kiai Saleh Lateng. Masjid bersejarah yang pernah melahirkan pemuda-pemuda gagah. Ada terminal angkutan dalam kota. Pohon besar yang sering ditebang, kemudian tumbuh lagi, di terminal yang dulu selalu mengantarkan anak-anak sekolah. Pasar kecil yang berdenyut dini hari. Bangku warung kopi. Calo kendaraan yang masih saja hidup. Di Lateng itulah, lagu berdialek Banyuwangi “Tetese Eluh” sekitar tahun 1998 dituliskan oleh Yon’s DD, dinyanyikan grup musik POB (Patrol Orkestra Banyuwangi) yang mashur, pun lagu “Layangan” yang dibawakan Catur Arum. Di Dusun Klembon, lahirlah lagu kendang kempul yang legendaris, lagu yang terus kekal dalam sejarah musik Banyuwangi, berjudul “Ulan Andung-andung” diciptakan seorang seniman musik Banyuwangi yang agung, Endro Wilis. Teruslah lurus ke selatan dari lampu merah Perapatan Lateng itu, di sepanjang jalan tersebut, lagu-lagu Banyuwangi sepanjang masa telah tercipta sebagai aset berharga yang tiada pudar, “Sing Ono Jodoh” diciptakan Armaya, “Gelang Alit” oleh Fatrah Abal, dan “Umbul-umbul Blambangan” yang menggema sepanjang waktu, lahir dari jari-jari Andang Cy.

Ke arah selatan dari Perapatan Lateng, Kota Banyuwangi itu, sebuah masjid agung berdiri. Dulu bangunan masjid yang tepat di barat Taman Sritanjung itu antik dan menyimpan kearifan kebudayaan lokal yang khas. Bangunan bersap tiga, seperti sebuah Pura, atau Masjid Agung Demak. Ada budaya setempat yang telah mendesain bangunan peribadatan kaum muslimin tersebut. Di masjid itu dulu, sekira akhir tahun 1970-an, Man Padelikur menyalakan “blanggur”, sejenis mercon besar yang diledakkan untuk menandai waktu berbuka puasa. Man Padelikur disuruh Kang Nan, kawannya. Namun sekarang, bangunan masjid telah berubah total. Kekuasaan dengan segala kekuasaannya, merobohkan bangunan Masjid Baiturrahman, kemudian menggantinya dengan bangunan baru, dengan bentuk masjid dari negeri Arab, megah, mahal, dan gagah. Tak ada akulturasi yang mungkin dapat ditelusuri sebagai jejak kearifan mempertemukan agama dan kebudayaan pada bangunan Masjid Baiturrahman Banyuwangi itu kini. Dulu di taman depan masjid, ada beringin raksasa. Juga di sebelah selatan Taman Sritanjung yang selalu gelap, “orang-orang gelap” tertidur di bangku-bangku lembab, menjilat malam dengan kepasrahan yang menakutkan. Kemudian pasar Banyuwangi yang berdenyut tanpa sentuhan kekuasaan, menyuguhkan barang-barang kepadamu. Ke timur, gedung bioskop yang dulu bernama Irama. Trembesi yang tua. Jalan Banterang yang dulu gelap ketika malam, kini sudah terang. Sebuah Gereja kecil tepat di depan masjid, setelah taman. Perihal kerukunan, bangsa ini sudah berpengalaman, dan tak perlu dicurigai. Kericuhan yang terjadi, selalu mengandung unsur politik yang keji.

Lalu ke barat dari Masjid Agung Baiturrahman, gedung bioskop yang dahulu bernama Suasana, hingga kini begitu tua dan sendiri, besi-besi karat, tembok kehitaman, berlumut ketika musim penghujan. Konon tepat di selatan masjid, pernah berdiri gedung bioskop pada masa kolonial Belanda. Manusia membutuhkan film, katanya. Sebuah tontonan publik yang menampilkan gambar, suara, cerita. Manusia selalu gemar melihat dirinya sendiri. Film menyeretnya dari kenyataan, melupakan dan menghindari kenyataan, sejenak dalam hidupnya. Jembatan Kali Lo yang mengalirkan kesah waktu yang melulu, seperti kedua matamu yang seperti kedua mata seekor lembu, jauh, menatap entah apa, menyimpan keterasingan di balik segala pencapaian kota. Film selalu menjadi ingatan lama yang tak sempat diberi penanda pada benak tiap orang di kota itu. Di lapangan, tepat sebelah timur gedung bersejarah yang disebut Inggrisan, gedung kesenian yang sepi. Yang ramai hanya pertunjukan pesta, warung-warung yang ditata dengan lampu-lampunya yang sangat terang. Di situ, gedung kantor pos yang kuno, mengingatkan seseorang saat mengirimkan surat kepada sang kekasih yang dirindukannya nun di jauh sana. Sepucuk surat. Dan prangko.

Ada yang tertangkap. Ada yang lepas. Kembalilah ke Perapatan Lateng. Malam selalu saja menceritakan hujan dan kenang-kenangan samar di dalam lubuknya. Kemudian ke selatan setelah lampu merah, Dusun Klembon. Aspalan yang tua telah tiada. Toko buku dan kitab suci sebelum pendapa kabupaten yang kini sering didatangi tamu-tamu asing yang menikmati angsa. Dan di Kelurahan Temenggungan, lagu “Genjer-genjer” yang termashur dilahirkan seorang seniman angklung yang hebat Mohammad Arif, pada tahun 1940-an. Orang-orang merampas lagu “Genjer-genjer” dalam pusaran konflik politik pada 1965.

Ada jalan kenangan. Ada yang tertinggal. Segalanya memang harus berubah. Nasib kenangan memang selalu ditinggalkan, pada waktu sibuk, ia dilupakan, lalu dibiarkan sendirian. Tapi adakah hari ini yang bersedia menghargai kenangan? Kesepian yang panjang, seolah sehabis perpisahan. Hanya penguasa yang gemar mengibarkan bendera-bendera negara asing, sambil menertawakan cita-cita bangsa dan bahasanya sendiri. Apakah suatu generasi harus dibangun tanpa masa lalu dan karakter bahasa ibunya? Tetapi di manakah kamu? Lama nian kita tak bertemu. Sedangkan kota, terus menggusur kenanganmu menjadi robekan ingatan, yang tak mungkin dirangkai dalam sebuah narasi kecil, yang hikmat tatkala malam dilarutkan.

Prapatan Lateng, 2020.

*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab IBlis” (PSBB, 2018), “Agama Para bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.

MASA DEPAN PERLU INTELEKTUALITAS DAN KARAKTER

$
0
0

Djoko Saryono *

/1/
Umat manusia sedang menghadapi revolusi yang belum pernah terjadi sebelumnya, semua cerita lama kita runtuh, dan tidak ada cerita baru yang muncul untuk menggantikannya. Bagaimana kita dapat mempersiapkan diri dan anak-anak kita untuk dunia dengan transformasi dan ketakpastian radikal yang belum pernah terjadi sebelumnya? (Yuval Noah Harari, 21 Lessons for 21st Century, 2018, Spiegel & Grau).

/2/
Revolusi Industri Keempat dapat menjadi titik-temu bagi makna tradisional manusia (pekerjaan, masyarakat, keluarga, dan identitas) atau dapat meningkatkan rasa kemanusiaan menjadi kesadaran kolektif dan moral baru berdasarkan perasaan takdir bersama. Pilihannya ada pada kita. (Klaus Schwab, The Fourth Industrial Revolution, 2016, World Economic Forum).

/3/
Konon seorang arif bijaksana dunia bernama Socrates pernah berkata bahwa “hidup yang tidak boleh diperiksa kembali adalah hidup yang tidak layani dijalani”. Maka marilah kita periksa kembali hidup kita dan zaman tempat kita hidup sekarang. Ini dimaksudkan agar kita dapat menjalani hidup dan kehidupan dalam dunia masa sekarang dan masa depan. Di samping itu, mampu menghidupi dunia masa sekarang dan masa depan yang kita kehendaki.

Dunia macam apakah yang sedang kita hadapi, bahkan menghidupi kita sekarang atau menjadi tempat hidup kita sekarang? Dengan ringkas pertanyaan ini dapat dijawab bahwa dunia masa sekarang, bahkan masa depan yang sedang kita hadapi dan hidupi adalah sebuah dunia yang sedang berubah sangat disruptif, radikal, fundamental, dan eksponensial! Dunia kita sekarang adalah dunia yang sedang mengalami tsunami perubahan. Tak heran, sesungguhnya kita tidak dapat menamainya dengan satu istilah atau frasa. Banyak di antara kita menamainya dengan bermacam-macam istilah atau frasa.

Betapa tidak! Gejala perubahan, pergeseran, dan pergantian radikal, disruptif, fundamental, dan eksponensial itu berlangsung di berbagai lapangan kehidupan sejak Abad XXI, baik dalam skala global, regional, nasional maupun lokal, baik dalam dimensi empiris maupun normatif. Para ahli dan pengamat mencandra hal tersebut dengan berupa-rupa sebutan, di antaranya Abad XXI sekarang telah berlangsung Revolusi Industri Keempat, Revolusi Internet Gelombang Ketiga (dari internet of thing’s menuju internet of everything), Revolusi Digital, Revolusi Ilmu Pengetahuan, dan revolusi-revolusi lain yang secara mendasar mengubah dunia manusia, bahkan alam semesta.

Sudah barang tentu tsunami perubahan tersebut serba tidak terduga, serba tidak pasti, demikian kompleks, dan senantiasa taksa. Di sinilah kita memasuki dunia VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity; VUCA World) yang memberikan tantangan, tuntutan, dan kebutuhan baru bagi keberlanjutan dan kelangsungan kehidupan manusia. Tantangan, tuntutan, dan kebutuhan baru di bidang kebudayaan dan peradaban direspons perlu secara setimpal berlandaskan dan bermodalkan kekayaan kebudayaan dan peradaban kita. Dalam hal ini perlu landasan kearifan dan kebijaksanaan kultural atau moral-etis yang sudah tumbuh dan berkembang di Indonesia. Ini perlu disertai usaha menemukan “jawaban-jawaban baru” yang cocok dan sepadan dengan tantangan, tuntutan, dan kebutuhan kebudayaan dan peradaban pada Abad XXI yang merupakan Dunia VUCA tersebut.

Secara khusus bidang kebudayaan dan peradaban ditantang, dituntut, dan ditagih untuk memperoleh jawaban-jawaban baru yang dapat menjadikan bidang kebudayaan dan peradaban kita tetap eksis dan berdaya. Pasalnya, kebudayaan dan peradaban perlu mengalami transformasi radikal-fundamental sehingga kita dituntut mampu menjadi aktor atau agen transformasi kebudayaan dan peradaban.

Dalam transformasi kebudayaan dan peradaban tersebut kita tidak boleh terjebak dalam dikotomi-dikotomi biner-atomistis, hanya pendekatan dan wawasan hitam-putih belaka. Diperlukan pendekatan dan wawasan holistis-pluriversal (transversal) dalam usaha-usaha transformasi kebudayaan dan peradaban demi keberlanjutan dan kelangsungan kehidupan manusia secara planeter.

Berhubung pada masa sekarang, lebih-lebih pada masa depan yang semakin padat pengetahuan dan kreativitas-inovasi, maka keberadaan karakter dan intelektualitas sama-sama penting. Keduanya tidak boleh dipertentangkan satu sama lain, apalagi ditinggalkan salah satu di antaranya. Beranalogi dengan ucapan Albert Einstein, karakter tanpa intelektualitas menjadikan kehidupan masa depan kehilangan arah pada satu sisi. Pada sisi lain, intelektualitas tanpa karakter menjadikan kehidupan masa mendatang mengalami kegelapan.

Baik karakter maupun intelektualitas sama-sama dibutuhkan dalam kehidupan masa sekarang, lebih-lebih kehidupan masa depan. Itu sebabnya, beralaskan humanitas dan spiritualitas, baik karakter maupun intelektualitas harus ditumbuhkembangkan dan diperkuat secara serempak-bersamaan dan seimbang demi keselamatan dan keberlanjutan kehidupan masa sekarang dan masa depan.

_____________________
*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd adalah Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.


APA ITU BUKTI?

$
0
0


(Einstein dan Tagore, Berlin 14 Juli 1930, foto dari WikipediA)
Ahmad Yulden Erwin *

Sebuah bukti selalu terkait dengan prinsip-prinsip kebenaran di dalam logika. Di dalam sains, juga hukum, pembuktian suatu hipotesis atau argumen diberikan kepada pihak yang membuat pernyataan–sesuai prinsip beban pembuktian atau “the burden of proof”. Sampai saat ini ada empat jenis pembuktian berdasarkan prinsip kebenaran (kriteria kebenaran) yang lazim digunakan di dalam sains maupun hukum (saya urutkan berdasarkan hirarki atau urutan tingkat kebenaran), yaitu:

1. Prinsip korespondensi. Di dalam prinsip ini proposisi mesti berhubungan (bersesuaian) dengan fakta-fakta material di dalam realitas. Pembuktian jenis ini disebut pembuktian material.

2. Prinsip koherensi. Di dalam prinsip ini proposisi mesti berhubungan dengan teori-teori yang telah diuji kebenarannya oleh para pakar yang berkompeten di bidangnya dan valid secara argumen berdasarkan hukum-hukum logika. Pembuktian jenis ini disebut pembuktian formal.

3. Prinsip pragmatis. Di dalam prinsip ini proposisi mesti disepakati kebenarannya oleh sebanyak mungkin pakar yang berkompeten dan berintegritas di bidangnya setelah proposisi itu diuji berdasarkan prinsip korespondensi dan prinsip koherensi.

4. Prinsip falsifikasi. Di dalam prinsip ini kebenaran sebuah proposisi akan terus belaku kecuali, jika dan hanya jika, bisa dibuktikan kesalahannya lewat tiga prinsip pembuktian sebelumnya. Prinsip pembuktian ini saya sebut prinsip pembuktian dinamis.

Contoh perihal pembuktian ilmiah di dalam fisika modern, misalnya, adalah teori relativitas umum Einstein. Pada tahun 1911 Einstein mempublikasikan makalah ilmiahnya yang berjudul, “On the Influence of Gravitation on the Propagation of Light”. Dalam makalah ilmiah setebal sepuluh halaman buku itu, Einstein meramalkan bahwa cahaya dapat dibelokkan oleh medan gravitasi. Namun, baru pada 15 November 1915, di dalam makalah ilmiah yang berjudul “On The General Theory Of Relativity”, Einstein menyelesaikan pembuktian formalnya secara lengkap. Di dalam pembuktian formalnya itu, Einstein berkesimpulan bahwa ruang-waktu bersifat lengkung, artinya kehadiran massa dari suatu benda dapat melengkungkan ruang-waktu di sekitarnya. Misalnya, jika ada cahaya bintang yang melewati sebuah benda masif di langit seperti matahari, maka teori relativitas umum Einstein memprediksi bahwa cahaya bintang itu akan dibelokkan di sekitar matahari. Membeloknya cahaya bintang itu bukan disebabkan oleh gaya gravitasi matahari seperti di dalam teori gravitas Newton, melainkan karena ruang-waktu di sekitar matahari tersebut memang melengkung.

Pada waktu itu, banyak fisikawan yang menganggap hipotesis relativitas umum Einstein itu hanya sebuah makalah ilmiah tanpa “references”, tanpa “acknowledgement”–sebuah makalah yang seolah nampak sebagai permainan matematika belaka, tanpa bisa dibuktikan dalam kehidupan nyata (pembuktian material sesuai prinsip korespondensi).

Pembuktian material terhadap teori relativitas umum Einstein baru terwujud ketika Sir Arthur Eddington, fisikawan dan astronom dari Universitas Cambridge, melakukan pengujian berdasarkan prinsip korespondensi terhadap teori relativitas umum Einstein pada tahun 1919. Eddington berkeyakinan bahwa setiap teori ilmiah yang diajukan harus dapat dibuktikan di dunia nyata. Untuk itu Eddington melakukan ekspedisi ke daerah Principe, Afrika, satu tempat yang dianggap terbaik untuk mengamati secara langsung gerhana matahari total pada masa itu. Hasilnya, Eddington mendapatkan bukti material bahwa cahaya bintang memang dibelokkan di sekitar matahari sesuai prediksi teori relativitas umum Einstein. Dan bukti yang ditemukan oleh Eddington itu merupakan bukti material dari teori relativitas umum yang menyatakan bahwa kelengkungan ruang-waktu empat dimensi disebabkan oleh adanya materi masif seperti matahari.

Hasil pembuktian material dari Sir Arthur Eddington terhadap teori relativitas umum tersebut kemudian diuji oleh para fisikawan lainnya (pembuktian pragmatis). Dan mereka menemukan hasil yang sama. Maka, setelah melewati pembuktian pragmatis tersebut, teori relativitas umum dari Albert Einstein baru diakui sebagai teori ilmiah di dalam sains fisika. Hingga saat ini teori relativitas umum Einstein masuk menjadi salah satu teori fisika yang dipelajari secara resmi pada universitas-universitas di seluruh dunia.

Meski demikian, teori relativitas umum Einstein bukanlah teori absolut tentang gravitasi. Sebab, berdasarkan prinsip falsifikasi, teori relativitas umum hanya berlaku sebagai kebenaran ilmiah sejauh belum ada yang bisa membuktikan kesalahannya (prinsip pembuktian dinamis).

Jadi, bicara perihal bukti dan pembuktian di dalam sains itu bukanlah perkara mudah, bukan perkara suka-suka, sebab perihal tersebut adalah pondasi di dalam sistem ilmiah. Begitu pula menurut saya dalam soal hukum. Anda tidak bisa menuduh orang secara sembarangan telah melakukan pelanggaran moral dan atau tindak kejahatan tertentu tanpa bukti. Bila Anda menuduh orang tanpa bukti (berdasarkan prinsip-prinsip pembuktian di atas), maka Anda dapat diduga telah melakukan tindakan tak bermoral atau kejahatan, seperti memfitnah orang lain, yang memiliki konskuensi hukum. Bergosip juga kebanyakan adalah sebuah tindakan bergunjing yang tak berdasarkan bukti dan cenderung pada fitnah. Jadi, jika ada seseorang yang mengklaim dirinya budayawan atau ilmuwan atau sastrawan tetapi sering memfitnah dan bergosip (baik di medsos maupun dunia nyata), maka besar kemungkinan ia adalah seorang “immoral”. Fitnah dan gosip dan hoax bukanlah argumen logis.

______________________
*) Ahmad Yulden Erwin lahir di Bandar Lampung, 15 Juli 1972. Ia telah menerbitkan kumpulan puisi “Perawi Tanpa Rumah” (2013), “Sabda Ruang” (2015), “Hara Semua Kata” (2018) “Perawi Tanpa Rumah (Edisi revisi, 2018), “Perawi Rempah” (5 besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2018).

SEPERTI KARYA SASTRA, HIDUP BUKANLAH RACAUAN

$
0
0


Sunlie Thomas Alexander *

KEMBALI ke Belinyu, ke kota kelahiranku di utara Pulau Bangka dalam kondisi masih depresi, aku tidak berharap banyak untuk bisa memulai kembali novelku yang judulnya sudah nyaris jadi cemoohan di kalangan kawan-kawan penulis itu: “Kampung Halaman di Negeri Asing”.

Sudah sebulan lebih. Aku belum bisa juga menulisnya sama sekali. Namun malam tadi aku sedikit menimbang-nimbang nasibnya di masa depan yang mungkin sepekat keputusasaan dan kesunyianku. Aku memikirkan alternatif-alternatif untuknya di tengah rasa sakitku, tetapi toh akhirnya aku tetap mesti menerima kenyataan pahit bahwa ia memang sebuah kemusykilan bagiku entah sampai kapan.

“Kalau memaksa, bisa-bisa aku akan menulis racauan,” pikirku tercenung. Dan itu tentunya hal yang sangat memalukan.

Lalu tiba-tiba aku teringat pada Aracataca, kota kelahiran Gabriel Garcia Marquez di utara Kolombia. Aku mengikuti gambaran Marquez mengenai kota itu dalam buku autobiografinya, “Living to Tell the Tale”: Sebuah kota yang gersang dengan cuaca panas mencekik, dengan rumah-rumah muram yang seakan tak berpenghuni, dengan kemiskinan yang menjerit tanpa suara.

Seperti Aracataca yang ditinggalkan oleh kejayaan perkebunan pisang, Belinyu adalah kota kecamatan yang dibiarkan nelangsa selepas dikuras habis-habisan oleh penambangan timah. Banyak toko yang dulu ramai oleh tawaran pembeli kini terbuka senyap, aku bertemu kawan-kawan yang tak jelas kerjaannya, pertanian nyaris mati, dan masih kudengar jua sisa-sisa risalah kekerasan bertebaran.

Hujan begitu jarang karena saban hari angin berhembus cukup kencang.

Sehingga sekilas, aku pun nyaris merasa bahwa keduanya seperti dua buah kota berjauhan yang dipertemukan oleh kemurungan nasib serupa.
***

AKU coba mengingat-ingat Living to Tell the Tale lebih rinci. Aku sudah cukup lama membacanya, buku itu sekarang berada dalam kardus di rumah kontrakanku di Jogja—belum sempat kubongkar sehabis pindahan. Maka aku pun mencari-cari perihalnya di Google untuk sekedar menyegarkan ingatan.

Kuingat temanku, penyair dan penerjemah An Ismanto, suatu hari mengatakan bahwa pengalamannya membaca buku yang diterbitkan pertama kali dalam bahasa Spanyol dengan judul “Vivir para contarla” ini lebih indah daripada pengalaman yang didapatkannya saat membaca “Seratus Tahun Kesunyian”. Tentu, pengalaman membaca temanku ini juga diriku, hanya bisa kami peroleh berkat usaha penerjemahan ke bahasa kedua bahkan ketiga lantaran tak ada di antara kami yang menguasai bahasa Spanyol.

Kala itu aku tak sepakat dengan Simbah (sapaan akrab An). Tetapi Living to Tell the Tale, apa boleh buat, memang sebuah autobiografi yang ditulis dengan kualitas novel kelas dunia. Ia tak hanya diceritakan dalam paragraf-paragraf cukup panjang yang bening dan gaya naratif memikat seperti umumnya karya-karya fiksi Marquez, namun juga mengandalkan permainan plot yang tindih-menindih dengan waktu tampak chaos sebagaimana Seratus Tahun Kesunyian. Bahkan di dalamnya selain gaung suara politik, sesekali kita pun bersua dengan elemen-elemen magis yang riil.

Living to Tell the Tale juga dibuka dari tengah seperti halnya novel Seratus Tahun Kesunyian; lewat momen paling penting dalam kehidupan Don Gabo (sapaan Marquez) yang menentukan karirnya sebagai penulis. Yakni ketika ia berusia 23 tahun dan ibunya datang ke Bogota untuk mengajaknya pergi menjual rumah masa kecilnya lantaran kehidupan mereka yang serba sulit. Dan Gabo muda pun terpaksa harus berhutang ke sana kemari untuk membiayai ongkos perjalanan bersama ibunya itu.

Perjalanan itu adalah perjalanan kembali yang sentimentil. Berpisah sekian lama oleh jarak usia dan jarak ruang, ia tenggelam dalam kelabilan nostalgis seorang lelaki dewasa. Suasana kota panas itu yang gersang bagaikan kota mati dengan kenangan masa kanak-kanak bersama ibunya, kakek, dan seluruh anggota keluarganya pun membanjiri dirinya begitu rupa dan menyegel nasibnya sebagai penulis.

Dan inilah titik yang begitu signifikan itu: tatkala ia akhirnya memilih untuk mengisahkan kampung halaman, dunianya sendiri yang dikenal baik olehnya, dengan caranya sendiri—sebagaimana Wiiliam Faulkner berdongeng tentang Selatan. Kota kelahirannya itu mengenangkan Gabo pada Yoknapatawpha, kota fiksional dalam novel-novel Faulkner.

Katanya: “Setiap hal, hanya dengan melihatnya, membangkitkan dalam diriku kerinduan yang tidak tertahankan untuk menulis, sehingga jika tidak aku akan mati.”
***

TENTU siapapun di antara kita punya semacam nostalgia mencekik semacam ini. Dan kukira tantangan terbesar kita sebelum menuliskannya kembali, baik sebagai fiksi maupun memoar, pertama-tama adalah mencoba meredakan kerasukan dalam diri dan berupaya untuk membangun jarak yang cukup dengannya.

Kenangan adalah hantu yang bertandang berulangkali, sementara menulis mestinya merupakan suatu upaya keras untuk menggali ketegangan antara trance dan kesadaran. Jika tidak, kita hanya bakal meracau dan meracau.

Di laman Facebook, penyair Ahmad Yulden Erwin kukira tak lelah-lelahnya mengingatkan mereka yang mengaku penyair atau yang merasa tertarik untuk menjadi penyair agar bisa membedakan secara jelas antara puisi dan racauan.

Aku tak perlu mengutip Bang AYE atau mengulangi lagi apa yang dikatakannya itu di sini. Tetapi intinya, puisi dan apapun genre karya sastra tak hanya perkara kepekaan sense tetapi terutama juga menyangkut kemampuan berbahasa yang becus, kemauan untuk terus mengkaji, serta penerapan logika secara ketat. Tanpa ketiga hal ini, mustahil bagi kita mendambakan sebuah karya yang baik.

Sebab, bagaimana kau bisa mengatakan kau bisa menulis puisi apabila menggunakan majas perbandingan saja kau tak paham? Sama halnya apabila kau mengaku sebagai seorang aktivis namun pengetahuanmu tentang dunia pergerakan ternyata hampir nol.

Seratus Tahun Kesunyian, novel yang melahirkan era el boom dan meluaskan teori naratif magical realism ke penjuru dunia itu telah melewati proses panjang yang jelas tak mudah.

Dan dalam Living to Tell the Tale, kita pun membaca proses panjang itu sebagai usaha-usaha keras yang tak berkesudahan, yang tumpang-tindih dengan kebimbangan dan rasa tak puas sebagaimana percobaan kimia gila-gilaan seorang José Arcadio Buendía atau perang saudara dijalani oleh Kolonel Aureliano Buendia—sebelum akhirnya Aracataca dan perjalanan pulang Don Gabo muda yang sentimentil itu dapat benar-benar dihidupkan kembali sebagai Macondo: kota pisang selayaknya fatamorgana sejarah Amerika Selatan. Dengan Perang Seribu Hari, pembantaian buruh-buruh perkebunan pisang, para gipsi, orang-orang mati yang kembali, Indian, perawan tua yang keras kepala, gadis sesuci dan secantik santa.

Ia harus melewati Leaf Storm terlebih dahulu, yang pada awalnya diberi judul “La casa” atau “Rumah”, lalu “No One Write to the Colonel” yang mengisahkan seorang anak buah Kolonel Aureliano yang menunggu gaji tak kunjung dibayar seusai perang, kemudian “In Evil House” dan “Big Mama’s Funeral” serta “Chronicle of a Death Foretold” yang membawaku pada cerita-cerita kekerasan di jalanan Belinyu era 80-90an—yang semuanya tidaklah memenuhi syarat bayangan Gabo tentang Macondo yang syahdan berasal dari papan nama tua di bekas perkebunan pisang.

Terang, aku juga punya hantu-hantuku sendiri di Belinyu: Ibu renta tercinta yang cerewet, bibi tua yang berkali-kali gagal menikah, seorang paman yang punya masalah dengan perkembangan kecerdasan, kemudian bangunan ruko-ruko peninggalan tahun 80an dengan lorong-lorongnya yang amis, ruas-ruas jalan yang nyaris tak berubah, tiang-tiang listrik sisa kejayaan Tambang Timah Bangka.

Juga apa yang kini telah lenyap secara fisik: Kakek totok dengan ingatannya tentang Tiongkok, seorang bibi yang gila, paman tertua yang mengalami trauma kekerasan dan memilih menyisih dari dunia ramai lalu melewati hari-harinya dengan memandang poster-poster kecil iklan bioskop, seorang ayah yang sangat rasional tetapi senantiasa menenggelamkan diri dalam hitungan-hitungan lotre, kakek lain yang ahli nujum; pun dua bioskop yang tak ada lagi, ruko kayu kami yang ludes dilahap kebakaran 1993, pasar ikan yang dibongkar, dan lain-lain.

Tetapi aku tak mungkin, juga takut, menulis seperti Marquez. Apalagi dalam kondisiku sekarang, ketika hantu lain di hatiku yang begitu ayu itu seperti terus menyeretku ke lubang sumur gelap tanpa dasar. Tanpa kenal belas kasihan.

Dari Living to Tell the Tale serta wawancara-wawancaranya, kita tahu bahwa Don Gabo mengasah teknik menulisnya tanpa kenal jerih; ia mencuri secara kreatif dari Faulkner cara memperlakukan pandangan terhadap dunia sekitar dengan plot yang bertindihan itu, ia terguncang oleh Metaformosis Kafka yang mengingatkannya pada cara neneknya berkisah, dan dari Hemingway ia belajar bahasa yang bening dan telak khas kerja jurnalis.

Tetapi untukku, pencurian kreatif yang berulang-ulang bukanlah jawaban. Ia hanya akan menjebakku menjadi salah seorang epigon yang sudah kebanyakan di Indonesia. Jadi, kupikir pesona Marquez juga hal yang mestinya aku jauhi. Atau jika tidak, bisa jadi aku benar-benar bakal menjelma jadi peracau, alih-alih penulis.

Simbah, temanku, barangkali betul juga. Living to Tell the Tale mungkin memang lebih memukau dari Seratus Tahun Kesunyian. One Hundred Years of Solitude adalah sebuah karya masterpiece; buah kerja keras bertahun-tahun yang melewati kemungkinan demi kemungkinan, percobaan demi percobaan. Tetapi Living to Tell the Tale adalah dongeng tentang proses; cerita bagaimana seorang penulis hidup dan belajar yang ditulis dengan penuh kesadaran, dengan cara seperti menulis fiksi.

Dalam Living to Tale the Tale, Don Gabo menulis tentang dunianya yang riil—tentang kemiskinan dan rasa laparnya, kegagalan demi kegagalan dalam hidupnya, cintanya kepada ibunya yang malang dan gadis cilik 13 tahun yang kemudian menjadi istrinya, perkenalannya dengan dunia sastra, dunia kerja dan pergaulan-pergaulannya dgn para seniman kere, wartawan, dan kaum sosialis, pandangan politik dan kenangannya yang mencemaskan. Buku autobiografi ini adalah sebuah kejujuran perih yang dikemas dengan cara merancang karya fisik. Bahkan siapapun yang membaca Living to Tell the Tale bakal mendapati betapa besarnya keluarga Buendia dan kota fiktif Macondo dalam Seratus Tahun Kesunyian berhutang kepada Aracataca kota sial itu dan kenangan Marquez atas keluarganya.

Namun kaum munafik di sekeliling kita hari ini hanyalah orang-orang tanpa harga diri yang mencoba menciptakan dunia mereka sendiri sedemikian rupa; dengan cara memaksakan khayalan mereka tentang diri mereka kepada orang lain seolah-olah itu adalah nyata. Ini tentunya tak kalah menjijikan dari berita-berita hoax yang kini telah menjadi konsumsi rutin sebagian besar masyarakat Indonesia.

Dan upaya menonfiksikan “fiksi” tentang diri sendiri semacam ini jelas merupakan racauan jenis lain, yang bahkan jauh lebih mengerikan dan menjurus ke arah skizofrenik. Padahal hidup kita seperti juga karya sastra, mestinya bukanlah racauan.

Ah, mungkin aku akan mencoba menulis tentang kaum jenis ini, tentang racauan-racauannya yang menakutkan itu, pada lain unggahan nanti.[]

____________________
*) Sunlie Thomas Alexander memiliki nama lahir Tang Shunli, (lahir di Bangka, Kepulauan Bangka-Belitung, 7 Juni 1977), sastrawan berkebangsaan Indonesia keturunan Tionghoa. Ia dikenal melalui karya-karyanya berupa cerpen, puisi, esai, kritik sastra, catatan sepak bola, dan ulasan seni yang dipublikasikan di berbagai surat kabar serta jurnal yang terbit di Indonesia dan di luar negeri: Kompas, Jawa Pos, Koran Tempo, Media Indonesia, Horison, Suara Merdeka, Jurnal Cerpen Indonesia, Jurnal Poetika, Kedaulatan Rakyat, DetikSport, Jurnal Ruang, Gong, Lampung Post, Bangka Pos, Hai, Nova, Hakka Monthly, dll. Tahun 2016, menerima beasiswa residensi penulis di Taiwan dari Menteri Kebudayaan Republik China Taiwan, dan tahun 2018 menerima beasiswa residensi ke Belanda dari Komite Buku Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Baca Kumcer “Belajar Mencintai Kambing”

$
0
0

Fatah Anshori *

Pada dasarnya manusia memang memiliki perasaan tidak pernah puas. Kerap melupakan apa yang telah dimilikinya: motor butut, televisi tabung 14 inch, ibu yang cerewet, ayah yang super galak, lingkungan yang kumuh, rumah kecil di pinggir kali dan segala hal yang kita anggap receh, inferior juga kerap tidak pernah kita syukuri telah memilikinya. Malah selalu berharap atau mendambakan sesuatu yang belum kita miliki: motor keluaran terbaru dan sedang trend, televisi LED, ibu yang baik dan tidak cerewet, ayah yang sabar dan pengertian, lingkungan yang bersih, rumah besar di tengah-tengah kota dan segala perkara yang kita anggap mewah namun sama sekali belum menyentuhnya alih-alih memilikinya.

Beberapa hari sebelum selesai membaca buku kumpulan cerpen Belajar Mencintai Kambing, Mahfud Ikhwan. Saya menyimak sebuah wawancara yang dilakukan seorang perempuan—saya lupa namanya—dengan Cak Mahfud di Youtube tentang banyak hal yang Cak Mahfud alami selama ia menulis. Tidak banyak memang yang bisa saya ingat, namun salah satu ucapannya yang tidak bisa saya lupakan, kurang lebih seperti ini, “Saya pernah menulis tentang kota, tentang orang-orang kota, namun ketika saya menggali diri sendiri, mencoba mencari apa yang saya miliki, saya menemukan kambing, orang-orang desa dan lingkungannya.” Kurang lebih seperti itu kata Cak Mahfud. Dan tentu saja itu membuat saya berhenti sejenak memikirkan perkara-perkara yang berada di dekat saya. Mungkin selama ini saya kurang peka terhadap lingkungan sekitar, atau barangkali saya kurang menceburkan diri di riuh masyarakat, guyonan juga beberapa persoalan pelik yang kerap saya menganggap masa bodoh dengan semua itu.

Saya kembali mengingat-ingat beberapa buku yang saya anggap bagus dan sempat saya baca, dalam 24 Jam Bersama Gaspar, novel Sabda Armandio. Dalamm novel itu saya bisa melihat suasana kota, komplek, dengan toko Emas dan kehidupan kontemporer anak-anak muda. Meskipun saya mungkin yakin tentang kebohongan cerita tersebut namun dengan kepekaan pada setting, Dio seolah bisa membangun keyakinan bahwa kisah itu benar-benar berlangsung, masuk akal dan membuat saya seakan terbius oleh kebohongan-kebohongan menyenangkan yang telah ia buat. Mungkin kehidupan perkotaan itulah yang Dio alami, sehingga kepekaan-kepekaan terhadap kehidupan perkotaan muncul, seperti kejahatan, atau muslihat-muslihat licik orang-orang kota.

Dalam Belajar Mencintai Kambing, kurang lebih juga sama. Kebetulan saya sendiri juga orang Lamongan, orang desa dan entah mengapa hampir seluruh cerita dalam Kumpulan Cerpen Belajar Mencintai Kambing, sangat dekat dengan keseharian saya sebagai orang desa. Baiklah kali ini saya akan berbaik hati memberikan cuplikan dari cerpen-cerpen Cak Mahfud seingat dan semampu saya.

Moh. Anas Abdullah dan Mesin Ketiknya, Dalam cerpen ini Cak Mahfud menceritakan kisah hidup seorang penulis yang seolah sedan mengalami tekanan psikis, ia dihantui idealismenya sendiri, dihantui kesalahan-kesalahannya selama menjadi penulis. Moh. Anas Abdullah tokoh cerpen kita ini seakan-akan sedang berbicara dengan dirinya sendiri, dengan tekanan-tekanan yang ia alami selama menjadi penulis. Saya rasa puncak konflik dari cerpen ini adalah adegan di mana Moh. Anas merasa jengkel dengan mesin ketiknya sendiri. Menurut saya dalam cerita ini yang paling menarik adalah adegan bagaimana Moh. Anas mengalami tekanan mental merasa jengkel dengan mesin ketiknya dan puncaknya, tokoh kita ini membanting mesin ketiknya. Satu-satunya alat yang ia gunakan untuk menulis dan membuat cerita. Entah mengapa cerita-cerita tentang seorang penulis entah itu cerita pendek atau novel kerap sekali diangkat. Untuk masalah ini Eka Kurniawan memberikan rekomendasi bacaan The Hunger, Knut Hamsun. Dan yang pernah saya baca Tempat Paling Sunyi, Arafat Nur. Dan sebagai penulis Cak Mahfud menurut saya sangat afdol atau maklum dan tidak heran lagi jika ia menulis tentang seorang penulis yang sudah tentu sangat dekat dengan dirinya sendiri, melankolinya.

Jeritan Tengah Malam, Bercerita tentang sebuah kejadian yang akrab dialami petani. Kerusakan ladang Jagung yang disebabkan oleh serangan hewan. Dari keseluruhan cerita bagi saya Jeritan Tengah Malam adalah salah dua yang paling saya ingat dan suka. Cerita ini mengingatkan saya pada cerita-cerita yang dulu kerap saya baca di Koran, ketika pertama kali mengenal cerpen. Saya tidak ingat atau berangkali merasa kurang penting mengingat-ingat tentang judul cerita dan penulisnya. Dalam cerpen ini mungkin yang perlu saya pelajari adalah bagaimana Cak Mahfud membuat cerpen ini mengalami lonjakan alur, yang semula naratornya adalah anak-anak dan masa kecilnya berubah drastis ketika dibagian selanjutnya atau endingnya merupakan narator yang telah menjadi dewasa. Selain itu cerpen ini juga akrab dengan ironi yang kerap orang-orang desa di Lamongan alami, yakni tentang teror hama. Namun agak janggal hama yang menyerang dalam cerpen ini adalah monyet. Satu lagi yang tidak mungkin saya lupa dari cerpen ini adalah cara penggunaan kata dancuk, yang sepertinya sangat macho dan efektif.

Melati, lagi-lagi Cak Mahfud dengan apik menggarap ironi sebuah kampung. Tentang sebuah keluarga kecil miskin yang tak dikaruniai seorang anak. Dan Melati, seekor kucing belang telon perempuan hadir sebagai pusat sorotan yang seolah telah menggerakkan cerita dari awal hingga akhir. Saya suka cara Cak Mahfud menuliskan psikologi seluruh tokoh yang ia bangun. Entah mengapa saya merasa narasi-narasi yang ia pakai sangat pas dan seakan-akan kita merasa itu sebuah realisme dari perasaan yang dialami orang-orang desa, minoritas dan mungkin perasaan para inferior.

Mufsidin Dimakan Kucing, mengangkat sebuah kisah tentang orang gila yang hidup di desa, yang pada kemudian hari ketika ia dewasa harus merantau untuk bekerja, namun ia tidak pernah pulang-pulang. Seseorang mengatakan ia dimakan macan ketika berlabuh di sebuah pulau untuk singgah sebentar. Menurut saya yang menarik dari cerita ini adalah kelincahan Cak Mahfud untuk memberikan hukuman pada si tokoh alias Musidin, yang telah melakukan semacam kesalahan di awal-awal cerita atau masa mudanya. Mungkin ini sama seperti bagaimana kita melihat sebuah karma bekerja. Dan tidak lupa untuk menyinggung humor dalam cerita ini, tidak terlalu banyak tapi entah kenapa sulit dilupakan, arti nama Mufsidin.

Jin-jin Itu Tak Lagi Sekolah, di sebuah sekolah pelosok, terdapat kejadian ganjil. Lima anak jin itu kini ikut bersekolah. Bukankah ini juga cerita yang sangat dekat dengan kehidupan di pedesaan. Cerita tentang setan, tentang demit, jin, jerangkong, atau kejadian-kejadian ganjil lain seperti suara yang memanggil padahal di tempat itu tidak ada orang lain hanya kita sendirian, penghapus papan tulis yang tiba-tiba melayang tanpa ada yang melempar, rok-rok perempuan yang tiba-tiba tersingkap. Hal semacam itulah yang coba Cak Mahfud suguhkan pada kita.

Belajar Mencintai Kambing, bocah angon, begitu istilah orang Lamongan menyebut seorang anak penggembala. Seorang anak laki-laki yang diberi tanggung jawab untuk merawat hewan ternak, dalam hal ini kita membicarakan kambing. Seorang anak yang dibelikan kambing oleh ayahnya sementara ia ingin sebuah sepeda. Dari awal hingga akhir cerita kita akan menyaksikan pertentangan-pertentangan batin yang dialami si anak. Sebenarnya tidak hanya itu dalam cerita ini saya seperti merasa disuguhi suasana kearifan desa berkali-kali. Bagaiaman seorang ayah si anak selalu memberikan tutur yang baik kepada si anak, selalu memberikan jawaban-jawaban yang mampu meredam apa yang dirisaukan si anak penggembala. Dalam cerpen ini saya merasa realitas yang digarap Cak Mahfud sangat kental sekali dan benar-benar apik.

Wadi, cerpen ini memiliki setting yang diciptakan oleh mitologi, gaya bercerita yang membuat saya penasaran apa yang sebenet twlah terjad, Cak Mahfud berhasil membuat sebuah adegan seolah memiliki tanda tanya yang kuat dan menimbulkan rasa penasaran yang berlebihan. Mungkin dari sekian cerpen di buku Belajar Mencintai Kambing, cerpen Wadi ini bisa dikatakan cerpen paling gelap, namun entah mengapa sebagai narator Cak Mahfud tetap tampak santun. Ia melakukan pemotongan-pemotongan adegan yang sekiranya kurang baik untuk dipaparkan ke pembaca, namun tak mengurangi dugaan pembaca akan adegan apa yang telah terjadi, mungkin ini bisa dikatakan sebagai teknik sensor yang santun.

Kambing yang Sempurna untuk Idhul Adha, tentang Naryo seorang penggembala yang mafhum betul dengan kambing-kambingnya. Hingga pada suatu hari kambing yang paling sempurna yang rencananya akan digunakan Naryo untuk berkurban pada hari raya idul adha itu mengalami suatu kecacatan. Tentu saja itu membuat Naryo sangat kecewa dan terpukul. Lalu ambiguitas yang ditawarkan Cak Mahfud sangat kentara sekali, bagaimana Naryo menyikapi rencana berkurban yang gagal itu.

Mata, Bola, menurut saya cerpen terakhir di Belajar Mencintai Kambing ini merupakan cerita yang sangat kompleks dan lengkap, dan sialnya cerpen ini berhasil membuat saya tampak seperti bocah cengeng dan membuat mata saya berair. Cerita yang mungkin akan sulit dilupakan, cerpen ini mungkin hampir serupa dengan novel yang sangat panjang namun dengan kepiawaiannya, Cak Mahfud lagi-lagi berhasil menjadikannya sebagai cerpen, yang pada umumnya memiliki ruang yang terbatas. Namun di cerpen ini benar-benar lengkap menggambarkan kehidupan yang kerap terjadi dan mungkin pernah dialami beberapa orang di negeri ini. Entah bagaimana saya merasa alur yang dibuat, juga beberapa adegan terasa pas, tidak kurang apalagi berlebihan. Ibarat pemahat Cak Mahfud mungkin sudah begitu akrab dengan alat-alatnya dan bagaimana memahat yang tidak sia-sia dan buang-buang waktu namun tetap sempurna di mata para penonton.

Bukankah dari keseluruhan cerita atau cuplikan-cuplikan tadi kita bisa merasakan kedekatan cerita dengan lingkungan di sekitar kita jika kita orang desa.

_____________________
*) Fatah Anshori, lahir di Lamongan, 19 Agustus 1994. Novel pertamanya “Ilalang di Kemarau Panjang” (2015), dan buku kumpulan puisinya “Hujan yang Hendak Menyalakan Api” (2018). Salah satu cerpennya terpilih sebagai Cerpen Unggulan Litera.co.id 2018, dan tulisanya termuat di Sastra-Indonesia.com sedang blog pribadinya fatahanshori.wordpress.com

Puisi-Puisi Nezar Patria

$
0
0

Koran Tempo, 23/10/2016

Di Bioskop Bersama Palasik

Dalam gelap itu kau masih terpekur
di ubun-ubun para penganggur
di leher para pencuri

Lalu di dada setengah matang para peri

”Apakah ada dara pahit berhati manis?“

Tiba-tiba kau mengingat bulan merah jambu
kadang ia mirip gulali di belanga
dalam mimpi bahagia para pekerja

Betapa sakit rindu yang permai
Seperti bibir meraba denyut nadi
di leher seekor punai

Geligi haus darah begitu geram
menanti di antrian pendek
Gigitan sendu yang dalam
dan tak bertakik

Betapa kau ingin kembali menjadi palasik
di kota yang lampunya tak pernah padam
dan orang-orang yang lupa jalan pulang.

2016
Palasik, makhluk pengisap darah dalam cerita rakyat di pantai barat Sumatera.

Bermain Monopoli

Lemparlah dadu itu
dan grafik merangkak
cemas antara kehilanganmu
dan hasrat yang bengkak

Dibenam kertas saham
lihat betapa gairah itu terekam
di meja kasir saat jemarimu runcing
menghitung jutaan lembar kata sayang

Siapa mampu membeli gunung kerinduan
dan mengumpulkan gedung kenangan
adalah yang terkaya pada putaran pertama

Akan selalu ada pajak tanda pengampunan
mendekapmu pada malam
yang begitu jahanam gelapnya

Akan selalu ada tempat berhenti sejenak
di putaran entah ke berapa
saat kamu berdiam pada sebuah kotak
yang tak bisa dipercaya

Lalu sebelum permainan ini digelar lagi
kita diam-diam mencari selembar cina:
ia bisa ditukar sebundel cek tanpa angka

2016

Di Kedai Teh Ah Mei

Bahkan sumpit ini gagal menjumput hatinya
sepiring mi kering memendam jarak
dan sepi menancap di kaki-kaki meja

Seceret teh menyeduh apa saja yang pahit:
Bebunga krisan dan pucuk lotus
Aku meneguknya, menebus semua rindu
dan dosa yang tak terhitung sempoa

Kutangkap senyum Ah Mei di lukisan itu
Ia dimsum hangat yang berdiam di bibirku

2016

_________________
Nezar Patria lahir di Sigli, 5 Oktober 1970. Bekerja sebagai wartawan, dan menetap di Jakarta.
https://klipingsastra.com/id/puisi/2016/10/di-bioskop-bersama-palasik-bermain.html

KEMANUSIAAN BARU UNTUK ZAMAN PASCA-HUMANISME

$
0
0

Djoko Saryono *

Kehidupan yang serba tak terduga, tak pasti, susah diterka, sangat kompleks, dan serba mendua yang sering disebut dunia VUCA (volatility, uncertainty, complexity, ambiguity; VUCA World) menjadi ciri utama Abad XXI sekarang. Dunia VUCA ini terjadi akibat pergeseran, perubahan, dan atau pergantian secara mendalam, fundamental, radikal, eksplosif, eksponensial, lintang pukang, dan menjangkau hampir semua wilayah kehidupan dan kebudayaan (bahkan wilayah yang dulu dipandang suci dan luhur) sehingga tak ada seorang pun mampu menangkapnya secara tepat, holistik, dan komprehensif.

Setiap memetakannya, kita terperangkap dalam dilema “bertukar tangkap dengan lepas” (meminjam larik Amir Hamzah) karena tak ada di antara kita yang mampu mencandra, memetakan, dan menatanya secara utuh dan menyeluruh. Tak heran, para ahli dan pemimpin menamainya dengan bermacam-macam nama selaras dengan fokus perhatian, perspektif, dan paradigma masing-masing, mulai Zaman Revolusi Industri 4.0, Zaman Revolusi Digital, Revolusi Teknologi Informasi dan Teknologi Biologi sampai dengan Zaman Disrupsi dan Zaman Pasca-kebenaran.

Zaman tersebut menampilkan wajah ganda yang multi-polar, multi-arah, dan multi-sektor yang memperlihatkan paradoks, kontradiksi, guncangan dahsyat, irelevansi tingkat tinggi, atau buah simalakama. Eksplorasi dan elaborasi alam semesta yang sebagai bentuk pencarian manusia akan sumber-sumber kelangsungan kehidupan justru menimbulkan katastrofi alam semesta, kekacauan iklim dan kehancuran lanskap bumi.

Pencapaian-pencapaian kerja sains-teknologi yang gemilang (kita anggap) telah membuahkan tatanan kebudayaan dan peradaban baru sekaligus menumbangkan tatanan kebudayaan dan peradaban yang ada sehingga terjadilah retakan atau patahan riwayat kebudayaan dan peradaban. Lesatan kegemilangan prestasi sains dan teknologi, misalnya bioteknologi, telah membajak (meretas atau “membegal”) kodrat kealamian kehidupan, misalnya apa yang disebut “pembegalan kodrat manusia dan kemanusiaan” dari seleksi alam menjadi seleksi teknologi (Hacking Darwin).

Pendek kata, kehidupan Abad XXI pada satu sisi menampilkan surplus luar biasa kemajuan sains dan teknologi terutama teknologi informasi, teknologi digital, dan teknologi biologi yang mengubah drastis lanskap ekologis-kosmis, bumi, dan planeter selain tananan kebudayaan dan peradaban. Tetapi, juga memperlihatkan defisit sangat besar pada manusia dan kemanusiaan pada sisi lain – human dan humanitas, bahkan spesies manusia terterawang memasuki masa kesuraman pada masa depan.

Implikasinya, kehebatan sains dan teknologi harus dibayar dengan kerapuhan, kerentanan, bahkan ancaman “kepunahan” spesies manusia [yang manusiawi]. Tak ayal, kelangsungan dan keberlanjutan manusia dan kemanusiaan di samping kebudayaan dan peradaban berada di ambang bahaya. Seolah serupa nasib dokter Faust dalam karya Goethe, perkembangan sains dan teknologi yang dikatakan demikian hebat dan luar biasa justru menjadikan manusia, kemanusiaan, kebudayaan, peradaban, bahkan bumi tempat hidup manusia di bawah bayang-bayang ancaman.

Di tengah-tengah keadaan demikian sebagian manusia [baca: para ahli dan pemuka sosial] mempertanyakan dan merenungkan kembali berbagai fenomena yang timbul. Selain itu, juga memikirkan dan memaknai untuk kemudian menawarkan pilihan-pilihan yang dapat diikuti dan dipakai manusia untuk membela dan malah menyelamatkan manusia dan kelangsungan hidup manusia selain kelangsungan dan keselamatan alam semesta.

Salah satunya Era Antroposen [Manusia] yang terkesan lepas kendali diperiksa dan ditimbang kembali – kodrat sebagai manusia, makna sebagai manusia, posisi terbaik manusia di bumi, dan keharusan terbaik manusia di dunia dipertanyakan kembali. Human dan humanisme yang ada diperiksa dan dipertanyaan lagi, yang dirasakan sudah tidak memadai lagi.

Selanjutnya ditawarkan pemikiran pasca-human, pasca-humanisme, pasca-humanis, dan juga humanisme baru (numanities, new humanism) di samping trans-human dan transhumanisme. Bukan hanya untuk memahami, menggambarkan, dan memetakan perkembangan dan persoalan yang ada, pemikiran pasca-human, pasca-humanisme, pasca-humanis, dan humanisme baru juga dipandang sebagai alternatif “jamu” adaptabilitas, resiliensi, dan survivalitas manusia, kemanusiaan, kebudayaan, dan peradaban di samping keselamatan alam semesta.

Sebagai bagian tidak terpisahkan dari dunia dan umat manusia yang kini notabene sudah terintegrasi, tentu Indonesia terutama orang Indonesia juga perlu ikut menerawang, memikirkan, dan menawarkan pemikiran tentang pasca-human, pasca-humanisme, pasca-humanis, dan humanisme baru. Seberapa jauhkah kondisi pasca-human, pasca-humanisme, dan humanisme baru di Indonesia? Konstruk dan model pasca-human, pasca-humanisme, pasca-humanis, dan humanisme baru macam apakah yang diperlukan Indonesia, bahkan dapat disumbangkan Indonesia bagi dunia?

Mungkinkah dikembangkan linguistik pasca-human dan pasca-humanis pada satu sisi dan pada sisi lain bisakah dikembangkan aliran pasca-humanisme dan humanisme baru dalam kancah linguistik Indonesia? Mungkinkah dikonseptualisasi dan diformulasikan kritik atau teori sastra pasca-human dan pasca-humanis pada satu sisi dan pada sisi lain dikonstruksi model pasca-humanisme dan humanisme baru dalam kritik/kajian sastra di Indonesia? Ini pekerjaan rumah bagi insan-insan peneroka bahasa dan sastra.

____________________
*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd adalah Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.

Menumbuhkan Minat Sastra Masyarakat NTT

$
0
0

A. G. Hadzarmawit Netti
Flores Pos (Ende), 20 Sep 2012

Artikel ini dimulai dengan sebuah pertanyaan: “Apakah sastra itu bermanfaat sehingga minat sastra masyarakat NTT perlu ditumbuh dan dikembangkan?” Uraian berikut akan mencoba memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut.

Perihal Sastra

Untuk mendefinisikan sastra secara tepat barangkali tidak mungkin, seperti yang ditandaskan Edward Sapir (1949). Perhatikanlah beberapa definisi sastra yang dikutip oleh Rachmat Djoko Pradopo dalam bukunya Prinsip-Prinsip Kritik Sastra (1994, hlm. 32-36). Namun, demi kepentingan penyajian artikel ini, saya mengutip tiga kesimpulan tentang sastra untuk dijadikan sebagai patokan pemerian.

Pertama, sastra adalah “suatu pengungkapan baku dari apa yang telah disaksikan orang dalam kehidupan, apa yang telah dialami orang tentang kehidupan, apa yang telah dipermenungkan, dan dirasakan orang mengenai segi-segi kehidupan yang paling menarik minat secara langsung lagi kuat, pada hakikatnya adalah suatu pengungkapan kehidupan lewat bentuk bahasa” (W.H. Hudson, 1961, hlm. 10).

Kedua, sastra adalah “ciptaan manusia yang dapat membangun imaji tertentu yang dapat memberi kesan terhadap orang lain” (M.S. Hutagalung, 1971, hlm. 22).

Ketiga, sastra adalah “hasil usaha manusia (sastrawan) dalam mencoba mengungkapkan misteri dan kemungknan-kemungkinan dari eksistensi kehidupan manusia. Dengan mempergunakan kata-kata atau bahasa sebagai alat, sastrawan membuat visinya lebih jelas bagi dirinya sendiri dan juga bagi orang lain” (A.G. Hadzarmawit Netti, 1977, hlm. 27).

Ketiga kesimpulan tentang sastra di atas menunjukkan bahwa sastra lahir dari subjektivitas seorang sastrawan, yaitu keutuhannya sebagai pribadi manusia yang mengalami atau mengamati dunia kehidupan yang diliputi misteri dan kemungkinan-kemungkinan. Dengan demikian, sastra bertumbuh pada dan lahir dari keseluruhan kemanusiaan seorang sastrawan: baik pancaindra, imajinasi, intelek, cinta, napsu, naluri, darah dan roh.

Mengenai faktor subjektivitas seorang sastrawan yang menjadi pusat lahirnya sastra, Rudolf Otto menjelaskan sebagai berikut: “Seorang sastrawan memiliki sense of mystery, yaitu perasaan, kesadaran, indera yang melampaui perasaan, kesadaran dan indra manusia biasa. Selain itu, sastrawan juga memiliki religious experience, yaitu pengalaman eksistensial yang meliputi seluruh keadaan manusia.

Dengan pengalaman eksistensial ini sastrawan sebagai visioner sanggup melihat dalam pluralitas dan kompleksitas alam kabir (makrokosmos) satu-kesatuan. Dan dengan sense of mystery, sastrawan digugah dan didorong untuk membahasakan segala sesuatu yang dilihat, dialami, dan dirasakan untuk dirinya sendiri dan juga untuk orang lain sesamanya” (Das Heilige 1917; John W. Harvey, 1959, hlm. 23,26).

Dengan sense of mystery dan religious experience itulah, Ronggowarsito berkata: “Seorang sastrawan senantiasa prihatin turut memikirkan dunia. Sastrawan senantiasa mencari arti dari yang ada, memikirkan suka-duka manusia yang kompleks. Sastrawan bukan orang yang pandai memainkan kata-kata, melainkan orang yang merenung, orang yang lebih sadar akan misteri dunia dan mampu mengatakannya dengan tepat” (Th. Koendjono, SJ, Agama dan Sastra, 1971, hlm. 47). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sastra sebagai seni merupakan rekaman isi jiwa sastrawan yang mengenal, mengalami, dan merangkul dunia kehidupan yang diliputi misteri dan kemungkinan-kemungkinan. Sastra sebagai rekaman isi jiwa sastrawan sebagaimana dikatakan di atas ini merupakan ekspresi dan interpretasi kehidupan, sekaligus merupakan dialog.

Apakah Sastra Bermanfaat?
Mengenal, menikmati, dan menjalani pengalaman sastra dari hasil bacaan setumpukan buku-buku sastra memang tidak punya kegunaan praktis langsung. Pengenalan, pemahaman, dan pengalaman sastra tidak serta-merta menjadikan seseorang terampil dan dapat menerapkan pengalaman sastranya itu dalam mengerjakan suatu pekerjaan.

Perlu disadari bahwa sastra itu bermanfaat. Bermanfaat untuk perkembangan daya-daya roh atau aspek-aspek spiritual manusia. Bertambah tajamnya kepekaan batin, semakin baiknya perkembangan kerohanian, semakin terang dan hidupnya kegiatan intelek (akal budi, daya pikir), serta semakin baiknya fantasi. Manfaat-manfaat ini setiap orang bisa memperolehnya dari ketekunan mengakrabi sastra, sehingga sastra menjadi bagian yang seolah-olah tidak terpisahkan dari hidupnya.

Manfaat sastra berkenaan dengan fantasi, Harvey Cox berkata: “Fantasi adalah imajinasi yang dikembangkan dan diteruskan mengatasi struktur kenyataan sehari-hari. Agar fantasi itu dinamis dan kreatif, maka fantasi itu harus selalu berpangkal dari kenyataan dan pulang ke kenyataan” (Feast of Fools, 1969). Perlu dicatat di sini bahwa fantasi yang pada mulanya berpangkal pada kenyataan tetapi tidak pulang ke kenyataan, dan fantasi yang tidak berpangkal pada kenyataan adalah “khayalan kosong” atau “lamunan kosong” yang meracuni pertumbuhan aspek-aspek spiritual.

Selanjutnya, Mary Harrington yang mengutip hasil penelitian Bradbury mengatakan: “Bakat berfantasi merupakan bakat untuk hidup. Penemuan-penemuan baru sering diakibatkan karena fantasi, inspirasi atau ilham” (Psychology Today, Vol I, Nomor 1, 1968, hlm. 28,37). Dan J.R.R. Tolkien mengemukakan bahwa “Fantasi tidak merusak akal budi dan tidak mengeruhkan ketajaman pengamatan ilmiah. Makin baik fantasi seseorang, makin terang dan hidup kegiatan inteleknya. Dan semakin terang dan hidup kegiatan intelek seseorang, semakin baik pula fantasinya” (Tree and Leaf, 1964).

Menurut hasil penelitian dua orang sarjana Prancis, Roger Fretigny dan Andre Viler, “Fantasi memainkan peranan sentral dan menentukan dalam perkembangan psikis manusia. Ada empat macam kesadaran manusia, yaitu kesadaran imajinatif, kesadaran reflektif, kesadaran aktif, dan kesadaran kontemplatif. Dan fantasi adalah contoh pertama dari kesadaran imajinatif. Tanpa fantasi maka daya pemikiran kita yang kerja secara diskursif akan menjadi pincang dan terkurung dalam sebuah sistem yang tertutup dan beku. Tetapi dengan fantasi, hidup manusia seutuhnya akan bergerak menurut suatu ritme tertentu antara kenyataan dan harapan” (L’imagerie Mentale, 1968, hlm. 21). Uraian yang lebih luas mengenai fantasi dan imajinasi dapat dibaca dalam buku saya yang diterbitkan oleh Penerbit B You Publishing, Surabaya, berjudul Sajak-Sajak Chairil Anwar dalam Kontemplasi (2011, hlm. 179-243).

Berdasarkan pandangan-pandangan di atas, maka manfaat sastra bagi pertumbuhan dan perkembangan aspek-aspek spiritual manusia tidak boleh diremehkan dan dimarginalkan. Sastra seyogianya diminati dan diakrabi, sebab sastra dapat menjadi santapan rohani yang memperjelas, memperdalam, memperkaya pemahaman dan penghayatan manusia terhadap kehidupan.

D. H. Lawrens berkata, “Good literature helps us to understand not only ourselves but others, whereas bed literature gives a false and misleading view of human relationships” (Useful Literature, hlm. 96) (Cipta sastra yang baik membantu kita bukan hanya untuk memahami diri kita sendiri melainkan sekaligus untuk memahami orang lain sesama kita, sedangkan karya sastra yang buruk memberikan pandangan yang semu dan keliru tentang hubungan antarsesama manusia).

Jack Gilbert, seorang penyair kontemporer Amerika, ketika berkunjung ke Jakarta pada tahun 1975 mengatakan, “Poetry, for me, is a witnessing to magnitude. It is the art of making urgent values manifest, and imposing them on the readers” (Puisi bagiku adalah suatu penyaksian terhadap kedalaman makna. Puisi adalah seni yang menjadikan nilai-nilai yang dimanifestasikan punya arti penting, serta membuatnya bermakna bagi pembaca).

Mengakrabi Sastra
Menyadari betapa bermanfaatnya sastra bagi perkembangan aspek-aspek spiritual maupun bagi kehidupan sebagaimana dikemukakan di atas, maka seyogianyalah sastra diakrabi. Menurut hemat saya, dan inilah yang mendarahdaging dalam kehidupan saya yang telah berusia di atas tujuh puluh tahun, langkah awal ke arah mengakrabi sastra adalah “minat” atau “suka.” Orang yang tidak berminat atau tidak suka pada sastra, dengan sendirinya tidak akan mempedulikan sastra. Sedangkan orang yang berminat atau suka pada sastra niscaya sangat mempedulikan sastra, dan selalu akrab dengan sastra.

Tempat pertama yang paling baik dan terarah untuk menumbuhkembangkan minat sastra adalah sekolah. Melalui pengajaran sastra yang bertujuan mengembangkan kepekaan siswa terhadap nilai-nilai indrawi, nilai akali, nilai afektif, nilai sosial, atau pun gabungan keseluruhan nilai-nilai itu, maka guru yang akrab dengan sastra dapat menumbuhkembangkan minat sastra pada siswa. Dalam perkembangan selanjutnya, siswa yang telah berminat pada sastra niscaya akan terus mengembangkan minat sastranya secara sendiri-sendiri, sekalipun ia mengalami putus sekolah atau putus kuliah.

Langkah kedua adalah membaca, mempelajari, dan mendalami sastra. Pada tingkat ini, pembaca mulai menghargai sastra, dan mengagumi sesuatu yang tidak terkatakan di balik relung-relung kehidupan yang tersirat dalam karya sastra yang dibaca. Dan ini akan menuntunnya kepada langkah ketiga, yaitu keterlibatan jiwa, lebih tepat disebut keterlibatan segenap daya-daya roh atau aspek-aspek spiritual, antara pembaca dan sastrawan, atau antara pembaca dengan tokoh tertentu maupun peristiwa tertentu yang dikisahkan dalam karya sastra yang dibaca.

Langkah-langkah ke arah mengakrabi sastra sebagaimana dijelaskan di atas ini merupakan suatu proses yang saling berhubungan secara aktif dan dinamis. Semakin tinggi minat sastra seseorang, semakin tekun pula orang itu membaca karya-karya sastra yang diminatinya. Dan bersamaan dengan itu, proses perkembangan segenap daya-daya roh atau aspek-aspek spiritual orang itu semakin baik dari waktu ke waktu.

Langkah keempat adalah mengungkapkan penghayatan dan pengalaman sastra yang diperoleh dari ketekunan mengakrabi sastra. Langkah ini dapat dilakukan melalui forum pembacaan puisi (bagi siswa SD, SMP, SMA, mahasiswa); pembacaan puisi, dialog dan diskusi (bagi siswa SMA dan yang sederajat); pembacaan puisi, dialog, diskusi, dan seminar sastra (bagi mahasiswa dan peminat sastra luar kampus perguruan tinggi).

Forum-forum ini merupakan kegiatan yang positif dalam menumbuhkembangkan minat sastra ke arah semakin mengakrabi sastra. Dan menulis artikel-artikel yang bercorak kontemplasi sastra atau kritik sastra, kemudian dipublikasikan di koran-koran yang menyediakan rubrik sastra, merupakan aktivitas yang secara positif menunjang upaya menumbuhkembangkan minat sastra ke arah mengakrabi sastra bagi masyarakat pembaca secara luas, teristimewa bagi generasi muda di Provinsi NTT ini.

Terkait dengan upaya menumbuhkembangkan minat sastra masyarakat NTT ini, saya patut memberikan pujian kepada Yohanes Sehandi yang telah menghasilkan sebuah buku berharga berjudul Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT (2012) yang diterbitkan Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Kehadiran buku Yohanes Sehandi ini sangat positif dalam upaya menumbuh kembangkan minat sastra di daerah ini. Atas petunjuk buku ini masyarakat NTT, terutama generasi mudanya, dapat mencari untuk menemukan, lalu membaca karya-karya sastra yang ditulis oleh sastrawan-sastrawan NTT yang namanya disebutkan dalam buku ini. Saya harapkan pula agar pada hari-hari mendatang akan muncul kritikus-kritikus sastra di daerah NTT ini yang dapat menerbitkan karya-karya mereka, sebab peranan kritikus dan kritik sastra sangat berarti bagi pertumbuhan dan perkembangan sastra di Provinsi NTT ini.

*) Pengamat Sastra dan Budaya NTT.
http://yohanessehandi.blogspot.com/2012/12/menumbuhkan-minat-sastra-masyarakat-ntt.html

Pembacaan lain “Senarai Pemikiran Sutejo”

$
0
0

Senarai Pemikiran Sutejo
Judul: Senarai Pemikiran Sutejo (Menyisir Untaian Kata, Menemukan Dawai Makna)
Penulis: Sutejo
Prolog: Prof Dr Soediro Satoto
Epilog: Nurel Javissyarqi
Penyusun: Masuki M. Astro dan Nurel Javissyarqi
Penerbit: Spectrum Center Press dan Pustaka Felica
Halaman: xvi + 922; 15 cm x 23 cm
ISBN: 978-6021-96-100-1
Tahun: Cetakan I, Januari 2013

Epilog: Pembacaan lain “Senarai Pemikiran Sutejo”
Nurel Javissyarqi *

Sebelum jauh, maafkan wahai pembaca. Lantaran saya menulis ini agak-agak sakit kepala, maka hanya sebatas rasa. Namun impiannya, tak mengurangi yang menjadi takdirnya!

Tadi sore seperti hari-hari kemarin, mengisi waktu luang di warung kopi Tanah Merah, dekat jalan baru Ponorogo. Terkadang membawa buku bacaan, pun berdiskusi dengan kawan-kawan pergerakan di sana. Hari tadi tidak, karena batin tengah dirajam batu-batu putus asa. Hal itu mengingatkan beberapa tahun lalu, masa silam pernah mengalami perihal demikian kering melanda. Dalam jurang keterpurukan, sukma menarik-narik pekabutan keberuntungan entah apa wujudnya, seiring berharap keajaiban, selepas ditimpa awan ngelangut mendera. Malamnya menemukan jawaban, yakni diminta menuliskan epilog. Kegirangan lain sebagai pengelana, bisa bareng dengan Prof. Dr. Soediro Satoto yang memberi Prolognya.

Buku ini saya susun bersama wartawan senior Antara, Masuki M. Astro yang beberapa bulan kemarin baru kenal, langsung dekat atas keakrabannya bersahabat. Tapi sejak awal, tiada tampak bayang melintasi ubun-ubun akan ketetapan-Nya, di mana saya nanti menuangkan kata penutupnya. Barangkali ini salah satu jawaban -beberapa bulan lalu penasaran- kenapa hijrah di bumi Reog kembali. Yang sepintas pada kedangkalan penglihatan kasar saya sejenis belunder bolabekel, sebab tahun 2001 pernah tinggal di Gebang Tinatar, Tegalsari, Jetis, kala menapaki jejak putih pujangga agung R.Ng. Ronggowarsito. Selebihnya saya serahkan kehadirat-Nya sambil menghaturkan munajat, “Hasbiyallahu wa ni`mal-wakil, ni`mal mawla wa ni `man-nashir. La haula wala quwwata illa billahil `aliyil adzim.” Artinya, “Cukuplah Allah bagiku. Dan Dialah sebaik-baik yang menjamin, sebaik-baik yang mengurus, dan sebaik-baik yang menolong. Tiada daya dan tiada kekuatan melainkan dengan pertolongan Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung.”

Puja-pujian itu menuntun ke titian ungkapan pujangga Surakarta di dalam Seratnya Wirid Hidayat Jati yang bunyi senandungnya semampai tegas melestari: “Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor.” Makna bebasnya, “Manakala detikan takdir telah terpastikan, maka tiada yang sanggup menghentikan.” Selaksa malam kini Tuhan menancapkan keyakinan lebih dalam lagi, selesatan langkah menapaki ketinggian gunung berangin tipis menyulami rongga dada, oleh hukum pengurangan dari percepatan, bagi aturan keseimbangan di atas sesuatu yang fana.

Memasuki dunia Sutejo, pencetus teori Etno Sufustik dalam disertasinya. Saya bertemu sapa awal kali dengannya tertanggal 8 Juni 2008 di Bojonggede kediamannya kritikus Maman S. Mahayana. Di Paseban, Bojonggede, Bogor, saya mengenal pribadi Sutejo begitu enerjik serta menarik. Pula jadi mengetahui kritikus Mahayana tidak hanya tekun menulis kritik sastra juga ahli memasak. Kepandaian memasak pun ada di diri Sutejo, terlihat ketika kian akrab di tlatah Batoro Katong ini. Keduanya sosok penulis produktif nan berkualitas dalam karya-karyanya. Ngelengake guru saya sewaktu nyantri di Denanyar, Jombang, K.H. A. Aziz Masyhuri selama tiga tahun saya mengamatinya secara ‘sembunyi-sembunyi.’ Beliau jarang tidur atau dalam putaran waktu 24 jam sehari semalam, seperti hanya istirah barang dua atau tiga jam. Selebihnya membaca kitab, mengajar di madrasah, menulis karangan, beribadah, menyusun buku, menghadiri undangan. Ini membuat ngiri saya sebagai pemuda yang kerap lena membuang waktu percuma. Ketekunan, kesuntukan, ketundukan di hadapan keilmuan sebagai pencari hakikat, mencambuk diri saya untuk senantiasa bersemangat.

Membaca Senarai Pemikiran Sutejo, seolah menyaksikan pegunungan berdiri subur lebat pepohonan hijau penalaran, mata air permenungan menuruni kaki-kaki pebukitan waktu, lereng tangga-tangga hayati, menyenandungkan nyanyian di lembah-lembah kemanusiaan. Dirinya tak kehabisan sumber hidup, atau berdaya nalar kehidupan luar biasa yang dikeruk dari para pemikir dunia, sehingga energinya melimpah ruah sepanjang lencungan ruhaniahnya berkecambah, serta membaharui kekupasan kulit ari bawang merah temuan-temuannya.

Saya terhentak menerima dalam, kian takjub membacanya pelahan-pelahan. Di mana anak-anak kalimatnya mengajak berpelesiran dengan kegelisahan yang selama ini menjadi ruapan-gugusan pemikirannya. Seperti menyaksikan luapan uap mata air pegunungan tropis di tanah air pertiwi, akrab menggoda melayari pandangan menggumuli kilatan daya nalarnya mendapati keajaiban nilai-nilai. Menemukan kidung belum terdengar, atau dulunya samar mencapai penjelasan menawan. Mungkin itulah jalur sumbu kekayaaan batin tersembunyi dari ketabahan pencarian anak manusia, sampai Tuhan Yang Maha Esa menganugerahi kelebihan berbeda. Dan kita seyogyanya menimba dengan dada terbuka lapang yang memungkinkan menerima ricik-gemericiknya terserap senada rasa.

Mendapati kepribadiannya kuat menstupa pada lembar-lembarannya. Saat mengingatnya ada kekhasan dalam, keuletan saya kenal. Kala menjelajahi medan pengembaraan penelitiannya, dihadapkan sosok sudah layak menyandang doktor. Atau gelar doktor nan diraih itu selayang keterlambatan, jika mengamati bebulir pemikiran, pancangan gagasan, tonggak kepahamannya. Laksana iman diperturuti sejauh ikhtiar keyakinannya meneliti soal-soal hayati.

Lagi-lagi jiwa ini terhentak mendalami jalan-jalan lembut penelusurannya. Ia tak hanya sanggup seimbangkan laguan lahir-batin alam kandungan hayat, juga alam-alam lain yang kini jarang yang menjamahnya. Serta mampu menghidangkan berderajat sederhana, maka pembaca mudah peroleh kesegaran diterimanya. Buah-buahan ranum menggelantung rendah menyentuh mata, oleh kematangan musim-musim dalam menyenandungkan peri kehidupan.

Kehadiran dari akar Ponorogo, daerah tak diperhitungkan di Jawa Timur sendiri dalam percaturan intelektual, pun denyut nadi kesusastraan. Tapi dengan buku tebal ini ibarat kelopak-kelopak mawar menantang siapa saja yang pernah abai atau sengaja tak mencatatnya. Kini atas kepurnaan membaja mengguratkan di lelembaran sejarahnya sendiri. Segerak sepontanitas tumbuh dari tumpukan waktu dikucilkan. Yang pelahan pasti menyiapkan parade kesadaran, derap langkah tinta keyakinan dari laluan kembara yang disetiai. Sutejo menyanggongi siapa pun datang, dan telah terbukti pada lawatan sebelumnya lewat satu lusinan buku yang diterbitkan. Ini semacam pukulan telak bagi mereka, bukan lemparan dadu, kartu remi, tapi brondongan revolver memandekkan jantung para pembaca dengan kekhusukan. Kecuali bagi yang masih menganggap ringan. Tetapi dapat dipastikan terlibas oleh wataknya sendiri yang meremehkan kemungkinan terjadi!

Maka ruang-waktu yang tak diperkirakan mereka, membetot jatah mencipta perhitungan sendiri! Segaris perencanaannya terbit dari longsongan gairah purba, keseluruhan tekat membulat, kepenuhan kemauan mengepung lelangkah lawan bicara di medan laga memahat kayu jati takdir kemenangannya. Separas ungkapan lama saya, “Niat ibarat magnet yang sanggup menarik jarum ke dekatnya, dan menggetarkan lempeng besi walau mata tak menyaksikannya.” Ketika niat ditempa lelaku, dalam perjalanannya mendiami reruang hitung, wewaktu permenungan sedalam prosesinya menanak jalan setapak keyakinan atas ketundukan ruang-waktu lebih besar. Atau setiap ketentuan yang menjelma ketetapan, dipanasi perubahan takaran ‘menjadi,’ sejauh kasih sayang-Nya memayungi.

Jika masih dianggap tak. Maka masa abadi, waktunya para hantu atau tempo di balik sejarah kian menjalar merajalela merangsek, seasap tebal mengepung menutupi tatapan mata. Atau kabut pepagi tumbuh dari dasar gairah sungai-sungai malam yang mengabarkan kehangatan, menjadikan dirinya menyebar menyeruak harum. Dengan sendirinya kejayaan masa lalu terangkat karena diuri-uri (dirawat) penerusnya. Bencah tanah Hasan Besari balik menghijau muda sewujud kepurnaan kehendak. Tumbuhlah rerumputan kesetiaan, ilalang kerinduan, pepohonan membuahkan keilmuan segar di atas kekangan musim kemarau silam.

Karena catatan ini bersifat kemendadakan, maka saya jumput yang seirama perkataan G.W.F. Hegel di bukunya The Philosophy of History: “Jika, sebagaimana dalam kasus Caesar, dia memiliki derajad yang agung di antara para jenderal ataupun negarawan, itu merupakan usaha dengan tujuannya sendiri yang merupakan sejarah.” Lalu terngiang-ngiang yang pernah diwedarkan Sutejo dalam mengisi pelatihan jurnalistik untuk para guru se-Ponorogo bulan lalu, kurang-lebih: “Ketika kita keras terhadap hidup, maka kehidupan bersikap lunak kepada kita, dan ketika kita lembek terhadap hidup, maka kehidupan akan menghantam perjalanan nasib kita.” Bahasa lain yang saya pergunakan, “Kita patut menghajar diri sendiri, sebelum memberi pelajaran kepada sesamanya.”

Buku Sutejo ini bentukan menghajar diri sendiri, bergelut halus dengan putaran waktu selama 23 tahun yang terekam kuat. Begitu jenak menyenggamai perubahan hawa udara pemikirannya. Paras pesona jiwanya silih berganti bak pelangi mewarnai hayatnya meremaja. Membuat saya kagum, ia tak hanya lihai menarikan jari-jemari melalui tulisan cerdas, juga mempuni berucap kata-kata. Setidaknya sudah dikenal sebagai motivator ulung se-karesidenan Madiun, dan saya tak segan belajar darinya. Di samping cerdik memasuki kelas-kelas sosial di masyarakat, menyusupi pepintu permasalahan yang meminta pencerahan sedari persoalan menjerat. Ini saya saksikan setiap kali makan di warung-warung sederhana, di Spectrum pula di kediamannya. Ringkasnya, sosok Sutejo memiliki kepribadian komplit yang jarang terjumpai di dunia para penulis. Selanjutnya dapat dibaca keleluasaan pribadinya di sini.

Akhir kata, “Genggamkan es batu kuat-kuat, maka akan peroleh hawa kepanasan dari hukum lipatan dingin sebelumnya!”

27 Nopember 2012
13 Suro 1946 Jawa (13 Muharram 1434 H) Ponorogo.
*) Pengelana asal Lamongan, di antara antologi puisinya “Balada-balada Takdir Terlalu Dini,” “Kitab Para malaikat.”

Bacaan terkait:
http://sastra-indonesia.com/2013/06/untaian-pemikiran-inspiratif-penulis-pedalaman/
https://sastra-indonesia.com/2013/07/pengantar-dan-mutiara-kasih/

Resensi: http://sastra-indonesia.com/2013/08/kompleksitas-problematika-kehidupan-dalam-apresiasi-dan-solusi/


HUJAN DAN MALAM PELABUHAN MUNCAR

$
0
0


(Pelabuhan Kampung Ujung, Muncar di Senja Hari, Foto Aditya Prayuga)
Taufiq Wr. Hidayat *

Apa yang dapat kau hikmatkan lagi dari lautan yang menyimpan ikan? Apakah hidup selalu membutuhkan hikmat? Apakah hidup—pada sekali jenak, senantiasa membutuhkan makna? Setangkup sepi masih mendiami tepi. Kau bayangkan percintaan yang kelam, patah hati, dan sendiri. Perahu-perahu kecil terus bertahan mencari ikan, sebentar akan lenyap disaput kabut. Bukan laut ganas yang ditakutkan, tapi harga ikan. Ikan datang, murah. Ikan langka, tak memenuhi kebutuhan. Bukan cuaca ialah malapetaka, tapi limbah. Konon ada dongeng perihal “pipa-pipa siluman” entah di sebelah mana, secara gaib menyemburkan limbah ke dasar lautan. Tiba-tiba air laut mengental seperti lendir. Pabrik terus mengolah ikan. Tapi ikan-ikan rasanya tak mudah didapatkan dari pelabuhan tua itu. Pelabuhan tak lagi seperti dulu. Dulu kala katanya, ikan-ikan mengalir melimpah. Lautan bersih tak dilahap ambisi. Kini ikan makin langka. Dan susah. Banyak perahu besar bangkrut. Sedang limbah, sedang tambang emas di Tumpangpitu, sedangkan sampah diduga kuat membuat ikan tak kerasan. Sementara langitmu masih saja biru, kata lagu. Orang-orang berbahu kekar, termangu di situ. Angin lewat selintas, tatkala senja yang tangkas, tanpa berhenti sekadar tanya perihal air mata yang membayang gerimis, pada segala isak dan segala tangis.

Lampu-lampu dinyalakan. Petang. Dan orang-orang menyalakan lagu-lagu bising dari warung-warung itu. Para remaja menanti malam, tanpa mengerti kepedihan laut. Hari-hari dilalui saja tanpa tanda tanya. Ada kemiskinan dan kebodohan. Ada masyarakat yang selalu dipermainkan kekuasaan mengerikan dari balik kepentingan-kepentingan besar, mencengkeram secara fisik dan metafisik sampai ke balik celana dan mimpi-mimpi. Kalimati, kata orang. Ada sampah dan limbah. Racun menggenang. Gelisah semesta mengalir tersendat, menuju samudera. Di tempat yang bernama Brak, ikan-ikan dijual. Becak-becak bermesin mengangkutnya. Itu pasar ikan yang menyediakan ikan segar dan yang asin. Ombak laut menggemuruh. Tapi seolah kosong. Mata kail dan mata jaring kesepian. Bisikan Chairil dari “Senja di Pelabuhan Kecil”nya yang mashur itu, terdengar di sini; “kapal, perahu tiada berlaut/menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut,” ujarnya. Setelah kepak burung elang dilihatnya telah “menyinggung muram”. Tapi Pelabuhan Muncar bukan pelabuhan kecil. Ia memiliki ikan yang merupakan deretan besar di dunia, juga sampah yang terbesar di dunia. Tapi siapa yang akan kau kutuk? Bukankah semua selalu berawal dari kesewenangan kekuasaan, ambisi yang tak bertepi?

Tapi sudahlah. Sesalkan saja apa yang ingin kau sesalkan. Tetapi manusia yang masih wajar, selalu tak mungkin diam ketika rasa sakit mendera. Setidaknya ia telah dan terus menerus menjeritkan rasa sakitnya pada semesta raya.

Sekarang hujan turun di Pelabuhan Muncar. Aroma lautan. Rumah-rumah yang pintunya bersalaman dengan ombak. Jalan-jalan gelombang. Menara-menara. Gedung-gedung sepi dan kehitaman. Laut yang dipagari batu-batu, dijadikan daratan yang menyimpan tempat bernyanyi dan rekreasi. Pada malam, ada minuman keras. Ada kenyataan yang ingin dihindarkan atau ditinggalkan saja. Ada orang-orang yang membanting kartu, bagai membanting nasib dan kecemasan yang tak terpecahkan. Sedang ayat-ayat suci masih terus diperdengarkan dari pengeras-pengeras suara, bersaing ketat dengan suara dangdutan dan lagu-lagu rohani yang dipentaskan. Alangkah bisingnya udara. Dan lelah mengendap ke balik senyap segala harap. Anak-anak kecil tumbuh, berlari hendak meraih masa depan. Dan kekuasaan yang mengerikan itu, harus memainkan sulapan, supaya manusia selalu bergairah menjelma sesosok makhluk yang hanya memerlukan surga setelah kehidupan, yang cuma dimabukkan oleh agama dan hiburan, agar kenyataan tak perlu dipersoalkan.

Dan di sana, sepi adalah sesuatu yang lain. Dan malam adalah sesuatu yang lain lagi.

Kampung Ujung,
Pelabuhan Muncar, 2020

_______________________
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab IBlis” (PSBB, 2018), “Agama Para bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.

Membaca: Apresiasi & Proses Kreatif Menulis Puisi

$
0
0


Fatah Anshori *

Sejauh yang saya tahu atau alami membaca puisi tidak seperti membaca opini, berita, novel, atau jenis-jenis lainnya. Jika tidak terbiasa mungkin kita akan lekas pergi dan meninggalkan puisi-puisi yang kita baca. Kadang saya merasa membaca puisi hampir sama dengan pengalaman spiritual, butuh kekhusukan dan penjiwaan.

Dalam buku Soni Farid Maulana, ini kita akan mengetahui seluk-beluk puisi. Sebenarnya saya menemukan buku ini secara tidak sengaja terselip di rak sastra Perpustakaan Daerah Lamongan. Kadang saya berasumsi bahwa perjumpaan saya dengan buku, memang sudah ditakdirkan oleh Yang Di Atas. Sebab saya menemukan buku ini memang ketika saya ingin tahu lebih banyak tentang isi-isi puisi.

Sebelumnya saya tidak pernah mendengar nama Soni Farid Maulana, boleh dikatakan saya sangat asing dengan nama itu. Namun bagaimanapun saya harus berterima kasih banyak pada beliau, karenanya saya dapat mengerti sedikit lebih banyak tentang isi-isi puisi.

Sebenarnya buku ini semacam kritik umum yang ditulis untuk masyarakat umum yang mencintai sastra utamanya puisis, sehingga bahasa yang digunakan juga sangat sederhana dan mudah dipahami. Menurut saya buku ini sangat cocok bagi para otodidak yang ingin mengerti lebih banyak tentang puisi. Bagaimana pertamakali puisi dituliskan dan apa nama bentuk-bentuk kalimat yang menjadi larik-larik puisi.

Dalam menulis puisi dibutuhkan imajinasi, disebutkan didalam buku ini bahwa imajinasi mempunyai peranan yang sangat penting dalam merealisasikan gagasan, ide, maupun perasaan estetik yang ditulis dalam karya sastra. Saya merasakan imajinasi merupakan unsur yang tidak bisa dilupakan, imajinasi kerap membantu saya menemukan tempat-tempat baru, semacam utopia atau distopia. Mungkin bentuk-bentuk semacam ini bisa kita temukan di sebagian besar puisi Afrizal Malna, bahkan juga di cerpen-cerpennya.

Di buku ini Soni Farid Maulana juga mengenalkan berbagai nama yang turut mempengaruhi perkembangan puisi di tanah air, semisal Amir Hamzah, Chairil Anwar yang juga banyak mempengaruhi Soni dalam kiprah kepenyairannya. Diakui oleh Soni puisinya yang berjudul Kamar dan Di Pemakaman banyak terpengaruh oleh gaya Amir Hamzah dan Chairil Anwar. Ada juga W.S. Rendra yang mengaku puisi lahir dari pengalaman yang dihayati, Wing Kardjo yang juga pernah menulis haiku, beliau juga menggarap puisi dari berbagai tema dan variasinya. Ada pula Saini KM dengan Mawar Merah-nya, buku kumpulan puisi pertama dan terakhirnya. Saya tidak mengerti banyak tentang Saini KM hanya saja di buku ini ia begitu banyak mendapat penghargaan kepenulisan. Ia tidak hanya menulis puisi tetapi juga cerpen, naskah drama, dan esai.

Kemudian di dalam puisi ada pula Gerakan Puisi Mbeling yang dipopulerkan oleh Remy Sylado. Puisi Mbeling atau juga Puisi Nakal ini diberikan tempat dalam majalah Aktuil pada tahun 1972-1973, dikatakan konsep estetik dari puisi ini adalah pemberontakan terhadap rezim Orde Baru yang feodal dan munafik pada satu sisi, dan pada sisi lain pemberontakan terhadap arus besar puisi lirik seperti yang banyak dijumpai dalam majalah sastra Horison. Meskipun seperti itu dalam penulisan puisi Mbeling bahasa harus diatur dan dipilih-pilih sesuai dengan stilistika yang baku, begitu kata Remy Sylado.

Masih banyak nama-nama lain yang dibahas Soni Farid Maulana dalam buku ini, termasuk Arifin C. Noer yang mungkin lebih kita kenal karena naskah dramanya dibalik itu puisi-puisi yang ia tulis juga tak kalah indahnya. Oka Rusmini, Acep Zamzam Noer, Sinta Ridwan. Pada dasarnya setiap penyair mempunyai gayanya masing-masing.

Pada akhirnya membaca buku ini seperti telah membuka lebar mata saya, bahwa penyair di tanah air ini begitu banyak, menulis puisi tidak hanya menulis puisi ada kaidah-kaidah yang harus diikuti dari tradisi kepenyairan tanah air, meski pada akhirnya tugas penyair adalah menemukan gaya ungkapnya sendiri dan membuat khasanah puisi tanah air semakin kaya. Namun saya menyadari untuk mencapai level tersebut kita harus mendaki level-level dibawahnya, sebagaimana kita tidak mungkin berada dilantai 3 tanpa melewati lantai 2. Sebagaimana kita tidak bisa merangkai kata sebelum hafal abjad. Semuanya harus melalui tahap-tahapnya. Entah berapa lama mencapai titik itu saya saya sendiri tidak tahu. Tapi berkat buku ini saya merasa apa yang saya kerjakan selama ini sudah berada dalam jalur yang benar.

_____________________
*) Fatah Anshori, lahir di Lamongan, 19 Agustus 1994. Novel pertamanya “Ilalang di Kemarau Panjang” (2015), dan buku kumpulan puisinya “Hujan yang Hendak Menyalakan Api” (2018). Salah satu cerpennya terpilih sebagai Cerpen Unggulan Litera.co.id 2018, dan tulisanya termuat di Sastra-Indonesia.com sedang blog pribadinya fatahanshori.wordpress.com

Kentrung, Warisan Sastra Lisan

$
0
0

(Menjadi Delmantrung untuk Melawan Kematian)


Rodli TL *

Sastra lisan adalah karya sastra yang disampaikan melalui ucapan baik dengan kemesan seni pertunjukan atau di luar darinya. Sastra lisan merupakan kekayaan yang paling banyak yang diciptakan oleh nenek moyang yang terus-menerus ditransformasikan secara lisan kepada generasinya. Awalnya sastra lisan ini berkembang pada masyarakat yang memang belum mengenal tulis, namun tetap terus berkembang walau dalam perkembangan masyarakatnya mulai mengenal tulis. Perkembangannya dengan berbagai macam kemasan, salah satunya dengan kesenian yang sesuai dengan perkembangan zamannya. Kekayaan sastra lisan tersebut sampai ke beberapa generasi berikutnya lantaran spirit dan nilai yang masih diyakini menjadi way of life, menjadi pedoman hidup, sehingga dari satu generasi pada generasi lainya merasa penting untuk terus-menerus disampaikan kepada anak cucunya.

Sastra lisan yang merupakan kekayaan luhur yang diwariskan dari nenek moyong tersebut juga diungkapkan Potter bahwa sastra lisan atau folklore merupakan lively fosil which refuse to die (Leach, 1949; 401). Secara leksikal dapat diterjemahkan bahwa cerita rakyat merupakan fosil hidup yang menolak kematian. Atau bisa dijelaskan bahwa sastra lisan adalah kearifan lokal peninggalan nenek moyang yang senantiasa hidup dan menghidupi masyarakatnya dengan nilai-nilai kearifan yang spirit positifnya menjadi kebutuhan dan berkembang di masyarakat.

Sastra lisan sering juga menjadi ujaran bahkan ajaran suci dalam kebanyakan masyarakat tertentu. Apalagi sastra tersebut ditransformasikan dalam bentuk nyanyian dan cerita-cerita yang peristiwa buruknya pun menyampaikan pelajaran kebaikan apalagi adegan kebaikannya. Cukuplah kebohongan, kesombongan, penghianatan bahkan peperangan dan tragedi lainnya itu hanya terjadi pada isi cerita-cerita lisan yang tidak perlu terjadi dalam kehidupan masyarakat penikmat. Sebab peristiwa yang merupakan pengingkaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang universal yang diungkap dalam sastra lisan tersebut memberikan penyadaran bahwa hal tersebut merugikan kehidupan dan mematikan kemanusiaan itu sendiri.

Kentrung satu diantara kemasan sastra lisan yang merupakan fosil hidup untuk menolak kematian secara immaterial, atau yang dikenal dalam ajaran agama merupakan suatu jariyah yang manfatnya terus-menerus mengalir pada pencipta dan pengembang karya. Pada umumnya kentrung dimainkan oleh seorang dalang tanpa wayang yang sekaligus menjadi panjak dengan membawakan cerita dengan kluntrang-kluntrung, maksudnya dimainkan dari satu tempat ke tempat lainnya. Kebanyakan cerita yang disampaikan adalah perjalanan juru dakwa kebaikan dan kebenaran dan tantangannya. Mulai dari cerita nabi-nabi, sahabat sampai orang-orang bijak dan pahlawan yang hidup pada zamannya.

Sebagaimana penelitian pertama kali tentang kentrung yang dilakukan Suripan Sadi Hutomo dalam buku hasil penelitiannya yang berjudul Kentrung Sarahwulan di Tuban. Bahwa muasal kentrung berasal dari desa Bate Bangilan Pati Jawa Tengah. Yang menciptakan kemasan penyampaian sastra lisan dengan kentrung pertama kali adalah Sunan Kalijaga lalu dikembangkan oleh Kyai Basiman lagi pada tahun 1930. Turun-temurun dan berkembang ke berbagai wilayah pantura Jawa; Jepara, Tuban, Lamongan, bahkan ke selatan, ke Blora, Tulungagung, Kediri, Blitar dan ke berbagai tempat lainnya.

Sayangnya, sastra lisan dengan kemasan kentrung ini perkembangannya semakin lama semakin ditinggalkan generasinya, satu-satunya dalang yang ada di kabupaten tertentu meninggal dan tidak punya penerus. Padahal kentrung sampai sekarang diyakini memiliki spirit yang cukup tinggi untuk merekatkan antar masyarakat dan mendekatkan pada Tuhannya. Tentu usaha yang sangat mulia bila ada sekelompok anak muda yang mau menghidupkan fosil yang sejatinya sedang melawan mati tersebut menjadi kemasan sastra lisan yang cukup menarik, hadir di tengah-tengah kebutuhan estetika anak muda.

Delmantrung adalah salah satu ikhtiyar bagaimana sastra lisan kentrung disampaikan dengan model yang berbeda dan lebih atraktif, namun tetap religius. Delmantrung menjadi pemanggungan dengan berjama’ah, tidak tunggal. Sebab harus menghadirkan beberapa elemen penting pertunjukan drama, yaitu sutradara dan aktor dengan dukungan properti sesuai kebutuhan cerita. Naskah pun tidak cukup disampaikan secara lisan kepada para aktor. Cerita-cerita ditulis dalam naskah untuk dibaca dan dimainkan para aktor dihadapan khalayak ramai. Tentunya ini lebih ribet dibanding dengan kentrung aslinya, namun keribetan itu dihadirkan agar kentrung tetap bisa lestari, kembali bisa hadir di tengah-tengah masyarakatnya.

Beberapa langkah dalam mengembangkan delmantrung adalah:
1. Pemahaman bersama-sama tentang kentrung yang didramakan.
2. Penulisan sastra lisan menjadi naskah drama.
3. Lokakarya bersama tim pengembang; Sutradara, aktor dan tim artistik lainnya.
4. Casting, blocking dan rehersial.
5. Pentas.
6. Sarasehan.

Beberapa langkah tersebut disampaing sebagai proses penciptaan karya, juga sebagai bentuk edukasi, pembelajaran bersama yang dipastikan dalam kelompok penggarapan delmantrung ini terdiri dari berbagai usia dan latar belakang pengetahuan yang berbeda. Akan sangat dimungkinkan mereka akan saling menyerap pengetahuan dan ketrampilan kentrung tersebut dikembangkan menjadi drama, dan mereka semua sangat berpotensi mengembangkan dan menciptakan lagi di tempat yang berbeda dan tentunya dengan anggota kelompok yang berbeda. Maka kentrung yang religius tersebut akan mampu melawan kematian di tengah-tengah masyarakatnya dengan model delmantrung.

Disampaikan pada Workshop Sastra Lisan Membumikan Kentrung Sebagai Warisan Budaya Lamongan, 7 Maret 2020.

*) Rodli TL, Sutradara dan penulis naskah drama, pengasuh sanggar teater Sangbala. Tinggal di Canditunggal Kalitengah Lamongan. Email: tlrodli@yahoo.coo.id/ WA:085732482167

Manusia Global dan Runtuhnya Batas-Batas

$
0
0

Eka Kurniawan *
Jawa Pos, 12/10/2019

SETIDAKNYA ada dua kontroversi yang menyelimuti Nobel Kesusastraan yang dianugerahkan bersamaan kepada Olga Tokarczuk (2018) dan Peter Handke (2019) Kamis lalu (10/10).

Pertama, kritik terhadap ”lagi-lagi Eropa-Amerika”.

Meskipun setelah skandal pemerkosaan yang membuat penghargaan tahun lalu ditunda sempat ada janji untuk melihat dunia secara luas dan beraneka.

Sejak 2013, penghargaan itu selalu dimenangi penulis Eropa-Amerika. Termasuk Kazuo Ishiguro (2017) yang meskipun kelahiran Jepang, menulis dalam bahasa Inggris dan berkewarganegaraan Inggris.

Kedua, Peter Handke dianggap dekat dan jadi pendukung Slobodan Milosevic yang dituduh sebagai penjahat perang. PEN Amerika bahkan mengungkapkan kekecewaan atas pilihan Akademi Swedia terhadap penulis Austria yang menulis dalam bahasa Jerman itu.

Di luar itu, membaca novel Flights karya Olga Tokarczuk, barangkali, bisa sedikit meredam dua kontroversi tersebut. Dipilihnya Olga memang tak terlalu mengejutkan, kendati namanya tak terlalu banyak diunggulkan. Terutama setelah tahun lalu novel tersebut memperoleh Booker Prize Internasional.

”Hidup? Tak ada hal seperti itu; aku hanya melihat jalur-jalur, pesawat dan tubuh, dan perubahan mereka di dalam waktu. Waktu, sementara itu, tampak serupa perangkat sederhana untuk mengukur perubahan kecil, penggaris sekolah dengan skala sederhana — hanya memiliki tiga titik: lalu, kini, dan akan.”

Novel penulis Polandia itu memang bisa diringkas sebagai kisah tentang ketercerabutan manusia, yang tempat tinggal mereka hanyalah tempat-tempat persinggahan. Fragmen-fragmennya seperti penjelasan tentang keterserakan ini. Rumah hanyalah salah satu tempat singgah, sebagaimana bandara, tempat wisata, dan tentu saja lambung pesawat.

Buku itu bagi kebanyakan orang mungkin membingungkan. Apakah itu sebuah novel? Tak ada alur tunggal yang jelas, seperti novel konvensional umumnya. Apakah itu kumpulan cerita pendek? Sulit juga dikatakan demikian.

Meskipun bagian-bagiannya berjudul, sering kali tak ada cerita di sana, hanya deskripsi atau refleksi tentang sesuatu. Dari tendon achilles hingga tari perut, dari ulasan tentang pulau hingga kereta untuk para pengecut.

Pada saat yang sama, bisa jadi justru kekacauan itu sangat akrab bagi pembaca masa kini. Bayangkan kita membuka lini masa media sosial. Kita menelusuri banyak kisah, omelan, petatah-petitih, provokasi, informasi, iklan, percakapan, apa pun dalam campur aduk yang tak beraturan. Kekacauan, yang anehnya, bisa dinikmati banyak orang.

Itulah kenapa dalam kutipan yang saya catut, saya menerjemahkannya dari versi Inggris, ia mengatakan hidup hanya ditandai oleh waktu. Persis media sosial: Segala hal patuh pada lini masa dan tak memerlukan kerunutan dan kemanunggalan pembicaraan.

Jika pembicaraan di media sosial, terutama Twitter, Instagram, dan Facebook, dibayangkan sebagai ekspresi terbaik zaman sekarang, saya bisa membayangkan bahwa Flights bisa menangkap hal itu. Novel tersebut, sengaja atau tidak, seperti bicara dengan bahasa yang berlaku di masa kini.

Dengan cara seperti itulah novel tersebut juga menangkap ekspresi lain dari zamannya. Ketika ide tentang dinding pembatas yang memisahkan satu negara dengan negara lain memuncak, ketika imigrasi dipandang sebagai malapetaka, ketika yang asing dipandang sebagai musuh, novel tersebut mencerahkan karena menjadi antitesis.

Sekali lagi, novel itu mungkin agak mengganggu bagi kebanyakan pembaca konvensional. Akan tetapi, coba bayangkan mengenai arah perkembangan kesusastraan di zaman modern, yang trennya tak mengenal wilayah bahasa maupun kultural. Bayangkan tentang novel yang isinya menceritakan perjalanan, jalan kaki, mengelilingi Kota Dublin. Itu Ulysses karya James Joyce.

Setelah itu, bayangkan cerita pendek, yang isinya berisi telaah buku yang sesungguhnya tak pernah ada. Itu cerita pendek Pendekatan untuk Al-Mu’tasim karya Jorge Luis Borges, yang menyebut karya itu sebagai setengah hoax setengah esai. Kemudian, cobalah baca sebuah novel tentang seorang pembaca yang hendak membaca novel. Itu novel If on a Winter’s Night a Traveler karya Italo Calvino.

Jika kita mengikuti arus tren novel-novel itu, kita akan merasakan sejenis eksperimen yang semakin menjauhi bentuk-bentuk kisah konvensional, yang menyiratkan drama dengan pembukaan, isi, dan penutup. Novel-novel tersebut keluar dari konvensi-konvensi begini.

Akan tetapi, barangkali itulah ekspresi kita hari ini. Ekspresi di mana antitesis berlaku. Saat dinding perbatasan didirikan, kita bicara dan mengintip pembicaraan lintas negara. Kita adalah manusia terbang, secara fisik maupun mental. Terbang pula dari satu pembicaraan ke pembicaraan lain.

___________________
*) EKA KURNIAWAN, Novelis
https://www.jawapos.com/opini/12/10/2019/manusia-global-dan-runtuhnya-batas-batas/

Membaca Novel Kambing & Hujan

$
0
0


Fatah Anshori *

Resolusi membaca saya tahun ini adalah buku-buku yang memenangkan penghargaan. Salah satunya buku yang memenangkan Sayembara Menulis Novel DKJ. Atau jika ada buku bagus lain yang merupakan rekomendasi dari penulis-penulis besar, saya tidak keberatan untuk membacanya.

Kebetulan sekali Kambing & Hujan novel pemenang Sayembara Menulis Novel DKJ 2014, saya dapatkan dengan cuma-cuma. Buku itu nangkring di Perpustakaan Umum Kabupaten Lamongan, disertai dengan tanda tangan penulisnya juga. Tentu saja itu rasanya seperti permen nano nano. Hehe

Maaf kebiasaan buruk saya terbawa lagi, suka melipir kemana-mana. Baiklah mari kita bicarakan seperti apa novel pemenang sayembara itu. Apakah memang benar-benar bagus dan enak dibaca. Setelah saya membaca habis novel ini. Menurut saya tidak hanya itu saja. Mungkin itu seperti makanan yang tidak membuat kita enek saat kita sedang memakannya. Dan rasanya ingin membaca lagi dan membaca lagi.

Dan Brown juga pernah memikirkan bagaimana membuat para pembaca tidak pernah bosan membaca sebuah buku. Dan sepertinya di novel Kambing & Hujan ini saya seperti merasakan tidak mau berhenti membaca buku ini. Sejak awal saya rasa Mahfud Ikhwan sudah berhasil menyelipkan penasaran di kepala para pembacanya, termasuk saya.

Novel ini menurut saya mempunyai Point of View (POV) yang unik. Pertama ini di kisahkan oleh orang ketiga yang sok tahu dan tidak terjun dalam cerita itu sendiri. Selanjutnya setelah agak lebih dalam kita akan menemukan tokoh di dalam novel ini berubah menjadi narator. Pada awalnya saya mengira novel ini serupa novel Saman yang memiliki lebih dari satu POV namun dalam novel Ayu Utami itu, yang menjadi narator adalah tokoh-tokohnya sendiri. Sementara disini tidak. Mugkin ini yang di maksud novel adalah seni, tidak ada batasan didalamnya.

Seperti yang saya sebut tadi, novel ini sangat bergizi. Cerita-cerita di dalamnya bermula ketika Mif anak dari imam besar masjid utara yang merupakan Islam Modern menyatakan keinginannya untuk menikah dengan perempuan idamannya, Fauzia anak dari imam besar masjid selatan yang merupakan Islam Tradisional. Dimana nanti keduanya akan memperjuangkan cinta ditengah perbedaan dua organisasi besar yang menyimpan masalalu yang suram. Namun keduanya tetap saling berjuang meski jalan yang dilalui mereka tampak buntu. Akhirnya mereka mau tidak mau harus mengurai benang kusut itu untuk menemukan harapan yang sedang mereka perjuangkan.

Selanjutnya kita akan dibawa berjalan kesana kemari dan seolah disuguhi cerita yang di pecah-pecah. Itu seperti kita di ajak menuju kota, namun di setiap perjalanannya kita di ajak berhenti sejenak, bahkan tidak jarang kita juga akan diajak berbelok, menyimpang, memutar, sehingga cerita yang seharusnya pendek akan memanjang. Namun tetap menyenangkan. Di sini saya seolah melihat Mahfud Ikhwan sebagai pemandu wisata yang menyenangkan.

Novel ini sebenarnya sangat serius, menyangkut perbedaan pandangan antara dua organisasi besar Islam di Indonesia. Yang diseret ke sebuah perkampungan kecil bernama Tegal Centong. Disinilah keseluruhan cerita berlangsung, kita akan menemukan kearifan lokal Jawa Timur-an khususnya Lamongan-Tuban.

_____________________
*) Fatah Anshori, lahir di Lamongan, 19 Agustus 1994. Novel pertamanya “Ilalang di Kemarau Panjang” (2015), dan buku kumpulan puisinya “Hujan yang Hendak Menyalakan Api” (2018). Salah satu cerpennya terpilih sebagai Cerpen Unggulan Litera.co.id 2018, dan tulisanya termuat di Sastra-Indonesia.com sedang blog pribadinya fatahanshori.wordpress.com

Viewing all 2226 articles
Browse latest View live