Quantcast
Channel: Sastra-Indonesia.com
Viewing all 2226 articles
Browse latest View live

Fetishisme Literasi

$
0
0

Saut Situmorang

Buku telah jadi produk fetish terbaru setelah smartphone. “Literasi” jadi slogan terbarunya. Penerbit muncul di mana-mana dan semua orang yang melek huruf tiba-tiba jadi penulis!

Tapi apa fetishisme (atas) buku ini memang menghasilkan buku-buku bermutu? Apa fetishisme atas literasi menghasilkan penulis dan pembaca bermutu? Atau semuanya itu cumak sekedar euforia komodifikasi kapitalistik atas literasi dan buku semata? Buku-buku macam apa yang laris dibeli hingga dicetak ulang, penulis kayak apa yang tiba-tiba jadi “seleb literasi”?

Tragisnya, kritik pun sekarang sudah distigma sebagai sebuah “book shaming” oleh para selebriti baru ini!

Tiba-tiba aku kangen dengan zaman Orde Baru! Zaman kediktatoran militer dan kekerasan fisik dan senjata itu, zaman anti kebebasan berpikir dan berekspresi/berpendapat itu. Kerna dengan segala kekerasan militeristik dan fascis tersebut, kebebasan berpikir dan berekspresi jadi sangat berarti, sangat bernilai. Dan buku sebagai salah satu bentuk kebebasan berpikir dan berekspresi jadi sangat subversif, sangat berbahaya bagi militerisme dan fascisme! Buku jadi jalan pembebasan, jalan pencerahan, BUKAN produk fetish kapitalistik kaum borjuis kecil urban yang cumak memburu status seleb literasi instan, sensasionalisme “15 minute fame”-nya Andy Warhol!

Jogja, 24 Januari 2020


BELAJARLAH SAMPAI KE KUNTOWIJOYO

$
0
0


Aprinus Salam *

Suatu malam, saya mendapat kesempatan berdialog dengan Pak Kunto (Prof. Dr. Kuntowijoyo, M.A) dalam rangka membuat biografi ringkas atas “pesanan” LP3ES yang kemudian dimuat dalam Apa dan Siapa Sejumlah Alumni UGM (1999). Karena jatah tulisan cuma sekitar 4-6 halaman kuarto, banyak catatan saya malam itu yang tidak terakomodasi. Tulisan berikut ingin menyampaikan beberapa sisi yang tidak termuat dalam tulisan tersebut.

Seperti diketahui, pada malam dan tahun itu Pak Kunto memasuki lebih kurang 7 tahun masa sakitnya. Pak Kunto tidak dapat berbicara dengan baik sehingga harus ditemani oleh istrinya Dra. Susilawati, M.A. yang bertindak sebagai yang menjelaskan apa yang telah dikatakan Pak Kunto. Memang, semenjak sakit, perkataan Pak Kunto secara relatif tidak dapat dimengerti jika seseorang tidak sehari-hari menemaninya.

Akibat sakit yang dideranya, kegiatan fisik Pak Kunto jauh berkurang. Secara relatif ia mungkin banyak di rumah. Tapi semangat dan kerja kerasnya tidak kendur. Karena syaraf motoriknya ikut rusak, Pak Kunto kalau mengetik hanya mengandalkan dua jari, dengan tertatih-tatih dan sangat lambat karena ia harus bekerja keras mengontrol gerakan jari dan tangannya untuk mengetik mesin ketik. Dari cara mengetik itu, lahir dari jari-jarinya puluhan tulisan yang berharga.

Kita tahu, pada Selasa, 22 Februari 2005, Pak Kunto meninggalkan dunia yang ramai dan sumpek ini. Sekitar pukul 16.00, beliau menghembuskan napasnya yang terakhir di rumah sakit Sardjito, Yogyakarta. Di samping meningalkan satu orang istri dan dua orang anak laki-laki, Pak Kunto juga mewariskan lebih kurang 20 judul buku, mulai dari teori dan metodologi sejarah, masalah sosial, politik, kumpulan puisi dan cerpen, naskah drama, dan sejumlah novel. Hampir semua bukunya terkenal dan sangat diperhitungkan, baik dalam dunia akademisi dan intelektual, para aktivis, seniman dan sastrawan, dan masyarakat umum.
***

Nama besar Pak Kunto yang dikenal sebagai sejarawan, budayawan, sastrawan, penyair, intelektual Islam dan dai, berkebalikan dengan cara dan gaya hidupnya yang sederhana. Rumahnya biasa saja di perumahan umum di bilangan Condong Catur, Sleman, Yogya. Mobilnya juga kendaraan lama yang sama sekali sudah ketinggalan zaman. Ruang tamu rumahnya sempit dan tidak memperlihatkan tanda-tanda bahwa orang yang memiliki ruang itu bisa mendapatkan lebih dari itu.

Cara ngajar Pak Kunto juga berkebalikan dengan cara ngajar “modern”. Cara ngajar modern tampaknya lebih mementingkan gaya, cara, dan penampilan. Pak Kunto lebih mementingkan substansi daripada cara dan gaya. Pak Kunto kalau ngajar secara relatif sama sekali tidak menarik, bicaranya datar, tidak pernah memperlihatkan emosinya. Tapi muridnya sungguh berjubal, dan dengan tekun mengikuti semua pembicaraan Pak Kunto dengan konsentrasi penuh.

Tanyakan kepada semua oang yang pernah kenal Pak Kunto, apakah ada yang pernah merasa tidak nyaman jika bersama Pak Kunto. Sikap dan perilakunya sama sekali jauh dari kesan mengancam apapun, banyak senyum, dan hanya berbicara sejauh perlu. Seorang koleganya mengatakan Pak Kunto itu seseorang yang sangat nguwongke (memanusiakan) orang lain. Pak Kunto tahu persis bagaimana memperlakukan orang di sekitarnya. Dia selalu berusaha nyandra (melihat karakter orang dalam pengertian luas) setiap orang yang berhubungan dengannya sehingga Pak Kunto selalu menempatkan konteks relasi secara pas.

Waktu beliau sakit, tidak pernah terkesan mengeluh, wajahnya tidak terlihat susah atau sedih. Ini berkaitan dengan praksis kayakinan Islamnya, dan penguasaannya terhadap dimensi terdalam ajaran Islam, dan kemampuannya mengintergrasikan syariat, tarikat, hakikat, dan makrifat. Hal itu pun tercermin dalam berbagai tulisannya, khususnya puisi-puisi seperti terdapat dalam Makrifat Daun Daun Makrifat (1995). Saya yakin, Pak Kunto tahu persis tarikat yang harus dia jalani sehingga semua cobaan sakit dan susat dijalani dengan hati lapang.

Cara hidup lain yang diajarkan Pak Kunto adalah disiplin hidup. Saya pernah beberapa kali ke rumah Pak Kunto sehabis magrib. Ditemui istrinya, istrinya memberi alternatif, menunggu hingga nanti Pak Kunto selesai shalat Isa, atau pulang dulu. Saya memilih pulang dulu, dan mengatakan kira-kira jam 20.00 akan datang lagi. Karena, kata istrinya, Pak Kunto biasa mengaji selesai shalat magrib sambil menunggu shalat Isa. Saya jadi malu sendiri mendapat informasi itu.

Pukul 20.00 saya datang lagi. Membuka pagar pintu rumah Pak Konto yang dari bambu. (Tapi belakangan sudah diganti dengan pagar yang lebih baik). Kembali ditemui istrinya kemudian mengatakan, “Nanti tidak perlu lama-lama yang Mas Aprinus. Kalau belum selesai besok bisa kita sambung lagi.” Saya berpikir itu karena berkaitan dengan kesehatan Pak Kunto. Tapi ternyata perkiraan saya salah. “Soalnya, bisanya Pak Kunto jam 8 belajar.” Istrinya menjelaskan. Pada waktu itulah saya berpikir bahwa orang ini memang pantas dijadikan guru yang sesungguhnya.
***

Banyak pemikiran dan gagasannya berpengaruh terhadap wacana keilmuan dan dunia seni. Di samping Moeslim Abdurrahman, ia secara intensif menggagas ide dan teori profetik sebagai basis teori sosial untuk memahami masalah-masalah sosial dan kemanusiaan, di samping berbagai persoalan perkembangan dunia. Teori yang bersumber pada quran tersebut secara tersirat mencoba mengembalikan kecenceruangan ilmu sosial yang sekuler dan melupakan peran Tuhan di muka bumi.

Dalam dunia seni-drama, naskahnya Topeng Kaleng (1974) dianggap menjadi ispirator dan ikut membentuk satu konsep teater sampakan, yang secara intensif dipresentasikan oleh kelompok teater Yogya, seperti kelompok teater Jeprik, Gandirk, dan sebagainya. Kalau boleh diingat, gaya sampakan ini sempat menjadi “identitas” teater Yogya, dan sempat mengharubiru dunia perteateran nasional, pada akhir 1970-an hingga sepanjang tahun 1980-an.
***

*) Dr. Aprinus Salam, M. Hum., Sastrawan kelahiran Riau, 7 April 1965. Dosen FIB UGM, Kepala Pusat Studi Kebudayaan UGM sejak 2013, Anggota Senat Akademik UGM 2012-2016, Konsultan Ahli Dinas Kebudayaan DIY (2013-2016). Pendidikan S1, Bahasa dan Sastra Indonesia FIB UGM (Lulus 1992), S2 Program Studi Sastra Pasca Sarjana UGM (Lulus 2002, salah satu wisudawan terbaik), S3 Program Studi Sastra (Program Studi Ilmu-Ilmu Humaniora, Pascasarjana FIB UGM, lulus 2010).

SASTRA (DI) BANYUWANGI, ANTARA KENDANG KEMPUL DAN KENANGAN KAWAN NGUMPUL

$
0
0


Raudal Tanjung Banua *

Seperti lagu-lagunya yang terus dicipta dan dinyanyikan, lalu dirayakan setia oleh publiknya, nun di tlatah “tawon madu”, sastra (di) Banyuwangi lebih kurang juga seperti itu.

Bertahun-tahun lalu, Harian Kompas meliput perkembangan lagu-lagu Blambangan. Yang paling saya ingat dari dua halaman laporan itu adalah sebuah headline berjudul,”Banyuwangi Menyanyi Lagu Sendiri.”

“Menyanyi lagu sendiri” tak berarti sunyi-sepi. Itu menyiratkan sikap berterima, enjoy, juga pilihan. Lihatlah, pencipta dan penyanyi lagu-lagu Blambangan—dikenal dengan kendang kempul—disambut dapur rekaman dengan hasil makjleb: kaset/cd/vcd beredar luas di tengah publik yang setia. Kayak apa pun beredar lagu-lagu sejenis—dangdut, koplo, tarling, campursari—semua tetap “ngeyel” nyetel lagu sendiri.

Tentu mereka juga nyetel dangdut atau koplo, dan penyanyinya pun kadang membawakan dangdut-koplo, campursari, bahkan gambus atau qasidahan. Tapi percayalah, mereka akan selalu kembali ke selera asal: mangan ora mangan yang penting kendang-kempulan.

Itu sudah bertahun lalu, dan sejumlah hal pasti telah bergeser. Kaset/cd/vcd telah “berganti” youtube atau platform virtual lainnya. Namun penyanyi, pencipta, produser (kalau masih ada) beserta publiknya saya yakin tak kehilangan selera. Buktinya, Sumiyati, Suliana, Demy dan penyanyi lain masih akrab diputar di kapal penyeberangan Ketapang-Gilimanuk, di bus atau terminal Sri Tanjung.

Dalam hal ini, sastra (di) Banyuwangi tak persis begitu.
***

Sastra (di) Banyuwangi disadari atau tidak, juga menyandang kata “sendiri”, nyaris tanpa amflikasi. Ini bukan hendak mengatakan sastra (dalam hal ini sastra Indonesia) tak berkembang di bumi Blambangan. Kata “sendiri” di sini lebih menekankan pada kondisi sastra di mana masih terbatas pelakunya dan terus mencari publik, yang memang tak mungkin disamakan dengan publik kendang kempul yang bejibun.

Bertahun-tahun lalu, saya bersentuhan tipis-tipis dengan komunitas sastra Banyuwangi yang antara lain dijaga oleh Fatah Yasin Noor, Iqbal Baraas, Rosdi Bahtiar Martadi, Iwan Azies Syswanto, Tri Irianto, Taufiq, Samsuddin Adlawi, Yon Karyono dan sesepuh Using, Hasnan Singodimayan.

Setidaknya ada dua komunitas yang saya ingat: Komunitas Selasa (Senantiasa Lestarikan Sastra) di Banyuwangi kota dan Kelompok Gelar Tikar di Genteng. Kelompok Selasa rutin menggelar pertemuan tiap hari/malam Selasa, menerbitkan buletin Imbas, dan juga menerbitkan buku dalam format sederhana, salah satunya antologi puisi Detak.

Gelar Tikar aktif bersastra dan berteater di kalangan remaja dan anak sekolah. Kalau tak salah juga ada sebuah masjid yang pengurusnya biasa mendiskusikan sastra dan bahkan menerbitkan antologi puisi, tapi saya lupa persisnya.

Di luar itu tentu ada komunitas lain. Termasuk yang aktif di “sastra radio”. Terlebih lagi jika dilihat jauh ke belakang, misalnya tahun 70 dan 80-an yang notabene tak tersentuh oleh jangkauan saya. Fatah Y. Noor pernah menuliskannya dengan lengkap dan detail, saya baca di sebuah laman.

Saya sendiri hanya tahu sekilas kondisi pertengahan 90-an ketika saya berada di Bali. Waktu itu, kawan-kawan Banyuwangi punya “afiliasi” cukup baik dengan komunitas sastra/teater di kota Negara, Jembrana—mungkin karena sama-sama berada di ujung pulau. Sejumlah acara mereka hadiri, seperti Gradag-grudug dan Rajerbabat.

Terakhir saya ingat ketika Franky Sahilatua meluncurkan kaset Perahu Retak yang liriknya ditulis Emha Ainun Nadjib. Kawan-kawan dari Banyuwangi datang ke Negara membawa kaset itu, entah Mas Fatah entah siapa saya lupa. Yang jelas kaset itu kami dengar bareng Umbu, diputar berulang-ulang, hingga nyaris semalam suntuk di kawasan Perumnas.

Setelah itu, saya pindah ke Yogya dan lama tak bersentuhan dengan kawan-kawan Banyuwangi. Baru tahun 2008 saya kembali main ke Banyuwangi dalam diskusi buku kumcer Iqbal Baraas, Pesta Hujan di Mata Shinta. Tahun 2009 saya kembali untuk diskusi novel Hary Pr, Elegi Gerimis Pagi. Saya bertemu wajah-wajah lama yang masih sehangat dulu. Dari situ saya yakin pelaku sastra Banyuwangi masih gelisah dan setia.

Belakangan, Dewan Kesenian Blambangan menggelar Festival Sastra, kalau tak salah sudah tahun ketiga; gemanya lumayan terasa.

Panitia mengundang antara lain D. Zawawi Imron (beliau pernah cerita pada saya, dulu ayahnya lama merantau di Rogojampi), Ahmadun Y. Herfanda, dan Sutardji Calzoum Bachri.

Buku-buku sastrawan Banyuwangi juga terus terbit. Mas Adlawi mungkin yang paling produktif. Buku puisi Iqbal Baraas, Mawar Gandrung (Akar Indonesia, 2018) bahkan sempat mendapat Anugerah Sutasoma 2018. Penulis baru pun mungkin—dan pasti—tetap muncul, aktivitas sastra di sekolah dan pesantren tambah semarak, seperti saya lihat di PP Darusallam Blok Agung. Serta perkembangan dan kesemarakan lain yang saya tak tahu.

Tapi tanpa mengabaikan perkembangan dan perubahan, saya merasa sastra (di) Banyuwangi masih seperti dulu, sunyi-sepi-sendiri. Sekali lagi harap dimaknai tidak wantah dan harfiah.

Kenapa bisa begitu? Saya tak punya cukup bahan untuk menyimpulkan kenapa. Bisa saja letak Banyuwangi yang jauh dari konstelasi sastra Jawa Timur. Tapi apa itu konstelasi sastra Jatim dan di mana “pusatnya”? Surabaya? Malang? Entah.

Apakah jarak memang dapat menentukan kembang-kempisnya balon kesusasteraan? Dan mungkin ada sederet pertanyaan lagi.

Atau jangan-jangan cara melihat peta sastra Banyuwangi harus menyeluruh, satu kesatuan dengan wilayah tapal kuda yang lain: Jember, Lumajang, Bondowoso atau Situbondo? Sekali lagi, entahlah.
***

Di antara semua itu, ada satu realitas yang sebenarnya berlaku di manapun, yakni banyaknya pelaku sastra dari suatu daerah berproses kreatif di luar daerahnya. Sesuatu yang lumrah. Banyuwangi juga seperti itu. Lumayan banyak pelaku sastra/literasi asal Banyuwangi berkiprah di kota-kota sekitar seperti Jember, Malang, Surabaya hingga kota di luar Jawa Timur: Solo, Yogya, Mataram, atau Jakarta.

Kita bisa mengabsen sejumlah nama: Agus Dermawan T., Tengsoe Tjahjono, Nirwan Dewanto, Langit Kresna Hariadi, Yusri Fajar, Parlan S. Tjak, Dendi Sugono, dan silahkan tambahkan sendiri.

Bagaimana hubungan nama-nama itu dengan tanah asal? Adakah sebentuk tegur sapa yang terbangun dengan komunitas di kampung halaman? Jelas saya tak banyak tahu.

Tapi sesekilas yang saya rasakan, kawan-kawan di Banyuwangi lapang hati menerima kenyataan bahwa mereka cukup puas melihat teretan atau konco dewek berkiprah di luar.

Saya mungkin berlebihan. Namun saya bisa merujuk situasi tahun 1995-an, saat saya bersentuhan tipis-tipis dengan kawan Banyuwangi seperti saya sebutkan tadi. Saat itu ND sedang naik daun. Pidato Kebudayaannya tahun 1991 dianggap mengubah “peta dunia” kebudayaan kita. Ia juga anggota sebuah komunitas sastra top-hits ibukota dan duduk di redaksi sebuah jurnal yang waktu itu dianggap mainstream.

Dan untuk itu, tak sekalipun saya dengar kawan-kawan Banyuwangi ini “mendaku”. Hanya sesekali (bukan, hanya sekali!) saya dengar ada yang menyebut bahwa ND dari Banyuwangi. Tapi ND sendiri toh seperti lebih merasa orang Suroboyoan—setidaknya di biodatanya tempat lahirnya tertulis Surabaya, meski dalam sebuah catatan Fatah Yasin, ND lahir di Bumi Gandrung (lihat Perjalanan Sastra di Banyuwangi, sastra-indonesia.com, 25 September 2010).

Boleh jadi juga saya subjektif. Atau saya terbawa perasaan sentimentil saya sendiri yang saat itu sedang menjalani tradisi rantau, jauh dari kampung-halaman. Tapi jujur, saya merasakan ND lebih menampilkan citra sebagai orang Jakarta karena memang ia tinggal di Jakarta. Dalam perdebatan Revitalisasi Sastra Pedalaman (RSP)– yang pernah mewarnai wacana sastra 90-an–ND misalnya pernah menulis “Tentang Sastra Pedalaman Itu” (Kompas, 4 September 1994). Kata “itu” menunjukkan ia berada di luar tempat yang ditunjuk. Esei tersebut dibalas oleh salah seorang penggerak RSP, Kusprihyanto Namma, “Tentang Sastra Pedalaman Ini”.

Baru belakangan, saat masa beralih waktu berganti, saya temukan satu tulisan ND bicara tentang kota asalnya. Itu ia tulis penuh kenangan dalam buku Satu Setengah Mata-Mata bagian “Jalan” (2016: 147). Biodatanya pun jadi terang benderang di buku tersebut, dengan menyebut “menjalani masa kanak dan remajanya di Banyuwangi dan Jember”.

Lalu ketika suatu hari saya main ke Genteng, Iqbal Baraas yang tinggal di kota kecil itu, menunjuk sebuah rumah di seberang jalan. “Itu rumah Tangsoe!” katanya. Jika tidak, saya hanya tahu Tangsoe orang Surabaya, sebagaimana Akhudiat yang sebenarnya asli Rogojampi.
***

Saya juga belum tentu tahu kalau Yusri Fajar orang Banyuwangi, jika tidak membeli buku terbarunya, Jalan Kritik Sastra: Aplikasi Teori Poskolonial hingga Ekokritik (Beranda, 2020). Saya baca pada bagian “Tentang Penulis”, Yusri ternyata kelahiran Banyuwangi, dan berkhidmat di Universitas Brawijaya, Malang.

Buku Yusri sendiri menarik karena sangat lengkap mengaplikasikan teori sastra mutakhir, mulai poskolonial, feminisme, kulineria dan ekokritik. Yusri pun fasih dan jernih menerapkannya. Mungkin karena itu pembahasan terkesan mengejar penerapan teori, agak mengabaikan capaian estetik karya yang dibicarakan. Misalnya, saat bicara kumpulan sajak Alfian Dipahatang, saya merasa ada sejumlah sajak yang kurang matang, tapi tak disinggung karena pesan kulineria lebih utama. Kajian poskolonial kumcer Semua untuk Hindia Iksaka Banu rasanya juga jauh dari tuntas.

Tapi itu pembicaraan lain, mudah-mudahan suatu waktu bisa saya lanjutkan. Yang ingin saya katakan, jika saja Yusri Fajar menyediakan sebuah judul atau sub-judul tentang sastra Banyuwangi (boleh juga bareng dengan kota-kota lain di Jawa Timur), niscaya buku ini jadi tambah “wangi”. Toh kemungkinan teoritis dan empiris tersedia untuk itu. Terserah mau bicara lokalitas, komunitas, dislokasi atau makna “nasib adalah kesunyian masing-masing”. Biar sastra (di) Banyuwangi (dan kota-kota kecil yang lain) punya sedikit amflikasi.

Walaupun kawan-kawan di sana mungkin tetap dengan rendah hati bilang itu tak perlu. Dan jika pun tetap dilakukan, hasilnya tentu tidak akan semeriah lagu kendang kempul—yang sekarang tambah semarak dengan mengepul hangat di jagad virtual. Namun, apresiasi dan upaya sekecil apa pun tetap perlu, sebentuk tegur sapa dengan tepukan halus dibahu, atau sekepal tinju.

Ah, ya, saya menulis ini juga sebagai kenangan pada kawan ngumpul, kangen omong-omong ngalor-ngidul. Di sana, di ujung timur, tanah “sunrise of Java”. ***

______________
*) Raudal Tanjung Banua, sastrawan kelahiran Lansano, Kenagarian Taratak, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatra Barat, 19 Januari 1975. Pernah menjadi koresponden Harian Semangat juga Harian Haluan, Padang. Kemudian merantau ke Denpasar, Bali, bergabung Sanggar Minum Kopi, serta intens belajar kepada penyair Umbu Landu Paranggi. Lalu ke Yogyakarta; menyelesaikan studi di Jurusan Teater Institut Seni Indonesia. Mendirikan Komunitas Rumah Lebah, dan bergiat di Lembaga Kajian Kebudayaan AKAR Indonesia (Sebuah Lembaga Budaya yang Menerbitkan Jurnal Cerpen Indonesia). Karya-karyanya berupa puisi, cerpen, esei, dipublikasikan di pelbagai media massa pun antologi. Buku-bukunya: Pulau Cinta di Peta Buta (2003), Ziarah bagi yang Hidup (2004), Parang Tak Berulu (2005), Gugusan Mata Ibu (2005), Kota-Kota Kecil yang Diangan dan Kujumpai (2018), dll. Penghargaan yang diterimanya: Sih Award dari Jurnal Puisi, dan Anugerah Sastra Horison untuk cerpen terbaik dari Majalah Sastra Horison.

Sajak-Sajak Rakai Lukman

$
0
0

Semesta Kerinduan

I.
airmata meteor dan kerikilkerikil semesta menitik di poripori belahan waktu, aku terkesiap dari lelap panjang bersama gigir angin dan pusaran mata air yang sumbat kini melega, alirnya menggugah rumputrumput liar, akar pohon, burungburung dara menyeru nyanyian musim peneduh tubuhtubuh ngilu, pun gersang rindu menumbuh gubukgubuk petani cocok tanam di lingkar ladang kebajikan, kelak dituai cucucucu yang gagap berkisah

II.
rona pagi nian akrab dengan lumutlumut lembah dada. daundaun kering pohon jati berserak basah di musim penghujan. kudengar degup jantung kijang sisasisa zaman. rintik gerimis maret menetas, menetes pada biji rindukku yang akan kau petik kelak, menjadi sajian senja kita, meski kau masih kembara di kota yang lebamkan tanah dan tubuhmu, sepulangmu, akan kuajak menari di rerumputan hutan jati peneduh gelisahmu, kekasih

III.
di sini rumputrumput pematang hatiku bergetar, air mata gemintang memanggil badai mungil beriring lagu sahdu mata angin ragawi membelai dada gaguku, dan gemericik sajak mengalir di sela gelombang haruku-harumu. di sana kau asyik berguru pada gedung-gedung megah, panflet, baligho mewah, dan aku setia bermain debu-debu kapur agar gembur sawah hatiku yang membatu, kekasih esok akan lepas keluh-keluhmu

Gresik 2010

Bengawan Itu Ibu

adalah ibu
anak-anakmu bengal dan bawel
Tekad anakmu kerdil nan ciut
Lupa membaca hikayat purba
Lempengan berpahat sasmita
: kau kaca benggala
cermin gemintang, rembulan berdandan molek
pada jernih darah, jalur nadimu
itu dulu

adalah ibu
putra-putrimu begitu binal dan banal
Pandai bermake up lumpur
tutur manis syarat liur deterjen
Suara parau pada perayaan semu

Ibu, kau keruh serupa comberan peradapan
Anyir penuh busa, sampah-sampah
Menyatu dalam daging dan belulangmu

Anak-anak ibu, mendidik cucu-cucu
mendewa tanggul dan plengsengan beton di bibirmu
Kemarau, pasirmu dikunyah beramai-ramai
Penghujan kau dicaci murka
Lubermu baginya petaka
penyebar humus-humus, nutrisi cacing
Penyubur padi dan jagung

Di hulumu, akasia punah dipangkas waduk
Di hilirmu bakau ditelan reklamasi
Dilumat bendungan
Sepanjang tubuh, kelokmu yang elok
Sirna demi percepatan
Bambu-bambu penangkal amukmu
Dipotong, dibelah atas nama pembangunan

Ibu, tahanlah bandang itu
Maafkan anakmu
Yang dangkal dan lugu!

Bantaran Bengawan, Desember 2018.

SELAMAT HARI KEMERDEKAAN SODARA! *

Ini hanya perang kecil, perang besar sudah menanti
Merdeka seolah sepuluh menit saja
Bila tak mampu mengisi dan memahami
Selalu eling, selalu waspada
Para penjajah dan penjarah
Siap datang kapan saja

Selamat hari kemerdekaan sodara!

Ini hanya perang kecil, perang besar di ambang mata
Merdeka seolah lima menit saja
Para penjajah datang bersenjata iklan dan narkoba
Seks bebas dan hidup hura-hura
Yang beruntung yang eling dan waspada

Ini hanya perang kecil, perang besar di ujung tanduk
Merdeka seolah satu detik saja
Bila enggan belajar dan bekerja
Melupa sejarah dan pahlawan bangsa
Hanya menjadi budak di bumi nusantara

Selamat hari kemerdekaan sodara!
Merdekalah selama-lamanya
Proklamirkan ke penjuru nusantara
Gemah ripah loh jinawih
Itulah jati diri dan harkat bangsa.

***

* Diambil dari Naskah Teater yang bertitel “Laskar Bersarung.”

___________________
Rakai Lukman ialah nama pena Lukmanul Hakim, kelahiran Gresik 1983. Ikut berkecimpung di dunia kesenian semenjak SMA, berlanjut di Yogyakarta, lantas pulang ke kampung halaman. Di tanah kelahiran, masih ikut nimbrung di perhelatan alam estetika. Sempat nongkrong di Sanggar Jepit, Teater Eska, Roemah Poetika, Teater Havara, KOTASEGER (Komunitas Teater Sekolah Gresik), Gresik Teater, DKG (Dewan Kesenian Gresik), Lesbumi PCNU Gresik, dan Sanggar Pasir. Menjadi Guru SB di SMK Ihyaul Ulum, dan Guru BI di SMK al-Ihlas. Antalogi tunggal “Banjir Bantaran Bengawan.” Antalogi bersama, Kitab Puisi I Sanggar Jepit (2007), Burung Gagak dan Kupu-kupu (2012), dan Seratus Penyair Nusantara, Festival Puisi Bangkalan II, 2017. Juga terlibat riset dalam program pendampingan teater DKJT 2018, dan pengkajian sejarah lokal Desa Canga’an, Ujung Pangkah, Gresik 2019. Kini sedang mempersiapkan antalogi kedua, “Curhatan Bengawan” 2020.

DUA KECELAKAAN NABI SULAIMAN AS DALAM BERPOLITIK

$
0
0

Imam Nawawi *

Opini ini adalah inti sari tafsir al-Quran Jalalain tentang ayat 30-35 surat Shad. Sebelumnya, saya ingin menegaskan satu prinsip utama: berpolitik tidak untuk membela agama. Tapi berpolitik untuk menjalankan agama.

Nabi Sulaiman alaihis shalatu was salamu dijadikan percontohan oleh Allah, betapa keinginan berjihad melawan musuh-musuh Islam tidak dapat dibenarkan jika mengabaikan perintah agama yang lain, seperti mengerjakan shalat Ashar.

Saking sibuknya ngurusi kuda-kuda perang yang berjumlah 900 ekor itu, yang dilakukan pengecekan sejak Dhuhur sampai Maghrib, membuat Nabi Sulaiman as lupa shalat Ashar. Ini kecelakaan pertama.

Kecelakaan kedua, Nabi Sulaiman alaihis shalatu was salamu tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang istrinya sendiri yang bernama Aminah, yang ternyata seorang Paganis dan bukan Muslim. Sehingga di dalam lingkungan keraton Nabi Sulaiman terdapat praktik penyembahan berhala tanpa sepengetahuan Nabi Sulaiman.

Hukuman dari Allah subhanahu wa ta’ala atas Nabi Sulaiman alaihis sholatu was salamu sangatlah berat, yakni sanksi sosial berupa pengingkaran rakyatnya atas beliau. Kekuasaan sempat jatuh ke tangan pihak lain.

Dalam sudut pandang mistis, pihak yang merebut kuasa dari Nabi Sulaiman adalah Jin, dan rakyat menolak Nabi Sulaiman lantaran Allah swt mengubah wajah Nabi Sulaiman menjadi wajah orang asing. Spirit kisahnya sama aja: kekuasaan jatuh ke pihak lain.

Setelah Nabi Sulaiman bertaubat dan Allah swt menerima taubat beliau maka kekuasaan dikembalikan lagi ke tangan Nabi Sulaiman. Salah satu bukti Allah menerima taubat dan mengabulkan doa Nabi Sulaiman adalah diberikannya kendaraan angin sebagai pengganti kuda, supaya perjuangan untuk jihad fi sabilillah semakin mudah.

Hikmah:

Jihad fi sabilillah adalah penting. Dengan berjihad, bendera Islam akan berkibar. Namun, nalar semacam ini salah bila meninggalkan kewajiban agama yang lain, seperti shalat.

Shalat dan jihad adalah sama-sama penting. Meninggalkan salah satunya tidak dibenarkan. Ibadah vertikal tidak dapat ditinggalkan hanya demi mementingkan ibadah horizontal. Ibadah non-politis tidak boleh ditinggalkan hanya demi mengejar ibadah politis.

Shalat dan jihad adalah ibadah yang tidak dapat dikategorisasi, diklasifikasi, diberi atribut-atribut pembeda, sebab keduanya sama-sama ibadah. Yakni, perwujudan atau manifestasi dari beragama. Dengan beragama, manusia harus shalat. Dengan beragama, manusia harus berjihad. Dengan beragama, manusia harus menghadap ke langit. Dengan beragama, manusia harus menghadap ke bumi. Inilah sikap moderat kita.

Sikap yang ekstrim, kita bisa belajar pada sikap Nabi Sulaiman as. Ketika sadar kuda yang sudah dipersiapkan untuk jihad itu melalaikan dari shalat, Nabi Sulaiman menyembelihnya dan membagi-bagikan dagingnya kepada rakyatnya. Sehingga di kemudian hari Allah swt mengganti kuda itu dengan angin sebagai kendaraan perang beliau.

Artinya, alat politik itu penting. Instrumen perjuangan itu penting. Tetapi, jika dalam berpolitik ada nilai Islam lain yang terciderai maka politik tidak dibenarkan, termasuk jihad. Berpolitik seperti berjihad harus sepenuhnya merepresentasikan totalitas nilai Islam. Sebab, berpolitik bukan sarana untuk memperjuangkan Islam. Sebaliknya, berpolitik adalah manifestasi atau pengejewantahan ajaran Islam. Jika dalam berpolitik tidak tercermin nilai Islam maka politik tersebut sudah menyimpang dari perilaku beragama.

Jangan pernah tertipu oleh pandangan kaum humanis parsial, yang mengatakan ibadah sosial jauh lebih penting dari ibadah personal. Seandainya pandangan ini benar maka Nabi Sulaiman adalah figur pertama yang harus dibenarkan, karena kelalaian untuk mengerjakan shalat Ashar sebagai ibadah personal-vertikal disebabkan oleh kesibukannya mengatur persiapan jihad sebagai ibadah sosial-horizontal.

Nah, semua logika ini bisa dibalik oleh kalangan yang pro-humanisme parsial. Selama implementasi kebijakan-kebijakan publik berjalan baik, tanpa korupsi, tanpa kolusi dan nepotisme, maka pribadi-pribadi para implementor kebijakan tidak perlu dipersoalkan. Akhlak personal implementor bukan perkara penting. Yang terpenting adalah kualitas implementasi kebijakan publik.

Logika politik Islam tidak pro-humanisme parsial semacam itu. Politik Islam tidak bicara idealitas tanpa membuka ruang-ruang posibilitas. Bahkan Politik Islam sering masuk ke ranah-ranah posibilitas tersebut. Sehingga membicarakan persoalan humanisme pun dilakukan dari sudut pandang kemungkinan, dan mencarikan strategi untuk menjawab kemungkinan.

Katakanlah semua sistem, aturan, undang-undang, dan mekanisme untuk mengimplementasikan kebijakan sudah jelas dan rigid. Namun, bagaimana jika implementornya (manusia) berkehendak buruk dan berniat korupsi? Logika mana yang bersifat preventif selain nalar keimanan dalam beragama, termasuk Islam?

Sistem, peraturan, perundangan adalah stimulus eksternal. Agama dan keyakinan adalah stimulus internal. Dua perangkat ini harus sama-sama memadai dan terpenuhi. Seseorang butuh aturan tegas menuju kebaikan dan kebenaran. Ia juga butuh keyakinan dan kepercayaan untuk menuju pada kebaikan dan kebenaran. Aturan dan sistem yang tidak diyakini dan tidak dipercayai maka tidak akan menghasilkan tindakan sosial yang ideal dan terarah.

Tindakan sosial lahir dari pergulatan psikologis dengan sistem atau struktur di luar dirinya. Karenanya, moralitas diri dan idealitas sistem atau struktur sama pentingnya. Kepribadian, aturan, dan perundangan sama pentingnya. Dibutuhkan aturan yang baik sekaligus pribadi yang siap taat pada aturan yang baik.

Politik Islam melihat aspek holistik tersebut. Politik Islam Pro-Humanisme Holistik. Karena itulah, mempersiapkan persenjataan untuk jihad adalah penting, karena hal itu adalah aturan dan mekanisme untuk meraih kemenangan dalam perang yang berhasil. Tetapi, mengabaikan shalat Ashar adalah kecelakaan personal, karena hal itu preseden buruk bagi terbentuknya kepribadian yang split atau terbelah.

Bagi seorang pemimpin politik, moralitas personal ini penting diatur. Nabi Sulaiman alaihis sholatu was salamu dijadikan percontohan oleh Allah swt yang abai mengatur akhlak personal orang-orang di lingkaran terdekatnya, seperti istrinya sendiri yang masih melakukan penyembahan pada berhala. Seandainya ketidaktahuan bukan sebuah kesalahan dalam berpolitik, maka Nabi Sulaiman as tidak layak dihukum.

Namun, seorang pemimpin politik tidaklah demikian. Allah swt seakan ingin mengajar manusia bahwa ketidaktahuan seorang pemimpin adalah awal bencana, terlebih bila ketidaktahuan itu terhadap kepribadian dan akhlak personal orang-orang di lingkaran terdekatnya.

Melalui ayat-ayat inilah, kita dapat memahami bahwa memanglah layak sebagian wakil rakyat dijebloskan ke dalam penjara sekalipun dirinya tidak melakukan korupsi, misalnya. Tetapi, ia terjebak oleh permainan politik orang-orang di lingkarannya sendiri.

Sangatlah rasional seorang pemimpin dihukum karena membuat kebijakan-kebijakan yang meleset lantaran berdasarkan pada input informasi-informasi yang salah oleh lingkaran terdekatnya sendiri. Sebab, ketidaktahuan pemimpin atas karakter, kepribadian, personalitas orang-orang terdekatnya adalah kesalahan.

Hari ini kita menyaksikan dua jenis korupsi: dilakukan sendiri, dan terjebak dalam permainan orang lain walaupun dirinya tidak terlibat. Ibarat pepatah: tidak ikut makan nangka, tapi kena getahnya. Kena getah tanpa ikut makan itu tercermin pada figur Nabi Sulaiman as, yang tidak sadar bahwa istrinya sendiri bukan muslimah tetapi masih beragama pagan dan melakukan praktik paganisme di dalam keraton Nabi Sulaiman. Intinya: ketidaktahuan pemimpin politik adalah kesalahan.

Wallahu a’lam bis shawab.

*) Imam Nawawi, lahir di Sumenep 1989. Sempat belajar di beberapa pondok pesantren seperti PP. Assubki Mandala Sumenep, PP. Nasyatul Muta’allimin Gapura Timur Sumenep, PP. Annuqayah Guluk-guluk Sumenep, PP. Hasyim Asy’ari Bantul Yogyakarta, PK. Baitul Kilmah Bantul Yogyakarta, PP. Kaliopak Bantul Yogyakarta, dan PP. Al-Qodir Sleman Yogyakarta. Kini sedang menempuh pendidikan jenjang S2 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Bau Laut

$
0
0


Ratih Kumala *
Media Indonesia, 9 Feb 2014

KETIKA lelaki itu pulang dari melaut, ia menemuiku. Kupikir ia sudah mati ditelan laut.Tubuhnya legam. Air asin dan matahari telah memanggang kulitnya. Rambutnya kemerahan. Matanya menyipit dan cekung. Aku melihat ceruk ketakutan di situ, sekaligus sejuta perlawanan. Aku memang tidak mengerti laut, meski sepanjang umur aku hidup di tepi laut.Aku tidak paham apa yang mesti ditakuti di laut yang tak ada apa-apa selain ikan, air, dan matahari. Mungkin karena tidak ada apa-apanya itulah ia menjadi takut.

Namanya Mencar, anak nelayan yang menjadi dewasa di dalam kapal. Sejak dia kecil, ayahnya telah membawanya ke laut. Dia bisa melihat ikan dari kejauhan, matanya tajam dan awas. Hingga dewasa, dia terus bertugas memberi tahu awak kapal di mana mereka bisa menemukan gerombolan ikan untuk ditangkap. Dia akan naik ke tiang kapal, bergelantungan serupa layar, dan berteriak dengan semangat sambil menunjuk ke satu titik.

“Ikaaan…!” Mencar dan aku tak pernah akur.

Semasa kami bocah, ia anak yang menyebalkan. Menakut-nakutiku dengan kepiting besar hingga aku lari menghindarinya. Aku menghindari Mencar sampai aku remaja. Hingga suatu sore aku melihat ayah Mencar mengajak bocah itu melaut. Di tepi pantai, ia memandangku. Ada yang salah pada tatapan matanya. Meski tubuhnya masih anak-anak, sorot matanya telah menjadi mata lelaki dewasa. Aku bahkan lebih tinggi darinya, tapi sorot mata itu membuatku jengah.

Beberapa hari kemudian Mencar kembali. Laut memang penyihir yang maha dahsyat, mampu mengubah semua orang. Mencar, teman kecilku itu, berubah menjadi lelaki pada suatu hari sepulang melaut. Tak ada lagi tanda-tanda bocah di tubuhnya. Badannya liat dan terbakar. Tubuhnya menjadi lebih tinggi. Sorot matanya masih sama, seperti menelanjangiku. Malamnya, itulah yang dilakukannya. Kami bercumbu dengan alas pasir dan atap bintang, serta bau laut yang menerpa wajah kami. Bibirnya terasa asin.

Mencar menjadi kekasihku.

Pada suatu malam, Mencar bercerita, ia bermimpi dengan seorang perempuan yang muncul dari laut.

“Apakah itu Nyai Ratu Kidul?” tanyaku.

“Bukan. Aku tahu itu bukan Nyai Ratu Kidul.”

“Siapa?”

Penjelasan Mencar tak bisa dipercaya.

“Dia perempuan yang tak punya kaki, tapi ekor ikan yang menjuntai dari pinggang ke bawah.” Aku tak pernah memercayai adanya Putri Duyung. “Dia menyuruhku untuk minum air laut di ujung geladak dan buritan sebelum aku melaut lagi besok.”

Para nelayan terbiasa membaca tanda-tanda alam, seaneh apa pun itu. Sore keesokan harinya, para perempuan melepas laki-laki mereka untuk melaut. Mencar menuruti mimpinya. Dia mengambil segelas air dari ujung geladak dan buritan kapal yang ditumpanginya. Para awak kapal bertanya-tanya apa yang dilakukan Mencar. Meski awalnya menganggap itu aneh, mereka mengikuti juga apa yang dilakukan Mencar. Ia turun sejenak dari kapal, berlari dan memegang tanganku.

“Sepulang dari melaut ini, aku akan meminangmu,” ia memelukku demikian erat, hingga dipanggil lagi oleh ayahnya untuk segera kembali ke kapal.

Keesokan malamnya, badai datang. Semua perempuan melongokkan kepala ke luar rumah demi memastikan benarkah badai yang tengah bertandang. Setelah itu mereka masuk ke rumah masing-masing dan bersembunyi sambil merapalkan doa. Selepas badai kami mendengar kabar tentang kapal-kapal yang hancur. Hatiku menjadi suwung. Ibu Mencar setiap hari membawakan sesaji untuk laut dan menangis setiap sore, memohon pada samudra untuk mengembalikan suami dan anaknya.

Beberapa hari kemudian, sebuah keanehan terjadi. Satu per satu nelayan terdampar. Mereka seolah dikembalikan oleh lidah ombak, termasuk ayah Mencar yang pulang dengan utuh. Setelah semua nelayan yang terdampar terkumpul, kami memastikan mereka adalah awak kapal tempat Mencar turut serta. Sementara awak kapal lain menyisakan janda-janda dan anak-anak yatim yang kini harus bertahan sendiri tanpa kepala keluarga.

Semuanya kembali, kecuali Mencar!

Lebih dari sebulan aku dan ibu Mencar setiap sore pergi ke bibir laut dan menyuguhkan sesajen agar Mencar kembali. Saat aku berpikir sudah tak ada lagi harapan, tiba-tiba lidah ombak menggulung seseorang dari tengah laut.Kami menghampiri sosok yang tergeletak itu.

“Mencar! Mencar anakku!” teriak Ibu Mencar. Aku tak memercayai ini, Mencar kembali dan masih utuh. Kupandangi Mencar yang belum mau bicara. Mulutnya diam seolah tak mengerti bahasa manusia. Tapi matanya, mata itu nyalang dan menyimpan sejuta cerita yang tak terkatakan.

Beberapa malam kemudian, aku tak menyangka. Mencar datang mengetuk jendela kamarku. Seperti malam-malam sebelum dia pergi melaut, sebelum badai itu menghantam, inilah yang biasa dia lakukan: mengajakku pergi ke bibir pantai dan bercumbu di bawah bintang.

Mencar, lelakiku, telah kembali.

“Kupikir kau sudah mati ditelan laut.” Mencar diam. Kupandangi ceruk matanya yang sedalam samudra. Aku seolah berenang dalam sorot mata yang telah menjadi keabu-abuan. Matanya kini menjelma liar.

“Apa yang telah terjadi?”

“Maafkan aku, aku sudah kawin dengan Putri Duyung. Aku tak bisa menikahimu.“
***

Mencar tak pernah lagi melaut. Berita bahwa ia sudah kawin dengan Putri Duyung telah menyebar seperti jamur.Dan tiba-tiba, setiap pagi rumahnya penuh oleh para nelayan. Mereka memberikan pundi-pundi pada Mencar. Kini Mencar hanya perlu turun ke halaman rumahnya, lalu mencium bau laut dalam-dalam, dan ia akan membisikkan kepada seorang nelayan ke arah mana mereka harus melaut. Di situlah mereka akan menemukan gerombolan ikan. Hidungnya telah demikian tajam sehingga ia tak perlu lagi melihat ke laut untuk mengetahui letak ikan. Matanya telah melihat laut yang sesungguhnya, seolah dirinya sendiri adalah peta samudra.

Tak lama, keluarga Mencar hidup bagai keluarga raja. Mereka tak perlu lagi bekerja. Mencar menjadi sumber penghasilan bagi orangtuanya. Ibunya melelang keahlian Mencar mencium bau laut setiap pagi. Siapa yang memiliki pundi paling besar, dialah yang akan diberi tahu letak gerombolan ikan di laut. Mencar tak pernah benar-benar keluar dari rumahnya. Ibunya pun selalu berseloroh kepada orang-orang kampung, “Anakku menikah dengan Putri Duyung. Dia Pangeran Laut yang hidup di darat.“

Aku tak tahu apakah benar atau tidak, tapi ada nelayan yang pernah melihat Mencar ke laut tengah malam, dan yakin benar bahwa perempuan berekor ikan menemuinya di bibir pantai. Aku hanya mendengarkan, sambil menelan olok-olok orang-orang yang menanyakan apakah aku akan mencari pacar baru atau bersaing dengan Putri Duyung.

Itu semua membuatku merasa seperti ombak yang pecah di tepi karang, berpencar dan pasrah pada samudra yang menarik kembali air asin yang telah menjadi keping. Seperti itulah sakit hatiku. Retak. Rusak.

Hingga suatu malam, ketika aku yang rentan sedang meresapi kesedihan, seseorang mengetuk jendela kamarku.Aku tahu itu pasti Mencar. Ketika kubuka jendelaku, tanganku menghambur memeluk tubuh Mencar.

“Kupikir kau takkan pernah mengetuk jendelaku lagi.“

“Menikahlah denganku,“ ucap Mencar.

“Tapi Putri Duyung itu?“

“Aku mencintaimu meskipun Putri Duyung itu telah menyelamatkan nyawaku. Temui aku dari pintu depan.“

Aku menutup jendela. Tak lama, terdengar ketukan pintu depan. Ayahku yang sedang membersihkan jala bertanya siapa gerangan mengetuk pintu demikian keras di malam buta.

Kubuka pintu, dan Mencar berdiri di situ.

“Mau apa kamu?“ tanya ayahku, ketus.

“Saya ingin menikahi putrimu, karena saya mencintainya.“

“Kamu sudah menikah dengan Putri Duyung, dan kamu sudah membuat saya kelaparan karena kamu mampu mencium bau laut, sedangkan saya tak mampu membayar keahlianmu. Kamu cuma memperkaya saudagar ikan dan membuat nelayan kecil macam saya makin tercekik.”

“Akan kuberikan mas kawin segerombolan ikan yang bisa menghidupimu seumur hidup. Kau bisa memanennya besok ketika kembali melaut. Dan, kapanpun kau melaut, ikan-ikan akan menghampirimu.”

Setelah Mencar meyakinkan ayahku, kami pun dinikahkan. Adikku menjadi saksinya. Malam itu juga Mencar membawaku ke bibir pantai, dan di bawah bintang kami bercumbu. Ia mengembalikanku ke rumah di tengah malam buta, dan berkata pada ayahku; besok ia akan ikut melaut, menghadiahiku dan keluargaku, ikan yang akan menghidupi kami seumur hidup. Aku tak percaya pendengaranku, Mencar akan kembali melaut.

Aku melepas Mencar, suamiku, yang pergi melaut bersama ayahku. Aku menunggu dengan was-was di bibir pantai, setiap pagi dan sore. Beberapa hari kemudian, ayahku kembali tanpa Mencar. Ia membawa kapal penuh dengan tangkapan laut serta sejumput cerita yang kemudian menjadi legenda di kampung kecil kami: Setelah Mencar menunjukkan di mana ikan-ikan berada, dia berjanji bahwa ayahku akan menjadi saudagar besar, dan di manapun ia berada, ikan akan selalu mendatanginya. Lalu, ayahku melihat sosok perempuan cantik dengan ekor ikan yang menggeliat di sekitar kapalnya. Mencar segera terjun ke laut. Ayahku berusaha mencegahnya, tapi sosok itu memegang tangan Mencar dan menariknya jauh ke dalam laut.
***

*) Ratih Kumala, lahir di Jakarta, 1980. Menulis novel, cerpen, dan skenario. Novel terkininya Gadis Kretek (2012).
https://lakonhidup.com/2014/02/09/bau-laut/

MENYOGYAKAN MODERNITAS

$
0
0

Aprinus Salam *

Ketika membayangkan Yogya tempo dulu, sebetulnya kita membandingkannya dengan Yogya kini, dan sekaligus memperkirakan apa yang akan terjadi dengan Yogya pada masa yang akan datang. Paling tidak ada tiga hal yang perlu diidentifikasi berkaitan dengan perbandingan tersebut. Pertama, bagaimana kondisi masyarakat dan kegiatannya, kedua, bagaimana kondisi fisik/infrastruktur yang menjadi arena masyarakat Yogya, dan ketiga, bagaimana nilai-nilai yang menjadi “mediasi” antara masyarakat dengan lingkungan hidupnya.

Tentu tidak semua bayangan tentang masa lalu Yogya sebagai satu kondisi yang menentramkan. Proses-proses suksesi, kekerasan-kekerasan kekuasaan, konflik-konflik dalam berbagai aras dan skalanya, merupakan kenangan yang kadang kita tidak cukup enjoy membicarakannya. Akan tetapi, kenangan tentang masa lalu yang tidak brisik, desa-desa dengan pohon-pohon nan rindang dan masyarakatnya yang damai loh jinawi, tentang sungai-sungai yang mengalir bening, tentang tanah-tanah yang lapang, sungguh kenangan yang ingin dihidupkan terus.

Kini, yang tersisa adalah bangunan-bangunan tua, dalam berbagai bentuk dan sejarahnya, di sela-sela bangunan padat dan kadang sengkarut, dilindas bangunan baru yang angkuh dan modern. Jalan-jalan padat dan secara periodik semrawut. Taman dan tanah lapang semakin hilang. Ruang bermain ketelingsut. Orang berkumpul di kafe-kafe yang ramai sambil mengurus urusannya sendiri-sendiri. Dalam ruang yang padat dan keos, kita mencari kenyamanan, hiburan, dalam ruang yang lapang, di media sosial.

Memang, aktivitas masyarakat masih terus berjalan, bahkan kesannya tambah ramai. Banyak rapat, negosiasi, keputusan, dan rencana-rencana sudah bisa diselesaikan di ruang media sosial. Seremoni aksinya, dalam ruang off, hanyalah aksi lanjutan dari ruang on. Karena kita masih perlu kumpul darat, kangen-kangenan langsung, dan jangan lupa ber we-fie untuk kembali dimediasosialkan. Dari situ kita tahu bahwa ruang-ruang kumpul bergeser menyebar ke segala tempat. Place sekarang tidak lagi penting, di mana saja tidak masalah. Sekarang zaman space.

Kegiatan berjalan secara tumpang tindih, semuanya berebut waktu dan perhatian. Masyarakat bekerja keras menyediakan lokasi-lokasi baru berbasis kuliner, dan sedikit pemandangan. Mungkin juga berbasis hibriditas Barat Timur, modern tradisi. Di satu sisi tetap jadi produsen, di sisi massa yang lain menjadi konsumen. Promosi berbasis digital. Produksi dan reproduksi berbasis sirkulasi keuangan. Alhasil, kapitalisme mengkoordinasi kegiatan dan aktivitas kita.

Jangan lupa, jalan-jalan semakin padat. Kita harus menyediakan waktu kita 2 sampai 3 jam di jalan untuk menembus kemacetan hampir di semua lini jalan-jalan Yogya. Anggaplah 2 jam, kali 365 hari, maka kita menghabiskan usia kita sekitar 730 jam per tahun di jalan. Jangan tanya bagaimana dengan kota-kota lain yang lebih macet daripada Yogyakarta.

Memang, untuk sementara, berbagai proses yang telah berjalan tersebut kesannya tertunda, menjadi sedikit ditahan, karena adanya pandemi Covid-19. Ada dua kemungkinan yang akan terjadi. Pertama, apa yang disebut sebagai new normal, akan terjadi berbagai perubahan sikap dan apresiasi dalam praktik hidup. Hal-hal yang tidak kondusif dari waktu sebelumnya, akan mengalami koreksi. Kedua, hidup kembali normal sebagai mana seperti sebelumnya.

Balik ke persoalan semula, masalah mendasar adalah bahwa kita berusaha keras untuk memodernkan hidup kita, memodernkan Yogya. Yogya memang tampil modern, hampir semua ciri dan kaidah kemodernan telah dipenuhi dan terpenuhi menjadi Yogyakarta yang modern. Apa yang kita dapatkan dalam kemodernan tersebut. Yang kita dapatkan adalah hidup yang kemrungsung dalam ruang kerjaan dan gemerlap, waktu yang habis di jalan, identitas modern yang tidak pernah diakui. Kita dipacu dengan sejumlah target. Kita dipacu dan memacu kepuasan lahir.

Dalam prosesnya, kita diatur oleh satu sistem dan struktur yang makin kaya semakin kaya, yang miskin terenggah-enggah memacu diri untuk hidup sekedar layak. Kalau tidak ada perubahan paradigma yang mendasar, maka proses menuju keadilan sosial dan kemakmuran bersama akan sulit dicapai. Kecuali jika keadilan sosial dan kemakmuran bukan menjadi tujuan, tetapi justru sebagai cara bersama sebagai prinsip-prinsip kesetaraan.

Atau, paling tidak kita tidak menempatkan kemodernan sebagai tujuan. Akan tetapi, sebagai cara atau strategi untuk memposisikan modernitas sebagai praktik-praktik atau kekuataan mengembalikan dan mengondisikan Yogyakarta sebagai sesuatu yang khas Yogya. Hal itu paling tidak terkait dalam tiga praktik sosial.

Hal pertama yang paling mungkin dilakukan adalah dengan merevisi dan melakukan hal-hal simbolik, baik verbal, aktivitas-kegiatan, maupun hal penampakan fisik terhadap sesuatu yang selama ini dikenali sebagai simbol-simbol penting budaya Yogya. Hal ini sebenarnya sudah cukup banyak dilakukan, tetapi belum, untuk mengatakan tidak, berjalan maksimal.

Artinya, yang diberi identitas ke Yogyakartaan adalah penampakan fisik kotanya, atau daerahnya, bukan orangnya, bukan warganya. Subjek adalah subjek partisipan bebas yang boleh siapa saja untuk dan demi Yoghyakarta. Sebagai warga merdeka, dia adalah manusia bebas dan mandiri, yang berproses dan bekerja sama membangun identtas kota atau daerahnya masing-masing.

Hal itu bukan saja terkait dengan kebijakan dan peraturan, baik pada tataran provinsi atau kabupaten/kota, tetapi sekaligus tantangan bagi para partisipan Yogya untuk melakukan banyak hal terkait dengan praksis ilmu dan pengetahuan budaya Jawa (untuk mengatakan Yogya), dengan melakukan berbagai pengembangan dan sintesis terhadap ilmu dan pengetahuan modoern, sehingga kelak masyarakat Yogya melahirkan sesuatu yang kondusif terhadap kehidupan berbudaya di Yogyakarta.

Kedua, dengan demikian, perlunya melakukan rasionalisasi terhadap sejarah dan mitos-mitos yang telah menjadi aksioma dan stigma, bahwa seolah hal-hal tertentu telah mengalami kebekuan dan kebakuan yang “tidak boleh diganggu”. Hal ini menyebabkan kemandegan daya pikir, daya kreatif, dan daya juang masyarakat dan partisipannya.

Ketiga, perlunya kerja sama dan partisipasi aktif seluruh warga dan partisipan, untuk memimimalisasi secara bersama-sama sikap-sikap idelogis dan merasa benar sendiri, sehingga memunculkan sikap dan praktik intoleran. Tentu prinsip kebebasan (kemerdekaan) dan kesetaraan menjadi pegangan dan sandaran bersama. Akan tetapi, dapat ditempatkan dalam dan sebagai satu kebebasan, kemerdekaan, dan kesetaraan dalam menjunjung kerja dan berkarya bersama.

Jika ketiga hal tersebut dapat dilakukan, tidak mustahil Yogyakarta akan menjadi model bagaimana melakukan perjalanan dan berbagai proses hidup ke depan. Modernitas, keadilan sosial, dan kemakmuran tidak lagi menjadi tujuan, tetapi lebih sebagai cara kesetaraan bersama untuk berkarya, bekerja, dan melakukan banyak hal kreatif menyongsong masa depan. Bukan masa depan yang indah, tetapi secara indah menyongsong masa depan.
***

*) Dr. Aprinus Salam, M. Hum., Sastrawan kelahiran Riau, 7 April 1965. Dosen FIB UGM, Kepala Pusat Studi Kebudayaan UGM sejak 2013, Anggota Senat Akademik UGM 2012-2016, Konsultan Ahli Dinas Kebudayaan DIY (2013-2016). Pendidikan S1, Bahasa dan Sastra Indonesia FIB UGM (Lulus 1992), S2 Program Studi Sastra Pasca Sarjana UGM (Lulus 2002, salah satu wisudawan terbaik), S3 Program Studi Sastra (Program Studi Ilmu-Ilmu Humaniora, Pascasarjana FIB UGM, lulus 2010). Dst…

Novel Telembuk, Fiksi Sosial Ala Kedung Darma Romansha

$
0
0


Yudha Kristiawan
Tribunjogja, 20 Juni 2020

Dunia tulis menulis membuat Kedung Darma Romansha jatuh cinta. Seolah selaras dengan nama pria yang akrab disapa Darma ini, yang bernafas pujangga. Beberapa karyanya sudah terbitkan dalam bentuk buku. Dan baru-baru ini, ia menyelesaikan kumpulan cerpennya yang bakal diterbitkan awal bulan Juli.

Pegiat dunia sastra, teater dan juga artis peran ini tertarik fakta kehidupan sosial yang kemudian ia kemas dalam cerita fiksi. Kedung Darma Romansha menuturkan, isi daripada karya-karya fiksinya lebih banyak bercerita mengenai situasi sosial, politik, dan budaya yang terjadi di Indramayu. Misal mengenai Telembuk (PSK), Dangdut, dan gejolak politik di daerah, yang semua itu gelombangnya berasal dari pusat Jakarta.

Dalam cerita cerpennya tersebut, Darma menyajikan fenomena kapitalisasi industri yang menjanjikan hidup lebih baik, hingga warga kampung berbondong-bondong pergi mengadu nasib ke kota dengan beragam cara dan latar belakang kehidupan sosialnya. “Cerpen-cerpen saya bercerita tentang fenomena sosial yang terjadi di kampung Indramayu, yang sebetulnya ini hasil dari riset menulis di kampung halaman. Riset ini pada mulanya diperuntukkan untuk novel saya berjudul Telembuk, Dangdut dan Kisah Cinta yang Keparat,” ungkap Darma.

Novel karya Kedung Darma Romansha pernah masuk dalam ulasan novel rekomendasi Majalah Tempo 2017, dan short list Kusala Sastra Khatulistiwa. Dan beberapa bahan riset yang memang tidak dimasukan di novel tersebut akhirnya dipilih untuk diterbitkan pada versi cerpen berjudul “Rab(b)i”.

Buku pertama dari dwilogi Telembuk yang berjudul “Kelir Slindet” lahir dari hasil riset yang sama. Novel ini juga akan terbit ulang awal Juli, sementara novel Telembuk baru akan cetak ulang setelahnya.

Bagi Kedung Darma Romansha, Novel Telembuk adalah sebuah pesan untuk generasi muda dan rupanya menginspirasi kaum muda di Indramayu. Misal dengan adanya gerakan literasi yang dirikan bersama kawan-kawan mudanya di Indramayu, yang bergerak di bidang budaya dan sosial. “Ada namanya Jamaah Telembukiyah. Beberapa kawan jamaah ini pernah melakukan penyuluhan terhadap PSK, dan menariknya, cara pendekatannya melalui mengajar ngaji anak-anak PSK,” terang Kedung Darma Romansha.
***


Mbakyu, Aku Nyuwun Suntik

$
0
0

In Memoriam tentang Mas Willy


Butet Kartaredjasa *
jawapos

Di tengah kerumunan pelayat di Desa Citayam, Bogor, Jumat siang (7/8), sejumlah repor­ter muda yang kerap dilabeli ”wartawan” infotainment -saya tidak tahu apakah mereka bisa dikategorikan jurnalis atau sekadar pengulur mikrofon- tiba-tiba bertanya, ”Apa sih arti pen­ting seorang Rendra kok orang-orang ngasih peng­hormatan luar biasa seperti ini?”

Saya terhenyak. Jika kekerasan dibenarkan, ra­sanya ingin menapuk cangkem lancang itu. Pertanyaan itu sekadar pancingan atau memang muncul dari kedunguan industri pertelevisian? Spontan saya menjawab, ”Hanya orang yang ge­gar otak atau tidak waras yang menganggap Rendra tidak penting!”

Saya seperti ingin marah mendengar panci­ngan bernada pelecehan tersebut. Meski bukan murid Rendra yang bertumbuh di komunitas Bengkel Teater, saya tak rela mendengar martabat, jasa, dan peran ”guru besar” teater Indonesia itu direndahkan.

Ribuan orang yang mengalir menjadi petakziah di rumah putrinya, Clara Sinta, di Pesona Khayangan, Depok, pada malam sebelumnya atau di markas Bengkel Teater Citayam siangnya jelas membuktikan bahwa Rendra adalah tokoh besar.


(W.S. Rendra, gambar dari facebook Butet Kartaredjasa)

Dia adalah Budayawan dengan ”B” besar. Sebuah derajat yang posisinya bertakhta jauh di atas, jauh lebih tinggi dari sekadar seorang pe­kerja seni. Di dalam derajat yang mulia itulah tersimpan watak kebudayawanan yang men­jadikannya bukan manusia pendendam. Tapi, manusia yang arif dengan jiwa yang sumeleh, penuh kebijaksanaan, dan menghormati setiap pertumbuhan.

Meski ruang pengabdiannya sebagai sutradara maupun aktor kerap diartikan hanya sebatas wilayah kesenian, pikiran-pikiran Rendra yang se­lalu dilandasi ketakjuban pada kejayaan dan kebesaran sejarah bangsanya tak berhenti ha­nya dalam perkara artistik dan rumusan-rumusan estetis. Pemikiran dan gagasannya melampaui dunia seni itu sendiri.

Melaksanakan Kata-Kata

Ditambah luasnya pengetahuan dan bekal li­teratur yang disantap dari waktu ke waktu, pre­dikat ”seniman” terlalu kecil untuk disematkan ke dalam dirinya.

Dengan fasih Rendra bisa bertutur keunggul­an budaya maritim yang di suatu masa pernah membikin bangsa ini sangat terhormat dan di­segani bangsa-bangsa lain di dunia, tentang im­perialisme ekonomi yang selalu cerdik bergan­ti rupa dan mengakali negara dunia ketiga, tentang ketamakan kekuasaan yang bikin para pemimpin hidupnya keblinger, tentang ke­cemasannya pada generasi yang manja dan ce­ngeng, tentang feodalisme bertopeng demo­krasi yang terbentuk oleh masyarakat yang ge­mar jadi penjilat, dan sebangsanya.

Karena itulah, Rendra itu mahapenting. Penyair-aktor-sutradara-pemikir-deklamator ke­lahiran Solo tujuh puluh empat tahun lalu ter­sebut adalah manusia berkualitas empu yang se­tiap percikan pemikiran dan tindakan kebuda­yaannya memantik inspirasi bagi manusia-ma­nusia lainnya.

Saya menyebutnya Rendra salah satu genius yang pernah dilahirkan di bumi Indonesia. Ma­nusia yang dikaruniai aneka bakat dan -istime­wanya- semua bakat itu bersinergi serta men­jel­­ma menjadi tindakan yang kemudian dilakoni dengan konsisten sepanjang hayatnya. Dia me­laksanakan kata-kata dan pemikirannya.

Sebagai aktor panggung, siapa sih yang masih me­ragukan keunggulannya? Sebagai penyair, apa masih ada yang membantah kecermatannya me­milih kata-kata dan meragukan perannya dalam perkembangan sastra modern Indonesia? Sebagai sutradara teater, saya tak yakin jika masih ada seniman maupun pengamat yang me­nafikan sumbangan kreatifnya bagi kebuda­yaan Indonesia.

Nyuwun Suntik

Saya mengenal Rendra ketika saya masih duduk di bangku SD. Awalnya, saya cuma me­ngenalnya sebagai lelaki gondrong salah seorang sahabat ayah saya (Bagong Kussudiar­dja) yang kebetulan juga ayah teman sepermain­an saya di SD Pangudi Luhur, Jogja.

Tiga anak Rendra dari Sunarti Soewandi -Te­di, Andreas, dan Daniel- bersekolah di sekolah yang sama. Kampung kami juga bertetangga. Om Rendra, begitu dulu saya memanggil, yang tinggal di Ketanggungan Wetan kerap tiba-tiba nongol di suatu malam, di rumah kami, di Kam­pung Singosaren Lor, Jogjakarta.

Setiap Om Gondrong itu datang, pasti nanti terdengar canda cekakakan para seniman. Kemudian akan terdengar satu permintaan yang rasanya masih terngiang di kuping, ”Mbakyu… aku nyuwun suntik!”

Yang disebut ”mbakyu” itu adalah ibu saya yang memang seorang bidan. Sebagai tenaga me­dis, tentu saja di rumah selalu ready-stock vitamin, jarum suntik, dan aneka obat-obatan. Pada 70-an ketika sistem pelayanan kesehatan belum selengkap sekarang, wajarlah jika rumah kami selalu jadi jujukan para seniman yang pu­nya problem kesehatan.

Saya tak tahu persis apa yang kemudian di­sun­tikkan. Yang pasti, setiap Om Gondrong yang rambutnya sepundak itu datang mengetuk pintu, ayah saya selalu menyambut dengan can­da riang yang berujung soal suntik-menyuntik. ”Arep njaluk suntik maneh ya?” Lalu terde­ngar tawa dua seniman itu berderai memecah malam.

Belakangan hari, setelah kerap mencuri-curi ba­caan di perpustakaan ayah dan ikut nimbrung mem­baca majalah Basis, perkenalan dalam ima­jinasi terhadap Om Gondrong itu semakin intens. Melalui majalah Basis, juga majalah Tempo yang pernah menjadikan Rendra cover story pada 1970-an, laksana melakukan mediasi antara saya dan Rendra. Esai, puisi, liputan kegiatan Bengkel Teater yang kala itu me­nyelenggarakan Perkemahan Kaum Urakan di pesisir Parangtritis semakin men­dekatkan sa­ya dengan sema­ngat dan pikiran-pikiran Rendra.

Apalagi ketika kemudian saya kerap digandeng ayah saya menonton mas-mas gondrong dan dekil berlatih teater di Bengkel Teater, Ketanggungan Wetan. Bahkan, ketika saya masih bercelana pendek berkesempatan nonton Rendra memerankan Hamlet di Teater Tertutup, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, rasanya saya semakin mengenal.

Sihir Keaktoran

Hampir empat jam saya melongo, terpesona oleh keaktoran lelaki bertubuh atletis, berambut se­bahu warna perak, yang dengan artikulatif me­merankan Hamlet. Penonton mbludag. Saya yang masih kanak-kanak adalah sebuah anonim di antara aktor-aktor tangguh Bengkel Teater. Rasanya susah banget menjangkau mereka, apa­lagi untuk mengenal dan bergaul memasuki dunia mereka.

Saya hanya mematri nama-nama mereka dalam ingatan, yang dalam perjalanan waktu akhir­nya mereka saya kenal sebagai sahabat-sahabat yang penuh kehangatan: Adi Kurdi, Edy Haryono, Fadjar Suharno, Iskandar Wawo­runtu, Iwan Burnani, Dahlan Rebo Paing, Udinsyah, Sitoresmi, Yati Angkoro, Udin Mandarin, Untung Basuki, Wawan Prahara, dan lain-lain.

Tapi, Rendra tetap bintangnya. Mungkin ka­rena auranya yang karismatis yang memancar. Itulah sihir keaktoran. Vokal yang khas dan bertenaga, dengan akting yang kadang mengundang tawa lantaran dimain-mainkan secara jenaka, menyisakan kekaguman dan gerutu dalam hati: ”Tunggu saja. Suatu saat nanti aku juga akan berdiri di atas panggung yang sama. Menjadi aktor.”

Impian pada masa kanak-kanak pada 70-an itulah agaknya menjadi magma yang mendidihkan semangat menempuh jalan keaktoran saya. Mas Willy, begitu kemudian saya ikutan menyapa Om Gondrong yang kini menjadi se­sama aktor tea
ter, diam-diam telah saya daulat menjadi ”guru” tanpa dia pernah tahu.

Saya memang tak pernah tercatat jadi murid yang takzim ngangsu kawruh di Bengkel Teater. Tapi, buku ”Rendra, Tentang Bermain Drama” menjadi pedoman menerjuni sebuah du­nia impian, dunia seni peran, yang untungnya -setelah larangan pentas Rendra dicabut- saya selalu bisa mengonfirmasi bacaan itu melalui sejumlah lakon yang dipertunjukkan di kemudian hari: Sekda, Perjuangan Suku Naga, Lysistrata, Hamlet, Oedipus, dan lain-lain.

Karena itu, ketika 11 Mei lalu Mas Willy bersilaturahmi ke rumah saya lantaran tak bisa hadir pada malam pernikahan anak saya, muncullah gagasan menjelmakan buku yang banyak dijadikan pedoman aktor teater tersebut menjadi sebuah tindakan kebudayaan. Rendra ingin masuk kampus-kampus perguruan tinggi, bikin workshop, melatih, dan berbagi pengalaman tentang seni peran.

”Kapan Mas?”
”Oktober wae, setelah Lebaran. Kowe sing go­lek sponsor ya!”

Tapi, meski dikenal sangat bernyali melawan setiap bentuk penindasan dan selalu mendobrak ke­macetan yang merendahkan martabat ke­manu­siaan, Rendra tetap tak mampu melawan waktu. Rendra yang perkasa tetap manusia biasa. Keinginannya memuliakan kehidupan de­ngan berbagi pengetahuan didahului kehen­dak Yang Kuasa, setelah sebelumnya Mbah Su­rip, kawan karibnya yang lain, mendahului me­ngetuk pintu surga. Sekarang, surga telah men­jadi milik mereka.
***

*) Butet Kartaredjasa, seorang seniman dan aktor kelahiran Yogyakarta, 21 November 1961. Pada tahun 1996, mendirikan Galang Communication, sebuah institusi periklanan dan studio grafis, kemudian mendirikan Yayasan Galang. Bergabung di Teater Kita-Kita (1977), Teater SSRI (1978-1981), Sanggarbambu (1978-1981), Teater Dinasti (1982-1985), Teater Gandrik (1985-sekarang), Komunitas Pak Kanjeng (1993-1994), Teater Paku (1994), Komunitas seni Kua Etnika (1995-sekarang), dan biasa memerankan pentas secara Monolog. Dst…
https://www.facebook.com/story.php?story_fbid=10158634069030816&id=815285815

Nurla Gautama Mengenang Otto Sukatno CR dan Teater Eska

$
0
0


Nurel Javissyarqi *

Kematian seperti tamu tak diundang. Tiba-tiba datang di depan pintu mengetuk nadi insan. Pada hari itu sudah ditentukan, selepas dicatatnya tanggal kelahiran; sebelum jabang bayi menghirup langsung udara kehidupan. Tepatnya –dalam rahim- seorang ibu, takdir purna digariskan Sang Maha Pencipta; anak manusia tinggal melakoni perjalanan hayatnya sesuai garis ketentuan pun ketetapan laku nasib yang diembannya.

Ada yang “weruh, sak durunge winarah” akan waktu kematian atas kedekatannya dengan Sang Maha. Ada yang di hari kematiannya baru diberitahu, atau beberapa jam sebelum malaikat maut menjemput nyawanya. Dan ada yang dikasih kabar beberapa masa sebelum tanggal “slurupnya srengenge” berupa tanda; hanya orang tertentu yang mengetahui –bi(a)sa memahami (memaknai) peredaran sunatullah. Pada saat itu tiada penawaran ayu kecuali kemurahan Allah, Sang Pemilik perbendaharaan tersembunyi, Penguasa jagad alit diri manusia juga jagad besar alam semesta.

Man Rabbuka? Siapa Tuhanmu? Pertanyaan ini menggelegar dalam kubur, sesudah orang-orang mengantarnya -yang terakhir pergi meninggalkan dirinya, lalu hanya ditemani amal perbuatan dimasa-masa hidupnya, yang baik maupun buruk. Tentu, sebaik-baiknya perdagangan dengan Sang Maha Abadi adalah keabadian serta; memberi manfaat sesama demi kelestarian alam raya. Sebagaimana Allah Swt., mencintai keindahan, kesucian, bersyukur dan bersaksi atas kebesaran-Nya.

Kata ‘menggelegar’ di atas, hampir-hampir menyama-rupai goncangan di arsy, tatkala sepasang kekasih suami-istri bercerai sebab suatu hal. Dalam tingkatan lain ibarat langit terang benderang, tetapi terasa gelap, disebabkan berkabung. Atau suasana canda tawa di seberang jalan yang tak menarik diberi senyuman panjang. Hanya, yang dinaungi gelombang atmosfer sama, sanggup merasai betapa dahsyat suatu kesaksian dari kepastian terdekat, meski tampak jauh pandangan mata lahiriah. Ibarat di bawah mendung sewarna, langit kasih sayang dan kebencian tumbuh bersama, ketololan juga kecerdasan menghiasi alam dunia. Maka, yang senantiasa mawas diri, diperkenankan memetik buah-buahan segar, dipersila mencecapi limpahan hikmah secukupnya.
***

Saya peroleh kabar ‘mangkat’-nya Mas Otto Sukatno CR di Grup Whatsapp FP2L (Forum Penulis dan Pegiat Literasi) Lamongan, pagi hari 26 Juli 2020. Lantas melihat facebook (fb)-nya, ternyata tidak bertemanan, yang ‘sedurung’-nya memang belum mencari tahu (tak menelusuri), apakah punya fb atau tidak. Terlihat pada linimasanya sudah banyak dipenuhi kiriman kembang belasungkawa, di antaranya dari Mas Joni Ariadinata, menyebutkan waktu meninggalnya Mas Otto, pada hari Sabtu 25 Juli 2020, pukul 20.15 di Rumah Sakit PDHI Kalasan. Innalillahi wa innailaihi rojiun…

Mas Otto bagi saya adalah salah satu orang pemberi ‘password’ untuk bisa menginap seenaknya di sanggar teater ESKA, selain Mas Hamdy Salad, Mas Mathori A. Elwa, dan Mas Joni, dalam masa-masa menghirup udara sekaligus tinggal di Kota Jogjakarta sebelum-setelah Reformasi. Saya biasa ‘nggelandang’ dari kampus ke kampus, mandi di universitas satu ke lainnya, oleh tak jenak jikalau terus terkurung di kosan atau kontrakan dari tahun 1995-2001. Kampus yang biasa saya datangi ialah ISI, UMY, AKAKOM, UNY, dan Sanata Dharma. Tentu, di setiap kampus itu punya password, sekecilnya dapat mandi sesuka hati. Di IAIN (kini bersebut UIN) SuKa (Sunan Kalijaga), ‘kata sandinya’ mereka berempat. Saya sendiri kuliah di UWMY tidak sampai lulus alias lolos, bahasa agak-agak ‘mirip keren,’ jebolan.

Perekat keakraban lahir-batin dengan kawan-kawan Eska, lantaran pernah nyantri di Denanyar, nJombang, oleh rata-rata mereka lulusan pesantren. Ini agak menyerupai awal nginap di Jogja kala hendak kuliah; bermalam di Pesantren Krapyak dengan kartu santri al-Aziziyah, Denanyar, atau pada intinya mencari gratisan sambil menjajal apapun bagi pengalaman kembara. Namun jangan kira melarat, terbukti Mas Joni pernah memberi nama pena saya Nurla Gautama, tahulah sendiri Siddhartha kalangan apa pun sampai kini “suka ngere,” ucapan Binhad Nurrohmat suatu ketika, selepas acara SelaSastra di Warung Boenga Ketjil-nya Andhi Setyo Wibowo, Jombang.

Di sanggar Eska, saya punya tempat rahasia yang diri tinggali sendiri yakni di atas plafon. Di situlah biasa menulis, sebagian catatannya masuk di buku “Balada-balada Takdir Terlalu Dini,” FKKH 2001 (Cetakan II, Lintang Sastra, PuJa 2006). Hadirnya antologi puisi itu, bisa dibilang membuat banyak kecemburuan, lantaran terlalu nekat menerbitkan buku dibanding para penyair seangkatan. Maka muncullah sebutan “Penyair Buku,” tersebab belum banyak karya saya yang terbit di media. Waktu itu baru di Solo Pos, KR, Bernas, Minggu Pagi, Pos Kita, atau ‘durung’ merambah koran terbilang kelas nasional hingga sekarang. Memang, tidak rajin mengirim lagi selepas terbit, dan buku itu tanda keluar dari Jogja, bagi pengganti skripsi yang tak saya ambil.

Melalui Eska, saya mengenal Cak Kuswaidi Syafi’i, Edeng Syamsul Ma’arif, Mbak Abidah El Khalieqy, Mbak Ulfatin CH, dll. Hal membuat jenak di sana, dibanding sanggar teater kampus lain, selain ada ruang khusus juga suasana keakrabannya segambaran di pesantren, di sebelahnya ada gedung arena, tempat kawan-kawan senantiasa berlatih, meski tiada jadwal pertunjukan. Pagi hari ngopi, ngerokok, baca buku atau koran, makan di angkringan, malamnya diskusi lagi hingga selarut wedang; asbak dan puntung, jadi saksi setiap hari. Barangkali jejak guyub ini mengilhami almarhum Gus Zainal Arifin Thoha mbabat santren di kontrakannya, tepat di depan kediamannya di Krapyak, berlanjut Kuswaidi, kini Aguk Irawan Mn, atas benih-benih jiwa santrinya mBabat Pesantren. Sedikit-banyak bisa langsung pula tidak, Emha Ainun Najib merupakan cermin awal sosok santri, yang menceburkan diri dalam dunia sastra di Kota Jogja.
***

Barangkali hanya Eska, teater kampus tertua yang terus menggeliat sampai sekarang, seusia ajang demonstasi mahasiswa di UNDAR Jombang. Senafas W.S. Rendra dengan sajak-sajak pamflet, Emha lewat Lautan Jilbab. Dan Otto Sukatno CR, didapuk menjadi Ketua sekaligus Sutradara ESKA periode 1990-1994, titel naskah-naskahnya yang pernah dipentaskan: Kunci Surga, Parlemen Setan, Saru Siku, Jagad Manusia, Sungsang Sarak; dipanggungkan di IAIN serta tempat lain; Festival Teater Mahasiswa Nasional, lalu FKY 1997. Teater Eska pun tidak alergi menggelar lakon dari penulis lain Indonesia juga luar negeri. Sebelum pecah Reformasi 1998, kampus-kampus masihlah dapat menjadi ‘kosan kedua’ bagi para mahasiswa aktivis, ini memungkinkan mereka terus bertukar pikiran, sehingga kesadaran nalar tidak mandek dalam diskusi menuju aksi. Jogja seolah Indonesia Kecil, semua mahasiswanya datang dari penjuru kepulauan Tanah Air dari Sabang sampai Merauke, keadaan ini menambah kematangan kritis terasah, maka tak heran, jalan besar utara kampus lebih memanas dibanding Bundaran UGM, sewaktu Orde Baru tumbang.

Otto Sukatno CR lahir di Karanganyar, 3 Oktober 1965. Meski dirinya lulus IAIN SuKa tahun 1993, seperti para senior lain, masih mengasuh anggota baru teater Eska. Di sini, peran penting regenerasi; dipantau, diawasi, disentil kalau mbeling tak berlatih walau kekurangan alat. Maka tidak aneh, naskahnya yang berjudul “Yogya Arya Pradipta” dipentaskan di Stadion Kridosono pada puncak Ulang Tahun Keraton ke 249 (2005), dan naskah “Golong Giling Trajumanggala” digelar di Alun-alun Utara dalam acara yang sama ke 250 Ulta Keraton tahun 2006. Dan tahun 2008, menangangi naskah berlabel “Indonesia Anugerah Anda Buwana,” di panggung terbuka Sendratari Ramayana Candi Prambanan, dst. Otto termasuk orang di luar Keraton-Jogja yang menguri-uri kebudayaan Jawa, di sebelah Mas Iman Budhi Santosa, dan almarhum guru saya KRT. RPA. Suryanto Sastroatmodjo. Dengan keterbatasan hidup berpayah-payah, keilmuan luhur dapat diraup sepenuh berkah; menggali sumur-sumur tua kitab-kitab klasik; mencari pancaran hikmah dari lipatan waktu dan peristiwa; napas-napas kata pekerti adiluhung. Pada derajat ini ketulusan “manggung,” seperti ketenangan telaga memantulkan suara, menyusupi rerongga dada manusia.

Di sanggar Eska, kadang berjumpa Raudal Tanjung Banua, Marhalim Zaini; ini jauh sebelum berdirinya Komunitas Rumah Lebah, saya membentuk Komunitas Sastrawan Tugu Indonesia bersama Ahmad Muhaimin Azzet, Si Thenk, Y. Wibowo, dll yang disindir Asa Jatmiko sebagai komunitas “ngaceng.” Saya ke sanggar Eska, sesekali mengajak Satmoko Budi Santoso, kadang Teguh Winarsho AS, Sri Wintala Achmad, pun saya senang keluyuran sampai jalan-jalan tikus Jogja hapal di luar kepala. Dan terakhir berjumpa Mas Otto, beberapa tahun lalu di kantor baru Araska, penerbit buku kepunyaan Mas Teguh. Benar yang dikatakan Binhad, Mas Otto tak lagi gemuk, barangkali selain sakit, pertumbuhan usia, juga pengembaraannya ke dalam dunia kata-kata; menyusupi lelipatan waktu mengembarai alam buku, meniup napas gairah lama dalam aksara mempengaruhi badaniahnya. Jogja memang unik, sumber daya alam tidak memadai, lahan tanah tergolong murah dibanding kota lain. Namun sebab itu, kreativitasnya tumbuh, sumber daya manusia unggul terbangun, menghasilkan pendapatan tersendiri, meski upah pekerja minim dibanding kota-kota besar lain, tetapi daya saing wiraswastanya tidak dapat terbantah di atas keuletannya berkarya. Jogjakarta, masihlah berdaya magnetik kebudayaan.

Dalam biografinya disebut, Mas Otto mulai aktif menulis sejak tahun 1987 dalam dua bahasa (Indonesia dan Jawa), berupa artikel, cerpen, puisi, kolom, resensi buku, naskah drama, novel, dll. Letupan karya-karyanya tersebar di pelbagai media massa daerah pun pusat, di sisi sebagai konsultan buku, editor lepas beberapa penerbit di Jogja, penyunting dan penerjemah. Lengkung Langit (1995) adalah novelnya yang sudah disiapkan beberapa tahun lamanya, harus direlakan hilang ditelan virus komputer, lalu Metamorfosa Kupu, antologi tunggalnya yang tersendat di penerbit hingga lenyap tak berbekas. Perjalanan karya maupun lakon penulisnya, tak semulus angan mengudara, ada yang ludes terbakar, habis dimakan usia, tapi yang setiai perjuangan diganti ganjaran sepadan. Karena ingatan, kenangan, menjelma kawan seiring sejalan dalam kesunyian, dan benderang semangat menjelma anugrah tak terhingga dari Sang Maha Kuasa.

Karya-karyanya yang telah terbit: Mahhabah Cinta (1996), Kitab Makrifat (2002), Seks Para Pangeran (2003), ketiganya Penerbit Bentang, judul terakhir diterbitkan ulang Araska, 2015. Makrifat Cinta (Arahkata 2003), Pesan Buat Nurani (Mitra 2004), Dieng Poros Dunia (Ircisod, 2004), Mistik Jawa (Lkis 2005), Mirah Delima Atawa Malam Pertaubatan (Binar Press 2005), Ramalan Edan Ronggowarsito (Pustaka Pelajar 2006), Mahabbah Cinta (Logung 2005), Saru Siku; 1998 Jiwa-jiwa yang Menyerah dan yang Kalah (Jws Sastra 2005), Santri Nekad (Pustaka Pesantren 2005), Prahara Bumi Jawa (Jejak 2007), Psikologi Seks (Aruzz 2008), Mata Air Peradaban (Lkis 2010), Ratu Adil Segera Datang (Ircisod 2014), dll. Buku-buku karangan Otto Sukatno CR sangat layak dilestarikan (cetak ulang), bagi kekayaan generasi mendatang; tangga jati memahami keluhuran, cahaya penerang masa depan. Sebab tidak sekadar plesiran, ada darah daging denyut nadi hayati nan hakiki, yang patut diuri-uri demi napas-napas langgeng keadaban.

Ialah salah satu mutiara kearifan timur yang hadir dari tanah Jawa, penanam bulir-bulir pekerti dalam abad sekarang. Kini, seakan waktu berhenti tiba-tiba, atau kelambanan ‘ngonceki’ kaki-kaki melangkah; setinggi mega-mega mengudara, selengkung bumi memeluk setia. Dan ketika tempo berlalu cepat: adakah masih merindu kilatan cahaya? Harum kembang putri kangen yang disedekahkan di lembar-lembar kertas dalam buku-buku bersahaja? Untaian masa-masa paling khusyuk di atas batu pualam kepurnaan bagi sesembahan purba? Aroma sedap malam? Wangi ‘sewengi’ kantil? Melati-melati sukma sejati? Bau suci pepadian bersujud merestui? Setibanya keabadian menyungguhi tempaan nasib, menyalami ketenangan, sedalam berpeluk keridhoan.
***

Walau sebuah kematian itu peristiwa mendadak yang sudah dipersiapkan jauh, tarikan napas terdalam misteri waktu terus saja menyempurnakan, menggenapi makna paling tentu menuju kerelaan penuh. Kawan saya Wawan Pinhole (Eko Setiawan), seniman fotografi lulusan ISI Jogja asal kota Reyog Ponorogo, meninggal dunia tanggal 9 Juni 2020. Lalu 19 Juli 2020, penyair senior Sapardi Djoko Damono berpulang juga, lantas sampean Mas Otto, dan baru kemarin budayawan Ajib Rosidi, tepat 29 Juli 2020 meninggalkan kita semua. Disusul penulis antologi puisi Bunglon, Gus Im (Hasyim Wahid), adiknya Gus Dur. Maut, seperti kedipan mata tanpa bersuara, dan orang-orang kembali diingatkan, “urip mung mampir ngombe.” Semoga para beliau, diganjar sebaik-baiknya, diberi pakaian seindah-indahnya, dan dihadiahi tempat semulia-mulianya, amien ya Robbal alamien.

08 Agustus 2020

*) Pengelana yang tinggal di pulau terpencil dikelilingi bantaran Bengawan Solo, tepatnya di Dusun Pilang, Tejoasri, Laren, Lamongan.

TERLEPAS KATA, MELAMPAUI SIMBOL, MENJANGKAU MAKNA

$
0
0


A. Syauqi Sumbawi *

Sebuah koran halamannya terbuka di hari merangkak senja. Tergeletak dalam lipatan di atas meja. Jeda terbaca. Digantikan percakapan dalam kata yang terucap. Juga isyarat bahasa oleh mata tertangkap.

Ah, bukankah kata-kata yang tercetak juga mengajak seseorang bicara?!

Di ruang tamu, Abdun sendiri. Pakde Banjir, si tuan rumah, baru saja berlalu ke dalam.

Tanpa kata-kata terucap, Abdun tahu, inilah yang biasa dilakukan pensiunan pegawai kantor kecamatan itu. Kurang sebulanan dari idul ‘adha, dia akan memanggil Abdun datang ke rumah. Berbicara tentang hewan untuk kurban. Meminta Abdun untuk menyiapkannya. Dan tahun ini, sudah ketujuh kalinya.

Entah, apa yang menjadikannya seperti itu. Padahal, tidak sedikit orang di desanya yang bisa disebut sebagai pakar per-kambing-an dan per-sapi-an. Pakar hewan kurban. Sementara dia, hanya angon. Paling banter, enam ekor kambing. Itu juga ketika salah satu kambing betinanya usai melahirkan. Lantas, ketika waktu menyusu anak kambingnya habis dan kebetulan ada tetangga yang ingin membeli, dia pun akan melepaskannya. Tentu, jika harganya cocok menurut Abdun.

Apakah kepercayaan?! Mungkin saja. Dan agaknya, hal seperti itu tak perlu dikatakan. Tak perlu juga ditanyakan kepada Pakde Banjir. Barangkali untuk dimengerti saja. Lalu dijaga. Karena terkadang, kepercayaan yang diomong-omongkan dan diiklankan, malah menjadikannya terdengar seperti bualan.

Abdun diam menatap ke arah meja. Juga pikirannya. Sebaris kata-kata pada halaman koran itu seperti menyapa. Mengajak bicara dan berkabar kepadanya.

Ternyata, Mas Nur seorang penyair, pikir Abdun. Kemudian membaca puisi-puisi yang ada di halaman koran minggu itu.

Yah, puisi. Selalu saja kata-kata yang tak mudah dimengerti. Karena kata dalam puisi, bukan sekadar kata. Bukan sekadar simbol. Tapi, kata-kata “bersayap”, yang menjangkau makna.

Bagaimana kata-kata “bekerja” dalam puisi inilah yang tampaknya hendak dikabarkan oleh Agus Buchori melalui karyanya berjudul “Muasal Puisi”, dalam buku Muasal Puisi: antologi puisi (Lamongan: Pustaka Ilalang, 2020) hlm. 1, diungkapkan sebagai berikut:

MUASAL PUISI

Kita memulainya dengan mengenal aksara
mengasosiasikannya dengan benda benda
tiba tiba ia bermakna
saat kita memadukannya

meski ada yang bilang ia hanya tanda
bukankah segala di dunia ini perlu penanda

mungkin kita ciptakan tanda kita sendiri
dengan kata kata yang bersuara
dari benakmu dan olah rasa pembacamu

kadang ada kejutan
saat kata itu terlepas
ia menyuarakan sendiri tandanya
dan seringkali kita
silang sengkarut dibuatnya
***

Sebelum kata-kata dalam puisi —dituliskan—, kita memulainya dengan mengenal aksara/. Istilah lainnya, sistem tulisan. Dari sinilah, sebuah keberadaan (benda-benda) maupun peristiwa mendapatkan simbol. Dari perpaduannya, kemudian lahirlah kesan yang melampaui apa yang diasosiasikannya. Bukan hanya sekedar simbol, namun … ia bermakna/. Bagi kemanusiaan.

Kehadiran puisi tidak bisa dilepaskan dari penyair. Keduanya saling melengkapi untuk meng-“ada”, baik eksistensi maupun esensi. Keduanya saling menandai. Karena,… bukankah segala di dunia ini perlu penanda//.

Maka, setiap karya puisi adalah tanda yang khas dari setiap penyair, baik bahasa, gagasan, maupun —potensi—rasa. …dengan kata kata yang bersuara/ dari benakmu dan olah rasa pembacamu//.

Namun, beginilah nasib puisi. … saat kata itu terlepas/ ia menyuarakan sendiri tandanya/. Karena bahasanya “bersayap”, dia terbang menjumpai para pembacanya, dari golongan berjenis manusia yang berbeda-beda. Bahkan, tak ada manusia yang sama, satu dengan lainnya. Dan semua itu adalah rahmat.

Barangkali karena ini pula, tidak ada dalil agama yang menyatakan bahwa berbeda itu dosa. Apalagi hanya perbedaan penafsiran terhadap sebuah puisi, seperti pada sebuah diskusi, di acara minum kopi, dan lain-lain..

Karena itu, ketika …kita silang sengkarut dibuatnya//. Bahkan, hingga tak nampak lagi wajah manusia pada seseorang di sana. Karena ego dan sebagainya. Maka, barangkali itu adalah datangnya waktu—yang paling mudah ditengarai—, untuk menafsirkan diri sendiri, yang disimbolkan dengan kata; manusia.
***

Abdun beralih dari koran yang dibacanya. Pakde banjir telah kembali. Tersenyum mengawasi.

“Sampeyan suka baca?! Puisi?!

“Ya… suka tidak suka, pakde.”

“Paham bahasa puisi?!

“Paham tidak paham…” Abdun renyah tertawa.

“Aku sendiri… emboh. Gak paham, blas gadas.” —tidak tahu sama sekali—
Keduanya tertawa dalam canda.

“Puisinya Mas Nur, Pakde… bagus!” Abdun mengangkat jempolnya.

“Bagus apanya, Dun?!” timpal Pakde Banjir. “Lha, wong… dimasukkan pesantren, disuruh ngaji, malah nulis puisi…”

“Nulis puisinya setelah ngaji, Pakde…”

“Ngerti teko endi?!—tahu darimana—

“Lha, ini…” kata Abdun menunjuk judul puisi.

Pakde Banjir tersenyum. Kemudian mengalihkan pembicaraan tentang hewan kurban.
***

Dalam perjalanan pulang membawa uang sepuluh juta untuk tiga kambing, Abdun teringat puisi itu. Juga teringat Mas Nur, yang sejak kecil sering dikatakan mbethik atau nakal oleh para tetangga. Kendati sebenarnya tidak seperti itu.

Yah, sepengetahuan Abdun, putra sulung Pakde Banjir itu hanya kerap membikin keramaian. Bukan bikin onar atau rusuh. Bahkan, apa yang dilakukan bersama teman-temannya itu lebih merupakan sebuah kreativitas. Mungkin karena sering mengganggu waktu istirahat para tetangga saja, sehingga kata mbethik itu dengan mudah disampirkan kepadanya.

Dan kini, jalinan peristiwa itu mulai menampakkan hadirnya di pikiran Abdun. Tentang Mas Nur dengan puisi berjudul “MU-Asal Puisi” itu.
***

7 Juli 2020.

___________________
*) Ahmad Syauqi Sumbawi, sastrawan kelahiran Lamongan 28 April 1980. Menulis cerpen, puisi, novel, esai, kritik, dll. Sebagian karyanya dipublikasikan di media massa. Puisi-puisinya terkumpul dalam antologi: Dian Sastro For President; End of Trilogy (Insist, 2005), Malam Sastra Surabaya; MALSASA 2005 (FSB, 2005), Absurditas Rindu (2006), Khianat Waktu (DKL, 2006), Laki-Laki Tanpa Nama (DKL, 2007), Gemuruh Ruh (2007), Kabar Debu (DKL, 2008), Tabir Hujan (DKL, 2010), Darah di Bumi Syuhada (2013), Pesan Damai di Hari Jumat (2019), Menenun Rinai Hujan (2019). Dan beberapa cerpennya dapat dibaca pada kumpulan: Sepasang Bekicot Muda (Buku Laela, 2006), Bukit Kalam (DKL, 2015), Di Bawah Naungan Cahaya (Kemenag RI, 2016).
Sementara antologi tunggalnya: Tanpa Syahwat (Cerpen, 2006), Interlude di Remang Malam (Puisi, 2006), dan #2 (SastraNesia, Cerpen 2007). Novel-novelnya yang telah terbit: Dunia Kecil; Panggung & Omong Kosong (2007), Waktu; Di Pesisir Utara (2008), dan “9” (2020). Sedangkan bukunya dalam proses cetak ulang “#2,” dan Limapuluh (kumpulan puisi) segera hadir. Selain menulis, juga berkebun, dan mengelola Rumah Semesta Hikmah, dengan kajian dibidang sastra, agama dan budaya, di dusun Juwet, Doyomulyo, Kembangbahu, Lamongan.

CERITA RAKYAT DAN STRUKTUR SOSIAL

$
0
0

Aprinus Salam *

Kalau mau tahu cara berpikir dan struktur sosial serta relasi-relasi suatu masyarakat, maka pelajari dan pahamilah cerita rakyat tradisionalnya. Kita tahu bahwa nilai-nilai, norma, dan kemungkinan mitos-mitos masih diwariskan dalam cerita tradisionalnya. Cerita-cerita itu sering menjadi pedoman masyarakatnya dalam kehidupan sehari-hari, baik pedoman dalam praktik berpikirnya maupun pedoman dalam praktik sosial. Pada masanya, cerita rakyat itu dibuat sebagai sesuatu struktur mental yang pada gililirannya menstrukturasi struktur masyarakatnya.

Setiap masyarakat memiliki cerita tradisionalnya sendiri-sendiri. Jika ada perbedaan dalam cerita tradisional untuk setiap lokalnya, kultur masyarakatnya juga tidak bisa disamakan. Di nusantara, cerita rakyat banyak kesamaannya, walaupun di beberapa detil terdapat beberapa perbedaan.

Tulisan pendek ingin membicarakan cerita rakyat tradisional dari Jawa. Hal yang ingin diperhatikan adalah bagaimana struktur sosial masyarakat dalam cerita tradisionalnya, persoalan gender, dan masalah etnisitas.

Berdasarkan amatan terhadap beberapa cerita, seperti Nawangwulan dan Jaka Tarub, Timun Emas, atau Bawang Merah dan Wawang Putih, dan sebagainya, maka struktur masyarakat masih diceritakan dalam konteks yang hierarkis. Dalam cerita itu, di masyarakatnya terdapat kelas atas (bangsawan) dan kelas bawah. Kelas bawah harus mengabdi ke kelas atas, kelas atas pada umumnya bertindak sebagai agen, dan terutama sebagai agen penolong atau penyelamat. Karena kelas atas yang diposisikan memiliki kemampuan itu.

Nilai-nilai tersebut berpengaruh terhadap cara berpikir masyarakat yang menjadi warisannya. Walaupun nilai-nilai demokrasi modern berusaha keras disosialisasikan, tetapi dalam praktiknya, sangat sulit bagi orang Jawa untuk melihat bahwa manusia itu sederajat. Manusia ditakdirkan untuk berbeda, ada yang lahir sudah berstatus atas (bangsawan), dan kelak bakal menjadi pemimpin, ada yang ditakdirkan menjadi kawula (yang dipimpin).

Hidup seperti dalam suatu struktur yang telah ditentukan. Mungkin akan ada kasus-kasus seseorang kelas bawah bermigrasi. Akan tetapi, hal itu bukan karena usaha dalam pengertian “kerja fisik”, karena hal itu akan berhadapan dengan kekuasaan struktural. Ada dua kemungkinan, pertama berkah akan adanya kekuatan supranatural yang mengatur kekehidupan. Kemungkinan kedua melakukan “perjalanan spritual”, dalam berbagai cara seperti bertapa, meditasi dan menyingkir dari kefanaan”, untuk menjadi manusia baru dan berbeda. Mungkin kelak orang tersebut menjadi seseorang yang hebat dalam struktur sosial masyarakatnya.

Sebagai konsekuensinya, kadang orang merasa nyaman dalam kondisi apa yang menjadi kesadaran ideologisnya, dalam struktur masyarakat tersebut. Mengubah kesadaran terhadap adanya perbedaan derajat tentu sulit. Masalah lain, bahwa “struktur atas” dalam masyarakat sekarang, seperti orang kaya, para terdidik, juga menikmati perbedaan tersebut, dan berusaha mempertahankan warisan cerita tersebut.

Memang kemudian, Islam misalnya, memberikan nilai-nilai baru bahwa pada dasarnya manusia itu sama dan sederajat. Sebagai agama yang cukup dominan, dalam beberapa hal nilai-nilai Islam sangat berpengaruh. Akan tetapi, dalam praktiknya tidak demikian. Islam juga membedakan adanya perbedaan derajat bahwa orang “berilmu” itu, atau para alim ulama, seolah lebih tinggi kedudukannya. Mitos yang dibangun dalam cerita rakyat sering sejalan dengan nilai-nilai dalam agama.

Dalam hubungannya dengan masalah dan relasi gender, dalam cerita tradisional termasuk masalah penting. Banyak cerita tradisional bercerita tentang proses perjodohan. Wanita biasanya termasuk yang diperebutkan. Untuk mendapatkannya harus melalui berbagai proses yang bertahap dan bersyarat. Akan tetapi, hal ini sekarang juga telah mengalami banyak kelonggaran, bahkan telah banyak berubah. Cerita-cerita atau narasi-narasi modern sedikit banyak ikut mengubah cara pandang tersebut.

Dalam konteks cerita tradiosinal tersebut, wanita menjadi penting. Akan tetapi, berdasarkan narasinya, tetap saja wanita menjadi “objek” yang diperebutkan. Bahkan hampir semua cerita tradisional menceritakan wanita harus setia dan patuh pada suami. Wanita harus kawin karena kalau tidak kawin seperti seseorang yang tidak laku. Wanita juga harus melahirkan karena kalau tidak melahirkan dia bukan wanita sebagai wanita ideal yang diidealkan.

Dengan demikian, walaupun nilai-nilai feminisme modern berusaha dengan keras mensosialisasikan kesetaraan gender, tapi dalam praktiknya masil sulit. Kita bisa lihat kenyataan bahwa hingga hari ini wanita tetap saja masih subordinat, bekerja di rumah dan mengalami doministifikasi yang membuat perkembangan karier hidupnya tidak sama dengan laki-laki. Memang, tentu saja telah terjadi perubahan di sana-sini. Ke depan, dengan semakin banyaknya wanita yang hebat, akan terus berubah.

Akan tetapi, hal lain yang cukup menggembirakan adalah bahwa dalam berbagai cerita rakyat tradisional, masalah etnis tidak muncul sebagai masalah. Dalam beberapa cerita diceritakan bahwa adanya perbedaan etnis tidak menyebabkan adanya perseteruan. Orang tidak dibedakan dari etnis mana dia berasal, bahkan dalam banyak hal dapat bekerja sama dengan baik.

Dalam perjalanannya, semakin banyak orang terlibat dalam politik kekuasaan dan rebutan kekuasaan, yakni dengan memanfaatkan politik identitas dan memberdayakan SARA. Hal itu menyebabkan konstruksi cerita rakyat tradisional dan bangunan konstruksi sosialnya ambyar. Politik identitas menyebabkan munculnya berbagai oposisi karena alasan agama, suku, dan ras.

Hal itu menjelaskan bahwa beberapa kasus konflik etnis dan agama di Yogya, misalnya, relatif belum selesai. Di Solo, atau beberapa tempat lain muncul beberapa kasus etnis dan ras yang masih sangat mencemaskan. Hal ini menjadi semacam terorisme dan radikalisme internal. Karena di dalam selimutnya sendiri, banyak bara internal akan hidup sewaktu-waktu. Artinya, penangan terhadap terorisme dan radikalisme internal harus terus menerus dikelola dan dikendalikan.

Akan tetapi, hal tersebut lebih sebagai masalah ekonomi dan politik, bukan masalah kultural. Secara kultural sebetulnya orang Jawa tidak begitu menganggap penting adanya perbedaan etnis dan agama. Ini menyebabkan kebudayaan harus menyangga “penyakit” dalam politik dan ekonomi.

Dalam sejarahnya dulu, cerita rakyat itu ada yang mengarang. Ada orang yang diberi tugas untuk mengarang cerita, dan cerita itu kemudian disosialisasikan. Kita tahu, bahwa yang punya kekuasaan/kekuatan untuk memberi perintah tentulah para penguasa, orang yang bisa memberi imbalan kepada pengarang. Kemudian para pengarang itu membuat cerita yang tentu saja dapat dipastikan justru memapankan kekuasaan penguasa, yang biasanya laki-laki.

Persoalannya sekarang, apakah cerita rakyat tradisonal itu harus terus diwariskan, atau kita perlu membuat cerita rakyat baru? Akan tetapi, siapa yang bisa mengarang cerita rakyat secara canggih, tentu para terdidik dari “kalangan atas”. Dan yang lebih penting, siapa yang bisa bayar?
***

*) Dr. Aprinus Salam, M. Hum., Sastrawan kelahiran Riau, 7 April 1965. Dosen FIB UGM, Kepala Pusat Studi Kebudayaan UGM sejak 2013, Anggota Senat Akademik UGM 2012-2016, Konsultan Ahli Dinas Kebudayaan DIY (2013-2016). Pendidikan S1, Bahasa dan Sastra Indonesia FIB UGM (Lulus 1992), S2 Program Studi Sastra Pasca Sarjana UGM (Lulus 2002, salah satu wisudawan terbaik), S3 Program Studi Sastra (Program Studi Ilmu-Ilmu Humaniora, Pascasarjana FIB UGM, lulus 2010).

LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (18-21)

$
0
0

Sunu Wasono

LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (18)

Kalau saja Lik Mukidi tak merecoki, cerita “Lenga Tala” ini sudah awak selesaikan kemarin. Coba sampeyan pikir, lagi asyik-asyiknya menulis, dia bilang bahwa dirinya sudah tahu akhir ceritanya. “Tak seru dan tak lucu. Akhirnya cuma begitu saja. Kalau tahu cuma begitu, aku tak mau baca dari awal. Aku pikir ada kejutan. Gak tahunya…huh. Rugi.”

Demikian antara lain komentar Lik Mukidi ketika awak sedang menulis kelanjutan cerita ini. Seperti biasa, dia panjang lebar bicara tentang napas tulisan. Katanya napas tulisan lebih panjang daripada napas penulisnya kalau tulisan itu bagus. Penulis boleh mati, tapi tulisannya tetap hidup sepanjang masa. “Untuk mencapai tulisan macam itu tak cukup seorang penulis hanya mengandalkan bakat alam. Penulis harus senantiasa mengasah kepekaan dan intelektualitasnya,” tegas Lik Mukidi.

Dalam menjelaskan, Lik Mukidi berkali-kali menyebut artikel Subagio Sastrowardoyo, “Bakat Alam dan Intelektualisme.” Kata Lik Mukidi percuma saja kalau penulis hanya asal menulis. “Tulisan harus punya ruh. Punya energi dan spirit yang sanggup menggugah perasaan pembacanya. Kalau tidak punya semua itu boleh dibilang tak ada artinya. Kalau yang kauhasilkan itu tak ada “dulce et utile-nya”, tak punya arti, tak punya makna, tak punya guna, tak mencerahkan, tak membuat pembaca terhibur, tak membuat pembaca mengalami semacam katarsis pada dirinya, dan tak membuat pembaca sadar akan harkatnya untuk apa kaukerjakan. Mending kau menggosok akik atau mengeruk lumpur di got. Keruan saja kau berkeringat sehingga perutmu yang nyempluk atawa membuncit macam perut Semar karena kebanyakan gajih itu bisa kempes. Perut kok sebesar itu. Tak terbayang bagaimana saat kau memberi nafkah batin istrimu. Mau pakai gaya bercinta macam mana. Gaya kethek mangku, tak mungkin. Gaya Bima manggul gada, apalagi. Gaya memintal tambang macam ular talipicis saat gancet (bercinta), jauh. Gaya nungging atau mithing, tangeh lamun. Sekadar ambil posisi 69 yang memungkinkan masing-masing bisa terpagut dan memagut wilayah atau organ tubuh yang paling angker pun rasanya susah. Pasti terganjal gunung di perutmu itu. Ha ha ha ha. Wis, maju tatu mundur ajur,” ujar Lik Mukidi.

Coba sampeyan pikir, apa tak sadis komentarnya. Kata orang Jawa, khususnya orang Eromoko, Wonogiri sana, komentar Lik Mukidi itu mandhes dan nylekit. Mungkin salah awak juga. Awak lalai. Ketika dia datang, tak buru-buru awak sediakan “sajen” macam kopi dan rondo royal–sekurang-kurangnya–buat dia. Begitulah akibatnya. Kebetulan bini awak juga lagi sibuk melayani tukang yang baru datang untuk membuat ruang buku, semacam perpustakaan kecil buat keluarga sendiri. Saat dia datang, pernyataan pertama yang dia lontarkan menyinggung kopi. Dia cuma bilang begini, “Sejak kapan ya masyarakat perkopian Nusantara itu dibentuk?”

Jelas dia tidak sedang bertanya meski secara lahiriah apa yang dia ucapkan itu kalimat tanya. Dengan mengatakan begitu, secara semiotis sebetulnya dia sedang minta dibikinkan kopi. Lebih tegas lagi, dia sedang memerintahkan awak untuk menyeduh kopi–apa pun jenis kopinya: kopi sasetan, gilingan, luwak atau nonluwak–buat dia. Awak paham itu. Hanya karena awak lagi asyik menulis, bini awak lagi melayani tukang yang akan mulai bekerja, dia seperti dicueki alias kurang teperhatikan. Akibatnya panjang.

Untunglah akhirnya masalah itu tak berlarut-larut. Tak usah tanya dengan apa aksinya dihentikan. Semua bisa diatur, seperti kata mantan Wakil Presiden Adam Malik dulu, di zaman Pak Harto berkuasa dulu. Sampeyan pasti tahulah. Kebetulan di rumah awak masih ada persediaan pisang tanduk dan singkong apui. Awak rebus singkong dan pisang itu, lalu awak hidangkan bersama seteko kopi. Awak sediakan juga sebuah kipas angin untuk ngadem agar tak kepanasan. Maklum di rumah tak ada AC. Wong ndeso macam awak mana mungkin pakai AC. Bisa-bisa masuk angin terus. Dia langsung sibuk dengan hidangan itu. Tak sampai setengah jam ruhnya sudah di alam mimpi. Lumayan keras dengkurnya. Awak pun menyingkir dan mulai menulis lanjutan cerita sebelumnya. Inilah hasilnya. Selamat membaca.

LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (19)

Prabu Kerpaya buru-buru ingin mendengarkan cerita putrinya, Kerpi. Dimintanya Kerpi lebih mendekat agar dirinya dapat mendengar dengan baik. “Ayo Kerpi. Kamu mau cerita apa. Katakan agar Ayah tahu keinginanmu,” perintahnya.
“Sebelumnya aku minta maaf, Ayah. Apa yang akan aku ceritakan ini betul-betul aku alami. Aku tidak bermaksud mengada-ada. Aku tidak bermaksud berbohong.”
“Katakan apa adanya. Ayah ingin mendengar. Apa yang sedang terjadi. Kalau ada yang mengganggumu, sebutkan siapa namanya. Akan kubuat perhitungan.”
“Ayah, tak ada yang menggangguku. Aku cuma mimpi,” ujar Kerpi.
“Ayah kira ada sesuatu yang penting. Cuma mimpi. Semua orang tahu bahwa mimpi itu cuma kembangnya orang tidur,” Prabu Kerpaya menimpali. “Kupikir kamu mau cerita tentang laki-laki yang kautaksir atau menaksirmu.”
“Ceritaku belum selesai, Ayah.”
“Baik. Lanjutkan. Cuma sebelum melanjutkan, dengarkan baik-baik bahwa mimpi itu bermacam-macam. Ada jenisnya. Mimpimu mimpi yang mana: kacakrabawa, kasudarsana, kawasita, atau kadarakasih. Kamu mimpi apa. Ayo cepat katakan.”
“Aku bertemu laki-laki ganteng yang menggendong anak.”
“Lalu…”
“Ia ganteng sekali.”
“Tadi sudah kaubilang. Lainnya…”
“Dia menggendong anak.”
Sampai di situ Kerpi diam. Prabu Kerpaya menahan napas. Kerpa, adiknya Kerpi, gelisah. Hawa di istana mendadak panas. Dua ekor cicak di dinding berkejaran. Tampaknya mereka sedang berolah asmara.
Terdengar isak tangis Kerpi.
“Kerpi,” ujar Prabu Kerpaya. “Kenapa kamu menangis? Apa mimpimu hanya sampai di situ, lalu kamu bangun?” Usut Prabu Kerpaya.
“Tiii ttidak, Ayah.”
“Terus bagaimana kelanjutannya? Kamu sempat bicara tidak sama dia. Kamu tak bertanya siapa namanya, Kerpi. Ayo ceritakan. Jangan membuat ayahmu penasaran.”

Kerpi menarik napas sejenak. Angin kemarau bertiup membelai wajah Kerpi. “Ayah, dia ksatria yang ganteng.” Sampai di situ Kerpi tak sanggup melanjutkan ceritanya. Bibirnya yang ranum dan semerah buah tomat itu bergetar.
“Katakan bagaimana setelah itu, Kerpi. Kamu mimpinya kapan. Tengah malam atau menjelang pagi.”
Kali ini Kerpi punya kekuatan untuk mengatakan apa yang dirasakan. “Mimpiku menjelang pagi, Ayah. Aduh Ayah, aku gak kuat. Aku jatuh cinta padanya. Nikahkan aku dengannya, Ayah. Kalau aku tak menikah dengan dia, lebih baik aku mati saja.”
Prabu Kerpaya lega sekaligus cemas. Lega karena putrinya sudah mulai tertarik pada laki-laki. Cemas karena dia tak yakin bisa memenuhi permintaan anaknya. “Ke mana aku harus mencari laki-laki yang hadir dalam mimpi Kerpi,” gumamnya. Meskipun begitu, di hadapan putrinya ia tak boleh menunjukkan kesan pesimis.
“Jagat dewa batara. Sekalinya ingin kawin kamu ngebet sekali. Mudah-mudahan mimpimu mimpi kadarakasih. Mimpi yang akan menjadi kenyataan, anakku.”

Belum sempat ucapan Prabu Kerpaya diaminkan putra-putrinya, mendadak seorang prajurit tanpa dipanggil menghadap raja. Dia melaporkan bahwa ada seorang laki-laki melakukan aksi pepe di alun-alun. Dia menggendong bayi yang terus menangis saja. Tanggap terhadap laporan prajuritnya, Prabu Kerpaya memerintahkan agar laki-laki tersebut dihadapkan kepadanya.

LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (20)

Begitu kakinya menapak di sitihinggil, Bambang Kumbayana langsung disambut Prabu Kerpaya. Aneh bin ajaib, Haswatama yang semula menangis langsung diam. Kerpi tak sanggup menyembunyikan kegembiraannya. Mendung di wajahnya lenyap seketika. Semula matanya basah, tapi lama-kelamaan berubah menjadi berbinar-binar. Akhirnya kesampaian juga keinginanku, batinnya. Ia yakin bahwa laki-laki yang baru saja datang adalah jodohnya.

“Ayah, inilah laki-laki tampan yang hadir dalam mimpiku,” ujar Kerpi. “Kalau aku gagal menikah dengannya, lebih baik aku mati saja.”
“Sebentar. Sebentar. Sabar, Kerpi. Jangan begitu. Boleh cinta, tapi jangan agresif begitu. Jaga martabat. Ngono ya ngono ning aja ngono,” tegur Prabu Kerpaya. “Aku mesti tanyakan dulu siapa dia dan apa yang ingin dia sampaikan.”
Bambang Kumbayana belum sepatah kata pun berbicara karena belum diberi kesempatan.
“Ki Sanak, siapa namamu. Dari mana asalmu. Apa yang kamu inginkan,” tanya Prabu Kerpaya.
“Hamba Bambang Kumbayana, putra raja Atas Angin. Hamba menghadap Sinuhun tak lain ingin menyampaikan permohonan.”
“Katakan apa permohonanmu. Ceritakan juga bagaimana kamu sampai di sini. Untuk apa pula kamu pepe. Apa sebenarnya yang kauinginkan. Katakan sejujurnya sebelum aku menjatuhkan hukuman kepadamu.”
“Ayah, kenapa Ayah ingin menjatuhkan hukuman kepadanya. Apa salah dia. Kalau begitu, Ayah tidak sayang pada Kerpi. Aku pamit, Ayah,” Kerpi mau berdiri tapi ditahan Prabu Kerpaya.
“Kamu mau ke mana?”
“Ke laut!” jawab Kerpi singkat
“O, mau melihat laut pasang ya.”
“Ah, Ayah begitu. Masa orang gak salah akan dihukum. Aku gak terima.”
“Diam dulu. Tenang saja kamu. Lihat nanti hasilnya. Percayalah sama ayahmu.”
Kepada Bambang Kumbayana, “Ceritakan, Wong Bagus.”

Diceritakan oleh Bambang Kumbayana ihwal dirinya sejak kepergiannya dari Atas Angin hingga pertemuannya dengan Dewi Wilutama yang membuahkan seorang putra yang diberinya nama Haswatama. Prabu Kerpaya mendengarkan cerita Bambang Kumbayana dengan antusias dan saksama.
“Dari ceritamu yang panjang sekalib tadi, aku menyimpulkan bahwa kamu datang ke sini ingin mencari perempuan yang bersedia kamu nikahi dan mau menerima kamu sebagaimana adanya. Apa betul kesimpulanku, Wong Bagus,” ujar Prabu Kerpaya.
“Benar, Paduka,” jawab Bambang Kumbayana singkat.
“Ini anakku. Namanya Kerpi,” sambil menunjuk Kerpi. “Coba kamu salaman dulu.”
Bambang Kumbayana mengulurkan tangannya ke arah Kerpi yang oleh Kerpi langsung disambut dengan hangat. Tak sekadar itu. Kerpi merangkul Bambang Kumbayana. Lalu mengambil Haswatama dan menggendongnya. Haswatama langsung lengket di tubuh Kerpi. Ia kelihatan nyaman dan bahagia.

“Hei Kerpi, Bambang Kumbayana, apa aku perlu menanyakan kalian, maukah kalian berjodoh. Bagiku, semuanya sudah jelas. Kerpi sekian lama dingin terhadap laki-laki. Berapa ratus pemuda yang melamarnya harus pulang dengan tangan kosong. Semua ditampik. Sekali terbuka hatinya justru lewat mimpi. Dalam mimpinya bertemu dengan seorang laki-laki yang menggendong anak. Laki-laki itu adalah kamu, Bambang Kumbayana. Apa lagi yang mau kita bicarakan. Kalian kunikahkan. Bagaimana, setuju?”
Kerpi langsung menyambar, “Menang itu yang aku inginkan, Ayah.”
“Bagaimana dengan Bambang Kumbayana?”
“Hamba setuju dan berterima kasih telah menolong kami,” kata Bambang Kumbayana sambil menyembah Prabu Kerpaya.
“Lega rasanya hatiku,” ujar Kerpaya. “Kalian sekarang bersiap-siaplah. Istana ini akan ramai. Rakyat berhak bahagia atas perkawinan kalian. Di alun-alun mereka akan aku jamu.”

Prabu Kerpaya segera memerintahkan staf istana untuk mengurus perkawinan Bambang Kumbayana-Kerpi. Sebuah kamar khusus telah disediakan untuk kedua mempelai. Keluarga besar raja sangat berbahagia dengan perkawinan itu. Pesta pun diselenggarakan siang itu juga. Di alun-alun diadakan aneka pertunjukan seni sampai sore dilanjutkan makan-makan.

LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (21)

Ada saatnya orang berhenti sejenak, tak menulis terus sampai lupa segala-galanya: lupa kalau punya bini, lupa makan, lupa tidur, lupa olahraga, dan lupa-lupa. lainnya. “Rajin” menulis itu baik, tapi kalau terlalu rajin juga tak baik. Dulu ada istilah kritik kerajinan tangan. Kalau tak salah istilah itu dilontarkan untuk menanggapi (mengejek) kritikus yang sangat produktif, tapi mengabaikan kualitas. Awak lupa siapa yang melontarkan istilah itu. Kalau tak salah, Budi Darma. Menulis cerita pun seharusnya juga mempertimbangkan kualitas. Idealnya, seorang penulis tak asal menulis. Dengan bilang begitu bukan berarti awak ingin mengatakan bahwa tulisan awak sudah berkualitas. Awak hanya ingin bilang bahwa perlu bagi penulis untuk tak buru-buru melanjutkan tulisannya kalau belum siap. Terus terang, sekarang awak belum bisa melanjutkan. Apa sebabnya? Tak usah awak katakan sampeyan pasti sudah tahulah. Siapa sih yang sering minta disediakan kopi dan rondo royal kalau ia bertandang ke rumah awak? Dialah yang membuat awak harus menunda lanjutan cerita “Lenga Tala”. Nanti awak jelaskan perkaranya. Sekarang awak selingi dulu dengan puisi–kalau ini bisa disebut puisi. Silakan baca.

KEPERGIANNYA

Tak perlu kauratapi kepergiannya sebab pada saatnya dia akan kembali. Kau akan dibuat kuyub dan basah dalam gelora rindunya.

Kau tak perlu meronta atau menepisnya ketika puncak rindu itu ditumpahkannya. Jadilah anak yang merasa nyaman dalam pelukan ibunya tanpa bertanya untuk apa. Jadilah pasir yang dengan ikhlas dihempas dan dibilas kembali oleh ombak samudra.

Bila petang ini yang kaudapati hanya debu yang memedihkan matamu, anggaplah itu bagian dari ritual yang harus kaujalani sebelum pada akhirnya dia datang untuk memelukmu.

Ada saatnya kau terpanggang di atas geladak perahu oleng, tapi percayalah di saat lain kau pun akan menjumpai telaga bening yang membasuh luka-lukamu.

Di atas telaga itu kau pun akan berlayar dengan bidukmu. Alun dan semilir angin akan setia menemanimu, bahkan sampai kau menembus alam mimpimu.

(bersambung)

Sajak-Sajak Sumargono SN

$
0
0

ISTIRAHATLAH

Istirahatlah sayang
malam begitu menyayat
kalam Tuhan yang terucap
menambah haru pilu hatimu.

Berbaringlah sayang
peluk erat pekat malam
jangan risaukan diriku,
di sini memeluk bayangmu.

Lelaplah sayang
wanita berambut ikal
sendu dari tatapanmu,
tiada mampu kau tutupi.

Tidurlah serpihan hati
setidaknya mampu
melepas rindu.

Yakinlah cinta pasti bersatu
meski deru mengusik laku.

16 Juli 2020

NYARIS GILA

Jalan setapak menuju taman
ilalang menghadang
ranting tumbang
menutup jalanan.

Terlihat bunga mekar
kupu-kupu riang menari
hijau, merah, kuning, ungu
semua menyilau pandang.

Terdiam memutar akal
bertolak dan pulang
mungkin menerjang
meski menggores luka.

Sedang indra terbius sudah
atas yang tertangkap

Nyaris gila.

KIRANA

Deretan buku pada laci yang membisu
satu di antara melambai memanggilku
Debu-debu menampar
juga sampul menikam kasar.

Membuka lagi ingatan
Kirana; sang wanita malam
pernah merayu dengan segala cara
bahkan nafas itu masih lekat di nadiku.

Selayak bulan, itu hadirmu
terjaga menemani
lenyap kala fajar tiba.

Aku terlanjur janji
saat kulucuti dirimu
menikmati wangi kasturi
membagi cerita
antara dewata dan bidadari.

Kirana, musim ini tiba
namamu menghantui,
entah di mana kau berdiri
atau nisan yang membatasi.

Relakan janji terbenam bersama mentari
jadilah Kirana sebenarnya
pada tiap malam setiap manusia
tetap bercahaya
meski nama tinggal goresan kata.

Madiun, 30 Juli 2019

Sumargono SN, kelahiran Madiun tahun 1991. Tertarik pada dunia puisi sejak sekolah dasar. Antologi puisi pertamanya “Lentera Usang” (2018), yang kedua bertitel “Wanita Tua” Penerbit Mekar Publishing 2019.

Sajak-Sajak Imamuddin SA

$
0
0

BERMAIN OMBAK PERAHU

seperti biasa aku menunggu kata-katamu
dalam handphoneku
di bawah rembulan depan rumahku

seperti biasa, kata-katamu selalu ungu
untuk mengajakku bercanda dalam secangkir kopi
bersama lelah semakin menepi

begitu kental dan hangat kopiku malam ini
harumnya mencumbu waktu

aku tuang kopiku dalam waktu
tiap tetesnya menjadi laut
dan menenggelamkan segala canda
termasuk jiwamu

sementara aku seperti nuh
bermain ombak perahu
menghapus pahit-manis kopiku sendiri
sebelum dingin dan terkikis sepi

Balun, 2018

LELAKI SENJA

lelaki senja bercerita kepadaku
tentang giginya yang hilang dicuri malam
rambutnya yang putih menjadi saksi
betapa lampaunya waktu telah sembunyikan wajahnya
tubuhnya yang kurus adalah prasasti
sejarah yang mengukuhkan rindunya

lelaki senja mencari giginya
di bibir rembulan
jejaknya yang resah
membawa pada garis cahaya
nyaris lelah dan alpa

lelaki senja mulai menata jantungnya
dan merapikan keriput sarungnya
namun tak pernah bisa merapikan batuknya
ia mulai menumpahkan napasnya yang sengal
setelah mengulur jejak yang semakin entah

lelaki senja mendadak terbelalak
seorang gadis purnama singgah di matanya
ia bermain ayunan bersama kucing-kucing kesayangannya

?
“kemarilah. jadilah kucing dan tidurlah di pangkuanku”
“maaf, aku bukan kucing”

lelaki senja itu mulai melupakan gigi dan batuknya
dalam kepul rokok yang baru diisapnya.

Balun, 2018
?

PEREMPUAN HUJAN

perempuan hujan duduk di mataku
ia membuatku kuyup dan menggigil
saat melempar hatinya ke hatiku
ada yang dicarinya;
anjing yang telah menanam hujan di rahimnya

perempuan hujan pergi meninggalkan kenangan
dalam becek tanah yang belum tersapa
ada yang dibencinya;
malam yang selalu menyembunyikan anjingnya

perempuan hujan selalu mengejar
bayang-bayang di antara sunyi dan mimpi

perempuan hujan membuat hujan
dengan sudut matanya sendiri
menghapus jejak darahnya yang sepi

Balun, 2018

JANGAN BIARKAN HUJAN LURUH DI MATA SENJA

membaca robek buku harianmu
membuatku mengerti betapa nikmat ceritamu
hingga rayap pun melumatnya

dari lembar yang tersisa
pada halaman entah
aku selalu melihatmu memburu hujan
saat matahari tumbuh di kepalamu
rintiknya yang mungil kau tangkap
dan kau benamkan di telagamu
“biar esok tak ada hujan di senjaku” katamu

pada lembar yang masih utuh
di sudut mata kemaraumu
aku menemukanmu menghapus mendung
biar tak ada gerimis membasah tanahmu

“dan kau mulai mengajariku menjadi pawang
hujan nan tangguh”

Balun, 2018

CENDELA YANG SAKIT

cendela yang kau berikan kepadaku
kini telah rusak. kacanya pecah dan
engselnya patah. kini aku jadi akrab
dicumbu matahari dan dipeluk hujan.

matahari mencumbuku dengan begitu hangat
hujan memelukku dengan selimut dingin
rupanya mereka ingin berbagi kenangan
bersamaku. dan aku terlelap

selamat pagi cendela. aku menjengukmu
aku sengaja membawa bunga matahari
dan buah hujan kesukaanmu yang kemarin
aku petik dari kebunku sendiri. aku akan tidur
di sampingmu seperti kau yang selalu menemaniku

terima kasih cendela. kau telah menunjukkan aku laut
kini aku jadi tahu nelayan sepi itu. ia tengah bercumbu
di atas perahunya yang retak. basah celananya
meyakinkanku tentang cinta dan rindu melebihi batas
matanya sendiri. tubuhnya yang lemas menjadi tanda
kalau ia tengah sampai pada batas orgasmenya

?
selamat tidur cendela. mari kita lelapkan mata
sekadar istirah. aku tidak ingin kita berdua
menjadi orang ketiga yang membuyarkan cinta
nelayan senja. semoga lekas sembuh, cendela

Balun, 2018

Imamuddin SA, nama aslinya Imam Syaiful Aziz, lahir di Lamongan 13 Maret 1986. Aktif di Kostela, PUstaka puJAngga, FSL, FP2L, dan Literacy Institut Lamongan. Karya-karyanya terpublikasi di: Majalah Gelanggang Unisda, Majalah Intervisi, Tabloid Telunjuk, Jurnal Kebudayaan The Sandour, Majalah Indupati, Warta Bromo, dan Radar Bojonegoro. Puisi-puisinya terantologi di: Lanskap Telunjuk, Absurditas Rindu, Memori Biru, Khianat Waktu, Kristal Bercahaya dari Surga, Gemuruh Ruh, Laki-Laki Tak Bernama, Kamasastra, Tabir Hujan, Sehelai Waktu, Kabar Debu, Tabir Hijau Bumi, Bineal Sastra Jawa Timur 2016, Pengembaraan Burung, Ini Hari Sebuah Masjid Tumbuh di Kepala, dan Serenada. Prosa-prosanya terpublikasi di: Mushaf Pengantin, antologi cerpen Bukit Kalam, Hikayat Pagi dan Sebuah Mimpi, Bocah Luar Pagar, Hikayat Daun Jatuh, dan Tadarus Sang Begawan. Pernah dinobatkan sebagai Juara 3 Mengulas Karya Sastra Tingkat Nasional tahun 2010, Harapan 2 Lomba Menulis Cerpen Tingkat Jawa Timur 2018, dan Juara 2 Lomba Menulis Puisi Se-Kabupaten Lamongan 2019. Nomor telepon 085731999259. Instagram: Imamuddinsa. FB: Imamuddin.


KUTUKAN TUJUH MALAM PERTAMA

$
0
0

Iva Titin Shovia

Dyah Kasmala, putri terkutuk-petaka
Tujuh kali menikah, matilah mempelai di malam pertama
Resahlah ayahanda raja Brawijaya
Pada siapa putrinya di ujung usia mengabdi-berdarma.

Sayembara mengenyahkan penyakit berbisa digelar:
“Barangsiapa bisa memusnahkan penyakit sang putri,
Maka jadilah ia menantu raja,
Namun jika tak sepadan, biarlah diberi kedudukan.”
Sayang, sayembara dipariwara, bukan untuk jelata.

Ajar Windusana, resi dari Merbabu
Adik Ajar Kutawindu, resi dari Mahameru
Mencoba peruntungan menjadi tabib ahli
Dengan syarat, putri harus dinikahi baru diobati.

Malam pertama, malam durjana
Putri terlelap dalam rayu, Ajar Windusana waspada
Dari balik bantal, sepasang mata berkobar
Kiranya ketujuh suami disembur bisa ular
Suami ke delapan wajib menang
Keris dihunus, nyawa ular ambyar
Putri terbangun, ketakutan melihat keris dan darah memancar.

“Bagaimana bisa suami hendak mencelakai istri,
Di malam pertama, tangannya bersepakat dengan ular
Apa tak layak perempuan ini,
Hidup mengabdi pada perwira kekar?”

Putri meratap, menuduh Ajar Windusana
Larilah sang resi, demi nyawa
Sedang hatinya telah terpaut asmara
Pada setangkup hati yang salah sangka.

Di taman sari, di samping bangkai ular kutukan
Sebuah surat dilampirkan
Sirnalah gemuruh dalam pekat syak Dyah Kasmala
Suaminya, Ajar Windusana lelaki yang patut dipuja
Namun, telah pergi ia, pergi ia
Meninggalkan kerajaan dan sekuntum cinta yang merekah.

Demi cinta, menyusullah Dyah Kasmala ke Merbabu
Memohon agar diluluskan kisah asmara tanpa ragu
Ajar Windusana, mengenali kembali cinta
Dyah Kasmala tak lagi menimbang rasa.

“Amarah hanya menimbulkan luka,
Kebaikan kadang terlihat sebagai nista.”

Lamongan, 7-07-2020

Pasir Retak

$
0
0

Afrizal Malna *
Jawa Pos, 20 Mei 2012

HUJAN turun di atas api. Suara api dan suara hujan bercampur seperti suara sungai dengan alirannya yang deras. Keduanya menjadi nyanyian cinta menjelang senja.

Hujan tak tahu kenapa api membuat warna merah jingga yang panas, api juga tak tahu kenapa hujan dipanggil hujan setiap ia turun, seperti mahluk terbuat dari air yang turun dari langit. Mereka berdua, hujan dan api itu, mengatakan: biarlah angin terus berjalan dari kota ke kota, mengantar gunung dan laut kepadamu, mengantar langit dan tanah kepadamu, mengantar bisik-bisik dari dalam sejarah lebih dekat lagi dengan telingamu. Keduanya menolak tentang berita yang disiarkan beberapa pemancar TV, bahwa telah turun “hujan api” di sebuah kota.

Kami adalah hujan dan api, bukan hujan-api.

Basa-basi itu, antara hujan dan api, mereka katakan itu setiap pagi hanya untuk merayu agar angin mengunjungi pintu-pintu rumah yang masih tertutup di pagi hari. Kadang, angin itu, menempelkan selembar daun di daun pintu rumah yang masih tertutup. Dan mengatakan, aku tidak pernah memikirkan bagaimana waktu menghitung dirinya setiap saat, dan sedikit kecelakaan yang kadang-kadang terjadi.

Kami adalah hujan dan api untuk sejarahmu yang disimpan oleh angin.
***

Pagi itu langit berwarna biru. Hanya biru. Tak ada awan. Seperti lengkungan dari bundaran bola yang rata. Mirip kubah biru mengapung di atas kabut. Angin, yang merajut daun-daun dengan dahannya, rumah dengan tanah tempatnya berdiri, laut dengan ombaknya, gunung dengan jurang dan tebing-tebingnya, tidak berhembus. Semua yang dilihat tampak kaku, gambar-gambar yang tak bergerak, alam dan kehidupan hadir seperti tempelan-tempelan potret dalam sebuah bola.

Di Semarang, dalam sebuah bangunan tua yang dibuat akhir abad 19, seorang perempuan sedang melahirkan. Bangunan dengan tiang-tiang tinggi, tembok-tembok besar, teras yang juga besar ini, kini sudah berubah menjadi kantor sebuah bank. Bangunan dengan arsitektur kolonial ini banyak tersebar di kota yang sangat dekat dengan kaki-kaki air. Setiap hujan datang atau laut pasang, banjir akan menggenanginya. Di lingkungan luarnya, bayangan bukit-bukit dan gunung, berdiri seperti candi-candi alam yang dihasilkan oleh proses geologi waktu yang panjang dan terus-menerus.

Perempuan yang melahirkan itu datang dari keluarga petani yang tinggal di sebuah desa di Bromo, Jawa Timur. Perempuan itu tidak tahu kenapa ia memilih kota Semarang untuk melahirkan bayinya. Ia hanya memenuhi dorongan dari dalam dirinya untuk pergi ke semarang, dan melahirkan bayinya di bangunan tua yang kini sudah menjadi kantor bank itu.

Seluruh pegawai bank panik melihat seorang perempuan tiba-tiba melahirkan. Perempuan itu tidak mungkin dibawa ke rumah sakit karena begitu saja ia melahirkan di kursi tempat nasabah bank menunggu antrian. Kaki perempuan itu mengangkang. Ia tidak mengeluarkan suara sedikit pun. Ia hanya menggigit telapak tangannya hingga berdarah saat mengeluarkan bayinya dari rahimnya.

Ketika bayi itu lahir, melewati vagina ibunya, ia seperti keluar melewati hujan dan api. Suara sungai dengan alirannya yang deras dan suara cinta menjelang senja. Lalu angin kembali berhembus. Bayi itu seorang perempuan dan diberi nama Kembang Kertas. Ibunya tak tahu kenapa nama ini tiba-tiba saja muncul dalam benaknya dan menjadi nama untuk bayinya.

Kelahiran itu mengejutkan seluruh pegawai dan nasabah bank karena bayi itu tidak berwajah. Mukanya rata, tetapi tampak anggun dan indah. Mulutnya terletak pada pusarnya, telinganya ada di bahunya. Seluruh bagian tubuhnya bisa bernapas dan mencium berbagai bau di sekitarnya. Dokter-dokter yang datang tidak bisa mengatakan bahwa bayi itu cacat karena seluruh indranya berfungsi dengan baik, hanya letaknya berubah. Tubuh manusia seperti mengalami revolusi melalui kelahiran Kembang Kertas.

Ibunya kembali membawa Kembang Kertas ke desanya, di Bromo. Suaminya hanya seorang lelaki desa sederhana, yang kadang mencari tambahan uang dengan menyewakan kuda kepada turis, mengantar turis mengelilingi padang pasir dari kawah Bromo.

Kembang Kertas tumbuh dengan dunianya sendiri. Ia sensitif untuk hal-hal yang sebenarnya tidak terlalu penting. Ia bisa duduk berlama-lama hanya menghadap tembok di rumahnya. Kadang selama 8 jam ia hanya duduk menghadap ke tembok. Dan orang tidak pernah ada yang tahu, apa yang sedang dilihatnya, karena kedua matanya ada di telapak tangannya. Wajahnya yang rata membuatnya hidup seperti memakai topeng yang selalu menutupinya.

Ia tidak mau sekolah. Setiap diajak ke sekolah ia menjerit-jerit seperti melihat sesuatu yang sangat menakutkan baginya. Semua yang dilihatnya seakan-akan bukan kenyataan yang sebenarnya. Kedua matanya yang terletak di telapak tangannya, dan selalu mengeluarkan suara seperti suara mekanik dari kamera yang sedang merekam, bisa melihat dua kenyataan sekaligus: kenyataan yang terlihat dan kenyataan yang tersembunyi.

Kembang Kertas memang tidak mau sekolah. Tapi tidak ada yang tahu kalau setiap hari ia selalu belajar bahasa rahasia melalui kenyataan tersembunyi yang dilihatnya. Kabut, katanya, aku bukanlah timbunan air yang pergi dari botol-botol minumanmu. Pohon, katanya, aku tidak mengerti bagaimana caranya menyintaimu. Sejarah, katanya, aku tidak mempunyai obat untuk menyembuhkan lukamu. Cinta, katanya, aku selalu heran apakah ada hati yang terbuat dari sebuah pagi yang baru saja meninggalkan malam.

Semua seperti hadir dalam pasangan yang tidak semestinya. Pasangan yang selalu dibuat berbeda. Tetapi keduanya terajut kembali menghasilkan pakaian baru, dan pakaian itu akan menjadi doa dan cinta bagi yang mengenakannya.

Setiap menonton TV bersama ibu dan ayahnya, di rumah mereka seperti sedang terjadi sebuah ritual, karena Kembang Kertas menonton TV lewat kedua telapak tangannya. Kedua telapak tangannya akan terangkat ke atas seperti orang menyembah, menyusuri layar monitor TV. Setiap menonton siaran berita, Kembang Kertas akan mengatakan: bukan dia pembunuhnya… bukan dia pelaku korupsi itu… istri anggota DPR itu memiliki banyak pacar… di dalam rumah itu ada banyak senjata dan uang … bukan dia yang meledakkan hotel itu.

Kembang Kertas bisa menunjukkan dengan tepat siapa pelaku sesungguhnya dari banyak siaran berita peristiwa kriminal, politik, dan berita-berita lainnya di TV. Kemampuan Kembang Kertas seperti itu membuat ibu dan ayahnya takut. Kemampuan yang berbahaya. Kemampuan yang bisa membuat kekacauan baru. Kemampuan yang membuat kedua orang tua Kembang Kertas heran, apa itu manusia apa itu hidup apa itu semua yang dijalaninya? Dan kedua orang tua kembang kertas berusaha menyembunyikan kemampuan Kembang Kertas seperti itu dari dunia luar.
***

Hujan turun di atas api. Percikan-percikan air dan api memisahkan diri dari hujan dan api, bertebaran di udara. Yang satu seperti kumpulan titik-titik bening yang bergerak memencar, satunya lagi seperti kumpulan titik-titik merah menyilaukan. Percikan-percikan air dan api itu membuat kembangnya sendiri, seperti tahun baru yang dirayakan oleh para pertapa di puncak gunung.

Kembang air dan kembang api menari-nari, saling memecah dan membelah diri, lalu bersatu kembali menjadi nyanyian cinta di akhir malam. Mereka berdua melukis waktu seperti daun-daun yang tumbuh menutupi seluruh daun dan batangnya sendiri. Setiap pagi menjelang, pohon yang seluruh dirinya telah tertutup daun itu, menyambut matahari lewat warna hijaunya yang terbuka. Tanah, mungkin bisa berubah kembali menjadi besi atau buah pepaya, tetapi tidak mungkin berubah menjadi sebuah hotel, katanya. Laut, mungkin bisa berubah menjadi balok es atau ikan-ikan, tetapi tidak mungkin berubah menjadi sebuah TV, katanya.
***

Di Batu Sangkar, Sumatra Barat, sebuah kota dengan suasana Minang lama, kejadian yang sama terulang. Sebuah bangunan dengan arsitektur kolonial, yang kini sudah berubah jadi bangunan untuk sekolah, tiba-tiba kedatangan seorang perempuan yang akan melahirkan. Perempuan itu datang dari sebuah keluarga sederhana yang hidup dari berdagang pakaian di Medan.

Murid-murid dan guru-guru di sekolah itu panik melihat perempuan itu melahirkan. Kakinya mengangkang. Ia tidak mengeluarkan suara ketika melahirkan. Tetapi darah dari lidahnya menetes. Perempuan itu menahan rasa sakit dengan menggigit lidahnya sendiri. Seorang bayi perempuan kemudian lahir melalui vagina ibunya seperti melahirkan tarian-tarian kembang air dan kembang api.

Bayi perempuan tidak berwajah itu, wajahnya rata seperti dinding ember plastik, mirip dengan bayi yang lahir di Semarang. Bayi itu juga diberi nama Kembang Kertas oleh ibunya.

Bayi itu tumbuh bersama butiran-butiran waktu yang membesarkannya. Setiap saat, waktu melayani dan menyusuinya, karena air susu ibunya sendiri kering. Kembang Kertas minum susu dari air susu waktu, setiap ia merasa haus. Jiwa dan tubuhnya sangat sensitif. Ia tumbuh seperti seonggok daging yang berjalan tanpa tulang.

Ketika Kembang Kertas mulai mengenali kehidupan sosial, bahwa setiap orang memiliki nama, ia melihat manusia seperti omong kosong yang cerewet. Ia merasa bahasa lebih banyak melukainya daripada membantunya berkomunikasi. Beberapa kata, seperti menyimpan luka dan pisau sekaligus. Kembang Kertas kemudian lebih banyak sendiri. Waktunya lebih banyak dihabiskan dengan mencuci. Setiap hari ia mencuci apa pun yang kotor, dari pakaian kotor, cucian kotor, sampai dengan membersihkan genteng-genteng yang berjamur.

Pagi itu langit berwarna biru. Hanya biru. Tak ada awan. Seperti lengkungan dari bundaran bola yang rata. Mirip kubah biru mengapung di atas kabut. Angin, yang merajut daun-daun dengan dahannya, rumah dengan tanah tempatnya berdiri, laut dengan ombaknya, gunung dengan jurang dan tebing-tebingnya, tidak berhembus. Semua yang dilihat tampak kaku, gambar-gambar yang tak bergerak, alam dan kehidupan hadir seperti tempelan-tempelan potret dalam sebuah bola.

Lalu Kembang Kertas mulai menggerakkan tangannya di atas permukaan air, di bak mandi kamar mandi rumahnya. Air beriak dan bergerak. Halus dan sangat halus. Tempelan-tempelan potret itu pun mulai bergerak. Dalam bak mandi itu, Kembang Kertas seperti bisa melihat seluruh sejarah yang pernah terjadi. Tentang armada laut yang bergerak dari Maluku, membawa rempah-rempah, berlayar memasuki gerbang Malaka, kehidupan di Sriwijaya, Majapahit atau Singosari. Kerajaan Pajajaran dan Mataram.

Orang-orang yang terus belajar bersama waktu, kemudian menjelma menjadi air setelah mereka mati. Waktu bergerak seperti seekor gajah yang menanam pohon beringin di mana-mana. Dan pada saat yang sama, orang-orang membunuh gajah itu dan membunuhnya, dan menebangi pohon-pohon beringin itu setelah tumbuh besar. Kami membunuhi gajah-gajah dan menebangi pohon-pohon agar keluarga kami bisa hidup, katanya.

Kembang Kertas membaca banyak sejarah yang telah ditulis, tidak sama dengan sejarah yang disaksikan dalam air bak kamar mandinya. Ia bisa melacak seluruh jejak sejarah, seperti memasuki rekaman video yang dibuat oleh air mata dan buih-buih ombak. Matahari tropis membuat warna sejarah itu tampak lebih kekuning-kuningan dan berdebu.

Hari mungkin telah malam, mungkin telah pagi, mungkin akan menjelang siang, katanya, sayang sekali jam di tanganku bukanlah hitung-hitungan bulan dan matahari. Orang tua Kembang Kertas di Medan, cemas, karena anaknya bisa berbahasa Jawa, bahasa Aran, China dan Sansakerta. Padahal tidak pernah ada yang mengajarinya bahasa-bahasa itu. Ketika ia berusia 9 tahun, Kembang Kertas juga bisa berbahasa Belanda, Rusia, Jerman dan Inggris. Dan tak ada seorang pun yang pernah mengajarinya bahasa-bahasa itu.

Kembang Kertas, tubuhnya, menjadi sarang sejarah dan bahasa-bahasa. Ia semakin takut untuk bertemu dengan orang lain. Ia terus mencuci sepanjang hari. Hingga suatu hari ia bertemu dengan sebuah sungai. Sungai itu begitu bening, mengalir seperti sungai kata-kata. Sungai yang mengalirkan banyak bahasa dan sejarah pada batang tubuhnya. Bahasa dan sejarah menjadi begitu bening dilihatnya, mengalir dalam sungai itu.

Ikan-ikan menggunakan berbagai bahasa itu untuk bernyanyi dalam sungai itu. Batu menggunakan berbagai warna dari sejarah dalam sungai itu. Pasir di sungai, hidup dalam buaian musik gamelan yang terus berbunyi di dasarnya. Seniman-seniman menjadi gila untuk mewarnai kehidupan.

Sungai itu begitu menggoda perhatian Kembang Kertas. Kembang Kertas mulai merasakan tubuhnya seperti air yang sedang beriak, menetes, merembes ke dalam tanah di pingggir sungai itu. Air terus menetes dari tubunhnya dan terus merembes ke dalam tanah di pingggir sungai itu. Waktu juga seperti ikut menetes, langit ikut menetes, pohon-pohon ikut menetes, sungai ikut menetes.

Setelah itu, orang tidak pernah melihat Kembang Kertas. Keluarganya telah mencarinya ke mana-mana. Tetapi Kembang Kertas seperti telah sirna begitu saja. Tetapi, setiap orang menangkap ikan di sungai itu, ikan itu menetes dan menjadi air di telapak tangan mereka.

Di Yogyakarta… di Bandung… di Makassar… di Denpasar… di Cirebon… di Palembang… di Solo… Jakarta… juga di Amsterdam, Tokyo dan di New York, lahir bayi perempuan yang sama, tanpa wajah. Mereka semua lahir dalam sebuah bangunan dengan arsitektur kolonial.

Mereka semua bernama Kembang Kertas.
***

*) Afrizal Malna lahir di Jakarta, 7 Juni 1957. Sastrawan yang dikenal melalui karya-karyanya berupa puisi, cerpen, novel, esai yang dipublikasikan di berbagai media massa. Afrizal juga menulis teks teater yang dipentaskan di berbagai panggung pertunjukan di Indonesia dan mancanegara.
https://lakonhidup.com/2012/07/16/pasir-retak/

Amsal Merah Marah

$
0
0

Saut Situmorang

“berikanlah kepada kaisar
apa yang wajib kamu berikan kepada kaisar
dan kepada Allah
apa yang wajib kamu berikan kepada Allah”

tapi bagaimana
kalau kaisar itu bukan kaisar
dan menganggap dirinya sama dengan Allah?

orang orang kurus
yang bayangannya juga kurus
menengadahkan tangan mereka
ke langit
dengan desah napas tertahan

doa doa melambung ke udara
bagai ribuan balon kosong menghambur ke cakrawala
mengetuk ngetuk pintu langit
menggetarkan awan awan yang kering hujan

“sampai kapankah kami
mesti terus memberi
kering tulang kami
susut perut kami
sementara bumi sudah lama tak akrab lagi?”

di laut
sebuah pedal sepeda
tersangkut di celah karang
bau keringat mengerubunginya
bagai lalat lalat di tumpukan sampah di kota

orang orang kurus
dengan bayangan kurus
masih mengangkat tangan mereka
wajah wajah suram tergores kering airmata

“berikanlah kepada kaisar…”

ya burung tak bernama
yang mengerti bahasa cakrawala
terdengarkah detak jantung kami yang lemah
dari atas sana? adakah…?

padi tumbuh tapi layu jadi debu
keringat mengalir kering jadi debu
angin musim cuma membawa hujan debu
dalam tidur pun mimpi kami
tak bisa lari dari debu, debu, debu…
tapi di kota kota
yang cuma penuh serdadu serdadu tak berwajah
suara asing itu tak henti henti menyiksa

“berikanlah kepada kaisar…”

orang orang kurus
bernasib kurus, sekarang tak sabar lagi
dengan langit.
bagai kerbau luka napas mereka mendengus – kota kota membara
terbakar hangus
di mata mereka yang merah marah!

***

GOLAN MIRAH

$
0
0

Iva Titin Shovia

Mirah Kencono Wungu, menoreh kain dengan canting
Dari bibir mengalun dandanggula dan caping
Terbetik pandang pada seekor ayam jantan
Jinak hewan, minta dikudang.

“Jago tampan, siapa empunya kau ayam?
Andai lelaki, rupawan kau jantan!”

“Punyaku, puspita Mirah
Ayahmu, Ki Ageng Mirah adalah sepupu Ki Bayu Kusuma
Menurunkan darah pada Jaka Lancur dari Golan, aku
Delima merekah, bukankah kita bersepupu?”

Darah muda meminta perhatian
Jaka Lancur dan Mirah Ayu gadis pingitan
Terketuk rongga dalam dada
Ada sesuatu hendak tumbuh dan pecah.

Awas! Ada ayahanda juwita
Terpergok dua sejoli berlempar canda
Dilemparkan nista pada sang pemuda:
“Dasar tak punya tata krama!”

Lancur! Lancur! Pulanglah dengan hati retak
Tidak bisa disatukan lagi, hilang detak
Puspa jelita menari di pelupuk mata terekam
Ringkih jiwa raga menderita cinta kelam
Lebih menyakitkan, daripada kalah main sabung ayam.

Ki Bayu Kusuma tercela
Jika tak bisa menuruti anak lanang.
Jatuh cinta perkara mudah
Pergilah utusan menuju Mirah
Hendak melamar dara Mirah Kencono Wungu.

Mirah Kencono Wungu menunggu-berdebar sang pujaan
Kiranya ayahanda menolak bermenantukan tukang judi sabung ayam
Lamaran diterima dengan seserahan rupa-rupa
Lumbung yang berjalan sendiri, dan bendungan air untuk rakyat Mirah.

Lara Jonggrang meminta candi seribu, curanglah dia
Dayang Sumbi meminta perahu, curanglah dia
Ki Ageng Mirah menolak menantu, curanglah juga
Bendungan diambrolkan, lumbung dikosongkan.

Ki Bayu Kesuma geram diculasi lawan
Padi dalam lumbung diganti damen dan kulit kedelai
Di mata orang biasa, tetap padi semata
Ki Ageng Mirah setengah putus asa
Tinggal menjebol bendungan, pun sia-sia
Ki Bayu Kesuma meminta para buaya menjaganya
Pasrahlah ayahanda Kencono Wungu
Kini wajiblah Jaka Lancur jadi menantu.

Sakti dilawan sakti, para Ki Ageng bersikap sama tinggi
Lumbung padi berjalan sendiri, seserahan yang dinanti
Sampai di tempat, terkuaklah kalau isinya kulit kedelai dan jerami
Batal! Batal! Namun Lancur dan Mirah kadung jatuh hati sehidup semati.

Perang tak ayal
Dua pihak saling jegal
Bendungan buaya jebol airnya
Manusia terhanyut air bah

Ketika banjir usai, ditemukan Jaka Lancur dan kencana Wungu lampus diri
Tak kuasa menahan gelora, sedang para ayahanda tak paham renjana
Tinggallah sesal, sesak yang timbulkan kutuk-sumpah
Dari Golan, jangan dibawa ke Mirah
Di Mirah, kedelai jangan diolah
Golan Mirah, kisah cinta memantik nestapa
Golan Mirah, selanjutnya jangan ada yang jatuh cinta.

Lamongan, 16-06-2020

Tulisan Kelinci Merah

$
0
0

Afrizal Malna *
Kompas, 11 Nov 2012

BAU tanah seperti ladang kenangan, perputaran dari yang tumbuh tanpa perubahan, dan rumah-rumah air tanpa banjir. Bau daun, dahan-dahan pohon, lumut yang memberi warna pada batu dan kayu, semua seperti kalimat padat yang membuat hutan seperti konser kebisuan.

Membuat partiturnya sendiri melalui daun-daun yang tumbuh, layu, dan membusuk. Siklus kehidupan dan kematian yang rumit dan kompleks berlangsung sepanjang hari dalam hutan itu, seperti sebuah pertapaan untuk waktu.

Matahari membuat penggaris-penggaris cahaya, mengukur jarak daun menjelang tumbuh dan layu. Laba-laba membuat sarang dari air liurnya, mengubah waktu seperti jaring-jaring kematian. Daun kering melayang jatuh. Semuanya seperti anak-anak kalimat yang membuat sayatan lain dalam induk kalimatnya. Sebuah generalisasi yang justru berlangsung untuk mengukuhkan perbedaan dalam pelukan hutan.

Hutan dengan langit-langit kecilnya di antara daun-daun kering yang melayang jatuh, menyimpan kenangan tentang yang berlalu dan berulang. Akar-akarnya saling menjalin, merajut tanah dengan air yang membasahinya. Waktu membangun arsitektur keheningan di dalamnya, terjalin dalam konstruksi kekosongan.

“Krak”

Sebuah dahan patah dan jatuh. Lepas dari batang pohonnya. Patah dan jatuh yang tak terbayangkan. Seperti ada pesawat yang gemetar pada setiap pohon tua dalam hutan itu. Hutan hanya membuat jalan melalui sungai yang dibentuknya sendiri berdasarkan gerak dan berat air, menelusuri relung-relung tanah. Ke bawah dan ke bawah, menemui relung-relung lainnya. Jalan yang tidak pernah berbalik melawan hutan itu sendiri. Uap putih tipis terus membubung, berangsur-angsur, dari daun-daun yang membusuk menjadi udara. Tak ada halaman belakang dan tak ada halaman depan. Sebuah sirkuit kehidupan dan kematian yang tidak memisahkan kedatangan dan kepergian. Ruang yang membatalkan semua awal dan akhir. Denyut hutan menembus ke dalam yang bukan aku lagi.

Nama hutan itu Arca Domas. Dilindungi oleh pikukuh, ketentuan adat yang tak boleh dilanggar. Pikukuh yang membatalkan listrik dan mesin, pikukuh yang tak boleh melukai tanah. Tanah tidak boleh digali, dipacul atau dibajak. Kontur tanah harus tetap terjaga dari erosi. Tanah hanya boleh ditusuk dengan bambu yang ujungnya telah diruncingi untuk kemudian ditanami. Pikukuh yang melarang menggunakan sabun, kaca maupun cermin. Pikukuh yang terus-terusan membatalkan perubahan. Kayu panjang tak boleh dipotong, kayu pendek tak boleh disambung.

Dalam hutan Arca Domas itu, sepanjang waktu yang terdengar hanyalah berbagai jenis suara serangga, burung, dan suara binatang lainnya. Tidak ada suara lain. Kini, hutan dalam rajutan berbagai frekuensi tinggi-rendahnya desing suara serangga, berulang, konstan, terdapat tiga orang makhluk. Mereka bertiga merasa telah terperangkap hidup di bumi melalui sebuah peristiwa yang tidak mereka mengerti. Peristiwa itu terjadi begitu saja. Berangsur-angsur, seperti berubahnya ulat menjadi kupu-kupu. Mereka bertiga juga tidak tahu asal-usul mereka.

Telah berhari-hari ketiga makhluk itu mondar-mandir dalam hutan itu, memakan apa saja yang bisa mereka makan. Di bumi, untuk pertama kalinya mereka merasakan tentang lapar, lelah, dan sakit. Untuk pertama kalinya juga mereka mengenal hidup, usia, waktu, cinta, kesepian, bosan. Sesuatu yang harus membuat mereka waspada. Mulai mengenal kesedihan, kebahagiaan, kenangan, dan kematian. Untuk pertama kalinya juga mereka mengenal tentang konsep Tuhan, alam semesta, dan keturunan. Konsep-konsep yang aneh karena mereka sendiri tidak tahu bagaimana lumut diciptakan. Bagaimana tanah ada. Kesadaran yang kemudian lebih banyak dipelihara melalui kepanikan, seakan-akan ada dunia lain sebelum ada dan setelah ada yang membayanginya.

Bayangan yang membuat malam dan siang. Bayangan yang mulai membelah ruang di sana dan di sini. Mereka mulai belajar merangkak dalam hutan itu, belajar berdiri, berjalan, berjalan maju dan mundur, berputar, melompat, tidur dan belajar menghapus air mata. Belajar memanjat, mandi dan berenang di sungai. Belajar membedakan bentuk-bentuk dan warna, cuaca, membedakan bau tanah dan bau tubuh mereka. Belajar mengalami yang telah berlalu dan yang akan dilalui. Belajar membedakan antara aku, kamu, dan dia. Mereka mulai memberi nama-nama dari yang mereka alami, menjadi kata yang menyimpan pengertian-pengertian dari yang pernah mereka alami. Belajar membuat kalimat untuk menyimpan kisah-kisah dari yang mereka alami. Akhirnya mereka mengukuhkan keterperangkapannya melalui bahasa. Mereka ketakutan ketika mengetahui nafsu untuk hidup begitu menguasai mereka. Sehingga mereka mulai berburu, memakan binatang, memakan bentuk-bentuk kehidupan lainnya.

“Punten”

Mereka terkejut sendiri dengan ungkapan ini. Rasanya dalam, seperti ada liang dalam diri mereka. Liang yang membuat tangan mereka seperti tenggelam ketika mengucapkannya. “Punten.” Ungkapan permisi yang menghidupkan seorang aku sebagai seorang kamu juga. Ungkapan yang membuat liang dalam dirinya seperti terbuka dan mengisap semua keangkuhan dan perbedaan ke dalam konstruksi kekosongan. Ungkapan yang membuat mereka tahu bahwa hutan juga memiliki ruang dalamnya. Seperti ruang tamu yang terbuat dari aspal, batubara, berbagai logam, gas, dan minyak tanah.

Aku tidak bisa melihat ketiga makhluk itu. Aku merasakan mereka hanya melalui perpindahan gerak angin saat mereka berjalan di sampingku atau melalui dengus mereka. Mereka tidak bisa aku lihat. Tetapi mereka ada. Mereka seperti menggerakkan tanganku untuk menuliskan semua ini, sebagai penulis yang dipinjam.

Awalnya aku melihat seorang gadis yang berjalan bersama seekor kelinci berwarna merah dalam hutan itu. Gadis dan kelinci berwarna merah yang berada di tengah hutan seperti ini telah membuatku takjub. Aku seperti baru saja bertemu dengan kehidupan lain. Aku mengikuti gadis bersama kelinci merah itu. Sekali-kali gadis itu menoleh ke arahku. Tetapi mereka tetap berjalan, masuk lebih dalam lagi ke dalam hutan. Kelinci merahnya melompat-lompat. Matanya hitam, jernih, tanpa prasangka. Bulu lembutnya seperti menyimpan cahaya. Daun telinganya yang panjang menjulang ke atas. Kadang kelinci itu menatapku, lalu melompat-lompat lagi mengejar gadis itu. Kadang aku kehilangan mereka. Kadang mereka terlihat lagi, masih terus berjalan seperti sebelumnya. Kadang mereka seperti berada di sebuah padang rumput yang tidak ada batasnya, mengubah hutan menjadi hamparan rumput yang memenuhi seluruh yang bisa kulihat.

“Siapakah gadis itu? Siapakah kelinci merah itu?”

Setiap pergantian tahun, Pendeta Bumi, yang telah ada sebelum keterperangkapan ketiga makhluk itu, melakukan upacara Seren Taun, upacara pergantian tahun dengan seluruh umatnya sebagai Urang Kanekes, Baduy. Upacara yang sama juga berlangsung di Kanekes, Lebak, Kasepuhan Banten Kidul, Cisolok, Sukabumi, Kampung Naga, Cigugur, dan Kuningan. Sebuah agama Buhun yang telah ada jauh sebelum agama-agama polytheis dan monotheis menguasai dunia. Mereka menjaga hidup melalui pikukuh yang mereka rawat.

Mereka semua, sebagai urang Kanekes yang jumlahnya 11.174, termasuk anak-anak kecil, duduk bersila dalam upacara itu. Semuanya mengenakan pakaian putih-putih dan hitam-hitam, tanpa alas kaki. Mereka berkumpul seperti hutan dalam arsitektur keheningan dan konstruksi kekosongan. Tidak ada satu pun di antara mereka yang bicara atau bercakap-cakap. Mereka duduk seperti mandita, bertapa untuk menjaga harmoni hutan. Ketika mereka mulai bernyanyi bersama, jumlah 11.174 orang itu tetap merupakan bagian dari arsitektur keheningan dan konstruksi kekosongan. Tidak berubah menjadi kekuasaan mayoritas. Partitur-partitur kekosongan mengalun melalui nyanyian mereka.

Nyanyian merdu dan indah yang membuat seperti ada angin berembus dari tubuh mereka, gemericik air sungai, bahkan tanah tidak merasakan kehadiran dan keberadaan mereka. Mereka yang hanya hidup dengan cara tidak ingin mencelakakan orang lain atau melakukan yang tidak disenangi orang lain. Mereka mengikuti jalan air, bukan jalan api. Antiperang, melukai atau membunuh. Kalau kamu mau hidup, yang lain juga boleh hidup.

Pendeta Bumi menyatakan tiga syarat untuk bisa membebaskan diri dari bumi: melanggar adat istiadat, menjadi gila atau bunuh diri. Ketiga orang makhluk itu seperti terbakar mendengar persyaratan itu. Mereka sudah tidak tahan berada di bumi. Tidak tahan berada bersama planet yang tidak masuk akal ini, di mana kehidupan dijalani hanya untuk menunggu datangnya kematian. Dan selama penungguan itu, orang menciptakan berbagai versi kehidupan: berbuat jahat kepada orang lain atau berbuat baik. Membunuh orang lain atau menyelamatkan orang lain. Menguasai atau membebaskan. Merampok orang lain atau menolong orang lain. Korupsi atau hidup dari kerja keras yang dilakukan sendiri. Bertemu atau berpisah. Mengakui kepercayaannya sendiri, tetapi menyerang kepercayaan yang lain.

Mereka mulai terbakar mendengar ketiga persyaratan itu. Semakin besar api membakar mereka untuk bisa membebaskan diri dari dunia, mereka merasa semakin terperangkap dalam bumi. Lapisan-lapisan perangkapnya semakin bertambah banyak. Setiap lapisan dipenuhi teriakan, jeritan, dan tangisan. Benda-benda di sekitar mereka bertambah banyak. Benda-benda untuk tidur, untuk mandi, untuk makan, untuk berjalan, untuk melihat, untuk berkata-kata, untuk mencium, untuk membeli dan menjual. Padahal tubuh mereka hanya satu, tunggal. Tetapi benda-benda yang mengelilingi mereka membuat tubuh dan diri mereka menjadi majemuk. Mereka berjalan dan hidup bertambah berat bersama dengan seluruh benda itu. Napas dan jantung mereka kian sesak.

Mereka bertiga saling melihat dan saling menunggu, syarat apa yang harus mereka ambil di antara ketiga syarat itu agar mereka bisa membebaskan diri dari perangkap bumi? Semakin mereka saling melihat, tubuh dan diri mereka bertambah majemuk. Bertambah banyak dengan lipatan 3, dan lipatan 3 lagi, dan lipatan 3 lainnya yang tak ada ujungnya. Akhirnya mereka melihat ke dalam diri mereka masing-masing. Mencoba mendengar tubuh mereka di luar bahasa. Mereka mulai memasuki tubuh mereka sendiri seperti memasuki air yang dipenuhi akar-akar tanaman dan daun-daunan. Bau rempah-rempah dan bau sperma.

Aku lihat gadis bersama kelinci merah itu melayang-layang dalam hutan. Ia menyanyikan nyanyian cinta yang tidak kumengerti. Tubuhnya mengeluarkan uap yang wangi. Tubuh yang seakan-akan diciptakan dari wangi kembang melati.

“Punten,” kataku kepada gadis itu, ketika ia melayang di atas kepalaku. Gadis itu hanya tersenyum, lalu kembali menghilang dalam kerimbunan hutan. Tetapi wangi kembang melatinya seperti menetap. Upacara kemudian berakhir. Penguasa bumi dan umatnya meninggalkan tempat upacara. Hutan kembali hening. Suara-suara serangga, burung, dan binatang-binatang lainnya mulai kembali terdengar.

Ketiga orang makhluk itu tidak menempuh satu pun dari 3 persyaratan untuk bisa meninggalkan bumi. Mereka memilih diam, bisu, seperti para Urang Kanekes itu. Mereka mulai belajar melupakan bahasa. Belajar untuk tidak percaya bahwa mereka berpikir. Belajar tidak melihat dengan melihat. Belajar berjalan dengan tidak berjalan. Mereka mulai membatalkan suara-suara serangga dalam hutan itu dengan mendengar untuk tidak mendengar. Membatalkan seluruh isi hutan dengan melihat tanpa mengakui yang dilihat.

Mereka mulai merasakan telah memasuki ketiga persyaratan itu tanpa patuh dan tanpa mengikuti ketiga persyaratan itu. Yaitu dengan cara tiada. Menjadi yang hyang. Bersembunyi agar “ada” tidak menjebloskan mereka kembali ke dalam fiksi “keberadaan”. Ketiga orang makhluk itu lalu mulai melihat yang dilihat menjadi mengelotok, mengelupas, lalu berubah menjadi yang tak terlihat. Pohon, daun-daun, batang-batang pohon, batu, lumut, tanah, serangga, burung, semua dalam hutan itu mulai mengelotok, mengelupas, dan berubah menjadi yang tak terlihat. Semuanya bergerak menjadi yang hyang, yang hilang tetapi ada. Tak terlacak, tetapi ada.

Gadis bersama kelinci merah itu kembali muncul. Ia berdiri di atas sebuah batu besar. Kelinci merahnya melompat-lompat, berjalan ke arahku. Kedua daun telinganya seperti antena yang bergerak-gerak. Kelinci merah itu kini telah berada di depanku. Aku menyentuhnya, lalu memeluk dan menggendongnya. Ia mulai mengendus-endus hidungku, seperti berusaha mengenali bau tubuhku. Lalu ia mengembuskan napasnya berkali-kali ke hidungku. Aku mengisap bau napasnya. Gadis itu memanggilnya. Kelinci merah bergerak, dan melompat dari gendonganku, berlari ke arah gadis itu.

Mereka kemudian kembali menghilang. Kini sunyi. Suara serangga juga tidak terdengar. Aku mencoba mengingat kembali bau napas yang dikeluarkan dari hidung kelinci itu. Aku mencoba membandingkannya dengan bau napasku sendiri, dengan cara mengembuskan napasku ke telapak tanganku yang kubuat seperti bentuk mangkuk. Lalu aku mencium bau bekas napasku yang masih tertinggal di telapak tanganku.

Bau napasku ternyata sama dengan bau napas kelinci merah itu.

Setelah peristiwa itu, aku tidak pernah melihat bayanganku lagi. Tubuhku seperti tidak memiliki lagi bayangan, walau cahaya datang dari berbagai sudut. Sementara itu ketiga orang makhluk itu, kini tinggal di hulu sebuah sungai. Sungai Ciujung di pegunungan Kendeng. Mereka hidup hanya untuk menjaga air di hulu sungai itu. Mereka tidak lagi meminjam tanganku untuk menulis. Karena air terus mengalir, menulis kisah-kisahnya.
***

*) Afrizal Malna lahir di Jakarta, 7 Juni 1957. Sastrawan yang dikenal melalui karya-karyanya berupa puisi, cerpen, novel, esai yang dipublikasikan di berbagai media massa. Afrizal juga menulis teks teater yang dipentaskan di berbagai panggung pertunjukan di Indonesia dan mancanegara.
https://lakonhidup.com/2012/11/11/tulisan-kelinci-merah/

Viewing all 2226 articles
Browse latest View live