Quantcast
Channel: Sastra-Indonesia.com
Viewing all 2226 articles
Browse latest View live

PERAHU KERTAS SAPARDI DJOKO DAMONO

$
0
0

: RENUNGAN MENDALAM TENTANG KEMANUSIAAN

Ibnu Wahyudi *
Suara Karya, 22 Juni 1984

Dalam rentang waktu yang relatif dekat, Sapardi Djoko Damono mengalami dua peristiwa yang barang tentu sangat membanggakannya, terutama karena kedua peristiwa itu berupa penganugerahan hadiah tertinggi terhadap kepenyairannya—sebuah dunia yang agaknya memang digelutinya dengan sepenuh hati.

Tahun 1983 sangat boleh jadi merupakan tahun yang penuh berkah bagi penyair kerempeng ini. Ia bagaikan kejatuhan bulan: dipetiknya buah-buah kepiawaiannya mengolah kata itu pada tahun 1984 ini. Betapa tidak; akhir bulan Maret 1984 lewat, sapardi berhak atas hadiah uang sebesar Rp 400.000,00 dari Dewan Kesenian Jakarta melalui keberhasilan kumpulan sajaknya, Perahu Kertas, memenangi Hadiah Sastra DKJ untuk tahun 1983. Kemudian, kurang dari sebulan ke depan, bulan April, di Malaysia Sapardi menerima pula hadiah sebesar 15.000 ringgit Malaysia atas keberhasilan buku puisinya Sihir Hujan sebagai kumpulan puisi terbaik dalam Anugerah Puisi Putra II yang diselenggarakan oleh Gappena (Gabungan Persatuan Penulis Nasional Malaysia) dan ditaja oleh Bank Bumiputera Malaysia Berhad. Kenyataan seperti ini tentunya merupakan suatu pencapaian prestasi yang tidak biasa.

/1/
Sosok Sapardi Djoko Damono sejauh ini memang sudah cukup dikenal, baik sebagai penyair, penerjemah, pengajar, maupun juga sebagai pengamat sastra. Sebagai penyair, ia telah membukukan sajak-sajaknya ke dalam kumpulan DukaMu Abadi, Mata Pisau, Akuarium—dua kumpulan sajak terakhir ini lalu disatukan di bawah judul Mata Pisau—, Perahu Kertas, dan Sihir Hujan. Sebagai penerjemah, karya-karya terjemahannya terbilang cantik dan cemerlang, khususnya pada karya terjemahannya yang berjudul Lelaki Tua dan Laut (dari The Old Man and the Sea karya Ernest Hemingway). Karya-karya terjemahannya yang lain adalah Daisy Manis (dari Daisy Miller karya Henry James), Kisah-kisah Sufi (dari Tales of the Derwishes yang dikumpulkan Idries Shah), Puisi Cina Klasik, Puisi Brazilia Modern, Sepilihan Sajak George Seferis, Lirik Klasik Parsi, dan sejumlah karya terjemahan lagi.

Karya-karya Sapardi lainnya, yang merupakan semacam hasil pengamatan atau hasil kajian, di antaranya adalah Kesusastraan Indonesia Modern: Beberapa Catatan, Novel Sastra Indonesia Sebelum Perang, dan Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas.

Sedangkan saat ini, tahun 1984, Sapardi sedang menyiapkan karya-karyanya yang lain, baik berupa hasil terjemahan, karya kreatif, maupun karya-karya ilmiahnya. Lewat kenyataan seperti ini, tidak pelak apabila Sapardi memang layak diperhitungkan dalam peta dan khazanah Sastra Indonesia Modern. Ketekunannya dalam dunia kreatif dan pengajaran sastra, sungguh patut dikedepankan.

Dalam tulisan ini, pembicaraan semata-mata hanya dipusatkan pada kumpulan sajaknya yang telah memenangkan Hadiah Sastra DKJ itu, yaitu Perahu Kertas yang diterbitkan oleh PN Balai Pustaka tahun 1983.

Kumpulan sajak yang berisi 43 sajak ini, ditilik dari sisi stilistika maupun tematikanya, memang tidak beranjak jauh dari sajak-sajak Sapardi yang terdapat dalam kumpulan yang lain. Akan tetapi, justru karena kekonsistenan dalam bentuk dan isi semacam inilah Perahu Kertas dianggap layak menang lantaran “Sapardi mampu membuktikan dirinya sebagai penyair suasana,” sebagaimana menjadi titik berangkat Dewan Juri Hadiah Sastra DKJ tahun 1983.

Sejauh ini, Sapardi memang sangat dipahami atau diidentikkan sebagai penyair suasana atau seringkali pula diberi cap sebagai penyair imajis. Sebutan-sebutan semacam ini tentu saja bertolak dari kecenderungan dan kenyataan yang mengemuka dalam sajak-sajaknya yang cukup kentara menomorutamakan imaji atau citra sebagai elemen penting sajak-sajaknya. Pernyataan yang menyebutkan bahwa “dengan imaji-imaji yang konkret dalam puisi-puisinya, Sapardi menghidupkan fantasi-fantasi kita, hingga kita menemukan kembali dunia luar dan dunia dalam pengalaman kemanusiaan kita” (terdapat dalam “Pengantar” kumpulan Perahu Kertas ini, halaman 5), rasanya pantas diiyakan. Pembayangan terhadap sesuatu objek segera akan mengada dan kemudian bahkan seperti “memaksa” kita untuk diam-diam masuk ke dalam pengalaman-pengalaman unik atau juga ke dalam pengalaman-pengalaman keseharian yang pernah menjadi bagian dari kehidupan kita. Menyimak sajak “Tajam Hujanmu” berikut ini misalnya:

tajam hujanmu
ini sudah terlanjur mencintaimu:
payung terbuka yang bergoyang-goyang di tangan kananku,
air yang menetes dari pinggir-pinggir payung itu,
aspal yang gemeletuk di bawah sepatu,
arloji yang buram berair kacanya,
dua-tiga patah kata yang mengganjal di tenggorokan
deras dinginmu
:
sembilu hujanmu
(h. 30)

seketika muncul suatu suasana sehari-hari atau sangat mungkin kita lalu merasa bahwa “Aku” dalam sajak ini adalah diri kita sendiri. Rambatan dingin, perihnya hujan, dan lain-lainnya, terasa adalah bagian pengalaman kita, menghentakkan kita.

Dengan imaji lihatan, imaji gerak—terutama—Sapardi “memerangkap” kita untuk terpaksa hanyut. Hal itu bisa terjadi teristimewa lantaran pemakaian citra atau imaji itu yang sudah begitu akrab dengan penginderaan kita. Terlebih lagi, Sapardi sangat terampil dalam memakai dan memilih pilihan kata atau diksi untuk sajak-sajaknya, menjadikan munculnya satu kekuatan tersendiri dari sajak-sajaknya itu. Perihal pemilihan kata untuk sajak-sajaknya, rupanya Sapardi telah menyadari sejak lama. “Kata-kata adalah segala-galanya dalam puisi,” katanya lewat “Puisi Indonesia Mutakhir: Beberapa Catatan” yang terhimpun dalam Kesusastraan Indonesia Modern: Beberapa Catatan, halaman 66. Ditegaskannya lagi, dalam tulisan yang sama (h. 67) bahwa “kata-kata yang berbobot dalam puisi, pada pengertian saya, adalah kata-kata yang kecuali tak lagi kaku dan mampu berdiri sendiri-sendiri, juga hampir tepat bisa melahirkan pengalaman puitis seorang penyair.”

Dari pembacaan berulang terhadap sajak-sajak Sapardi (dari kumpulan yang manapun) mau tidak mau harus diakui bahwa memang ada semacam kesejajaran antara sajak-sajak Sapardi dengan sajak-sajak kaum imajis (Pound, Lowell, Hulme, Aldington, atau juga Doolittle) dalam hal pemakaian imaji, maupun pemilihan kata-kata. Melalui tulisan Cuddon dalam A Dictionary of Literary Term (h. 324), dikatakan bahwa kaum imajis cenderung untuk memakai imaji yang jelas dan tajam, serta memakai perbendaharaan kata-kata yang bersifat keseharian. Kenyataan tersebut, dengan jelas dapat dijumpai dalam sajak-sajak Sapardi.

/2/
Pengertian keseharian seperti telah disinggung, ternyata tidak hanya terbatas pada pemakaian kata-kata saja, tetapi juga yang berkaitan dengan peristiwa atau kejadian. Jelasnya, menghadapi sajak-sajak Sapardi, kita harus sudah bersiap untuk menghadapi ungkapan kejadian-kejadian yang “biasa”.

Dalam hubungan ini, rasanya kita masih harus bersetuju dengan pendapat Goenawan Mohamad dalam Horison, Februari 1969 (h. 42), yang menyatakan bahwa lewat lirik dan penggunaan imaji-imaji yang sugestif, “ia telah memilih untuk tidak berbicara lagi tentang semboyan dan prinsip-prinsip besar.” Bagi Sapardi sendiri tersirat adanya sikap yang cenderung berposisi bahwa gagasan besar tidak ada artinya dan bahkan berkemungkinan menjadi “hambar” bila gagasan besar itu ditulis oleh mereka yang tidak pas, atau dituang dengan pengucapan yang kurang memadai, sebagaimana diungkapkannya lewat esainya berjudul “Memperbincangkan Gagasan Besar,” Horison, Januari 1983, h. 23.

Begitulah, tampaknya Sapardi memang tak mau pusing dengan soal gagasan besar ini. Ia memang lebih memilih hal-hal yang akrab saja, yang dekat dengan keseharian manusia. Oleh karena itu pula, tidaklah aneh apabila ia kemudian banyak menampilkan hal-hal yang dapat dijumpai setiap hari atau yang merupakan bagian dari kehidupan kita yang sangat personal. Dalam sajak-sajaknya dapat ditemui akan pengungkapan misteri tentang bunga, angin, gerimis, capung, anjing, jam, selokan, dan burung misalnya, yang sepertinya hanyalah persoalan kecil dan sepele. Tapi, apakah sajak-sajak yang berbicara tentang benda atau mahluk-mahluk itu kemudian juga menjadi sesuatu yang tidak berarti?

/3/
Meskipun Sapardi hanya atau cenderung memilih hal-hal sederhana itu, sajak-sajak Sapardi hadir dengan keistimewaaan. Hal seperti ini dapat terjadi agaknya karena Sapardi menuangkan kesemuanya itu dengan emosi yang terkendali yang dipadukan dengan nilai-pikir yang sangat manusiawi.

Yang agaknya terasa lebih bernilai lagi dari sajak-sajak dalam kumpulan ini adalah kemampuannya menyadarkan kita akan kelengkapan semesta di sekeliling kita, dan sekaligus mampu menyadarkan kita akan kedirian kita sebagai manusia. Lewat sajak-sajaknya yang mengungkap misteri bunga, angin, hujan, dan sebagainya itu, setidak-tidaknya akan mampu mengajak kita merenungi hal-hal yang sangat mungkin tidak pernah kita hiraukan.

Dari sajak “Di Tangan Anak-anak” misalnya, kita tiba-tiba disentakkan untuk menyadari bahwa bagi anak-anak (satu jenjang yang pasti pernah kita alami semua), / … kertas menjelma perahu sinbad/, / … menjelma burung/; atau juga pada larik /di mulut anak-anak kata menjelma Kitab Suci/ (h. 49). Dari kenyataan itu, kita diajak untuk merenungi satu dunia yang pernah kita arungi dalam penggalan perjalanan kemanusiaan kita. Sajak lain yang juga cukup mampu untuk “mengajak kembali” ke dunia anak-anak, misalnya adalah pada sajak “Perahu Kertas” (h. 46).

Sajak-sajak dalam kumpulan ini tampak begitu matang; hal itu tiada lain agaknya setelah melewati suatu perenungan panjang tentang hidup keseharian di sekitar kita. Melalui jiwa puitis Sapardi, hal-hal yang biasa tersebut diungkapkan dan disodorkan kepada kita. Akibatnya, yang tertangkap kemudian adalah semacam “ajakan” untuk memahami dan merenungi kehidupan di sekeliling kita itu dengan seksama dan seintensif mungkin, karena di balik keseharian dan kesahajaan di sekitar kita itu ternyata banyak pelajaran yang dapat memperkaya rasa kemanusiaan kita. Penyadaran akan kemanusiaan yang semacam itulah yang sekurang-kurangnya dapat disebut sebagai upaya yang tidak sia-sia, terlebih-lebih lagi di tengah zaman yang menggusarkan dan sepertinya telah banyak yang kehilangan rasa dasar kemanusiaan ini.

Sudah barang tentu, menyinggung soal kemanusiaan ini, tidak dapat menafikan pula persoalan yang selalu mengikuti perjalanan hidup seorang manusia, yaitu semacam rasa ngilu, haru, ngelangut, sedih, dan penasaran. Akan tetapi, dengan mengindahkan rasa-rasa itu, justru akan semakin menyadarkan keberadaan kita sebagai manusia, sebagai suatu individu yang sesungguhnya terperangkap oleh situasi yang tidak kita kehendaki kehadirannya dan di luar kemampuan atau kekuasaan kita untuk menolaknya.

/4/
Sajak-sajak Sapardi, sebagian besar diungkapkan dengan perangkat lirik, yang berbisik, yang tidak berisik, berkisah dengan indah, namun sesekali juga menghentak dan menyentak. Dengan lirik, yang kemudian menjadi titik tumpu perhatian tentunya pada kemampuan mengeksploitasi diksi, khususnya dalam kerangka dasar untuk menjaga emosi dan keruntunan pengucapan. Dengan demikian, tidaklah perlu diherankan apabila kemudian dalam hubungan dengan pilihan kata, Sapardi tampak sekali begitu hati-hati, sebagaimana pula kehati-hatian para penyair imajis umumnya dalam memilih dan merangkai kata serta memelihara irama kata untuk menjaga terbentuknya suasana-suasana tertentu. Dalam kaitan ini, kemudian terlihat bahwa meskipun Sapardi cenderung hanya memakai kata-kata yang biasa dan sehari-hari, tampak sekali bahwa ia sangat jeli dalam menata serta menciptakan komposisi yang mampu mendukung hadirnya imaji-imaji tertentu. Sekadar contoh, kutipan berikut dapat menjelaskan: / … pandangmu adalah seru butir air tergelincir dari duri/ mawar (begitu nyaring!); swaramu adalah kertap bulu berang/ yang gugur (begitu bening!)/ (“Lirik untuk Lagu Pop”, h. 19).

Lirik, agaknya, sudah merupakan pilihan utama bagi Sapardi. Dengan lirik, dengan pengucapan subjektif, sebagaimana dikatakan oleh Goenawan Mohamad, “ ia pun telah membebaskan diri dari desakan pengaruh sajak-sajak ‘berjoang’ waktu lampau”. Dan dengan lirik yang terjaga pula, setidak-tidaknya ia akan menggiring pembaca kepada dua kemungkinan: menikmati lantunan komposisi kata-kata, serta sekaligus menikmati siratan makna yang mengemuka, baik yang barangkali saja hanya merupakan suatu perenungan yang mendalam atau yang hanya sekadar obsesi diri belaka. Namun, seandainya pun ternyata belum mampu menangkap kilatan makna yang mengiringi atau menjiwai sajak-sajaknya itu—karena barangkali disebabkan oleh uniknya pengimajian, misalnya—sangat boleh jadi hanya dengan menikmati komposisi lirik-liriknya yang memukau saja, para pembaca sudah cukup terpuaskan. Hal semacam inilah agaknya yang memang terjadi.

Namun demikian, sebagai penikmat sastra yang baik, kita tentunya akan berusaha terus untuk menelusur atau merebut makna yang disiratkan oleh sajak-sajak itu. Dan sajak-sajak Sapardi memang menantang untuk dinikmati, digauli, direnungi lirik-liriknya, sekaligus maknanya.
***


(Ibnu Wahyudi bersama Sapardi Djoko Damono, tiga tahun lalu).

___________________
*) Ibnu Wahyudi, sastrawan kelahiran Ampel, Boyolali, Jawa Tengah 24 Juni 1958. Mengajar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (d/h Fakultas Sastra) Universitas Indonesia (UI), selain itu menjadi pengajar-tamu di Jakarta International Korean School (sejak 2001), di Prasetiya Mulya Business School (sejak 2005), di Universitas Multimedia Nusantara (sejak 2009), dan di SIM University Singapura.
Pendidikan S1 di bidang Sastra Indonesia Modern diselesaikan di Fakultas Sastra UI (1984). Tahun 1991-1993, mengikuti kuliah di Center for Comparative Literature and Cultural Studies, Monash University, Melbourne, Australia dan peroleh gelar MA, serta menempuh pendidikan doktor (Ilmu Susastra) di Program Pascasarjana UI. Tahun 1997-2000, menjadi dosen tamu di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan.
Kumpulan puisinya yang sudah terbit, Masih Bersama Musim (KutuBuku, 2005), Haikuku (Artiseni, 2009), dan Ketika Cinta (BukuPop, 2009). Kumpulan prosamininya berjudul Nama yang Mendera (Citra Aji Parama, 2010). Buku puisinya Masih Bersama Musim masuk 10 besar penghargaan Khatulistiwa Literary Award 2005. Buku-buku yang pernah disusun /disuntingnya, Lembar-lembar Sajak Lama (kumpulan sajak P. Sengodjo) Balai Pustaka 1982, Pahlawan dan Kucing (kumpulan cerpen Suripman) Balai Pustaka 1984, Konstelasi Sastra (Hiski, 1990), Erotisme dalam Sastra (1994), Menyoal Sastra Marginal (2004), Toilet Lantai 13 (Aksara 13, 2008), Ode Kebangkitan (2008), dll.


SAPARDI, FUNDAMENTALIS BUNYI

$
0
0

Mengenang Sapardi Djoko Damono
Binhad Nurrohmat *

Di toko buku loak saya menemukan majalah Horison yang memuat esai Goenawan Mohamad (GM) bertajuk “Nyanyi Sunyi Kedua” yang mengulas puisi Sapardi Djoko Damono. Esai ini yang kali pertama memperkenalkan saya dengan Sapardi. Ketika itu saya masih sekolah di SMA di Sumatra dan seeksemplar majalah Horison bekas harganya 500 rupiah.

Di kemudian hari pada awal masa Reformasi, di Jakarta, saya tahu Sapardi dan GM berteman dekat. GM sangat apresiatif terhadap puisi Sapardi, demikian pula sebaliknya. Berbeda dengan Sutardji Calzoum Bachri yang menyentil puisi Sapardi yang menurutnya puisi Jawa yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Buku puisi perdana Sapardi, DukaMu Abadi, membuat saya bertanya pada usia belasan: “Apakah Tuhan bersedih?” — Mu dalam judul bukunya saya kira Tuhan karena huruf m-nya ditulis kapital (M). Secara keseluruhan buku puisi ini tak begitu terang bagi saya semasa SMA. Namun saya suka judul buku puisi ini.

Saya tertarik secara khusus kepada puisi Sapardi yang berjudul “Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari” yang sangat visual dan menyuguhkan kepekaan atas peristiwa sehari-hari. Puisinya yang sejenis ini membuat saya mengaguminya. Saya sering bosan membaca sajak-sajak cintanya. Apalagi setelah saya mengenal Sapardi secara pribadi dan sempat sekian kali berjumpa. Sapardi lebih sebagai seorang yang humoris ketimbang romantis. Saya sukar membayangkan Sapardi suka pacaran.

BERJALAN KE BARAT DI WAKTU PAGI HARI

waktu aku berjalan ke barat di waktu pagi matahari mengikutiku
di belakang

aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang
di depan

aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami
yang telah menciptakan bayang-bayang

aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara
kami yang harus berjalan di depan

Sapardi menulis buku puisi sosial misalnya Arloji dan Ayat-ayat Api yang menurut saya gagal. Puisi Sapardi yang bagus menurut saya yang menyajikan hal-hal “imajis”, yang ketika membacanya seperti menyaksikan sesuatu atau peristiwa, misalnya puisi “Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari” dan sejenisnya. Puisi sosialnya terasa kikuk dan hambar.

Lebih banyak yang menyukai puisi Sapardi ketimbang yang tidak. Ini fakta. Ini bukan hal yang bisa dicapai sembarang penyair. Apakah ini semata nasib baik Sapardi sebagai penyair? Saya tak percaya.

Sapardi sangat paham dan terampil dalam kaidah-kaidah puisi, dalam kritik dan karya puisinya.

Bagi saya Sapardi adalah “fundamentalis” bunyi dalam puisi. “Puisi adalah bunyi dan permainan bunyi,” katanya. Sapardi tak keliru — meski sebenarnya bunyi bukan satu-satunya faktor atau kaidah pembangun puisi.

Saya sangat kecewa ketika Sapardi menyatakan bahwa “puisi itu tanpa kaidah” di masa akhir hayatnya. Namun saya sangat bahagia membaca sejumlah puisinya yang taat kaidah, sejak dulu hingga saat ini.

Sesaat setelah mendengar kabar kematian Sapardi, saya teringat puisi pendeknya yang berjudul “Tuan”:

Tuan Tuhan, bukan? Tunggu sebentar.
Saya sedang keluar.

Sapardi telah pergi. Dia tak sedang keluar sebentar. Dia berpulang selamanya, kembali kepada Tuannya yang abadi.


Keterangan Gambar: Majalah Sastra Horison, Mei 1968, Tahun Ke III, Nomor 5, foto dari Bandung Mawardi.
***

*) Penyair, tinggal di Pesantren Darul Ulum, Jombang Jawa Timur.

SASTRA DIASPOR(-IK/-IS)

$
0
0

Djoko Saryono *

Mari kita “bermain-main” dengan kata diaspora, yang diadopsi dari kosa kata diaspora dalam bahasa Inggris. Kata diaspora sudah menjadi satu satu lema dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yang artinya sudah menjadi salah satu kosa kata bahasa Indonesia. Dalam KKBI, kata diaspora hanya disangkutkan dengan dunia politik, dan dimaknai sebagai “masa tercerai-berainya suatu bangsa yang tersebar di berbagai penjuru dunia dan bangsa tersebut tidak memiliki negara, misalnya bangsa Yahudi sebelum negara Israel berdiri pada tahun 1948”.

Namun, secara lebih luas Wikipedia menjelaskan sebagai berikut. “Istilah diaspora (bahasa Yunani kuno: “penyebaran atau penaburan benih”) digunakan (tanpa huruf besar) untuk merujuk kepada bangsa atau penduduk etnis manapun yang terpaksa atau terdorong untuk meninggalkan tanah air etnis tradisional mereka; penyebaran mereka di berbagai bagian lain dunia, dan perkembangan yang dihasilkan karena penyebaran dan budaya mereka”. Lebih lanjut, dalam Wikipedia dikemukakan bahwa “Mulanya, istilah Diaspora (dengan huruf besar) digunakan oleh orang-orang Yunani untuk merujuk kepada warga suatu kota kerajaan yang bermigrasi ke wilayah jajahan dengan maksud kolonisasi untuk mengasimilasikan wilayah itu ke dalam kerajaan”.

Lebih lanjut dikemukakan dalam Wikipedia sebagai berikut. “Pada abad ke-20 khususnya telah terjadi krisis pengungsi etnis besar-besaran, karena peperangan dan bangkitnya nasionalisme, fasisme, komunisme dan rasisme, serta karena berbagai bencana alam dan kehancuran ekonomi. Pada paruhan pertama dari abad ke-20 ratusan juta orang terpaksa mengungsi di seluruh Eropa, Asia, dan Afrika Utara. Banyak dari para pengungsi ini tidak meninggal karena kelaparan atau perang, pergi ke benua Amerika.”

Kutipan panjang dari Wikipedia tersebut memperlihatkan keluasan makna dan penggunaan kata atau istilah diaspora. Sekarang istilah diaspora tidak hanya dikenakan untuk manusia. Tetapi, juga budaya termasuk ke dalamnya seni dan sastra. Terjadi perluasan makna yang bisa dikatakan luar biasa.

Meskipun kosa kata atau istilah diaspora (sebagai nomina) sudah diadopsi dalam bahasa Indonesia, tetapi istilah bentuk kata diasporic (sebagai ajektiva) belum diadopsi ke dalam bahasa Indonesia. Dalam kesempatan ini saya memberanikan diri mengadopsi bentuk kata diasporic menjadi diaspor(-ik/-is) sebagai ajektiva dari nomina diaspora dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Inggris, frekuensi dan penggunaan kata diaspor(-ik/is) sudah tinggi di samping sudah luas penggunaannya sebagai keterangan atributif suatu istilah.

Dalam hubungan itu dapat disebut bentukan kata yang diikuti dengan ajektiva diasporik sebagai keterangan atributif. Misalnya, istilah sastra diasporik (diasporic literature) dan estetika diasporik (diasporic aesthetics). Seturut hal ini, bisa dikembangkan isitilah puitika diasporik (diasporic poetics), puisi diasporik (diasporic poetry), fiksi diasporik (diasporic fiction), imajinasi diasporik (diasporic imagination), selera diasporik (diasporic taste), hasrat diasporik (diasporic desire), identifikasi diasporik (diasporic identification), kondisi diasporik (diasporic condition), filsafat diasporik (diasporic philosophy), dan kenangan diasporik (diasporic memories) serta semangat diasporik (diasporic pursuit). Berbagai istilah tersebut dapat dijadikan pintu masuk kajian sastra diasporik dan estetika diasporik. Siapa suka?
***

______________
*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd adalah Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.

Sang Mistikus Kini Telah Pulang

$
0
0

Kepada Sapardi Djoko Damono


Matroni Musèrang *

“Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Telah meninggal dunia sastrawan besar Indonesia, Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono , di Eka Hospital BSD, Tangerang Selatan pada Minggu, 19 Juli 2020, pukul 09.17 WIB. Semoga Alm. husnul khatimah. Amin. Kepulangan adalah kata terakhir seteah kita berjumpa. Dan penyair itu telah pulang duluan sebelum yang lain pulang. Namun sebelum kita pulang, tentu kita pasti berinteraksi dengan semesta, dengan waktu, dengan zaman, dengan kata-kata, dengan puisi.

Sang mistikus bergelut dengan puisi, mengapa ia menyadari bahwa jasadku tak akan ada lagi, maka yang abadi di dunia ini adalah kata-kata dalam puisi, sehingga selama hidupnya Sapardi pun ingin memberikan pahala yang terus mengalir ke alam kepulangan. Sebab kata-kata yang kita tulis ia akan mengalirkan nilai-nilai ke siapa pencipta kata-kata itu, oleh karena puisi sebagai media penciptaan merupakan sarana yang pas, karena dalam puisi kata-kata selalu baik, dan manis. Maka ketika kata-kata itu baik, pasti ia mengandung nilai yang baik untuk semua. Siapa pun yang menciptakan kebaikan di dunia, maka kebaikan itu akan terus mengalir sampai kita pulang ke alam kubur.

Kita tahu di alam kubur kita sendiri, hanya di temani sepi, di temani siksa, maka untuk menciptakan keramaian dan kesenangan di alam kubur, ciptakanlah kebaikan-kebaikan di dunia. Kebaikan di dunia adalah teman di alam kubur. Dan hal itu sudah diketahui oleh Sapardi, makanya Sapardi banyak sekali menciptakan kebaikan-kebaikan selama ini hidup di dunia.

Kesadaran itu terlihat sekali dalam puisi “pada suatu hari nanti” kita bisa lihat bagaimana kesadar itu muncul dalam dirinya misalnya jasadku tak akan ada lagi,./ suaraku tak terdengar lagi/. Bukan sembarang orang yang mengetahui bahwa dirinya akan tiada dan suaranya akan tiada, kecuali ia memiliki kesadaran mistik yang mendalam. Di saat itulah sebenarnya kesombangan itu tidak ada. Kesadaran inilah sebenarnya yang membuat Sapardi selalu baik hati dan tidak sombong dalam keadaan apa pun.

Dalam perjalanan kepenyairan Sapardi selalu membawa “kesadaran” akan tubuh dan hal yang berbentuk itu tidak abadi, oleh karena apa pun yang berbentuk materi di dunia akan sirna, sebab kepulangan kita tidak akan membawa buku puisi, membawa honor puisi, akan tetapi nilai yang terkandung di dalam buku puisi dan di puisi itu sendiri. Kesadaran bahwa setiap yang kita tulis mengandung nilai itu hanya penyair-mistikus, kalau hanya penyair ia tidak akan memiliki kesadaran nilai. Maka yang sekarang menjadi penyair teruslah berjalan sampai kepenyairan itu menelusup dikedalaman rohani.

Sapardi mistikus-penyair sehingga kepulangannya pun ditangisi banyak makhluk, mulai dari puisi sampai penyair bahkan masyarakat umum. Sebab Yang Fana Adalah Waktu ini kesadaran ontologis yang dirasakan oleh Sapardi Kita abadi memungut detik demi detik, lalu kita lupa untuk apa. Kesadaran penyair-mistikus ini bertanya “apa” sungguh luar biasa, sebab bertanya “apa” hari ini jarang kita temukan di dunia kepenyairan. Yang ada sekarang “siapa” yang mengarah kepada populer, penyair hari ini memiliki tujuan ngartis bukan menuju kesadaran penyair-mistikus.

Oleh karenanya penyair tentu harus arif dalam menyikapi kepenyairan, menyikapi puisi, menyikapi jiwa-jiwa kepenyairan, sebab kalau penyair tidak arif menyikapi kepenyairannya berarti penyair itu masih mampu menuliskan kata-kata tanpa rasa, dan makna. Kalau kita hanya membuat kata tanpa makna lalu apa yang mau di serap oleh semerta, Diserap akar pohon bunga itu. Akar-akar kepenyairan akan kering, oleh penyair sendiri yang tidak mampu menyiram tanah-tanah kepenyairan.

Di sini pentingnya penyair yang memiliki kesadaran akan pentingnya puisi bagi semesta, bahwa puisi bukan hanya untuk puisi, puisi bukan hanya untuk dirinya sendiri, akan tetapi puisi itu untuk akar-akar bunga yang sedang hidup dan membutuhkan siraman air kepenyairan.

Sumenep, 20 Juli 2020.

*) Esais, aktif di forum BIAS dan pengelolah Perpustakaan Uliefa. Matroni Muserang, lahir di Banjar Barat, Gapura, Sumenep, Madura. Alumni Al-Karimiyyah dan Al-In’Am. Menulis di banyak media baik lokal maupun nasional. Buku antologi puisi bersamanya adalah “Puisi Menolak Lupa” (2010), “Madzhab Kutub” (2010), Antologi Puisi Festival Bulan Purnama Majapahit Trowulan (Dewan Kesenian Jatim, 2010). Suluk Mataram 50 Penyair Membaca Jogja (2011), Menyirat Cinta Haqiqi (temu sastrawan Nusantara Melayu Raya (NUMERA, Malaysia, 2012), Rinai Rindu untuk Kasihmu Muhammad (2012), Satu Kata Istimewa (2012), Sinopsis Pertemuan (2012), dan Flows Into The Sink, Into The Gutter (2012, dua bahasa, Ingris-Indonesia), Sauk Seloko (PPN VI Jambi 2012). Menyelesaikan studi S-1 dan S-2nya di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Pengelola matronielmoezany.blogspot.com

LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (13-17)

$
0
0

Sunu Wasono

LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (13)

Kumbayana berdiri. Dikencangkannya ikatan selendang yang melilit di pundaknya agar tak mudah lepas. Dilihatnya putranya masih terlelap. “Anak yang ganteng dan tahu perasaan bapaknya. Baik benar Nak kamu. Tidak rewel. Anteng. Gemes aku. Ayo Nak kita lanjutkan perjalanan. Semoga kita mendapat pertolongan,” kata Bambang Kumbayana kepada anaknya. Tak menoleh ke kanan-kiri, Bambang Kumbayana jalan lurus terus sesuai dengan pesan istrinya.

Entah sudah berupa puluh desa ia lewati. Namun, sebegitu jauh ia belum tahu hendak ke mana. Ketika melewati desa, ada saja orang yang bersimpati kepadanya. Mereka memberikan makanan apa saja sehingga dia dan anaknya tak kelaparan. Untuk Haswatama, diberi makan pisang yang matang di pohon. Orang-orang kampung itu sungguh tulus. Apa saja yang mereka punya ditawarkan dan diberikan kepada Bambang Kumbayana tanpa syarat apa pun.

Ketika Bambang Kumbayana berteduh di pos jaga karena gerimis, ia terkantuk-kantuk. Disandarkannya tubuhnya ke gedek (dinding). Ia menarik napas, lalu menyelonjorkan kedua kakinya guna melemaskan otot-ototnya yang tegang karena perjalananan. Angin sore mengusap wajahnya yang berkeringat. Dilepaskanlah dua kancing baju di bagian atasnya agar angin leluasa membelai leher dan dadanya. Tak lama kemudian, ia sudah berada di gapura kerajaan Atas Angin. Seorang prajurit yang sering mengawal Bambang Kumbayana segera melapor ke raja. Istana Atas Angin gempar.

Seisi istana kerajaan Atas Angin menyambutnya dengan sukacita. Namun, mereka kaget begitu melihat Bambang Kumbayana menggendong seorang anak. Ada di antara mereka yang sinis. “Dulu disuruh kawin menyumpah-nyumpah tak mau kawin. Sudah disiapkan seratus gadis jelita untuk dipilih, bukannya mengambil satu atau beberapa, tapi malah melengos. Sekarang datang-datang membawa anak tanpa ibunya. Dapat dari mana? Paling dia ambil dari rumah bordil. Huh, lagaknya. Sombong kali kau, mBang,” ujar salah seorang pegawai istana yang anak gadisnya ditampik Bambang Kumbayana.

Tak semua sinis. Banyak juga yang gembira atas kepulangan Bambang Kumbayana, termasuk ayahanda sendiri. Di antara sekian banyak itu ada seorang ibu yang sehari-hari bekerja di istana sebagai juru masak. Saat menyalami Bambang Kumbayana, ia menangis karena terharu. Ia pandangi Haswatama dengan penuh cinta. Dijulurkannya kedua tangannya ke arah Haswatama yang masih dalam gendongan bapaknya. Bambang Kumbayana melepaskan selendangnya dan secara spontan menyerahkan Haswatama kepada juru masak istana itu. Tak ada tangis, tak ada rontaan. Anak itu manut saja ketika diraih dan dibawa ibu itu. Bambang Kumbayana tak punya prasangka apa pun. Lalu ia masuk ke dalam istana. Para nayaka duduk di kursi masing-masing menantikan sabda raja yang sibuk dengan cucunya di belakang. Bambang Kumbayana masih terlihat kikuk. Ia tak segera mengambil tempat duduk.

Tiba-tiba dari arah belakang terdengar tangis anak keras sekali. “Itu pasti tangis anakku. Diapakan dia sama perempuan itu,” kata Bambang Kubayana dalam hati. Lama-lama tangis anaknya kian kencang. Bambang Kumbayana tak menunggu waktu, ia yang baru saja mau menaruh pantatnya di kursi bangkit hendak menuju tempat anaknya menangis.

Bobrakkkkk gedebug. Bambang Kumbayana geragapan dan terbangun. Kaki kanannnya sudah berada di tanah, sementara kaki kirinya masih di alas pos jada. Tangan kirinya memegang tiang pos. “Anakku. Anakku. Di mana anakku?”

Haswatama tak ada di dalam pos. Bambang Kumbayana panik. Ia keluar dari pos. Lari ke sana kemari. “Haswatama. Anakku di mana kau!” Saat dia ke belakang pos, betapa kagetnya dia. Seekor ular piton sepanjang 4 meter menghampiri Haswatama. Lidahnya menjulur. Jalannya kleset-kleset, hampir tak bersuara. Anehnya, anak itu terlihat tenang. Jarak ular dan anak itu barangkali tinggal sedepa. Sepuluh detik saja Bambang Kumbayana terlambat menyambar, anaknya niscaya sudah berada di perut ular piton itu, menyusul biawak dan marmot yang lebih dulu dimangsa.

LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (14)

Konon guru paling baik adalah pengalaman. Sejak kejadian itu Bambang Kumbayana lebih berhati-hati dalam menjaga putranya. Baginya, yang perlu dilakukannya kini adalah melanjutkan perjalanan. Tidur (tertidur) meski sesaat, kalau berkualitas, akan memulihkan energi. Rupanya tidur sesaat di pos jaga itu telah mengembalikan tenaganya. Bersama putranya ia terus berjalan. Satu tujuannya: kerajaan Timpurusa. Kenapa harus ke sana? Tak lain karena di sana diselenggarakan sayembara pilih.

Info tentang penyelenggaraan sayembara itu ia peroleh dari orang-orang yang ditumpangi selama perjalanan. Kalau lelah dan memasuki malam, Bambang Kumbayana senantiasa beristirahat dan numpang nginap di rumah penduduk desa.

“Ikut saja. Saya yakin sampeyan akan terpilih,” kata seorang bapak tempat ia menginap.

“Terima kasih atas saran Bapak. Mungkin aku akan mencoba. Tapi omong-omong, kenapa Bapak yakin bahwa aku akan terpilih?” Selidik Bambang Kumbayana.

Bapak itu memandang raut muka Bambang Kumbayana sejenak, lalu berkata, “Sampeyan ganteng. Saya perhatikan dari tadi, sejak sampeyan masih di pelengkung rumah, sampeyan ini bukan orang biasa. Saya yakin sampeyan masih trahing kusuma rembesing madu, bukan kaum pidak pedarakan macam saya.”

Bambang Kumbayana tersenyum saja. Ia tetap kukuh, tak mau menunjukkan siapa sesungguhnya dirinya.

“Terima kasih atas pujian Bapak, tapi aku ini orang biasa. Tak seperti yang Bapak duga.”

Meskipun hanya obrolan biasa, bagi Bambang Kumbayana, kata-kata tuan rumah yang ia inapi menguatkan hasratnya untuk ikut sayembara. “Siapa tahu aku beruntung sehingga Haswatama akan lebih terawat. Kasihan Nak kamu. Ibumu sekarang lagi apa ya, Nak,” ujar Bambang Kumbayana dalam hati. Tiba-tiba ia teringat pada Dewi Wilutama. Ia membayangkan di kahyangan istrinya lagi mengadakan pesta syukuran untuk merayakan terbebasnya ia dari kutukan. Teman-teman dan sanak saudaranya hadir lalu mengucapkan selamat kepada Dewi Wilutama. Lalu dalam acara itu dihadirkan grup musik campursari. Teman-temannya mendaulat Dewi Wilutama menyanyi. Lamunan Bambang Kumbayana buyar ketika tuan rumah pamit untuk tidur.

“Sudah larut malam. Silakan beristirahat, Raden.”

Oh, kenapa dia tiba-tiba panggil aku raden, gumamnya. Bambang Kumbayana jadi rada kikuk. “Terima kasih, Pak. Tapi mohon Bapak tak panggil aku raden. Aku ini bukan siapa-siapa,” ujar Bambang Kumbayana.

“Saya yakin Raden bukan sembarang orang. Dari wajah dan sorot mata kelihatan. Silakan istirahat.”

“Terima kasih, Bapak.”

Keesokan harinya, setelah sarapan, Kumbayana pamit sama tuan rumah. Rupanya telah disiapkan bekal untuk dirinya dan Haswatama. Ada bubur sumsum, jadah, rondo royal, grontol, dan buah-buahan. Semua dikemas dengan rapi. Juga dibawakan minuman legen yang dimasukkan di bambu (bumbung) yang pada kedua ujungnya diikat seutas tali. Bambang Kumbayana terharu atas pelayanan dan kebaikan tuan rumah. Ia pun mengucapkan terima kasih dan pamitan.

Saat memasuki kota, matahari sudah condong ke barat. Angin sore bertiup membelai rambutnya yang panjang. Sambil terus berjalan ia membatin, kota ini bersih sekali. Jangan-jangan aku sudah berada di pusat pemerintahan. Di dekat perempatan ada orang berkerumun. Dia coba mendekat dan menguping pembicaraan orang yang sedang berkerumun. Perkiraannya ternyata benar. Ia sudah berada di pusat kota. Sejumlah orang berkostum bagus melintas. Dari komentar kerumunan itu ia tahu bahwa rombongan yang melintas itu adalah calon peserta sayembara.

Melihat penampilan mereka yang umumnya keren, Bambang Kumbayana mendadak ragu. “Aku ikut sayembara tidak ya,” katanya entah ditujukan kepada siapa. Belum sempat mencerna kata-katanya sendiri, tiba-tiba dari seberang jalan terdengar orang berteriak. “Sayembara pilih tak jadi diadakan. Sang Putri Raja menolak disayembarakan!” Entah karena kecewa atau lega, Bambang Kumbayana menarik napasnya, lalu menjauh dari kerumunan. “Haswatama, ayahmu tak jadi ikut sayembara. Mari kita pergi dari tempat ini.” Ia menyeberang jalan dan terus menyusuri trotoar menuju selatan.

LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (15)

Awak harus minta maaf sebelum melanjutkan cerita ini. Seharusnya cerita di bagian ini sudah hadir siang tadi, tapi karena kesibukan awak, kini baru hadir. Kalau ada kasak-kusuk yang mengaitkan leterlambatan ini dengan ulah Lik Mukidi, awak tegaskan bahwa itu tak benar. Justru Lik Mukidilah orang pertama yang memaklumi keterlambatan kehadiran bagian ini. “Kau tak perlu merasa bersalah. Aku maklum ketika kau telat memosting lanjutan cerita “Lenga Tala”. Biasa saja, tak usah galau. Wajar penulis sekelas kau itu lamban. Membedakan mana kalimat bersubjek dan mana kalimat tak bersubjek saja belum bisa. Mana bisa menulis cepat. Karena itu, sekali lagi aku maklum.”

Begitulah “simpati” yang ditunjukkan Lik Mukidi kepada awak. Tak hanya itu. Ia banyak memberi nasihat kepada awak terkait dengan penulisan cerita ini. “Kalau yang menyukai cerita ini hanya dua atau tiga orang, dan dari tiga itu salah satunya kau sendiri, tak usah kendur semangat. Justru itu menjadi isyarat bahwa kau harus tetap menulis walaupun tulisanmu tetap tak digemari karena memang tak bagus. Tetap semangat. Buktikan bahwa kau bisa menulis sampai selesai walaupun hasilnya begitu-begitu saja.”

Itulah antara lain nasihat atau petuah yang disampaikannya kepada awak sebelum awak mulai menulis bagian ini. Kalau awak katakan “antara lain” , itu berarti bahwa petuah Lik Mukidi banyak sekali. Saking banyaknya, awak butuh waktu untuk mencernanya. Setelah awak berhasil mencerna, awak berjanji akan melanjutkan cerita ini sampai selesai.

LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (16)

Kini saatnya awak melanjutkan cerita, tapi… sebentar sebentar awak mesti menengok ke belakang dulu agar nyambung ceritanya. Beginilah kalau terlalu banyak intermeso, jadi lupa pada cerita yang disusun sendiri. Awak tak menyalahkan siapa-siapa, termasuk tak menyalahkan Lik Mukidi. Keadaannya memang begini. Kalau mau dicari juga siapa yang salah, tentulah awak sendiri. Oke, tak usah berpanjang kata, mulai saja. Tapi di bagian terakhir itu bagaimana ceritanya. Apa yang dikerjakan Bambang Kumbayana dengan anak semata wayangnya. Iiiiyes, terakhir dia meninggalkan kerumunan, lalu menyeberang jalan dan melanjutkan perjalanan menuju selatan. Ia mengurungkan niatnya untuk mengikuti sayembara. Dari obrolan orang-orang yang sampai di telinganya, putri raja tak mau dirinya disayembarakan. Jelas sekarang awak harus mulai menulis dari mana. Oke, siap.
***

Bambang Kumbayana sudah bertekat untuk meninggalkan ibu kota kerajaan itu. Dari pengalamannya ia belajar untuk tidak cengeng. Kini ia berjanji kepada dirinya sendiri untuk tidak cengeng, tak mudah menitikkan air mata. Sampai di sebuah perempatan, ia berhenti. Ia sedikit ragu dan bertanya di dalam hati, aku harus ambil jalan ke mana. Ia pun bimbang. Ketika dalam keadaan bimbang itulah dia seperti mendengar bisikan bahwa ia harus memilih jalan yang menuju timur. Maka diayunkanlah kakinya menuju timur.

Tak lama kemudian, ia tiba di suatu alun-alun. “Lo, ini alun-alun. Oh, ada beringin kurung di sana. Pasti ada kraton di sini. Jangan-jangan kraton Timpurusa seperti yang dibisikkan Dewi Wilutama kepadaku sesaat sebelum melesat ke kahyangan berada di sini,” begitu gumam Kumbayana. Dia pun berjalan mendekat pohon beringin. “Tak salah lagi. Ini kraton Timpurusa. Besok aku harus pepe di alun-alun ini agar dipanggil Sinuwun yang menjadi raja di kerajaan ini. Sekarang aku harus cari tumpangan di kota ini. Sabar ya, Nak,” ujar Bambang Kumbayana sambil menenangkan Haswatama yang mulai rewel. “Kau harus mendapat asupan yang bergizi. Aku carikan dengan caraku,” hibur Bambang Kumbayana kepada buah hatinya.

“Kalau kau berbuat baik, di mana-mana akan kaujumpai orang baik.” Itu kata-kata ayah Bambang Kumbayana yang “nyantol” di hati dan terngiang-ngiang terus di telinganya. Memang sewaktu masih hidup di lingkungan istana Atas Angin dulu sering dinasihati ayahnya, tapi dia selalu membantah. Rupanya ada juga sebagian yang masuk ke hati Bambang Kumbayana. Sepanjang pengelanaannya nasihat itu menjadi pegangan dia. Lebih-lebih setelah ia ditinggalkan Dewi Wilutama. Ia jaga benar sikap, perilaku, dan ucapannya. Itulah sebabnya dalam perjalanannya ada saja yang menolong dia dan buah hatinya. Termasuk sekarang ketika ia butuh tumpangan dan asupan untuk anaknya.

Seorang bapak yang ditemuinya di sekitar alun-alun menawarkan tumpangan untuknya. Malam itu Bambang Kumbayana dan Haswatama bisa tidur nyenyak di atas kasur empuk. Bapak yang baik hati itu ternyata seorang priyayi, pekerja istana, yang sudah pensiun. Ia menduda dan ditemani sejumlah asisten rumah tangga yang setia. Anak-anaknya sudah pada berkeluarga dan tinggal di kota lain. Bambang Kumbayana dan Haswatama mendapat pelayanan yang sangat baik di tempat tumpangan itu.

Keesokan harinya Bambang Kumbayana dan Haswatama, setelah pamitan, mendatangi alun-alun. Suasana di alun-alun ramai. Banyak orang lalu lalang. Prajurit istana berjaga di pintu gapura. Di sudut-sudut alun-alun senantiasa ada prajurit yang mengawasi lingkungan. Di samping itu, ada sejumlah prajurit berkuda yang mengitari alun-alun dan sekitarnya untuk memastikan bahwa keadaan sepenuhnya aman.

Bambang Kumbayana mengamati lingkungan dengan teliti. Dia sedang mencari tempat yang strategis untuk aksi mepe (berjemur diri agar mendapat perhatian raja). Siang nanti dia akan mepe guna menyampaikan aspirasinya. Dia ingin agar ada pihak yang mau merawat anaknya. Ia sadar bahwa dirinya tak akan sanggup membesarkan Haswatama tanpa sentuhan dan kasih sayang seorang ibu. Memang kalau dipaksakan, bisa saja dia membesarkan Haswatama seorang diri, tapi hasilnya pasti tidak sebaik kalau ada sentuhan perempuan. Apalagi dirinya masih punya banyak rencana. Dia punya rencana ke Pancalaradya untuk menemui saudara seperguruannya. Ia pun masih ingin berguru pada sejumlah tokoh. Tak hanya itu, ia ingin juga menjalani tapa ngrame untuk menebus kesalahan dan kesombongannya di masa lalu.

LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (17)

Setelah dirasa waktunya tepat, Bambang Kumbayana menuju lokasi pepe. Ia menggendong Haswatama dengan selendang pemberian tuan rumah yang diinapinya. Ditutupinya wajah putranya dengan ujung selendang agar tidak tersengat langsung sinar matahari. Beberapa burung merpati yang tampak jinak mendekati kedua sosok yang sedang melakukan aksi pepe itu. Tak jauh dari tempat Bambang Kumbayana duduk, dua pohon beringin yang rimbun tegak berdiri. Sekawanan burung bermain dan berkicau di reranting dan dahan pohon itu. Sesekali angin bertiup menerbangkan debu kemarau.

Tak pelak, aksi Bambang Kumbayana segera memancing perhatian. Namun, sebegitu jauh belum ada tindakan prajurit istana. Mereka masih membiarkan aksi Bambang Kumbayana. Boleh jadi mereka menunggu sampai ada kepastian bahwa apa yang dilakukan Bambang Kumbayana memang aksi pepe.

Sementara Bambang Kumbayana melakukan aksi pepe, di dalam istana Prabu Kerpaya, Raja Timpurusa, sedang berbincang-dengan kedua anaknya: Kerpi dan Kerpa. Prabu Kerpaya setengah pusing menghadapi putrinya, Kerpi, yang setiap kali diajak berdiskusi tentang jodoh, selalu menghindar. Kerpaya khawatir anaknya lama-lama kehilangan gairah untuk menikah. Gara-gara Kerpi yang tak kawin-kawin Kerpa jadi terhalang kawin. Ia pun jadi bujang tua. Sampai kapan Kerpi akan kukuh dengan sikapnya, itulah yang menjadi pemikiran Kerpaya. Karena itu, kedua anaknya dipanggil untuk menghadapnya

Di hadapan ayahnya Kerpi menangis. Ketika ditanya apa sebabnya, bukannya menjawab tapi malah dikeraskan tangisnya.

“Kenapa kamu jado begini, Kerpi. Ada apa sebetulnya. Kamu menangis karena apa?” kata Prabu Kerpaya.

Kerpi tetap menangis. Tak mau menjawab pertanyaan ayahnya. Tangisnya justru terdengar lebih keras. Kerpa, adiknya, ikut iba. Dia mencoba bertanya juga, tapi Kerpi tak mau menjawab juga. Suasana di sitihinggil jadi muram.

“Duh dewabatara, apa yang harus kulakukan. Ditangisi anak saja tak sanggup berbuat apa-apa. Bagaimana masa depan kerajaan kita ini, Kerpa. Aku tak bisa memikirkan yang lain kalau kakakmu begini terus,” ujar Prabu Kerpaya.

“Kerpi anakku,” katanya kemudian, “seharusnya akulah yang menangis karena sampai setua ini kamu belum juga dapat jodoh. Hari ini kamu genap berusia 40 tahun. Apa kamu tak mau juga memikirkan jodoh. Oh Kermi, Kermi. Sampai kapan kamu akan terus begini, Kermi.”

Demi mendengar ratapan ayahnya, Kermi merasa iba juga. Dia merangkul ayahnya, lalu bersujud. “Baiklah, ayah. Sekarang Kermi ingin kawin, tapi kawin dengan siapa?” ujar Kermi.

Betapa lega hati Prabu Kerpaya demi mendengar jawaban putrinya. Mendung di wajahnya lenyap seketika. Wajahnya kini tampak semringah.

“Kalau begitu,” ujar Prabu Kerpaya, “sayembara pilih tetap kita adakan.” Kepada Kerpa, “Hai Kerpa, segera kauumumkan bahwa sayembara pilih jadi dilaksanakan,” perintah Prabu Kerpaya. Namun, sebelum Kerpa merespon, Kerpi mencegah.

“Jangan ayah. Jangan lakukan itu. Aku akan mendapat malu besar. Jangan lakukan itu.”

“Malu bagaimana. Apa maksudmu?” selidik Prabu Kerpaya.

Kerpi enggan berterus terang, tapi setelah lama ditunggu kata-katanya, ia bilang, “Aku khawatir tak ada pesertanya. Aku tidak muda lagi. Betapa malunya kalau tak ada satu pun laki-laki yang mendaftarkan. Aku ingin menjaga kehormatan ayah, kehormatan kerajaan. Apa kata dunia ayah kalau hal itu terjadi. Jangan sampai ayah ditertawakan raja-raja lain, ditertawakan rakyat. Ayah tak boleh mendapat malu karena anak perempuannya tidak laku.” Kerpi menangis lagi. Kerpa tak bisa menyembunyikan kesedihannya. Prabu Kerpaya yang semula sudah semringah mendadak berubah raut mukanya.

“Tapi kamu cantik. Meski usiamu 40 tahun, parasmu seperti gadis berusia 20 tahun. Apa iya tak ada laki-laki yang mau,” ujar Prabu Kerpaya membesarkan hati Kerpi.

“Itu kan menurut ayah. Kata orang kalau bicara tentang anak, orang tua itu akan menganggap wingka sebagai kencana. Bagi orang lain, bisa jadi kencana dikatakan wingka,” sahut Kerpi.

“Lalu bagaimana solusinya, Kerpi.”

“Ayah, kuminta sayembara pilih ditiadakan saja. Sebetulnya aku punya uneg-uneg yang belum kusampaikan karena takut.”

“Katakan apa yang ingin kau katakan. Jangan takut. Bukankah ayahmu ini tak pernah marah. Kamu takut karena apa?”

“Takut bahwa yang kukatakan dianggap ngayawara atau mengada-ada, Ayah.”

Suasana di dalam istana jadi hening sejenak.Sementara di luar istana, khususnya di tempat Kumbayana pepe, semakin panas. Berkali-kali Bambang Kumbayana mengusapkan selendang ke mukanya sendiri dan ke wajah Haswatama. Peluh mengucur di sekujur tubuhnya. Ia bergeming. Tak sedikit pun di benaknya ada niat untuk mengakhiri aksi pepenya sebelum mendapat perhatian dari raja. (bersambung)

ISLAM ISI YANG SEHARI-HARI

$
0
0


Akhmad Faozi Sundoyo

“Apakah pakai busana yang bersimbolkan agama itu tidak baik, Kiai? Ampun, Kiai.”

“Jelas gak baik alias brengsek kalau kamu tidak sanggup membawa perilaku yang luhur dan mendamaikan. Karena simbol-simbol itu hanyalah berhala yang seharusnya kamu kapak sebagaimana yang dilakukan Kanjeng Ibrahim”

Demikian kutipan dari salah satu penggalan percakapan antara Kiai Sutara dengan santrinya. Siapakah Kiai Sutara ini? Kenapa kata-katanya terlihat begitu “keras”, tegas, penuh keyakinan?

Ada alasan yang sangat mendasar untuk selalu mengelak menjelaskan “siapakah Kiai Sutara”. Dasar pertama, karena saya bukanlah orang yang dekat dan mengenalnya secara detail. Semisal kedekatan saya pada bapak atau ibu, atau teman-teman ngopi yang biasa ngobrol dan berdebat sampai pagi.

Dasar kedua, karena Kiai Sutara sendiri adalah sosok yang selalu mengelak untuk menjelaskan dirinya sendiri. Lalu siapa lagi yang punya otoritas membiografikan dirinya, kalau orangnya sendiri tak bicara?

Tentang kiai yang satu ini, pembacaan atasnya hanya bisa dilakukan satu-satu, lembar perlembar. Tidak mungkin menghatamkan satu buku full tentangnya. Lalu meresume dan mereview sekenanya. Walaupun seilmiah apa pun itu. Jika harus merujuk, mungkin Kiai Mustofa Bisri (Gus Mus) yang sesama kiai dapat sedikit membantu. Dalam “Pesan Islam Sehari-hari” (A. Mustofa Bisri, 1999: 93), menjelaskan bahwa seorang kiai adalah simbol “warisan nabi” yang hidup di tengah masyarakat. Ada ayat-ayat Qur’ani dan nilai-nilai kesunnahan dalam setiap gerak mereka. Dari nafas, senyum, diam dan keputusan hidupnya adalah perlambang al-Qur’an dan Hadist.

Sampai di sini, saya sangat klik dengan Gus Mus. Kiai adalah warisan nabi yang hidup. Ini adalah terma yang sepaket. Menyebut sepenggalan tanpa bagian lainnya, jauh dari cukup. Kiai adalah variabel komplit dari ilmu kenabian dan laku keseharian. Ilmu kenabian saja—hafal al-Qur’an tuntas sampai lekuk coretan perlembarnya dan hafal ribuan/jutaan matan hadist—tidak cukup. Butuh ekstraksi sedemikian rupa, sehingga dalil ilmu itu merupa “laku”. Seperti saat ‘Aisyah, istri Rasul yang paling cerdas, ditanya siapa Nabi, dia jawab: Nabi adalah “al-Qur’an berjalan”.

Jadi, kiai sangat jauh kesannya dari semisal ustadz panggung atau ustadz sosial media. Hafalan dalil al-Qur’an dan Hadist, sekaligus serangkaian deretan dalil “qouli” para ulama yang nampak ndakik dan cerdas luar biasa, belum cukup membawa seseorang di-kiai-kan. Seorang motivator kadang-seringnya memang sangat meyakinkan: gestur katanya tegas, indah, rasional, dan meneduhkan. Tetapi modal itu saja, tak cukup untuk membawanya disebagaikan seorang kiai.

Kembali pada Kiai Sutara. Walaupun tidak bisa dikatakan sebagai antitesis kecenderungan budaya kulit dalam beragama. Tapi bisa dikatakan bahwa Kiai Sutara—yang dalam satu ujarnya, “popularitas itu najis bagi saya”—ini adalah kebeningan kritik terhadap fenomena kekulitan dalam beragama. Mengapa agama harus seperti buah? Ada kulit ada isi. Bagaimana bila dikatakan saja raga dan ruh, misalnya? Atau bahasa-bahasa lain yang lebih “anyles-medhuk” semisal proyeksi-esensi, idea-materia atau sein-seinde? Terserah saja. Kiai Sutara adalah kesemua itu.

Kiai Sutara adalah luapan energi yang terukur. Bukan jenis manusia lemah syahwat yang kutuk serapah lebih nyaring daripada kiprah. Tidak pula terlalu menggebu, sehingga meledak menjadi dentuman. Dalam tiap tutur katanya, Kiai Sutara mencari bungkus bahasa yang paling sesuai. Terkadang dia berdalil, lengkap dengan rujukan detil kitab dan pengarangnya. Terkadang dia hanya mengambil kiasan-kiasan perasan dari lagunya Ummi Kultsum, partitur Mozart, Bach, Bethoven, Elvi Sukaesih, keroncong, gendhing, ketoprak, wayang, lagu anak-anak, jazz, blues, apa saja. Selama kata dan makna dapat tersampaikan, baginya tak jadi soal.

Kiai Sutara jelas bukan sosok wingit yang gemar ber-kembang dan ber-dupa. Berbicara atas nama wangsit dan bisikan-bisikan serupa itu. Tetapi ketika menjelaskan tentang tradisi dan kegaiban, dia tampak sangat mengenal sampai seluk-seluk belukarnya. Tak jarang kiai ini mengutip Immanuel Kant, Descartes, Spinoza, Nietzsche, Heideggger, dan yang serupa mereka itu. Jika menurutnya penting. Aneh, pecah, waras, wajar dan penuh petuah. Sosok yang menyatu dalam diri satu orang.

Kiai Sutara tidak pernah cadel bicara topik apa pun. Intonasi dan pilihan diksinya sebegitu unik. Namun selalu dapat menautkan semua itu dengan sentrum esensi kenabian, esensi ketauhidan, esensi keislaman. Misalnya saat Kiai Sutara menjelaskan tentang hubungan politik dan agama. Mungkin hanya melalui tesis Habermas tentang Post-Sekularisme yang sedikit-sedikit dapat menafsirkan maksudnya. Agama bukan sebatas pergumulan privat non politis. Sedemikian dengan politik, ialah bukan semata keduniaan tanpa isi. Agama di masa-masa ini butuh untuk dapat mewajahkan nilai-nilai inherennya ke dalam “bahasa umum” yang bisa diterima, dikaji, diuji oleh publik mana pun. Sekalipun oleh para penganut atheisme (Budi Hardiman, 2018: 211).

Santri-santri Kiai Sutara tidak pernah tahu dari mana dia belajar politik, atau tentang para filsuf peletak dan penjaga peradaban Barat. Jelas kiai ini tidak pernah kuliah. Tapi beberapa tamunya (santri) adalah mahasiswa dan para dosen. Semuanya tidak dalam rangka sharing dan diskusi, tetapi lebih pada ndeprok meminta arahan dan nasehat kepada kiai ini. Ada lagi yang menarik. Kiai Sutara adalah seseorang yang fasih bicara “goblok”, “udhelmu”, “ndasmu”, “otak dengkul”, “jancuk”, dan sebangsa itu semua. Nafasnya teratur, halus. Padahal perokok berat. Usianya tua, namun tak rabun dan giginya masih utuh. Diksi tuturnya jelas, wajah pandangnya meneduhkan. Bahkan saat sedang berakting marah.

Terakhir. Kiai Sutara adalah tokoh utama dalam buku “Dalil Kiai Sutara”. Buku ini bukan kumpulan renungan magis. Bukan pula makalah ilmiah. Hanya kumpulan cerita-cerita tentang kisah santri gelisah yang sowan minta arahan-pencerahan pada seseorang, yang baginya adalah kiai. Fiksi atau bukan, saya kira, saya tak perlu menjawabnya.
***

Judul Buku: DALIL KIAI SUTARA
Penulis: Taufiq Wr. Hidayat
Penerbit: Pusat Studi Budaya Banyuwangi
Cetakan pertama: Juli 2020
Tebal: V+319 Hal, 14 x 20 cm
ISBN: 9-786025-352133
Harga buku: Rp. 70.000,-
(sudah termasuk ongkos kirim ke wilayah Jawa/luar Jawa menyesuaikan)
Pemesanan buku dapat menghubungi akun Facebook Idrus Efendi dan Yanuar Widodo

Link-link tulisan yang membahas Dalil Kiai Sutara:
https://sastra-indonesia.com/2020/07/kiai-sutara-saja/
https://sastra-indonesia.com/2020/07/kiai-zaman-now/
https://sastra-indonesia.com/2020/07/aku-dan-kiai-sutara/

“SONET-SONET” SAPARDI DJOKO DAMONO

$
0
0

: KESETIAAN ATAS SEBUAH PILIHAN


[Ibnu Wahyudi bersama Sapardi Djoko Damono, tiga tahun lalu]

Ibnu Wahyudi *

[0]
Ada semacam penyimpangan—untuk tidak mengatakannya “pemberontakan”—yang telah lama dilakukan oleh Sapardi Djoko Damono dalam aktivitas berpuisi, yang sipi dari timbangan para pemerhati. Penyimpangan itu boleh jadi dapat disebut sederhana tetapi karena dilakukan dengan kekonsistenan yang telah ia tunjukkan hampir 50-an tahun, apalagi yang dapat kita katakan selain sebagai sebuah “kesetiaan”? Ya, kesetiaan. Suatu perilaku baru dapat dinyatakah sebagai “kesetiaan”, seperti kita maklumi, niscaya jika telah melewati perjalanan panjang, mengambil ruang yang lumayan dominan; kendati diselingi sejumlah variasi dan kreasi, atau juga sekadar permainan. Namun yang telah dipilih sastrawan berusia 70 pada tahun 2010 ini bukan hanya kesetiaan; ketekunan pun tercermin dari karya-karyanya.

Sapardi Djoko Damono telah menulis soneta—ini istilah “baku” dalam bahasa Indonesia yang juga dipakai oleh Sapardi sendiri ketika, misalnya, membicarakan karya-karya Wing Kardjo dengan judul “Memperkosa Soneta”—semenjak tahun 1960-an dengan (merencanakan) penerbitan kumpulan soneta berjudul “Sonnet-sonnet dari Djakarta”. [Sayangnya, hingga kini, antologi soneta ini belum terbit meskipun sejak tahun 1960-an beberapa soneta yang dimuat di pelbagai media sering diberi keterangan “dari sonet-sonet dari Djakarta”, misalnya “Sonet: Lelaki² Telah Turun Kelaut” yang dimuat majalah Horison atau “dari sonnet-sonnet dari Djakarta” seperti “Sonnet: karena engkau seorang” yang dimuat majalah Basis]. Dengan menyebut karyanya itu sebagai “sonnet” atau “sonet” alih-alih “soneta”, bahkan hingga karya yang terbit melalui Kompas pada 11 Januari 2009, yang lalu terbit dalam Kolam (2009), jelas bahwa dipakainya istilah tersebut merupakan semacam representasi akan kedirian yang khas, yang lazimnya bagi para seniman merupakan sebuah nafas; sebuah pernyataan diri yang tegas. Dipergunakannya istilah “sonet” dalam banyak karyanya ini, dari satu sisi dapat dimaknai bahwa Sapardi tampak hendak menawarkan suatu pengindonesian yang lebih tepat dari istilah “sonnet” ini sebagai “sonet”, tetapi di sisi lain ia agaknya menyadari bahwa tidak mudah “melawan” hegemoni peristilahan yang telah lama dikenal secara luas, sehingga dalam membicarakan sonnet karya sastrawan lain, ia pun bersedia memakai istilah “soneta”. Ini sepertinya bukan sekadar satu “penerimaan” melainkan lebih dapat dimaknai sebagai suatu “kerendahhatian”.

[1]
Dengan memakai istilah “sonet” yang lebih dekat dengan istilah dalam bahasa Inggris maupun Belanda (sonnet), tidak berarti bahwa Sapardi kemudian sepenuhnya tunduk dan setia dengan soneta Inggris atau Belanda tersebut, baik yang bergaya Shakespeare (diambil dari kecenderungan karya William Shakespeare, 1564-1616) maupun Spenser (diambil dari kecenderungan karya Edmund Spenser, 1552?-1599), atau juga soneta Petrarcha (soneta yang berasal dari Italia yang artinya ‘suatu suara atau nada yang lirih atau lembut’; lihat Alexander, 200:82). Padahal, Sapardi tentu jelas paham dan menyadari, jika seseorang hendak membuat soneta maka mau tidak mau akan berhadapan dengan pola tertentu, dengan bentuk yang tetap, seperti pendapatnya sendiri saat mengomentari soneta-soneta Wing Kardjo, bahwa di dalam soneta “ada konvensi yang tidak boleh dilanggar: jumlah lariknya 14 dengan aturan rima yang ketat”. Itulah pandangannya; tetapi pandangan itu dikemukakan oleh Sapardi-yang-pengamat-sastra dan bukan oleh Sapardi-yang-pencipta-sastra, karena ketika ia menulis soneta kelihatan terang adanya upaya pengkhianatan atau ketidaksetiaan terhadap apa yang telah diucapkan itu. Agar ihwal ketidaksetiaannya terhadap formula soneta itu langsung tergambar, berikut adalah soneta karya Sapardi yang menyimpang dari pakem, khususnya pada tiadanya aturan rima yang mengingatkan kita pada soneta.

Sonet: X

siapa menggores di langit biru
siapa meretas di awan lalu
siapa mengkristal di kabut itu
siapa mengertap di bunga layu
siapa cerna di warna ungu
siapa bernafas di detak waktu
siapa berkelebat setiap kubuka pintu
siapa mencair di bawah pandangku
siapa terucap di celah kata-kataku
siapa mengaduh di bayang-bayang sepiku
siapa tiba menjemput berburu
siapa tiba-tiba menyibak cadarku
siapa meledak dalam diriku
: siapa Aku

Dari sajak “Sonet: X” yang dibuat tahun 1968 ini, yang masih memperlihatkan tautan dengan konvensi atau kecenderungan soneta pada lazimnya hanyalah dalam jumlah larik (14 baris), dan adanya dua larik terakhir (ataukah hanya sebuah?) yang berujud epigram yang bernuansa meditatif atau eksistensialistis: / siapa meledak dalam diriku/ : siapa Aku//. Selebihnya, adalah semacam kemanasukaan yang telah diterapkan oleh Sapardi. Dapat dikatakan demikian tentu bersebab dari tidak dipakainya formula atau skema rima yang lazim dipergunakan oleh para penulis soneta, utamanya pada komposisi rima, seperti juga telah ia nyatakan sendiri. Dari apa yang telah kita pelajari di sekolah maupun dari khazanah soneta di masa Pujangga Baru yang umumnya dengan baik kita kenal, sangat mungkin kita masih ingat, seperti juga pernah dinyatakan oleh Abrams (1993:197-198) konvensi soneta adalah terdiri atas dua bagian yang berupa oktaf dengan rima //abbaabba// yang diikuti oleh sestet dengan rima //cdecde// atau //cdccdc// (soneta Italia), atau terdiri atas tiga kuatrin dengan rima //abab cdcd efef// yang ditutup sebuah kuplet dengan rima //gg// (soneta Shakespeare), maupun tiga kuatrin (//abab bcbc cdcd//) dengan sebuah kuplet (//ee//) sebagai penutup (soneta Spenser), sementara pada sajak Sapardi tadi pola tersebut tidak tampak. Sajak “Sonet: X” hanya terdiri atas sebuah stanza atau bait dan jelas hanya mempunyai satu bunyi akhir yang repetitif, yaitu /u/, sehingga dengan mudah dapat dikatakan bahwa sajak ini menyimpang atau mengkhianati formula soneta meski judul sajak ini diberi label “sonet”. Sementara itu, dalam sejarah personetaan, skema rima, merujuk penjelasan Shipley (1968:379-380), ternyata memang juga tidak selamanya tetap dan ketat namun sangat variatif. Kendati demikian, keseluruhan rima dalam sebuah soneta yang utuh, 14 larik, yang hanya menyuarakan sebuah bunyi, seperti pada “Sonet: X”, dapat dikatakan sangat langka.

Sajak Sapardi Djoko Damono yang terdiri atas 14 larik dalam satu stanza, bukan hanya “Sonet: X”. Sebagai soneta, kenyataan yang sedemikian itu sesungguhnya bukan sesuatu yang mengherankan sebab salah sebuah definisi soneta menyatakan hal yang seperti itu, yaitu bahwa soneta adalah “a lyric poem consisting of a single stanza of fourteen iambic pentameter lines linked by an intricate rhyme scheme” (Shipley, 1968:197). Dari pengamatan terhadap keseluruhan sajak Sapardi, ada beberapa sajak lain yang tidak diberi label “sonet” namun terdiri atas 14 baris. Menghadapi kenyataan ini, muncul semacam pertanyaan, adakah karya-karya yang seperti itu juga harus kita sebut sebagai soneta, sementara memang suatu soneta pada galibnya tidak selalu harus diberi judul secara verbal dengan kata “soneta”?

Karya-karya awal Sapardi, yang ditulis pada tahun 1960-an, ada yang terdiri atas 14 baris, semisal pada sajak yang berjudul “Nyanyian Para Sahabat Kita, I” atau “Sajak Mimpi”, namun tidak diberi julukan “sonet”. Tiadanya penyebutan karya tersebut sebagai “sonet” menyebabkan banyak yang cenderung tidak pernah menyinggung kedua sajak ini, contohnya, sebagai soneta. Penyebabnya, pengetahuan kita mengenai soneta pada lazimnya sebatas yang kita terima di bangku sekolah atau dari khazanah karya Pujangga Baru pada umumnya itu, atau dari suatu karya jika karya itu sendiri memang diberi identitas sebagai “soneta” atau “sonet” seperti pada “Sonet: X” di depan atau “Sonet: Y” di bawah ini.

Sonet: Y

walau kita sering bertemu
di antara orang-orang melawat ke kubur itu
di sela-sela suara biru
bencah-bencah kelabu dan ungu
walau kau sering kukenang
di antara kata-kata yang lama tlah hilang
terkunci dalam bayang-bayang
dendam remang
walau aku sering kausapa
di setiap simpang cuaca
hijau menjelma merah menyala
di pusing jantra
=: ku tak tahu kenapa merindu
tergagap gugup di ruang tunggu.

Dari khazanah masa Pujangga Baru, dari sejumlah karya Ali Hasjmy (1914-1998), Sutan Takdir Alisjahbana (1908-1994), Sanusi Pane (1905-1968), atau juga karya mantan wakil presiden pertama RI, M. Hatta (1902-1980), misalnya, yang meskipun tidak diberi nama “soneta”, karya-karya mereka langsung dipahami sebagai soneta karena kesemuanya menampakkan diri atau memenuhi kriteria sebagai soneta seperti luas diajarkan di dunia pendidikan atau melalui buku-buku teori sastra. Dari dunia sekolah, setiap mendengar kata soneta, orang cenderung akan langsung merujuk kepada puisi yang terdiri atas empat bait atau stanza yang terdiri atas //4 larik//-//4 larik//-//3 larik//-//3 larik// dengan skema rima yang tertentu pula seperti //abab//-//bcbc//-//dcc//-//dbb// pada soneta berjudul “Menyesal” karya Ali Hasjmi, atau //abab//-//cdcd//-//eec//-//bbc// pada soneta berjudul “Sajak” karya Sanusi Pane.

Penyimpangan atau pengkhianatan sebagaimana telah dilakukan oleh Sapardi tersebut, dalam ranah kerja kreatif, merupakan hal yang jamak jika dipandang dari kebebasan berekspresi yang selalu mengiringi suatu upaya berkreasi. Akan tetapi, apakah keseluruhan soneta Sapardi kemudian juga akan selalu memperlihatkan tindak pengkhianatan tersebut? Ternyata tidak. Selain selalu terdiri atas 14 baris, sebagian besar soneta yang dicipta Sapardi tunduk pada suatu konvensi meskipun tidak selalu merujuk pada konvensi soneta Inggris atau Italia, misalnya. Sejumlah soneta Sapardi telah menciptakan “konvensi”-nya sendiri, yaitu bahwa soneta-sonetanya—khususnya yang terbit belakangan—tidak mengindahkan skema rima yang ketat; yang artinya adalah “tanpa konvensi”. Pola rima yang dipergunakan Sapardi sangat variatif meskipun ada pula yang mendekati gaya soneta Shakespeare (//abab//-//cdcd//-//efef//-//gg//), seperti terlihat pada soneta di bawah ini.

Sonet 5

Malam tak menegurmu, bergeser agak ke samping
ketika kau menuangkan air mendidih ke poci;
ada yang sudah entah sejak kapan tergantung di dinding
bergegas meluncur di pinggang gelas-waktu ini.

Dingin menggeser malam sedikit ke sudut ruangan;
kautahan getar tanganmu ketika menaruh tutup
poci itu, dan luput; ada yang ingin kaukibaskan.
Kenapa mesti kaukatakan aku tampak begitu gugup?

Udara bergoyang, pelahan saja, mengurai malam
yang melingkar, mengusir gerat-gerit dingin
yang tak hendak beku, berloncatan di lekuk-lekuk angka jam.
Malam tidak menegurku. Hanya bergeser. Sedikit angin.

Ada yang diam-diam ingin kauusap dari lenganmu
ketika terasa basah oleh tetes tik-tok itu.

Dalam perkembangan penulisan soneta yang dikerjakan oleh Sapardi, tampak jelas bahwa pola penglarikan yang dipilih—untuk sementara ini—adalah pola seperti pada soneta berjudul “Sonet 5” di atas yaitu berpola //4 larik//-//4 larik//-//4 larik//-//2 larik//. Dalam hal penglarikan ini, dapat dinyatakan di sini bahwa konsistensi cenderung dimanfaatkan oleh Sapardi, berbeda dengan apa yang telah dikerjakan oleh Wing kardjo, sebagaimana terlihat dalam penjelasan pada catatan kaki nomor 10, yang tidak selamanya berpola //4 larik//-//4 larik//-//3 larik//-//3 larik//, meskipun pola ini memang yang paling dominan. Dan meskipun “Sonet: X” atau “Sonet: Y” seolah mewakili gaya bersoneta Sapardi di masa awal, tidak dengan sendirinya berarti bahwa gaya seperti terlihat pada “Sonet 5” ini merupakan pencapaian terbaru, sebab ternyata sudah ada pula soneta Sapardi, dimuat tahun 1964 di majalah Basis, yang menampakkan kecenderungan itu. Kita baca “Sonet: Karena Engkau Seorang” di bawah ini.

Sonet: Karena Engkau Seorang

karena engkau seorang penyair katakan mari padaku
apa yang selalu dibisikkan laut kepada langit sepanjang zaman
tak putus-putusnya angin menjelmakan alun yang berwarna biru
bergulung, dan ada yang diucapkan ketika mencapai daratan

pastilah elang laut suatu lambang, yang terbang jauh di langit
hidup dari kehidupan laut dan kembali ke daratan
seperti ada selalu percakapan kekal, yang tak punya sejarah
tentang sesuatu yang di luar perhitungan segala zaman

selalu kaudengarkah dari perahu ini nyanyian-nyanyian yang diam
(di antara huru-hara kehidupan, hiruk-pikuk penghidupan)
selalu kaudengarkah nyanyian-nyanyian yang diam, rekaman suara alam
menyusup ke dalam jiwamu merenung, nurani kesadaran

tentulah tak jemu-jemunya mengatakan padaku karena kau penyair
tentang sesuatu yang masih bertahan setelah segala zaman berakhir

[2]
Apabila Ajip Rosidi pernah memanfaatkan bentuk puisi khas Jepang bernama haiku sebagai bentuk pengucapan sastranya seperti terlihat dalam kumpulan Sajak-sajak Anak Matahari yang terbit tahun 1979, sementara Sutardji Calzoum Bachri pernah berasyik masyuk dengan cara pengucapan mantra, dan Taufiq Ismail pernah mencoba mengeksplorasi gurindam, syair, dan pantun, misalnya, maka Sapardi Djoko Damono telah cukup jatuh hati dengan soneta sebagaimana halnya Wing Kardjo. Memang, belum ada sebuah buku kumpulan soneta yang utuh darinya, seperti Fragmen Malam-nya Wing Kardjo, namun perhatian dan keinginan menulis soneta pada diri Sapardi agaknya telah lama muncul dan tidak padam-padam selama hampir setengah abad, terbukti dengan rencana menerbitkan antologi “Sonet-sonet dari Jakarta” yang konon pernah mencapai 15 buah sajak pada tahun 1960-an hingga terbitnya 15 buah (juga!) soneta yang terhimpun sebagai “Buku Dua” dalam antologi Kolam serta dari sejumlah soneta yang tersebar di pelbagai antologi. Akan tetapi, mengapa soneta menjadi sebagian pilihan sastrawan yang sering dilabeli sebagai pemuisi imagis ini? Anasir atau dimensi dari soneta seperti apa yang telah mampu menggodanya dan lalu menjadi pilihan berkaryanya untuk kurun yang cukup panjang?

Soneta, agaknya, dipilih pemuisi yang juga penulis prosa ini bukannya tanpa suatu alasan, meski alasan itu mungkin juga tidak sepenuhnya ia sadari. Sudah sangat biasa dimengerti bahwa soneta adalah “a lyric poem” dan pilihan Sapardi terhadap lirik adalah pilihan yang sangat tepat, seperti pernah dinyatakan oleh Goenawan Mohamad (1969) sebab dari hampir keseluruhan sajak Sapardi pada hakikatnya adalah sajak liris, sajak yang pada dasarnya berupa curahan perasaan seseorang yang mengekspresikan tanggapan atau persepsinya atas sejumlah persoalan yang melingkupi diri atau sekitarnya. Sedari puisi pertamanya dipublikasikan pada tahun 1958 di Merdeka berjudul “Tjerita Burung” dan berlanjut di Mimbar Indonesia, Widjaja, Konfrontasi, Indonesia, dan Basis, misalnya, nada yang dikemukakan Sapardi rata-rata begitu liris dan lirih, bahkan pun untuk tema yang seharusnya perlu diteriakkan. Kenyataan ini berkorelasi atau bertautan dengan makna dasar kata soneta itu dalam bahasa Italia (sonnetto), yaitu ‘a little sound’.

Dengan memilih soneta sebagai wahana ekspresinya, maka pada galibnya Sapardi telah menemukan bentuk yang pas dan tampaknya hampir tidak ada kehendak untuk memperkosanya, sebagaimana dilantangkan dengan kesal oleh Wing Kardjo. Sapardi tampak nyaman dan tenteram dengan soneta kendati usaha untuk melancarkan keisengan—sebagai wujud dari kecenderungan kreatif yang selalu mengada—beberapa kali menggodanya. Dengan skema rima bukan-soneta pada “Sonet : X” yang telah dikutip di depan, bukankah kelihatan adanya upaya untuk melakukan permainan atau keisengan? Namun tetap saja, bukan teriakan atau lolongan yang diekspresikan, melainkan sekadar menyalurkan keresahan akan ketakpahaman dirinya terhadap dirinya sendiri. Dan manifestasi akan ketidakpahaman akan dirinya ini tentu saja tidak perlu dengan tanda seru atau suara yang mengharu biru, melainkan cukup dengan huruf kapital pada aku: / : siapa Aku//.

Kalaupun kita pernah menyaksikan adanya tanda seru (!) dalam sonetanya, misalnya pada “Sonet: Hei! Jangan Kaupatahkan”, seruannya itu perlahan akan tertelan oleh kontras yang dibangun dan dimainkan, serta oleh ajakannya yang lirih untuk menyaksikan setiap kematian. Yang hadir pada diri pembaca bukan lagi suatu kemarahan, kalau ada, melainkan kesadaran dan pemahaman akan esensi suatu siklus biasa yang jika diamati dengan seksama akan menjadi sesuatu yang luar biasa. Inilah inti ajakannya, agar kita tidak selalu melupakan fenomena apa pun, utamanya yang berhubungan dengan alam atau kehidupan, yang mengiringi keseharian kita, sebab dengan belajar dan memahami alam, segala sesuatu yang seharusnya diposisikan sebagai suatu yang menggetarkan, untuk tidak mengatakan “mengerikan”, akan mampu hadir dan memperkaya daya cerap kita dengan suatu kenikmatan inderawi. Maka khazanah apa saja di lingkungan terdekat kita akan selalu menjadi cermin dan sekaligus guru jika saja kita memang mau menjadi mahasiswa kehidupan yang serba haus akan misteri alam. Mari kita simak soneta yang dibuatnya tahun 1967 ini.

Sonet: Hei! Jangan Kaupatahkan

Hei! Jangan kaupatahkan kuntum bunga itu
ia sedang mengembang; bergoyang dahan-dahannya yang tua
yang telah mengenal baik, kau tahu,
segala perubahan cuaca

Bayangkan: akar-akar yang sabar menyusup dan menjalar
hujan pun turun setiap bumi hampir hangus terbakar
dan mekarlah bunga itu pelahan-lahan
dengan gaib, dari rahim Alam

Jangan; saksikan saja dengan teliti
bagaimana Matahari memulasnya warna-warni, sambil diam-diam
membunuhnya dengan hati-hati sekali
dalam kasih sayang, dalam rindu dendam Alam;
lihat: ia pun terkulai perlahan-lahan
dengan indah sekali, tanpa satu keluhan.

Setelah tiga puluhan tahun, dalam situasi kehidupan dan gejolak sosial-politik yang sudah begitu jauh berbeda arah dan nuansanya, soneta Sapardi muncul lagi, tetap dengan suara lirihnya dalam menyiasati atau menanggapi cuaca zaman. Dicatatnya bahwa pada tahun-tahun itu kepongahan meraja lela, banjir bandang kata kasar tidak terkira, suara-suara kritis meraja lela di mana-mana. Sepintas memang tampak adanya kemajuan dalam menyuarakan pendapat, dalam berdemokrasi, dan juga dalam melakukan aksi tetapi ternyata itu semua tidak terlalu berarti bagi banyak orang, yaitu “kita”, akibatnya /… kita suka gugup/ di antara frasa-frasa pongah/ dan juga /di antara kata-kata kasar yang desak-mendesak/.

Umumnya kita sesungguhnya memang tidak secara langsung terlibat dan dilibatkan dalam perubahan zaman itu, yang dapat saja diakibatkan oleh ketidaksiapan sebagian besar kita namun juga sangat mungkin oleh ketidakmauan kita. Posisi kita sungguh rawan dalam dinamika yang tidak sepenuhnya dapat dipahami itu. Pada akhirnya, “kita” memang hanyalah korban sehingga bukan suara lantang yang harus kita perdengarkan melainkan sebentuk kompromi untuk tetap punya jati diri. Dan kompromi yang paling mungkin dilakukan adalah bukan dengan berpihak kepada salah satu pihak melainkan pada penyiasatan terhadap “korban-korban” lainnya, semisal dengan merasakan diri sebagai kain rentang yang koyak-moyak, yang seringkali sungguh tidak dianggap lagi ketika perhelatan usai. Selengkapnya, soneta yang berjudul “Sonet: Entah Sejak Kapan” yang pertama kali muncul dalam antologi Arloji (Yayasan Puisi, 1998) disajikan di bawah ini.

Sonet: Entah Sejak Kapan

Entah sejak kapan kita suka gugup
di antara frasa-frasa pongah
di kain rentang yang berlubang-lubang
sepanjang jalan raya itu; kita berhimpitan

di antara kata-kata kasar yang desak-mendesak
di kain rentang yang ditiup angin,
yang diikat di antara batang pohon
dan tiang listrik itu; kita tergencet di sela-sela

huruf-huruf kaku yang tindih-menindih
di kain rentang yang berjuntai di perempatan jalan
yang tanpa lampu lalu-lintas itu. Telah sejak lama
rupanya kita suka membayangkan diri kita

menjelma kain rentang koyak-moyak itu, sebisanya
bertahan terhadap hujan, angin, panas, dan dingin.

Ditilik dari cara mengekspresikan gagasan dalam soneta ini, ada yang berbeda dengan soneta-soneta awal yang dibuat oleh Sapardi. Perbedaan yang langsung terasa itu adalah pada teknik penulisan dengan enjambemen yang diterapkan. Secara teori, tidak terlalu banyak penjelasan atau perhatian dari pengamat mengenai pemenggalan struktur kalimat yang berpindah ke bait atau larik berikutnya ini, namun secara praktik hal ini sering diterapkan oleh para pemuisi. Sajak-sajak Sapardi dan Goenawan Mohamad, misalnya banyak memperlihatkan adanya teknik enjambemen ini yang sepintas seolah-olah hanya mengejar kenikmatan pembacaan dengan munculnya rima tertentu, namun tentu ada suatu makna yang dapat dicoba atau dicari-cari.

Dari soneta di atas, jika disimak enjambemennya, misalnya antara larik ke-4 dengan ke-5: / …; kita berhimpitan// // di antara kata-kata kasar yang desak-mendesak / akan terasa adanya penekanan makna pada frase “kata-kata kasar” yang telah menghimpit dan mendesak-desak kita. Adanya peralihan bait atau stanza memberi ruang pada diri kita untuk bisa lebih mencerna penekanan maksud yang diisyaratkan oleh sang pemuisi. Demikian pula dengan larik ke-8 dan ke-9: / …; kita tergencet di sela-sela// //huruf-huruf kaku yang tindih-menindih/ memberikan semacam wilayah pemaknaan yang lebih leluasa karena pembaca seolah-olah tidak dikejar-kejar dengan urutan larik yang berhimpit. Adanya sela antarbait lebih memberi jeda sejenak yang niscaya akan memberi kelebihan dalam pemaknaan sekiranya tanpa sela itu. Namun demikian, enjambemen tentu tidak hanya harus dilihat pada bagian antarbait; di antara larik pun sering terdapat enjambemen yang seringkali menyentak kita karena adanya pemenggalan yang menggantung, tiba-tiba, atau tidak biasa jika dilihat dari pemotongan kalimat. Sebagai contoh saja dapat dilihat pada bait pertama: // Entah sejak kapan kita suka gugup/ di antara frasa-frasa pongah/ di kain rentang yang berlubang-lubang/ sepanjang jalan raya itu; kita berhimpitan//.

Enjambemen semacam itu, selain memang sering dapat kita jumpai dalam sajak-sajak Sapardi lainnya, juga kembali muncul dalam sejumlah sonetanya yang terbit kemudian, yang terhimpun dalam Kolam. Peranan enjambemen dalam soneta di bawah ini, dan juga dalam sajak-sajak lainnya itu, pada hakikatnya memanggul tugas yang serupa, yaitu memberi wilayah pemaknaan yang lebih leluasa dan, siapa tahu, bisa mengagetkan. Satu contoh soneta mutakhir karya Sapardi yang memperlihatkan masih diterapkannya enjambemen adalah pada sajak berjudul “Sonet 7” di bawah ini.

Sonet 7

Ada jarak yang harus ditempuh sampai suasana
siap menerima kita. Dan kita arif menerimanya, bukan?
Ada yang harus tak habis-habisnya kita hela
dan hembuskan sampai pisau yang terpejam di tangan

membelah apel yang di atas meja. Seiris telentang, seiris
tengkurap di sebelahnya? Begitu ramal seorang empu
setelah menyelesaikan tugas menempa sebilah keris.
Celoteh juru nujum yang di bukit nun di sana itu?

Ada jarak yang harus diremas sampai kerut
dalam pembuluh darah kita. Sampai yang biru
kembali hijau berkat kuning itu, sampai segala luput:
yang ini, yang itu, yang di sana, yang di situ,

yang layang-layang, yang batu? Ada jarak yang harus ditebas
kalau kita mau menerima pertemuan ini dengan ikhlas.

Dari contoh soneta yang dikutipkan di sini, bukan hanya enjambemen yang masih dimanfaatkan Sapardi untuk memperoleh efek artistik tertentu, namun juga munculnya cara pengucapan baru dengan adanya kalimat bercetak miring yang seolah-olah ada semacam dialog atau percakapan. Dalam konteks kehidupan, dialog atau percakapan itu merupakan suatu bentuk komunikasi yang tentu jamak dilakukan oleh makhluk hidup. Komunikasi itu dapat berupa percakapan antarpribadi, antara diri dengan Sang Pencipta, antara seseorang dengan alam sekitar, maupun antara sebuah pribadi dengan dirinya sendiri. Dengan demikian, kalimat yang bercetak miring itu dapatlah dimaknai semacam suara “lain” yang jika dilihat dari konteks akan dapat mengarahkan kesimpulan kita mengenai siapa yang berbicara atau yang berdialog.

[3]
Sebagaimana sudah banyak dibicarakan oleh para pengamat puisi, soneta-soneta Sapardi Djoko Damono masih juga sangat sarat dengan diksi yang memberikan tawaran pada panorama inderawi yang subtil dan seringkali sangat detail. Ini adalah salah satu kekuatan Sapardi dalam membangun konstruksi puisi: menawarkan makna mendalam melalui kosakata bersahaja yang dipilih dengan estetika rasa yang paripurna.

Melalui soneta-sonetanya, Sapardi pun pada akhirnya turut meneguhkan dirinya sebagai penyair liris-imajis yang tidak perlu harus berucap histeris, namun cukup dengan ungkapan-ungkapan lirih sebagaimana dikehendaki oleh sebuah soneta, istimewanya soneta yang jernih. Kemudian dengan dimanfaatkannya pola enjambemen, soneta memang tidak lagi menjadi artefak yang apak, tetapi malahan mewujud menjadi entitas yang bernas dan cerdas. Kemasalaluan atau kekonvensionalan yang hampir selalu menyertai soneta, melenyap diam-diam menjadi semacam masa silam, berganti dengan citra soneta yang setara dengan jenis puisi modern lainnya. Dan adanya semacam dialog atau percakapan yang turut merayakan soneta-soneta mutakhir Sapardi ini, telah memberi semacam revitalisasi yang sarat aksi, sementara di sejumlah soneta yang telah direkanya, menjadi tampak begitu seksi.
***

Depok, 2010 (dengan sedikit penyesuaian, 20 Juli 2020)

___________________
*) Ibnu Wahyudi, sastrawan kelahiran Ampel, Boyolali, Jawa Tengah 24 Juni 1958. Mengajar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (d/h Fakultas Sastra) Universitas Indonesia (UI), selain itu menjadi pengajar-tamu di Jakarta International Korean School (sejak 2001), di Prasetiya Mulya Business School (sejak 2005), di Universitas Multimedia Nusantara (sejak 2009), dan di SIM University Singapura.
Pendidikan S1 di bidang Sastra Indonesia Modern diselesaikan di Fakultas Sastra UI (1984). Tahun 1991-1993, mengikuti kuliah di Center for Comparative Literature and Cultural Studies, Monash University, Melbourne, Australia dan peroleh gelar MA, serta menempuh pendidikan doktor (Ilmu Susastra) di Program Pascasarjana UI. Tahun 1997-2000, menjadi dosen tamu di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan.
Kumpulan puisinya yang sudah terbit, Masih Bersama Musim (KutuBuku, 2005), Haikuku (Artiseni, 2009), dan Ketika Cinta (BukuPop, 2009). Kumpulan prosamininya berjudul Nama yang Mendera (Citra Aji Parama, 2010). Buku puisinya Masih Bersama Musim masuk 10 besar penghargaan Khatulistiwa Literary Award 2005. Buku-buku yang pernah disusun /disuntingnya, Lembar-lembar Sajak Lama (kumpulan sajak P. Sengodjo) Balai Pustaka 1982, Pahlawan dan Kucing (kumpulan cerpen Suripman) Balai Pustaka 1984, Konstelasi Sastra (Hiski, 1990), Erotisme dalam Sastra (1994), Menyoal Sastra Marginal (2004), Toilet Lantai 13 (Aksara 13, 2008), Ode Kebangkitan (2008), dll.

KEPRIBADIAN TERCERAHKAN DALAM DUNIA YANG BERUBAH

$
0
0

Djoko Saryono *

Kita memang tidak harus menjadi insan cendekia atau cendekiawan sebagaimana dituntut Benda, Gramsci, Dhakidae, dan lain-lain. Tapi, agaknya, kita perlu menarik substansi ciri atau tanda manusia insan cendekia ke dalam diri dan hidup kita. Dengan kata lain, kita perlu membatinkan dan menghayatkan berbagai ciri atau tanda manusia insan cendekia menjadi kepribadian kita – yang dapat kita sebut kepribadian insan cendekia, yaitu kepribadian yang bercirikan intelek, rasional, berpengetahuan (berilmu), dan imajinatif. Kepribadian yang kuat berpikir, bernalar, berangan-angan, dan menggunakan pengetahuan untuk menjalani dan menjaga metabolisme kehidupan yang sehat.

Kepribadian insan cendekia ini dapat dan memang penting kita miliki sekarang – apalagi bagi kita yang menjadi kaum terdidik. Mengapa kita memerlukan kepribadian insan cendekia? Karena perkembangan dunia tampaknya memerlukan kemudi kepribadian insan cendekia sekaligus rasional, spiritual, dan imajinatif. Seperti apakah kecenderungan perkembangan dunia yang memerlukan kepribadian insan cendekia yang tangguh?

Sebagaimana kita ketahui, sekarang kita melihat masa depan manusia makin dilanda oleh globalisasi sekaligus deglobalisasi (glokalisasi) yang makin bertubi-tubi. Anthony Giddens menengarai bahwa globalisasi ini telah membawa dunia dan masa depan manusia berlari kencang tunggang langgang, lepas kendali alias senantiasa mrucut. Manusia di berbagai belahan dunia kini berada dalam runaway world, kata Giddens.

Menurut hemat saya, di situ manusia – termasuk kita di Indonesia – akan dihadapkan pada empat kenyataan atau kecenderungan pokok dalam kehidupan sehari-hari mereka. Pertama, kecepatan perubahan yang demikian dahsyat dan susah diperkirakan jalan, proses, dan dampaknya [termasuk kecepatan perubahan informasi dan isi pengetahuan]. Kedua, kebaruan segala sesuatu yang berlangsung sedemikian cepat dan kilat [termasuk kebaruan informasi dan isi penge-ahuan]. Ketiga, keusangan segala sesuatu yang sedemikian cepat dan kuat [termasuk keusangan informasi dan isi pengetahuan]. Keempat, kesesaatan segala sesuatu dalam kehidupan manusia sehari-hari [termasuk kesesaatan informasi dan isi pengetahuan].

Kecenderungan tersebut mendorong tumbuhnya budaya pakai-buang. Budaya pakai-buang ini merombak kehidupan kita secara mendasar pada masa sekarang, lebih-lebih pada masa depan. Jika memiliki kemampuan dan kepribadian insan cendekia yang tangguh, maka kita dapat mengarungi globalisasi dengan baik dan selamat secara bermartabat Jika tidak memiliki kemampuan dan kepribadian insan cendekia yang tangguh, kata Alvin Toffler, maka kita niscaya terse-rang gegar budaya dan atau gegar masa depan (future shock).

Gegar masa depan tersebut ditandai gejala awal berupa adanya pelbagai persoalan psikologis atau antropopsikologis yang mendera manusia, misalnya kepa-nikan, kebingungan, disorientasi, dan sebagainya. Dengan kepribadian insan cendekia dan rasional kita bisa terhindar dari pusaran arus kompleks masalah antropopsikologis atau neurotis tersebut. Kita bisa berdiri tegak dan hidup bermartabat di tengah dunia yang tunggang-langgang.

Sekalipun sekarang sedang menggelepar akibat pandemi korona, berboncengan dengan globalisasi beserta segala eksesnya tersebut kita menyaksikan kapitalisme neoliberal berseri-seri merayu-rayu kita – kalau bisa sampai kita terlena. Kapitalisme ekonomi, kapitalisme insan cendekia, dan kapitalisme hiburan merangsek kehidupan kita sekalipun kita sedang diterjang pandemi korona. Dengan kapitalisme ekonomi, keadilan memperoleh sumber-sumber material dinafikan pada satu sisi dan pada sisi lain libido ekonomi kita diumbar sepuasnya (inilah yang disebut libidonomics oleh Baudrillard).

Dengan kapitalisme neoliberal, pengetahuan (ilmu) telah menjadi barang dagangan yang harus dibeli dan kehilangan dimensi kemanusiaan atau kemaslahatan umat sehingga petani harus membeli benih atau kaum miskin tak beroleh manfaat perkembangan bioteknologi. Di pelukan kapitalisme neoliberal, tiba-tiba pengetahuan (ilmu) berwajah dan bertabiat Franskenstain, Faust, atau Gerandong (Mak Lampir juga boleh). Dengan kapitalisme hiburan, kita menghibur diri sampai mati (istilah Neil Postman); bermacam-macam hiburan (seks, sinetron, film, musik, dan lain-lain) dinikmati terus-menerus.

Pendek kata, dalam tiga varian kapitalisme neoliberal itu pelbagai sendi kehidupan kita dijadikan modal sehingga menjadi komoditas yang laku dan laris dijual yang mendatangkan kapital. Hutan, tanah lapang, air, karya ilmiah, pemikiran, peperangan, rahasia perkawinan, percekcokan dan kegagalan berumah tangga, riwayat hidup, bagian-bagian vital tubuh kita, pakaian-pakaian bekas para bintang, dan lain-lain dikocok-kocok dan disulap menjadi komoditas – menjadi modal dan uang – oleh kapitalisme sehingga bisa mendatang¬kan kapital. Bahkan agama atau keyakinan juga disulap menjadi komiditas.

Dalam konteks seperti itu, kita memilih menjadi partisipan atau pihak yang kritis? Menjadi partisipan mungkin memang enak, tapi boleh jadi kita cuma mengejar mimpi. Kalau hal ini sampai kita pilih, dengarlah dendang Iwan Fals://sampai kapan mimpi-mimpi itu kita beli/sampai habis sampai terjual harga diri//. Kalau kita hendak menjadi pihak yang kritis atas perkembangan kapitalisme, maka kepribadian insan cendekia (rasional, spiritual, dan imajinatif) kita harus tangguh.

Seiring dengan globalisasi dan kapitalisme tersebut, kita juga sedang menyaksikan hadirnya abad pengetahuan. Drucker (1999) dan Stewart (1997) telah mencatat bahwa pada masa sekarang dan lebih-lebih pada masa depan keberadaan, kedudukan, dan peranan pengetahuan sangat vital, strategis, dan utama. Masa depan manusia dikendalikan, malah ditentukan oleh pengetahuan sehingga dunia bergantung pada sekaligus berpilar pengetahuan. Pada abad pengetahuan, semua hal bertumpu dan mempersyaratkan pengetahuan: ekonomi berbasis pengetahuan, pemerintahan berbasis pengetahuan, pekerja berpengetahuan, dan masyarakat pun berpengetahuan.

Implikasinya, modal pengetahuan menjadi sangat penting, aset paling berharga, dan sekaligus dibutuhkan oleh semua orang selain modal alam dan modal sosial. Tanpa modal pengetahuan, orang akan terpinggirkan dan menjadi pecundang. Dengan modal pengetahuan yang baik dan kuat, orang akan mampu banyak berkiprah dan menjadi pemenang dalam berbagai aktivitas kehidupan. Ini menunjukkan bahwa brainware sangat strategis dibandingkan hardware dan software.

Namun, modal pengetahuan saja tak cukup. Manusia masih memerlukan ketahanan-kemantapan mental-emosional di samping kecakapan mempraktikkan modal pengetahuan dan ketahanan-kemantapan mental-emosional secara sinergis. Sebagai bagian modal pengetahuan, kepribadian insan cendekia, rasional, spiritual, dan imajinatif tentu saja menjadi sangat penting dan aset sangat berharga. Karena itu, sudah sewajarnya kepribadian insan cendekia dikembangkan secara sungguh-sungguh.

Dengan kepribadian insan cendekia kita dapat menyelesaikan kompleksitas permasalahan nasional dan lokal di Indonesia. Misalnya, masalah kontradiksi kebudayaan Indonesia atau kesemrawutan cara berpikir sebagaimana terlihat pada berbabagai permasalahan sosial, lingkungan, ekonomi, dan politik yang disele-saikan secara ritual dan simbolis (mengganti istilah, melaksanakan ruwatan, melakukan berbagai upacara, dan salaman elite yang disorot kamera teve); bukannya diselesaikan secara rasional dan imajinatif.

Persoalannya sekarang, bagaimanakah kita bisa melakukan pengembangan kepribadian insan cendekia sekaligus rasional, spiritual, dan imajinatif? [Lho kok empat? Ya, karena kata Ali bin Abi Thalib dalam 1001 Pintu Ilmu: Filsafat Hidup Pencinta Ilmu: //makrifat itu cahaya hati; ilmu adalah benih makrifat; ilmu itu pelita akal; ilmu itu keindahan yang tidak tersembunyi dan keturunan yang tidak terputus; ilmu itu membantu pikiran//]

______________
*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd adalah Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.


KENAPA NIETZSCHE?

$
0
0


Binhad Nurrohmat *

Keteguhan ateistik dalam pemikiran Nietzsche menjadi sejenis “agama” tersendiri, seperti iman kepada tak adanya Tuhan. Demikian yang saya pahami ketika awal kali mengenal pemikiran Nietzsche pada 1996 — dua puluh empat tahun silam.

Pada masa hidup Nietzsche, abad XIX, ateisme sudah tak baru dan bukan tabu. Isu ateisme Nietzsche bukan hal terpenting dan utama, apalagi satu-satunya, dalam pemikirannya. Sungguh pun demikian yang dituduhkan kepadanya, Nietzsche menghembuskan ateisme yang kompleks, suatu ateisme yang kreatif. Dan bahasa tulis Nietzsche penuh ledakan sastrawi di sana-sini dan ini memberi pukauan yang tak terduga. Sesekali saya mencoba membacanya dalam bahasa Jerman, bahasa-ibu Nietzsche, lewat bantuan kamus dan kursus bahasa yang pernah singkat saya jalani.

Nietzsche bukan hanya tak percaya kepada adanya Tuhan. Dia lahir dari keluarga santri Lutheran. Ayah dan kakeknya adalah ulama gereja. Namun baginya di kemudian hari, orang Kristen hanya satu dan sudah mati di tiang salib. Tentu ini sebuah kritik yang serius mengenai Yesus historis dan iman Kristen.

Kenapa manusia butuh percaya ini atau itu? Manusia adalah kepingan-kepingan yang terserak, dan ini menggelisahkan, dan yang bisa merekatkan kepingan-kepingan itu sehingga membuatnya tenang adalah kepercayaan. Juga kepercayaan kepada adanya Tuhan.

Ada pijakan atau tendensi psikologis dalam pemikiran Nietzsche. Ia mencurigai faktor psikis yang mendorong atau mengarahkan tindakan dan pemikiran seseorang. Juga faktor fisiologis. Ia membahas Sokrates yang buruk rupa. Monstrum in fronte, monstrum in anima, katanya. Tampangmu buruk begitu juga jiwamu — demikian kira-kira terjemahan bebasnya.

Ada semangat pemberontakan yang rasional dan instingtif dalam pemikiran Nietzsche. Bukan hanya perkara Tuhan dan Kristen. Sokrates dan musik hadir dalam perenungannya yang tajam, sinis dan brutal. Ia seakan membawakan suara ketidakmungkinan seperti ketika kita tak punya tangga maka kita mesti memanjat kepala kita sendiri.

Bagi Nietzsche, manusia harus dilampaui. Kenapa dan bagaimana? Ini tentu serupa utopia. Manusia terletak di antara binatang dan adi-manusia (ubermensch) merupakan perumusan yang semena-mena meski menarik tampaknya. Namun demikian Nietzsche terus-terang mengaku anti-Darwinian.

Pemikiran Nietzsche akan membawa dan mempertemukan kita dengan filsafat para filosof sebelumnya dan membuat kita bisa merasakan getaran bahwa filsafat sesudahnya terilhami oleh pemikirannya.

Moralitas adalah pergulatan yang keras dalam perenungan Nietzsche. Ia berbicara bukan tentang yang tak bermoral. Nietzsche bukan tak bermoral. Ia ingin melampaui morak “baik-buruk” dan hendak mencari pedoman moral yang lain.

Saya sering merinding membaca tulisan Nietzsche. Banyak sekali sejenis pamflet filosofisnya yang agresif terhadap moral “baik-buruk”. Hentakan-hentakan pemikiran dan bahasanya sekeras gedoran di pintu yang tertutup.

Saya bukan filosof. Pengalaman pembacaan dari tahun ke tahun di hadapan teks Nietzsche membuat saya memiliki kenangan atas itu semua. Puisi adalah medium saya yang paling dekat merekam semua itu.

Dan buku ini adalah sebagian jejaknya.
***

*) Penyair, tinggal di Pesantren Darul Ulum, Jombang Jawa Timur.

Kau Tidak Menulis Pram, Kau Berak

$
0
0

Nara Ahirullah *
Radar Madura, 9 Feb 2011

Sastrawan, penulis yang juga seorang jurnalis Pramoedya Ananta Toer punya idola penulis juga bernama Idrus (Abdullah Idrus 1921-1979). Saat itu Pramoedya masih sangat muda, bertemu dengan penulis idolanya adalah impiannya. Dia selalu berharap bisa belajar pada Idrus.

Hingga suatu hari Pramoedya bersama seorang kawannya bisa bertemu dengan Idrus. Kata yang keluar dari mulut Idrus pada Pramoedya ternyata kurang enak didengarnya. “Oh ini Pram, Kau Tidak Menulis Pram, Kau Berak” kata Pramoedya menirukan kata-kata idolanya itu dalam sebuah film dokumenter di saat-saat terakhir hidupnya. Pramoedya tak berkata apa-apa, dia diam dan tak pernah lagi bicara pada Idrus meski masih mengidolakannya.

Sepotong cerita sarkastik dan vulgar dari Pramoedya itu bisa menjadi literasi menarik berkaitan dengan Hari Pers Nasional (HPN) ke-65 yang jatuh pada 9 Februari 2011 kemarin. Jika dikaji lebih dalam, cerita Pramoedya itu seakan menampar wajah pers dan produknya. Jangan-jangan sekarang banyak orang yang ingin bicara seperti itu pada jurnalis! Sebab, penyetaraan semacam itu mengingatkan bahwa produk jurnalisme sebaik apapun selalu mengandung kekurangan bagi orang lain.

Idrus mungkin punya ukuran sendiri tentang bagus atau jeleknya tulisan atau hasil penelusuran jurnalistik Pramoedya. Tapi yang jelas, hari ini semua jurnalis sudah dibatasi dengan kode etik jurnalisme. Dengan kode etik itu tidak ada lagi tulisan bagus atau tidak jelek. Produk jurnalisme sudah bergeser pada penilaian subjektif atau objektif.

Tumbuhkembangnya media massa pascareformasi seperti jamur di musim hujan membuat pergeseran nilai itu menjadi rumit. Sebab, media massa tidak hanya berebut informasi dan akurasi berita, tapi juga berebut kecepatan dan perhatian di hati pembacanya. Itu berkaitan juga dengan perebutan “kue” lainnya untuk menghidupi media-media yang bersaing itu.

Persaingan itu membawa jurnalisme dan media pada kehidupan pasar. Tapi, monopoli tidak akan tercipta sampai kapan pun di ranah media, meskipun selalu ada yang terbaik di antara yang banyak itu. Nah, untuk menjadi yang terbaik jelas bukan hal yang mudah. Bahkan, untuk mencapai itu pagar api integritas dan profesionalisme ditabrak, kode etik jurnalisme dilanggar. Sehingga, produk jurnalisme tak ubahnya seperti kotoran, tidak penting dan dibuang.

Di dunia jurnalisme dan media massa, kepercayaan masyarakat merupakan segala-galanya. Tanpa itu jurnalisme dan media massa tidak akan hidup apalagi tumbuh dan berkembang Sedangkan masyarakat saat ini begitu banyak kehilangan kepercayaan pada pilar demokrasi lainnya. Jadi jangan heran kalau jurnalis Mesir tetap bekerja di saat hampir semua warga di Mesir mogok kerja dan berunjuk rasa untuk menurunkan Hosni Mubarak. Itu semua untuk menjaga kepercayaan publik pada media.

Karena itu, peringatan HPN sebaiknya dimaknai dengan cara yang lebih inklusif dengan mengenal lebih dalam lagi profesi jurnalis. Cara mengenal diri sendiri itu akan menjadi dasar karya seorang jurnalis. Penilaian terhadap karya jurnalis menjadi mutlak menentukan nasib jurnalis dan media yang menaunginya. Kode etik jurnalisme harus dibaca lagi, dipahami dan dimanifestasikan dengan baik agar kepercayaan masyarakat terus tercipta. Sehingga, tulisan jurnalis, berita dan produk media massa tidak menjadi “berak”, melainkan menjadi literasi yang objektif dan patut dihargai.

Buah dari penghargaan itu merupakan hal yang luar biasa bagi khalayak banyak. Karena menghargai jurnalis dan media berarti mengakui dan menghargai juga keberadaan publik yang berhak tahu kebenaran. Untuk tahu kebenaran maka memerlukan kekebasan informasi. Dengan catatan tidak menabrak pagar api integritas, profesionalisme dan melanggar kode etik jurnalis.
***

*) Nara Ahirullah, Ketua Primer Koperasi Pengelola Sampah (PKPS) Surabaya, Ketua Yayasan Kelola Sampah Indonesia (Yaksindo). Catatan ini diambil dari ‘Kompasiana’ penulisnya.

Buku Fiksi Feby Indirani Diterbitkan di Italia

$
0
0


Indira Rezkisari
Republika, 28 Jun 2019

Karya Feby dipandang sebagai kritik ke perempuan dan Islam yang keras

Satu lagi buku fiksi asal Indonesia menapaki dunia literasi internasional, Bukan Perawan Maria (terbitan Pabrikultur, 2017) karya penulis Feby Indirani diterbitkan di Italia pada pertengahan Juni 2019. Buku memuat 19 cerita pendek terinspirasi dari kehidupan Muslim di Indonesia diterjemahkan Profesor Antonia Soriente, ahli kajian bahasa dan sastra Indonesia dari Universitas Napoli Lâ’Orientale.

Feby Indirani yang tengah menuntut ilmu di London menerima beasiswa dari pemerintah Inggris Chevining. Ia mengatakan proses penerjemahan dibantu sejumlah mahasiswa yang sedang menjalani studi master yang mempelajari sastra Indonesia.

Buku ini terbit dengan judul Non Ã’mica la vergine Maria oleh penerbit Add Editore. Menggunakan tema Islamisme Magis, kisah-kisah dalam buku ini berlatar situasi fantasi yang penuh paradoks dan pertentangan.

Misalnya cerita tentang seekor babi yang dipandang haram dalam Islam namun mengajukan permohonannya untuk menjadi Muslim. Ada pula iblis yang ingin pensiun akibat bosan dengan pekerjaannya yang tak lagi menantang.

Selain itu, tentang malaikat pencatat amal yang cuti karena manusia sudah rajin melakukannya sendiri di akun media sosial, seorang pembom bunuh diri yang berharap bertemu bidadari, tapi ternyata hanya bertemu perempuan biasa yang malah dibencinya.

Profesor Soriente sebagaimana dikutip dari situs Add Editore menyebutkan dengan gaya menulis dan keberaniannya, Feby menempatkan diri sebagai penulis Indonesia kontemporer yang menggunakan pena untuk mengritik diskriminasi terhadap perempuan dan kelompok-kelompok Islam yang terlalu keras. Sebuah penyembuh bagi publik internasional.

Buku ini juga memuat ilustrasi cantik karya seniman muda asal Italia, Marie Cecile untuk sampul dan halaman dalam sebagai tafsir dari cerita-cerita Feby.

Penyair dan figur legendaris Goenawan Mohamad menuliskan pengantarnya untuk buku ini. “Cerita-cerita yang penuh pertentangan seperti ini hanya bisa dituliskan oleh suara dari dalam, Muslim yang intim dengan bahasa dan pola pikir khas masyarakatnya, dan begitulah Feby. Tapi di saat yang sama dia juga berada di luar dinding, suatu posisi yang membuatnya mencerap masyarakatnya dengan akrab sekaligus asing,” tulis pendiri Majalah Tempo ini.

Feby yang sedang melanjutkan studi di London, Inggris atas beasiswa Chevening menyatakan kegembiraannya dengan penerbitan edisi Italia dari bukunya.

“Ini penerbit yang sama yang menerbitkan karya penulis-penulis peraih penghargaan seperti penulis Inggris-Pakistan, Nadeem Aslam dan penulis Thailand Prabda Yoon. Jadi saya tentu saja merasa bersyukur atas pilihan mereka menerbitkan buku saya,” ujar Feby.

Terbitnya buku ini menambah salah satu jembatan budaya untuk memperkenalkan Indonesia kepada masyarakat Italia. Feby menyatakan dalam seminggu terakhir, mulai banyak pembaca dari Italia yang menyapanya melalui media sosial untuk menyampaikan kesan mereka,

Salah satunya adalah Miriana Cioffi, mahasiswa studi Master yang juga ikut terlibat di dalam proses penerjemahan. “Buku ini luar biasa. Salah satu cerita yang saya suka adalah Cemburu pada Bidadari, karena cerita itu ironis,” ujar Miriana.

Cerita ini tentang seorang istri yang ngambek setelah memergoki suaminya asyik membaca buku berisi janji bahwa pria beriman akan memperoleh pasangan bidadari di surga. Katanya kita pasangan sedunia dan seakhirat, kenapa kamu tidak cukup hanya dengan aku saja? Demikian protes sang istri.

Terbitnya buku ini sudah diberitakan di majalah Vanity Fair edisi Italia dan juga menjadi salah satu bacaan direkomendasi situs berita terkemuka Wired Italia untuk musim panas ini.

https://republika.co.id/berita/pendidikan/dunia-kampus/ptsqb2428/gaya-hidup/trend/19/06/28/ptspvv328-buku-fiksi-feby-indirani-diterbitkan-di-italia

SIHIR SAPARDI

$
0
0


Feby Indirani

Di suatu pagi di bulan Maret 2015 di sebuah hotel di Leipzig, seorang perempuan warga Jerman bertanya kepada saya dalam bahasa Inggris sambil menunjuk Pak Sapardi Djoko Damono (SDD), “Itu penyair yang kemarin di Book Fair ya? Saya kebetulan lewat stand Indonesia dan mendengar puisinya dibacakan dalam bahasa Jerman. Saya senang sekali puisi-puisinya,” ujar perempuan itu dengan mata berbinar-binar.

Saya mengiyakan, dengan hati senang. Baru tahu dia, pikir saya. Selama book fair berlangsung, sambutan publik kepada stand Indonesia dan sesi SDD memang hangat, juga sesi-sesi lainnya seperti Pak Ahmad Tohari, Mbak Laksmi Pamuntjak. Mas Beng Rahadian, dll. Di Leipzig Book Fair 2015, tim Indonesia tampil sungguh-sungguh, karena Leipzig merupakan salah satu langkah penting menuju Frankfurt Book Fair, dimana Indonesia menjadi Guest of Honor tahun itu. Kala itu saya bertugas di tim Komite Media dan Hubungan Luar, dan puisi-puisi Pak Sapardi adalah salah satu yang membuat saya bersemangat memperkenalkan sastra Indonesia kepada publik luar negeri. Saya selalu percaya, Indonesia punya begitu banyak untuk disumbangkan kepada dunia, dan puisi-puisi Pak Sapardi berikut musikalisasinya oleh Mbak Reda Gaudiamo dan Mas Ari Malibu (alm) adalah salah satu kekayaan itu.

Sejak Minggu 19 Juli pagi, lini masa dipenuhi dengan ucapan duka cita dan kutipan puisi-puisi Pak Sapardi Djoko Damono yang berpulang setelah sakit selama beberapa waktu. Beberapa teman men-tag foto bersama Pak Sapardi dimana ada saya juga, dan saya masih terlalu melankolis untuk memposting apapun, sehingga memilih berduka sendiri.

Di hadapan puisi-puisi SDD, saya kerap jadi gadis kecil itu, yang diseberangkan gerimis sambil mengibaskan tangis. Misalnya ketika mengingat kutipan puisi ini,

SEPASANG SEPATU TUA

sepasang sepatu tua tergeletak di sudut sebuah gudang, berdebu.
yang kiri terkenang akan aspal meleleh, yang kanan teringat jalan berlumpur sehabis hujan—keduanya telah jatuh cinta kepada sepasang telapak kaki itu
….

Dan banyak lagi puisi-puisinya yang menyihir, menghadirkan keharuan dan ketakjuban pada hal-hal yang sederhana, Musikalisasi puisi Ari-Reda juga secara menakjubkan dengan tepat vibrasi puisi-puisi SDD, dan membuat puisi-puisi ini makin luas dikenal, dan makin cepat dihafal. SDD sejauh yang pernah saya saksikan adalah sosok yang jernih baik dalam menulis maupun bertutur, selalu mengingatkan saya pada ungkapan ‘jenius adalah seorang yang mengambil hal yang kompleks dan menjadikannya sederhana.’ Bagi saya, sihir Sapardi terletak pada kejernihannya.

Produktivitas beliau, bikin iri saya, juga banyak orang lain yang jauh lebih muda. Ketika meluncurkan salah satu novelnya, Trilogi Soekram tahun 2015, saya merasa beruntung diminta oleh Gramedia Pustaka Utama untuk membawakan acaranya. Pak Sapardi bangkit dari duduk ketika mulai menjawab pertanyaan saya. “Saya ini guru, jadi kalau ngomong harus berdiri, supaya nggak ngantuk, “ ujarnya. Salah satu ucapannya yang saya ingat dari sesi hari itu adalah, menulislah karena itu membuatmu bahagia.

Karya-karya SDD, puisi, novel, cerpen, esai, buku akademik akan abadi (sebagaimana kita, karena saya setuju –yang fana adalah waktu), dan mungkin sebuah harapan klise, tapi akan saya ucapkan juga, saya berharap bangsa ini terus belajar untuk belajar memasyarakatkan dan merayakan puisi (bukan sekadar kata-kata mutiara motivasional kosong yang cukup marak beredar di sekitar kita).

Saya menantikan hari dimana kita menggunakan transportasi publik dan fasilitas publik lainnya di Indonesia, dan menemukan kutipan-kutipan puisi di sana, membuat kita bertahan melalui satu hari lagi. Hari di mana korupsi turun drastis karena hati-hati koruptor akhirnya tersentuh puisi—setelah ancaman neraka tampak tak pernah mempan. Hari di mana puisi-puisi penyair Indonesia dibaca, dinyanyikan dan dirayakan siswa-siswa sekolah dasar di Seoul atau Vilnius.

Dan sebelum saat itu tiba, biarlah setiap kehilangan kembali mengingatkan kita bahwa hidup ini indah, lalu menangis sepuas-puasnya.

22 Juli 2020

“Bukan Perawan Maria” membawa Feby Indirani keliling Eropa

$
0
0


Zeynita Gibbons
antaranews.com 21 Okt 2019

Penulis muda Feby Indirani, menapaki dunia literasi internasional, buku fiksi nya “Bukan Perawan Maria,” diterjemahkan ke bahasa Italia Non Ã’mica la vergine Maria melakukan tur di Eropa diawali di KBRI Roma dibuka langsung Duta Besar Indonesia untuk Italia, Esti Andayani. (KBRI)

Penulis muda Feby Indirani, menapaki dunia literasi internasional, melalui buku fiksinya berjudul Bukan Perawan Maria, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Italia Non Ã’mica la vergine Maria oleh penerbit Add Editore. Saat ini, Feby melakukan tur dan menjadi pembicara di berbagai sesi di lima kota di Italia, di London dan Frankfurt Book Fair 2019.

Bukan Perawan Maria diterbitkan Pabrikultur, pada 2017 memuat 19 cerita pendek terinspirasi dari kehidupan Muslim di Indonesia diterjemahkan Profesor Antonia Soriente, ahli kajian bahasa dan sastra Indonesia dari Universitas Napoli Lâ’Orientale.

“Perjalanan sastra yang menyenangkan, dan saya sangat bersyukur mendapatkan sambutan yang sangat baik dari publik di kota-kota Italia, London dan Frankfurt,” ujar Feby Indirani kepada Antara London, Minggu.

Dalam tur bukunya, Feby yang menerima beasiswa chevening, dari pemerintah Inggris didampingi editornya dari penerbit Italia Add Editore, Ilaria Benini dan penerjemah bukunya Profesor Antonia Soriente.

Acara diawali di KBRI Roma dibuka langsung Duta Besar Indonesia untuk Italia, Esti Andayani. “Oktober adalah bulan pemuda, juga bulan bahasa, jadi tepat jika kita mengadakan diskusi sastra dari penulis muda, “ ujar Dubes Esti.

Masih di Roma, Feby diundang menjadi salah satu pembicara internasional di Inquitte, festival penulis perempuan terfavorit di Italia. Sementara di Napoli, buku ini dikaji di hadapan dosen dan mahasiswa Universitas Napoli tempat Profesor Antonia mengajar.

Di lima kota tersebut, para pembahas buku ini terdiri dari akademisi, penulis, dan jurnalis yang menyatakan antusiasme mereka terhadap buku ini.”Buku ini sangat lucu, ringan tapi mengungkapkan hal yang tajam dan relevan, dan tidak ada yang stereotipe di sini, “ ujar penulis dan akademisi dari Universitas Bologna, Francesco Cattani.

“Saya belum pernah membaca cerita-cerita semacam ini. Buku ini juga memperlihatkan keragaman dalam dunia Islam, menegaskan bahwa Muslim tidaklah monolitik. “ ujar peneliti bahasa dan literatur Arab dari Universitas Napoli, Francesca Bellino.

Feby Indirani mengatakan proses penerjemahan buku ke dalam bahasa Italia yang berjudul Non e mica la vergine Maria dibantu sejumlah mahasiswa yang sedang menjalani studi master yang mempelajari sastra Indonesia.

Dalam diskusi di lima kota di Italia, Milan, Turino, Bologna, Roma dan Napoli berlangsung sejak 8-14 Oktober lalu Feby berturut-turut melakukan tujuh presentasi di KBRI Roma Italia, Universitas Napoli, festival perempuan penulis, Inquitte dan toko buku.

Bukan Perawan Maria berisi 19 cerita pendek yang semuanya tentang Islam dan kehidupan sehari-hari di Indonesia, jadi inspirasi diperoleh antara lain dari kehidupan sehari-hari yang Feby temui dan bagaimana seringkali ada kontradiksi antara ajaran Islam yang Feby ketahui dari keluarga dan buku-buku dibacanya dengan praktik sehari-hari yang ditemui.

Misalnya, orang tua saya mengajari saya untuk bertenggang rasa dan bersikap adil, karena itu adalah ajaran Islam. Tapi dalam praktik sehari-hari sebagian orang Islam kurang memperhatikan kepentingan bersama, misalnya menutup jalan publik saat sedang berlangsung ibadah sholat Jumat. Hal-hal seperti ini yang saya kritisi melalui cerita-cerita saya,” ujar Feby.

Melalui cerita-cerita dalam bukunya, Feby ingin mengembalikan tradisi Islam yang mempromosikan kasih sayang dan rasa humor, dan bukan Islam yang identik dengan kekerasan dan kemarahan.

Selain mendapat sambutan hangat dari para ahli dan audiens di lima kota, buku ini juga telah mendapatkan berbagai liputan dan review dari media dan blog-blog kritik sastra di Italia.

Dalam pertemuan bulanan organisasi Perhimpunan Inggris Indonesia (Anglo-Indonesian Society) London, UK yang diketuai mantan diplomat Inggris, Martin Hattful, ia berhasil menarik perhatian anggota Anglo yang terdiri dari berbagai kalangan.

Pada kesempatan itu, Feby membacakan salah satu ceritanya yang berjudul The Woman Who Lost Her Face. “Acara berlangsung sangat sukses karena diskusinya sangat hidup dan kami mendapat tanggapan yang sangat baik dari hadirin,” ujar dubes Martin Hattful.

Frankfurt Book Fair

Setelah melakukan tur bukunya di Italia dan London, Feby mengisi sejumlah panel di Frankfurt Book Fair 2019 yang berlangsung 16-20 Oktober. Salah satu sesinya adalah di Frankfurt Paviliun mengenai Perempuan Penulis Asia Pasific bersama penulis asal Malaysia dan India.

Feby juga melakukan diskusi di Goethe University bersama penulis Indonesia Dr. Soe Tjen Marching dan Rio Johan. Ia berharap sedikit demi sedikit, sastra Indonesia bisa lebih diperhitungkan oleh publik internasional.

Feby Indirani adalah penulis, jurnalis dan praktisi media. Ia pernah mendapatkan beberapa hibah internasional dan beasiswa dari Australia, Jerman, Jepang, dll. Buku fiksi terbarunya adalah Bukan Perawan Maria (2017) dan buku non-fiksi yaitu Made in Prison (2017).

Bukan Perawan Maria menggunakan tema Islamisme Magis, kisah-kisah dalam buku ini berlatar situasi fantasi yang penuh paradoks dan pertentangan. Misalnya cerita tentang seekor babi yang dipandang haram dalam Islam namun mengajukan permohonannya untuk menjadi Muslim. Ada pula iblis yang ingin pensiun akibat bosan dengan pekerjaannya yang tak lagi menantang.

Selain itu, tentang malaikat pencatat amal yang cuti karena manusia sudah rajin melakukannya sendiri di akun media sosial, seorang pembom bunuh diri yang berharap bertemu bidadari, tapi ternyata hanya bertemu perempuan biasa yang malah dibencinya.

Profesor Soriente sebagaimana dikutip dari situs Add Editore menyebutkan dengan gaya menulis dan keberaniannya, Feby menempatkan diri sebagai penulis Indonesia kontemporer yang menggunakan pena untuk mengritik diskriminasi terhadap perempuan dan kelompok-kelompok Islam yang terlalu keras. Sebuah penyembuh bagi publik internasional.

Buku ini juga memuat ilustrasi cantik karya seniman muda asal Italia, Marie Cecile untuk sampul dan halaman dalam sebagai tafsir dari cerita-cerita Feby.

Penyair dan figur legendaris Goenawan Mohamad menuliskan pengantarnya untuk buku ini. “Cerita-cerita yang penuh pertentangan seperti ini hanya bisa dituliskan oleh suara dari dalam, Muslim yang intim dengan bahasa dan pola pikir khas masyarakatnya, dan begitulah Feby. Tapi di saat yang sama dia juga berada di luar dinding, suatu posisi yang membuatnya mencerap masyarakatnya dengan akrab sekaligus asing,” tulis pendiri Majalah Tempo ini.

Feby yang sedang melanjutkan studi di London, Inggris menyatakan kegembiraannya dengan penerbitan edisi Italia dari bukunya. Ini penerbit sama yang menerbitkan karya penulis-penulis peraih penghargaan seperti penulis Inggris-Pakistan, Nadeem Aslam dan penulis Thailand Prabda Yoon. Jadi saya tentu saja merasa bersyukur atas pilihan mereka menerbitkan buku saya,” ujar Feby.

Terbitnya buku ini menambah salah satu jembatan budaya untuk memperkenalkan Indonesia kepada masyarakat Italia. Feby menyatakan dalam seminggu terakhir, mulai banyak pembaca dari Italia yang menyapanya melalui media sosial untuk menyampaikan kesan mereka. Salah satunya adalah Miriana Cioffi, mahasiswa studi master yang juga ikut terlibat di dalam proses penerjemahan.

“Buku ini luar biasa. Salah satu cerita yang saya suka adalah Cemburu pada Bidadari, karena cerita itu ironis,” ujar Miriana.

Cerita ini tentang seorang istri yang ngambek setelah memergoki suaminya asyik membaca buku berisi janji bahwa pria beriman akan memperoleh pasangan bidadari di surga. Katanya kita pasangan sedunia dan seakhirat, kenapa kamu tidak cukup hanya dengan aku saja? Demikian protes sang istri.

Terbitnya buku ini sudah diberitakan di majalah Vanity Fair edisi Italia dan juga menjadi salah satu bacaan direkomendasi situs berita terkemuka Wired Italia.

https://www.antaranews.com/berita/1123776/bukan-perawan-maria-membawa-feby-indirani-keliling-eropa

Catatan-catatan Pendek Ibnu Wahyudi mengenai Sapardi Djoko Damono

$
0
0

MISTERI “PADA SUATU HARI NANTI”

Wafatnya sastrawan Sapardi Djoko Damono menjadi momen kian diakrabinya sastra, khususnya puisi karya almarhum. Salah satu puisi yang dikenal luas dari sastrawan yang meninggalkan kita pada usia 80 tahun ini berjudul “Pada Suatu Hari Nanti”. Sangat mungkin, populernya puisi ini juga karena telah dimusikalisasi oleh M. Umar Muslim, diaransemen oleh Ari Malibu, serta didendangkan oleh Reda L. Gaudiamo, Nana Soebi, dan Ari Malibu dengan indah.

“Pada Suatu Hari Nanti” yang banyak dihafal terhimpun dalam buku Hujan Bulan Juni, halaman 95. Akan tetapi, judul “Pada Suatu Hari Nanti” sesungguhnya juga sudah diterakan oleh Sapardi Djoko Damono dalam kumpulan duka-Mu Abadi (1969) pada halaman 32. Saat ini puisi tersebut sedang berduka lantaran tidak dihiraukan oleh sesiapa. Dia sangat bersedih.

Dalam terjemahan bahasa Inggris pun, kedua puisi ini mengalami semacam pembedaan–untuk tidak mengatakan “diskriminasi”. Namun, laku ini sekaligus membuktikan bahwa penerjemahan atas kata atau ungkapan sama bisa berbeda akibat nuansa makna atau penekanan pesan yang berbeda pula. John McGlynn dalam buku Before Dawn menerjemahkan “pada suatu hari nanti” yang pertama menjadi “Someday When” (30) dan “The Day Will Come” (146).

Begitulah. (Versi esai panjang tulisan ini tengah dikerjakan)

22 Juli 2020

HADIAH TERINDAH DARI SDD

Suatu sore di awal tahun 1984, seingatku di ruang Jurusan Sastra Indonesia FSUI Rawamangun, aku menemui Pak Sapardi. Beberapa menit sebelumnya, seorang petugas Gedung 1 mencariku di sekitaran warung makan Pak Wir, memberi tahu bahwa Pak Sapardi mencari diriku.

Segera aku menuju ruang jurusan yang berada di sudut barat Gedung 1. Pak Sapardi sering mengajak ngobrol soal kesenian dan tahun 1984 itu aku mulai diminta membantu untuk beberapa kuliah. Jadinya, aku berjalan menuju ruang jurusan dengan perasaan biasa.

“Sini, aku kasih hadiah,” ujarnya begitu aku menampakkan diri di pintu.

Hadiah? Tak habis pikir aku saat itu sebab tidak ada peristiwa penting yang menyebabkanku layak menerima sesuatu.

“Ini, bukumu. Tadi aku ke Balai Pustaka dan Pak Bagio (Subagio Sastrowardoyo) titip buku ini untuk kamu.”

Buku? Segera aku buka kertas payung yang membungkus sebuah buku. Begitu sebagian pembungkus terkoyak aku serasa melonjak. Betapa tidak; buku kumpulan puisi P. Sengodjo yang aku telusuri dari sejumlah majalah kebudayaan terbitan tahun 1947-1953, telah terbit.

Bahagiaku tak terkira. Ini buku pertamaku meski bukan karyaku tapi karya pamanku yang mulai terlupakan. Alhamdulillah, tak hentinya aku bersyukur sebab buku itu aku susun dan terbit ketika aku masih mahasiswa. Sungguh, hadiah terindah buatku.

Pak Sapardi, terima kasih, panjenengan telah membukakan pintu bagiku untuk dunia penulisan. Alhamdulillah.

21 Juli 2020

S DJOKO DAMONO, SUPARDI DJOKO DAMONO, SAPARDI DJOKODAMONO, SAPARDI DJOKO DAMONO

Pada waktu-waktu belakangan, orang tampak lebih biasa menyebut SDD bagi Sapardi Djoko Damono dibandingkan dengan Sapardi misalnya; sastrawan yang dua hari lalu wafat. Akan tetapi, dalam karyanya, nama SDD belum pernah disematkan. Nama yang pernah mewakili dirinya adalah S Djoko Damono ketika pertama kali puisinya muncul di majalah Merdeka tahun 1958 dengan judul “Cerita Burung”. Pernah pula namanya menjadi Supardi Djoko Damono pada puisi-puisinya yang dimuat majalah Indonesia tahun 1960. Kemudian, sempat namanya muncul sebagai Sapardi Djokodamono ketika karya-karyanya dimuat majalah Gelora tahun 1962. Selebihnya tentu nama yang tertera untuk karyanya adalah Sapardi Djoko Damono.

Akan tetapi, adakah selalu tanpa masalah dengan pelafalan atas namanya? Ternyata salah pengucapan lebih sering terjadi. Pernah namanya diucapkan sebagai Sapardi Djoko DARMONO dan bahkan sempat ada yang keliru menyatukan dua nama dosen FIB UI lainnya, menjadi Sapardi Djoko KENTJONO. (Djoko Kentjono, almarhum, adalah sejawat Pak Sapardi di FIB UI dan tinggal satu kompleks di Perumahan UI, Ciputat).

Pengucapan memang terkadang tidak sesuai “seharusnya” seperti penyiar televisi mancanegara yang repot sekali mengucapkan perenang keturunan Jawa-Suriname, juara Olimpiade dari Belanda, bernama Ranomi Kromowidjojo. Namun, nama Sapardi mestinya tidak semerepotkan itu. Nyatanya, wanita-penyiar televisi CNN Indonesia, mengucapkan almarhum sebagai “Supardi”. Mungkin saja bukan sepenuhnya salah penyiar sebab dalam teks memang tertulis “Supardi”. Ada-ada saja, ya.

21 Juli 2020

SAPARDI “GADUNGAN”

Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono sudah pensiun sebagai mahaguru di FIB UI. Oleh sebab itu, tidak setiap hari pemuisi ini datang ke kampus. Sastrawan yang sangat terkenal dengan kumpulan sajaknya DukaMu Abadi ini rata-rata hanya dua-tiga kali seminggu datang ke kampus untuk mengajar atau memberi bimbingan. Namun, banyak mahasiswa yakin bahwa guru besar berperawakan kerempeng ini hampir setiap hari ada di kampus. Wajar jika banyak mahasiswa berpikiran seperti itu karena mereka tidak pernah diajar langsung; mereka hanya mendengar selintas sosok Pak Sapardi dari senior atau dari informasi lain. Ternyata yang sering di kampus itu “kembarannya” alias “Sapardi Gadungan”. Sepintas orang ini sangat mirip: topinya, kerempengnya, tingginya, gaya berjalannya, dan juga sepatu sandalnya. Akibatnya, sejumlah mahasiswa sering menegurnya sebagai Pak Sapardi, dan lelaki itu tampak selalu tersenyum atau mengangguk ketika ditegur. Padahal, orang ini adalah pemijat yang memang sering datang ke kampus sebab banyak dosen yang agaknya sreg atau nyaman dengan pijatannya. Dan sepertinya, ia “menikmati” keramahtamahan para mahasiswa itu.

2010

SEKELUMIT “KISAH” TENTANG PAK SAPARDI DJOKO DAMONO

$
0
0


Sunu Wasono *

Saya merasa beruntung dan bersyukur karena boleh dibilang cukup lama mengenal Pak Sapardi Djoko Damono (SDD). Saya masuk FSUI Jurusan Indonesia pada 1978. Sejak tahun itulah saya mengenal dari dekat Pak SDD. Kuliah Telaah Drama, Sosiologi Sastra, Sastra Bandingan, dan Perkembangan Masyarakat dan Kesenian Indonesia yang saya ikuti diampu Pak SDD. Saat menulis skripsi, tesis, dan disertasi saya dibimbing beliau.

Tahun 1987 saya diangkat sebagai pengajar di Prodi Indonesia. Sebagai dosen baru, saya tidak boleh langsung mengajar. Semua dosen baru harus menjadi asisten dosen senior. Beruntung saya diminta Pak SDD untuk menjadi asistennya. Saya menjadi asisten beliau untuk mata kuliah Sosiologi Sastra dan Pengkajian Puisi. Lama juga saya “nyantrik” pada Pak SDD. Sambil mengajar, Pak SDD menulis disertasi. Program S2 belum ada waktu itu. Ada cerita yang menarik tentang proses penulisan disertasi Pak SDD. Suatu kali Pak SDD bercerita kepada saya bahwa ia harus menulis disertasi lagi.

Kata “lagi” membuat saya secara spontan bertanya kenapa. Berceritalah Pak SDD bahwa disertasi yang telah diserahkan lama kepada pembimbingnya ternyata hilang. Bagaimana di tangan pembimbing naskah itu bisa hilang tak diceritakan. Boleh jadi hilang beneran atau lupa menaruh di mana. Maklum Pak Harsja pada waktu itu sedang punya jabatan banyak. Untuk yang mengenal beliau, “lupa” merupakan kata kunci penting. Celakanya, Pak SDD tidak punya salinannya. Pada waktu itu belum ada komputer. Pak SDD mengetik di mesin tik manual. Naskah ketikan tidak digandakan pula. Anehnya, saat bercerita itu beliau tidak terlihat kesal atau marah. Sebaliknya, ceritanya disampaikan dengan kocak ala Pak SDD. Sungguh cerita itu–meskipun menimbulkan rasa iba–menjadi hiburan tersendiri bagi saya.

Tahun 1987 komputer mulai ada di kampus, tapi masih dianggap barang mewah dan langka. Saya ingat, komputer di FIBUI hanya ada beberapa yang ditempatkan di satu ruang khusus di gedung 2. Penggunaan komputer amat terbatas. Tak semua dosen bisa menggunakannya. Jadi, penggunanya pun terbatas. Pak SDD termasuk salah seorang penggunanya. Beliau tiap hari Sabtu dan Minggu mengetik di situ setelah sebelumnya minta izin ke kepala komputer. Saya menemani Pak SDD dari pagi sampai sore. Rupanya di situlah Pak SDD mengetik disertasinya. Kurang lebih setahun selesai. Tahun itu juga Pak SDD menjalani ujian prapromosi di UI Salemba. Alhamdulilah saya ikut mengantar beliau. Dengan mobil Jetstar yang disopiri tetangga yang profesinya sopir angkot kami berangkat jam 09.00 dari Depok. Waktu itu saya kos di belakang rumah Pak SDD.

Setahun kemudian (1989), Pak SDD menjalani ujian promosi doktornya. Saya dan mbak Rita (Arkeologi), kalau tak salah, menjadi paranimnya. Yang menjadi promotor adalah Prof. Harsja Bachtiar, sedangkan ko-promotornya Ibu Prof. Dr. Haryati Subadio. Alhamdulilah Pak SDD menjawab dengan baik dan lancar semua pertanyaan para penguji, yaitu (yang saya ingat) Prof. Dr. Koenjaraningrat, Prof. Astrid Soesanto, Prof. Dr. Edi Sedyawati, dan Prof. Dr. Achadiati Ikram.

Lima tahun kemudian, Pak SDD dikukuhkan sebagai guru besar tetap pada Fakultas Sastra Universitas Indonesia (sekarang berubah nama menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya). Judul pidato ilmiahnya adalah “Sastra, Politik, dan Ideologi.” Saya ingat betul ketika penyampaian pidato sampai pada bagian ucapan terima kasih, Pak SDD tak sanggup menahan rasa harunya yang teramat dalam. Beliau menangis sejenak yang membuat penyampaian kata-katanya tersendat. Saya kutipkan bagian pidato yang membuat Pak SDD menangis.

“Terima kasih setulus-tulusnya saya sampaikan kepada rekan-rekan pengajar di Jurusan Sastra Indonesia , yang pada pertengahan tahun 1970-an dengan penuh pengertian bersedia menerima “orang asing” ini. Kehangatan, keterbukaan, dan rasa kekeluargaan yang ada dalam jurusan ini menyebabkan saya segera merasa tidak mempunyai rumah lain lagi kecuali Fakultas Sastra Universitas Indonesia ini.” Karena terbawa oleh suasana haru, saya lihat banyak di antara hadirin pada waktu itu, termasuk saya, menitikkan air mata.

Saya beruntung dan bersyukur dapat menghadiri upacara pengukuhan guru besar itu. Keberuntungan saya pun bertambah lagi ketika naskah asli disertasi Pak SDD dihadiahkan kepada saya. Alhamdulilah. Tahun 1993 oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa disertasi tersebut diterbitkan dalam jumlah terbatas. Tujuh tahun kemudian, tahun 2000, Bentang menerbitkan juga. Namun, judulnya berubah menjadi “Priyayi Abangan: Dunia Novel Jawa Tahun 1950-an.” Meskipun sudah terbit sebagai buku, naskah disertasi Pak SDD saya simpan dengan baik. Terima kasih, Pak Sapardi Djoko Damono. Bapak telah banyak membantu saya, juga berbagi ilmu dan pengalaman. Sejujurnya saya banyak berutang budi pada Bapak. Karena saya tak dapat membalas kebaikan Bapak, hanya doa yang dapat saya panjatkan semoga Bapak mendapat tempat terbaik di sisi Allah SWT. Amin.

22 Juli 2020

_______________
*) Sunu Wasono lahir di Wonogiri 11 Juli 1958. Taman SMAN Wonogiri tahun 1976, S1 di Jurusan Sastra Indonesia Fak. Sastra Universitas Indonesia (UI) tahun 1985, S2 di Program Pascasarjana UI (1999), dan S3 di Program Studi Ilmu Susastra FIBUI (2015). Sejak April 1987, staf pengajar di Fak. Ilmu Pengetahuan Budaya UI, mengampu mata kuliah Sosiologi Sastra, Pengkajian Puisi, dan Penulisan Populer. Tahun 1992 (6 bulan) menjadi dosen tamu di La Trobe University, Melbourne, Australia. Mulai Oktober 2016, menjadi Ketua Program Studi Sastra Indonesia, Fak. Ilmu Pengetahuan Budaya UI. Sejak mahasiswa menulis artikel di koran. Beberapa puisinya dalam antologi Sajak-sajak 103 (1986), Kampus Hijau 2 (STAIN Press, IAIN Purwokerto), dan buletin Jejak. Buku puisinya “Jagat Lelembut,” diberi catatan Prof. Dr. Suminto Sayuti, penerbit Teras Budaya. Tulisannya berupa resensi, kritik, esai, dipublikasikan di jurnal ilmiah (Wacana, Susastra, Jurnal Kritik), dan di berbagai media massa: Suara Karya, Kompas, Pelita, Republika, Jawa Pos, Horison, Bende, Syir’ah. Bukunya yang lain Sastra Propaganda (2007). Sejumlah hasil penelitian yang dikerjakan bersama Sapardi Djoko Damono, Melani Budianta, Saini K.M., Jakob Sumardjo, dan Bakdi Sumanto, dibukukan dalam Membaca Romantisisme Indonesia (Pusat Bahasa, 2005), Jejak Realisme dalam Sastra Indonesia (Pusat Bahasa, 2006), dan Absursisme dalam Sastra Indonesia (Pusat Bahasa, 2007). Karya kritiknya dimuat di buku Konstelasi Sastra (HISKI, 1990), Sastra untuk Negeriku (Museum Sumpah Pemuda, 2004), Dari Kampus ke Kamus (Prodi Indonesia FIBUI, 2005), Esai Sastra Bandingan dalam Sastra Indonesia Modern (YOI, 2003), H.B. Jassin Harga Diri Sastra Indonesia (Indonesiatera, Lingkar Mitra dan Yayasan Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, 2001), Membaca Sapardi Djoko Damono (YOI, 2011), dan Mahaguru yang Bersahaja (Prodi Indonesia, 2016).


PENGUASAAN BAHASA SEBAGAI LANDAS LITERASI

$
0
0

Djoko Saryono

Sekarang kita memasuki zaman literasi, bahkan zaman literasi kedua. Tiap orang dituntut untuk mampu dan terbiasa membaca dan menulis di samping berpikir kritis, kreatif, dan inovatif. Untuk itu, setiap orang perlu memiliki pengetahuan kebahasaan dan tulis-menulis di samping wawasan berpikir kritis-kreatif-inovatif. Kedua hal tersebut perlu dikuasai serempak karena pikiran yang baik niscaya tertuang ke dalam bahasa yang baik pada satu sisi dan pada sisi lain bahasa yang baik mencerminkan pikiran yang baik. Di sinilah penguasaan berbahasa sekaligus berpikir yang baik diperlukan oleh tiap orang.

Penguasaan berbahasa sekaligus berpikir yang baik dapat dipupuk dengan cara meningkatkan pengetahuan kebahasaan yang terpadu dengan kemampuan tulis-menulis (komposisi). Di samping itu, juga tekun berlatih menggunakan unsur-unsur kebahasaan di dalam kegiatan tulis-menulis.

Kosa kata, kalimat, paragraf, dan wacana merupakan unsur pokok kebahasaan yang sangat menentukan kemampuan atau kemahiran berbahasa sekaligus berpikir. Perbendaharaan atau kekayaan kosa kata dan kemampuan menggunakan kosa kata menentukan mutu tulisan dan berpikir seseorang. Pengetahuan dan kemampuan menata dan menggunakan kalimat secara benar, tepat, dan bervariasi akan menentukan ketertiban dan kejelasan pikiran di samping kualitas tulisan. Selanjutnya, pengetahuan dan kemampuan menyusun atau membuat paragraf dapat menentukan kebaikan tulisan seseorang di samping mencerminkan tingkat kualitas pemikiran atau penalarannya. Oleh sebab itu, pengetahuan dan kemahiran memilih, menyusun, dan menggunakan kosa kata, kalimat, dan paragraf menjadi dasar kualitas berbahasa sekaligus berpikir setiap orang.

Untuk membantu menguasai pengetahuan dan kemampuan memilih, menyusun, dan menggunakan kosa kata, kalimat, dan paragraf diperlukan penuntun terutama buku-buku penuntun yang dapat digunakan secara mandiri atau pun bersama oleh siapa pun. Buku penuntun tentang kosa kata, kalimat, dan paragraf yang mudah dipahami dan dipraktikkan oleh awam atau masyarakat umum, bukan hanya kalangan berpendidikan, akan memperkuat kemampuan berbahasa sekaligus berpikir selain memperkuat literasi masyarakat. Tersedianya buku tentang kosa kata, tata kalimat, dan tata cara menulis paragraf dapat memudahkan tiap orang — baik kalangan guru, mahasiswa maupun masyarakat umum — untuk berlatih dan mahir berbahasa dan berpikir dengan baik khususnya menulis dengan baik.

21 Juli 2020

______________
*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd adalah Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.

RESIDENSI BIAR PANDAI

$
0
0

Anindita S. Thayf *
Radar Mojokerto, 19/07/2020

Seseorang pernah berkata, “Bahkan penulis pun butuh piknik.” Tak disangka, ide serupa juga pernah diungkapkan Nietzsche puluhan tahun lampau. Saya baru mengetahuinya saat membaca karya sang filsuf berjudul Mengapa Aku Begitu Pandai. Nietzsche ternyata suka rekreasi dan menganggapnya sebagai sesuatu yang mesti dilakukan. Saking pentingnya hal itu, Nietzsche memasukkan rekreasi sebagai satu dari tiga unsur yang mempengaruhi kepandaiannya.

Nietzsche memang filsuf, juga penulis, yang pandai. Nietschze juga murah hati karena, lewat karyanya itu, dia sudi berbagi resep mengapa dia begitu pandai. Resepnya sederhana karena bahannya cuma tiga. Biarpun sederhana, hasil resep tersebut sungguh luar biasa. Zarathustra buktinya. Sebuah maha karya yang menunjukkan kepandaian Nietzsche dan terus dibaca hingga hari ini, serta sanggup membuat pembacanya merasa begitu butuh piknik bahkan sebelum tiba di halaman terakhir buku itu.

Menurut Nietzsche, agar menjadi pandai sebagaimana dirinya, seseorang butuh tiga hal: makanan, tempat (dan iklim), rekreasi. Untuk makanan, dia menyuruh agar membiasakan makan yang baik dan bergizi, memilih makanan/minuman yang tepat, serta menghindari makanan yang membosankan. Nietzsche mencontohkan dirinya yang, setelah menenggak minuman yang tepat, bisa menulis esai panjang berbahasa Latin, lalu membuat banyak salinannya, dalam sekali duduk. Semua itu ditulisnya dengan tangan.

Adapun tempat (dan iklim), masih menurut Nietzsche, sesungguhnya sangat berpengaruh dalam, “… mengubah seorang genius menjadi medioker,” dan sebaliknya. “Kesalahan sehubungan dengan tempat dan iklim tidak hanya membelokkan siapapun dari tugasnya tetapi bahkan menjauhkan tugas itu darinya,” tambahnya lagi.

Untuk rekreasi, Nietzsche lebih memilih membaca buku bagus dan mendengarkan musik bagus ketimbang pergi piknik atau bertamasya. Buku-buku bagus membuatnya bisa melompati batas, meluaskan pandangan yang sempit, dan memberikan rangsangan untuk berpikir. Sementara itu, musik bagus membuatnya bergairah.

Tiba-tiba, saya teringat pada program residensi yang diminati banyak penulis itu. Sungguh kebetulan, dalam program tersebut, khususnya program residensi ke luar negeri, ketiga bahan yang diperlukan untuk menjadi pandai ala Nietzsche tersedia dalam kualitas terbaik. Setiap penulis yang diimpor ke negara pilihannya akan mendapatkan semua bahan itu secara gratis. Dimulai dari makanan.

Sebagai penulis, saya menyetujui argumen Nietzsche yang menomorsatukan perut dalam bekerja. Intinya, dari perut turun ke pekerjaan atau karya, bagi penulis. Di luar negeri sana, setiap peserta residensi tentu bakal menyantap makanan khas negeri itu yang dibuat dengan citarasa asli dan kualitas yang sebaik makanan restoran di Indonesia. Umpamanya, bistik daging sapi premium, pizza dengan keju nomor satu dan resep roti asli, atau anggur merah terbaik. Kepuasan menyantap menu seperti ini dijamin mampu mendorong semangat menulis sebagaimana ungkap Nietzsche.

Jujur saja, sejak berumah di Blitar, Jawa Timur, saya sudah bosan makan nasi pecel setiap sarapan. Sesekali, kebosanan semacam ini mempengaruhi semangat menulis saya. Itulah mengapa terkadang saya ingin menyantap sesuatu yang lebih bervariasi, seperti masakan chili Amerika, yang sayangnya tidak ada di tempat tinggal saya. Alih-alih berpikir mendaftar residensi ke Amerika Serikat, saya lebih memilih memasaknya sendiri dengan menyontek resep dari internet.

Kedua, soal tempat (dan iklim). Pengaruh unsur yang satu ini paling cepat terlihat dalam bentuk foto. Begitu si penulis pilihan tiba di negara tujuan residensi, foto-foto dirinya yang sedang berpose di dekat papan nama bandara udara internasional atau sudut-sudut kota berpemandangan ala negeri empat musim langsung mengisi halaman sosial medianya. Foto-foto yang berlatar belakang gedung kampus, toko buku terkenal, museum, perpustakaan hingga tempat-tempat bersejarah, entah bersama satu-dua orang asing atau sendirian, tidak lupa pula disertakan sebagai bukti bahwa tujuan residensi yang sesungguhnya telah tercapai. Yaitu, untuk mencari bahan tulisan dan memperluas jaringan.

Mengabaikan hari-hari jet lag usai kedatangan, waktu residensi yang hanya beberapa minggu dan proses penelitian yang memakan waktu, foto-foto itu selalu menampakkan wajah bahagia si penulis. Sepertinya keriangan berada di tempat yang tepatlah penyebab hal itu terjadi.

Jika demikian, sungguh benar ucapan Nietzsche bahwa jiwa yang bebas bisa menjadi sempit, tertutup, suka marah-marah hanya karena berada di iklim yang salah. Sebaliknya, seseorang bisa menjadi pandai, bahkan genius, jika berada di tempat dan iklim yang tepat. Barangkali itulah mengapa produktivitas menulis saya agak menurun tahun kemarin. Penyebabnya pasti musim kemarau panjang yang melanda Indonesia hingga membuat suhu siang hari selalu sekitar 34°-35° Celcius di tempat saya. Untuk mengatasinya, saya tidak berpikir kabur sebentar ke Paris, tapi cukup dengan membeli kipas angin besar dan menyetelnya sepanjang siang.

Ketiga, rekreasi. Pentingnya hal ini tidak perlu diragukan lagi, terutama bagi penulis yang bekerja mengandalkan imajinasi. Serupa ponsel, imajinasi harus selalu diisi ulang, salah satunya lewat rekreasi. Berbeda dari Nietzsche, sebagian besar penulis masa kini lebih memilih berekreasi dengan cara pergi melancong ketimbang membaca buku. Piknik pun menjadi salah satu kebutuhan utama mereka, apalagi piknik ke tempat yang jauh, seperti luar negeri.

Seorang penulis yang kehabisan energi berimajinasi, bahkan untuk membayangkan kondisi sebentang jalan di Inggris pada masa Raja Arthur, misalnya, membutuhkan bantuan khusus agar bisa menyelesaikan karyanya. Dalam kondisi macet begini, si penulis yang tidak mampu lagi mengasah imajinasinya lewat buku dan riset pustaka itu merasa perlu turun langsung ke lapangan untuk meneliti sambil menghirup udara segar sekalian berjalan-jalan. Saat inilah peran program resindensi baru terlihat pentingnya. Residensi memberikan kesempatan kepada seorang penulis untuk meneliti sekaligus berekreasi di tempat pilihannya. Sebuah rekreasi yang berkelas sebab selain diberikan hanya kepada orang-orang pilihan, ia juga mampu membuat para penulis yang bersangkutan dianggap telah naik kelas setara maskapai penerbangan yang mereka gunakan: internasional

Pada akhirnya, dari kesadaran atas kepandaiannya, Nietzsche bisa menghasilkan buku-buku yang bagus. Bermodalkan ketiga bahan seadanya dari resep di atas, saya berharap bisa pula meniru jejak sang filsuf dalam menghasilkan buku-buku yang bagus. Pun, para peserta residensi yang telah kembali semoga memendam harapan serupa dan mampu mewujudkannya tidak hanya dalam bentuk rencana di artikel situs berita, melainkan sebuah karya nyata yang bisa dibeli di toko buku.
***

__________________
*) Anindita S. Thayf lahir pada 5 April 1978 di Makassar. Menulis cerpen dan novel. Novelnya, Tanah Tabu (Gramedia Pustaka Utama, 2009), menjadi juara I lomba menulis novel Dewan Kesenian Jakarta 2008, finalis Khatulistiwa Literary Award 2009, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Daughters of Papua (Dalang Publishing, San Francisco, 2014).

Ruang Tunggu

$
0
0

Feby Indirani *
Jawa Pos, 27 Nov 2016

ROHMAN masih ingat saat ia melihat tubuhnya terburai dan anggota tubuhnya tersebar ke berbagai penjuru. Ia merekam gambar itu dalam gerakan lambat, dan melihat segalanya dengan jelas; orang-orang yang menjerit histeris, tubuh-tubuh yang jatuh bergelimpangan, darah yang menggenang.

Ia mendapat giliran menjalankan misi suci sehari sebelum tahun baru. Ia merangsek ke dalam kerumunan festival seni jalanan di kota itu lalu meledakkan diri. Begitulah perintah yang didapatnya, dan begitulah yang ia laksanakan. Kami dengar maka kami taati, setiap anggota mengerti prinsip itu.

Setiap anggota juga paham, akan tiba giliran mereka menjadi “pengantin”. Pengantin, karena pengorbanan nyawa yang mereka lakukan akan dibalas dengan sambutan 72 bidadari surga. Bidadari-bidadari yang sopan, yang menundukkan pandangannya, yang tidak pernah disentuh oleh manusia dan tidak pula oleh jin. Bidadari yang seindah permata. Wanita-wanita muda tercantik yang terlihat bagaikan anggur merah pada gelas putih. Itulah yang akan menjadi mempelai mereka. Dan bayangan itu selalu membuatnya berseri karena gairah.

Namun, saat ini, ia hanya menemui ruang kosong yang begitu luas, sehingga tepi ruangan tampak tak begitu jelas di matanya. Dia duduk di sebuah kursi, sendiri dalam kelengangan. Dan itulah yang ia lakukan, entah sudah berapa lama. Ia tidak merasakan apa-apa, tapi sekaligus merasakan segalanya. Ia tidak menunggu, tapi juga sekaligus merasa ingin tahu. Ia bisa bebas bergerak ke mana pun yang ia inginkan, tapi juga tidak ingin beranjak ke mana-mana. Segalanya seperti sulit untuk dijelaskan. Ia merasa, ini adalah dimensi yang berbeda dengan dimensi kehidupannya di dunia, tapi ia sendiri merasa belum bisa sepenuhnya membebaskan diri dari dunia.

Jadi ia hanya menunggu, dan menunggu. Dan menunggu.

Sampai kemudian ia melihat ada titik dari kejauhan mengarah pasti menuju padanya. Titik itu semakin lama semakin jelas bentuknya, berjalan dengan ritme tetap, dan semakin besar. Semakin jelas sosoknya, yang ternyata seorang perempuan. Rambutnya lurus tergerai sebahu, ia tidak menutup kepala. Rohman ingat salah satu cerita yang pernah didengarnya di dunia, bahwa perempuan-perempuan di surga memang tidak berhijab. Tapi perempuan ini kelihatan terlalu normal, terlalu biasa. Ia cukup manis, berkacamata, mengenakan rok span, dengan kemeja berlengan panjang yang digulung sebatas siku. Ia tidak kelihatan mewah. Tidak mengenakan sutera hijau seperti gambaran-gambaran tentang bidadari.

Semakin dekat perempuan itu, semakin Rohman mengambil kesimpulan: dia bukanlah bidadari. Pasti bukan. Tiba-tiba ia dilanda kejengkelan, seperti perasaan orang yang tidak sabar menunggu, dan tidak tahu sampai kapan ia harus menunggu. Di mana bidadari-bidadariku? Aku mau bidadariku. Ingin rasanya Rohman menghentak-hentakkan kakinya, tapi ia gengsi, nanti diledek, kok seperti kanak-kanak yang dongkol karena minta mainan dan tak dipenuhi ayah bundanya.

“Selamat datang di Ruang Tunggu,” kata perempuan itu begitu berada di hadapannya.

Suaranya dalam, juga merdu. Ia duduk di kursi yang sama bentuk dan rupanya dengan kursi yang Rohman duduki, meskipun sebelumnya Rohman tidak melihat ada kursi di depannya. Apakah kursi itu dari tadi berada di sini? Pikir Rohman bingung. Ia menatap perempuan di depannya dengan penuh tanda tanya. Di dunia, ia akan cenderung memalingkan pandangan demi berhadapan dengan perempuan seperti ini. Apalagi ia tidak berhijab. Namun saat ini ia tidak merasa itu perlu. Ia hanya ingin bertanya, tapi mulutnya enggan terbuka.

Perempuan di hadapannya hanya menatap lurus, dengan ekspresi muka yang sulit diterka. Seperti tersenyum, tapi bukan. Antara sikap menantang, meledek, bangga, sedih, tapi juga kesombongan. Entahlah, Rohman hanya tidak bisa berhenti menatap perempuan itu, juga karena hanya dialah yang ada di hadapan untuk dipandang.

Kemudian mereka berdua hanya saling diam, saling berpandangan. Perempuan itu kemudian mengeluarkan rokok, menyalakan, dan mulai mengisapnya. Rohman semakin bingung. Bukankah ini seharusnya akhirat? Bagaimana mungkin ada rokok di akhirat? Dan ia paling benci asap rokok. Ia paling benci juga pada perempuan yang merokok.

Dan perempuan itu seperti tahu Rohman membencinya, malah dengan sengaja mengembus-embuskan asapnya ke wajah Rohman. Aroma kretek yang persis sama dengan di warung Marto langganannya dulu. Ini semua semakin tidak masuk akal. Rohman merasakan kemarahannnya memuncak.

“Siapa kamu? Di mana saya? Di mana bidadari-bidadari saya?” Rohman merasakan suaranya menggelegar dan bergetar.

Perempuan itu kemudian terkikik geli.

“Selamat datang di Ruang Tunggu,” ulangnya lagi, kali ini dengan intonasi yang berbeda. Lebih menggoda.

“Kejutan! Tidak ada mempelai. Tidak ada bidadari. Tidak ada sorak sorai pesta penyambutan. Hanya ada kamu, di Ruang Tunggu. Dan untuk sekarang, saya,” ujar perempuan itu tenang.

“Tidak mungkin! Saya sudah dijanjikan 72 bidadari! Mereka wanita-wanita muda cantik yang bening, yang sopan, yang menundukkan pandangannya, yang tidak pernah disentuh oleh manusia dan tidak pula oleh jin. Dan saya yang akan memerawani mereka siang dan malam tanpa henti, tanpa lelah, tanpa pernah lemas, tanpa pernah kehilangan syahwat!”

Lagi-lagi perempuan itu terkikik geli, tidak menjawab, terus saja mengembus-embuskan asap rokoknya dengan gaya yang membuat Rohman muak. Ingin rasanya ia menampar perempuan itu. Ia pantang memukul perempuan, hanya lelaki pengecut yang memukul perempuan, demikian prinsipnya sejak dulu. Tapi terhadap perempuan ini rasanya ia tidak lagi memiliki kesabaran.

“Katakan di mana bidadari-bidadariku,” ujarnyadengan nada mengancam, sambil berdirimenghadap perempuan itu. Tangannya terayun, sedikit lagi akan menghajar wajah si perempuan, meski sebetulnya ia masih ingin menahan diri.

Perempuan itu setegar benteng, matanya menatap Rohman tenang, tanpa berkedip. Ia terus saja mengisap rokok, kemudian mengembuskannya. Dan Rohman baru tersadar bahwa rokok itu tak kunjung memendek sedari tadi, ukuran dan bentuknya tetap sama, dan terus menyala.

“Tidak ada bidadari. Tidak pernah ada. Dan tidak akan ada.”

“Bagaimana mungkin?” pekik Rohman

“Mengapa tidak?” kali ini perempuan itu yang balas berteriak, sambil berdiri dan menantang wajah Rohman. “Apakah kamu kira kamu layak mendapatkan segala keindahan dan kebahagiaan setelah membunuh begitu banyak orang tak berdosa di dunia?”

“Ya, tentu!”

“Karena?”

“Karena saya menjalankan misi suci. Saya memperjuangkan kepentingan yang lebih besar dari diri mereka, dari diri saya sendiri, dari semua orang.

“Meh…” perempuan itu mencibir.

“Keadilan di muka bumi, pembalasan pada pihak yang telah menghancurkan agama dan umat!”

“Dengan mengorbankan nyawa orang-orang yang tidak berdosa?”

“Ah semua orang itu berdosa juga, kok! Toh mereka berpesta dan minum alkohol!”

Perempuan itu tertawa terbahak-bahak. Lalu dengan gerakan seperti memetik dari udara, ia mengambil sebotol minuman, menenggaknya. Rohman merampasnya dengan murka. Tapi tangan nya tidak dapat menyentuh apa-apa. Aneh, padahal hidungnya masih dapat mencium aromanya.

“Arrrrgh! Arrrgh! Arrrgh!” Rohman berteriak ke ras. Ia meremas rambutnya dengan kalut. Ini tidak mungkin terjadi. Tidak mungkin. Bagaimana mungkin? Apakah mungkin? Bagaimana jika mungkin? Ia terus berteriak-teriak, sepuasnya, sekuatnya. Ia ingin mengeluarkan segala kebingungan, kemarahan, ketidakmenentuan yang ia rasakan. Dan ia terus berteriak, entah untuk berapa lama dengan mata yang menyipit lalu terpejam. Ia hanya terus berteriak dan terus berteriak.

Entah untuk berapa lama, ia tidak tahu. Ia kemudian berhenti begitu saja. Bukan karena lelah atau haus, tapi lebih karena jemu. Dan ketika ia membuka mata, perempuan itu masih ada di hadapannya. Menatapnya dengan raut wajah dan posisi duduk yang sama.

Rohman sangat ingin mencekiknya.

“Kau bilang tadi ini Ruang Tunggu?”

“Ya.”

“Lalu apa setelah ini?”

“Saya tidak akan memberi tahu, itu bukan tugas saya.”

“Berilah petunjuk, sedikit saja!”

“Saya sudah memberi tahu apa yang kamu perlu tahu. Tidak akan ada bidadari untukmu.”

“Lalu ada apa?”

Lagi-lagi perempuan itu tertawa. Nadanya kali ini lebih bersahabat daripada meledek. “Kalau saya cerita memangnya kamu percaya? Selama ini kan kamu percaya pada guru-gurumu itu. Nah, ternyata kamu dikibuli. Titik. Kamu Cuma dimanfaatkan saja, dibodoh-bodohi. Mereka itu belum pernah berkunjung ke mana-mana selain pikiran sesat mereka sendiri, boro-boro sampai di Ruang Tunggu seperti kamu.”

“Brengsek! Brengsek! Brengsek,” maki Rohman. Kemudian kembali menangis. Lalu berguling-guling, menendang-nendang, memukul-mukul, terus-menerus melakukannya, terus-menerus, tanpa merasa lelah. Tapi setelah entah berapa lama, akhirnya ia merasa jemu. Ia kembali duduk berhadapan dengan perempuan itu, yang masih menatapnya dengan raut muka dan posisi duduk yang sama. Batang rokoknya tidak memendek, dan asapnya terus mengembuskan aroma kretek.

“Kamu bohong, kan? Ini toh hanya Ruang Tunggu. Pasti akan ada bidadari yang menunggu saya di sana? Saya sudah mengorbankan segalanya… Segala-galanya. Menjauhi orang tua, keluarga, teman-teman, menjadi orang yang berbeda dan kehilangan mereka semua.” Air mata Rohman kembali berlinang.

“Saya kadang merasa lelah, juga merasa bersalah. Saya juga membayangkan orang-orang tidak bersalah yang terkena dampaknya hanya karena mereka kebetulan berada di sana. Dan kalaupun mereka minum alkohol, mereka tidak sepantasnya mendapat hukuman seberat itu. Saya juga sering merasa takut, tapi guru-guru selalu menguatkan saya, ada kehidupan abadi setelah dunia. Ada keindahan abadi… Ada bidadari…”

Rohman menangis sesunggukan. Menggerung-gerung.

“Bilang pada saya semua itu akan ada, katakan pada saya ada bidadari! Bukan perempuan seperti kamu yang sombong, merokok, sok tahu! Saya mau bidadari saya.” Kini Rohman merengek seperti kanak-kanak.

“Seperti apa saya sekarang, hanyalah cerminan dari sesuatu yang tidak kamu sukai,” jawab perempuan itu tenang. “Tapi seperti apa saya juga tidak akan mengubah apa pun untuk kamu, kan?”

Rohman menatap perempuan itu, dan merasa heran karena mukanya berangsur-angsur berubah menjadi seperti ibunya. Rohman membelalak, air mata terus membanjiri wajahnya. Lalu wajah perempuan itu berubah lagi menjadi guru kesayangannya ketika sekolah dasar. Kemudian perlahan berubah lagi menjadi wajah kakaknya, lalu berubah lagi menjadi wajah ibunya, kemudian wajah perempuan yang pernah hendak dilamarnya, lalu wajah yang tidak dikenalnya. Terus berubah dan berganti-ganti.

Perempuan-perempuan itu menatapnya dengan wajah sedih, sambil terus berkata, “Tidak ada bidadari, Rohman. Tidak akan ada bidadari untukmu.” Rohman lalu membentur-benturkan kepalanya. Terus-menerus. Terus-menerus. Tanpa merasa sakit. Tanpa merasa lelah.
***

___________________
*) FEBY INDIRANI, esais, jurnalis, peraih Anugerah Pembaca Indonesia 2010 kategori nonfiksi untuk bukunya “I Can (Not) Hear: Perjalanan Anak Tuna Rungu Menuju Dunia Mendengar”. Akun Twitter: @FebyIndirani
https://lakonhidup.com/2016/11/27/ruang-tunggu/

DIA PERGI LEBIH CEPAT KETIMBANG SAYA

$
0
0

YANG SAYA SIMPAN SEBUAH CATATAN DARI TAHUN 1968:


Goenawan Mohamad

Sapardi Djoko Damono tidak menampakkan suatu ikatan kuat dengan tradisi keagamaan apapun. Demikianlah puisinya: merupakan ibadat yang personal, suatu perhubungan dengan Tuhan yang kadang-kadang tampil secara tak terduga. Jika puisi ini adalah do’a… maka do’a itu adalah semacam “Do’a” Chairil Anwar. Tuhan bukanlah masalah yang sudah selesai bagi Sapardi.

Bukan sesuatu yang mengherankan jika justru karena itu ia lebih otentik daripada penyair-penyair keagamaan dalam berbicara tentang kerinduan, dan lebih mampu untuk menghadirkan teka-teki hidup dan teka-teki kematian kepada kita. Puisinya lahir dari teka-teki tersebut, dan bukan pengabar Kitab apapun. Karena itulah ia terasa lebih gelisah dan lebih terdorong untuk berani bertanya tak putus-putusnya.

Bagian sajak-sajak Sapardi yang paling intens adalah dalam kalimat-kalimat tanyanya yang tak selesai, seperti dalam “Sonnet X”:

siapa menggores di langit biru
siapa meretas di awan lain
siapa mengkristal di kabut itu
siapa mengertap di bunga layu
siapa tjerna di warna ungu
siapa bernafas di detak waktu
siapa berkelebat setiap kubuka pintu
siapa mentjair di bawah pandangku
siapa terucap di tjelah kata-kataku
siapa mengaduh di bayang-bayang sepiku
siapa tiba mendjemput berburu siapa tiba-tiba menyibak tjadarku siapa meledak dalam diriku.
siapa Aku
— (1968)

Sajak ini adalah salah satu dari sajak yang paling orisinal dari Sapardi Djoko Damono. Kendati pertanyaan besar “siapa Aku” sering kita jumpai, dengan segala pretensi kefilsafatan ataupun ketasawufan, semacam yang banyak terkandung dalam pelbagai karya mistik Jawa, dalam sajak tersebut pertanyaan itu lebih merupakan ungkapan puncak kegelisahan di tengah misteri.

Tak ada tanda tanya sebuah pun di sana, tetapi ia tetap sesuatu yang kejang meraih-raih jawaban: baris demi baris itu tidak sekadar disusun untuk mencapai efek puitis dengan pengulangan, melainkan langkah-langkah resah yang menuju ke arah klimaks. Setiap kali langkah itu adalah pertanyaan, setiap kali langkah itu terasa kaget dan termangu: kita dengar suara keras konsonan-konsonan yang kemudian tiba-tiba tersentak, disusul oleh vokal “u” pada setiap ujung dan pertanyaan itu belum juga terjawab, hanya berakhir pada. kekosongan yang sama. Dan tanda-tanya pun akan terasa sebagai sesuatu yang berlebih. Adakah kita. sia-sia?

Barangkali.

Sajak-sajak Sapardi Djoko Damono bukanlah jawaban, yang dikatakan secara verbal, jelas dan dengan perasaan yakin akan kepastian-kepastiannya sendiri. Puisi ini sebagian besarnya termangu, lahir dalam rasa terpencil, sadar bahwa segalanya toh akan “susut dari Suasana” (“Kepada lstriku”, 1967), dan peka sekali akan pergantian-pergantian yang terjadi dalam proses waktu.
***

Tulisan ini saya buat di tahun 1968, ketika kami berdua berumur 20-an. Dimuat di Horison 1968. Di bawah ini potret kami bersama Penyair Subagio Sastrowardojo. Dijumput dari fb https://www.facebook.com/goenawan.mohamad.3

APIK TENAN: ANEKDOT DI SEPUTAR PERESMIAN HISKI

$
0
0


Sunu Wasono *

Rasanya belum lengkap tulisan saya tentang peran Pak Sapardi Djoko Damono (Pak SDD) di HISKI kalau tak disertai anekdot ini. TKP-nya di Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Rawamangun. Pagi itu Mas Slamet Riyadi Ali terlihat gelisah. Sebentar-sebentar membetulkan kepala gespernya yang beringsut/bergeser ke kiri. Keringat mengucur di dahinya. Ia dikerumuni sejumlah orang yang beberapa di antaranya beberapa jam sebelumnya–pagi-pagi sebelum peserta datang–sudah bertemu dengan saya. Pada saat bertemu dengan saya, mereka menanyakan banyak hal, mulai dari siapa saja yang akan datang pada acara seminar, dari mana saja, berapa ratus jumlahnya, acaranya apa saja, sampai siapa yang menjadi penanggung jawabnya. Semua pertanyaan saya jawab semampu saya. Mereka mengaku “wartawan”.

Saya boleh dibilang datang paling awal karena dua hari sebelum acara dimulai sudah menginap di wisma Pusat Bahasa bersama Kang Hamidi (almarhum) dan Mas Endo Senggono. Pak SDD-lah yang menugasi kami. Waktu itu saya dan Kang Hamidi serta beberapa mahasiswa (UU–sekarang redaktur bahasa Tempo, M Samodra Harapan, dan Wawan) sudah kos di belakang rumah Pak SDD. Pak SDD mengajak kami (saya dan Kang Hamidi) ke Pusat Bahasa untuk meninjau lokasi. Sorenya Pak SDD pulang, sedangkan kami menginap di Pusat Bahasa.

Kenapa kami harus menginap sebelum acara dimulai? Pak SDD dapat info bahwa akan ada beberapa peserta dari daerah, kalau tak salah dari Makassar–yang akan datang lebih awal. Mereka datang lebih awal karena harus menyesuaikan keberangkatannya dengan jadwal keberangkatan kapal laut. Waktu itu kondisi transportasi belum semudah sekarang. Kami ditugaskan untuk mengurus peserta yang datang lebih awal. Benar saja, malamnya ada beberapa peserta datang. Ternyata ada juga peserta dari Padang (Ibu Adriyati Amir) yang datang pada malam itu. Besoknya ada peserta yang datang dari Purworejo. Saya lupa namanya, tapi menyimak ceritanya. Beliau menggeluti bidang bahasa dan sastra Inggris. Kedatangannya di Pusat Bahasa selain untuk mengikuti Munas dan Pilnas, juga ingin bertemu dengan teman-temannya yang pernah sama-sama mengikuti penataran sastra di Wisma Argamulya, Tugu, Puncak yang diselenggarakan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Kembali ke soal “wartawan”. Acara Munas dan Pilnas HISKI itu, khususnya pada hari pertama, rupanya menarik perhatian wartawan. Di antara wartawan yang datang, ada sejumlah wartawan yang mengelilingi Mas Slamet Riyadi Ali. Saya tidak tahu kenapa Mas Slamet yang dikerubungi, padahal ada juga yang lain, seperti Pak Rozak, Pak Utjen, dan Pak Sitanggang. Mungkin dalam kepanitiaan, Mas Slamet berperan sebagai Humas. Mungkin. Tapi terlepas dari soal itu, penampilan Mas Slamet memang keren dan meyakinkan. Ia menggunakan dasi, berjas pula. Rambut disisir rapi.

Agaknya kegelisahan Mas Slamet ada sangkut-pautnya dengan “wartawan” itu. Hal itu terbukti ketika tiba-tiba Mas Slamet menghampiri saya. “Nu, piye iki?”
“Ada apa, Mas?” jawab saya.
“Wartawannya minta amplop.”
Batin saya, kenapa ada orang minta amplop saja gelisah. “Ambilin saja ke dalam, Mas. Masak Pusat Bahasa gak punya amplop sih. Berapa butuhnya? Kalau tak ada, saya belikan di toko Bhakti.”
“Astagfirullah. Uang. Uang, bukan amplop. Bisa bantu gak?”
“Mas, saya di sini kan cuma bala dhupak. Bisa bantu apa. Kalau menggandakan makalah, saya bisa.”

Akhirnya dia kembali ke orang-orang yang mengerumuninya. Entah apa yang dikatakannya, tahu-tahu mereka menghampiri saya. Waduh, mau bilang apa saya. Akhirnya, saya anjurkan mereka langsung menemui Pak SDD. Salah seorang di antara mereka bertanya yg namanya Sapardi Djoko Damono itu yang mana. Alamak, jelas mereka wartawan gadungan. Kalau mengikuti acara pembukaan dengan baik, mestinya tahu. Pantas ketika sebelumnya saya tanya wartawan dari media apa, mereka cuma bilang “ada”. Wartawan tak tahu Sapardi? Bagaimana mungkin?

Setelah saya tunjukkan, akhirnya, mereka menghampiri Pak SDD. Mungkin dikira akan mewawancarainya. Pak SDD mencari posisi yang agak jauh dari peserta yang lagi rehat. Saya berusaha nguping. Diam-diam mendekati. Tiba-tiba Pak SDD bilang, “Kalian itu bagaimana. Seharusnya kalian membantu kami, bukan malah minta. Kalian tahu HISKI itu singkatan apa? Kalau belum tahu, saya kasih tahu. HISKI itu singkatan Himpunan Sarjana Kere Indonesia.”
Selesai mengucapkan itu, Pak SDD bergegas kembali ke ruang pertemuan. Saya lihat wajahnya agak merah. “Wartawan” itu pun bubar.

Beberapa hari kemudian, saya bertandang ke rumah Pak SDD. Saya katakan kepadaPak SDD bahwa saya yang menganjurkan beberapa “wartawan” itu untuk mewawancarai Pak SDD.
Meledaklah tawa Pak SDD. “Sontoloyo. Ngemis kok ke kere. Ha ha ha. Apik tenan.”
Malam itu kami ngobrol tentang macam-macam. Pak SDD terlihat gembira dan puas atas keberhasilan acara HISKI di Pusat Bahasa.
***

_______________
*) Sunu Wasono lahir di Wonogiri 11 Juli 1958. Taman SMAN Wonogiri tahun 1976, S1 di Jurusan Sastra Indonesia Fak. Sastra Universitas Indonesia (UI) tahun 1985, S2 di Program Pascasarjana UI (1999), dan S3 di Program Studi Ilmu Susastra FIBUI (2015). Sejak April 1987, staf pengajar di Fak. Ilmu Pengetahuan Budaya UI, mengampu mata kuliah Sosiologi Sastra, Pengkajian Puisi, dan Penulisan Populer. Tahun 1992 (6 bulan) menjadi dosen tamu di La Trobe University, Melbourne, Australia. Mulai Oktober 2016, menjadi Ketua Program Studi Sastra Indonesia, Fak. Ilmu Pengetahuan Budaya UI.

Viewing all 2226 articles
Browse latest View live